You are on page 1of 34

AGONIS KOLINERGIK

Sistem saraf kita terdiri dari dua kelompok yaitu susunan saraf pusat (SSP) otak dan sumsum tulang
belakang, dan susunan saraf perifer. Sistem saraf perifer dibagi menjadi sistem saraf otonom dan
somatik. Sistem saraf otonom mengendalikan kontraksi otot jantung dan otot polos, serta sekresi
kelenjar. Sistem saraf somatik mempersarafi otot skelet selama pergerakan voluntar dan
menghantarkan informasi sensorik, seperti nyeri dan sentuhan.

Sistem saraf otonom lebih lanjut dibagi menjadi sistem simpatis dan parasimpatis, yang umumnya
berlawanan satu sama lain. Sebagai contoh, sistem simpatis umumnya bersifat katabolik, mengeluarkan
energi ( sistem Fight or Flight ). Sistem ini meningkatkan frekuensi jantung, mendilatasi bronki, dan
mengurangi sekresi, sedangkan saraf parasimpatis bersifat anabolik, menyimpan energi, misalnya
menurunkan frekuensi jantung, menstimulasi fungsi gastrointestinal. Pada individu yang sedang
beristirahat, sistem parasimpatis mendominasi pada sebagian besar organ, mengakibatkan denyut
jantung relatif lambat, sekresi adekuat, dan motilitas usus yang sesuai. Tetapi, pada orang yang sedang
stres, sistem simpatis mendominasi, mengalihkan energi untuk fungsi-fungsi yang membuat orang fight
or flight ( misal peningkatan oksigenasi jaringan dengan bronkodilatasi dan peningkatan curah jantung ).

Obat obat yang mempengaruhi saraf otonom dibagi dalam dua subgrup sesuai dengan mekanisme
kerjanya terhadap tipe neuron yang dipengaruhi. Grup pertama, obat obat kolinergika bekerja
terhadap reseptor yang diaktifkan oleh asetilkolin. Grup kedua obat obat adrenergik yang bekerja
terhadap reseptor yang dipacu oleh norepinefrin atau epinefrin. Obat kolinergik dan adrenegik bekerja
dengan memacu atau menyekat neuron dalam sistem saraf otonom.

Kolinergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama
dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormon asetilkolin (Ach) diujung
ujung neuronnya.

Obat kolinergika singkatnya disebut kolinergik juga disebut parasimpatomimetik, berarti obat
yang kerja serupa perangsangan saraf parasimpatis. Tetapi karena ada saraf, yang secara anatomis
termasuk saraf simpatis, yang transmitornya asetilkolin maka istilah obat kolinergik lebih tepat daripada
istilah parasimpatomimetik.

OBAT OBAT AGONIS KOLINERGIK

Obat-obat otonom adalah obat obat yang dapat mempengaruhi penerusan impuls dalam SSO dengan
jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan, atau penguraian neurotransmitter atau
mempengaruhi kerjanya atas reseptor khusus. Akibatnya adalah dipengaruhinya fungsi otot polos dan
organ, jantung, dan kelenjar.
Obat kolinergik singkatnya disebut kolinergik juga disebut parasimpatomimetik, berarti obat yang kerja
serupa perangsangan saraf parasimpatis. Tetapi karena ada saraf, yang secara anatomis termasuk saraf
simpatis, yang transmitornya asetilkolin maka istilah obat kolinergik lebih tepat daripada istilah
parasimpatomimetik.

Obat kolinergik dibagi dalam tiga golongan : (1) Ester kolin ; dalam golongan ini termasuk :asetilkolin,
metakolin, karbakol, betanekol (2) Antikolinesterase, termasuk didalamnya : eserin (fisostigmin),
prostigmin (neostigmin), diisopropil-fluorofosfat (DFP), dan insektisid golongan organofosfat ; dan (3)
Alkaloid tumbuhan, yaitu : muskarin, pilokarpin, dan arekolin.

Parasimpatomimetik ( kolinergik ), yang merangsang organ-organ yang dilayani saraf parasimpatik


dan meniru efek perangsangan dengan asetilkolin, misalnya pilokarpin dan fisostigmin.

PARASIMPATOMIMETIK ( KOLINERGIK )

Serabut preganglionik yang berakhir pada medula adrenalis , ganglia otonom (simpatis dan
parasimpatis) dan serabut pasca ganglionik dari divisi parasimpatis menggunakan asetilkolin sebagai
suatu neurotransmiter. Neuron kolinergik mempersarafi otot voluntar dari sistem somatik dan dijumpai
pula dalam sistem saraf pusat (SSP).

Neurotransmisi pada neuron kolinergik

Neurotransmisi dalam neuron kolinergik meliputi 6 tahap, yaitu :

1. Sintesis asetilkolin : kolin diangkut dari cairan ekstrasel ke dalam sitoplasma neuron kolinergik oleh
suatu sistem pembawa yang bersamaan dengan masuknya natrium. Enzim koline asetiltransferase (CAT)
mengkatalisis reaksi kolin dengan asetil CoA untuk membentuk asetilkolin dalam sitosol.

2. Penyimpanan asetilkolin dalam vesikel : asetilkolin dikemas ke dalam vesikel-vesikel melalui suatu
proses transpor aktif yang berpasangan dengan keluarnya proton dari sel. Vesikel yang matang tidak
saja mengandung asetilkolin tetapi juga adenosin trifosfat dan proteoglikan.

3. Pelepasan asetilkolin : jika suatu potensial kerja yang dipropagasi oleh kerja kanal bervoltase peka
Na tiba pada suatu ujung saraf, maka kanal-kanal bervoltase peka Ca pada membran prasinaptik
terbuka, yang menyebabkan peningkatan kadar Ca di dalam sel. Peningkatan kadar Ca ini memacu fusi
vesikel-vesikel sinaptik dengan membran sel dan melepas kandungan asetilkolinnya ke dalam celah
sinaps.

4. Ikatan pada reseptor : asetilkolin yang dilepas dari vesikel sinaptik berdifusi melewati ruangan
sinaptik dan mengikat baik reseptor pascasinaptik pada sel sasaran maupun reseptor prasinaptik pada
membran neuron yang melepas asetilkolin. Ikatan pada reseptor ini menimbulkan suatu respons biologi
dalam sel seperti mulainya suatu impuls saraf pada serabut pasca ganglionik atau aktivasi sejumlah
enzim tertentu didalam sel efektor sebagai perantara pada reaksi molekul second messenger .
5. Penghancuran asetilkolin : sinyal pada tempat efektor pasca sambungan secepatnya diakhiri. Proses
ini terjadi di dalam celah sinaptik dengan enzim asetilkolinesterase memecah asetilkolin menjadi kolin
dan asetat.

6. Daur ulang kolin : kolin mungkin ditangkap kembali melalui suatu sistem ambilan kembali berafinitas
tinggi yang berpasangan dengan Na ke dalam neuron, yang kemudian diasetilasi dan disimpan hingga
dilepas lagi oleh potensial kerja berikutnya.

Reseptor Kolinergik

Reseptor kolinergik terdapat dalam semua ganglia, sinaps dan neuron postganglioner sari SP, juga
dipelat pelat ujung motorik (otot lurik) dan di bagian Susunan Saraf Pusat yang disebut sistem
ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap perangsangan, reseptor ini dapat dibagi dalam dua jenis,
yakni reseptor muskarin dan reseptor nikotin, yang masing masing menghasilkan efek berlainan.

A. Reseptor muskarinik

Muskarin adalah derivat-furan yang bersifat sangat beracun dan terdapat sebagai alkalloida pada jamur
merah Amanita muscaria.

Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu suatu alkaloid yang
dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah
terhadap nikotin. Dengan menggunakan studi ikatan (binding study) dan penghambat tertentu, maka
telah ditemukan beberapa subklas reseptor muskarinik seperti M1, M2, M3, M4, dan M5.

Asetilkolin (ACh) bekerja tidak selektif dan merangsang ketiga tipe reseptor M, serupa dengan
adrenalin dan NA dari sistem simpatis (SS), yang juga merangsang secara tak selektif reseptor alfa dan
beta adrenergis. Obat obat yang mengaktifasi reseptor M1, M2, atau M3 secara selektif hingga kini
belum ditemukan.

1. Lokasi reseptor muskarinik : reseptor musfkarinik ini dijumpai dalam ganglia sistem saraf tepi dan
organ efektor otonom, seperti jantung, otot polos, otak dan kelenjar eksorin. Secara khusus, walaupun
kelima subtipe reseptor muskarinik terdafpat dafldam neuron, namun reseptor M1 ditemukan pula
dalam sel parietal lambung, dan reseptor M2 terdapat dalam otot jantung dan otot polos, dan reseptor
M3 ditemukan dalam kelenjar eksokrin dan otot polos. [Catatan; obat oabt yang bekerja muskarinik
lebih peka dalam memacu reseptor muskarinik dalam jaringan tadi, tetapi dalam kadar tinggi mungkin
memacu reseptor nikotinik pula].

