You are on page 1of 12

Indonesia merupakan salah satu negara yang potensi sumberdaya batu baranya bisa

dikatakan melimpah, terutama di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera. Batu bara sendiri di
Indonesia saat ini dimanfaatkan sebagai bahan bakar utama selain solar (diesel fuel) yang telah
umum digunakan pada banyak industri, seperti kelistrikan dan industry pupuk. Pemanfaatan
batubara sebagai sumber kebutuhan energi nasional Indonesia akan semakin meningkat
hingga 30% dari total persentase sumber energi di tahun 2025 (Dewan Energi Nasional, 2006).
Laju produksi ekspor batubara nasional di bidang kelistrikan saja mencapai 370 juta ton
meskipun saat ini harganya terus menurun (Putri, 2016). Di lain pihak, tambang batubara di
Indonesia umumnya dilakukan dengan cara tambang terbuka, walaupun ada beberapa yang
menggunakan tambang bawah tanah (underground mining), sehingga akan berdampak terhadap
perubahan bentang alam, sifat fisik, kimia, dan biologis tanah, serta secara umum menimbulkan
kerusakan pada permukaan bumi. Dampak ini secara otomatis akan mengganggu ekosistem
diatasnya, termasuk tata air (Subardja, 2007).

Aktivitas pertambangan selalu membawa dua sisi. Sisi pertama adalah memacu
kemakmuran ekonomi negara sedangkan sisi yang lain adalah timbulnya dampak lingkungan
yang memerlukan tenaga, pikiran, dan biaya yang cukup signifikan untuk proses pemulihannya.
Kegiatan penambangan dicirikan dengan aktivitas penggalian dan penimbunan, kegiatan
penggalian dan penimbunan akan menyebabkan terdedahnya (exposed) bagian-bagian dari
batuan sehingga memungkinkan kontak dengan udara atau air hujan. Sehingga terjadi
proses pelapukan yang jika terjadi pada batuan dalam jangka waktu yang tertentu akan
menyebabkan terjadi perubahan fisik dan kimia batuan. Hasil pelapukan atau reaksi kimia
antara udara dengan mineral bila tercuci oleh limpasan hujan atau rembesan air tanah dan
juga reaksi antara air dan mineral dapat mengakibatkan perubahan kualitas air limpasan hujan
atau air tanah. Jika perubahan yang terjadi ditunjukan dengan tingkat keasaman yang tinggi, hal
ini disebut sebagai Air Asam Tambang (Acid Mine Drainage/AMD) (Sayoga, 2014).

Air asam tambang atau dalam bahasa asing Acid Mine Drainage (AMD) adalah air
yang terbentuk di lokasi penambangan dengan pH rendah (pH < 6) sebagai dampak
adanya suatu potensi keasaman batuan sehingga menimbulkan masalah bagi kualitas air,
dimana pembentuknya dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu air, oksigen dan batuan
yang mengandung mineral-mineral sulfide (Nurisman, 2012). Dalam kegiatan penambangan
terbentuknya air asam tambang tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan karena pada
dasarnya penambangan merupakan kegiatan pembongkaran mineral dari batuan induk untuk
kemudian diangkut, diolah dan dimanfaatkan sehingga dalam proses penambangan terjadi
penyingkapan batuan. Batuan yang tersisa umumnya mengandung senyawa sulfida yang
ketika teroksidasi melepaskan sulfat ke lingkungan sehingga pH lingkungan sangat rendah
yang disebut dengan air asam tambang. Kondisi pH yang sangat rendah menyebabkan
unsur hara makro akan terikat oleh logam sehingga kelarutan logam-logam akan semakin
tinggi. Kelarutan logam tersebut mempunyai dampak negatif terhadap kelangsungan makhluk
hidup terutama pada manusia antara lain logam Pb, Zn, Cu, dan Ni (Li, 2013). Oleh karena itu,
pengelolaan air asam tambang menjadi penting bagian yang harus diperhatikan agar kelak tidak
menimbulkan dampak negative dalam wakt

