Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Fenomena kebutuhan terhadap lahan cenderung terus meningkat yang merupakan
resultan dari perkembangan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Pada gilirannya
hal tersebut akan melahirkan gejala persaingan penggunaan lahan, yang
sesungguhnya merupakan manifestasi dari berlakunya hukum permintaan
(demand) dan penawaran (supply). Hal tersebut dapat dipahami, mengingat lahan
merupakan sumberdaya alam yang amat penting. Hampir semua aspek kehidupan
dan pembangunan, baik langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan
permasalahan lahan. Seiring dengan terjadinya pertumbuhan wilayah --termasuk
di dalamnya pertumbuhan kota--, kebutuhan (demand) akan sumberdaya lahan
cenderung meningkat. Sementara itu dilihat dari ketersediaannya dalam arti luasan
lahan dalam batas administratif bersifat terbatas (in-elastic). Oleh karena itu
dengan terjadinya perubahan struktur ekonomi, yang ditandai oleh perkembangan
sektor industri, meningkatnya aktivitas dan ragam spesialisasi di luar bidang
pertanian serta pertambahan jumlah penduduk yang antara lain disebabkan oleh
adanya urbanisasi, diduga akan mengakibatkan tekanan-tekanan terhadap lahan
pertanian dan memicu terjadinya pergeseran pola penggunaan lahan, terlebih-
lebih di wilayah perkotaan dan sekitarnya. Kondisi tersebut pada gilirannya
mengakibatkan peranan sektor pertanian yang semula mendominasi
perekonomian wilayah, telah bergeser ke sektor industri, sehingga permintaan
lahan meningkat (Anwar, 1994). Hal tersebut pada gilirannya akan berimplikasi
pada struktur tata ruang wilayah. Mengingat, struktur tata ruang merupakan
manifestasi dari alokasi pemanfaatan sumberdaya yang akan berimplikasi pada
keragaan perekonomian wilayah dan ke sejahteraan masyarakat. Penggunaan
lahan yang oleh Sandy (1995) dimaknai sebagai dampak dari segala kegiatan
manusia diatas muka bumi yang dipengaruhi oleh keadaan alam (fisik
lingkungan) serta kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat suatu wilayah.
Sementara itu Barlowe (1978), mengemukakan, bahwa faktor- factor yang
mempengaruhi pola penggunaan lahan adalah faktor- faktor fisik-biologis, faktor
pertimbangan ekonomi, dan faktor institusi (kelembagaan). Penggunaan lahan
juga ditentukan oleh keadaan topografi, relief dan ketinggian, aksesibilitas,
kemampuan dan kesesuaian lahan serta tekanan penduduk. Lahan yang subur
lebih banyak digunakan untuk pertanian dan biasanya berpenduduk padat (Sandy,
1995). Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi arah perkembangan dan laju
penggunaan lahan pertanian di perkotaan dan wilayah sekitarnya antara lain:
indeks aksesibilitas, faktor sosial, faktor lingkungan fisik dan kebijakan
infrastruktur (Owen, 1978). Sementara itu Bern (1977), mengemukakan bahwa
perubahan penggunaan lahan adalah akibat dari jumlah dan komposisi penduduk
secara berkala ataupun permanen. Pengaruh yang lain ialah terhadap ekonomi
lahan, seperti harga, sewa dan pasar lahan. Berdasarkan penjelasan diatas, oleh
karenanya dapat dipahami, jika penggunaan lahan yang terjadi di suatu wilayah
cenderung bersifat dinamis. Sebab, perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah
merupakan pencerminan upaya (tindakan) dan interaksi manusia dalam
memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam beserta kondisi lingkungan yang
menyertainya. Fenomena tersebut pada gilirannya akan berakibat pada perubahan
