Professional Documents
Culture Documents
Pembimbing:
Disusun Oleh:
J510170074
FAKULTAS KEDOKTERAN
2017
REFERAT
Oleh :
Mita Apriyanti, S. Ked
J510170074
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim pembimbing stase Ilmu Penyakit Mata
Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing
Dipresentasikan dihadapan
A. Latar Belakang
Herpes zozter opthalmicus (HZO) merupakan penyakit yang muncul
ketika cabang dari nervus trigeminus, opthalmikus terkena yang disebabkan
oleh proses reaktivasi dari virus varisela-zoster.
Di negara maju seperti Amerika, penyakit ini dilaporkan sekitar 6%
setahun, di Inggris 0,34% setahun sedangkan di Indonesia lebih kurang 1%
setahun Penyakit ini cukup berbahaya karena dapat menimbulkan penurunan
visus. Virus Varicella zoster dapat laten pada sel saraf tubuh dan pada
frekuensi yang kecil di sel non-neuronal satelit dari akar dorsal, berhubung
dengan saraf tengkorak dan saraf autonomic ganglion, tanpa menyebabkan
gejala apapun. Infeksi herpes zoster biasanya terjadi pada pasien usia tua
dimana specific cell mediated immunity pada umumnya menurun seiring
dengan bertambahnya usia atau pasien yang mengalami penurunan system
imun seluler. Morbiditas kebanyakan terjadi pada individu dengan
imunosupresi (HIV/AIDS), pasien yang mendapat terapi dengan imunosupresif
dan pada usia tua.
Herpes zoster oftalmik merupakan bentuk manifestasi lanjut setelah
serangan varicella. Virus ini dapat menyerang saraf cranial V. Pada nervus
trigeminus, bila yang terserang antara pons dan ganglion gasseri, maka akan
terjadi gangguan pada ketiga cabang nervus V (cabang oftalmik, maksilar,
mandibular) akan tetapi yang biasa terkena adalah ganglion gasseri dan yang
terganggu adalah cabang oftalmik.
Bila cabang oftalmik yang terkena, maka terjadi pembengkakan kulit di
daerah dahi, alis, dan kelopak mata disertai kemerahan yang dapat disertai
vesikel, dapat mengalami supurasi, yang bila pecah akan menimbulkan
sikatriks. Bila cabang nasosiliar yang terkena, kemungkinan komplikasi pada
mata sekitar 76 %. Jika saraf ini tidak terkena maka resiko komplikasi pada
mata hanya sekitar 3,4%.
Virus herpes zoster bisa dorman atau menetap (laten) pada ganglion N.V
dan reaktivasinya didahului oleh gejala prodormal seperti demam, malaise,
sakit kepala dan nyeri pada daerah saraf yang terkena tapi sebelumnya
terbentuk lesi kulit. Kulit kelopak mata dan sekitarnya berwarna merah dan
bengkak diikuti terbentuknya vesikel, kemudian menjadi pustule lalu pecah
menjadi krusta. Jika krusta lepas akan meninggalkan jaringan sikatrik.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui anatomi dari nervus trigeminus.
2. Untuk mengetahui definisi, etiologi, dan epidemiologi dari herpes zoster
oftalmikus.
3. Untuk mengetahui faktor predisposisi, patogenesis, dan manifestasi dari
herpes zoster oftalmikus.
4. Untuk mengetahui penegakan diagnosis, diagnosis banding, dan
penatalaksanaan dari herpes zoster oftalmikus.
5. Untuk mengetahui komplikasi, pencegahan dan prognosis dari herpes zoster
oftalmikus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
1. Anatomi Nervus Trigeminus
Fungsi nervus Trigeminus dapat dinilai melalui pemeriksaan rasa
suhu, nyeri dan raba pada daerah inervasi N. V (daerah muka dan bagian
ventral calvaria), pemeriksaan refleks kornea, dan pemeriksaan fungsi
otot-otot pengunyah. Fungsi otot pengunyah dapat diperiksa, misalnya
dengan menyuruh penderita menutup kedua rahangnya dengan rapat,
sehingga gigi-gigi pada rahang bawah menekan pada gigi-gigi rahang
atas, sementara m. Masseter dan m. Temporalis dapat dipalpasi dengan
mudah.
