You are on page 1of 12

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Epidemiologi


Amiloidosis merupakan suatu kondisi yang berhubungan dengan sejumlah
kelainan bawaan dan inflamasi, yang ditandai dengan adanya kerusakan jaringan
akibat penumpukan protein fibrillar ekstraseluler. Protein fibrillar abnormal
dihasilkan oleh adanya proses agregasi protein misfolded. Deposit protein fibrillar
terikat pada berbagai proteoglikan dan glikosaminoglikan, termasuk heparan
sulfat, dermatan sulfat, dan protein plasma, terutama serum amyloid P component
(SAP). Deposit dari protein fibrillar memiliki karakteristik pewarnaan seperti pati
(amilosa), hal ini disebabkan oleh adanya kelompok gula yang teradsorpsi oleh
protein tersebut. Oleh karena itu, deposit tersebut dinamakan amiloid, meskipun
deposit ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan pati (Kumar et al., 2015).
Amiloid diendapkan dalam ruang ekstraseluler pada berbagai jaringan dan
organ tubuh. Karena deposisi amiloid muncul tiba-tiba dan tanpa penyebab yang
jelas, diagnosis klinis didasarkan pada identifikasi morfologi amiloid pada
spesimen biopsi yang sesuai. Dengan mikroskop cahaya dan pewarnaan
hematoxylin eosin, amiloid terlihat amorf, hialin, eosinofilik, dan terkonsentrasi
pada daerah ekstraseluler. Adanya akumulasi yang progresif, amiloid dapat
mendesak sel yang berada disekitar dan menyebabkan atrofi pada sel tersebut.
Untuk membedakan amiloid dari bahan hialin lain (misalnya, kolagen dan fibrin),
berbagai teknik histokimia dapat digunakan. Teknik yang paling banyak
digunakan adalah congo red stain, di bawah sinar biasa nampak merah muda atau
merah untuk deposit jaringan, akan tetapi bila menginginkan gambaran yang lebih
spesifik dapat digunakan mikroskop polarisasi, dimana amiloid nampak apple-
green birefringence (Kumar et al., 2015).
Pengendapan amiloid di jaringan otak merupakan salah satu penyebab
penyakit Alzheimer, yang menyerang lebih dari 12 juta orang di seluruh dunia.
Sistem saraf pusat juga menjadi target dari protein prion, penyebab kelainan
neurodegeneratif herediter atau diperoleh. Sekitar 1 juta pasien yang menerima

1
perawatan dialisis di seluruh dunia beresiko untuk mengalami amiloidosis
simtomatik. Dua bentuk yang paling umum dari amiloidosis sistemik adalah rantai
ringan (AL) amiloidosis, dengan kejadian sekitar 1 kasus per 100.000 orang/tahun
di negara-negara Barat, dan amiloidosis reaktif akibat penyakit inflamasi kronis
(misalnya, rheumatoid arthritis dan infeksi kronis) (Hardy dan Selkoe, 2002).

2.2 Protein Amiloid


Isolasi dan karakterisasi kimia dari komponen protein amiloid merupakan
hal perlu dilakukan dan dikembangkan. Hingga saat ini, terdapat 21 protein
berbeda yang telah dikenal sebagai agen penyebab amiloidosis. Meskipun
memiliki struktur dan fungsi heterogen, semua protein tersebut dapat
menghasilkan fibril amiloid yang dapat dibedakan secara morfologis (Gambar 1.).
Bentuk umum dari protein fibrillar dapat dianggap sebagai struktur primordial,
yang didominasi oleh ikatan hidrogen antara gugus amida dan gugus karbonil dari
rantai utama, bukan oleh interaksi spesifik dari rantai samping, yang menentukan
struktur protein globular fungsional. Inti dari amiloidosis terletak pada kapasitas
protein tersebut untuk melakukan lebih dari satu konformasi, yang disebut juga
sebagai protein bunglon (Westermark et al., 2002).

Gambar 1. Amiloid fibril yang diekstrasi dari jantung pasien dengan amiloidosis
apoliprotein A-I familial, yang diamati di bawah mikroskop tekanan atom
dengan rentang Z 14 nm (Merlini dan Belloti, 2003).

