You are on page 1of 11

I.

ADSORPSI
Menurut Oscik (1982), adsorpsi adalah proses akumulasi adsorbat pada permukaan
adsorben yang disebabkan oleh gaya tarik menarik antar molekul atau interaksi kimia atau
akibat dari medan gaya pada permukaan padatan adsorben yang menarik molekul gas atau
uap atau cairan. Dalam proses adsorpsi terdapat berbagai macam gaya intermolekul yang
sangat menentukan jenis adsorpsi yang berlangsung, yakni gaya van der Waals, gaya
hidrofob, ikatan hidrogen, gaya elektrostatik dan ikatan kovalen.
Berdasarkan besarnya interaksi antara adsorben dengan adsorbat maka adsorpsi dapat
dibedakan menjadi adsorpsi fisikan dan kimia. Dalam adsorpsi kimia, molekul adsorbat dan
adsorben membentuk sistem homogen, sedangkan dalam adsorpsi fisika dapat dianggap
sebagai dua sistem individu. Adsorpsi fisika dan kimia dibedakan oleh energi adsorpsi,
reversibility, dan ketebalan lapis adsorben. Dalam adsorpsi fisika Hads umumnya rendah,
sama dengan panas kondensasi uap, sedangkan dalam adsorpsi kimia Hads jauh lebih tinggi,
sebanding dengan kekuatan ikatan kimia (Myers, 1999). Sebagai contoh panas kondensasi N2
mendekati -6 kJ/mol, panas adsorpsi fisika N2 berkisar -10 kJ/mol pada besi, dan -14 kJ/mol
pada TiO2, sedangkan panas adsorpsi kimia untuk N2 pada besi -150 kJ/mol.
Adsorpsi fisika melibatkan gaya antar molekul (gaya van der Waals, ikatan hidrogen
dsb.). Panas adsorpsinya rendah, zat yang diadsorpsi mudah dilepaskan, sangat reversibel,
memungkinkan terjadi desorpsi pada temperatur yang sama. Adsorpsi kimia melibatkan
ikatan koordinasi yang melibatkan penggunaan elektron bersama antara adsorben dan
adsorbat. Secara kualitatif, perilaku adsorpsi dapat juga dipandang dari sifat polar dan
nonpolar antara zat padat (adsorben) dan komponen larutan (adsorbat).
Adsorben polar akan cenderung mengadsorpsi kuat adsorbat polar dan mengadsorpsi
lemah terhadap adsorbat nonpolar demikian juga sebaliknya. Adsorben polar akan
mengadsorpsi kuat zat terlarut polar dari pelarut non polar karena kelarutannya yang rendah
dan mengadsorpsi lemah dari pelarut polar karena kelarutannya yang tinggi, demikian juga
sebaliknya.
Proses adsorpsi biasanya diikuti dengan pengamatan isoterm adsorpsi, yaitu
banyaknya zat yang teradsorpsi per gram zat padat yang dialurkan terhadap tekanan akhir
fasa ruah pada temperatur tetap. Apabila sistem yang diteliti adalah sistem padat-cair maka
grafik yang harus dibuat adalah banyaknya zat teradsorpsi per gram zat padat terhadap
konsentrasi akhir dari fasa ruah pada temperatur tetap. Giles dkk., (1974) mengklasifikasikan
isoterm adsorpsi larutan encer menjadi empat jenis dasar sebagai berikut (Gambar 1).
Gambar 1 Jenis-jenis isotherm adsorpsi (Giles dkk., 1974)
Keterangan gambar :
Csb : konsentrasi zat teradsorpsi pada substrat
Cst : konsentrasi larutan pada kesetimbangan
Dari keempat jenis isotherm adsorpsi tersebut, jenis isotherm adsorpsi L atau
langmuir yang umum dijumpai dalam adsorpsi larutan encer. Langmuir mengembangkan
suatu model kuantitatif yang telah diterapkan untuk menjelaskan fenomena adsorpsi.
Langmuir mengasumsikan bahwa pada permukaan adsorben terdapat situs aktif yang
proporsional dengan luas permukaaaan. Masing-masing situs aktif hanya dapat mengadsorpsi
satu molekul saja, dengan demikian adsorpsi hanya terbatas pada pembentukan lapis tunggal
(monolayer).
Dalam sistem larutan, adsorpsi isotherm langmuir ditnyatakan dalam persamaan
sebagai berikut.
m Kc
(3.5)
b 1 Kc