2. Mekanisme transduksi sinyal asetilkolin : sejumlah mekfanisme molekular yang berbeda terjadi
dengan menimbulkan sinyal yang disebabkan setelah asetilkolin mengikat reseptor muskarinik. Sebagai
contoh, bila reseptor M1 atau M2 diaktifkan, maka reseptor ini mengalami perubahan konformfasi dan
berinteraksi dengan protein G, yang selanjutnya akan mengaktifkan fosfolipase C. Akibatnya akan terjadi
hidrolisis fosfatidilinositol-(4,5)-bifosfat (PIP2) mejadi diasilgliserol (DAG) dan inositol (1,4,5)-trifosfat
(IP3) yang akan menyebabkan peningkatan kadar Ca intrasel. Kation ini selanjutnya akan berinteraksi
untuk memacu atau menghambat enzim-enzim, atau menyebabkan hiparpolarisasi, sekresi atau
kontraksi. Sebaliknya, aktivasi subtipe M2 pada otot jantung memacu protein G yang menghambat
adenililsiklase dan mempertinggi konduktan K, sehingga denyut dan kontraksiotot jantung akan
menurun.

3. Agonis dan antagonis muskarinik : Beberapa upaya dikerjakan untuk mengembangkan agonis dan
antagonis yang ditujukan terhadap subtipe reseptor spesifik. Sebagai contoh, pirenzepin, obat
antikolinergik trisiklik, secara selektif menghambat reseptor muskarinik M1, seperti yang terdapat pada
mukosa lambung. Dalam dosis terapi, obat ini tidak menimbulkan banyak efek samping seperti halnya
obat yang tidak spesifik terhadap subtipe M1. oleh karena itu, pirenzepin cocok untuk mengobati tukak
lambung dan duodenum.

Subtipe dan karakteristik kolinoseptor

Tipe reseptor

Lokasi

Mekanisme

M1

M2

M3

M4

M5

Nm

NN

Saraf

Jantung, saraf, otot polos

Kelenjar, otot polos, endometrium

? SSP
? SSP

Hubungan neuromusukular otot skletal

Badan sel pascaganglionik, dendrit

IP3, aliran DAG

Penghambatan produksi cAMP, aktivasi kanal K.

IP3, aliran DAG

Penghambatan produksi cAMP.

IP3, aliran DAG

Depolarisasi kanal ion N, K

Depolarisasi kanal ion Na, K

B. Reseptor Nikotin (N)

Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dafpat pula mengenal nikotin, tetapi afinitas lemah terhadap
muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik, namun setelah itu akan menyekat
reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini terdapat didalam sistem saraf pusat (SSP), medula adrenalis,
ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular. Obat obat yang bekerja nikotinik akan memacu
reseptor nikotinik yang terdapat dadflam jaringan tadi. Reseptor nikotinik pada ganglia otonom berbeda
dengan reseptor yang terdapat pada sambungan neuromuskular. Sebagai contoh, reseptor ganglionik
secara selektif dihambat oleh heksametonium, sedangkan reseptor pada sambunan neuromuskular
secara spesifik dihambat oleh tubokurarin.

Reseptor nikotin terutama terdapat dipelat- pelat ujung myoneural dari otot kerangka dan di ganglia
otonom (simpatis dan parasimpatis). Stimulasi reseptor ini oleh kolinergika (neostigmin dan
piridostigmin) menimbulkan efek yang menyerupai efek adrenergika, jadi bersifat berlawanan sama
sekali. Misalnya vasokontriksi dengan naiknya tensi ringan, penguatan kegiatan jantung, juga stimulasi
SSP ringan. Pada dosis rendah, timbul kontraksi otot lurik, sedangkan pada dosis tinggi terjadi
depolarisasi dan blokade neuromuskular.

Mekanisme kerjanya berdasarkan stimulasi penerusan impuls di ganglia simpatis dan stimulasi anak
ginjal dengan sekresi noradrenalin. Disamping itu juga terjadi stimulasi ganglia kolinergis (terutama di
saluran lambung usus dengan peningkatan peristaltik) dan pelat pelat ujung motoris otot lurik,
dimana terdapat banyak reseptor nikotin.

Efek nikotin dari ACh juga terdjadi pada perokok, yang disebabkan oleh sejumlah kecil nikotin yang
diserap kedalam darah melalui mukosa mulut.

Selektifitas parsiil (sebagian) untuk reseptor M dan N terdapat pada kolinergika klasik, seperti
pilokarpin, karbachol, dan aseklidin (glauchofrin). Obat obat ini pada dosis biasa mengaktifasi
beberapa tipe reseptor M tanpa mempengaruhi reseptor nikotin. Sebaliknya, kolinergika lain, seperti
zat zat antikolinesterase (neostigmin, piridostigmin), bekerja tidak selektif.

Kolinergika dapat dibagi menurut cara kerjanya, yaitu zat-zat dengan kerja langsung dan zat-zat dengan
kerja tak langsung.

Bekerja langsung : karbachol, pilokarpin, muskarin, dan arekolin (alkaloid dari pinang). Zat-zat ini bekerja
langsung terhadap organ-organ ujung dengan kerja utama yang mirip efek muskarin dari ACh. Semuanya
adalah zat-zat amonium kwartener yang bersifat hidrofil dan sukar memasuki SSP, kecuali arekolin.

Bekerja tak langsung : zat-zat antikolinesterase seperti fisostigmin, neostigmin, piridostigmin. Obat-obat
ini merintangi penguraian ACh secara reversibel, yakni hanya untuk sementara. Setelah zat-zat tersebut
habis diuraikan oleh kolinesterase, ACh akan segera dirombak lagi.

Agonis Kolinergik Langsung

- Ester kolin, adalah kolin yang terikat pada derivat asetil dengan sebuah ikatan ester. Ikatan ester pada
asetilkolin dan obat-obatan yang terkait dihidrolisa oleh enzim-enzim yang dikenal sebagai
kolinesterase. Golongan obat ini yaitu asetilkolin, metakolin, karbakol, betanekol, dan asam karbamat.

- Alkaloid Kolinomimetik, berasal dari tumbuhan dengan ekstraksi alkali. Secara kimia berbeda dengan
ester kolin dan tidak dimetabolisme oleh kolinesterase.

- Nikotin, adalah salah satu obat yang paling sering digunakan. Nikotin merangsang SSP, melepaskan
epinefrin dari kelenjar adrenal, merangsang, dan kemudian memblok reseptor dalam ganglia dan pada
hubungan neuromuskular.

Penghambat Kolinesterase

Penghambat kolinesterase digolongkan menurut mekanisme kerjanya :

- Penghambat ester karbamil, obatnya : fisostigmin, demekarium, ambenonium, piridostigmin

- Edrofonium

- Penghambat organofosfor, obatnya ; ekotiofat, diisopropilfluorofosfat, paration, malation.

Penggunaan Klinik
Kolinergik terutama digunakan pada :

- Glaukoma, obat yang bekerja dengan jalan midriasis seperti pilokarpin, karbakol, dan prostigmin.

- miastenia gravis, contohnya neostigmin dan piridostigmin

- atonia, misalnya prostigmin, neostigmin.

Efek samping

Efek samping kolinergika adalah sama dengan efek dari stimulasi SP secara berlebihan, antara lain mual,
muntah-muntah, dan diare, juga meningkatnya sekresi ludah, dahak, keringat, dan air mata,
bradycardia, bronchokontriksi, serta depresi pernapasan.

Penggolongan Agonis Kolinergik

1. Agonis kolinergik bekerja langsung

a. Asetilkolin (ACh)

Asetilkolin adalah suatu senyawa amonium kuartener yang tidak mampu menembus membran.
Walaupun sebagai neurotransmiter saraf parasimpatis dan kolinergik, namun dalam terapi zat ini kurang
penting karena beragam kerjanya dan sangat cepat diinaktifkan oleh asetilkolinesterase. Aktivitasnya
berupa muskarinik dan nikotinik. Kerjanya termasuk :

- Menurunkan denyut jantung dan curah jantung

- Menurunkan tekanan darah.

- Kerja lainnya : pada saluran cerna, asetilkolin dapat meningkatkan sekresi saliva, memacu sekresi
dan gerakan usus.

Farmakodinamik

Secara umum farmakodinamik dari ACh dibagi dalam dua golongan, yaitu terhadap : (1) kelenjar
eksokrin dan otot polos, yang disebut efek muskarinik ; (2) ganglion (simpatis dan parasimpatis) dan
otot rangka yang disebut efek nikotinik, pembagian efek ACh ini didasarkan obat yang dapat
menghambatnya, yaitu atropine menghambat khusus efek muskarinik, dan nikotin dalam dosis besar
menghambat efek nikotinik asetilkolin terhadap ganglion. Bila digunakan dosis yang berlebihan maka
atropin, nikotin dan kurare masing masing dapat juga menghambat semua efek muskarinik dan
nikotinik ACh. Efek obat pada dosis toksik ini tidak dianggap sebagai efek farmakologik lagi, karena sifat
selektifnya hilang.

