You are on page 1of 27

BAB I

PENDAHULUAN

Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar
anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan
penyakit yang berlangsun seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada
daerahgenito-krural saja atau bahkan meluas ke daerah sekitar anus, daerah
gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. Tinea cruris
mempunyai nama lain eczema marginatum, jockey itch, ringworm of the groin,
dhobie itch.1
Penyebab utama dari tinea cruris Trichopyhton rubrum (90%) dan
Epidermophython fluccosum Trichophyton mentagrophytes (4%), Trichopyhton
tonsurans (6%).2
Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah
tropis. Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki
dibandingkan perempuan. Tidak ada kematian yang berhubungan dengan tinea
cruris.Jamur ini sering terjadi pada orang yang kurang memperhatikan kebersihan
diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab.3

1
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. D
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 52 tahun
Pekerjaan : Buruh Tenda
Alamat : Kenali Asam
Status Pernikahan : Menikah
Suku bangsa : Melayu
Hobi :-

2.2 Anamnesis: (25 November 2017)


Keluhan Utama :
Terasa gatal gatal yang disertai bercak kehitaman di daerah lipat paha kiri dan
kanan serta bokong kiri dan kanan sejak 1 minggu yang lalu.

Keluhan Tambahan : -

Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak 12 bulan terakhir pasien sering mengeluh munculnya bercak
kemerahan di lipat paha kiri dan kanan bagian dalam terasa sangat gatal serta
makin melebar dan panas namun tidak nyeri. Bercak kemerahan juga semakin
menyebar ke daerah bokong kiri dan kanan. Rasa gatal hilang timbul, terutama
kambuh atau muncul saat pasien berkeringat pasca beraktifitas / kerja sebagai
buruh tenda sehari-hari. Pakaian yang dipakai saat bekerja jarang diganti jika
lembab karena keringat termasuk diantaranya celana dan celana dalam. Pasien
baru mengganti pakaiannya saat pulang kerja saat setelah pasien mandi sore.

2
Pasien mengaku dirinya sering menggaruk daerah yang gatal tersebut bahkan
hingga lecet. Selama setahun ini pasien pernah berobat ke praktek bidan dan
diberi salep cina namun salep cina tersebut sudah tidak mempan karena rasa gatal
hanya hilang untuk beberapa hari kemudian rasa gatal kembali bahkan membuat
kulit yang gatal menjadi tebal. Kemudian pasien juga berobat ke Puskesmas dan
diberikan pengobatan dengan obat tablet serta salep namun pasien lupa nama obat
tersebut. Setelah menggunakan obat tersebut pasien mengaku bercak kemerahan
tersebut tampak kering dan bersisik.
1 minggu yang lalu pasien merasa rasa gatal timbul kembali dan tidak
hilang bahkan terasa semakin gatal dan panas sehingga pasien memutuskan untuk
berobat ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi.

Riwayat Penyakit Dahulu


Os pernah menderita keluhan seperti ini sebelumnya.
Riwayat diabetes mellitus (+)
Riwayat alergi obat disangkal
Riwayat alergi makanan disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Sepengetahuan pasien tidak ada keluarga serta teman dekat yang menderita
keluhan yang sama.

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien bekerja sebagai buruh tenda dengan pendapatan ekonomi yang cukup.

Pemakaian Obat-Obatan terhadap Penyakit Tertentu


Diketahui pasien mendertia diabetes melitus tipe II dan mengkonsumsi kombinasi
OHO Metformin dan Glibenclamide.

