You are on page 1of 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan
anestesi regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang
reversible akibat pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit seluruh
tubuh secara sentral. Perbedaan dengan anestesi regional adalah anestesi pada
sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran. Regional anestesi
terbagi atas spinal anestesi (anestesi blok subaraknoid), epidural anestesi dan blok
perifer.
Anestesi spinal (anestesi blok subaraknoid), adalah anestesi regional dengan
penyuntikan obat anestctik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi
spinal/subaraknoid disebut juga sebagai blok spinal intradural atau blok intratekal.
Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikan obat analgesik lokal ke dalam
ruang subaracnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.Anestesi
spinal diindikasikan terutama untuk bedah ekstremitas inferior, bedah panggul,
tindakan sekitar rectum dan perineum, bedah obstetrik dan ginekologi, bedah
urologi, bedah abdomen bawah dan operasi ortopedi ekstremitas inferior.
Abses adalah daerah jaringan yang terbentuk diamana didalamnya terdapat nanah
yang terbentuk sebagai usaha untuk melawan aktivitas bakteri berbahaya yang
menyebabkan infeksi. Sitem imun mengirim sel darah putih untuk melawan bakteri
sehingga terbentuklah nanah atau pus yang mengadung sel darah putih yang masih aktif
ataupun sudah mati serta enzim. Abses terbentuk jikalau tidak ada jalan keluar
nanah/pus sehingga nanah/pus tadi terperangkap dalam jaringan dan terus membesar.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Abses
2.1.1. Definisi
Abses (Latin: abscessus) merupakan kumpulan nanah (netrofll
yang telah mati) yang terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena adanya
proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya
benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses
ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah
penyebaran/perluasan jnfeksi ke bagian tubuh yang lain. Abses adalah
infeksi kulit dan subkutis dengan gejala berupa kantong berisi nanah.
Abses adalah pengumpulan nanah yang terlokalisir sebagai akibat dan
infeksi yang melibatkan organisme piogenik, nanah merupakan suatu
campuran dari jaringan nekrotik, bakteri, dan sel darah putih yang sudah mati
yang dicairkan oleh enzim autolitik (Morison, 2003 dalam Nurarif & Kusuma,
2013) Abses (misalnya bisul) biasanya merupakan titik "mata", yang
kemudian pecah; rongga abses kolaps dan terjadi obliterasi karena fibrosis,
meninggalkan jaringan parut yang kecil.
Pedis adalah anggota badan yang menopang tubuh dan dipakai
untuk berjalan (dari pangkal paha ke bawah) . Dari pengertian diatas dapat
disimpulkan abses pedis adalah infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri /
parasit atau karena adanya benda asing (misalnya luka peluru maupun jarum
suntik) dan mengandung nanah yang merupakan campuran dari jaringan
nekrotik, bakteri, dan sel darah putih yang sudah mati yang dicairkan oleh
enzim autolitik yang timbul di kaki.
2.1.2. Manifestasi klinis
Abses bisa terbentuk diseluruh/bagian tubuh, termasuk di kaki. Menurut
Stneltzer & Bare (2001), gejala dari abses tergantung kepada lokasi dan
pengaruhnya terhadap fungsi suatu organ saraf gejalanya bisa berupa:
1. Nyeri
2. Nyeri Tekan

2
3. Teraba Hangat
4. Pembengkakan
5. Kemerahan
6. Demam
2.1.3. Patofisiologi
Proses abses merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk
mencegah penyebaran atau perluasan infeksi ke bagian lain tubuh.
Organisme atau benda asing membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya
menyebabkan pelepasan sitokin. Sitokin tersebut memicu sebuah respon
inflamasi (peradangan), yang menarik kedatangan sejumlah besar sel-sel
darah putih (leukosit) ke area tersebut dan meningkatkan aliran darah
setempat.
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat
suatu infeksi bakteri. Jika bakteri menyusup ke dalam jaringan yang sehat,
maka akan terjadi infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan
rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih
yang merupakan pertahanan tubuh dapat melawan infeksi, bergerak ke
dalam rongga tersebut dan setelah menelan bakteri, sel darah putih akan
mati. Sel darah putih yang mati inilah yang membentuk nanah, yang mengisi
rongga tersebut
2.1.4. Penatalaksanaan
Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan
menggunakan antibiotik. Namun demikian, kondisi tersebut butuh
ditangani dengan intervensi bedah dan debridement. Suatu abses harus
diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebabnya, terutama apabila
disebabkan oleh benda asing, karena benda asing tersebut harus diambil.
Apabila tidak disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu
dipotong dan diambil absesnya, bersamaan dengan pemberian obat
analgetik dan antibiotik.
Drainase abses dengan menggunakan pembedahan diindikasikan
apabila abses telah berkembang dari peradangan serosa yang keras