Pada kerusakan unilateral neuron motor atas, mm. Masticatores tidak
mngelami gangguan fungsi, oleh karena nucleus motorius N. V
menerima fibrae corticonucleares dari kedua belah cortex cerebri.
Sebagai tambahan terhadap fungsi cutaneus, cabang maxillaris dan
mandibularis penting pada kedokteran gigi. Nervus maxillaris
memberikan inervasi sensorik ke gigi maxillaris, palatum, dan gingiva.
Cabang mandibularis memberikan persarafan sensorik ke gigi
mandibularis, lidah, dan gingiva. Variasi nervus yang memberikan
persarafan ke gigi diteruskan ke alveolaris, ke soket di mana gigi tersebut
berasal nervus alveolaris superior ke gigi maxillaris berasal dari cabang
maxillaris nervus trigeminus. Nervus alveolaris inferior ke gigi
mandibularis berasal dari cabang mandibularis nervus trigeminus.
Nervus trigeminus merupakan nervus cranial terbesar, sensorik pada
leher dan kepala serta merupakan nervus motorik pada otot-otot
pengunyahan. Nervus trigeminus muncul dari pons, dekat dengan batas
sebelah atas dengan radiks motorik kecil yang terletak di depan dan
radiks sensorik besar yang terletak di medial .
Gambar 1. Nervus Trigeminus
Nervus trigeminus dinamai saraf tiga serangkai sebab terdiri atas tiga
cabang (rami) utama yang menyatu pada ganglion Gasseri. Ketiga
cabang tersebut adalah:
1. Nervus oftalmikus, yang mensarafi dahi, mata, hidung, selaput otak, sinus
paranasalis dan sebagian dari selaput lendir hidung. Saraf ini memasuki
rongga tengkorak melalui fissura orbitalis superior. Nervus opthalmicus
merupakan divisi pertama dari trigeminus dan merupakan saraf sensorik.
Cabang-cabang n. opthalmicus menginervasi kornea, badan ciliaris dan
iris, glandula lacrimalis, conjunctiva, bagian membran mukosa cavum
nasal, kulit palpebra, alis, dahi dan hidung.Nervus opthalmicus adalah
nervus terkecil dari ketiga divisi trigeminus. Nervus opthalmicus muncul
dari bagian atas ganglion semilunar sebagai berkas yang pendek dan rata
kira-kira sepanjang 2.5 cm yang melewati dinding lateral sinus
cavernous, di bawah nervus occulomotor (N III) dan nervus trochlear (N
IV). Ketika memasuki cavum orbita melewati fissura orbitalis superior,
nervus opthalmicus bercabang menjadi tiga cabang: lacrimalis, frontalis
dan nasociliaris.
2. Nervus maksilaris, yang mensarafi rahang atas serta gigi-gigi rahang atas,
bibir atas, pipi, palatum durum, sinus maxillaries dan selaput lendir
hidung. Saraf ini memasuki rongga tengkorak melalui foramen
rotundum.Nervus maxillaris merupakan divisi dua dan merupakan nervus
sensorik. Ukuran dan posisinya berada di tengah-tengah nervus
opthalmicus dan mandibularis. N. maxillaris bermula dari pertengahan
ganglion semilunar sebagai berkas berbentuk pleksus dan datar dan
berjalan horizontal ke depan keluar dari cranium menuju foramen
rotundum yang kemudian bentuknya menjadi lebih silindris dan
teksturnya menjadi lebih keras. N. maxillaris lalu melewati fossa
pterygopalatina, menuruni dinding lateral maxilla dan memasuki cavum
orbital lewat fissure orbitalis inferior. Lalu melintasi fissure dan canalis
infraorbitalis dan muncul di foramen infraorbital. Akhiran sarafnya
terletak di bawah musculus quadratus labii superioris dan terbagi menjadi
serabut yang lebih kecil yang mengincervasi hidung, palpebra bagian
bawah dan bibir superior bersatu dengan serabut nervus facial. Cabang-
cabang cabang-cabang n. maxillaris terbagi menjadi empat bagian yang
dipercabangkan di cranium, fossa pterygopalatina, canalis infraorbitalis
dan pada wajah.
3. Nervus mandibularis, yang mensarafi rahang bawah, bibir bawah,
mukosa pipi, lidah, sebagian dari meatus accusticus externus, meatus
accusticus internus dan selaput otak. Saraf ini memasuki rongga
tengkorak melalui foramen ovale. Ketiga nervi (rami) ini bertemu di
ganglion semilunare Gasseri. Dalam ganglion semilunar Gasseri terdapat
sel-sel ganglion unipolar.