mutu lingkungan hidup dan peningkatan nilai lahan. Peningkatan nilai lahan
tersebut apabila dikaitkan dengan wilayah urban (perkotaan) akan lebih banyak
berhubungan dengan letak kestrategisannya (faktor lokasi), sedangkan untuk
wilayah perdesaan (rural), peningkatan nilai lahan tersebut lebih banyak
disebabkan karena faktor kesuburan (kualitas) lahan. Lebih jauh oleh Saefulhakim
(1994), penggunaan lahan juga merupakan refleksi struktur perekonomian dan
preferensi masyarakat. Karena struktur perekonomian dan preferensi masyarakat
ini bersifat dinamis yang orientasinya selalu berubah setiap saat sejalan dengan
pertumbuhan penduduk dan dinamika pembangunan, maka struktur penggunaan
lahanpun bersifat dinamis, dan dengan demikian perubahan pola penggunaan
lahan tidak dapat terhindarkan. Bahkan dalam kerangka yang lebih luas, fenomena
pemanfaatan lahan maupun alih guna lahan akan memberikan implikasi yang
cukup luas terhadap keragaan perekonomian wilayah, alokasi sumberdaya dan
tenaga kerja serta struktur tata ruang wilayah. Persaingan penggunaan lahan dalam
mekanisme pasar persaingan sempurna ditentukan oleh land rent (nilai ekonomi
lahan) yang ditawarkan. Penggunaan lahan yang menawarkan land rent tinggi
cenderung akan memenangkan persaingan tersebut. Penilaian melalui land rent
cenderung hanya melihat nilai lahan dari sudut kualitas dan lokasi lahan dari pusat
pasar. Kedua komponen tersebut dalam kenyataannya mudah dihitung dan dilihat
secara realistis dibandingkan dengan komponen lain yang mempengaruhi nilai
lahan, seperti: sosial; politik; lingkungan estetika (yang merupakan komponen
yang tidak terukur). Dengan sifat yang tidak terukur inilah menyebabkan lahan
yang memiliki nilai sosial; politik; lingkungan dan estetika tinggi, kalah atau
bahkan dikalahkandalam persaingan penggunaan lahan. Fenomena ini secara
empiris sering terjadi terutama di wilayah perkotaan. Kota Bandar Lampung
sebagai ibukota Propinsi Lampung mengalami laju perkembangan wilayah yang
relatif pesat dan karenanya merupakan wilayah yang strategis. Hal tersebut antara
lain dikarenakan kedudukannya sebagai pusat kegiatan wilayah (PKW) dalam
rencana tata ruang wilayah nasional. Selain itu Bandar Lampung juga merupakan
wilayah/ kota transit bagi pemakai jasa perhubungan antar pulau, yaitu Pulau Jawa
dan Sumatera. Bahkan wilayah ini juga merupakan pusat pelayanan jasa distribusi
serta hinterland bagi wilayah sekitarnya, seperti: Sumatera Bagian Selatan;
Banten maupun DKI. Dengan demikian intensitas arus pergerakan orang (tenaga
kerja), barang dan jasa di wilayah ini cukup tinggi. Fenomena tersebut pada
gilirannya telah menjadikan wilayah ini telah berkembang dengan pesat, yang
antara lain ditandai oleh perkembangan jumlah penduduk dan laju pertumbuhan
ekonomi yang relative cukup tinggi, serta pengembangan aksesibilitas yang
semakin meningkat. Dengan demikian, menjadi mudah dipahami jika penggunaan
lahan cenderung bersifat dinamis, bukan saja karena terdapat banyak faktor yang
berpengaruh dalam pemanfaatan dan penggunaan lahan yang terjadi di suatu
wilayah. Akan tetapi terjadinya perubahan penggunaan lahan tersebut membawa
implikasi yang signifikan terhadap keragaan perekonomian, alokasi sumberdaya
dan tenaga kerja maupun struktur tata ruang pada wilayah yang bersangkutan.
Dalam kerangka pemikiran seperti itulah studi dan penelitian ini dilakukan.