Jika air asam tambang tidak berhasil dikendalikan, air asam tambang dari
timbunan lapisan overburden ini bisa bertahan sampai bertahun -tahun. AAT ini
penyebab utama pencemaran air pada daerah di sekitar lokasi penambangan. Pencemaran air ini
dapat membahayakan ekosistem disekitar badan air, karena pH yang terlalu rendah.
Keasaman pada air ini juga dapat menimbulkan korosi pada peralatan tambang sehingga
mengurangi umur pakai peralatan tersebut. Menurut Undang-Undang No.4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral, Batubara dan Panas bumi serta Minyak dan Gas bahwa
Perusahaan Pertambangan wajib melaksanakan pengelolaan lingkungan dan menurut
Peraturan Gubernur No. 18 tahun 2005 tentang baku mutu limbah cair bagi industri, hotel,
rumah sakit, domestik bahwa perusahaan pertambangan batubara (ps 13) wajib melakukan
pengolahan limbah cair sehingga baku mutu limbah cair yang dibuang kelingkungan tidak
melampaui baku mutu lingkungan limbah cair yang ditetapkan. Menurut Peraturan Menteri
ESDM No. 113 tahun 2003 ada 4 (empat) parameter yang wajib dikelola pada kegiatan
penambangan batubara yaitu pH, Partikulat (TSS), Mn (mangan) dan Fe (besi). Sehingga
dalam hal ini penulis mencoba melakukan pembelajaran pengendalian air asam tambang tersebut
apakah usaha pencegahan yang dilakukan atau upaya pengelolaan air asam tambang pasca
tambang.
Terbentuknya air asam tambang dapat dicegah baik secara kimia (geokimia) maupun secara
fisik (geoteknik), secara fisik pencegahan terbentuknya air asam tambang dilakukan dengan
melakukan upaya-upaya fisik untuk mencegah atau menahan transport dari kotaminan ke badan
air, diantaranya dengan cara recycling, pengolahan/treatment danpengamanan dan penanganan
material timbunan. Penanganan material timbunan dilakukan dengan melakukan pemisahan
antara material yang bersifat pembentuk asam (Potential Acid Forming, PAF) dengan
material yang tidak mempunyai sifat pembentuk asam (Non Acid Forming, NAF),
selanjutnya dilakukan metode enkapsulasi. Pada metode enkapsulasi diterapkan cara
menempatkan material yang mempunyai sifat fisik yang memenuhi syarat sebagai material
cover yakni material dengan sifat tidak meloloskan air dan atau udara sehingga
menghindari terbentuknya air asam tambang (mencegah oksidasi mineral sulfida dan/atau

aliran air).

Seperti umumnya di banyak tambang batubara, lapisan overburden di PT. Bukit Asam (Persero)
Tbk. Tanjung Enim secara alami mengandung senyawa-senyawa sulfida dalam jumlah
yang berubah-ubah terutama dalam bentuk mineral pyrit (FeS2). Jenis mineral ini
sangatlah berpotensi menimbulkan air asam tambang bila bertemu dengan oksigen (O2) dan air
(H2O). Uji geokimia menunjukkan bahwa kira-kira 35% lapisan batuan penutup (overburden)
PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Tanjung Enim berpotensi membentuk asam. Dalam lapisan
overburden yang tidak terganggu, proses ini berlangsung dengan sangat lambat. Namun, di
dalam timbunan lapisan overburden, tingkat reaksi akan jauh lebih cepat karena permukaan
lapisan yang lebih luas. Di dalam kondisi-kondisi ini, air yang keluar dari timbunan
lapisan overburden akan bersifat asam dan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.
Kejadian ini umumnya disebut sebagai air asam tambang/AAT (mine acid drainage). Jika
tidak berhasil dikendalikan, air asam tambang dari timbunan lapisan overburden ini
bisa bertahan sampai bertahun -tahun. AAT ini penyebab utama pencemaran air pada daerah
di sekitar lokasi penambangan. Pencemaran air ini dapat membahayakan ekosistem disekitar
badan air, karena pH yang terlalu rendah. Keasaman pada air ini juga dapat menimbulkan
korosi pada peralatan tambang sehingga mengurangi umur pakai peralatan tersebut. Menurut
Undang-Undang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral, Batubara dan Panas bumi
serta Minyak dan Gas bahwa Perusahaan Pertambangan wajib melaksanakan pengelolaan
lingkungan dan menurut Peraturan Gubernur No. 18 tahun 2005 tentang baku mutu limbah
cair bagi industri, hotel, rumah sakit, domestik bahwa perusahaan pertambangan batubara (ps
13) wajib melakukan pengolahan limbah cair sehingga baku mutu limbah cair yang
dibuang kelingkungan tidak melampaui baku mutu lingkungan limbah cair yang ditetapkan.
Menurut Peraturan Menteri ESDM No. 113 tahun 2003 ada 4 (empat) parameter yang wajib
dikelola pada kegiatan penambangan batubara yaitu pH, Partikulat (TSS), Mn (mangan) dan
Fe (besi).

