You are on page 1of 11

A.

IKTERIK NEONATAL

FISIOLOGI PEMBENTUKAN BILIRUBIN


1. produksi/pembentukan bilirubin
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari
katabolisme heme haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. Satu gram
hemoglobin akan menghasilkan 34 mg bilirubin dan sisanya (25%)
disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan
hemoglobin karena eritropoesis yang tidak efektif di dalam sumsum
tulang, jaringan yang mengandung protein heme (mioglobin,
sitokrom, katalase, peroksidase) dan heme bebas.
Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari,
sedangkan orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan
produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan masa hidup
eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibanding dengan orang
dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom
yang meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang
meningkat (sirkulasi enterohepatik).
(Buku Ajar Neonatologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008)

2. transport bilirubun
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelia,
selanjutnya dilepaskan ke siekulasi yang akan berikatan dengan
albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas ikatan plasma yang
rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah
dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat pada
albumin serum ini merupakan zat yang non polar dan tidak larut

Bastian
dalam air dan kemudian akan ditransportasi ke sel hepar. Bilirubin
yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf
pusat dan bersifat non toksik.
Obat-obat yang dapat melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin:
Analgetik, antipiretik Natrium salisilat, fenilbutazon
Antiseptik, desinfektan Metil isopropil,dll
Antibiotik dengan kandungan sulfa Sulfadiazin, sulfamethizole, sulfamoxazole

Cefalosporin Ceftriakson,cefoperazon
Penisilin Propicilin, cloxacillin
Lain-lain Novabiosin, Triptophan, asam mendelik, kontras X-
ray

Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang


berbeda, yaitu:
a.Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan
membentuk sebagian besar bilirubin tak terkonjugasi dalam
serum.
b. Bilirubin bebas.
c.Bilirubin terkonjugasi (terutama monoglukuronida dan
diglukuronida) yaitu bilirubin yang siap diekskresikan melalui
ginjal atau sistem bilier.
d. Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum.
Pada 2 minggu pertama kehidupan, bilirubin ini tidak akan
tampak. Peingkatan kadar bilirubin ini secara signifikan dapat
ditemukan pada bayi baru lahir normal yang lebih tua dan pada
anak. Konsentrasinya meningkat bermakna pada keadaan
hiperbilirubinemia terkonjugasi persisten karena berbagai
kelainan pada hati.
(Buku Ajar Neonatologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008)

Bastian
3. asupan bilirubin
Pada saat lompoleks bilirubin-albumin mencapai membran
plasma hepatosit, albumin terikat ke reseptor permukaan sel.
Kemudian bilirubin ditransfer melalui sel membran yang berikatan
dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan
sitosolik lainnya. Keseimbangan antara jumlah bilirubin yang
masuk ke sirkulasi, dari sintesis de novo, resirkulasi enterohepatik,
perpindahan bilirubin antar jaringan, pengambilan bilirubin oleh
sel hati dan konjugasi bilirubin akan menentukan konsentrasi
bilirubin tak terkonjugasi dalam serum, bauk pada keadaan normal
ataupun tidak normal.
(Buku Ajar Neonatologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008)

4. konjugasi bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi konversikan ke bentuk bilirubin
konjugasi yang larut dalam air di retikulum endoplasma dengan
bantuan enzim uridine diphosphate glucuronocyl trasferase (UDPG-
T). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi bilirubin
monoglikoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi mnjadi
bilirubin diglukoronida. Enzim ini akan memindahkan satu
molekul asam glukuronida dari satu molekul bilirubin
monoglukoronida ke yang lain dan menghasilkan pembentukan
satu molekul bilirubin diglukuronida.
Penelitian in vitro tentang enzim UDPG-T pada bayi baru lahir
didapatkan defisiensi aktifitas enzim ini meningkatkan melebihi
bilirubin yang masuk ke hati sehingga konsentrasi bilirubin serum
akan menurun.
(Buku Ajar Neonatologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008)

5. ekskresi bilirubin

Bastian
Setelah mengalami proses konjugasi bilirubin akan diekskresi
kedalam kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan
diekskresikan melalui feces. Proses ekskresinya sendiri merupakan
proses yang memerlukan energi. Setelah berada dalam usus halus,
bilirubin terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali jika
dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh
enzim beta-glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi
kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali untuk dikonjugasi
kembali disebut sirkulasi enterohepatik.
(Buku Ajar Neonatologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008)

PERBEDAAN METABOLISME PADA JANIN DAN


NEONATUS

IKTERIK NEONATORUM
Adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus
pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang
berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir
bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL
1. Ikterik fisiologi
Umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin tak
terkonjugasi pada minggu pertama > 2 mg/dL. Pada bayi cukup
bulan yang mendapat susu formula kadar bilirubin akan mencapai
puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan
kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan
penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1-2 minggu. Pada
bayi cukup bulan yang mendapat ASI kadar bilirubin puncak akan
mencapai kadar yang lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan
terjadi lebih lambat. Bisa terjadi dalam waktu 2-4 minggu, bahkan
dapat mencapai waktu 6 minggu. Pada bayi kurang bulan yang