II. METODE PENELITIAN
Studi yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan Penelitian Deskriptif (Lihat:
iSingarimbun & Effendi, 1981) yang didukung dengan analisis kuantitatif. Fokus
utamanya adalah dinamika penggunaan lahan di wilayah perkotaan. Data
penelitian dihimpun melalui metode dokumentasi terhadap data sekunder
(dokumen) secara time series, pada 2 (dua) titik tahun yang berbeda (t) yang
bersumber dari berbagai publikasi resmi yang dikeluarkan oleh Dinas/Instansi
Pemerintah yang memiliki keterkaitan dengan tujuan penelitian ini. Model analisis
yang akan digunakan untuk mengkaji dinamika perubahan penggunaan lahan
digunakan model analisis kuantitatif Location Quotient (LQ) dan Shift-Share
Analysis (SSA) (lihat: Blakelly; 1994). Dalam penelitian ini, metode LQ
digunakan untuk membandingkan luasan penggunaan lahan untuk aktivitas
tertentu dengan luasan penggunaan secara keseluruhan (agregat). Sedangkan SSA
merupakan salah satu cara atau tehnik yang dapat memberikan gambaran tentang
sebab terjadinya perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada suatu wilayah.
Dari data tabel diatas dapat diketahui, bahwa selama lebih dari satu decade di
Bandar Lampung telah terjadi perubahan struktur penggunaan lahan. Lahan yang
cenderung mengalami pengurangan/ penciutan terbesar adalah penggunaan untuk
rawa-rawa; hutan; dan perusahaan serta lahan kosong yang tidak digunakan..
Sedangkan penggunaan lainnya cenderung mengalami perluasan/ pertambahan,
terutama untuk penggunaan bagi perkampungan/ permukiman; industri dan jasa-
jasa. Fenomena terjadinya perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah dapat
ditelusuri dari teori land use. Teori land use menjelaskan, bahwasanya kualitas
lahan yang tinggi secara alamiah akan menjadi titik awal pertumbuhan aktivitas
manusia. Tahap selanjutnya, dengan adanya perubahan struktur permintaan dan
didorong oleh fenomena spatial external economies of agglomeration, maka
pemusatan aktivitas perekonomian akan terjadi pada daerah yang kualitas
lahannya tinggi (Saefulhakim, 1994). Selain daripada itu, kondisi obyektif
wilayah Kota Bandar Lampung yang didukung oleh keterbukaan wilayah yang
ditandai oleh tingginya aksesibilitas. Kondisi tersebut akan berimplikasi pada
kemudahan penduduk (tenaga kerja) untuk bermobilisasi dalam ruang guna
melakukan aktivitas perekonomian. Kegiatan perekonomian sendiri berkaitan erat
dengan lahan, lahan dalam kerangka ini berlaku sebagai barang produksi maupun
konsumsi. Dengan berkembangnya kegiatan perekonomian di dalam ruang
(space), sudah barang tentu pemilihan lokasi yang strategis baik untuk dikonsumsi
maupun berproduksi merupakan hal yang penting. Kondisi demikian ini pada
gilirannya akan menimbulkan semakin kompleksnya persaingan (konflik)
penggunaan lahan di wilayah yang bersangkutan.
Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap penggunaan lahan diantaranya
jenis bahan induk yang menentukan tingkat kesuburan lahan, yang selanjutnya
menentukan pola penggunaan lahan dan konsentrasi penduduk. Faktor lereng dan
ketinggian tempat juga mempunyai peran yang penting, selain itu yang erat
hubungannya dengan bahan induk dan lereng adalah adalah kedalaman tanah
(solum). Disamping itu penggunaan lahan juga akan dipengaruhi oleh
aksesibilitas, jumlah dan penyebaran penduduk, tingkat pendidikan, tenaga kerja
dan derajad perekonomian masyarakat. Sebagaimana telah dikemukakan dimuka,
bahwa teori land use nampaknya cukup mampu untuk menjelaskan terjadinya
fenomena perubahan penggunaan lahan di lokasi penelitian. Sungguhpun
demikian, faktor kelembagaan yang dicirikan oleh kebijakan pertanahan yang
berlaku serta sosial politik diduga juga ikut mempengaruhi perubahan penggunaan
lahan, salah satunya adalah rencana tata ruang wilayah. Baik yang bersifat makro
maupun parsial, seperti rencana struktur tata ruang atau rencana tata ruang
wilayah, rencana detail tata ruang, maupun rencana tehnis tata ruang.
