You are on page 1of 3

1.

Perbedaan antara perubahan gugatan, gugurnya gugatan, gugatan tidak dapat diterima beserta
dasar hukumnya
2. Uraikan isi gugatan itu berupa apa?

Perubahan gugatan adalah salah satu hak yang diberikan kepada penggugat dalam hal mengubah
atau mengurangi isi dari surat gugatan yang dibuat olehnya. Perubahan gugatan tidak diatur
dalam HIR/Rbg, tetapi diatur dalam Rv (Rechtsvordering) yaitu pasal 127, yang berbunyi :
Pasal 127 Rechtsvordering
Penggugat berhak untuk mengubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara
diputus, tanpa boleh mengubah atau menambah pokok gugatannya.
Gugurnya gugatan
Terkadang di situasi tertentu, terdapat putusan tentang gugurnya suatu gugatan. Hal ini
terjadi karena penggugat dalam persidangan pertama yang telah ditentukan harinya dan telah
dipanggil secara sah dan patut, dirinya tidak hadir atau tidak pula menyuruh kuasanya untuk
datang menghadiri persidangan tersebut. Pengguguran gugatan diatur dalam Pasal 124 Het
Herziene Indonesisch Reglement (HIR) yang berbunyi: Jika penggugat tidak datang
menghadap PN pada hari yang ditentukan itu, meskipun ia dipanggil dengan patut, atau tidak
pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, maka surat gugatannya dianggap gugur dan
penggugat dihukum biaya perkara; akan tetapi penggugat berhak memasukkan gugatannya
sekali lagi, sesudah membayar lebih dahulu biaya perkara yang tersebut tadi.

Berdasarkan Pasal 124 HIR sebagaimana tersebut di atas, maka alasan digugurkannya
gugatan penggugat oleh pengadilan karena:
1. penggugat dan/atau kuasanya tidak datang pada hari sidang pertama yang telah
ditentukan tanpa alasan yang sah;
2. penggugat telah dipanggil secara patut dan sah;
Pengguguran gugatan dilakukan oleh Majelis Hakim yang berwenang secara ex-
officio apabila alasan yang tersebut dalam Pasal 124 HIR telah terpenuhi. Dengan kata lain,
bahwa kewenangan pengguguran gugatan itu dapat dilakukan oleh hakim meskipun tidak ada
permintaan dari pihak tergugat. Akan tetapi, kewenangan pengguguran gugatan tidak bersifat
imperatif, karena berdasarkan Pasal 126 HIR menegaskan bahwa sebelum menjatuhkan putusan
pengguguran gugatan, Pengadilan Negeri dapat memerintahkan supaya pihak yang tidka hadir
dipanggil untuk kedua kalinya supaya datang menghadap pada hari sidang yang lain.
Disamping itu, apabila penggugat pernah hadir tetapi kemudian tidak hadir lagi, maka
penggugat dipanggil sekali lagi dengan peringatan (peremptoir) untuk hadir dan apabila tetap
tidak hadir sedangkan tergugat tetap hadir, maka pemeriksaan dilanjutkan dan diputus secara
kontradiktoir. Gugatan yang digugurkan oleh pengadilan, maka akan dituangkan dalam putusan,
dan penggugat berhak mengajukan kembali atas gugatannya tersebut.
gugatan tidak dapat diterima
Bahwa ada berbagai cacat formil yang mungkin melekat pada gugatan, antara lain,
gugatan yang ditandatangani kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang
digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR jo. SEMA No. 4 Tahun 1996:
1. gugatan tidak memiliki dasar hukum;
2. gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium;
3. gugatan mengandung cacat atau obscuur libel; atau
4. gugatan melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolute atau relatif dan sebagainya.
Menghadapi gugatan yang mengandung cacat formil (surat kuasa, error in
persona, obscuur libel, premature, kedaluwarsa, ne bis in idem), putusan yang dijatuhkan harus
dengan jelas dan tegas mencantumkan dalam amar putusan:menyatakan gugatan tidak dapat
diterima (niet ontvankelijke verklaard/NO).
Dasar pemberian putusan NO (tidak dapat diterima) ini dapat kita lihat
dalamYurisprudensi Mahkamah Agung RI No.1149/K/Sip/1975 tanggal 17 April 1975 Jo Putusan
Mahkamah Agung RI No.565/K/Sip/1973 tanggal 21 Agustus 1973, Jo Putusan Mahkamah Agung
RI No.1149/K/Sip/1979 tanggal 7 April 1979 yang menyatakan bahwa terhadap objek gugatan
yang tidak jelas, maka gugatan tidak dapat diterima.