3
menjadi tahap nanah yang lebih lunak. Drain dibuat dengan tujuan
mengeluarkan cairan abses yang senantiasa diproduksi bakteri. Apabila
menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area yang kritis, tindakan
pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan terakhir yang
perlu dilakukan. Memberikan kompres hangat dan meninggikan posisi
anggota gerak dapat dflakukan untuk membantu penanganan abses kulit.
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus
aureus, antibiotik antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin
sering digunakan. Dengan adanya kemunculan Staphylococcus aureus
resisten Methicillin (MRSA) yang didapat melalui komunitas, antibiotik
biasa tersebut menjadi tidak efektif. Untuk menangani MRSA yang
didapat melalui komunitas, digunakan antibiotik lain: clindamycin,
trimethoprim-sulfamethoxazole, dan doxycycline.
Adapun hal yang perlu diperhatikan bahwa penanganan hanya
dengan menggunakan antibiotik tanpa drainase pembedahan jarang merupakan
tindakan yang efektif. Hal tersebut terjadi karena antibiotik sering tidak
mampu masuk ke dalam abses, selain itu antibiotik tersebut seringkali
tidak dapat bekerja dalam pH yang rendah.

2.2. PENATALAKSANAAN ANESTESI


2.2.1. Anestesi Blok Subaraknoid (Anestesi Spinal)
A. Definisi
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah
tindakan anestesi dengan memasukan obat analgetik ke dalam ruang
subaraknoid di daerah vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi
hambatan rangsang sensoris mulai dari vertebra thorakal 4. 1][3]
B. Indikasi
Untuk pembedahan,daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah
(daerah papila mamae kebawah ). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu
lama, maksimal 2-3 jam. 1][3]
C. Kontraindikasi

4
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua
yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.
Kontra indikasi absolut :
Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan
bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun
diare, Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya
hipovolemia.
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
Tekanan intrakranial meningkat. : dengan memasukkan obat
kedalam rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi
tekanan intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis
Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi
spinal bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan
lain-lain, maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi
lainnya
Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini
dapat menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada
medulla spinalis, keterampilan dokter anestesi sangat penting.
Pasien menolak.
Kontra indikasi relatif :
Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan
apakah diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan
kemungkinan penyebaran infeksi.
Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat
suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya
agar tidak membingungkan antara efek anestesi dan deficit
neurologis yang sudah ada pada pasien sebelumnya.
Kelainan psikis
Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-
120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa
bertahan hingga 150 menit.

5
Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi
kea rah jantung akibat efek obat anestesi local.
Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau
terjadinya hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan
atau cairan
Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat
diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila
dilakukan berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman. [1][3]

D. Struktur anatomi vertebra


Gambar 1 : Kolumna Vertebralis[4]

Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah


tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal,
torakal dan lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi
tulang sakral dan koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang
yaitu tulang sakum dan koksigeus.
Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1)
menyangga berat kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula
spinalis, (3) memungkinkan keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis,