Kelembagaan tata ruang ini pada gilirannya telah mampu memberikan insentif
maupun disinsentif bagi terjadinya perubahan penggunaan lahan. Sebagai insentif
, dapat dikemukakan, bahwa dengan disusunnya rencana tata ruang wilayah dapat
mengorganisasikan aktivitas kehidupan masyarakat melalui pemanfaatan lahan
dengan mempertimbangkan penyebaran fasilitas serta utilitas dalam suatu wilayah
secara fungsional. Hal tersebut dapat dilihat di beberapa pusat pertumbuhan atau
kota-kota yang tersebar di seluruh wilayah propinsi. Sedangkan penataan ruang
juga menimbulkan dis-insentif bagi perubahan penggunaan lahan, hal tersebut
dapat diamati dengan munculnya =spekulan tanah dan diketemukannya
fenomena rent seeking pada beberapa oknum aparatbirokrasi. Hal ini dapat
terjadi karena adanya ketimpangan penguasaan informasi terutama menyangkut
kawasan-kawasan atau lokasi- lokasi yang memperoleh prioritas untuk
dikembangkan dengan dibangunnya infrastruktur pendukung. Selain itu,
disinsentif juga terjadi pada penataan ruang yang berbatasan dengan kawasan
lindung maupun kawasan-kawasan yang seharusnya dilindungi dalam menjaga
ekosistem dan keberlangsungan kualitas lingkungan bagi penunjang kehidupan
manusia, seperti: kawasan penyangga, pantai dan lain- lain.
Munculnya fenomena tersebut antara lain karena lahan sebagai suatu sumberdaya
ketersediaanya bersifat fixed (tetap), sementara disisi lain permintaannya
cenderung semakin meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk
maupun meningkatnya aktivitas perekonomian masyarakat. Implikasinya konflik
pemanfaatan lahan menjadi tidak terhindarkan. Oleh karenanya perlu diketahui
kecenderungan perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Sementara itu
penggunaan lahan sangat menentukan cara-cara masyarakat berfungsi, karena itu
penggunaan atau tata guna lahan yang baik akan menjamin ekosistem yang stabil.
Oleh karena itu penggunaannya haruslah direncanakan secara cermat agar dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan masyarakat banyak
dalam kerangka pembangunan yang berdimensi spatial, integral dan
berkelanjutan.
III.2. Pe rubahan Penggunaan Lahan dan Pertumbuhan Wilayah
Perencanaan Pemanfaatan
Tata Ruang Ruang
Indikasi Program
Strategis
Investasi
Perijinan
Insentif & Disinsentif
Pengendalian
Pemanfaatan Rekomendasi Peninjauan
Ruang RTRW
Rencana tata ruang yang dimaksudkan disini adalah sebagai suatu proses yang
meliputi proses perencanaan, pelaksanaan atau pemanfaatan tata ruang dan
pengendalian pelaksanaan atau pemanfaatan ruang yang harus terkait satu sama
lain (lihat Gambar). Jadi di dalam penataan ruang terkandung pengertian
mengenai tata ruang. Pada dasarnya penataan ruang bertujuan untuk
terselenggaranya penataan ruang yang berwawasan lingkungan, terselenggaranya
pengawasan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan budidaya, serta
tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. Upaya penataan ruang ini juga
dilakukan untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dalam kaitannya
dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan itu sendiri dicirikan antara lain
semakin meningkat dan beragamnya aktivitas kegiatan pembangunan di luar
bidang pertanian, yang pada gilirannya akan mendorong terjadinya
pengelompokan penduduk maupun kegiatan perekonomian, sehingga terjadi
ketimpangan antar wilayah maupun antar golongan penduduk. Ketidakmerataan
ini akan menjadi semakin besar, bila tidak ditangani secara mendasar dan
berlanjut. Sementara itu, penggunaan lahan merupakan suatu jenis usaha manusia
secara bertahap maupun berkala untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik
materiil maupun spirituil dengan memanfaatkan sumberdaya yang disebut lahan.