3
Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
1. Keadaan Umum : Baik
Tinggi Badan : 157 cm
Berat Badan : 57 kg
2. Tanda Vital
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Suhu : 36,4 C
Nadi : 80 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit

3. Kepala : Bentuk normochepal


a. Mata :
Konjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
b. Hidung : simetris, deviasi septum (-)
c. Telinga : sekret (-)
d. Mulut : lembab, sianosis (-)
e. Leher : Pembesaran KGB (-)
4. Thorax :
Jantung : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler normal kanan/kiri, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
5. Abdomen : Soepel, nyeri tekan (-), BU (+) normal.
6. Genitalia : dalam batas normal.
7. Ekstremitas :
Ekstremitas Atas : akral hangat, edem (+), sianosis (-), CRT <2 detik
Ekstremitas Bawah : akral hangat, edem (+), sianosis (-), CRT <2 detik

4
2.3 Status Dermatologis
Gambar I

Regio / Letak lesi :


Inguinal Sinistra
1. Plaque berukuran 15 x 18cm, soliter, berbatas tegas sirkumskrip,
permukaan kasar dan lunak, ditutupi oleh squama halus, pada
beberapa tempat terdapat macula.
2. Macula 1 buah berukuran 1cm, sirkumskripta, tepi aktif, distribusi
diskret, daerah sekitar hiperpigmentasi.
Inguinal Dextra
1. Plaque eritema, soliter, berbatas tegas ukuran 20x15 cm, polisiklik,
permukaan kasar, pada beberapa tempat terdapat, ekskoriasi dan erosi,
2. Ekskoriasi 1 buah berukuran 0,5cm, soliter, sirkumskripta, tepi rata,
daerah sekitar hiperpigmentasi
3. Erosi 2 buah berukuran 0,5 1cm, sirkumskripta, distribusi diskret
daerah sekitar hiperpigmentasi.

5
Gambar II

Regio / Letak lesi :


Glutea dextra
Makula hiperpigmentasi 3 buah, berukuran 0,5 1cm sirkumskripta,
tepi aktif dilapisi skuama halus dan krusta, central healing yang
ditutupi skuama halus berukuran cm.
Glutea Sinistra
1. Plaque eritema, 1 buah berukuran 2cm, linear, soliter, lunak, daerah
sekitar terdapat pustule.
2. Pustule 4 buah berukuran 0,3 0,5cm sirkumstrip, diskret konsistensi
lunak, daerah sekiter eritem

6
Gambar III

Regio / Letak lesi :


Ekstremitas superior dextra
1. Regio dorsum manus, Plaque eritem berukuran 4 x 3cm, soliter, berbatas
tegas sirkumskrip, permukaan kasar dan lunak, ditutupi oleh squama
halus, daerah sekitar tidak ada kelainan.
2. Regio 1/3 antebrachi, Plaque eritem berukuran 3x3cm, soliter, berbatas
tegas sirkumstrip, tepi lebih aktif berupa papul dan krusta, central healing
tertutup skuama halus, daerah sekitar terdapat ekskoriasi.

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.

2.5 Diagnosis Banding :


1. Tine Cruris
2. Eritrasma
3. Psoriasi
4. Kandidosis Intertinginosa

7
2.6 Diagnosis Kerja
Tinea Kruris
Tinea Manus

2.7 Pemeriksaan Anjuran :


Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan anjuran

2.8 Penatalaksanan
Non-medikamentosa
1. Memberikan penjelasan kepada pasien tentang penyakit pasien dan prinsip
penatalaksanaannya, menganjurkan untuk menjaga kebersihan dan
kelembaban kulit, menghindari faktor pencetus seperti stress, aktivitas
yang berlebihan serta selalu mengganti celana yang lembab akibat
berkeringat pasca bekerja dan tidak memakai celana yang ketat,
menghindari kontak dengan orang sekitar seperti tidak menggunakan
pakaian dan handuk secara bersamaan dan tidak menggaruk lesi.
2. Pasien di edukasi untuk minum obat dan kontrol ke dokter secara teratur
sampai tidak timbul keluhan.