6
(4) tempat untuk perlekatan otot-otot, (5) memungkinkan gerakan kepala
dan batang tubuh.
Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar
sampai mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil
sampai apex dari tulang koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban
yang harus ditanggung semakin membesar dari cranial hingga caudal
sampai kemudian beban tersebut ditransmisikan menuju tulang pelvis
melalui articulatio sacroilliaca.
Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga
oleh suatu persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang
punggung, kendati hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk
mempertahankan stabilitas kolumna vertebralis guna melindungi struktur
medula spinalis yang berjalan di dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis
ditentukan oleh bentuk dan kekuatan masing-masing vertebra, diskus
intervertebralis, ligamen dan otot-otot.[4]
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi
subaraknoid adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis.
Medulla spinalis berjalan mulai dari foramen magnum kebawah hingga
menuju ke konus medularis (segmen akhir medulla spinalis sebelum
terpecah menjadi kauda equina). Penting diperhatikan bahwa lokasi konus
medularis bervariasi antara vertebra T12 hingga L1. [1][4]
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark
yang lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra,
diantaranya adalah :
1. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang
paling terlihat di daerah leher.
2. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra
torakal 3-4
3. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra
torakal 5-6
4. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
5. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra
lumbalis 4-5. 1][3][6]

7
Gambar 2 : Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis5]

Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi
spinal.
Kutis
Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung
procesus spinosus.
Ligamentum interspinosum
Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar
1 cm. Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan
vertikal dari lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini,
akan terasa sensasi mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita
rasakan saat melewati ligamentum dan masuk keruang epidural.
Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah
yang keluar dari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural
telah tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.

8
Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat
menembus duramater seperti saat menembus epidural.
Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi
spinal. Pada ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS)
pada penusukan. 1][4]

Gambar 4 : Susunan Anatomi ligament vertebra6]

Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat


arteri dan vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan. Terdapat
arteri Spinalis posterior yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla.
Arteri spinalis anterior memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla. Terdapat
juga adreti radikularis yang memperdarahi medulla, berjalan di foramen
intervertebralis memperdarahi radiks. Sistem vena yang terdapat di medulla
ada 2 yaitu vena medularis anterior dan posterior.

Gambar 5 : Sistem Vaskular Medula Spinalis7]

9
E. Persiapan Anestesi Spinal
Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih
sederhana dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi
wajib diperhatikan karena terkadang jika operator menghadapi penyulit
dalam operasi dan operasi menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur
secara darurat dapat diubah menjadi anestesi umum.
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah ;
Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan
ini (informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang
akan terjadi selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin
terjadi.
Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit
tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi
seperti infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti

10
scoliosis atau kifosis,atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan
processus spinosus tidak teraba.
Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium
yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa
protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila
diduga terdapat gangguan pembekuan darah. [1][3][6][7]

Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan


alat dan obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri,
EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu
runcing, quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil
(pencil point whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G
atau 27G
4. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
5. Kapas/ kasa steril dan plester.
6. Obat-obatan anestetik lokal.
7. Spuit 3 ml dan 5 ml.
8. Infus set. [1][3][6]

Gambar 6 : Jenis Jarum Spinal7]

11
F. Obat-obatan pada anestesi spinal
Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipmnya merupakan obat
anestesi local. Anestetik local adalah obat yang menghambat hantaran
saraf bila dikenakan pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis
pada sel saraf akibat anestesi local bersifat reversible.
Obat anestesi local yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap
jaringan saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus
sesingkat mungkin dan masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi local ini
juga harus larut dalam air.
Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi local yaitu golongan
amid dan golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama
namun hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja
anestesi local ini adalah menghambat pembentukan atau penghantaran
impuls saraf. Tempat utama kerja obat anestesi local adalah di membrane
sel. Kerjanya adalah mengubah permeabilitas membrane pada kanal Na+
sehingga tidak terbentuk potensial aksi yang nantinya akan dihantarkan ke
pusat nyeri.[8]
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-
1.008. Anastetik local dengan berat jenis sama dengan LCS disebut
isobaric. Anastetik local dengan berat jenis lebih besar dari LCS disebut
hiperbarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari LCS disebut
hipobarik. Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik
diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis
hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur
dengan air injeksi. [8]
Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan
umum digunakan.
Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat
hyperbaric, dosis 20-50mg(1-2ml).
Bupivakaine 0.5% dalam air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-
20mg.
Bupivakaine 0.5% dalam dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15mg(1-3ml).

