You are on page 1of 5

BAB III

PEMBAHASAN

Pernikahan adalah bersatunya dua orang (baik sama ataupun berbeda jenis)
yang berkomitmen untuk saling mencintai dan berbagi beban dan manfaat dalam
kehidupan rumah tangga (Olson, 2006). Dalam pernikahan, pasangan dituntut untuk
berbagi ruang dan waktu setiap hari, turut berpartisipasi dalam berbagai macam
kegiatan yang mencakup makanan, kegiatan diwaktu luang, pekerjaan rumah tangga,
merawat anak, dan tidur. Pasangan suami istri juga berbagi sumber keuangan dan
sumber daya lainnya sampai tingkat yang seringkali lebih besar dibandingkan dengan
anggota keluarga atau teman sekeluarga lainnya (Boden et al, 2010).

Menurut teori perkembangan dari Papalia, Olds & Feldman, (2007), masa usia
menikah adalah saat usia dewasa awal yaitu 20-40 tahun atau menurut Adler, (2004)
antara usia 18-40 tahun. Dengan kata lain, masa dewasa awal merupakan masa
dimana seorang individu mulai mengemban tugas untuk menikah dan membina
keluarga. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Havighurst (dalam Wagner, 2004)
yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi karakteristik masa
dewasa awal adalah mulai memilih pasangan hidup dan bekerja. Adler (2004)
menambahkan bahwa masa kehidupan dewasa awal merupakan masa bermasalah
karena pada masa dewasa awal banyak masalah yang ditimbulkan oleh penyesuaian
diri terhadap hal-hal yang berkaitan dengan persiapan pernikahan dan juga karir
dalam hidup seseorang. Maksud dari pengertian tersebut adalah bahwa baik karir
maupun persiapan untuk menuju kehidupan pernikahan merupakan dua hal yang
harus dilakukan secara bersamaan pada masa dewasa awal.

Pernikahan bukanlah hal yang mudah. Hal ini dikarenakan didalamnya


terdapat banyak konsekuensi yang harus dihadapi sebagai suatu bentuk tahap
kehidupan baru sebagai individu dewasa dan pergantian status hidup seseorang
menjadi sepasang suami-istri yang menuntut adanya penyesuaian diri terus-menerus
sepanjang pernikahan (Luk & Loke, 2014). Sebaliknya, individu yang tidak memiliki
kesiapan menuju kehidupan pernikahan belum dapat disebut layak untuk melakukan
pernikahan, sehingga mereka dianjurkan untuk melakukan penundaan atau
pendewasaan usia pernikahan (Olson, 2006).

Kesiapan dalam menikah merupakan hal yang sangat penting agar tugas-tugas
perkembangan yang harus dijalani setelah menikah tetap dapat terpenuhi. Kesiapan
menikah tidak dipandang dari usia individu yang akan menikah (Duvall & Miller,
1985). Usia individu dalam menikah bervariasi disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain; (1) Pencapaian pendidikan; (2) Perbedaan individu; (3) Perubahan
keadaan sosial ekonomi (Duvall & Miller, 1985). Persiapan pernikahan merupakan
tugas perkembangan yang paling penting dalam fase kehidupan seseorang
dikarenakan munculnya kecenderungan menikah muda dikalangan remaja yang tidak
sesuai dengan tugas perkembangan mereka.

Chen et al (2015) mengemukakan bahwa kecenderungan pernikahan tanpa


persiapan yang matang akan memunculkan distress dan berakhir pada perpisahan,
dimana yang menjadi penyebab utamanya adalah sedikitnya pengalaman dan faktor-
faktor kurangnya kesiapan dalam menghadapi pernikahan. Ketidaksiapan fisik yang
terjadi pada saat pernikahan, terutama yang banyak terjadi pada remaja saat ini akan
berdampak pada anak yang dilahirkan. Dampak buruk tersebut berupa bayi lahir
dengan berat rendah, hal ini akan menjadikan bayi tersebut tumbuh menjadi remaja
yang tidak sehat, tentunya ini juga akan berpengaruh pada kecerdasan anak (Sunarti,
2012). Hal-hal inilah yang menyebabkan pernikahan tanpa persiapan yang matang
dianggap kurang baik karena banyak faktor yang akan memberikan dampak negatif
pada kehidupan pasangan tersebut. Akibat lain dari usia perkawinan yang terlalu
muda tanpa persiapan yang matang adalah meningkatnya kasus perceraian karena
kurangnya kesadaran untuk bertanggungjawab dalam kehidupan berumah tangga bagi
suami-istri (Boden et al, 2010).
Menurut Blood (dalam Sunarti, 2012) sebelum memasuki dunia pernikahan
diperlukan suatu kesiapan pada pasangan yang hendak melakukan pernikahan.
Kesiapan menikah merupakan keadaan siap atau bersedia dalam berhubungan dengan
seorang pria atau seorang wanita, siap menerima tanggung jawab sebagai seorang
suami atau seorang istri, siap terlibat dalam hubungan seksual, siap mengatur
keluarga, dan siap untuk mengasuh anak. Ketidaksiapan dalam memasuki bahtera
perkawinan tersebut tidak jarang menimbulkan konflik dan bahkan bisa berakhir
dengan perceraian (Dush et al, 2008). Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk
menikah, para calon pengantin pada umumnya akan menjalani masa transisi menuju
pernikahan, dimana diperlukan kesiapan fisik, mental serta finansial untuk
melanjutkan ke fase selanjutnya.