Kegunaan klinis

Jarang digunakan secara klinis


Sediaan dan posologi

Asetilkolin klorida/bromida dapat diperoleh sebagai bubuk kering, dan dalam ampul berisi 200 mg.

Dosis : 10 100 mg IV.

Kontra indikasi

Ulkus peptikum, penyakit arteri koroner, hiperteroid (fibrilasi atrium), asma, obstruksi kandung
kemih mekanis.

Efek samping

Ester kolin dapat mendatangkan serangan iskemia jantung pada penderita angina pektoris, karena
tekanan darah yang menurun mengurangi sirkulasi koroner. Penderita hipertiroidisme dapat mengalami
fibrasi atrium. Gejala keracunan pada umumnya berupa efek muskarinik dam nikotinik yang berlebihan.

Indikasi

Meteorisme (gejala akibat penimbunan gas dalam saluran cerna), atonia kandung kemih dan
retensi urin, feokromositoma (digunakan untuk tes provokasi penyakit ini pada waktu tekanan darah
penderita sedang rendah).

Nama Paten :

Miochol-E ( Novartis Biochemie)

Indikasi : Untuk menimbulkan miosis pada iris setelah pengangkatan lensa pada op katarak,
keratoplasti, indektomi dan op segmen anterior yang lain.

Dosis :0,5-2 ml ke dalam bilik anterior

Perhatian : Agar miosis terjadi dengan cepat, maka gangguan anatomik yaitu sinekia anterior atau
posterior harus diatasi sebelum pemakaian. Gunakan setelah pengangkatan lensa pada katarak. Wanita
hamil dan menyusui

Efek samping : Edema kornea, perkabutan kornea dan dekompensasi kornea, bradikardi, hipotensi,
muka merah, sesak napas dan berkeringat.

Interaksi Obat : Asetilkolin Cl dan karbakol tidak efektif pada pasien yang diterapi dengan AINS
topikal.

b. Betanekol

Betanekol mempunyai struktur yang berkaitan dengan asetilkolin; asetatnya diganti karbamat dan
kolinnya dimetilasi. Oleh karena itu senyawa tidak dihidrolisis oleh asetilkolin esterase, walaupun
sebenarnya dapat dihidrolisis oleh esterase lainnya. Kerja nikotiniknya kecil atau tidak sama sekali ,
tetapi kerja muskariniknya sangat kuat. Kerja utamanya adalah terhadap otot polos kandung kemih dan
saluran cerna. Masa kerjanya berlangsung 1 jam.

* Kerja : Betanekol memacu langsung reseptor muskarinik, sehingga tonus dan motilitas usus
meningkat, dan memacu pula otot detrusor kandung kemih sementara trigonum dan sfingter.

* Aplikasi terapi : untuk pengobatan urologi, obat ini digunakan untuk memacu kandung kemih yang
mengalami alori (atonic bladder), terutama retensi urin pasca persalinan atau pasca bedah non-
obstruksi.

* Efek samping : Betanekol dapat menimbulkan pacuan kolinergik umum. Termasuk dalam pacuan ini
adalah berkeringat, salivasi, kenerahan, penurunan tekanan darah, mual, nyeri abdomen, diare, dan
bronkospasme.

Kegunaan klinis

Menginduksi pengosongan kandung kemih yang tidak terobstruksi. Meningkatkan motilitas saluran
cerna setelah pembedahan.

Sediaan dan posologi

Betanekol klorida tersedia sebagai tablet 5 dan 10 mg atau dalam ampul yang mengandung 5 mg/ml.

Dosis : Dosis oral adalah 10 30 mg, sedangkan dosis subkutan 2,5 5,0 mg. Tidak boleh diberikan IV
atau IM.

Indikasi

Atonia kandung kemih dan retensi urin

c. Karbakol

Karbakol sebagai muskarinik maupun nikotinik. Seperti betaanekol, obat ini adalah suatu ester asam
karbamat dan merupakan substrat yang tidak cocok untuk asetilkolinesterase. Senyawa ini
dibiotransformasi oleh esterase lain dengan lambat sekali. Pemberian tunggal senyawa ini baru berakhir
efeknya setelah 1 jam.

* Kerja : Karbakol berefek sangat kuat terhadap sistem kardiovaskular dan sistem pencernaan karena
aktivitas pacu ganglion-nya dan mungkin tahap awalnya memacu dan kemudian mendepresi sistem
tersebut. Obat ini mampu melepas epinefrin dari medula adrenalis karena kerja nikotiniknya. Penetesan
lokal pada mata, dapat meniru efek asetilkolin yang menimbulkan miosis.

* Penggunaan terapi : Karena potensi tinggi dan masa kerja yang relatif lama, maka obat ini jarang
digunakan untuk maksud terapi, terkecuali pada mata sebagai obat miotikum untuk menyebabkan
kontraksi pupil dan turunnya tekanan dalam bola mata.
* Efek samping : Jika diberikan dalam dosis untuk oftalmologi maka efek sampingnya kecil atau tidak
ada sama sekali.

* Dosis : Pada glaukoma 3 dd 2 gtt dari larutan 1,5-3% (klorida), pada atonia usus/kandung kemih
akut oral 1-3 dd 4 mg.

Kegunaan klinis

Perbaikan gejala penyakit Alzheimer, miotikum untuk glaukoma.

Sediaan dan posologi

Karbakol klorida sebagai tablet 2 mg atau ampul 0,25 mg/ml; pemberian oral cukup efektif dengan dosis
3 kali 0,2 0,8 mg.

Dosis subkutan adalah 0,2 0,4 mg. Preparat ini tidak boleh diberikan IV. Juga tersedia sebagai obat
tetes mata untuk miotikum.

Indikasi

Digunakan sebagai miotikum pada glaukoma dan pada atonia organ dalam.

d. Pilokarpin

Alkaloid pilodkarpin adalah suatu amin tersier dan stabil atau hidrolisis oleh asetilkolinesterase.
Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunanya senyawa ini ternyata sangat lemah. Pilokarpin
menunjukkan aktivitas muskarinik dan terutama digunakan untuk oftalmolgi

Kerja : Penggunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi otot
siliaris. Pada mata akan terjadi suatu spasme akomodasi dan penglihatanakan terpaku pada jarak
tertentu, sehingga sulit untuk memfokus suatu objek.

[Catatan : efek yang berlawanan dengan atropin, suatu penyekat muskarinik

pada mata].

Pilokarpin adalah salah satu pemacu sekresi kelenjar keringat, air mata

dan saliva, tetapi

obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian.

* Penggunaan terapi pada glaukoma : Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang
dapat menurunkan tekanan bola mata baika glaukoma bersudut sempit (disebut juga bersudut tertutup)
maupun bersudut lebar (bersudut terbuka). Obat ini sangat efektif untuk membuka anyaman trabekular
disekitar kanal Schlemm, sehingga tekanan dalam bola mata turun dengan segera akibat cairan humor
keluar dengan lancar. Kerjanya ini dapat berlangsung dalam sehari dan dapat diulangi kembali. Obat
penyekat kolinesterase seperti isoflurotat dan ekotiofat, bekerja lebih lama lagi. [Catatan : obat
penghambat karbonik anhidrase, seperti azetazolamid, epinefrin, dan penyekat beta adrenergik, timolol,
efektif pula untuk pengobatan glaukoma kronik, tetapi tidak dapat digunakan dalam keadaan gawat
menurunkan bola mata].

* Efek samping : Pilokarpin dapat mencapai otak dan menimbulkan gangguan SSP. Obat ini
merangsang keringat dan salivasi yang berlebihan.

Kegunaan klinis

Uji keringat fibrosis kistik, glaukoma (miotikum).

Indikasi

Sebagai miotikum pada glaukoma

Dosis : pada glaukoma 2 4 dd 1 2 tetes larutan 1 -2 % (klorida, nitrat).

Nama paten :

Cendo Carpine ( Cendo )

Tiap 5 ml tetes mata : pilokarpine HCl 1%, 2%, 4%

Indikasi : Anti glaukoma simplek kronis

Kemasan : Botol 5ml 1% ; 2%; 3%; 4%; 6% 15 ml 1%; 2%; 3%; 4%; 6%

Epicarpine ( Cendo )

Tiap ml tetes mata ; Pilokarpin -HCl 20 mg, epinefrin 10 mg

Indikasi : Glaukoma terbuka

Kontra Indikasi : Glaukoma tertutup.