Bastian
mendapat susu formula juga akan mengalami peningkatan dengan
puncak yang lebih tinggi dan lebih lama, begitu juga dengan
penurunannya jika tidak diberikan fototerapi pencegahan.
Peningkatan sampai 10-12 mg/dL masih dalam kisaran fisiologis,
bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolisme
bilirubin.
(Buku Ajar Neonatologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008)

2. Ikterik non fisiologi


Dulu disebut dengan ikterus patologis, tidak mudah dibedakan dari
ikterus fisiologis.
Keadaan dibawah ini merupakan petunjuk untuk tindak lanjut:
a. Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam
b. Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan
fototerapi.
c. Peningkatan kadar bilirubin total serum > 0,5 mg/dL/jam.
d. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi
(muntah, letargis, malas menetek, penurunan BB yang cepat,
apnea, takipnea atau suhu yang tidak stabil).
e. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau
setelah 14 hari pada bayi kurang bulan.
(Buku Ajar Neonatologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008)

HIPERBILIRUBINEMIA
1. Etiologi
2. mekanisme hiperbilirubinemia
3. diagnosis

Bastian
Berbagai faktor resiko dapat meningkatkan kejadian
hiperbilirubinemia yang berat. Perlu penilaian pada bayi baru lahir
terhadap berbagai resiko, terutama untuk bayi-bayi yang pulang
lebih awal. Selain itu juga perlu dilakukan pencatatan medis bayi
dan disosialisasikan pada dokter yang menangani bayi tersebut
selanjutnya.
Tampilan ikterus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi dalam
ruangan dengan pencahayaan yang baik dan menekan kulit dengan
tekanan ringan untuk melihat warna kulit dan jaringan subkutan.
Ikterus pada kulit bayi tidak terperhatikan pada kadar bilirubin
kurang dari 4 mg/dL.
Pemeriksaan fisis harus difokuskan pada identifikasi dari salah
satu penyebab ikterus patologis. Kondisi bayi harus diperiksa pucat,
petekie, extravasasi darah, memar kulit yang berlebihan,
hepatosplenomegali, kehilangan BB dan bukti adanya dehidrasi.
(Buku Ajar Neonatologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008)

4. pencegahan
a. primer
Rekomendasi 1.0 : Menganjurkan ibu untuk menyusui
bayinya paling sedikit 8-12 kali perhari untuk beberapa hari
pertama.
Rekomendasi 1.1 : tidak memberikan cairan tambahan rutin
seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat ASI dan
tidak mengalami dehidrasi.
b. sekunder
Harus melakukan penilaian sistematis terhadap resiko
kemungkinan terjadinya hiperbilirubinemia berat. Selama
periode neonatal.

Bastian
Rekomendasi 2.1 tentang golongan darah : semua wanita
hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta
penyaringan serum untuk antibodi isoimun yang tidak biasa.
Rekomendasi 2.1.1 : bila golongan darah ibu tidak
diketahui atau Rh negatif, dilakukan pemeriksaan
antibody direk (tes coombs), golongan darah dan
tipe Rh (D) darah tali pusat bayi.
Rekomendasi 2.1.2 : bila golongan darah ibu O,
Rhesus positif, terdapat pilihan untuk dilakukan tes
golongan darah dan tes coombs pada darah tali
pusat bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jika
dilakukan pengawasan, penilaian terhadap risiko
sebelum keluar RS dan tindak lanjut yang memadai.
Rekomendasi 2.2 tentang penilaian klinis : harus memastikan
bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya
ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang
harus dinilai saat memeriksa tanda vital bayi, tetapi tidak kurang
dari setiap 8-12 jam.
Rekomendasi 2.2.1 : protokol untuk penilaian ikterus
harus melibatkan seluruh staf perawatan yang
dituntut untuk dapat memeriksa tingkat bilirubin
secara transkutaneus atau memeriksakan
bilirubinserum total.
(Buku Ajar Neonatologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008)

5. manajemen penatalaksanaan (efek samping fototerapi)

IKTERIK ENSEFALOPATI
Menunjukkan pada manifestasi klinis yang timbul akibat efek
toksis bilirubin pada sistem saraf pusat yaitu basal ganglia dan pada

Bastian
berbagai nuklei batang batang otak. Keadaan ini tampak pada minggu
pertama sesudah bayi lahir dan dipakai istilah akut bilirubin ensefalopati.
Manifestasi klinisnya yaitu : pada fase awal, bayi dengan ikterus
berat akan tampak letargis, hipotonik dan reflek hisap buruk, sedangakan
pada fase intermediate ditandai dengan moderate stupor, iritabilitas dan
hipertoni. Untuk selanjutnya bayi akan demam, high-pitched cry,
kemudian akan menjadi drowsiness dan hipotoni. Manifestasi hipertonia
dapat berupa retrocollis dan opistotonus.
(Buku Ajar Neonatologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008)

