Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Cedera Urogenital merupakan 10% kasus yang dapat ditemui dari berbagai kasus
yang ada di Unit Gawat Darurat. Pasien dengan kelainan striktur uretra sekunder akibat
peristiwa traumatic jika tidak dikelola dengan baik, cenderung memiliki masalah
berkemih yang signifikan dan berulang serta membutuhkan intervensi lebih lanjut.
Sebagian besar trauma uretra berhubungan dengan peristiwa yang dapat dideteksi
dengan baik, termasuk trauma tumpul berat seperti yang disebabkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor atau karena jatuh. Secara klinis trauma uretra diklasifikasikan
menjadi 2 kategori besar berdasarkan lokasi anatomi trauma menjadi trauma uretra
anterior dan trauma uretra posterior. 1
Anestesi, dalam arti luas berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap suatu
rangsangan. Pemberian anestesi dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa
nyeri baik disertai atau tanpa hilangnya kesadaran. Secara garis besar anestesi dibagi
menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi regional. 2
Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang reversible akibat
pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral.
Perbedaan dengan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas
nyeri tanpa kehilangan kesadaran. 2
Anestesi regional terbagi atas anestesi spinal (anestesi blok subaraknoid), anestesi
epidural dan blok perifer. Anestesi spinal dan anestesi epidural telah digunakan secara
luas di bidang ortopedi, obstetri dan ginekologi, operasi anggota tubuh bagian bawah
dan operasi abdomen bagian bawah. Anestesi spinal diindikasikan untuk bedah
ekstremitas inferior, bedah panggul, tindakan sekitar rektum-perineum, bedah obstetri-
ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, dan semakin banyak penggunaannya
untuk operasi ortopedi ekstremitas inferior. Anestesi spinal mudah dan murah untuk
dilakukan, tetapi resiko yang mungkin dapat ditimbulkan juga tidak sedikit, antara lain
hipotensi, blok tinggi (spinal), radiokulopati, abses, hematom, malformasi arterivenosa,
sindrom arteri spinal anterior, sindrom hornes, nyeri punggung, pusing, serta defisit
neurologis. 2
1
Sekarang ini anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya
dibandingkan anestesi umum. Karena anestesi umum bekerja hanya menekan aksis
hipotalamus pituitari adrenal, sementara anestesi regional bekerja menekan transmisi
impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal. Hal ini juga dipengaruhi oleh
berbagai keuntungan yang ada di antaranya relatif murah, pengaruh sistemik minimal,
menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan mencegah respon stress secara lebih
sempurna. Salah satu teknik anestesi regional yang pada umumnya dianggap sebagai
salah satu teknik yang paling dapat diandalkan adalah anestesi spinal. 3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Patologi
Uretra anterior terbungkus dalam corpus spongiosum penis.
Sedangkan corpus spongiosum bersamaan dengan corpora cavernosum
dibungkus oleh fascia buck dan fascia colles. Apabila terjadi ruptur uretra
beserta corpus spongiosum, darah dan urine keluar dari uretra tetapi masih
terbatas pada fasia buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas
pada penis. Namun apabila robek terjadi hingga ke fascia buck, ekstravasasi
darah dan urin dapat menjalar hingga ke scrotum atau ke dinding abdomen
dengan gambaran seperti kupu-kupu sehingga sering disebut butterfly
hematoma. Trauma uretra pars bulbosa terjadi akibat jatuh terduduk atau
terkangkang sehingga uretra terjepit antara objek yang keras, seperti batu,
kayu atau palang sepeda dengan tulang simfisis. 1
2.1.2. Diagnosis 1
a. Riwayat jatuh dari tempat yang tinggi dan terkena daerah perineum atau
riwayat instrumentasi disertai adanya darah menetes dari uretra yang
merupakan gejala penting.
b. Nyeri daerah perineum dan kadang-kadang ada hematom perineal.
c. Retensio urin bisa terjadi dan dapat diatasi dengan sistostomi suprapubik
untuk sementara, sambil menunggu diagnose pasti. Pemasangan kateter
uretra merupakan kontraindikasi.