Kemasan : Botol 5 ml, 15 ml

2. Antikolinesterase (reversible)

Fisostigmin

Fisostigmin adalah suatu alkaloid (senyawa nitrogen yang terdapat pada tumbuhan) yang merupakan
amin tersier. Obat ini merupakan substrat untuk kolinesterase, dan membentuk senyawa perantara
enzim-substrat yang relatif stabil yang berfungsi meng-inaktifkan secara reversibel-substrat yang relatif
stabil yang berfungsi meng-inaktifkan secara reversibel asetilkolin asetilkolinesterase. Akibatnya terjadi
potensiasi aktivitasi kolinergik diseluruh tubuh.
* Kerja : fisostigmin bekerja cukup luas karena mampu memacu tidak saja tempat muskarinik dan
nikotinik sambungan neuromuskular. Lama kerja sekitar 2-4 jam. Obat ini dapat mencapai dan memacu
SSP.

* Penggunaan terapi : obat ini meningkatkan gerakan usus dan kandung kemih, sehingga berkhasiat
untuk mengobati kelumpuhan kedua organ tersebut. Bila diteteskan pada mata, maka akan timbul
miosis dan kekakuan akomodasi dan penurunan tekanan bola mata. Obat ini digunakan untuk
mengobati glaukoma, tetapi pilokarpin sebenarnya lebih efektif. Fisostigmin digunakan pula untuk
mengobati kerja antikolinergik yang berlebihan seperti atropin dalam dosis berlebihan, fenotiazin, dan
obat antidepresi trisiklik.

* Efek samping : Efek fisostigmin terhadap SSP mungkin menimbulkan kejang bila diberikan dalam
dosis besar. Dapat terjadi pula bradikardia. Hambatan terhadap asetilkolinesterase pada sambungan
neuromuskular justru menimbulkan penumpukan asetilkolin dan pasti terjadi kelumpuhan otot rangka.
Namun demikian efek tadi jarang ditemukan bila obat digunakan dalam dosis terapetik

Kegunaan klinis :Glaukoma.

Farmakokinetik : Mudah diserap melalui saluran cerna. Dihidrolisa oleh kolinesterase.

Nama paten : Eserine ( Cendo )

Tetes mata : Fisostigmina salisilat 0,25%.

Indikasi : glaukoma, zat hambat kolinesterase memberi aktivis miotik.

Kontra indikasi : penderita yang tidak memerlukan kontriksi seperti pada iritasi akut.

Kemasan : Botol 5ml, 15ml.

b. Neostigmin

Neostigmin adalah suatu seyawa sintetik yang dapat menghambat asetilkolinesterase secara reversibel
seperti fisostigmin. Tetapi tidak seperti fisostigmin, obat ini lebih polar dan oleh sebab itu tidak dapat
masuk ke dalam SSP. Efeknya terhadap otot rangka lebih kuat dibanding fisostigmin, dan dapat memacu
kontraktivitas sebelum terjadi kelumpuhan. Masa kerja obat ini sedang saja biasanya 2-4 jam. Obat ini
digunakan untuk memacu kandung kemih, dan saluran cerna, serta sebagai antidotum keracunan
tubokuranin dan obat penyekat neuronuskular kompetitif lainnya. Neostigmin juga bermanfaat sebagai
terapi simtomatik pada miastenia gravis , suatu penyakit autoimun yang disebabkab oleh antibodi
terhadap reseptor nikotinik yang terikat pada reseptor asetilkolin dari sambungan neuromuskular.
Keadaan ini menimbulkan degradasi (penghancuran) reseptor nikotinik tersebut sehingga jumlahnya
berkurang untuk berinteraksi dengan neurotransmiter. Efek samping neurotransmiter termasuk
diantaranya kerja pacuan kolinergik secara umum seperti salivasi, muka merah dan panas, menurunnya
tekanan darah, mual, nyeri perut, diare dan bronkopasme.
Dosis : Pada myastenia oral rata-rata 150 mg sehari dalam 4-6 dosis (bromida), pada glaukoma 1-2 tetes
3-5% larutan metilsulfat.

Kegunaan klinis : Diagnosa dan pengobatan miastenia gravis, ileus paralitik, atoni otot detrusor
kandung kemih, pemulihan blokade neuromuskular setelah anastesi.

Farmakokinetik : Diserap secara parenteral, dihancurkan dalam saluran cerna. Molekul bermuatan.
Tidak melewati sawar darah otak.

Nama Paten : Prostigmin ( Combiphar, ICN )

Neostigmina sebagai garam metil sulfat 0,5 mg/ampul.

Indikasi : mastenia grafis, pencegahan dan pengobatan distensi sesudah operasi dan retensi kemih,
pembalikan efek zat blok neuromuskulus non depolarisasi.

Kontra indikasi : Hipersensitifitas, pasien peka bromida, peritonitis atau penyumbatan mekanik saluran
cerna atau saluran kemih.

Efek samping : gangguan fungsi saraf, gangguan pembuluh darah, intoksikasi saluran cerna.

Interaksi obat : antibiotik tertentu seperti neomisina streptomisina, dan kanamisina, menunjukkan
keaktifan blok depolar ringan tetapi nyata, yang dapat menguatkan blok neuromuskulus.

Kemasan : Ampul 0,5 mg/ml, dos 5 ampul 1 ml

c. Piridogstigmin

* Piridogstrigmin adalah penghambat kolinesterase lain yang digunakan untuk pengobatan jangka
panjang miastenia gravis. Masa kerjanya lebih panjang (3-6 jam) dari neostigmin (sekitar 2-4 jam).

* Efek sampingnya lebih ringan dan terutama berupa gangguan lambung-usus. Mulai kerjanya lebih
lama.

* Dosis : oral 3-4 dd 30 mg (bromida)

* Kegunaan klinis : miastenia gravis

d. Edrofonium

* Kerja edrofonium mirip dengan kerja neostigmin, kecuali obat ini lebih cepat diserap dan masa
kerjanya lebih singkat (sekitar 10-20 menit). Edrofonium adalah amin kuartener digunakan untuk
mendiagnosa miastenia gravis. Injeksi intravena endrofonium menyebabkdan peningkatan kekuatan
otot dengan cepat. Kelebihan dosis dari obat ini harus diperhatikan karena mungkin menimbulkan efek
kolinergik. Atropin adalah antidotumnya.

3. Antikolinesterase (Irreversibel)
a. Isoflurofat

* Mekanisme kerja : Isoflurofat adalah organosfat yang terikat secara kofalen pada serin OH pada
sisi aktif asetikolinesterase. Sekali terikat, maka enzim menjadi tidak aktif secara permanen, dan
restorasi (pemulihan kembali) aktifitas asetikolinesterase memerlukan sintesis molekul enzim baru.
Setelah terjadi modifikasi kovalen asetikolinesterase, maka enzim yang terfosforikasi akan melepas
secara perlahan satu gugus isopropilnya. Kehilangan satu gugus akil. Yang sering disebut penuaan,
menjadi sulit sekali bagi reaktivator kimia seperti pradiloksin, untuk memecah ikatan antarasisa obat
dan enzim. Obat saraf yang baru, ditujukan untuk militer, bekerja setelah beberapa menit atau detik,
sedangkan DFT dalam 6-8 jam.

* Kerja : kerja obat ini meliputi pacuan kolinergik umum, kelumpuhan fungsi motor (yang
menimbulkan kesulitan bernafas) dan kejang. Koflurofat menimbulkan pola miosis kuat dan bermanfaat
terapeutik. Atropin dosis besar mampu melawan semua efek sentral isoflurofat.

* Penggunaan terapi : Bentuk salep mata ini digunakan secara topikal dalam jangka panjang pada
pengobatan glaukoma sudut terbuka. Efeknya berakhir mendekati satu minggu setelah penetesan
tunggal .[Catatan : ektiofat adalah obat baru yang terikat pula secara kovalen pada asetilkolinesterase.
Kegunaanya sama dengan isoflurofat.

* Reaktifitas asetilkolinesterase : Pralidoksim (PAM) adalah senyawa piridinium sintetik yang mampu
menginaktifkan kembali asetilkolinesterase yang terhambat. Keberadaan gugus bermuatan dari obat ini
memungkinkan pendekatan ditempat anionik enzim dimana tempat ini sangat penting untuk menggeser
organofosfat dan meregenerasi enzim. Bila obat diberikan sebelum terjadinya penuaan enzim yang
teralkilasi terjadi, maka tentu dapat menghilangkan efek soflurofat terkecuali didalam SSP. Tetapi
dengan adanya obat saraf yang baru yang mampu menuakan kompleks enzim dalam beberapa detik
saja, maka pralidoksim menjadi kurang efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Mycek, J, Mery, dkk, 2000. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2, Widya Medika : Jakarta.

Ganiswarna, 1998. Farmakologi dan Terapi , Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta

Tan Hoan Tjay, Kirana R, 2001, Obat-Obat Penting, Khasiat dan Penggunaan , DirJen POM RI : Jakarta.

Olson, James, 2000. Belajar Mudah Farmakologi , Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta.