Dengan demikian, penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia yang
dipengaruhi oleh keadaan alam (fisik lingkungan) serta kegiatan sosial-ekonomi
dan budaya masyarakat suatu wilayah. Terjadinya pergeseran struktur penggunaan
lahan tersebut nampak semakin jelas terutama di pusat-pusat pertumbuhan yang
memiliki hirarkhi tinggi, seperti Kota Bandar Lampung. Hal ini dapat dipahami
selain merupakan dampak dari pertumbuhan penduduk, juga disebabkan karena
perkembangan perekonomian masyarakat. Dengan berkembangnya kegiatan
perekonomian di dalam ruang (space), sudah barang tentu pemilihan lokasi yang
strategis baik dilihat dari kualitas maupun aksesibilitas yang dimiliki lahan untuk
dikonsumsi maupun berproduksi merupakan hal yang penting. Kondisi demikian
ini pada gilirannya akan menimbulkan semakin kompleksnya persaingan (konflik)
penggunaan lahan di wilayah yang bersangkutan karena adanya berbagai
kepentingan yang melatarbelakanginya. Seiring dengan terjadinya pertumbuhan
ekonomi di suatu wilayah, maka ekstraksi terhadap sumberdaya alam merupakan
proses yang mempunyai laju, pola dan dampak. Laju perubahan sumberdaya lahan
sebagai besaran skala akan dipengaruhi oleh perubahan kecepatan dan dimensi
waktu. Dimensi waktu disini diartikan sebagai perkembangan atau pertumbuhan
wilayah. Artinya, wilayah akan berkembang seiring dengan waktu, dengan asumsi
bahwa komponen perkembangan wilayah berkembang sejalan dengan
perkembangan wilayah. Dengan perkembangan wilayah --terutama di pusat-pusat
pelayanan-- diduga akan menjadi faktor potensial yang mempengaruhi kecepatan
perubahan sumberdaya alam selama kurun waktu tertentu. Oleh karenanya dapat
dikemukakan, bahwa penyediaan fasilitas pelayanan dalam aspek tata ruang,
kualitas dan jumlahnya berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan masyarakat
dan selalu membutuhkan ketersediaan ruang. Sehingga dapat diidentifikasi, bahwa
peningkatan kesejahteranan masyarakat ini ditentukan oleh derajad penyediaan
fasilitas pelayanan yang tersedia. Ketersediaan fasilitas pelayanan pada gilirannya
juga akan mendorong aktivitas ekonomi yang makin maju. Sebagaimana
dikemukakan oleh Hanafiah (1985), bahwa sistem pusat-pusat pertumbuhan
sebagai salah satu implementasi pembangunan wilayah akan menciptakan
perubahan-perubahan sosial ekonomi dalam masyarakat, yaitu menurut suatu
hirarkhi yang akan menciptakan suatu struktur dan organisasi tata ruang baru bagi
kegiatan manusia yang pada gilirannya akan berdampak pada pengembangan
potensi perekonomian yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan yang
kesemuanya itu membutuhkan lahan (ruang). Sehingga menjadi mudah dipahami
jika struktur tata ruang ada di suatu wilayah sesungguhnya merupakan manifestasi
dari alokasi pemanfaatan sumberdaya yang akan berimplikasi pada keragaan
perekonomian wilayah dan kesejahteraan masyarakat. Sebab, pengembangan yang
tidak memperhatikan karakteristik wilayah secara seksama, baik di kawasan
budidaya maupun non-budidaya cenderung akan menimbulkan dampak yang tidak
diharapkan yang akan mempengaruhi pada sustainability (keberlanjutan)
pembangunan wilayah itu sendiri khususnya yang berkaitan dengan ekosistem
lingkungan. Hal tersebut antara lain tercermin dari adanya fenomena perusakan
hutan, pencemaran dan pendangkalan DAS, konversi sawah beririgasi teknis,
abrasi air laut maupun terganggunya hidro-orologis. Kondisi demikian, antara