b. Kc
atau m (3.6)
1 Kc
dengan m adalah jumlah mol molekul adsorbat, K adalah parameter afinitas, b adalah
kapasitas permukaan adsorben dan c adalah konsentrasi adsorbat saat kesetimbangan. Untuk
tujuan estimasi tetapan adsorpsi K dan kapasitas adsorpsi b maka persamaan (3.6) dapat
dituliskan dalam tiga bentuk persamaan sebagai berikut.
1 1 1
(3.7)
m b b. Kc

c 1 1
c (3.8)
m Kb b
1 m
mb (3.9)
K c
Persamaan (3.7), (3.8) dan (3.9) berturut-turut digunakan untuk proses adsorpsi
dengan K relatif rendah, sedang dan tinggi. Dengan demikian, persamaan (3.8) dapat dihitung
energi adsorpsinya melalui persamaan :
E R.T .ln K (3.10)
Dengan E adalah energi adsorpsi, R tetapan gas universal (8,314 J/mol.K) dan T adalah
temperatur dalam Kelvin dan K adalah harga konstanta kesetimbangan adsorpsi.
Laju adsorpsi dari larutan bergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang
penting tersebut adalah ukuran dan struktur dari molekul adsorbat, sifat dasar dari pelarut dan
sifat penyerapan dari adsorben. Setiap proses adsorpsi punya dua langkah berturut-turut yaitu:
(1) perpindahan adsorbat ke permukaan adsorben dan (2) adsorpsi pada permukaan adsorben.
Data eksperimen menunjukkan bahwa dalam adsorpsi dari fasa gas maupun larutan,
umumnya adsorbat menuju ke permukaan adsorben dalam waktu yang relatif pendek
sedangkan kesetimbangan adsorpsi memerlukan waktu yang lebih lama (Oscik, 1982).
Model kinetika adsorpsi orde satu yang diusulkan Santosa dkk., (2007) dapat
digunakan untuk menetapkan laju adsorpsi dan desorpsi. Model ini memberikan persamaan :
ln (C Ao / C A ) t
ks Q (3.11)
CA CA
ln (C A o / C A )
Jika plot terhadap t/CA dibuat, suatu garis lurus dapat diperoleh, dimana ks
CA
adalah slope dan Q adalah intersep. Karena Q = ks/kd, maka dari harga slope dan intersep ks
dan kd dapat dihitung. Model kinetika ini lebih bermanfaat dari pada persamaan Lagergen,
karena dari persamaan (3.11) harga ks (konstanta adsorpsi) dan kd (konstanta desorpsi) dapat
ditentukan bersama dari satu set data. CAo menunjukkan konsentrasi awal ion logam, CA
konsentrasi ion logam dalam larutan, t adalah waktu dalam satuan menit, Q konstanta
adsorpsi-desorpsi.
Pertukaran ion pada dasarnya merupakan salah mekanisme adsorpsi yang terjadi
antara zat teradsorpsi (adsorbat) dan pengadsorpsi (adsorben). Proses pertukaran ion terjadi
pada interface padatan/larutan elektrolit sehingga disebut adsorpsi pertukaran ion
(Oscick,1982). Padatan yang tidak larut dalam air dan kebanyakan pelarut lainnya yang
mampu mempertukarkan ion dengan larutan dikenal sebagai penukar ion (ion exchanger).
Jika ion yang dipertukarkan berupa kation disebut penukar kation, dan jika anion yang
dipertukarkan disebut penukar anion
Jumlah ion yang dapat dipertukarkan per unit massa atau volume penukar ion disebut
kapasitas tukar (exchange capacity) yang dinyatakan dalam gram-ekivalen per 1 kg atau
miligram-ekivalen per 1 gram penukar ion. Kapasitas tukar efektif adalah nilai kapasitas
tukar yang diperoleh dalam praktek pertukaran ion, yang besarnya tergantung pada
konsentrasi larutan, temperatur, waktu kontak dengan penukar ion merupakan dan
sebagainya. Oleh karena itu nilainya karakteristik bagi suatu proses pertukaran. Penukar ion
berdasarkan asalnya dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu natural, semisintetis dan
sintetis.
Zeolit merupakan penukar ion yang pertama kali didapatkan pada aplikasi
demineralisasi air, mempunyai kisi kristal tiga dimensi dengan tetrahedral SiO4 dan AlO4
sebagai unsur dasar struktur (kerangka) utamanya (Oscick, 1982). Secara keseluruhan
kerangka aluminosilikat zeolit mempunyai kelebihan muatan negatif, yang mana akan
diimbangi oleh kation alkali, Me+ , atau alkali tanah Me2+ yang tidak termasuk dalam
kerangka, tetapi terikat dengan longgar dalam saluran (channel) kisi kristal. Kation
alkali/alkali tanah ini merupakan counterpart-ion, yang dapat digantikan diganti dan
disubstitusi ion-ion lain yang berasal dari larutan yang mengelilinginya. Oleh karena adanya
penyusunan saluran terbuka dalam zeolit, maka material ini dapat digunakan sebagai
molucular sieves. Secara umum proses pengolahan air air dari ion logam menggunakan zeolit
berlangsung melalui pertukaran ion sebagai berikut:
Mn+(aq) + nNa--Z(s) M(Z)n (s) + nNa+(aq) (3.12)