Tim Penyusun. Informasi Spesialite Obat Indonesia. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. Jakarta.
OBAT OTONOMIK

OBAT OBAT OTONOMIK

Bagian motor sistem saraf dapat dibagi menjadi 2 subdivisi utama, yaitu divisi otonom dan divisi
somatik. Sistem saraf otonom umumnya bersifat otonom, dimana aktifitasnya tidak dibawah pengaruh
langsung kesadaran. Sistem saraf otonom terutama berhubungan dengan fungsi visera curah jantung,
aliran darah ke berbagai organ, pencernaan dan sebagainya yang sangat penting untuk kehidupan. Divisi
somatik umumnya tidak otonom dan berhubungan dengan fungsi organ yang terkontrol secara sadar
seperti bergerak, bernapas, dan bersikap. Kedua sistem tadi memperoleh masukan aferen penting yang
membawa sensasi dan memodifikasi keluaran motoris melalui arkus refleks dalam berbagai ukuran dan
kompleksitasnya.

Sistem saraf berkaitan erat dengan sistem penting lainya untuk mengontrol fungsi tubuh, termasuk
integrasi tingkat tinggi di otak, yang mempengaruhi proses dalam tubuh dan fungsi umpan balik yang
meluas. Kedua sistem tadi menggunakan zat kimia untuk transmisi informasinya. Pada sistem saraf,
transmisi kimiawi terjadi antara sel-sel saraf dan antara sel-sel saraf dengan sel-sel efektornya. Transmisi
kimiawi ini berlangsung lewat pelepasan sejumlah kecil substansi transmiter dari ujung saraf ke dalam
celah sinaptik. Transmiter menyebrangi celah secara difusi dan mengaktifkan atau menghambat sel
pascasinaptik dengan berkaitan langsung pada suatu molekul reseptor khusus.

Dengan menggunakan obat yang meniru atau menghambat kerja transmiter kerja kimia tadi, maka
secara selektif kebanyakan fungsi otonom dapat dimodifikasi. Termasuk diantaranya sejumlah fungsi
jaringan efektor, seperti otot jantung, otot polos, endothelium vaskular, kelenjar dan juga ujung saraf
presinaptik. Obat otonom seperti ini berguna sekali pada berbagai kondisi klinis tertentu. Namun
sebaliknya, sejumlah besar obat yang digunakan untuk tujuan lain mempunyai efek yang tidak
diinginkan pada fungsi otonomik.

PENGERTIAN OBAT OTONOMIK

Obat otonomik adalah obat yang mempunyai efek memperbesar/ menghambat aktivitas SSO (simpatik
dan parasimpatik) dengan jalan menggangggu sintesa,penimbunan,pembebasan,atau penguraian
neurotransmitter ataumempengaruhi kerjanya atas reseptor khusus.

Macam SSO dan dibagi dua divisi:

1. Sistem parasimpatik: cranio sacral division (ujung saraf mengeluarkan asetilkolin kolinergik)

2. Sistem simpatik: thoracal lumbar division (ujung saraf mengeluarkan norepineprin (dulu diduga
adrenalin adrenergik)

Reseptor SSO dibagi dua divisi:

1. Reseptor adrenergik: alfa (1,2); beta (1,2,3)

2. Reseptor kolinergik: muskarinik, nikoti|


nik

Menurut khasiatnya, obat otonom dapat digolongkan sebagai berikut:

Zat yang bekerja pada SP :

1. Parasimpatomimetik atau kolinergik mempunyai efek seperti asetilkolin (parasimpatik)

2. Parasimpatolitik atau penghambat/antagonis kolinergik menghambat efek asetilkolin

Zat yang bekerja pada SO :

1. Simpatomimetik atau adrenergik efek seperti norepineprin (simpatik)

2. Simpatolitik atau penghambat/antagonis adrenergik menghambat efek norepineprin (mencegah


respon pd reseptor)

Zat-zat perintang ganglion

Yaitu zat yang merintangi penerusan impuls dalam sel-sel ganglion simpatis dan parasimpatis.

Kolinergik

Kolinergik adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi susunan
parasimpatis, karena melepaskan neurohormon (Ach) di ujung-ujung neuronnya.

Ada 2 macam reseptor kolinergik:

Reseptor muskarinik: merangsang otot polos dan memperlambat denyut jantung

Reseptor nikotinik/ neuromuskular mempengaruhi otot rangka

Penggolongan Kolinergik :

Kolinergik dapat dibagi menurut cara kerjanya, yaitu zat-zat dengann kerja langsung dan zat-zat dengan
kerja tidak langsung.

Bekerja langsung :

Cholinester (asetil kolin, metakolin, karbakol, betanekol)

Alkaloid yang berkasiat seperti asetikolin (muskarin, pilokarpin, arekolin)


Bekerja tak langsung :

Anti Cholinesterase (fisostigmin,neostigmin,dan piridostigmin)

Farmakodinamik Kolinergik

Meningkatkan TD

Meningkatkan denyut nadi

Meningkatkan kontraksi saluran kemih

Meningkatkan peristaltik

Konstriksi bronkiolus (kontra indikasi asma bronkiolus)

Konstriksi pupil mata (miosis)

Antikolinesterase: meningkatkan tonus otot

Menekan SSP

Efek Samping

Asma bronkial dan ulcus peptikum (kontraindikasi)

Iskemia jantung, fibrilasi atrium

Toksin; antidotum atropin dan epineprin

Selain itu juga menyebabkan mual.,muntah,dan diare

Indikasi

Ester kolin: tidak digunakan pengobatan (efek luas dan singkat), meteorismus, (kembung), retensio
urine, glaukoma, paralitic ileus, intoksikasi atropin/ alkaloid beladona, faeokromositoma

Antikolinesterase: atonia otot polos (pasca bedah, toksik), miotika (setelah pemberian atropin pd
funduskopi), diagnosis dan pengobatan miastemia gravis (defisiensi kolinergik sinap), penyakit Alzheimer
(defisiensi kolinergik sentral)

Intoksikasi

Efek muskarinik: mata hiperemis, miosis kuat, bronkostriksi, laringospasme, rinitis alergika, salivasi,
muntah, diare, keringat berlebih
Efek nikotinik: otot rangka lumpuh

Efek kelainan sentral: ataksia, hilangnya refleks, bingung, sukar bicara, konvulsi, koma, nafas Cheyne
Stokes, lumpuh nafas

Alkaloid Tumbuhan

Tumbuhannya:

Muskarin (jamur Amanita muscaria),

Pilokarpin (Pilocarpus jaborandi dan P.microphyllus)

Arekolin (Areca catechu = pinang)

Efek umumnya muskarinik

Intoksikasi: bingung, koma, konvulsi

Indikasi: midriasis (pilokarpin)

Obat Kolinergik Lain

Metoklopramid: digunakan untuk memperlancar jalanya kontras radiologik, mencegah dan


mengurangi muntah

Kontraindikasi: obstruksi, perdarahan, perforasi sal cerna, epilepsi, gangguan ektrapiramidal

Sisaprid: untuk refluk gastroesofagial, gangguan mobilitas gaster, dispepsia

Efek samping: kolik, diare

Obat Anti Kolinergik

Obat parasimpatikolitika adalah obat yang menghambat efek kolinergik yang muscarik, tidak efek
nikotinik karena itu juga disebut antimuskarinik/ antagonis kolinergik/ antispasmodik.

Macam obat antimuskarinik :

a. Alkaloid beladona (atropin,skopalamin,dan homatropin)

Atropin

Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen

SSP merangsang n.vagus frekuensi jantung berkurang


Mata midriasis

Saluran nafas mengurangi sekret hidung, mulut, farink dan bronkus

Kardiovaskuler frekuensi berkurang

Saluran cerna antispasmodik (menghambat peristaltik lambung dan usus)

Otot polos dilatasi saluran kemih

Eksokrin saliva, bronkus, keringat kering

mudah diserap, hati2 untuk tetes mata masuk hidung absorbsi sistemik keracunan

Efek samping: mulut kering, gangguan miksi, meteorismus, dimensia, retensio urin, muka merah

Gejala keracunan: pusing, mulut kering, tidak dapat menelan, sukar bicara, haus, kabur, midriasis,
fotopobia, kulit kering dan panas, demam, jantung tachicardi, TD naik, meteorismus, bising usus hilang,
oligouria/anuria, inkoordinasi, eksitasi, bingung, delirium, halusinasi

Diagnosis keracunan: gejala sentral, midriasis, kulit merah kering, tachikardi

Antidotum keracunan: fisostigmin 2 4 mg sc dapat menghilangkan efek SSP dan anhidrosis

Dosis atropin: 0,25 1 mg

Indikasi: parkinsonisme, menimbulkan midriasis (funduskopi), antispasmodik, mengurangi sekresi


lendir sal nafas (rinitis), medikasi preanestetik (mengurangi lendir sal nafas)

Skopolamin

Derivat-epoksi dari atripin bekerja lebih kuat

Efek sentralnya kira-kira 3kali lebih kuat

Digunakan sebagai obat mabuk jalan dalam bentuk plester

Digunakan sebagai mediatrikum

Digunakan sebagai obat anti kejang lambung-usus

Digunakan sebagai premedikasi anestesi

Dosis transkutan sebagai plester 1,5 mg skopolamin

b. Zat amonium kwaterner (propantein,ipratropium dan tiotropium)