3
d. Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum darah dan urin
keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis
terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fasia Buck ikut
robek, ekstravasasi urin dan darahanya dibatasi oleh fasia Colles
sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen.
Robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut
butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu.
e. Dengan pemeriksaan uretrografi retrograd, gambaran rupture uretra
berupa adanya ekstravasasi kontras di pars bulbosa. Namun pada keadaan
kontusio uretra, biasanya tidak menunjukan adanya ekstravasasi kontras.
2.1.3. Tindakan 4
a. Pada Kontusio uretra umumnya tidak memerlukan tindakan khusus.
b. Pada ruptur uretra parsial dengan ekstravasasi ringan, dapat dilakukan
sistotomi dan pemasangan kateter foley untuk mengalihkan aliran urine.
Kateter dipertahankan hingga 2 minggu, kemudian dievaluasi dengan
pemeriksaan uretrografi hingga dipastikan tidak ditemukan lagi
ekstravasasi kontras maupun striktur uretra.
c. Pada ruptur uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan uretra
dengan anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal. Dipasang
kateter silicon selama 3 minggu.
d. Pada ruptur dengan ekstravasasi urine dan hematom yang luas perlu
dilakukan debridement dan incisi hematoma untuk mencegah terjadinya
infeksi. Apabila luka sudah membaik, baru dilakukan reparasi uretra
e. Apabila terjadi striktur uretra, dilakukan reparasi uretra atau sachse.
4
kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang subaraknoid di
daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5. Jarum spinal hanya
dapat diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis. Batas
atas ini dikarenakan adanya ujung medula spinalis dan batas bawah
dikarenakan penyatuan vertebra sakralis yang tidak memungkinkan
dilakukan insersi.2
Area tulang belakang manusia atau yang disebut kolumna vertebralis
terdiri dari 33 korpus vertebralis yang dibagi menjadi 5 (lima) segmen yaitu
7 vertebra servikal, 12 vertebra torakal, 5 vertebra lumbal, 5 vertebra sakral
dan 4 vertebra koksigeus menyatu pada dewasa, yang dihubungkan dengan
melekatnya kelompok-kelompok saraf. 5
5
Kontraindikasi Absolut2,5 Kontraindikasi Relatif2,5
1. Pasien menolak 1. Infeksi sistemik (sepsis,
2. Infeksi pada tempat suntikan bakteremia)
3. Hipovolemia berat 2. Infeksi sekitar tempat suntikan
4. Koagulopati atau mendapat terapi 3. Kelainan neurologis
antikoagulan 4. Kelainan psikis
5. Tekanan intrakranial meninggi 5. Bedah lama
6. Fasilitas resusitasi minim 6. Penyakit jantung
7. Kurang pengalaman atau / tanpa 7. Hipovolemia ringan
didampingi konsultan anestesi 8. Nyeri punggung kronis
6
Kelas I : Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
Melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupan setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat huruf E (E = EMERGENCY).
7
2.2.5. Teknik Anestesi Blok Subarachnoid
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada
garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan
di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit
perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit
pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.2,8,9
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya
tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar
processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
8
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%
sebanyak 2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik
biasa semprit 10 cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak
sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(quincke bacock)), irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau ke
bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang,
mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau
anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia
spinal kontinu dapat dimasukan kateter.