Nervus mandibularis disebut juga nervus maxillaris inferior,
mengincervasi gigi dan gingiva rahang bawah, kulit pada regio temporal,
auricular, bibir bagian bawah, bagian bawah wajah, musculus mastikasi, dan
membran mukosa lidah 2/3 anterior. Nervus mandibularis adalah nervus
terbesar dari ketiga divisi dan terdiri atas dua radiks: mayor, radiks sensorik
keluar dari sudut inferior ganglion semilunar dan radiks motorik minor
(bagian motorik dari trigeminus) yang melewati di bawah ganglion dan
bersatu dengan radiks sensorik, langsung setelah keluar dari foramen ovale.
Selanjutnya, di bawah basis cranium, nervus tersebut mengeluarkan dari sisi
medial cabang recurrent (nervus spinosus) dan nervus yang mempersarafi
pterygoideus internus dan kemudian terbagi menjadi dua cabang : anterior dan
posterior.
E. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi timbulnya herpes zoster oftalmikus ini adalah :
a. Kondisi imunocompromise (penurunan imunitas sel T)
- Usia tua
- HIV
- Kanker
- Kemoterapi
b. Faktor reaktivasi
- Trauma lokal
- Demam
- Sinar UV
- Udara dingin
- Penyakit sistemik
- Menstruasi
- Stres dan emosi
F. Patogenesis
Penyebab penyakit herpes zoster oftalmika adalah virus Varicella-
zoster. Periode inkubasi Varicella-zoster sampai menimbulkan penyakit
yang khas adalah 10-21 hari. Varicella-zoster masuk ke dalam tubuh
manusia melalui mukosa saluran napas bagian atas, orofaring atau
konjungtiva. Siklus replikasi virus pertama terjadi pada hari ke 2-4 yang
berlokasi pada nodus limfe regional yang kemudian diikuti penyebaran virus
dalam jumlah yang sedikit melalui darah dan kelenjar limfe yang
menyebabkan terjadinya viremia primer (biasanya terjadi pada hari ke 4-6
setelah infeksi pertama). Pada sebagian besar penderita yang terinfeksi,
replikasi virus tersebut dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh
sehingga akan berlanjut pada siklus replikasi virus kedua yang terjadi di
hepar dan limpa, yang mengakibatkan terjadinya viremia sekunder. Pada
fase ini, partikel virus akan menyebar ke seluruh tubuh dan mencapai
epidermis pada hari ke 14-16, yang menyebabkan timbul lesi kulit yang
khas.
Kerusakan jaringan yang terlihat pada wajah disebabkan oleh infeksi
yang menghasilkan inflamasi kronik dan iskemik pembuluh darah pada
cabang N. V. Hal ini terjadi sebagai respon langsung terhadap invasi virus
pada berbagai jaringan. Walaupun sulit dimengerti, penyebaran dermatom
pada N. V dan daerah torak paling banyak terkena.
Tanda-tanda dan gejala HZO terjadi ketika N.V1 diserang virus, dan
akhirnya akan mengakibatkan ruam, vesikel pada ujung hidung (dikenal
sebagai tanda Hutchinson), yang merupakan indikasi untuk resiko lebih
tinggi terkena gangguan penglihatan. Dalam suatu studi, 76% pasien dengan
tanda Hutchinson mempunyai gangguan penglihatan.
Pada herpes zoster oftalmika, patogenesisnya belum sepenuhnya
diketahui. Selama terjadinya varisela, virus varicella-zoster berpindah
tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung syaraf sensorik dan
ditransportasikan secara centripetal melalui serabut syaraf sensorik ke
ganglion sensoris. Pada ganglion tersebut terjadi infeksi laten (dorman),
dimana virus tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi
tetap mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi infeksius apabila
terjadi reaktivasi virus. Reaktivasi virus tersebut dapat diakibatkan oleh
suatu keadaan yang menurunkan imunitas seluler sehingga virus kembali
bermultiplikasi menyebabkan peradangan dan merusak ganglion sensoris.
Kemudian virus akan menyebar ke sumsum tulang serta batang otak, jika
mengenai N.trigeminus dapat menyebar ke N. oftalmikus melalui serabut
syaraf sensoris sehingga menyebabkan timbulnya manifestasi klinis.
G. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis HZO ini, antara lain:
Prodormal (didahului ruam sampai beberapa hari) gejala-gejala prodormal
terjadi pada 5 % penderita, terutama pada anak-anak, dan timbul 1 - 2 hari
sebelum terjadi erupsi.
Tanda
a. Lesi kulit yang eritem
b. Hutchinsons sign
c. Defek epitel kornea
d. Penurunan sensasi kornea
e. Inflamasi pada setiap lapisan mata
Gejala
a. Demam
b. Malaise
c. Sakit kepala
d. Nyeri dan ruam yang berhubungan dengan kelainan di mata ( tekanan pada
bola mata, mata berair, kemerahan, penurunan penglihatan )
Ciri-Ciri Herpes Zoster Ophthalmicus
Retina
Acute retinal Coalescent patches pada Independent/varied*
necrosis/progressive outer bercak nekrosis retina
retinal necrosis Oklusi vaskulitis
inflamasi vitreous (hanya
pada nekrosis retina akut)
Cranial nerves
Optic neuritis Bengkak, edema kepala Independent/varied*
edema saraf optik
Oculomotor palsies Kelainan gerak Extraocular Independent/varied*
H. Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
- Periksa struktur eksternal/superfisial dahulu secara sistematik
mengikut urutan daripada bulu mata, kunjungtiva dan pembengkakan
sklera.
- Periksa keadaan integritas motorik ekstraokular dan defisiensi lapang
pandang.
- Lakukan pemeriksaan funduskopi dan coba untuk mengeradikasi
fotofobia untuk menetapkan kemungkinan terdapatnya iritis.
Pengurangan sensitivitas kornea dapat dilihat dengan apabila dicoba
dengan serat cotton.
- Lesi epitel kornea dapat dilihat setelah diberikan fluorescein. Defek
epitel dan ulkus kornea akan jelas terlihat dengan pemeriksaan ini.
- Pemeriksaan slit lamp seharusnya dilakukan untuk melihat sel dalam
segmen anterior dan kewujudan infiltrat stroma
- Setelah ditetes anestesi mata, ukur tekanan intraokular (tekanan normal
ialah dibawah 12 15 mmHg).
Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis laboratorium terdiri dari beberapa pemeriksaan, yaitu:
J. Komplikasi
Hampir semua pasien akan pulih sempurna dalam beberapa minggu,
meskipun ada beberapa yang mengalami komplikasi. Hal ini tidak
berhubungan dengan umur dan luasnya ruam, tetapi bergantung pada daya
tahan tubuh penderita. Ini akan terjadi beberapa bulan atau beberapa tahun
setelah serangan awal.
- Komplikasi mata terjadi pada 50 % kasus. Nyeri terjadi pada 93% dari
pasien tersebut, 31% nya masih ada sampai 6 bulan berikutnya. Pengaruh
itu semua, terjadi anterior uveitis pada 92% dan keratitis 52%. Pada 6
bulan, 28% mengenai mata dengan uveitis kronik, keratitis, dan ulkus
neuropatik
- Komplikasi mata yang jarang, termasuk optik neuritis, retinitis, dan
kelumpuhan nervus kranial okuler. Ancaman ganguan penglihatan oleh
keratitis neuropatik, perforasi, glaukoma sekunder, posterior skleritis,
optik neuritis, dan nekrosis retina akut.
- Komplikasi jangka panjang, bisa berhubungan dengan lemahnya sensasi
dari kornea dan fungsi motor palpebra. Ini beresiko pada ulkus neuropati
dan keratopati. Resiko jangka panjang ini juga terjadi pada pasien yang
memiliki riwayat HZO, 6-14% rekuren.
- Infeksi permanen zoster oftalmik bisa termasuk inflamasi okuler kronik
dan kehilangan penglihatan.
Komplikasi yang dapat terjadi, yaitu :
- Myelitis. Merupakan komplikasi di luar mata yang pernah dilaporkan
oleh Gordon dan Tucker, demikian juga encephalitis dan hemiplegi
walaupun jarang ditemukan tetapi pernah dilaporkan. Hal ini
diperkirakan karena penjalaran virus ke otak.