Propantein

Dosis tinggiefek kurare(mengendurkan otot-otot lurik rangka)

Banyak digunakan pada tukak lambung,gastritis dan kejang-kejang lambung-usus

Dosis oral 3 dd 15 mg(HBr)

Ipratropium

Digunakan sebagai inhalasi pada asma dan bronkhitis

Khasiat bronkhodilatasi dengan mengurangi hipersekresi dahak

Tiotropium

Digunakan sebagai inhalasi pada asma dan bronkhitis

Khasiat bronkhodilatasinya lebih lama dari pada ipratropium

Dosis 1x sehari

c. Zat amin tersier (pirenzepin,flavoxat,oksibutinin,tolterodin,dan tropicamida)

Pirenzepin

Pada dosis tinggi menghambat reseptor di organ-organ(jantung,mata,lambung-usus,urogenital)

Pada dosis rendah menghambat secara selektif reseptor muscarin-M dalam sel-sel parietal lambung
yang membentuk Hcl

Digunakan dalam tukak lambung-usus dan gastritis

Dosis oral 2 dd 50 mg pada pagi hari

Flovoxat

Berkhasiat merelaksasi langsung terhadap otot kandung kemih

Berdaya lokal anestetis dan analgetis

Kontra indikasitidak boleh digunakan pada pasien glaukoma dan pada gangguan fungsi ginjal

Dosispada urge-inkontinensi 3 dd 200-400 mg (garam HCl)

Oksibutinin

Khasiatspasmolitis pada otot polos kandung kemih


Digunakan khusus pada urge-inkontinensi urin untuk mengurangi hasrat berkemih,juga pada kejang-
kejang kandung kemih akibat iritasi oleh kateter

Dosisoral 3 dd 2,5 mg(HCl), bila perlu 3-4 dd 5 mg

Tolterodin

Khasiatnya anti kolinergis sedang

Digunakan pada urge-inkontinensi kemih

Dosis oral 3dd 2,5-5 mg(tartrat)

Tropicamida

Khasiat anti kolinergis kuat

Digunakan sebagai midriatikum untuk diagnosa

Pada dosis lebih besar(larutan 1%) berefek cycloplegismelumpuhkan akomodasi

Dosis untuk midriasis 1-2 tetes larutan 0,5% minimal 15mnt sebelum pemeriksaan mata

Efek Anti Kolinergik

Meningkatkan denyut nadi

Mengurangi sekresi mukus

Menurunkan peristaltik

Dilatasi pupil mata (midriasis)

Merangsang SSP

Mengurangi tonus dan motilitas saluran

Penggunaan

Sebagai midriatikum

Sebagai spasmolitikum

Pada inkontinensi urin

Pada parkinsonisme

Pada asma dan bronkhihis

Sebagai premedikasi pra-bedah


Sebagai zat anti-mabuk jalan

Pada hiperdrosus

Sebagai zat penawar pada intoksikasi

Adrenergik

Obat simpatomimetik disebut adrenergik/agonis adrenergik memulai respon pada tempat reseptor
adrenergik.

Reseptor adrenergik: alfa1 ,alfa2, beta1 dan beta2

Norepineprin dilepaskan oleh ujung saraf simpatis merangsang reseptor untuk menimbulkan
respon

Melepaska noradrenalin (NA) di ujung saraf-sarafnya

Efek Adrenergik

Alfa1:

Meningkatkatkan kontraksi jantung

Vasokontriksi: meningkatkan tekanan darah

Midriasis: dilatasi pupil mata

Kelenjar saliva: pengurangan sekresi

Alfa2:

Menghambat pelepasan norepineprin

Dilatasi pembuluh darah (hipotensi)

Menurunnya peristaltik

Beta1:

Meningkatkan denyut jantung

Menguatkan kontraksi jantung


Beta2:

Dilatasi bronkiolus

Relaksasi peristaltik GI dan uterus

Contoh Obat Adrenergik

1. Epineprin

2. Norepineprin

3. Isoproterenol

4. Dopamin

5. Dobutamin

6. Amfetamin

7. Metamfenamin

8. Efedrin

9. Metoksamin

10. Fenilefrin

11. Mefentermin

12. Metaraminol

13. Fenilpropanolamin

14. Hidroksiamfetamin

15. Etilnorepineprin

Obat Simpatolitik

Obat simpatolitik adalah obat yang menghambat efek obat simpatomimetik atau penghambat
/antagonis adrenergik

Efek Simpatolitik

Menurunkan tekanan darah (vasodilatasi)

Menurunkan denyut nadi


Konstriksi bronkiolus

Kontraksi uterus

Reseptor adrenergik: alfa1, beta1 dan beta2

Penggolongan Simpatoplegik

Antagonis adrenoseptor alfa (alfa bloker)

Alfa Blocker

Zat-zat ini memblokir reseptor alfa yang banyak terdapat di jaringan otot polos dari kebanyakan
pembuluh, khususnya dalam pembuluh kulit dan mukosa. Efek utamanya adalah vasodilatasi perifer,
maka banyak dipergunakan pada hipertensi dan hipertrofi prostat.

Dikenal 3 jenis alfa-blocker :

Alfa bloker non selektif

Alfa1 bloker selektif

Alfa2 bloker selektif

Antagonis adrenoseptor beta (beta bloker)

Beta Blocker

Digunakan untuk gangguan jantung (aritmia, angina petoris) untuk meringankan kepekaan organ,
membagi rangsangan seperti kerja berat, emosi strees, dan hipertensi.

Terdiri dari 2 kelompok:

Zat-zat 1 selektif

Zat-zat tak selektif

Penghambat Saraf Adrenergik

Menghambat aktivitas saraf adrenergik berdasar gangguan sintesis, atau penyimpanan dan pelepasan
neurotransmiter di ujung saraf adrenergik

Sediaan; guanetidin, guanadrel, reserpin, metirosin

Guanetidin khusus digunakan pada jenis glaukoma tertentu


Obat Pelumpuh Otot

Obat ini digunakan untuk mengadakan relaksasi otot bergaris (reposisi tulang), atau untuk menangkap
binatang buas hidup2

Cara kerja: kompetitif antagonis dengan asetilkolin pada reseptor nikotinik di motor end plate

Contoh: d-tubocurarine, gallamine, pancuronium, succinilkolin, decametonium, metokurin,


vekuronium, atrakurium, alkuronium, heksafluorenium

MEKANISME KERJA OBAT OTONOMIK

Obat otonom mempengaruhi transmisi neurohumoral/transmitor dengan cara menghambat atau


mengintensifkannya.

Mekanisme kerja obat otonomik timbul akibat interaksi obat dengan reseptor pada sel organisme.

Terjadi perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respon khas oleh obat tersebut.

Pengaruh obat pada transmisi sistem kolinergik maupun adrenergik, yaitu :

1. Hambatan pada sintesis atau pelepasan transmitor

a. Kolinergik

Hemikolonium menghambat ambilan kolin ke dalam ujung saraf dengan demikian mengurangi sintesis
ACh.

Toksin botulinus menghambat penglepasan ACh di semua saraf kolinergik sehingga dapat
menyebabkan kematian akibat paralisis pernafasan perifer. Toksin ini memblok secara irreversible
penglepasan ACh dari gelembung saraf di ujung akson dan merupakan salah satu toksin paling proten.
Diproduksi oleh bakteri Clostridium botulinum.

Toksin tetanus mempunyai mekanisme kerja yang serupa.

b. Adrenergik

Metiltirosin memblok sntesis NE dengan menghambat tirosin hidroksilase yaitu enzim yang
mengkatalisis tahap penentu pada sntesis NE.

Metildopa menghambat dopa dekarboksilase

Guanetidin dan bretilium menggangu penglepasan dan penyimpanan NE.

2. Menyebabkan pelepasan transmitor

a. Kolinergik
Racun laba-laba black widow menyebabkan penglepasan ACh (eksositosis) yang berlebihan, disusul
dengan blokade penglepasan ini.

b. Adrenergik

Tiramin, efedrin, amfetamin dan obat sejenis menyebabkan penglepasan NE yang relatif cepat dan
singkat sehingga menghasilkan efek simpatomimetik.

Reseprin memblok transpor aktif NE ke dalam vesikel, menyebabkan penglepasan NE secara lambat
dari dalam vesikel ke aksoplasma sehingga NE dipecah oleh MAO. Akibatnya terjadi blokade adrenergik
akibat pengosongan depot NE di ujung saraf.

3. Ikatan dengan receptor

Agonis adalah obat yang menduduki reseptor dan dapat menimbulkan efek yang mirip dengan efek
transmitor.

Antagonis atau blocker adalah obat yang hanya menduduki reseptor tanpa menimbulkan efek
langsung, tetapi efek akibat hilangnya efek transmitor karena tergesernya transmitor dari reseptor.