9
2.2.6. Obat-Obat Anestesi Blok Subarachnoid
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 270C ialah sebesar
1.003 - 1.008. Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut
isobarik, sedangkan anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS
disebut hiperbarik, sebaliknya anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil
dari CSS disebut hipobarik. Anestetik lokal yang sering dipakai adalah jenis
hiperbarik yang diperoleh dengan mencampur anestetik lokal dengan
dekstrosa, hal ini membuat obat anestesi tersebut menjadi lebih berat dan
lebih pekat. Hiperbarik digunakan khusus untuk blok subarachnoid. 10
Dua jenis golongan obat anestesi lokal yaitu: ester (cocain, procain,
chloroprocain, tetracain) dan amide (dibucain, lidocain, mepivacain,
prilocain, bupivacain, etidocain, ropivacain). Masing-masing mempunyai
sifat yang berbeda. Hidrolisa golongan ester berjalan cepat sehingga daya
kerjanya singkat, sedangkan hidrolisa golongan amide berjalan lebih lambat
dan memiliki waktu paruh 1,6 - 8 jam. Obat dengan durasi kerja paling
panjang dan potensi tinggi adalah obat bupivacain. Obat anestesi spinal
yang sering dipergunakan ialah bupivakain 0,5% dalam dekstrosa 8,25%
dengan dosis 10-20 mg. Mula kerja bupivakain lambat dibanding lidokain,
tetapi lama kerja bisa sampai 8 jam. Bupivakain sering digunakan karena
ikatan dengan protein plasma lebih besar, sehingga dengan pemberian
dalam jumlah kecil pengaruhnya terhadap bayi sangat kecil sekali (reaksi
toksik dan transfer melalui plasenta jarang dijumpai). 8,9,10
Ruang subarachnoid lebih kecil pada wanita hamil dibanding wanita
tidak hamil, sehingga dengan dosis obat anestesi yang sama, blokade jauh
lebih tinggi pada ibu hamil dibanding wanita tidak hamil, oleh karena itu
diperlukan pengurangan dosis.2,8
Selama operasi berlangsung atau pasca operasi, pasien biasa
mengalami gemetaran yang tidak ada hubungannya dengan hipotermi.
Petidine cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran tersebut. Petidine
adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi
mempunyai efek klinik dan efek samping yang hampir sama. Petidin lebih
larut dalam lemak, metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan
10
normeperidin, asam meperidinat, dan asam normeperidinat. Normeperidin
ialah metabolit yang masih aktif yang memiliki sifat konvulsi dua kali lipat
petidine, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Dosis Petidine yang
diberikan 20-25 mg intravena.8
11
2.2.8. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ketinggian Blok Analgesia Spinal 10
Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas
daerah analgetik
Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan ialah 3 detik untuk 1 ml
larutan.
Manuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
Tempat pungsi: pengaruhnya besar, obat hiperbarik pada L4-L5
cenderung berkumpul ke kaudal (saddle block), obat hiperbarik pada
pungsi L2-L3 atau L3-L4 cenderung menyebar ke kranial.
Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik.
Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapatkan
batas analgesia yang lebih tinggi.
Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin
besar dosis yang diperlukan (berat badan tidak berpengaruh terhadap
dosis obat)
Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan
analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah
dengan posisi pasien.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor,
motoris dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin
mungkin terjadi.