- Konjungtiva. Pada mata komplikasi yang dapat timbul adalah kemosis
yang ada hubungannya dengan pembengkakan palpebra. Pada saat ini
biasanya disertai dengan penurunan sensibilitas kornea dan kadang-
kadang oedema kornea yang ringan. Dapat juga timbul vesikel-vesikel di
conjunctiva tetapi jarang terjadi ulserasi. Pernah dilaporkan adanya
kanaliculitis yang ada hubungannya dengan zoster.
- Kornea. Bila comea terkena maka akan timbul infiltrat yang berbentuk
tidak khas dengan batas yang tidak tegas, tetapi kadang-kadang
infiltratnya dapat menyerupai herpes simplex. Proses yang terjadi pada
dasamya berupa keratitis profunda yang bersifat khronis dan dapat
bertahan beberapa minggu setelah kelainan kulit sembuh. Akibat
kekeruhan kornea yang terjadi maka visus akan menurun.
- Iris. Adanya lesi diujung hidung sangat penting untuk diperhatikan
karena kemungkinan besar iris akan ikut terkena mengingat n.
nasociliaris merupakan cabang dari n.ophthalmicus yang juga
menginervasi daerah iris, corpus ciliaze dan cornea. Iritis/iridocyclitis
dapat merupakan penjalaran dari keratitis ataupun berdiri sendiri. Iritis
biasanya ringan, jarang menimbulkan eksudat, pada yang berat kadang-
kadang disertai dengan hypopion atau secundair glaucoma. Akibat dari
iritis ini sering timbul sequele berupa iris atropi yang biasanya sektoral.
Pada beberapa kasus dapat disertai massive iris atropi dengan kerusakan
sphincter pupillae.
- Sklera. Skleritis merupakan komplikasi yang jarang ditemukan, biasanya
merupakan lanjutan dari iridocyclitis. Pada sclera akan terlihat nodulus
dengan injeksi lokal yang dapat timbul beberapa bulan sesudah
sembuhnya laesi di kulit. Nodulusnya bersifat khronis, dapat bertahan
beberapa bulan, bila sembuh akan meninggalkan sikatrik dengan
hyperpigmentasi. Skleritis ini dapat kambuh lagi.
- Ocular palsy. Dapat timbul bila mengenai N III, N IV, N V1, N III dan N
IV dapat sekaligus terkena. Pernah pula dilapo rkan timbulnya
ophthalmoplegi totalis dua bulan setelah menderita herpes zoster
ophthalmicus. Paralyse dari otot-otot extra-oculer ini mungkin karena
perluasan peradangan dari N Trigeminus di daerah sinus cavemosus.
Timbulnya paralyse biasanya dua sampai tiga minggu setelah gejala
permulaan dari zoster dirasakan, walaupun ada juga yang timbul
sebelumnya. Prognosa otot-otot yang pazalyse pada umumnya baik dan
akan kembali normal kira-kira dua bulan kemudian.
- Retina. Kelainan retina yang ada hubungannya dengan zoster jarang
ditemukan. Kelainan tersebut berupa choroiditis dan perdarahan retina,
yang umumnya disebabkan adanya retinal vasculitis.
- Neuritis optik. Neuritis optik juga jarang ditemukan, tetapi bila ada dapat
menyebabkan kebutaan karena timbulnya atropi n. opticus. Gejalanya
berupa skotoma sentral yang dalam beberapa minggu akan terjadi
penurunan visus sampai menjadi buta.
K. Penatalaksanaan
Pasien dengan herpes zoster oftalmikus dapat diterapi dengan
Acyclovir (5 x 800 mg sehari) selama 7-10 hari. Penelitian menunjukkan
pemakaian Acyclovir, terutama dalam 3 hari setelah gejala muncul, dapat
mengurangi nyeri pada herpes zoster oftalmikus. Onset Acyclovir dalam 72
jam pertama menunjukkan mampu mempercepat penyembuhan lesi kulit,
menekan jumlah virus, dan mengurangi kemungkinan terjadinya dendritis,
stromal keratitis, serta uveitis anterior.
Terapi lain dengan menggunakan Famcyclovir 3 x 500 mg selama 7
hari, Valacyclovir yang memiliki bioavaibilitas yang lebih tinggi,
menunjukkan efektivitas yang sama terhadap herpes zoster oftalmikus pada
dosis 3 x 1000 mg sehari. Pemakaian Valacyclovir dalam 7 hari
menunjukkan mampu mencegah komplikasi herpes zoster oftalmikus,
seperti konjungtivitis, keratitis, dan nyeri. Pada pasien imunocompromise
dapat digunakan Valacyclovir intravena. Untuk mengurangi nyeri akut pada
pasien herpes zoster oftalmikus dapat digunakan analgetik oral.