Mn+(aq) menyatakan air yang tercemar oleh ion logam, dan Na--Z menyatakan menyatakan
mineral natrium zeolit. Salah satu contoh aplikasi zeolit yang penting adalah dalam
penurunan kadar Ca2+ dan Mg2+ dalam air sadah.
Penurunan kesadahan air dapat dilakukan dengan menggunakan resin penukar kation
(exchanger cation). Zeolit merupakan salah satu material yang mengandung rantai silika dan
alumina yang dapat digunakan sebagai penukar ion dalam proses pelunakan air. Dalam
proses ini terjadi pertukaran ion Mg2+ dan Ca2+ yang ada dalam air sadah oleh ion Na+ dari
zeolit. Dengan demikian dalam proses ini tidak akan terbentuk endapan. Penyaringan sistem
zeolit dilakukan dengan menggunakan zeolit melalui mekanisme pertukaran ion, seperti
tercantum pada (13).
Ca2+/Mg2+ (aq) + 2Na-Z (s) Ca2+/Mg2+--Z2 (s) + 2 Na+(aq) (3.13)
Air sadah zeolit

Secara umum, adsorpsi dilakukan dengan cara mengontakkan langsung antara adsorben dan
adsorbat dalam suatu batch adsorpsi. Zeolit hasil sintesis dengan massa 0,01 g dicampur
dengan berbagai konsentrasi (sebagai variabel) larutan ion logam dan zat warna sebanyak 25
mL pada pH yang bervariasi (sebagai variabel) di erlenmeyer. Erlenmeyer tersebut kemudian
dimasukkan dalam alat penggoncang (shaker) dengan kecepatan konstan 200 rpm dan
dihentikan pada selang waktu tertentu (sebagai variabel). Adsorben dan adsorbat dipisahkan
dengan cara sentrifugasi dan konsentrasi larutan kemudian dianalisis menggunakan AAS
untuk ion logam dan dengan UV-Vis untuk zat warna. Hal yang sama juga dilakukan
terhadap abu layang untuk uji adsorpsi air sadah. Sebanyal 0,01 g zeolit sintesis dicampur
dengan 25 mL sampel air sadah. Adsorpsi dilakukan dengan prosedur yang sama dengan uji
adsorpsi ion logam. Jumlah zat teradsorpsi dihitung dengan menggunakan konsentrasi zat
sebelum dan sesudah adsorpsi, seperti pada persamaan (14).
V
qt (C o C t ) (4.2)
m
Co dan Ct menunujukkan konsentrasi awal dan konsentrasi pada waktu kontak t, dalam mg/L,
V volume larutan (mL) dan m berat adsorben (g). Persen adsorpsi (%) dihitung dengan
menggunakan persamaan (15).
(Co Ct )
% Adsorpsi 100% (4.3)
Co
Interaksi Molekul Dalam Adsorpsi Larutan
Dalam adsorpsi interface padat-gas pada tekanan rendah, mekanismenya tergantung
pada sifat gaya yang bekerja antara molekul adsorben dan adsorbat. Sedangkan mekanisme
molekuler dari adsorpsi zat tertentu dalam larutan pada suatu adsorben jauh lebih rumit.
Gambar 2 memperlihatkan skema interaksi molekuler yang terjadi dalam adsorpsi larutan.
Dalam kasus yang paling sederhana, yaitu adsorpsi larutan biner, sekalipun pada konsentrasi
rendah, mekanismenya tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut:

