You are on page 1of 5

A.

HAMBATAN FISIK DALAM PROSES KOMUNIKASI


Merupakan jenis hambatan berupa fisik, misalnya cacat pendengaran (tuna rungu), tuna
netra,tuna wicara. Maka dalam hal ini baik komunikator maupun komunikan harus saling
berkomunikasi secara maksimal. Bantuan panca indera juga berperan penting dalam
komunikasi ini.
Contoh: apabila terdapat seorang perawat dengan pasien berusia lanjut, dalam hal ini ,maka
perawat harus bersikap lembut dan sopan tapi bukan berarti tidak pada pasien lain. Perawat
harus lebih memaksimalkan volume suaranya apabila Ia berbicara dengan pasien tuna
rungu. Begitu pula dengan pasien, apabila si pasien menderita tuna wicara maka sebaiknya
Ia mengoptimalkan panca indera (misal: gerakan tangan, gerakan mulut) agar si komunikan
bisa menangkap apa yang Ia ucapkan. Atau pasien tuna wicara bisa membawa rekan untuk
menterjemahkan pada si komunikan apa yang sebetulnya Ia ucapkan.
Disabilitas dilihat dari aspek fisiknya dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu:
1. Tuna Netra
Seseorang dikatakan tuna netra apabila mereka kehilangan daya lihatnya sedemikian
rupa sehingga tidak dapat menggunakan fasilitas pada umumnya. Menurut Kuafman dan
Hallahan, tuna netra adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi
penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Tuna
netra dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Kurang awas (low vision)
Seseorang dikatakan kurang awas bila masih memiliki sisa penglihatan
sedemikian rupa sehingga masih sedikit melihat atau masih bisa membedakan
gelap maupun terang.
b. Buta (blind)
Seseorang dikatakan buta apabila Ia sudah tidak memiliki sisa penglihantan
sehingga tidak dapat membedakan gelap dan terang.
2. Tuna Daksa
Seseorang dikatakan mengalami ketunadaksaan apabila terdapat kelainan anggota
tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk sehingga
mengakibatkan turunnya kemampuan normal untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh
tertentu dan untuk mengoptimalkan potensi kemampuannya diperlukan layanan
khusus. Tuna daksa ada dua kategori, yaitu:
a. Tuna daksa orthopedic (orthopedically handicapped) , yaitu mereka yang
mengalami kelainan, kecacatan tertentu sehingga menyebabkan terganggunya
fungsi tubuh. Kelainan tersebut dapat terjadi pada bagian tulang-tulang, otot-
otot maupun pada daerah persendian, baik yang dibawa sejak lahir maupun
yang diperoleh kemudian, contoh: anak polio.
b. Tuna daksa syaraf (neurologically handicapped) , yaitu kelainan yang terjadi
pada anggota tubuh yang disebabkan gangguan pada syaraf. Salah satu kategori
penderita tuna daksa syaraf dapat dilihat pada anbak cerebral palsy.
3. Tuna Rungu
Seseorang dikatakan tuna rungu apabila mereka kehilangan daya dengarnya. Tuna
rungu dikelompokan menjadi:
a. Ringan (20-20 dB)
Umumnya mereka masih dapat berkomunikasi dengan baik, hanya kata-kata
tertentu saja yang tidak dapat mereka dengar secara langsung sehingga
pemahaman mereka sedikit terhambat.
b. Sedang (40-60 dB)
Mereka mulai mengalami kesulitan untuk dapat memahmai pembicaraan orang
lain, suara yang mampu terdengar adalah suara radio dengan volume maksimal.
c. Berat / parah (>60 dB)
Mereka sudah mulai sulit mengikuti pembicaraan orang lain, suara yang mampu
terdengar adalah suara yang sama kerasnya dengan jalanan pada jam-jam sibuk.
Biasanya memerlukan bantuan alat bantu dengar, mengandalkan pada
kemampuan membaca gerak bibir atau bahasa isyarat untuk berkomunikasi.
4. Tuna Wicara
Seseorang dikatakan tuna wicara apabila mereka mengalami kesulitan berbicara. Hal ini
disebabkan kurang atau tidak berfungsinya rongga mulut,lidah,langit-langit mulut dan
pita suara. Selain itu kerusakan pada sistem syaraf dan struktur otot serta
ketidakmampuan dalam kontrol gerak juga dapat mengakibatkan keterbatasan dalam
berbicara. Diantara individu yang mengalami kesulitan berbicara, ada yang sama sekali
tidak dapat berbicara, dapat mengeluarkan bunyi tetapi tidak mengucapkan kata-kata
dan ada yang dapat berbicara tapi tidak jelas.
Masalah yang utama pada diri sesorang penderita tuna wicara adalah mengalami
kehilangan/terganggunya fungsi pendengaran dan atau fungsi bicara yang dapat
disebabkan kecelakaan, bawaan lahir maupun penyakit. Umumnya penderita gangguan
dengar/wicara yang disebabkan oleh faktor genetik akan berdampak pada kemampuan
bicara. Sebaliknya seseorang yang tidak/kurang dapat bicara umumnya dapat
menggunakan fungsi pendengarannya walaupun untuk beberapa kasus tidak selalu
demikian.