4. Hambatan destruksi transmitor

A. Kolinergik

Antikolinesterase kelompok besar zat yang menghambat destruksi ACh karena menghambat AChE,
dengan akibat perangsangan berlebihan di reseptor muskarinik oleh ACh dan terjadinya perangsangan
yang disusul blokade di reseptor nikotinik.

B. Adrenergik

Kokain dan imipramin mendasari peningkatan respon terhadap perangsangan simpatis akibat
hambatan proses ambilan kembali NE setelah penglepasanya di ujung saraf. Ambilan kembali NE setelah
penglepasanya di ujung saraf merupakan mekanisme utama penghentian transmisi adrenergik.

Pirogalol (penghambat COMT) sedikit meningkatkan respons katekolamin.

Tranilsipromin, pargilin, iproniazid dan nialamid (penghambat MAO) meningkatkan efek tiramin tetapi
tidak meningkatkan efek katekolamin.

Daftar Pustaka

Bertram G. Katzung.1997.Farmakologi Dasar dan Klinik.Jakarta.EGC

Tan Hoan Tjay, Kirana Rahadja.2007.Obat-obat Penting.Jakarta.PT.Elex Media komputindo


Obat Kolinergik

Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang
sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh)
diujung-ujung neuronnya. Tugas utama SP adalah mengumpulkan energi dari makanan dan
menghambat penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron SP dirangsang, timbullah
sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti:
stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah
lambung (HCl), juga sekresi air mata, dan lain-lain, memperkuat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi
kegiatan jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah, memperlambat pernafasan, antara lain
dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot mata dengan efek
penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air
mata, kontraksi kantung kemih dan ureter dengan efek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi
pembuluh dan kotraksi otot kerangka, menekan SSP setelah pada permulaan menstimulasinya (Tan
Hoan Tjay & Rahardja, 2002).

Reseptor kolinergika terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron postganglioner dari SP, juga
pelat-pelat ujung motoris dan di bagian Susunan Saraf Pusat yang disebut sistem ekstrapiramidal.
Berdasarkan efeknya terhadap perangsangan, reseptor ini dapat dibagi menjadi 2 bagian, yakni: (Tan
Hoan Tjay & Rahardja, 2002).

A. Reseptor Muskarinik

Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu suatu alkaloid yang
dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah
terhadap nikotin. Dengan menggunakan study ikatan dan panghambat tertentu, maka telah ditemukan
beberapa subklas reseptor muskarinik seperti M1, M2, M3, M4, M5. Reseptor muskarinik dijumpai
dalam ganglia sistem saraf tepi dan organ efektor otonom, seperti jantung, otot polos, otak dan kelenjar
eksokrin. Secara khusus walaupun kelima subtipe reseptor muskarinik terdapat dalam neuron, namun
reseptor M1 ditemukan pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M2 terdapat dalam otot polos
dan jantung, dan reseptor M3 dalam kelenjar eksokrin dan otot polos. Obat-obat yang bekerja
muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor muskarinik dalam jaringan tadi, tetapi dalam kadar tinggi
mungkin memacu reseptor nikotinik pula (Mary J. Mycek, dkk, 2001).
Sejumlah mekanisme molekular yang berbeda terjadi dengan menimbulkan sinyal yang disebabkan
setelah asetilkolin mengikat reseptor muskarinik. Sebagai contoh, bila reseptor M1 atau M2 diaktifkan,
maka reseptor ini akan mengalami perubahan konformasi dan berinteraksi dengan protein G, yang
selanjutnya akan mengaktifkan fosfolipase C. Akibatnya akan terjadi hidrolisis fosfatidilinositol-(4,5)-
bifosfat (PIP2) menjadi diasilgliserol (DAG) dan inositol (1,4,5)-trifosfat (IP3) yang akan meningkatkan
kadar Ca++ intrasel. Kation ini selanjutnya akan berinteraksi untuk memacu atau menghambat enzim-
enzim atau menyebabkan hiperpolarisasi, sekresi atau kontraksi. Sebaliknya, aktivasi subtipe M2 pada
otot jantung memacu protein G yang menghambat adenililsiklase dan mempertinggi konduktan K+,
sehingga denyut dan kontraksi otot jantung akan menurun (Mary J. Mycek, dkk, 2001).

B. Reseptor Nikotinik

Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin, tetapi afinitas lemah terhadap
muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik, namun setelah itu akan menyekat
reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini terdapat di dalam sistem saraf pusat, medula adrenalis,
ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular. Obat-obat yang bekerja nikotinik akan memacu
reseptor nikotinik yang terdapat di jaringan tadi. Reseptor nikotinik pada ganglia otonom berbeda
dengan reseptor yang terdapat pada sambungan neuromuskulular. Sebagai contoh, reseptor ganglionik
secara selektif dihambat oleh heksametonium, sedangkan reseptor pada sambungan neuromuskular
secara spesifik dihambat oleh turbokurarin (Mary J. Mycek, dkk, 2001). Stimulasi reseptor ini oleh
kolenergika menimbulkan efek yang menyerupai efek adrenergika, jadi bersifat berlawanan sama sekali.
Misalnya vasokonstriksi dengan naiknya tensi ringan, penguatan kegiatan jantung, juga stimulasi SSP
ringan. Pada dosis rendah, timbul kontraksi otot lurik, sedangkan pada dosis tinggi terjadi depolarisasi
dan blokade neuromuskuler (Tan Hoan Tjay & Rahardja, 2002).

Kolinergika dapat dibagi menurut cara kerjanya, yaitu zat-zat dengan kerja langsung dan zat-zat dengan
kerja tak langsung. Kolinergika yang bekerja secara langsung meliputi karbachol, pilokarpin, muskarin,
dan arekolin (alkaloid dari pinang, Areca catechu). Zat-zat ini bekerja secara langsung terhadap organ-
organ ujung dengan kerja utama yang mirip efek muskarin dari ACh. Semuanya adalah zat-zat amonium
kwaterner yang bersifat hidrofil dan sukar larut memasuki SSP, kecuali arekolin (Tan Hoan Tjay &
Rahardja, 2002).

Sedangkan kolinergika yang bekerja secara tak langsung meliputi zat-zat antikolinesterase seperti
fisostigmin, neostigmin, dan piridogstimin. Obat-obat ini merintangi penguraian ACh secara reversibel,
yakni hanya untuk sementara. Setelah zat-zat tersebut habis diuraikan oleh kolinesterase, ACh segera
akan dirombak lagi. Disamping itu, ada pula zat-zat yang mengikat enzim secara irreversibel, misalnya
parathion dan organofosfat lainnya. Kerjanya panjang, karena bertahan sampai enzim baru terbentuk
lagi. Zat ini banyak digunakan sebagai insektisid beracun kuat di bidang pertanian (parathion) dan
sebagai obat kutu rambut (malathion). Gas saraf yang digunakan sebagai senjata perang termasuk pula
kelompok organofosfat ini, misalnya Sarin, Soman, dan sebagainya (Tan Hoan Tjay & Rahardja, 2002).

Salah satu kolinergika yang sering digunakan dalam pengobatan glaukoma adalah pilokarpin. Alkaloid
pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolisis oleh asetilkolenesterase. Dibandingkan
dengan asetilkolin dan turunannya, senyawa ini ternyata sangat lemah. Pilokarpin menunjukkan
aktivitas muskarinik dan terutama digunakan untuk oftamologi. Penggunaan topikal pada kornea dapat
menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi otot siliaris. Pada mata akan terjadi suatu spasme
akomodasi, dan penglihatan akan terpaku pada jarak tertentu, sehingga sulit untuk memfokus suatu
objek. Pilokarpin juga merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar
keringat, air mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian. Pilokarpin adalah
obat terpilih dalam keadaan gawat yang dapat menurunkan tekanan bola mata baik glaukoma bersudut
sempit maupun bersudut lebar. Obat ini sangat efektif untuk membuka anyaman trabekular di sekitar
kanal Schlemm, sehingga tekanan bola mata turun dengan segera akibat cairan humor keluar dengan
lancar. Kerjanya ini dapat berlangsung sekitar sehari dan dapat diulang kembali. Obat penyekat
kolinesterase, seperti isoflurofat dan ekotiofat, bekerja lebih lama lagi. Disamping kemampuannya
dalam mengobati glaukoma, pilokarpin juga mempunyai efek samping. Dimana pilokarpin dapat
mencapai otak dan menimbulkan gangguan SSP. Obat ini merangsang keringat dan salivasi yang
berlebihan (Mary J. Mycek, dkk, 2001).

Atropin

2.2.1. Sumber dan Kimiawi

Atropin (hiosiamin) ditemukan dalam tumbuhan Atropa Belladonna, atau Tirai Malam Pembunuh, dan
dalam Datura Stramonium, atau dikenal sebagai biji jimson ( biji Jamestown) atau apel berduri.

Atropine alam adalah l(-) hiosiamin, tetapi senyawanya sudah campuran (rasemik), sehingga material
komersilnya adalah rasemik d, l-hiosiamin.