12
Tabel 1. Level Ketinggian Blok Segmen Untuk Operasi
Tempat Operasi Level Blok
Ekstremitas Bawah T-12
Panggul T-10
Vagina, Uterus T-10
Vesica urinaria, Prostat T-10
Testis, Ovarium T-8
Intraabdomen bagian bawah T-6
Bagian intraabdomen lain T-4
13
terjadi penurunan tekanan darah sistolik, biasanya 90 atau 100 mmhg,
atau penurunan prosentase 20% atau 30% dari biasanya. Dan lamanya
perubahan bervariasi dari 3 sampai 10 menit. Oleh karena itu kejadian
hipotensi harus dicegah. 2,8,9
Ada beberapa cara untuk mencegah atau mengatasi hipotensi akibat
spinal anestesi adalah dengan pemberian cairan pre operasi yaitu Ringer
Laktat (RL) dan atau obat vasopressor salah satunya dengan pemberian
efedrin. Efedrin merupakan vasopresor pilihan yang digunakan pada
anestesi obstetric sebagai obat yang diberikan untuk mencegah hipotensi
akibat anestesi spinal. Efedrin adalah obat sintetik non katekolamin yang
mempunyai aksi langsung yang menstimuli reseptor 1, 2, 1
adrenergik dan aksi tak langsung dengan melepaskan nor-epinefrin
endogen. 2,9,10
Efedrin akan menyebabkan peningkatan cardiac output, denyut
jantung dan tekanan darah sistolik maupun diastolik. Menurunkan aliran
darah splanikus dan ginjal tetapi meningkatkan aliran darah ke otak dan
otot. Pemberian efedrin dapat secara subkutan, intra muskuler, bolus
intravena, dan infus kontinyu dan pada praktek sehari-hari, efedrin
diberikan secara bolus IV 5-10 mg bila terjadi hipotensi akibat anestesi
spinal. 2,8
2. Bradikardia
Efek samping kardiovaskuler, terutama hipotensi dan bradikardi
adalah perubahan fisiologis yang paling penting dan sering pada anestesi
spinal. Pemahaman tentang mekanisme homeostasis yang bertujuan
untuk mengontrol tekanan darah dan denyut jantung penting untuk
merawat perubahan kardiovaskuler terkait dengan anestesi spinal. 2,8
Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu tanda
vital pada anestesi spinal. Frekuensi denyut nadi yang tidak stabil dapat
menyebabkan bradikardi apabila terdapat penurunan frekuensi denyut
nadi yang berlebihan. Karena itu pemilihan obat anestesi spinal
merupakan hal yang penting mengingat adanya efek-efek yang
ditimbulkan. Apabila terjadi penurunan tekanan darah dan frekuesi
14
denyut nadi yang berlebihan dapat digunakan efedrin yang berfungsi
berdasarkan reseptor adrenergik yang menghasilkan respon simpatis.
Oleh karena efedrin dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer, sehingga
pada penggunaan klinis efedrin meningkatkan tekanan darah dan
frekuensi denyut nadi. 2,8,10
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total
15
Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan :
Memakai abdominal binder
Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di
ruang epidural tempat kebocoran.
Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari.
Kejadian post spinal headache10-20% pada umur 20-40 tahun; >10%
bila dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai jarum no.22
ke atas. Wanita lebih banyak yang mengalami sakit kepala daripada laki-
laki.
4. Retensio urine
5. Meningitis.
16
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2. Anamnesa
3.2.1. Keluhan Utama
Sulit buang air kecil.
17
3.3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tinggi Badan : 150 cm
Berat Badan : 55 Kg
Tanda-tanda Vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 60 x/m
Respirasi : 16 x/m
Suhu badan : 36.50C
18
Pinggang : ICS III linea parasternals sinistra
Batas kiri : ICS V 2 cm ke medial linea
midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS V linea parasternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II, reguler, murmur (-), gallop (-)
Cembung, terpasang kateter pungsi pada daerah
Inspeksi :
suprapubik.
Supel (+), nyeri tekan epigastrium (-), nyeri tekan
Abdomen : Palpasi : hipokondrium kanan (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar.
Perkusi : Tymphani.
Auskultasi : Bising usus (+), 2-4 kali/menit.
Akral teraba hangat, kering dan merah, Capillary Refill Time < 2,
Ekstremitas :
Edema tidak ada, kekuatan otot di ekstremitas superior et inferior: 5
19
3.5. Konsultasi Terkait
Konsultasi Bagian Anestesi
04 Januari 2016, advice:
Inform consent dan SIO
Puasa 8 jam pre operasi
Siap PRC 2 bag
Pasang IVFD RL 20tetes/menit Makro
Airway:
B1 :
Jalan napas bebas, terpasang O2 nasal 2-3 lpm,
Look :
Mallampati Score: 1.
20
Feel : Terasa hembusan nafas pasien di pipi pemeriksa.
Terdengar hembusan napas pasien,
Listen :
Pasien bicara spontan.