2
Dengan mikroskop elektron, semua jenis amiloid terdiri nonbranching
fibril dengan diameter sekitar 7,5-10 nm. Kristalografi sinar-X dan spektroskopi
inframerah menunjukkan karakteristik cross--pleated sheet conformation
(Gambar 2.) (Kumar et al., 2015).

Gambar 2. Struktur dari amiloid. A, diagram skematik dari amiloid fibril yang terdiri dari
4 fibril yang terikat satu dengan lain, yang dapat dilihat dengan pengecatan
Congo. B. Pengecatan congo yang menunjukkan gambaran apple-green
birefringence di bawah mikroskop polarisasi. C. Gambaran mikroelektron
dari amiloid fibril dengan ukuran 7.4-10 nm (Kumar et al., 2015).

Sekitar 95% dari bahan amiloid terdiri dari protein fibril, sisanya 5%
adalah komponen P dan glikoprotein lainnya. Tiga bentuk yang paling umum dari
amiloid adalah sebagai berikut:
Protein AL (amiloid rantai ringan) terdiri dari rantai ringan immunoglobulin
seluruhnya, fragmen aminoterminal dari rantai ringan, atau keduanya.
Sebagian besar protein AL yang telah dianalisis terdiri dari rantai ringan
maupun fragmennya, tetapi juga ditemukan rantai pada beberapa kasus.
Protein amiloid fibril dari jenis AL dihasilkan dari rantai ringan
immunoglobulin bebas yang disekresikan oleh populasi monoklonal sel

3
plasma, dan deposisinya berhubungan dengan beberapa bentuk keganasan sel
plasma.
Protein AA (amiloid terkait), merupakan jenis protein amiloid fibril yang
berasal dari protein non immunoglobulin yang dihasilkan oleh hati. Memiliki
berat molekul 8500 dan terdiri dari 76 residu asam amino. Fibril AA yang
diperoleh dari proteolisis memiliki berat molekul yang lebih besar (12.000
dalton), merupakan prekursor dalam serum yang disebut SAA (serum amyloid
terkait, protein yang disintesis di hati dan bersirkulasi dengan mengikat
lipoprotein densitas tinggi). Produksi protein SAA meningkat pada daerah
yang mengalami inflamasi sebagai bagian dari respon fase akut
Protein amyloid-beta (A) merupakan plak pada otak maupun protein yang
mengendap pada dinding pembuluh darah otak yang ditemukan pada penyakit
Alzheimer. Protein A merupakan peptida dengan berat molekul 4000 dalton
yang diperoleh dari hasil proteolisis glikoprotein transmembran g yang jauh
lebih besar, yang disebut protein prekursor amiloid (Kumar et al., 2015).
Beberapa protein lain juga ditemukan dalam deposit amiloid, yaitu
Transthyretin (TTR) adalah protein serum normal yang mengikat dan
mentranspot tiroksin dan retinol. Adanya mutasi pada gen yang mengkode
TTR dapat mengubah struktur dari TTR, menyebabkan protein mudah
mengalami misfolding dan agregasi, dan tahan terhadap proteolisis. Hal ini
menyebabkan terbentuknya deposit amiloid. Penyakit yang dihasilkan akibat
adanya deposit TTR disebut familial amyloid polyneuropathies. TTR juga
dideposisi pada jantung orang yang berusia tua (senile systemic amyloidosis);
dalam kasus seperti protein secara struktural normal, tetapi terakumulasi pada
konsentrasi tinggi. Beberapa kasus amiloidosis familial berhubungan dengan
deposit lisozim mutan.
2-mikroglobulin merupakan komponen molekul MHC kelas I dan protein
serum normal, telah diidentifikasi sebagai subunit amiloid fibril (A2m) pada
amiloidosis yang mempersulit pasien hemodialisis jangka panjang. Serat
A2m secara struktural mirip dengan protein 2m normal. Protein ini
ditemukan dengan konsentrasi tinggi pada serum pasien dengan penyakit
ginjal dan dipertahankan dalam sirkulasi karena tidak dapat disaring melalui

4
membran dialysis secara efisien. Pada beberapa kasus, 60% sampai 80% dari
pasien dialisis jangka panjang ditemukan deposit amiloid pada sinovial, sendi,
dan tendon
Deposit amiloid yang berasal dari beragam prekursor seperti hormon
(prokalsitonin) dan keratin juga telah dilaporkan (Kumar et al., 2015).