Anggota tersier kelas atropine sering dimanfaatkan efeknya untuk mata dan system syaraf pusat.

2.2.2. Absorbsi
Alkaloid alam dan kebanyakan obat-obat antimuskarinik tersier diserap dengan baik dari usus dan dapat
menembus membrane konjuktiva.

Reabsobsinya diusus cepat dan lengkap, seperti alkaloida alamiah lainnya, begitu pula dari mukosa.
Reabsorbsinya melalui kulit utuh dan mata tidak mudah.

2.2.3. Distribusi

Atropin dan senyawa tersier lainnya didistribusikan meluas kedalam tubuh setelah penyerapan kadar
tertentu dalam susunan saraf pusat (SSP) dicapai dalam 30 menit sampai 1 jam, dan mungkin membatasi
toleransi dosis bila obat digunakan untuk memperoleh efek perifernya. Didistribusikan keseluruh tubuh
dengan baik.

2.2.4. Metabolisme dan Ekskresi

Atropin cepat menghilang dari darah setelah diberikan dengan massa paruh sekitar 2 jam kira-kira 60%
dari dosis diekskresikan kedalam urine dalam bentuk utuh. Sisanya dalam urine kebanyakan sebahagian
metabolit hidrolisa dan konjugasi. Efeknya pada fungsi parasimpatis pada semua organ cepat
menghilang kecuali pada mata. Efek pada iris dan otot siliaris dapat bertahan sampai 72 jam atau lebih.

Spesies tertentu, terutama kelinci memiliki enzim khusus satropin esterase yang membuat proteksi
lengkap terhadap efek toksik atropine dengan mempercepat metabolisme obat.

Ekskresinya melalui ginjal, yang separuhnya dalam keadaan utuh. Plasma t1/2 nya 2-4 jam.

2.2.5. Mekanisme Kerja

Atropine memblok aksi kolinomimetik pada reseptor muskarinik secara reversible (tergantung
jumlahnya) yaitu, hambatan oleh atropine dalam dosis kecil dapat diatasi oleh asetilkolin atau agonis
muskarinik yang setara dalam dosis besar. Hal ini menunjukan adanya kompetisi untuk memperebutkan
tempat ikatan. Hasil ikatan pada reseptor muskarinik adalah mencegah aksi seperti pelepasan IP3 dan
hambatan adenilil siklase yang di akibatkan oleh asetilkolin atau antagonis muskarinik lainnya.
2.2.6. Mekanisme Kombinasi Atropin + Adrenalin

Penambahan adrenalin pada atropine akan memperpanjang masa kerja obat serta meningkatkan
penyebaran molekul yang masuk ke SSP.

2.2.7. Khasiat dan Penggunaan

Khasiatnya

Adapun khasiat daripada atropine antara lain :

Mengurangi sekresi kelenjar (liur, keringat, dahak)

Memperlebar pupil dan berkurangnya akomodasi

Meningkatkan frekuensi jantung dan mempercepat penerusan impuls di berkas His (bundle of
his), yang disebabkan penekanan SSP.

Menurunkan tonus dan motilitas saluran lambung-usus dan produksi HCl.

Merelaksasi otot dari organ urogenital dengan efek dilatasi dari rahim dan kandung kemih

Merangsang SSP dan pada dosis tinggi menekan SSP (kecuali pada zat-zat ammonium kwatener).

Penggunaan

Adapun penggunaan daripada atropine yaitu :

Sebagai spasmolitikum (pereda kejang otot) dari saluran lambung-usus, saluran empedu, dan
organ urogenital.

Tukak lambung/ usus, guna mengurangi motilitas dan sekresi HCL dilambung, khususnya
pirenzepin.

Sebagai medriatikum, untuk melebarkan pupil dan melumpuhkan akomodasi. Jika efek terakhir
tidak diingginkan, maka harus digunakan suatu adrenergikum, misalnya fenilefrin.

Sebagai sadativum, berdasarkan efek menekan SSP, terutama atropine dan skolamin, digunakan
sebelum pembedahan. Bersamaan dengan anastetika umum. Antihistaminika dan fenotiazin juga
digunakan untuk maksud ini.

Sebagai zat anti mabuk jalan guna mencegah mual dan muntah.
Pada hiperhidrosus, untuk menekan pengeluaran keringat berlebihan.

pada inkontinesi urin, atas dasar kerja spasmolitisnya pada kandung kemih, sehingga
kapasitasnya diperbesar dan kontraksi spontan serta hasrat berkemih dikurangi.

2.2.8. Efek Pada Sistem Organ

1. Susunan Saraf Pusat

Pada dosis lazim, atropine merupakan stimulant ringan terhadap SSP, terutama pada pusat parasimpatis
medulla, dan efek sedative yang lama dan lambat pada otak.efek pemacu Vagal pusat seringkali cukup
untuk menimbulkan bradikardia, yang kemudian nodus SA yang menjadi nyata. Atropine juga
menimbulkan kegelisahan, agitasi, halusinasi, dan koma.

2. Mata

Otot konstriktor pupil tergantung pada aktivitas kolinoseptor muskarinik. Aktivitas ini secara efektif
dihambat oleh atropine topical dan obat antimuskarinik tersier serta hasilnya aktivitas dilator simpatis
yang tidak berlawanan dan midriasis (pupil yang melebar) nampaknya disenangi oleh kosmetik selama
Renaissance dan oleh karena ini obatnya disebut belladonna (bahasa italic, wanita cantik) yang
digunakan sebagai obat tetes mata selama waktu itu.

Efek penting kedua pada mata dari obat antimuskarinik adalah kelumpuhan otot siliaris, atau sikloplegia.
Akibat sigloplegia ini terjadi penurunan kemampuan untung mengakomodasi ; mata yang teratropinisasi
penuh tidak dapat memfokus untuk melihat dekat.

Kedua efek midriasis dan sigloplegia berguna dalam pftalmologi. Namun efek ini juga cukup berbahaya
karena pada pasien dengan sudut kamar depan yang sempit akan menimbulkan gejala glaucoma akut.

Efek ketiga dari obat antimuskarinik pada mata adalah mengurangi sekresi air mata. Kadang-kadang
pasien akan merasa matanya kering atau mata berpasir bila diberikan obat anti muskarinik dalam
dosis besar.

3. Sistem Kardiovaskuler

Atrium sangat kaya dipersyarafi oleh serabut syaraf parasimpatis (n.vagus), dan oleh karena itu nodus
SA peka terhadap hambatan reseptor muskarinik. Efek denyut jantung yang terisolasi, dipersarafi, dan
secara spontan memukul jantung berupa hambatan perlambatan vagus yang jelas dan takikardia
relative. Bila diberikan dosis terapi sedang sampai tinggi, maka efek takikardi nampaknya dapat
menetap pada pasien tertentu. Namun, dalam dosis kecil justru memacu pusat parasimpatis dan sering
menimbulkan gejala brakikardia awal sebelum efek hambatan terhadap vagus perifer menjadi jelas.
Dengan mekanisme yang sama juga mengatur fungsi nodus AV; pada keadaan tonus vagus yang
meninggi, maka pemberian atropine dapat menurunkan interval PR dalam EKG dengan memblok
reseptor muskarinik jantung.

4. Sistem Pernafasan

Baik otot polos atau sel kelenjar sekresi pada saluran pernafasan dipersarafi oleh vagus dan
mengandung reseptor muskarini. Bahkan pada individu normal, maka efek bronkodilatasi dan
pengurangan sekresi setelah menelan atropine dapat diukur. Efek demikian lebih dramatic pada pasien
saluran pernafasan terganggu, walaupun obat antimuskarinik ini tidak sebaik pemacu beta-
adrenoseptor pada pengobatan asma.

5. Saluran Cerna

Hambatan reseptor muskarinik menimbulkan efek dramatic terhadap motilitas dan beberapa fungsi
sekresi pada saluran cerna. Seperti pada organ lainnya, pacuan muskarinik eksogen lebih efektif
dihambat disbanding efek dari aktivitas saraf simpatis (vagal).

6. Kelenjar Keringat

Termoregulasi keringat di tekan pula oleh atropine. Reseptor muskarinik pada kelenjarkeringat ekkrin
dipersarafi oleh serabut kolinergik simpatetik dan dapat dipengaruhi oleh obat antimuskarinik. Hanya
pada dosis tinggi efek antimuskarinik pada orang dewasa akan menimbulkan peninggian suhu tubuh.
Sedangkan pada bayi dan anak-anak maka dalam dosis biasapun sudah menimbulkan demam atropine
(atropine fever).

DAFTAR PUSTAKA

Betram G. Katzung. Farmakologi Dasar dan Klinik. 2004. EGC. Jakarta .

Jay, Than Hoon dan Kirana, Raharja. Obat-Obat Penting. 2002. Gramedia. Jakarta.

Buku Penuntun Praktikum Farmakolologi. Departemen Farmakologi dan Terapetik Fakultas


Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan.

You might also like