lain dapat ditelusuri dari adanya aktivitas perekonomian baru yang tidak atau
kurang berkaitan dengan kegiatan yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian
akan menimbulkan kesan kegiatan perekonomian yang terjadi berjalan sendiri-
sendiri. Bahkan tidak jarang, kegiatan yang lebih menjanjikan secara sepintas
akan menekan kegiatan yang lebih inferior. Kondisi tersebut apabila tidak
dicermati secara lebih dini, diduga akan menimbulkan permasalahan-
permasalahan baru di masa yang akan datang. Dengan demikian strategi
pembangunan yang selama ini berlangsung nampaknya masih bersifat terlalu bias
terhadap perkotaan dan pengembangan industri serta kurang memperhatikan
keterkaitannya secara konstruktif dengan pengembangan perdesaan dan pertanian,
bisa berakibat pada apa yang disebut dengan fenomena disintegrasi wilayah
(sunsun et al., 1995). Dari aspek ekonomi, strategi sedemikian memamng lebih
dapat menjamin pertumbuhan yang pesat. Akan tetapi karena kesejalanannya
dengan perbaikan tingkat pemerataan kurang terkait, lebih- lebih sebagian terbesar
penduduk kita masih bergerak di sektor pertanian pengguna tanah. Untuk
mempertahankan stabilitas dan sustainabilitas dari pertumbuhan ekonomi tersebut
akan menuntut upaya yang sangat keras. Dari segi fisik lingkungan, fenomena
disintegrasi wilayah ini bias berdampak pada peningkatan permasalahan-
permasalahan lingkungan, seperti terganggunya sistem hidroorologis yang sangat
vital peranannya dalam hamper semua sektor kehidupan. Kondisi yang demikian
dapat terjadi antara lain disebabkan kurang efektifnya mekanisme kerja Tim
Koordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD) dalam memonitor implementasi
penataan ruang yang telah disusun. Selain daripada itu tidak dipungkiri persoalan
yang menyangkut penggunaan dan pemanfaatan lahan dari berbagai instansi yang
ada relatif lemah tingkat koordinasinya. Belum lagi ditambah oleh adanya
kooptasi secara liar yang dilakukan oleh pelaku ekonomi terhadap kawasan non-
budidaya. Hal ini sudah barang tentu menimbulkan inefisiensi aktivitas
perekonomian wilayah. Sedangkan di wilayah perkotaan banyak diduga dijumpai
lahan absentia (gontai) yang sering dikonotasikan sebagai lahan tidur. Kondisi ini
menjadikan pemanfaatan lahan menjadi tidak optimal, karena pemiliknya diduga
lebih banyak untuk menangkap rent dengan menganggap lahan layaknya komoditi
ekonomi yang dapat diperjualbelikan tanpa memperhatikan karakteristik yang
melekat di dalamnya. Fenomena tersebut antara lain telah menimbulkan lahan di
wilayah perkotaan seakan-akan mempunyai nilai kelangkaan (scarcity) yang
sangat tinggi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Anwar (1994) kelangkaan
lahan di suatu wilayah juga berkait dengan kendala-kendala institusional. Artinya,
sumberdaya lahan dapat saja tersedia, akan tetapi sistem kelembagaan yang
menyangkut hak- hak (property right) atas lahan yang berlaku dapat menjadi
kendala dalam pemanfaatannya. Selain daripada itu, munculnya lahan gontai ini
juga merupakan disinsentif dari kebijakan tata ruang wilayah. Artinya, dari
adanya kebijakan tersebut telah melahirkan fenomena rent seeking, bukan saja
dilakukan oleh aparat birokrasi. Akan tetapi perilaku tersebut juga dilakukan oleh
pelaku ekonomi lainnya, baik produsen (pengusaha) maupun konsumen (individu)
yang memanfaatkan power serta akses informasi dan modal yang dimiliki dengan
berperan sebagai spekulan tanah.