1. Gaya yang bekerja di antara molekul-molekul adsorbat (Z) dan permukaan adsorben.
2. Gaya yang bekerja di anatara molekul-molekul pelarut (S) dan permukaan adsorben.

3. Gaya yang bekerja di antara molekul-molekul komponen larutan (Z dan S) baik dalam
lapisan permukaan maupun dalam fase ruahnya

(a) Z (b) S

Z
Z S

Permukaan adsorben Permukaan adsorben

Gambar 2 Skema interaksi molekuler dalam adsorpsi: (a) fase gas, (b) larutan biner

Penyelidikan mekanisme molekuler adsorpsi pada fase padat-larutan menghadapi


kesulitan karena kompleksitas sistem yang ada. Di antara metode yang telah digunakan
adalah kromatografi adsorpsi cair. Dengan menggunakan metode ini memungkinkan untuk
menentukan cara molekul bereaksi dengan adsorben dan bagaimana orientasinya pada
permukaan adsorben.
Komponen pelarut pada adsorpsi larutan seringkali mempunyai pengaruh yang
menentukan terhadap sifat maupun besarnya adsorpsi. Interaksi antara molekul adsorben dan
adsorbat pada adsorpsi fase gas juga berlaku pada molekul-molekul pelarut. Interaksi yang
kuat antar molekul-molekul pelarut dengan permukaan adsorben dapat memblokir situs aktif
adsorben dan akibtanya akan menurunkan adsorpsi zat terlarut. Demikian juga interaksi
molekul yan kuat di antara komponen larutan dalam fase ruahnya umumnya mempunyai
pengaruh negatif yang berarti terhadap interaksinya dengan permukaan adsorben. Kelarutan
suatu zat dalam suatu pelarut juga mempunyai pengaruh terhadap besar kecilnya adsorpsi.
Pada umumnya zat-zat dengan kelarutan yang tinggi akan teradsorpsi lebih sukar pada suatu
adsorben dibandingkan dengan zat yang kelarutannya rendah. Adsorpsi pada interfase padat-
cair, dalam hal ini adsorpsi larutan, sifat maupun bersarnya sangat tergantung pada berbagai
faktor. Selain kondisi eksperimen, seperti temperatur dan pH, faktor kelarutan, struktur
adsorben dan adsorbat serta pelarut sangat menentukan besarnya adsorpsi. Oleh karaena itu
mekanisme molekuler adsorpsi larutan masih jauh dari pemahaman yang utuh.
II. ADSORPSI GAS

