You are on page 1of 2

Diskusi

Sementara rekurensi grup AMT hampir dua kali, (6,7%) pada AMT vs 3,7% pada CAT, tetapi
kita tidak menemukan perbedaan secara signifikan antara grup, meskipun dengan kemampuan statistik
minimalis. Nilai inflmasi juga tinggi paa AMT pada bulan pertama, ketiga, dan keenam pasca-operasi
(p<0,05) dengan penurunan trean di kedua grup.
Banyak studi mempublikasikan hasil yang bertolak bealakang antara 2 teknik tersebut. Kheilah
dkk melaporkan angka rekurensi pada AMT sebesar 10,5% dan pada CAT sebesar 10% setelah 1 bulan
operasi, disertai perbedaan statistik yang kurang signifikan. Pada studi lain, rekurensi lebih tinggi
dilaporkan sebesar 35% pada AMT dan 25% pada CAT setelah 6 bulan follow-up. Namun, mereka juga
menemukan tidak terdapat signifikansi antara AMT dan CAT yang mana bersesuain dengan studi
terbaru. Dikatakan diatas, angka rekurensi pada studi terbaru lebih rendah dibanding studi di Iran yang
serupa, membuktikan fakta bahwa kita mengikuti pasien selama setahun. Laporan angka rekurensi pada
studi terbaru menggantikan lainnya, yang dilakukan di negara lain. Sebagai tambahan, angka
kesuksesan tergantung faktor terbesar yaitu perbedaan prosedur operasi, lebih-lebih, jenis studi
populasi ( seperti distribusi gender dan angka rerata partisipan). Dapat menjelaskan perbedaan
rekurensi yang telah dilaporka. Meskipun, beberapa studi melaporkan rekurensi tertinggi di AMT
dibanding CAT. Hasil yang berbeda diantara studi mungkin dikarenakan perbedaan definisi rekurensi.
Chen dkk mengidentifikasi tidak ada perbedaan antara rekurensi grup D, sementara mereka
menemukan rekurensi tertingi dari grade A,B, dan C di AMT vs CAT. Lebih-lebih, pebedaan pada
prosedur operasi dapat menimbulkan perbedaan yang besar seperti diskrepansi, seperti detail operasi
yang dilakukan, seperti penggunaan lem fibrin dan prosedur tanpa jahitan. Juga, metaanalisis
melaporkan tidak ada perbedaan rekurensi antara AMT vs CAT pada bulan pertama serta rekurensi
pada bulan 6 pasca operasi. Dimana, perbedaan kondisi antar studi mungkin menjadi alasan munculnya
diskrepansi.

Terlebih, kita menemukan tidak ada asosiasi antar angka rekurensi dan ukuran pterigium, umur
antar gender pasien, yang mana dikatakan pada studi sebelumnya, meskipun beberapa studi lain
melaporkan perbedaan angka rekurensi berdasarkan umur pasien. Juga, rerata waktu rekurensi adalah
6,33 +/- 0,57 bulan pada studi terbaru, yang mana sejalan dengan studi-studi yang melaporkan 4-6
bulan pasca operasi, meskipun hanya 3 kasus yang rumit disertai rekurensi dari pterigium pada 1 tahun
pasca operasi.

Pada studi ini, semua operasi dilakukan oleh operator yang sama. Hanya pasien dengan
pterigium primer saja yang dikerjakan dan pterigium sekunder dianggap menjadi faktor risiko
terjadinya rekurensi dan dieksklusi. Kami menggunakan dosis dan durasi yang sama pada aplikasi
MMC di semua pasien pada kedua grupuntuk mendapat hasil dengan komparasi yang bagus dan
membatasi pengaruh dari faktor-faktor yang berimplikasi ke rekurensi pterigium. Kemungkinan aantara
penggunaan benang jahit dan lem fibrin mempunyai efek terhaap rekurensi. Teknik kami hanya
menggunakan jahitan tanpa lem fibrin.

Penemuan yang tidak disangka pada penelitian ini adalah inflamasi lebih sering pada AMT
daripada CAT bertolak dengan dengan sugesti AMT yang bersifat anti-parut dan anti-inflamasi,
keadaan tersebut perlu dicari lebih lanjut. Derajat dari inflamasi konjungtiva mungkin berpengaruh
pada hasil akhir operasi. Inflamasi yang berlebih pada operasi pterigium mungkin menginduksi
rekurensi AMT. Studi sebelumnya melaporkan inflmasi konjungtiva persisten di daerah sekitar operasi
terjadi 31,5 % - 40,7% pada AMT sehingga menyebabkan rekurensi sebesar 2 kali lipat.

Penemuan yang penting lainnya adalah l=kesamaan waktu sembuh dan operasi setelah BCVA,
dimana telah disebut di studi sebelumnya. Lebih lanjut, Katrichiogu dkk melaporkan tidaka terdapat
signifikansi secara statistik pada penampakan visual pasca-operasi, perubahan penampaka visual dan
waktu penyembuhan dari defek epitel antara AMT dan CAT, yang mana konsisten dengan studi terbaru.
Sejalan, dengan studi Chen dkk, waktu penyembuhan tidak berbeda di kedua grup sesuai dengan studi
terbaru.

Kedua prosedur operasi sangat aman. Kami menemukan tidak ada efek samping pada CAT dan
AMT. Efek samping spesifik operasi dievaluasi di kedua grup adalah granulasi jaringan, kista tenon,
nekrosis dari cangkokan, pembentukan Dellen, dan penipisan sklera yang sejalan dengan studi
sebelumnya, sementara yang lain melaporkan berbagai komplikasi seperti retraksi, granuloma,
penipisan sklera dan galukoma., tetapi seperti yang dikatan komplikasi dari AMT dan CAT tidak
mengancam penglihatan, sesuai dengan studi ini dan kemanan di kedua prosedur.

Studi terbaru memiliki beberapa keunggulan, termasuk tindak lanjut pasien selama setahun ke
depan yang mana memberi gambaran yang lebih baik mengenai rekurensi jangka panjang. Meskipun
demikian, tindak lanjut yang lebih lama diperlukan untuk mengamati komplikasi lambat dari MMC,
termasuk nekrosis pada sklera. Terlebih, grup yang dikomparasi pada pasien dengan persebaran
demografi secara acak. Studi ini memiliki keterbatasan seperti jumlah sampel yang kecil sementara
dengan kekuatan statistik yang lemah. Hasil dari studi kami mungkin memengaruhi populasi padana
penelitian di Iran utara, indikasi operasi, definisi rekurensi dan perawatan pasca operasi. Terlebih,
meskipun hasil statistik menunjukkan rekurensi tinggi pada AMT. Dikarenakan jumlah sampel yang
memengaruhi kekuatan statistik, terlebih pasien harus dibanding dengan 2 prosedur yang berbeda.

Kesimpullanya, hasil dari studi terbaru mengindikasikan perubahan penglihatan dan


penyembuhan pada AMT dan CAT adalah sama, tetapi inflamasi dan angka rekurensi lebih tinggi pada
AMT. CAT merupakan metode operasi yang digemari. Kita juga dapat menerima angka rekurensi
AMT. Mungkin AMT berguna untuk pasien dengan glaukoma yang mana memerlukan konjugtiva yang
utuh untuk operasi glaukoma di kemudian hari.

You might also like