IV. SIMPULAN
IV.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan yang dilakukan, dapat disimpulkan hal- hal
sebagai berikut:
1. Perubahan penggunaan lahan di Kota Bandar Lampung terjadi seiring dengan
pertumbuhan dan perkembangan wilayah kota yang mencerminkan laju; pola dan
dampak yang beragam pada masing- masing bagian wilayah kota;
2. Faktor pertumbuhan ekonomi, pertambahan penduduk dan preferensi
masyarakat (yang merupakan refleksi dari variabel modal; informasi; dan
aksesibilitas) merupakan faktor pemicu terjadinya perubahan penggunaan lahan
yang tercermin pada perubahan pola pemanfaatan ruang wilayah kota.
3. Selama hampir satu dekade pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung
ditopang oleh sektor perekonomian di luar sektor pertanian dan sector
pertambangan & penggalian. Sedangkan dalam jangka panjang competitiveness
pertumbuhan ekonomi kota didukung oleh sektor pertanian industri pengolahan
non- migas; dan sektor keuangan, persewaan & jasa perusahaan.
.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Affendi. 1994a. Proses Pembentukan Sistem Kota-Kota Dan Analisis
Ekonomi Kawasan Perkotaan. Pengantar Mata Kuliah Analisis Sistem
Urban dan Regional. PS-PWD Program Pascasarjana IPB. Bogor
Anwar, Affendi. 1994b. Ekonomi Sumberdaya Lahan. Bahan Kuliah Ekonomi
Sumberdaya Alam. PS-PWD Program Pascasarjana IPB. Bogor
Blakely, Edward J. 1994. Planning Local Economic Development: Theory and
Practice Second Edition. Sage Publication. California
Barlowe, R. 1987. Land Resources Economics. Prentice Hall, Inc. Englewood
Clift, New Jersey
Bern, TD. 1977. The Assessement of Land Use Impact. P.109-116 dalam
Mac
Evoy and Dietz. Hand Book for Environment Change. John Walley and
Son, New York.
BPS, 2002. Kota Bandar Lampung Dalam Angka 2001, Kerjasama BAPPEDA
Kota Bandar Lampung Dengan BPS
BPS, 2009. Kota Bandar Lampung Dalam Angka 2008, Kerjasama BAPPEDA
Kota Bandar Lampung Dengan BPS
BPS, 2002. Propinsi Lampung Dalam Angka 2001, Kerjasama BAPPEDA Kota
Bandar Lampung Dengan BPS
BPS, 2009. Propinsi Lampung Dalam Angka 2008, Kerjasama BAPPEDA Kota
Bandar Lampung Dengan BPS
Hanafiah, T. 1985. Kutub dan Pusat Pertumbuhan Dalam Pembangunan Wilayah.
Pusat Pengembangan Wilayah Pedesaan-Lembaga Pengabdian Pada
Masyarakat IPB. Bogor
Saefulhakim, Sunsun. 1994. A Land Availability Mapping Model for Sustainable
Land Use Management. Ph.D Disertation Kyoto University. Japan
Saefulhakim, Sunsun. 1996. Efektivitas Kelembagaan Pengendalian Alih Guna
Tanah. Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan.
Jur. Tanah Faperta IPB Bogor
Sandy, I Made. 1995. Tanah: UUPA 1960 - 1995. PT. Indograph Bakti. FMIPA
Universitas Indonesia. Jakarta