2.1 Pendahuluan
Pengujian material serbuk dengan mikroskop electron umumnya dapat menyingkap
adanya cacat permukaan dan pori. Walaupun demikian, cacat atau ketidakteraturan tersebut
lebih kecil dari pada kekuatan resolving mikroskop yang tetap tersembunyi. Sifat yang
tersembunyi juga adalah struktur internal pori, bentuk bagian dalam dan dimensinya, volume
dan distribusi volumenya, seperti halnya kontribusinya terhadap luas permukaan. Walaupun
demikian, dengan membungkus/menyelimuti tiap partikel dari suatu sampel serbuk dalam
suatu film teradsorpsi, metode adsorpsi gas dapat memeriksi/menyelidiki ketidakteraturan
permukaan dan pori interior bahkan pada tingkat atomic. Dalam cara ini suatu metode yang
bermanfaat tersedia, yang dapat memberikan informasi detail tentang morfologi permukaan.
Pada beberapa tingkatan (keadaan) adsorsi selalu terjadi jika suatu permukaan padatan
yang bersih diekspose uap. Tanpa kecuali jumlah zat teradsorpsi pada permukaan padatan
akan tergantung pada temperature absulut T, tekanan P, dan potensial interaksi E antara uap
(adsorbat) dan permukaan (adsorben). Pada tekanan dan temperature kesetimbangan jumlah
gas terdasorpsi W pada suatu satuan berat adsorben diberikan oleh persamaan (2.1).
W F ( P, T , E ) (2.1)
Biasanya kuantitas teradsorpsi diukur pada temperatur tetap dan persamaan (2.1) menjadi
W F ( P, E ) (2.2)
Suatu plot W versus P pada T tetap disebut sebagai isoterm adsorpsi dari suatu interfase
partikular uap-padat. Bukan untuk suatu fakta, E, potensial interaksi, bervariasi dengan sifat
uap dan padatan dan juga berubah dengan tingkatan (keberadaan) adsorpsi, semua isoterm
adsorpsi akan menjadi identik.