Breathing:
Gerak dinding dada simetris, retraksi sela iga (-),
Inspeksi :
frekuensi napas: 16 kali/menit
Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra.
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi Suara nafas vesikuler (+/+), suara rhonki (-/-),
:
suara wheezing (-/-).
Akral: teraba hangat, kering, warna: merah muda,
Perfusi : Capillary Refill Time < 2, TD: 110/70 mmHg,
Nadi: 60 x/m, reguler, kuat angkat, terisi penuh
Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
B2 : Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Pinggang : ICS III linea parasternalis sinistra
Perkusi : Batas kiri : ICS V 2 cm ke medial linea
midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS V linea parasternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II, regular, murmur (-), gallop (-)
Compos Mentis, GCS: E4V5M6 = 15,
Riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-),
B3 : Kesadaran : Nyeri kepala (-), pandangan kabur (-),
Pupil: bulat, isokor, ODS 3 mm,
refleks cahaya (+/+)
21
Supel (+), nyeri tekan epigastrium (-), nyeri tekan
Palpasi : hipokondrium kanan (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar.
Perkusi : Tymphani.
Auskultasi : Bising usus (+), 2-4 kali/menit
Akral teraba hangat, kering dan merah, Capillary Refill Time < 2,
B6 : Edema tidak ada, kekuatan otot di ekstremitas superior et inferior:
5
Medikasi Pra
: (- )
Bedah
22
Penyulit Pembedahan : (-)
Obat yang digunakan
Premedikasi : (-)
Bupivakain HCL 0,5% (15 mg),
Induksi dan Maintenance :
dilakukan blok pada jam: 11.25 WIT
- Ranitidin 50 mg
- Ondansentron 4 mg
Medikasi Durante Operasi :
- Sulfat Atropin 0,25 mg
- Natrium Metamizole 1 gram
TD: 109/65 mmHg, Nadi :67 x/m, reguler, kuat
Tanda-tanda vital pada angkat,
:
akhir pembedahan Suhu badan: 36,0oC , Frekuensi napas: 18 x/m, SpO2:
99%
23
160
140 115
111 107 109 153 152
151
120 109 1
111 08 107
110 122 127 142
139 136142
106 118 121 122
118 123
121 129
127 129
127 131 136
100 118 126
80 69
7362
696766 6964
696263
nadi
60 646061 636163 65 68 70 68 73
656259 65 73 78 79 82
67 69 70 7372 76
58 58 55
54 56 56 53 55 69 7070 78
70 70 77 77
40 53 55 53 60 62 58 62 65 67 71 65 diastol
70
20 62 60
0 sistol
nadi
24
- Kebutuhan cairan untuk pengganti puasa 11 jam:
= 11 jam x (92-115 cc/jam) = 1012-1265 cc/ 11 jam
Durante - Kebutuhan cairan per jam: 92 - 115 cc/ jam Input:
Operasi - Kebutuhan cairan durante operasi selama 30 menit: - RL: 250 cc
92-115 cc / jam x 30 menit = 46 - 57,5 cc / 30 menit
Cairan untuk maintenance: 46 - 57,5 cc / 30 menit Output:
- Urin: 50 cc
- Estimate Blood Volume (EBV): - IWL: 550 cc
70 cc/KgBB x BB = 70 cc/KgBB x 55Kg = 3850 cc - Perdarahan:
- Estimate Blood Loss (EBL): 100 cc
Volume perdarahan : EBV x 100 %
= 100 cc : 3850 cc x 100% = 2,6 %
25
Inj. Antrain 3x1 gram (iv)
Inj. Asam Traneksamat 3x500 mg (iv)
26
BAB IV
PEMBAHASAN
27
Pada pasien kemudian dilakukan operasi sistoskopi, anestesi blok subarachnoid
dengan Decain 0,5% pada posisi duduk antara vertebra L3L4. Anestesi blok
subarachnoid dihasilkan bila kita menyuntikan obat analgesic local ke dalam ruang sub
arakhnoid di daerah antara vertebra L2 L3 atau L3 L4 atau L4 L5. Anestesi blok
subarachnoid dipilih berdasarkan atas indikasi pembedahan yang akan dilakukan pada
pasien ini yakni untuk pembedahan daerah tubuh ekstremitas bawah sehingga anestesi
blok subarachnoid merupakan pilihan yang tepat.