KERNIKTERIK
Adalah perubahan neuropatologi yang ditandai oleh deposisi
pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak terutama di ganglia
basalis, pons dan serebelum. Kern ikterus digunakan untuk keadaan
klinis yang kronik dengan sekuele yang permanen karena toksik
bilirubin.
Manifestasi klinis kern ikterus : pada tahap yang kronis
ensefalopati, bayi yang bertahan hidup, akan berkembang menjadi
bentuk athetoid cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran,
displasia dental-enamel, paralisis upward gaze.
(Buku Ajar Neonatologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008)

B. INFEKSI/SEPSIS NEONATAL
Adalah infeksi aliran darah yang bersifat invasif dan ditandai dengan
ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti darah, cairan sumsum tulang
atau air kemih.
Etiologi
Pola kuman penyebab sepsis tidak selalu sama antara 1 RS dengan
RS yang lain. Perbedaan tersebut terdapat pula antar suatu negara

Bastian
dengan negara lain. Perbedaan pola kuman ini akan berdampak
terhadap pemilihan antibiotik yang dipergunakan pada pasien.
Perbedaan pola kuman mempunyai kaitan pula dengan prognosa
serta komplikasi jangka panjang yang mungkin diderita bayi baru
lahir.
Hampir sebagian besar kuman penyebab di negara berkembang
adalah kuman gram negatif berupa kuman enterik seperti
Enterobakter sp, Klebsiella sp dan Coli sp. Sedangkan di Amerika
utara dan eropa barat 40% penderita terurama disebabkan oleh
Streptokokus grup B. Selanjutnya kuman lain seperti Coli sp,
Listeria sp dan Enterovirus ditemukan dalam jumlah yang lebih
sedikt.
(Buku Ajar Neonatologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008)

Patofisiologi
Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi
kuman karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti
plasenta, selaput amnion, khorion dan benerapa faktor anti infeksi
pada cairan amnion. Walaupun demikian kemungkinan
kontaminsi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu:
1. infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat
mencapai janin melalui aliran darah mene,mbus barier
plasenta dan masuk sirkulasi janin. Keadaan ini ditemukan
pada infeksi TORCH, triponema pallidum atau Listeria dll.
2. prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor
aseptik/antiseptik misalnya saat pengambilan contoh darah
janin, bahan villi khorion atau amniosentesis. Paparan kuman
pada cairan amnion saat prosedur dilakukan akan
menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi
kontaminasi kuman pada janin.

Bastian
3. pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari
vagina akan lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan
ini kuman vagina masuk kedalam rongga uterus dan bayi dapat
terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan ataupun
saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang
belum lahir akan meningkat apabila ketuban pecah lebih dari
18-24 jam.

Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi


baik karena infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan
bayi, bayi yang mendapat prosedur neonatal invasif seperti
kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang
memperhatikan tindakan a/antiseptik, rawat inap yang terlalu
lama dan hunian terlalu padat.
(Buku Ajar Neonatologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008)

Diagnosis
Dalam menentukan diagnosis diperlukan berbagai informasi
antara lain :
Faktor risiko
1. Faktor ibu
Persalinan dan kelahiran kurang bulan
Ketuban pecah lebih dari 18-24 jam
Chorioamnionitis
Persalinan dengan tindakan
Demam pada ibu (>38,4C)
Infeksi saluran kencing pada ibu
Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu

2. faktor bayi

Bastian
Asfiksia perinatal
Berat lahir rendah
Bayi kurang bulan
Prosedur invasif
Kelainan bawaan

Gambaran klinik
Gangguan organ Gambaran klinis
kardiovaskuler Tekanan darah sistolik < 40 mmHg
Denyut jantung < 50 atau > 220/menit
Terjadi henti jantung
pH darah < 7,2 pada PaCO2 normal
Kebutuhan akan inotropik untuk mempertahankan
tekanan darah normal
Saluran nafas Frekw nafas > 90/menit
PaCO2 > 65 mmHg
PaO2 < 40 mmHg
Memerlukan ventilasi mekanik
FiO2 < 200 tanpa kelainan jantung sianotik
Sistem hematologik Hb < 5 g/dl
WBC < 3000 sel/mm
Trombosit < 20000
D-dimer > 0,5 ug/ml pada PTT > 20 detik atau waktu
tromboplastin > 60 detik
SSP Kesadaran menurun disertai dilatasi pupil
Gangguan ginjal Ureum > 100 mg/dL
Creatinin > 20 mg/dL
Gastroenterologi Perdarahan GI disertai dengan penurunan Hb > 2 g%,
hipotensi, perlu tranfusi darah atau operasi GI
Hepar Bilirubin total > 3 mg%

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan komponen darah , C- Reactive Protein (CRP)
dan pemeriksaan biomolekuler.
(Buku Ajar Neonatologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008)

manajemen

Bastian

You might also like