Faktor yang terpenting dari masa transisi ini adalah kesiapan serta persiapan
menikah. Berdasarkan hasil penelitian Booths dan Edwards dalam Wisnuwardhani
dan Sri (2012), mengungkapkan bahwa terdapat beberapa hal yang secara signifikan
berhubungan dengan kesiapan menikah, yaitu usia saat menikah, tingkat kedewasaan
pasangan, waktu pernikahan, motivasi untuk menikah, kesiapan untuk sexual
exclusiveness, dan tingkat pendidikan serta aspirasi pekerjaan dan derajat
pemenuhannya. Persiapan pernikahan erat kaitannya dengan tingkat kebahagiaan
sebuah perkawinan. Pernikahan yang dilakukan tanpa persiapan emosi, fisik, sosial,
maupun material yang memadai dapat berdampak pada perjalanan rumah tangga yang
dijalani dan berpengaruh pada tingkat kebahagiaan yang dirasakan pasangan
pernikahan tersebut (Carr, 2004).

Pada persiapan pernikahan yang perlu diperhatikan adalah usia individu saat
menikah, level kematangan baik secara fisik maupun mental, waktu menikah
(timing), motivasi (alasan), kesiapan untuk berhubungan secara seksual, kemandirian
emosional (emotional emancipation), tingkat pendidikan dan pekerjaan (Fincham &
Rogge, 2010). Selain itu, untuk menciptakan suatu pernikahan yang bahagia dan
kekal dibutuhkan suatu persiapan dari pasangan yang hendak melangsungkan
pernikahan dimana persiapan menikah ini meliputi dua aspek, yaitu persiapan
menikah pribadi (personal) dan persiapan menikah situasi (circumstantial) (Ismail et
al, 2015).

Persiapan pribadi sebelum pernikahan meliputi kematangan emosi, kesiapan


usia, kematangan sosial, persiapan model serta kematangan fisik mental dan peran
(Greenberg et al, 2014). Kematangan fisik ditandai dengan adanya kesehatan yang
memadai, sehingga kedua belah pihak mampu melaksanakan fungsi keluarga.
Kematangan mental berarti dapat bersatunya dua individu dengan latar belakang dan
kepribadian yang berbeda, sehingga diperlukan adanya penyesuaian. Sedangkan
persiapan situasi meliputi persiapan waktu dan persiapan finansial (Wisnuwardhani
dan Sri, 2012). Duvall & Miller, (1985) mengutarakan bahwa kesiapan mental untuk
menikah mengandung pengertian kondisi psikologis emosional yakni siap
menanggung berbagai risiko yang timbul selama hidup dalam pernikahan, misalnya
pembiayaan ekonomi keluarga, memelihara dan mendidik anak-anak, dan membiayai
kesehatan keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Boden, J.S., Fischer, J.L., & Niehuis, S. (2010). Predicting marital adjustment from
young adults initial levels and changes in emotional intimacy over time:
A 25-year longitudinal study. Journal of Adult Development, 17, 121-134

Carr, Alan. (2004). Positive psychology the science of happiness and human
strengths. USA and Canada: Brunner-Rotledge.

Chen, J., Waite, L. dan Lauderdale, D. (2015). Marriage, Relationship Quality, and
Sleep among U.S. Older Adults. Journal of Health and Social Behavior,
56(3), pp.356-377.
Dush, C.M.K., Taylor, M.G., & Kroeger, M.A. (2008). Marital happiness and
psychological well-being across the life course. Family Relations, 57,
211-226

Duvall,E.M & Miller,C.M. 1985. Marriage & Family Development 6th ed. New York
: Harper & Row Publishers
Fincham, F.D., & Rogge, R. (2010). Understanding relationship quality: Theretical
challenges and new tools for assesment. Journal of Family Theory &
Review, 2, 227-242. DOI:10.1111/j.1756-2589.2010.00059.x

Greenberg JS, Bruess CE, Oswalt SB (2014). Exploring the Dimensions of Human
Sexuality. Burlington: Jones & Bartlett.

Ismail, R., Azlan, H. A. N., & Yusoff, F. (2015). Assessing the Relationship between
quality of life and marital satisfaction among malaysian married couples.
e-Bangi, 2(1).
Luk, B. dan Loke, A. (2014). The Impact of Infertility on the Psychological Well-
Being, Marital Relationships, Sexual Relationships, and Quality of Life of
Couples: A Systematic Review. Journal of Sex & Marital Therapy, 41(6),
pp.610-625.

Olson, D.H.,DeFrain,J.(2006). Marriages & Families. Boston : McGrawHill.


Papalia, D. E., S. W., & Feldman, R.D. (2004). Human development. (9thed). USA:
Mc Graw-Hilll Companies, Inc.
Secombe,K., Warner, R.L. (2014). Marriages and Families . Canada :Wadsworth.

Sunarti, Euis, dkk. (2012). Kesiapan menikah dan pemenuhan tugas keluarga pada
keluarga dengan anak prasekolah, Jur.Ilm.Kel.& Kons., 5,2, 110-119.

Wisnuwardhani, S.F. (2012). Hubungan interpersonal. Jakarta: Salemba Humanika.

You might also like