Gambar 3. Patogenesis amiloidosis. Mekanisme yang mendasari deposisi dari bentuk


mayor amiloid fibrillar (Kumar et al., 2015).

2.3 Klasifikasi Amiloidosis


Adanya berbagai bentuk amiloid dari aspek biokimianya (misalnya AA),
menyebabkan munculnya karakteristik klinis dari deposisi amiloid yang beragam,
klasifikasi gabungan dari segi biokimia dan klinis dapat dilihat pada Tabel 1.
Amiloid dapat bersifat sistemik, yang melibatkan beberapa sistem organ, atau
deposit dapat juga bersifat lokal/terbatas pada organ tunggal, seperti jantung.
Amiloidosis sistemik di subkelompokkan menjadi amiloidosis primer bila
dikaitkan dengan proliferasi sel plasma monoklonal dan amiloidosis sekunder bila
terjadi akibat komplikasi dari proses inflamasi kronis atau proses kerusakan
jaringan (Kumar et al., 2015).

5
Tabel 1. Klasifikasi dari Amiloidosis (Kumar et al., 2015).

a. Amiloidosis Primer: Immunocyte Dyscrasias with Amyloidosis


Amiloid jenis ini biasanya terdistribusi sistemik dan merupakan jenis AL.
Dengan sekitar 3000 kasus baru setiap tahun di Amerika Serikat, bentuk ini adalah
bentuk yang paling umum dari amiloidosis. Dalam beberapa kasus, terdapat
proliferasi dari sel plasma monoklonal yang mudah diidentifikasi; 5-15% pasien
multiple myeloma mengalami amiloidosis sistemik, yang merupakan keganasan
sel plasma yang ditandai dengan beberapa lesi osteolitik pada seluruh sistem
kerangka (Kumar et al., 2015).
Sel-sel plasma ganas mensintesis imunoglobulin spesifik tunggal
(gammopathy monoklonal) dalam jumlah abnormal, menghasilkan lonjakan
protein M (myeloma) dalam serum pada elektroforesis. Selain dapat mensintesis
molekul immunoglobulin secara utuh, sel plasma juga dapat mensintesis dan
mensekresi fragmen immunoglobulin, baik atau rantai ringan , yang dikenal
sebagai protein Bence Jones. Oleh karena ukuran molekulnya yang kecil, protein
ini sering juga diekskresikan dalam urin. Hampir semua pasien dengan myeloma
yang berkembang menjadi amiloidosis memiliki protein Bence Jones dalam serum
atau urin, atau keduanya. Namun, amiloidosis berkembang hanya dari 6% sampai
15% pasien dengan myeloma yang memiliki rantai ringan bebas. Oleh karena itu,
adanya protein Bence Jones sendiri, tidak cukup untuk menghasilkan amiloidosis.

6
Faktor lain, seperti jenis rantai ringan yang dihasilkan dan katabolismenya,
berhubungan dengan munculnya "potensial amiloidogenik" dan deposisi protein
Bence Jones. Sebagian besar pasien dengan amiloidosis AL tidak disertai dengan
myeloma multiple maupun keganasan sel B lainnya, akan tetapi kasus tersebut
tetap diklasifikasikan sebagai amiloidosis primer karena amoiloidosis tersebut
berasal dari efek deposisi amiloid tanpa penyakit terkait lainnya (Kumar et al.,
2015).

b. Reactive Systemic Amyloidosis


Distribusi deposit amiloid jenis ini adalah sistemik dan terdiri dari protein
AA. Jenis ini sebelumnya dikenal sebagai amiloidosis sekunder, karena
berhubungan dengan proses inflamasi. Faktanya, sebagian besar kasus reactive
systemic amyloidosis adalah inflamasi kronis. Seperti, tuberkulosis, bronkiektasis,
dan osteomyelitis kronis adalah penyebab paling umum; dengan munculnya terapi
antimikroba yang efektif, reactive systemic amyloidosis yang paling sering
muncul disebabkan oleh adanya inflamasi kronis akibat proses autoimun
(misalnya, RA, ankylosing spondylitis, inflammatory bowel disease). Pasien
dengan RA sangat rentan untuk berkembang menjadi amiloidosis, dengan deposisi
amiloid terlihat pada 3% dari kasus RA. Reactive systemic amyloidosis juga dapat
terjadi pada pasien dengan keganasan yang bukan berasal dari sel imun, yaitu
renal cell carcinoma dan Hodgkin lymphoma yang merupakan dua jenis
keganasan yang paling sering berkembang menjadi amiloidosis (Kumar et al.,
2015).