Permasalahan lingkungan dalam aktivitas pertambangan batubara umumnya terkait dengan Air
Asam Tambang (AAT) atau Acid Mine Drainage (AMD). Air tersebut terbentuk sebagai hasil
oksidasi mineral sulfida tertentu yang terkandung dalam batuan oleh oksigen di udara pada
lingkungan berair (Sayoga, 2007)

Permasalahan air asam tambang merupakan isu utama yang sering muncul dari
kegiatan pertambangan. Pemerintah dalam regulasi yang telah dikeluarkan yakni Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2009 memberikan kewajiban kepada pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP)
dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk menerapkan kaidah teknik
penambangan yang baik serta mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan (Pasal 95,
a dan e). Permasalahan air asam tambang masih terjadi di banyak pertambangan batubara,
sebagai contoh nilai pH air yang rendah di kolam bekas pit penambangan (Coal Pit Lake) di
Kalimantan Selatan (Rahmawati & Gautama, 2010; Saputri & Gautama, 2010) dan nilai pH
yang rendah di Sungai Ukud yang terkontaminasi oleh air asam tambang di Site Lati,
Kalimantan Timur (Abfertiawan, 2010).

Sungai Ukud merupakan sungai yang mengalir di Site Lati yang terindikasi terkontaminasi oleh
air asam tambang dari kegiatan penambangan aktif dan daerah penimbunan. Nilai pH
Sungai Ukud berada pada kisaran 3-4,5. Daerah tangkapan Sungai Ukud terdiri dari 48.6%
daerah terganggu (pit dan timbunan) and 51.4% daerah asli. Pencegahan melalui
enkapsulasi dengan memanfaatkan material tidak berpotensi membentuk asam (Non Acid
Forming / NAF) sulit dilakukan dikarenakan keterbatasan material tersebut. Secara umum
persentase volume litologi NAF yang menyusun Site Lati adalah 30% dan persentase volume
overburden litologi PAF adalah 70% dari total overburden.

Pertambangan batubara permukaan (surface coal mining) secara umum meliputi kegiatan

penggalian dan penimbunan batuan penutup (overburden) baik out pit dump maupun in pit
dump.

Pit penambangan merupakan daerah yang tidak dapat dihindari dari potensi
pembentukan AAT yang berasal batuan pada dinding pit. Sehingga upaya yang
dapat dilakukan hanyalah dengan melakukan pengolahan. Air yang masuk kedalam pit
penambangan dikumpulkan dalam kolam di lantai tambang (pit sump). Air tersebut
lalu dipompakan keluar dari pit untuk dilakukan proses pengolahan. Selain dari pit
penambangan, area disposal batuan penutup juga berpotensi untuk membentuk AAT
terutama disposal yang belum final. Disposal yang telah final juga berpotensi dapat
membentuk air asam tambang jika proses pengelolaan batuan penutup yakni
pemisahan material PAF dan NAF tidak dilakukan. Pembentukan AAT dari area
penambangan, baik pit maupun disposal, jika tidak dilakukan upaya pengelolaan dan
pengolahan akan mengalir menuju aliran sungai. Hal ini akan menyebabkan
penurunan kualitas aliran sungai. Kualitas aliran sungai di hulu sangat dipengaruhi
oleh kualitas aliran dari setiap aliran di sub-catchment melalui proses pencampuran dan
atau dilusi. Ini adalah dasar dari konsep pengelolaan AAT melalui pendekatan catchment
area. Dengan memahami potensi pembentukan AAT, maka proses dan resiko di setiap
site atau sub-catchment area dapat ditangani.

Air Asam Tambang (AAT) adalah istilah umum yang digunakan untuk menerangkan
lindian (leachate), rembesan (seapage) atau aliran (drainage) yang telah dipengaruhi oleh
oksidasi alamiah mineral sulfida yang terkandung dalam batuan yang terpapar (exposed)
selama penambangan.