B. HAMBATAN SEMATIK DALAM PROSES KOMUNIKASI


Sematik adalah pengetahuan tentang pengertian atau makna kata (denotatif). Hambatan
sematik adalah hambatan mengenai bahasa, baik bahasa yang digunakan oleh komunikator
maupun komunikan.
Hambatan sematik dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Salah pengucapan kata atau istilah karena terlalu cepat berbicara.
2. Adanya perbedaan makna dan pengertian pada kata-kata yang pengucapannya sama.
3. Adanya pengertian konotatif.

C. HAMBATAN PSIKOLOGIS DALAM PROSES KOMUNIKASI


Hambatan psikologis dibagi menjadi 4, yaitu:
1. Perbedaan kepentingan atau interest
Kepentingan atau interest akan membuat seseorang selektif dalam menanggapi atau
menghayati pesan. Orang hanya akan memperhatikam perangsang yang ada
hubungannya dengan kepentingannya. Komunikan pada komunikasi massa bersifat
heterogen meliputi perbedaan usia,jenis kelamin, pendidikan,pekerjaan yang
keseluruhannya akan menimbulkan adanya perbedaan kepentingan.kepentingan
komunikan dalam kegiatan komunikasi sangat ditentukan oleh manfaat atau kegunaan
pesan komunikasi bagi dirinya. Dengan demikian, komunikan melakukann seleksi
terhadap pesan yang diterimanya.
2. Prasangka
Prasangka berkaitan degan persepsi orang tentang seseorang atau kelompok lain, dan
sikap serta perilakunya terhadap mereka. Untuk mengatasi hambatan prasangka pada
proses kominukasi maka komunikator yang akan menyampaikan pesan melalui media
massa sebaiknya bersifat netral dalam artian bukanlah seseorang yang kontroversial dan
reputasinya baik.
3. Stereotipe
Stereotipe adalah gambaran atau tanggapan mengenai sifat atau watak yang bersifat
negatif. Stereotipe terbentuk pada dirinya bedasarkan keterangan-keterangan yang
kurang lengkap dan subyektif.
4. Motivasi
Merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan-alasan atau
dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan manusia berbuat sesuatu.

D. JENIS-JENIS HAMBATAN LAIN


1. Kurangnya pengetahuan
2. Ketakutan dan ketidakpercayaan
3. Rasisme
4. Bias dan etnosentrisme
5. Stereotipe perilaku
6. Hambatan bahasa
7. Perbedaan dalam persepsi dan harapan
8. Tingkat kesadaran pasien