12
Obat Anestesi local memiliki efek tertentu di setiap system tubuh
manusia. Berikut adalah beberapa pengaruh pada system tubuh yang
nantinya harus diperhatikan saat melakukan anesthesia spinal.
1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat
anestesi local, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada
system saraf akan terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat
tersebut dimetabolisme.
2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf
yang bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus,
maka bisa menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot
nafas.
3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi local dapat menghambat
impuls saraf. Jika impuls pada system saraf otonom terhambat pada
dosis tertentu, maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat
menyebabkan bradikardia. Jika dosis yang masuk pembuluh darah
cukup banyak, dapat terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung.
Maka sangat penting diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat
menyuntikkan obat anestesi local agar tidak masuk ke pembuluh
darah.
4. Sistem Imun : Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui
riwayat alergi pasien. Pada reaksi local dapat terjadi reaksi
pelepasan histamine seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak
sengaja masuk ke pembuluh darah, dapat menyebabkan reaksi
anafilaktik.
5. Sistem Muskular : obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila
disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan
kontraksi yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan
penekanan yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi local.
[2][8][11]

Dalam penggunaan obat anestesi local, dapat ditambahkan dengan zat


lain atau adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi

13
local khususnya pada anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai
adalah :
1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi
spinal dapat berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari
oleh mekanisme kerja obat anestesi local di ruang subaraknoid. Obat
anestesi local dimetabolisme lambat di dalam rongga subaraknoid.
Dan proses pengeluarannya sangat bergantung kepada pengeluaran
oleh vena dan saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor
bertujuan memperlambat clearance obat dari rongga subaraknoid
sehingga masa kerja obat menjadi lebih lama.[6][7][8]
2. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk
mempercepat onset terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal.
Analgesic opioid misalnya fentanyl adalah obat yang sangat cepat
larut dalam lemak. Hal ini sejalan dengan struktur pembentuk saraf
adalah lemak. Sehingga penyerapan obat anestesi local menjadi
semakin cepat. Penelitian juga menyatakan bahwa penambahan
analgesic opioid pada anestesi spinal menambah efek anestesi post-
operasi.[9][10]
3. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal
dapat menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan
karena klonidin adalah obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus
diwaspadai terjadinya hipotensi akibat vasodilatasi dan penurunan
heart rate.[10]

Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan


anestesi spinal terdapat pada table dibawah ini.

14
Tabel 1 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal[11]

G. Teknik anestesi spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada
garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya
dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan
sedikit perubahan posisi pasien.
1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak
500 - 1500 ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat
menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua
krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi
ligamen interspinous.
6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin
harus menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-
2% 2-3ml
Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal
besar 22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan
untuk jarum kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun
jarum (introducer), yaitu jarum suntik biasa yaitu jarum suntik biasa

15
10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,
epidural, duramater, subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal
dicabut, cairan serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang arachnoid tersebut. [2][6][7]

Gambar 7 : Posisi Lateral pada Spinal Anestesi[7]

Gambar 8 : Posisi Duduk pada Spinal Anestesi[7]

16
Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median
dan paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis
tengah dari sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan
dilakukan 1,5 cm lateral dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit
dimiringkan ke kaudal. [7]

Gambar 9 : Tusukan Medial dan Paramedial[7]

Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan


monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada
dermatom di kulit. Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi
motorik pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki
terasa hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang. Hal yang
perlu diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi.
Tekanan darah bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada
orang tua yang belum diberikan loading cairan. Hal itu dapat kita sadari
dengan melihat monitor dan keadaan umum pasien. Tekanan darah pasien
akan turun, kulit menjadi pucat, pusing, mual, berkeringat. [7]

17
Gambar 10 : Lokasi Dermatom Sensoris[7]

H. Faktor yang Mempengaruhi anestesi spinal


Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa factor. Diantaranya adalah :
Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah
analgesia
Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan
batas daerah analgetik.
Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia
yang tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1
ml larutan.
Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor
serebrospinal dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.

