Professional Documents
Culture Documents
PEMICU 1
Nama anggota :
FAKULTAS KEDOKTERAN
2017
A. Bells Palsy
1. Definisi
Kelumpuhan nervus fasialis perifer (N.VII), terjadi secara akut dan penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik) atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus
fasialis atau kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-
degeneratif primer.
2. Etiologi
Teori iskemik vaskular
Teori infeksi virus
Teori Herediter
Teori Bakteri
Teori Imunologi
3. Patofisiologi
Patofisiologi secara pasti masih dalam perdebatan. N.VII berjalan melalui bagian dari
tulang temporal yang disebut dengan kanalis fasialis. Adanya edema dan ischemia menyebabkan
kompresi dari N.VII dalam kanalis tulang ini, karena itu ia terjepit di dalam foramen
stilomastoideum dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
Kompresi N.VII ini dapat dilihat dengan MRI. Bagian pertama dari kanalis fasialis yang
disebut dengan segmen labyrinthine adalah bagian yang paling sempit, meatus foramien ini
memiliki diameter 0,66 mm. Lokasi inilah yang diduga merupakan tempat paling sering
terjadinya kompresi pada N.VII pada Bells Palsy, karena bagian ini merupakan tempat yang
paling sempit maka terjadinya inflamasi, demielinisasi, ischemia, ataupun proses kompresi
paling mungkin terjadi.
Lokasi terserangnya Nervus Fasialis di Bells Palsy bersifat perifer dari nukleus saraf
tersebut, dimana timbulnya lesi diduga terletak didekat ataupun di ganglion genikulatum. Jika
lesinya timbul di bagian proksimal ganglion genikulatum maka akan timbul kelumpuhan motorik
disertai dengan ketidak abnormalan fungsi gustatorium dan otonom. Apabila lesi terletak di
foramen stilomastoideus dapat menyebabkan kelumpuhan fasial saja.
4. Epidemiologi
Bells palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering ditemukan, yaitu
sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden bervariasi di berbagai Negara di seluruh dunia.
Perbedaan insidensi ini tergantung pada kondisi geografis masing- masing negara. Insiden
tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000 populasi.
Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45 tahun). Tidak dijumpai
perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin. Insiden meningkat tiga kali lebih besar pada wanita
hamil (45 kasus per 100.000). Sebanyak 5-10% kasus Bells palsy adalah penderita diabetes
mellitus.
Bells palsy jarang ditemukan pada anak- anak < 2 tahun. Tidak ada perbedaan pada sisi
kanan dan kiri wajah. Kadang- kadang paralisis saraf fasialis bilateral dapat terjadi dengan
prevalensi 0,3- 2% (Finsterer, 2008). Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12%
kasus, dengan 36% pada sisi yang sama dan 64% pada sisi yang berlawanan
5. Pemeriksaan fisik
Dari hasil pemeriksaan neurologi, didapatkan gangguan fungsi saraf fasialis perifer
yang difus tanpa ada neuropati lainnya. Lesi SSP (supranuklear) juga dapat menyebabkan
paralisis saraf fasialis, hanya perbedaannya dari lesi perifer tidak dijumpainya paralisis dahi
pada sisi yang terlibat dan dapat menutup mata dengan baik (lagophtalmus tidak dijumpai) dan
disertai dengan defisit neurologis lainnya, sekurang- kurangnya kelumpuhan ekstremitas pada
sisi yang kontralateral.
Tes topognostik (fungsi kelenjar lakrimal, aliran saliva, dan pengecapan) selain refleks
stapedial, telah diteliti tidak memiliki manfaat sebagai tes diagnostik dan prognostik pada pasien
dengan paralisis fasialis, sehingga jarang digunakan dalam praktek klinis. Hal ini dikarenakan:
Anatomi saraf fasialis dan percabangannya yang cukup bervariasi, mengizinkan untuk
terbentuknya suatu jalur alternatif bagi akson- akson untuk mencapai terminalnya.
Lesi yang bertanggung jawab terhadap paralisis, mungkin tidak secara tajam terletak pada
level tertentu, karena suatu lesi dapat mempengaruhi komponen yang berbeda dari saraf
pada tingkat yang beragam dan dengan derajat keparahan yang berbeda- beda.
Penyembuhan dan kornponen- komponen yang bervariasi dapat terjadi pada waktu
yang berbeda- beda.
Teknik yang digunakan untuk mengukur fungsi saraf fasialis tidak sepenuhnya dapat
dipercaya.
Pemeriksaan telinga perlu dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang mungkin bisa
menyebabkan paralisis fasialis. Bila ditemukan adanya otitis rnedia yang aktif dan massa
di kelenjar parotid, kemungkinan paralisis fasialis dihubungkan dengan kelainan- kelainan
tersebut, dan bukan suatu Bells palsy.
Umumnya pasien Bells palsy tidak membutuhkan pemeriksaan penunjang. Namun, bila
dijumpai indikasi tertentu, pemeriksaan lanjutan berikut dapat dianjurkan, seperti:
Faktor genetic :
7. Gambaran klinis
Gambaran klinis bervariasi, tergantung lokasi lesi dari saraf fasialis sepanjang
perjalanannya menuju otot.