c. Familial (Hereditary) Amyloidosis


Salah satu contoh amiloidosis familial adalah familial Mediterranean
fever yang merupakan kondisi autosomal resesif, ditandai dengan adanya serangan
demam yang disertai keradangan pada permukaan serosa, termasuk peritoneum,
pleura, dan membran sinovial. Gangguan ini ditemukan sebagian besar pada orang
Armenia, Sephardic Yahudi, dan Arab. Yang membedakan jenis ini dengan
reactive systemic amyloidosis adalah keterlibatan jaringan yang luas. Protein
amiloid fibril terdiri dari protein AA, menunjukkan bahwa bentuk amiloidosis ini

7
berhubungan dengan serangan berulang dari peradangan. Gen untuk familial
Mediterranean fever disebut pyrin dan mengkode protein yang merupakan
komponen dari inflammasome. Adanya mutasi pada gen pyrin mengakibatkan
produksi sitokin proinflamasi IL-1 yang berlebihan dan keradangan yang persisten
(Kumar et al., 2015).
Berbeda dengan familial Mediterranean fever, sekelompok gangguan
familial autosomal dominan ditandai dengan adanya deposisi amiloid terutama
pada saraf perifer dan otonom, yang dikenal sebagai polineuropati amyloidotic
familial yang banyak dijelaskan di berbagai belahan dunia seperti, Portugal,
Jepang, Swedia, dan Amerika Serikat. Polineuropati amyloidotic familial terjadi
akibat adanya mutasi dari transthyretin (ATTRs) (Kumar et al., 2015).

d. Localized Amyloidosis
Pada beberapa kasus, deposisi amiloid terbatas pada organ atau jaringan
tunggal tanpa keterlibatan daerah lain dalam tubuh. Deposit ini menghasilkan
massa nodular yang dapat terlihat secara makroskopis maupun harus dengan
menggunakan pemeriksaan mikroskopis. Nodular yang terbentuk akibat deposit
amiloid, paling sering ditemukan pada paru-paru, laring, kulit, kandung kemih,
lidah, dan daerah sekitar mata. Infiltrat limfosit dan sel plasma pada daerah perifer
massa amiloid kadang ditemukan (Kumar et al., 2015).

e. Endocrine Amyloid
Deposito mikroskopis amiloid lokal dapat ditemukan pada tumor endokrin
tertentu, seperti carcinoma of the thyroid gland, islet tumors of the pancreas,
pheochromocytomas, dan undifferentiated carcinomas of the stomach, serta pada
islets of Langerhans pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2. Pada amilodiosis
jenis ini, protein amiloidogenik tampaknya berasal dari hormon polipeptida
(karsinoma meduler) atau dari protein yang lain (misalnya, islet amyloid
polypeptide) (Kumar et al., 2015).

8
f. Amyloid of Aging
Beberapa bentuk amiloidosis terjadi akibat adanya deposisi amiloid karena
penuaan. Senile systemic amyloidosis mengacu pada deposisi sistemik amiloid
pada orang tua (biasanya pada usia 70-an dan 80-an). Karena sebagian besar kasus
terkait dengan disfungsi jantung (kardiomiopati restriktif dan aritmia), bentuk ini
juga disebut senile cardiac amyloidosis. Protein amiloid dalam bentuk ini terdiri
dari transthyretin normal. Selain itu, bentuk lain yaitu bentuk mutan dari TTR
hanya terdeposit pada jantung. Sekitar 4% dari penduduk kulit hitam di Amerika
Serikat adalah pembawa alel mutan dan kardiomiopati telah diidentifikasi pada
pasien homozigot dan heterozigot (Kumar et al., 2015).