18
Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik
cenderung berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4
obat cenderung menyebar ke cranial.
Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik
Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat
batas analgesia yang lebih tinggi.
Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis
makin besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap
dosis obat)
Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan
analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi
diubah dengan posisi pasien. [3]

I. Masalah Klinis pada anestesi Spinal


Pada praktik sehari-hari dapat ditemukan masalah saat melakukan
anestesi spinal, berikut adalah pendekatan dari beberapa masalah yang
lazim ditemukan saat melakukan anestesi spinal :
1. Jarum terasa sudah menembus bagian yang seharusnya tetapi belum
ada cairan yang keluar : Saat menemukan situasi seperti ini, tunggu
kurang lebih 30 detik, kemudian coba putar 90 derajat jarum
tersebut. Jika masih belum didapatkan LCS, dapat dilakukan injeksi
udara 1cc untuk mendorong jika ada sumbatan pada jarum.
2. Terdapat darah yang keluar melalui jarum : tunggu sesaat, jika
perdarahan berhenti, lanjutkan prosedur. Jika darah terus menetes,
kemungkinan saat penusukan mengenai vena epidural. Jarum harus
digerakkan lebih kedalam, atau diarahkan sedikit lebih medial.
3. Pasien merasa nyeri tajam di kaki : kemungkinan jarum mengenai
radiks saraf. Segera cabut jarum dan ulang tusukan dengan arah
lebih ke medial dari tempat tusukan awal.
4. Jarum terasa menusuk tulang : perhatikan kembali posisi pasien
apakah saat dilakukan penusukan, pasien kurang melakukan fleksi
tubuh sehingga celah menjadi sempit. Perlu juga menenangkan

19
pasien karena umumnya pasien melakukan ekstensi saat menahan
nyeri tusukan saat awal jarum mengenai kulit. [7]

J. Komplikasi Tindakan Anestesi Spinal


Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus
diperhatikan. Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh
seperti. Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah :
1. Komplikasi Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%.
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang
menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena,
makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan
berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang
signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang sesuai
dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin.
Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat
dilakukan anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya
karena terjadi bradikardia yang berat walaupun hemodinamik pasien
dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini,hipotensi atau
hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia
merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut
reflek Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan
memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara cepat
sebanyak 10-15ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah penyuntikan
anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi
hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena
sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit sampai mencapai tekanan
darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah
balik berkurang atau karena blok simpatis, dapat diatasi dengan sulfas
atropine 1/8-1/4mg IV. [2][6][7]
2. Blok Tinggi atau Total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan
perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi
yang bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan

20
kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan
henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial
dan kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang
paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi
penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan jantung,
yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke
serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti
nafas pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat
kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari
blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenikus biasanya
dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong
terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi,
sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi
iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya
menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam
mencegah terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan,
vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat
anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan normal
seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen yang
disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat
dan tepat. [2][6][7]
3. Komplikasi Sistem Respirasi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat
melakukan anestesi spinal adalah :
Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila
fungsi paru-paru normal.
Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk
blok spinal tinggi.
Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau
karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas,
merupakan tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu
segera ditangani dengan pernafasan buatan.[2]

21
4. Komplikasi Gastointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus
parasimpatis berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi
pada traktus gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala
pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa
lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai
terasa pada 24 - 48 jam pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang
bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.
Untuk menangani komplikasi ini dapat diberikan obat tambahan yaitu
ondansetron atau diberikan ranitidine. [2][6][7]
5. Nyeri Kepala (Puncture Headache)
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah
nyeri kepala. Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau
tusukan pada dural pada anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi
ini tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum yang
digunakan.Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko untuk
terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga
adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri
kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 48 jam selepas
suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul
di area oksipital dan menjalar ke retroorbital, dan sering disertai dengan
tanda diplopia, mual, dan muntah. Tanda yang paling signifikan nyeri
kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan
atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan
berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif
dalam waktu 24 48 jam harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah
baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena), analgesic, dan
suport yang kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava akan
menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik dan
epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal
dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika terapi konservatif tidak
efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin ke dalam epidural untuk
menghentikan kebocoran. [2][6][7]