2.2 Adsorpsi Fisika dan Kimia


Tergantung pada kekuatan interaksi, semua proses adsorpsi dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu adsorpsi kimia dan adsorpsi fisika. Adsorpsi kimia disebut juga adsorpsi
irreversibel atau kemisorpsi, adalah terutama ditandai oleh potensial interaksi yang besar,
yang menyebabkan panas adsorpsinya tinggi mendekati harga panas pembentukan ikatan
kimia. Kenyataan ini digabung dengan spektroskopi yang lain, elektron spin resonance dan
pengukuran susceptibility magnetik, mengkonfirmasikan bahwa kemisorpsi melibatkan
ikatan kimia yang sebenarnya dari gas atau uap dengan permukaan adsorben. Karena
kemisorpsi terjadi melalui ikatan kimia, sering didapatkan terjadi pada temperatur di atas
temperatur kritis adsorbat. Ikatan yang kuat pada permukaan adalah perlu, dalam adanya
energi termal yang lebih tinggi, jika adsorpsi adsorpsi terjadi pada semua. Seperti kebanyakan
reaksi kimia, adalah benar, bahwa kemisorpsi biasnya berhubungan dengan energi aktivasi.
Selanjutnya, kebanyakan kemisorpsi terbatas pada suatu single layer (monolayer) dari
adsorbat yang terikat secara kimia pada suatu permukaan. Faktor lain yang penting terkait
kemisorpsi adalah bahwa molekul-molekul yang diadsorpsi terlokalisasi pada suatu
permukaan. Karena pembentukan ikatan kimia antara sebuah molekul adsorbat dan sebuah
situs spesifik pada permukaan, adsorbet tidak bebas untuk bergerak sekitar permukaan. Fakta
ini seringkali membolehkan jumlah situs aktif pada katalis ditentukan melalui pengukuran
jumlah gas yang terdasorpsi secara kimia.
Kategori kedua, adsorpsi fisika atau adsorpsi reversibel, memperlihatkan karakteristik
yang membuatnya sesuai untuk penentuan luas permukaan seperti ditunjukkan oleh hal-hal
berikut:
1. Adsorpsi fisika diikuti oleh panas adsorpsi yang rendah dengan tidak adanya perubahan
struktur yang hebat dan terjadi pada permukaan selama pengukuran adsorpsi.
2. Tidak seperti kemisorpsi, adsorpsi fisika bisa menyebabkan tertutupnya permukaan oleh
lebih dari satu lapis adsorbat. Jadi pori-pori dapat diisi oleh adsorbat untuk pengukuran
volume.
3. Pada temperatur tinggi adsorpsi fisika tidak terjadi atau tidak agak cukup, bahwa
permukaan yang relatif bersih dapat dipreparasi yang mana membuat pengukuran luas
permukaan yang akurat.
4. Kesetimbangan adsorpsi fisika dicapai secara cepat karena tidak ada energi aktivasi yang
diperlukan seperti dalam kemisopsorpsi. Suatu perkecualian, adsorpsi dalam pori-pori
yang kecil, proses diffusi dapat membatasi laju adsorpsi.
5. Adsorpsi fisika biasanya sepenuhnya reversibel, yang memungkinkan baik adsorpsi
maupun desorpsi dapat dipelajari.
6. Molekul-molekul yang teradsorpsi secara fisika tidak terbatas pada situs spesifik dan
bebas untuk menutupi seluruh permukaan. Berdasarkan alasan ini luas permukaan lebih
dapat dihitung dari pada jumlah situs.
2.3 Gaya-gaya Adsorpsi Fisik
Pada adsorpsi, perubahan entropi dari adsorbat, Sa, adalah negatif, karena keadaan
terkondensasi lebih teratur dari pada keadaan gas, yang ditandai dengan kehilangan setidak-
tidaknya satu derajat kebebasan translasi. Suatu asumsi yang beralasan untuk adsorpsi fisika
adalah bahwa entropi adsorben pada dasarnya tetap konstan dan kemungkinan tidak
bertambah melalui penurunan entropi adsorbat yang lebih banyak. Walaupun demikian, S
untuk seluruh sistem adalah negatif. Kespontanan proses adsorpsi memerlukan energi babas
Gibbs, G, juga menjadi berjumlah negatif. Berdasarkan perubahan entropi dan energi bebas,
perubahan entalpi H, yang mengikuti adsorpsi fisika selalu negatif, yang menunjukkan
suatu proses eksotermis seperti pada persamaan (2.3)
H G TS (2.3)
Suatu interaksi yang penting pada interface gas-padat selama adsorpsi fisika adalah akibat
gaya dispersi. Gaya-gaya dispersi tersebut adalah bagaimanapun juga menyatakan sifat
interaksi-interaksi yang lain dan sering menjelaskan sebagaian besar potensial adsorbat-
adsorben. Sifat (nature) gaya-gaya disperis pertama kali disampaikan pada tahun 1930 oleh
London, yang mempostulatkan bahwa gerakan elektron dalam suatu atom atau molekuk akan
menyebabkan suatu momen dipol yang berosilasi secara cepat. Pada setiap keadaan
kekurangan simetri distribusi elektron sekitar inti membagi suatu momen dipol transien pada
atom atau molekul, yang mana lenyap jika melebihi rata-rata melebihi suatu interval waktu
yang lebih lama. Jika dalam pendekatan tertutup, dipol-dipol yang cepat berosilasi dari
molekul-molekul tetangga bergabung ke dalam masing-masing fase menyebabkan suatu
tarikan potensial bersih (net).Fenomena ini berhubungan dengan dispersi molekul cahaya
akibat interaksi elektromagnetik cahaya dengan dipol yang berosilasi.
Diantara interaksi adsorbat-adsorben lainnya yang mengkontribusi adsorpsi adalah:
1. Ion - dipol: suatu padatan ionik dan adsorbat polar tetapi bermuatan listri netral.
2. Ion - dipol terinduksi: suatu padatan polar dan adsorbat dapat dipolarisasi.
3. Dipol - dipol: suatu padatan polar dan adsorbat polar.
4. Interaksi quadrapol: molekul simetri dengan atom-atom yang elektronegatifitas-nya
berbeda, seperti CO2 tidak memiliki momen dipol tetapi memiliki suatu quadrapol (
- -
O C O ) yang dapat menyebabkan interaksi dengan permukaan polar.
Dari hal-hal di atas, terdapat bukti bahwa gaya-gaya adsorpsi adalah sama dalam sifat dan
asal suatu gaya yang menyebabkan liquisai uap dan bahwa interaksi yang sama bertanggung
jawab atas kedua fenomena. Dengan demikian, uap-uap tersebut dengan titik didih tinggi dan
juga interaksi intermolekuler yang kuat akan cenderung teradsorpsi dengan kuat.
Di atas temperatur kritis energi termal yang dimiliki molekul gas cukup mengatasi
gaya-gaya yang menyebabkan liquisasi. Karena persamaan antara adsorpsi dan liquisasi,
temperatur kritis dapat digunakan sebagai perkiraan temperatur maksimum pada saat
jumlah yang secara signifikan bisa diukur dari adsorpsi fisika yang dapat terjadi.
ISOTERM ADSORPSI