Batuan memiliki karakteristik geokimia yang beragam, dari karakteristik tersebut dapat
memberikan dampak positif dan negatif. Dampak negatif yang sering muncul terutama di
dunia tambang adalah terbentuknya Air Asam Tambang (AAT), untuk itu diperlukan identifikasi
batuan yang berkaitan dengan masalah tersebut, yaitu pemetaan kandungan material
Potensial Acid Forming (PAF) dan Non Acid Forming (NAF). Hal tersebut sangat penting
mengingat dampak buruk yang ditimbulkan dari masalah tersebut apabila tidak ditangani secara
baik. Masalah tersebut antara lain adalah kualitas kerja air tambang, biota air, kualitas air
tanah, kualitas tanah, dan reklamasi. Dari semua masalah tersebut di atas semuannya akan
kembali dan berpengaruh ke manusia sendiri sebagai pelaku dan penanggungjawab hasil
berupa dampak buruk tersebut. Untuk itu perlu adanya tindakan dari awal diantaranya adalah
identifikasi geokimia batuan yang kemudian dibuat model geokimia batuan sebagai pedoman
pada saat proses penambangan.

Air asam tambang (AAT) merupakan salah satu permasalahan utama di lokasi
pertambangan batubara yang dilakukan dengan penambangan terbuka. Pembentukkan AAT
terjadi akibat adanya bahan timbunan bekas tambang (overburden) yang mengandung mineral
sulfida, seperti Pirit (FeS2) yang tersingkap dan bereaksi dengan oksigen di udara maupun
dalam air (Holmstrom, 2000 dalam Nyquist dan Greger, 2009). Karakteristik AAT tidak dapat
dipisahkan dari nilai pH yang sangat rendah dan kelarutan logam yang tinggi, yang dinilai
berbahaya bagi kehidupan flora dan fauna.

Upaya pengelolaan AAT dapat dilakukan dengan teknik perlakuan aktif (active treatment) dan
perlakuan pasif (passive treatment). Perlakuan aktif antara lain dengan menambahkan
bahan- bahan alkalin, seperti kapur (CaCO3), sedangkan perlakuan pasif pada prinsipnya
membiarkan reaksi kimia dan biologi berlangsung secara alami (Skousen dan Ziemkiewicz,
1996 dalam Munawar, 2007). Pengendalian air asam tambang dengan perlakuan pasif
banyak dilakukan dalam rawa-rawa buatan. Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam
pembuatan rawa buatan adalah ketersediaan bahan-bahan di lokasi, dalam hal ini lokasi
tambang dimana biasanya mempunyai akses yang sulit. Untuk itu, ketersediaan bahan-bahan
in situ sangat penting untuk diperhatikan. Bahan - bahan yang berpotensi digunakan dalam
pembuatan rawa buatan diantaranya bahan organik dan lumpur endapan AAT. Bahan organik
sangat diperlukan sebagai bahan yang dapat membantu proses remediasi AAT secara
biokimia, demikian juga dengan lumpur AAT. Hasil penelitian Munawar (2007)
menyebutkan bahwa lumpur AAT yang sangat masam mengandung berbagai jenis bakteri
pereduksi yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan lahan basah (Munawar, 2007).

Penelitian ini bertujuan untuk merancang rawa buatan berbasis bahan-bahan insitu
dalam memperbaiki kualitas air asam tambang dan melakukan pengujian terhadap
efektifitas rawa buatan dalam mengurangi bahan pencemar

Indonesia memiliki banyak tambang bartubara terutama di pulau kalimantan. 70% dari
tambang batubara yang berada di Indonesia memiliki potensi menghasilkan air asam tambang.
Air Asam Tambang (AAT) atau Acid mine/rock drainage (AMD) dapat didefinisikan
sebagai air yang berasal dari kegiatan tambang terbuka atau tambang bawah tanah atau
timbunan bijih atau batubara yang dicirikan oleh tingkat keasaman yang tinggi dan (pH rendah)
dengan peningkatan kandungan logam terlarut (Gautama, 2009). Air Asam Tambang
merupakan salah satu masalah lingkungan yang signifikan, tidak hanya pada tambang
mineral tetapi juga pada tambang batubara.