Pasien Bells palsy biasanya datang dengan paralisis wajah unilateral yang terjadi
secara tiba-tiba.
Temuan klinis yang sering termasuk alis mata turun, dahi tidak berkerut, tidak
mampu menutup mata, dan bila diusahakan tampak bola mata berputar ke
atas (Bell's phenomen), sudut nasolabial tidak tampak, dan mulut tertarik ke sisi
yang sehat. Gejala lainnya adalah berkurangnya air mata, hiperakusis, dan atau
berkurangnya sensasi pengecapan pada dua pertiga depan lidah
8. Pemeriksaan penunjang
Umumnya pasien Bells palsy tidak membutuhkan pemeriksaan penunjang. Namun, bila
dijumpai indikasi tertentu, pemeriksaan lanjutan berikut dapat dianjurkan, seperti:
9. Komplikasi
regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis
seluruh atau beberapa muskulus fasialis
regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan),
ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak
sama dengan stimuli normal)
reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat
menyebabkan
10. Terapi
a. Terapi medikamentosa :
Kortikosteroid
Penggunaan obat antiviral (acyclovir) dengan kortioksteroid.
Analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri.
b. Terapi operatif :
Indikasi terapi operatif yaitu:
Produksi air mata berkurang menjadi < 25%
Aliran saliva berkurang menjadi < 25%
Respon terhadap tes listrik antara sisi sehat dan sakit berbeda 2,5 mA.
c. Rehabilitasi medik
Menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan guna mengurangi dampak cacat
serta meningkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai integritas sosial.
d. Perawatan mata
Memakai obat tetes mata/ salep mata
Memakai kacamata untuk mencegah iritasi debu
Kelopak mata diplester agar tetap tertutup.
11. Prognosis
Perjalanan alamiah Bells palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai cedera
saraf substansial dengan sekuele permanen.
Sekitar 80-90% pasien dengan Bells palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-
60% kasus membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis
persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.
12. Anamnesis
Kesadaran : compos mentis
Rasa Nyeri : -
Wajah : tdk simetris
Bibir : Sudut bibir kanan turun
Menutup Mata : Mata kanan tdk tertutup sempurna
Sekresi air mata : +
Riwayat pekerjaan : -
RPD : -
RPK : -
Aktivitas malam hari : istirahat di lantai dgn beralaskan tikar
B. Stroke ringan
1. Definisi
Transient ischaemic attack (TIA) atau stroke ringan adalah serangan yang terjadi saat
pasokan darah ke otak mengalami gangguan sesaat. Serangan ini umumnya berlangsung lebih
singkat dari stroke, yaitu selama beberapa menit hingga beberapa jam, dan penderita akan pulih
dalam waktu satu hari. Meski hanya sesaat, TIA merupakan peringatan akan datangnya serangan
yang lebih parah. Pernah mengalami TIA berarti Anda memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
terkena stroke dan serangan jantung.
2. Etiologi
TIA umumnya disebabkan oleh adanya gumpalan berukuran kecil yang tersangkut dalam
pembuluh darah otak. Gumpalan ini dapat berupa lemak atau gelembung udara. Penyumbatan
tersebut akan menghambat aliran darah dan memicu kekurangan oksigen pada bagian tertentu di
otak. Inilah yang menyebabkan terganggunya fungsi otak. Berbeda dengan stroke, gumpalan
penyebab TIA akan hancur dengan sendirinya sehingga fungsi otak akan kembali normal.
Karena itu, TIA tidak menyebabkan kerusakan yang bersifat permanen.
Obesitas, ketika seseorang mengalami penumpukan kadar lemak dalam tubuh secara
otomatis akan mengganggu kinerja peredaran darah yang lebih lambat hingga memicu
penyumbatan pembuluh darah di otak.
3. Gejala klinis
Gejala yang mengindikasikan TIA umumnya terjadi secara tiba-tiba dan serupa dengan indikasi
awal yang dialami oleh pengidap stroke. Gejala-gejala serangan ini meliputi:
4. Faktor risiko
Terdapat beberapa faktor yang dipercaya bisa meningkatkan risiko mengalami TIA, di antaranya
adalah:
Usia. Risiko TIA akan meningkat seiring bertambahnya usia, terutama bagi lansia di atas
55 tahun.
Jenis kelamin. Risiko pria untuk mengalami TIA lebih tinggi daripada wanita.
Faktor keturunan. Jika ada anggota keluarga Anda yang pernah mengalami TIA, Anda
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena serangan yang sama.
Pola hidup yang buruk. Misalnya merokok, mengonsumsi minuman keras secara
berlebihan, kurang olahraga, mengonsumsi makanan asin dan berlemak, serta
menggunakan obat-obatan terlarang. Pola hidup yang tidak terjaga juga dapat memicu
faktor-faktor kepada risiko penyakit hipertensi, obesitas, dan kolesterol tinggi.
Pengaruh penyakit atau kelainan tertentu. Risiko TIA pada pengidap kelainan jantung,
gagal jantung, infeksi jantung, detak jantung yang abnormal, dan diabetes akan lebih
tinggi dibandingkan orang normal.