Isi dari obat Decain 0,5% adalah Bupivacain HCl. Bupivacaine HCl dipilih
sebagai obat anestesi spinal dikarenakan lama kerjanya yang panjang dengan teknik satu
kali suntikan. Bupivacain HCl merupakan anestesi lokal golongan amida yang
mencegah konduksi rangsang saraf dengan menghambat sodium channel, meningkatkan
ambang eksitasi electron, memperlambat rangsang saraf, dan menurunkan kenaikkan
potensial aksi. Selain itu Bupivacain HCl juga dapat ditoleransi pada semua jaringan
yang terkena dan di metabolism di hati serta di ekskresikan di urin.
Penggunaan Bupivacaine HCl pada pasien ini dianggap sudah tepat karena pasien
menjalani operasi sistoskopi yang berlangsung selama 30 menit, dan sudah sesuai
dengan dosis pemberian yaitu Decain 0,5% 15 mg (3 cc). Hal ini sesuai dengan
kepustakaan yang menyebutkan bahwa Bupivacaine HCl diindikasikan untuk anastesi
intratekal (subarachnoid, spinal) untuk operasi abdomen yang berlangsung 45-60 menit,
operasi urologi dan ekstremitas bagian bawah yang berlangsung 2-3 jam (termasuk
operasi panggul), dengan dosis operasi abdomen bawah untuk dewasa 3-4 cc (15-20
mg) pada posisi horizontal. Onset: 5-8 menit; lama kerja obat 1,5-2 jam.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infus cairan kristaloid
(NaCl, Ringer Laktat) secara cepat sebanyak 10-15 ml/kgBB dalam 10 menit segera
setelah penyuntikan analgesia spinal. Pada pasien ini, dilakukan pemberian cairan
kristaloid yaitu ringer laktat secara cepat setelah penyuntikan blok spinal, dan dianggap
berhasil karena selama operasi berlangsung pasien tidak mengalami hipotensi, sehingga
tidak perlu dilakukan pemberian vasopresor untuk meningkatkan tekanan darah.
Bradikardi dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang, atau karena blok
simpatin T1-4. Bradikardi dapat diatasi dengan pemberian sulfat atropine 1/8-1/4 mg
intravena. Selama operasi berlangsung, pasien sempat mengalami bradikardi yaitu nadi
58 x/menit sehingga dilakukan pemberian sulfat atropine 0,25 mg, dan dianggap
28
berhasil menaikkan nadi pasien hingga akhir operasi pasien sudah tidak mengalami
bradikardi.