2.4 Deposisi Amiloid pada Jaringan Spesifik


Banyaknya keragaman dari distribusi protein amiloid merupakan salah
satu masalah yang belum dapat terpecahkan dalam penelitian amiloidosis. Agregat
protein spesifik yang terutama ditemukan pada organ sasaran adalah beta2-
mikroglobulin dalam sendi, rantai fibrinogen Aa di ginjal, dan varian transthyretin
Met30 di saraf perifer. Pada amiloidosis rantai ringan, deposit dapat mengendap
pada hampir setiap organ (Gambar 3). Seperempat dari pasien datang dengan
amiloidosis lokal (keterlibatan klinis organ tunggal) dan prognosis ditentukan dari
organ yang terkena. Amiloidosis lokal yang biasanya terdeposit secara sistemik
juga dapat terjadi, seperti amiloidosis AL lokalis, yang ditandai dengan
pertumbuhan lokal dari sel plasma monoklonal dan pembatasan deposit amiloid
pada daerah yang berdekatan dengan daerah sintesis protein (Merlini dan Belloti,
2003).
Daerah deposisi tergantung pada beberapa faktor yang menstimulasi
pembentukan fibril, seperti konsentrasi protein lokal yang tinggi, pH yang rendah,
terjadinya proses proteolitik, dan adanya benih fibril. Faktor lain yang
mempengaruhi lokasi deposisi adalah adanya interaksi spesifik dengan
glikosaminoglikan maupun reseptor permukaan sel seperti reseptor untuk glikasi
produk akhir (RAGE). Pada amiloidosis AL, pengenalan konstituen jaringan
tertentu (yaitu, kolagen) oleh rantai ringan amiloidogenik dapat menentukan
spesifisitas deposisi jaringan. Misalnya, adanya deposisi protein amiloid pada

9
ginjal akibat adanya interaksi protein rantai ringan yang berasal dari gen 6a-germ
line dengan sel mesengial (Comenzo et al., 2001).

Gambar 4. Distribusi protein amiloid rantai ringan pada beberapa organ (445 pasien).
Prosentasi deposit amiloid pada beberapa organ (Merlini dan Belloti, 2003).

2.5 Mekanisme Kerusakan Jaringan


Terdapat perdebatan mengenai mekanisme kerusakan jaringan dan
disfungsi organ akibat adanya agregasi protein amiloid. Pengendapan sejumlah

10
besar bahan fibrillar dapat merusak arsitektur jaringan normal dan menyebabkan
disfungsi organ. Amiloid fibrillar juga dapat menyebabkan disfungsi organ akibat
interaksinya dengan beberapa reseptor lokal, seperti RAGE. Pada penyakit
Alzheimer, respon inflamasi pada korteks serebral ditimbulkan oleh adanya
akumulasi A yang progresif yang berkontribusi pada patogenesis penyakit
tersebut. Pada amiloidosis A dan transthyretin, intermediet oligomer fibril yang
larut bersifat sitotoksik baik in vitro maupun in vivo. Prekursor fibril yang larut
tersebut cenderung berubah menjadi struktur kuaterner yang memediasi toksisitas
seluler melalui mekanisme yang menyebabkan stres oksidatif dan mengaktifkan
jalur apoptosis. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa pada amiloidosis AL
amiloidosis, oligomer yang larut juga bersifat sitotoksik dan berkontribusi
terhadap disfungsi organ (Merlini dan Belloti, 2003).

11
DAFTAR PUSTAKA

Comenzo, R.L., Zhang, Y., Martinez, C., Osman, K., dan Herrera, G.A. (2001).

The tropism of organ involvement in primary systemic amyloidosis:

contributions of Ig V(L) germ line gene use and clonal plasma cell burden.

Blood, 98:714-20.

Hardy, J., dan Selkoe, D.J. (2002). The amyloid hypothesis of Alzheimers

disease: progress and problems on the road to therapeutics. Science,

297:353-6.

Kumar, V., Abbas, A.K., dan Aster, J.C. 2015. Pathologic Basis of Disease. 9 th ed.

Philadelphia: Elsevier Saunders. pp: 264-70.

Merlini, G., dan Belloti, V. (2003). Molecular mechanism of amyloidosis. The

New England Journal of Medicine, 349: 583-96.

Westermark, P., Benson, M.D., Buxbaum, J.N., et al. (2002). Amyloid fibril

protein nomenclature. Amyloid, 9: 197-200.

12

You might also like