22
6. Komplikasi Sistem Respirasi
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung
akibat dari tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal
atau ruptur dari struktur ligament dengan atau tanpa hematoma
intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma suntikan jarum
dapat di obatisecara simptomatik dan akan menghilang dalam beberapa
waktu yang singkat saja.
7. Komplikasi Sistem Respirasi
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah
rendah. Komplikasi neurologik yang paling benign adalah meningitis
aseptik. Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam setelah anestesi
spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia.
Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan
biasanya akan menghilang dalam beberapa hari. Sindrom cauda equina
muncul setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat
menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa
minggu atau bulan. Ia ditandai dengan defisit sensoris pada area
perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang bervariasi pada
defisit motorik pada ekstremitas bawah. Komplikasi neurologic yang
paling serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini biasanya terjadi
beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom
ini ditandai oleh defisit sensoris dan kelemahan motorik pada tungkai
yang progresif. Pada penyakit ini terdapat reaksi proliferatif dari
meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal. Iskemia
dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang
lama. Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi
aliran darah ke korda spinal. Kerusakan pada korda spinal atau saraf
akibat trauma tusukan jarum pada spinal maupun epidural, kateter
epidural atau suntikan solution anestesi lokal intraneural sangat jarang,
tapi tetap mungkin terjadi.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional
sangat jarang berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular
mayor didalam ruang subaraknoid. Hanya pembuluh darah radikular
lateral merupakan pembuluh darah besar di area lumbar yang menyebar

23
keruang subaraknoid dari akar saraf. Sindrom spinal-arteri anterior
akibat dari anesthesia adalah jarang. Tanda utamanya adalah
kelemahan motorik pada tungkai bawah karena iskemia pada 2/3
anterior bawah korda spinal. Kehilangan fungsi sensoris tidak merata
adalah efek sekunder dari nekrosis iskemia pada akar posterior saraf
dan bukan akibat dari kerusakan didalam korda itu sendiri. Terdapat
tiga penyebab terjadinya sindrom spinal-arteri: kekurangan suplai
darah ke arteri spinal anterior karena terjadi gangguan suplai darah dari
arteri-arteri yang terganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah dari
arteri karena hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran darah
sama ada dari kongesti vena mahu pun obstruksi aliran.
Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang
menyebabkan terjadinya sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa
faktor. Contohnya anestesi spinal menggunakan obat anestesi lokal
yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi kemungkinan epinefrin yang
menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal anterior atau pembuluh
darah yang memberikan bekalan darah. Hipotensi yang kadang timbul
setelah anestesi regional dapat menyebabkan kekurangan aliran darah.
Infeksi spinal sangat jarang kecuali dari penyebaran bakteri
secara hematogen yang berasal dari fokal infeksi di tempat lain. Jika
anestesi spinal diberikan kepada pasien yang mengalami bakteriemia,
terdapat kemungkinan terjadi penyebaran bakteri ke medulla spinalis.
Maka penggunaan anestesi spinal padapasien dengan bakteremia
merupakan kontra indikasi relatif.
Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan
menyebabkan araknoiditis. Tanda yang paling menonjol pada
komplikasi ini adalah nyeri punggung yang berat, nyeri lokal, demam,
leukositosis, dan rigiditas nuchal. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan
jika menggunakan anestesi regional pada pasien yang mengalami
infeksi kulit lokal pada area lumbal atau yang menderita selulitis.
Pengobatan bagi komplikasi ini adalah dengan pemberian antibiotik
dan drainase jika perlu. [2][6][7]

24
8. Komplikasi Traktus Urinarius
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum
maupun regional. Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang
fungsinya kembali paling akhir pada analgesia spinal, umumnya
berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf pemanen merupakan
komplikasi yang sangat jarang terjadi.

Pencegahan
Pakailah jarum lumbal yang lebih halus (no. 23 atau no. 25).
Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater.
Hidrasi adekuat, minum/infuse 3L selama 3 hari.
Pengobatan
Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam
Hidrasi adekuat.
Hindari mengejan.
Bila cara diatas tidak berhasil pertimbangkan pemberian epidural
blood patch yakni penyuntikan darah pasien sendiri 5-10 ml ke
dalam ruang epidural. Cara ini umumnya memberikan hasil yang
nyata/segera (dalam waktu beberapa jam) pada lebih dari 90%
kasus.2]

25

You might also like