Untuk mengobati berbagai komplikasi yang ditimbulkan oleh herpes
zoster oftalmikus disesuaikan dengan gejala yang ditimbulkan. Pada
blefarokonjungtivitis, untuk blefaritis dan konjungtivitisnya, diterapi secara
paliatif, yaitu dengan kompres dingin dan topikal lubrikasi, serta pada
indikasi infeksi sekunder oleh bakteri (biasanya S. aureus). Pada keratitis,
jika hanya mengenai epitel bisa didebridemant, jika mengenai stromal dapat
digunakan topikal steroid, pada neurotropik keratitis diterapi dengan
lubrikasi topikal, serta dapat digunakan antibiotik jika terdapat infeksi
sekunder bakteri.
Untuk neuralgia pasca herpetik obat yang direkomendasikan di
antaranya Gabapentin dosisnya 1,800 mg - 2,400 mg sehari. Hari pertama
dosisnya 300 mg sehari diberikan sebelum tidur, setiap 3 hari dosis
dinaikkan 300 mg sehari sehingga mencapai 1,800 mg sehari.
Antibiotik sebaiknya digunakan jika terdapat infeksi bakterial.
Antibiotik pada kasus ini ialah ampicillin dan tetes mata gentamisin,
merupakan antibakteri spektrum luas. Isprinol yang diberikan oleh spesialis
kulit pada penderita di atas termasuk obat imunomodulator yang bekerja
memperbaiki sistem imun.
Vitamin neurotropik berupa neurodex digunakan sebagai vitamin
untuk saraf. Pada umumnya direkomendasikan pemberian NSAID topikal 4
kali sehari dan ibuprofen sebagai analgetik oral. Ahli THT memberikan obat
kumur tantum verde yang berisi benzydamine hydrochloride, merupakan
anti inflamasi non steroid lokal pada mulut dan tengggorokan. Penderita di
atas juga mendapatkan antioksidan berupa asthin force dari ahli penyakit
dalam untuk perlindungan kesehatan kulit.
Sindrom Ramsay Hunt dapat diberikan Prednison dengan dosis 3 x 20
mg sehari, setelah seminggu dosis diturunkan secara bertahap. Dengan dosis
prednison setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung
dengan obat antiviral. Dikatakan kegunaannya untuk mencegah fibrosis
ganglion.
L. Pencegahan
Tindakan preventif yang harus dilakukan penderita ialah tidak
mengusap-usap mata, menyentuh lesi kulit, dan menggaruk luka untuk
menghindari penyebaran gejala. Bagi orang sekitar hendaknya menghindari
kontak langsung dengan penderita terutama anak-anak. Obat-obatan
antiviral seperti asiklovir, valasiklovir, dan famsiklovir merupakan terapi
utama yang lebih efektif dalam mencegah keterlibatan okuler terutama jika
obat diberikan tiga hari pertama munculnya gejala. Berdasarkan
rekomendasi dari National Guidelines Clearinghouse, dosis asiklovir oral
untuk dewasa ialah 800 mg 5 kali sehari selama 7 sampai 10 hari.
Sedangkan antiviral topikal tidak dianjurkan karena tidak efektif. Antiviral
digunakan untuk mempercepat resolusi lesi kulit, mencegah replikasi virus,
dan menurunkan insiden keratitis stroma dan uveitis anterior.
1. Prognosis
Umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung
pada tindakan perawatan secara dini. Prognosis dari segi visus penderita
baik karena asiklovir dapat mencegah penyakit-penyakit mata yang
menurunkan visus. Kesembuhan penyakit ini umunya baik pada dewasa dan
anak-anak dengan perawatan secara dini. Prognosis ke arah fungsi vital
diperkirakan ke arah baik dengan pencegahan paralisis motorik dan
menghindari komplikasi ke mata sampai kehilangan penglihatan. Prognosis
kosmetikam pada mata penderita tersebut baik karena bengkak dan merah
pada mata dapat hilang. Pada kulit dapat menimbulkan makula
hiperpigmentasi atau sikatrik.
BAB III
PENUTUP