160
140 115 111
120 109 107 111 108 109
100
80 69 66 nadi
63 65 62 64
60 65 63 diastol
58 62 64 65
40 65 67 sistol
20
0 Sulfat atropine 0,25 mg
11. 30 11. 35
11. 40 11. 45 nadi
11. 50 11. 55
12. 00
29
Cairan yang Dibutuhkan Aktual
Pre - BB: 55 Kg Input:
Operasi - Kebutuhan cairan harian: 40-50 cc/KgBB/hari RL: 500 cc
= 40 cc x 55 Kg = 2200 cc/hari -
50 cc x 55 Kg = 2750 cc/hari Output:
Kebutuhan cairan harian: 2200cc 2750cc/ hari Urine : 50 cc
(06.00) 11.00)
- Kebutuhan cairan per jam:
= 2200 cc : 24 jam = 92 cc/jam -
2750 cc : 24 jam = 115 cc/jam
Kebutuhan cairan per jam: 92cc 115cc/ jam
Kebutuhan cairan durante operasi untuk pasien ini dengan BB 55 kg, yang
mengalami perdarahan selama pembedahan dapat dilakukan terapi cairan dengan
perhitungan sebagai berikut:
30
- Lama operasi: 30 menit prediksi cairan yang
hilang selama operasi dihitung dari:
Jenis operasi x KgBB = (4-6 cc/KgBB/jam) x 55Kg
= 220 - 330 cc/jam
untuk 30 menit: (220 - 330 cc / jam) x 0,5 jam
= 110 - 165 cc / 30 menit
Balance Cairan: Input - Ouput Selama Pre Operasi hingga Durante Operasi:
- Input: Pre Operasi (Ringer Laktat 500 cc) + Durante Operasi (Ringer Laktat 250 cc)
- Output: Pre Operasi (Urin 50 cc) + Durante Operasi (Urin 50 cc + IWL 550 cc)
= 750 cc 650 cc
= + 100 cc
Prediksi kehilangan cairan pada pasien ini selama operasi 30 menit adalah 110 -
165 cc / 30 menit. Selama operasi berlangsung, pasien diberikan cairan Ringer Laktat
sebanyak 250 cc. Cairan yang diberikan ini sudah cukup untuk menggantikan prediksi
kehilangan cairan pasien, dan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien
selama operasi 30 menit.
Selama durante operasi, perdarahan pada pasien ini yaitu 100 cc, dengan
Estimate Blood Loss (EBL) sekitar 2,6 % sehingga pada pasien ini tidak perlu
dilakukan resusitasi. Perdarahan pada pembedahan tidak selalu perlu transfusi, untuk
perdarahan di bawah 20% dari volume darah total cukup diganti dengan cairan infus
yang komposisi elektrolitnya kira-kira sama dengan komposisi elektrolit serum
misalnya dengan Ringer Laktat.
31
Kebutuhan cairan post operasi seperti diuraikan diatas ialah: 2200 - 2750 cc / 24
jam. Instruksi post operatif untuk cairan yang diberikan kepada pasien adalah IVFD
Ringer Laktat 20tetes/menit, atau sekitar 1500 cc / 24 jam. Terapi cairan ini belum
termasuk makan dan minum pasien sehingga diharapkan dengan tambahan cairan dari
makanan dan minum, kebutuhan cairan pasien tercukupi.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Trauma uretra anterior adalah keadaan yang disebabkan oleh straddle injury
(cedera selangkangan) dan iatrogenik yang sering menyebabkan terjadinya
kerusakan berupa kontusio dinding uretra, ruptur parsial, maupun ruptur total
dinding uretra.
2. Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid.
3. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien
didiagnosis dengan trauma uretra anterior. Klasifikasi status anestesi pasien
digolongkan dalaam PS ASA II.
32
4. Pasien akhirnya menjalani operasi sistoskopi dan dipilih anestesi blok sub
arakhnoid dengan menggunakan Bupivacaine HCl 0,5% dengan dosis 15 mg.
5. Salah satu efek samping anestesi blok sub arakhnoid adalah hipotensi, namun
pada pasien ini dapat dicegah dengan pemberian cairan kristaloid secara cepat
setelah penyuntikan blok spinal.
6. Selama operasi berlangsung, pasien sempat mengalami bradikardi sehingga
dilakukan pemberian sulfat atropine 0,25 mg, dan hingga akhir operasi pasien
sudah tidak mengalami bradikardi.
7. Estimate Blood Loss pada pasien ini adalah 2,6% sehingga tidak perlu
dilakukan resusitasi.
5.2. Saran
Anestesi spinal membutuhkan pemilihan kasus yang selektif, dengan
memperhatikan indikasi dan kontra indikasinya. Terdapat pula komplikasi yang
bisa terjadi selama operasi berlangsung. Oleh karena itu, perlu dilakukan
monitoring berkala dan penatalaksanaan yang tepat untuk mengatasi komplikasi
yang terjadi.
33