Berkaitan dengan persyaratan isi gugatan tidak diatur dalam HIRmaupun RBg. Persyaratan
mengenai isi gugatan ditemukan dalam pasal 8 RV yang mengharuskan gugatan pada pokoknya
memuat :
1. Identitas Para pihak, yang meliputi: Nama (beserta bin/binti dan aliasnya), umur, agama,
pekerjaan dan tempat tinggal. Bagi pihak yang tempat tinggalnya tidak diketahui hendaknya
ditulis, dahulu bertempat tinggal di.. tetapi sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya di
Indonesia, dan kewarganegaraan (bila perlu). Pihak-pihak yang ada sangkut pautnya dengan
perkara itu harus disebut secara jelastentang kedudukannya dalam perkara, apakah sebagai
penggugat, tergugat, turut tergugat, pelawan, terlawan, pemohon, atau termohon. Dalam praktik
dikenal pihak yang disebut turut tergugat dimaksudkan untuk mau tunduk terhadap putusan
pengadilan. Sedangkan istilah turut penggugat tidak dikenal. Untuk menentukan tergugat
sepenuhnya menjadi otoritas penggugat sendiri.
2. Fundamentum Petendi (Posita), yaitu penjelsan tentang keadaan / peristiwa dan penjelasan
yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar atau alasan gugat. Posita memuat dua
bagian: (a) alasan yang berdasarkan fakta/peristiwa hukum, dan (b) alasan yang berdasarkan
hukum, tetapi hal ini bukan merupakan keharusan. Hakimlah yang harus melengkapinya dalam
putusan nantinya.
3. Petitum (tuntutan), Menurut Pasal 8 Nomor 3 R.Bg. ialah apa yang diminta atau yang diharapkan
oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Petitum akan dijawab oleh
majelis hakim dalam amar putusannya. Petitum harus berdasarkan hukum dan harus pula
didukung oleh Posita. Pada prinsipnya posita yang tidak didukung oleh petitum (tuntutan)
berakibat tidak diterimanya tuntutan, pun sebaliknya petitum / tuntutan yang tidak didukung
oleh posita berakibat tuntutan penggugat ditolak.

Mekanisme petitum (tuntutan) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian pokok,


yaitu: (a) tuntutan primer (pokok) merupakan tuntutan yang sebenarnya diminta penggugat, dan
hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang diminta (dituntut), (b) tuntutan tambahan,
merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok, seperti dalam hal perceraian berupa
tuntutan pembayaran nafkah madhiyah, nafkah anak, mutah, nafkah idah, dan pembagian harta
bersama, dan (c) tuntutan subsider (pengganti) diajukan untuk mengantisipasi kemungkinan
tuntutan pokok dan tuntutan tambahan tidak diterima majelis hakim. Biasanya kalimatnya adalah
agar majelis hakim mengadili menurut hukum yang seadil-adilnya atau mohon putusan yang
seadil-adilnya bias juga ditulis dengan kata-kata ex aequo et bono.

E. 4. Gugatan Lisan dan/atau Tertulis


Semua gugatan / permohonan harus dibuat secara tertulis, akan tetapi dimungkinkan
bagi penggugat / pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, maka gugatan /
permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang. Kemudian Ketua
Pengadilan yang berwenang tersebut memerintahkan kepada hakim untuk membuatkan surat
permohonan / gugatan dengan cara mencatat dan memformulasikan segala sesuatu yang
dikemukakan oleh peenggugat / pemohon dan membacakannya, kemudian surat gugatan /
permohonan tersebut ditandatangani ketua/hakim yang membuatkannya itu, hal ini berdasar
ketentuan Pasal 114 (1) R.Bg. atau Pasal 120 HIR. Sementara penggugat tidak tidak perlu tanda
tangan atau membubuhkan cap jempolnya dan juga tidak usah diberi materai.
Dalam praktik proses pengajuan gugat secara lisan bagi buta huruf dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Gugatan disampaikan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang.
2. Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan mencatat segala peristiwa
yang disampaikan penggugat, kemudian diformulasikan dalam bentuk surat gugat.
3. Gugatan yang diformulasikan tersebut dibacakan untuk penggugat dan ditanyakan
kepadanya tentang isi gugatan itu, apakah sudah cukup atau masih perlu ditambah,
dikurangi atau diubah.
4. Gugatan yang dinyatakan cukup oleh penggugat, maka Ketua Pengadilan atau hakim
yang ditunjuk tersebut untuk menandatanganinya.
Adapun gugatan atau permohonan yang dibuat secara tertulis, harus ditandatangani
oleh penggugat / pemohon (Pasal 142 (1) R.Bg. / Pasal 118 (1) HIR). Apabila pemohon /
penggugat telah menunjuk kuasa khusus maka surat gugatan / permohonan harus
ditandatangani oleh kuasa hukumnya tersebut (Pasal 147 (1) R.Bg. / Pasal 123 HIR).
Surat gugatan / permohonan dibuat rangkap enam, masing-masing satu rangkap untuk
penggugat/ pemohon, satu rangkap untuk tergugat/ termohon atau menurut kebutuhan dan
empat rangkap untuk majelis hakim yang memeriksanya. Apabila surat gugatan/ permohonan
hanya dibuat satu rangkap, maka harus dibuat salinannya sejumlah yang diperlukan dan
dilegalisir oleh panitera.

You might also like