Air Asam Tambang terbentuk dari beberapa reaksi kimia dan biologi, dimana merupakan hasil
kontak antara air, oksigen dan mineral pirit. Adapun persamaan reaksinya adalah:

4 FeS2 + 15 O2 + 14 H2O 4 Fe(OH)3 + 8 H2SO4

Kebanyakan tambang batubara yang ada di Indonesia adalah tambang open pit. Lubang
yang dihasilkan dari penambangan metode open pit berukuran besar dan dalam. Sehingga
apabila lubang itu terisi air maka kemungkinan besar akan terbentuk air asam tambang.

Penambangan batubara di Tambang Air Laya PT. Bukit Asam (Persero) dilaksanakan dengan
sistem tambang terbuka, dimana dilakukan pembersihan, pematangan lahan dan
pengupasan tanah penutup (overburden) dan penggalian batubara. Akibat kegiatan
pengupasan tanah penutup dan penggalian batubara akan mengakibatkan mineral- mineral
sulfida terutama Pyrit (FeS2) akan terekpose sehingga terjadi reaksi antara mineral-mineral
tersebut dengan Udara (O2) dan Air (H2O) yang kemudian akan menghasilkan air asam
tambang (mine acid drainage). Proses penanganan air asam tambang dilakukan melalui sistem
drainase dimana air asam tambang dari area galian dan dari limpasan dialirkan ke Kolam
Pengendap Lumpur (KPL) untuk mengendapkan padatan yang berasal dari tanah yang tererosi
air limpasan.
Metode yang digunakan PT. Bukit Asam (Persero) untuk penetralan air asam tambang adalah
dengan metode aktif yaitu dengan menambahkan kapur tohor (CaO) secara langsung ke badan
air dalam KPL. Metode ini tergolong belum efektif karena belum diketahui secara persis dosis
yang pasti sehingga sulit dievaluasi keefektifannya. Pengkajian yang dilakukan dengan
percobaan skala laboratorium dan pengamatan serta analisa lapangan. Dari Analisa
laboratorium didapat dosis kapur tohor (CaO) yang efektif untuk menaikkan pH air asam
tambang yang berasal dari Air Laya Putih dengan pH awal 3 yaitu 0,5 gr/ml, sedangkan dari
pengujian lapangan didapat dosis kapur 0,2 gr/l. Dengan dosis kapur 0,2 gr/l maka perkiraan
kebutuhan kapur adalah 177,6 ton per bulan dengan biaya Rp. 124.320.000,- /bulan.

1. Pendahuluan

Seperti umumnya di banyak tambang batubara, lapisan overburden di PT. Bukit Asam (Persero)
Tbk. Tanjung Enim secara alami mengandung senyawa-senyawa sulfida dalam jumlah
yang berubah-ubah terutama dalam bentuk mineral pyrit (FeS2). Jenis mineral ini
sangatlah berpotensi menimbulkan air asam tambang bila bertemu dengan oksigen (O2) dan air
(H2O). Uji geokimia menunjukkan bahwa kira-kira 35% lapisan batuan penutup (overburden)
PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Tanjung Enim berpotensi membentuk asam. Dalam lapisan
overburden yang tidak terganggu, proses ini berlangsung dengan sangat lambat. Namun, di
dalam timbunan lapisan overburden, tingkat reaksi akan jauh lebih cepat karena permukaan
lapisan yang lebih luas. Di dalam kondisi-kondisi ini, air yang keluar dari timbunan
lapisan overburden akan bersifat asam dan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.
Kejadian ini umumnya disebut sebagai air asam tambang/AAT (mine acid drainage). Jika
tidak berhasil dikendalikan, air asam tambang dari timbunan lapisan overburden ini
bisa bertahan sampai bertahun -tahun. AAT ini penyebab utama pencemaran air pada daerah
di sekitar lokasi penambangan. Pencemaran air ini dapat membahayakan ekosistem disekitar
badan air, karena pH yang terlalu rendah. Keasaman pada air ini juga dapat menimbulkan
korosi pada peralatan tambang sehingga mengurangi umur pakai peralatan tersebut. Menurut
Undang-Undang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral, Batubara dan Panas bumi
serta Minyak dan Gas bahwa Perusahaan Pertambangan wajib melaksanakan pengelolaan
lingkungan dan menurut Peraturan Gubernur No. 18 tahun 2005 tentang baku mutu limbah
cair bagi industri, hotel, rumah sakit, domestik bahwa perusahaan pertambangan batubara (ps
13) wajib melakukan pengolahan limbah cair sehingga baku mutu limbah cair yang
dibuang kelingkungan tidak melampaui baku mutu lingkungan limbah cair yang ditetapkan.
Menurut Peraturan Menteri ESDM No. 113 tahun 2003 ada 4 (empat) parameter yang wajib
dikelola pada kegiatan penambangan batubara yaitu pH, Partikulat (TSS), Mn (mangan) dan
Fe (besi).