Brunauer, Deming, Deming dan Teller, berdasarkan kajian literatur yang eks-tensif,
mendapatkan bahwa semua isoterm adsorpsi cocok dengan salah satu dari lima tipe adsorpsi
yang ditunjukkan pada gambar 3.1. Bentuk lima isoterm tersebut, gambar 3.1, masing-masing
mencerminkan kondisi-kondisi yang unik.
Isoterm tipe I banyak dijumpai jika adsorpsi terbatas pada beberapa lapis molekul.
Kondisi ini dijumpai dalam adsorpsi kimia. Dalam hal adsorpsi fisika, isoterm tipe I dijumpai
pada serbuk mikroporus, yang mana ukuran paori tidak melebihi sedikit diameter molekul
adsorbat. Molekul-molekul gas, jika pori bagian dalam semuanya berdimensi kecil,
menghadapi potensial yang overlap dari dinding pori yang mempertinggi (meningkatkan)
kuantitas teradsorpsi pada tekanan rendah. Pada tekanan yang lebih tinggi pori-pori diisi oleh
as teradsorpsi atau adsorbat terkondensai yang menimbulkan kedaan mendatar, yang
menunjukkan sedikit atau tidak ada adsorpsi tambahan setelah mikropori telah terisi.
Adsorpsi fisika yang menghasilkan isoterm tipe I menunjukkan bahwa pori-pori adalah
mikroporus dan letak permukaan yang terekspos hampir secara eksklusive (semata-mata)
dalam mikroporus, yang terisi satu kali dengan adsorbat, sedikit yang tersisa atau tidak ada
permukaan eksternal untuk adsorpsi berikutnya.
Isoterm tipe II hampir sering dijumpai jika adsorpsi terjadi pada serbuk nonporus atau
pada serbuk dengan diameter pori lebih besar dari pada mikropori. Titik infleksi (belok) atau
lutut (tekukan) isoterm biasanya terjadi mendekati kesempurnaan monolayer teradsorpsi yang
pertama dan dengan bertambahnya tekanan, lapisan kedua dan yang lebih tinggi
tersempurnakan pada penjenuhan jumlah lapisan teradsorpsi menjadi tak terhingga.
Isoterm tipe III ditandai terutama oleh panaas adsorpsi yang lebih kecil dari pada
panas liquisasi adsorbat. Ketika adsorpsi berlangsung, adsorpsi tambahan (berikutnya)
difasilitasi (dipermudah) karena interaksi adsorbat dengan lapisan teradsorpsi lebih besar dari
pada interaksi adsorbet dengan permukaan adsorben.
Isoterm adsorpsi tipe IV terjadi pada adsorben poros yang memiliki pori dalam
rentang jari-jari mendekati 15 1000 . Slope bertambah pada tekanan yang lebih tinggi
menunjukkan suatu pengambilan (penyerapan) yang bertambah ketika pori-pori sedang terisi.
Seperti halnya isoterm tipe II, lutut isoterm tipe IV biasnya terjadi mendekati kesempurnaan
monolayer yang pertama.
Isoterm tipe V, merupakan hasil dari interaksi potensial adsorbat-adsorben yang kecil
seperti isoterm tipe III. Bagaimananpun juga, isoterm tipe V juga berhubungan dengan pori-
pori dalam rentang yang sama seperti isoterm tipe IV.

You might also like