TATA LAKSANA

A. HAMBATAN FISIK
Untuk dapat memberikan kenyamanan dan kemudahan dalam memberikan pelayanan bagi
pasien difabel, RS PARU RESPIRA memiliki saraba dan prasarana yang mendukung, seperti:
1. Kursi roda
Kursi roda digunakan oleh pasien yang mengalami kesulitan berjalan menggunakan
kaki, baik dikarenakan penyakit, cedera maupun cacat.
2. Brankar
Brankar merupakan tempat tidur pasien yang dapat didorong, digunakan untuk pasien
yang tidak mampu atau tidak kuat apabila dalam posisi duduk.
3. Akses jalan
Akses jalan di RS PARU RESPIRA sudah didesain agar dapat dilewati oleh kursi roda
maupun brankar.
Pelayanan umum yang diberikan RS PARU RESPIRA untuk pasien difabel:
1. RS PARU RESPIRA memiliki tenaga satpam yang telah dilatih untuk membantu pasien
dengan gangguan difabel.
2. Apabila pasien masih mampu berjalan, petugas satpam akan menggandeng atau
memapah pasien yang akan berobat baik ke UGD maupun poliklinik.
3. Pasien dengan kondisi tubuh lemah, petugas satpam akan menggunakan brankar
maupun kursi roda. Apabila kondisi pasien memungkinkan maka akan diarahkan utuk
mendaftar ke poliklinik namun apabila kondisi pasien tidak memungkinkan maka akan
diarahkan menuju UGD.

B. HAMBATAN SEMATIK DAN PSIKOLOGIS


Untuk mengatasi hambatan tersebut dapat ditanggulangi dengan cara sebagai berikut:
1. Mengecek arti atau maksud yang disampaikan dengan bertanya lebih lanjut pada
pasien/keluarga pasien.
2. Meminta penjelasan lebih lanjut dengan memastikan apakah ada hal lain yang masih
belum jelas dan yang masih perlu ditanyakan kembali.
3. Melakukan umpan balik dengan cara mengajukan pertanyaan mengenai hal atau pesan
yang telah disampaikan kepadan pasien/keluarga pasien.
4. Mengulangi pesan yang disampaikan jika perlu dengan bahasa isyarat.
5. Mendekatkan diri dengan pasien/keluarga pasien dengan berbincang mengenai hal-hal
yang menyangkut keluhan yang dirasakan saat ini.
6. Menyampaikan pesan secara singkat,jelas dan tepat mengenai kondisi pasien saat ini
tanpa perlu bertele-tele sehingga lebih efisien.

C. HAMBATAN KOMUNIKASI
1. Pasien Difabel
a. Tuna netra
Melakukan komunikasi efektif secara normal
Membicarakan dan menjelaskan kepada keluarga pasien (bila didampingi)
mengenai data pasien, hasil pemeriksaan pasien dan tindakan lanjut yang harus
dilakukan.
b. Tuna rungu dan Tuna wicara
Berbicara harus jelas dengan ucapan yang benar
Menggunakan kalimat sederhana dan singkat
Menggunakan komunikasi non verbal seperti gerak bibir atau gerakan tangan
Menggunakan pulpen dan kertas untuk menyampaikan pesan
Berbicara sambil berhadapan muka
Memberikan leaflet dan brosur untuk menambahkan informasi
Menbicarakan dan menjelaskan kepada keluarga pasien (bila didampingi)
mengenai data pasien, hasil pemeriksan pasien dan tindakan lanjut yang harus
dilakukan.
2. Pasien tidak sadar
Untuk mengatasi hambatan komunikasi pasien yang tidak bisa berkomunikasi karena
tidak sadar, dapat melakukan komunikasi dengan keluarga.
3. Anak-anak yang belum dapat berkomunikasi
Untuk anak-anak yang belum dapat berkomunikasi (< 3 tahun) dapat dilakukan
komunikasi dengan orang tua. Sedangkan untuk anak-anak diatas 3 tahun yang sudah
dapat berbicara bisa dilakukan konfirmasi dengan orang tua atau pendamping.

D. HAMBATAN BAHASA
Cara mengatasi hambatan bahasa asing
1. Jika petugas RS PARU RESPIRA yang sedang bertugas saat itu memiliki kemampuan
bahasa asing maka staf tersebut dapat membantu menangani hambatan pasien.
2. Jika keluarga atau pendamping pasien dapat berbahasa Indonesia, maka petugas RS
PARU RESPIRA dapat melakukan konfirmasi kepada keluarga atau pendamping tersebut.
3. Jika tidak ada keluarga yang dapat berbahasa Indonesia atau petugas RS PARU RESPIRA
yang dapat berbahas asing, dapat menggunakan isyarat atau dengan menunjukkan
gambar atau menunjukkan bagian organ yang sakit.

You might also like