Sebagai perusahaan yang peduli lingkungan PT. Bukit Asam (Persero) langkah penanganan air
asam tambang di tiga lokasi penambangan yaitu Tambang Air Laya (TAL), Bangko dan Muara

Tiga Besar. Khususnya di area Air Laya, dimana pada area galian AAT yang ditampung
di dasar tambang dipompakan ke Kolam Pengendap Lumpur (KPL), selanjutnya air
tersebut dilewatkan pada saluran kapur (CaO) dengan tujuan agar pH dapat dinaikkan.
Sedangkan pada daerah backfilling maupun outside dump, penanganan dilakukan dengan pola
pengaliran pada permukaan timbunan sehingga air limpasan mengalir kedalam kolam pengendap
lumpur (KPL), kemudian dilakukan cara yang sama dengan penanganan pada daerah
galian. Metode penanganan dengan cara pengapuran relatif efektif, tetapi belum diketahui secara
pasti berapa dosis yang efektif untuk menaikkan pH, selama ini hanya dilakukan
pengapuran secara rutin dan relatif batu kapur yang digunakan besar dan biaya juga besar.
Pengolahan air asam tambang dengan metode pengapuran secara aktif/langsung, belum
diketahui dosis yang pasti yang dapat menaikkan pH air asam tambang yang berasal dari kolam
pengendap lumpur di lokasi Air Laya Putih sampai mencapai batas baku mutu
lingkungan (BML). Untuk mendapatkan dosis pengapuran yang tepat dalam menaikkan pH
air asam tambang di Kolam Pengendapan Lumpur Air Laya Putih serta tingkat keefektifannya
terhadap biaya pengapuran, tingkat keberhasilan dan kestabilan hasil pengolahan sehingga
menghasilkan air yang sesuai dengan Baku Mutu Lingkungan (BML).

Oleh karena itu dalam studi ini dilakukan perhitungan dosis pengapuran dalam upaya
memperkecil kerugian baik dari segi biaya dan tenaga dari metode penanganan air asam
tambang yang dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat membandingkan hasil percobaan
laboratorium dan percobaan lapangan sehingga dapat mengetahui biaya pengapuran
danefektifitas metode penanganan dengan cara pengapuran yang selama ini dilakukan dan
mmberikan masukan

2. Metoda

Tahapan penelitian ini terdiri dari studi literatur, pengumpulan data sekunder berupa data curah
hujan, peta daerah tangkapan hujan KPL air laya putih, debit air yang masuk ke sistem
dan spesifikasi kapur tohor. Pengumpulan data primer berupa pengukuran pH air asam
tambang pada pipa keluaran pertama hasil pemompaan air dan main sump tambang yang akan
menujuKolam Pengendapan Lumpur (KPL) dan hasil analisa laboratorium dan percobaan
lapanga Untuk mendapatkan gambaran dosis kapur yang tepat untuk menaikkan pH air asam
tambang yang berasal dari KPL Air Laya Putih dari pH 3 sampai mencapai Baku Mutu
Lingkungan (BML sebesar pH 6 9

Kapur tohor yang digunakan berasal dari PT. Semen Baturaja, berdasarkan hasil pengujian di
laboratorium Biopres teknik Kimia kadar Ca yang terkandung dalam CaO sebesar lebih kurang
39,58%Percobaan skala lapangan untuk membuktikan hasil penelitian laboratorium
terhadap dosis kapur 0,5 gr/l yang dapat menaikkan pH air asam tambang sampai memenuhi
kualitas menurut Baku Mutu Lingkungan (BML), dimana tahapannya yaitu:
Penetapan lokasi percobaan KPL dengan karakteristik fisik luas 3 ha, dan memiliki volume
48.000 m, terdiri 7 kolam yang memiliki dimensi yang hampir sama dengan panjang 86 m,
lebar 20 m dan kedalaman 4 m

Prosedur pengapuran

You might also like