Medikamentosa

1. Topikal
Ketokonazol krim 2% 2x1 selama 2 4 minggu
2. Sistemik
Griseofulvin tab 2 x 250mg per hari selama 2 4 minggu
3. Ceterizine tab 1 x 10mg per hari

2.8 Prognosis :
- Quo ad vitam : Bonam
- Quo ad functionam : Bonam
- Quo ad sanationam : Bonam

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi

Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan


sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat
merupakan penyakit yang berlangsun seumur hidup. Lesi kulit dapat
terbatas pada daerahgenito-krural saja atau bahkan meluas ke daerah
sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh
yang lain. Tinea cruris mempunyai nama lain eczema marginatum, jockey
itch, ringworm of the groin, dhobie itch.1

3.2 Etiologi dan Epidemiologi

Penyebab utama dari tinea cruris Trichopyhton rubrum (90%) dan


Epidermophython fluccosum Trichophyton mentagrophytes (4%),
Trichopyhton tonsurans (6%).2

Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di


daerah tropis. Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama
laki-laki dibandingkan perempuan. Tidak ada kematian yang berhubungan
dengan tinea cruris.Jamur ini sering terjadi pada orang yang kurang
memperhatikan kebersihan diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan
lembab.3

3.3 Patofisiologi 4
Cara penularan jamur dapat secara angsung maupun tidak
langsung. Penularan langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut yang
mengandung jamur baik dari manusia, binatang, atau tanah. Penularan
tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur,
pakaian debu. Agen penyebabjuga dapat ditularkan melalui kontaminasi
dengan pakaian, handuk atau sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea

9
pedis, tinea inguium, dan tinea manum. Jamur ini menghasilkan keratinase
yang mencerna keratin, sehingga dapat memudahkan invasi ke stratum
korneum. Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya
didalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini menghasilkan enzim
keratolitik yang berdifusi ke jaringan epidermis dan menimbulkan reaksi
peradangan. Pertumbuhannya dengan pola radial di stratum korneum
menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan meninggi
(ringworm). Reaksi kulit semula berbentuk papula yang berkembang
menjadi suatu reaksi peradangan.

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di


kulit adalah:

a. Faktor virulensi dari dermatofita


Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur antropofilik,
zoofilik, geofilik. Selain afinitas ini massing-masing jamur berbeda
pula satu dengan yang lain dalam hal afinitas terhadap manusia maupun
bagian-bagian dari tubuh misalnya: Trichopyhton rubrum jarang
menyerang rambut, Epidermophython fluccosum paling sering
menyerang liapt paha bagian dalam.

b. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur.

c. Faktor suhu dan kelembapan


Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur,
tampak pada lokalisasi atau lokal, dimana banyak keringat seperti pada
lipat paha, sela-sela jari paling sering terserang penyakit jamur.

10
d. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana
terlihat insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang
lebih rendah sering ditemukan daripada golongan ekonomi yang baik

e. Faktor umur dan jenis kelamin

3.4 Manifestasi klinis 3


Anamnesa
Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio
inguinalis dan dapat meluas ke sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus.
Dapat pula meluas ke supra pubis dan abdomen bagian bawah. Rasa gatal
akan semakin meningkat jika banyak berkeringat. Riwayat pasien
sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada
pada tempat yang beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar
pakaian dengan orang lain, aktif berolahraga, menderita diabetes mellitus.
Penyakit ini dapat menyerang pada tahanan penjara, tentara, atlit olahraga
dan individu yang beresiko terkena dermatophytosis.

Pemeriksaan Fisik
Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan
sekunder. Makula eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif
terdiri dari papula atau pustula. Jika kronis atau menahun maka efloresensi
yang tampak hanya makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan
disertai likenifikasi. Garukan kronis dapat menimbulkan gambaran
likenifikasi. Manifestasi tinea cruris :
a. Makula eritematus dengan central healing di lipatan inguinal, distal
lipat paha, dan proksimal dari abdomen bawah dan pubis
b. Daerah bersisik
c. Pada infeksi akut, bercak-bercak mungkin basah dan eksudatif

11
d. Pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya
dan disertai likenifikasi
e. Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula
eritematus yang tersebar dan sedikit skuama
f. Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena
g. Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi, dan impetiginasi
mungkin muncul karena garukan
h. Infeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid topikal
sehingga tampak kulit eritematus, sedikit berskuama, dan mungkin
terdapat pustula folikuler
i. Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan tinea
pedis.

Gambar 1. Tinea Cruris

3.5 Diagnosa
Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis
terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada
pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis
berupa kerokan kulit yang sebelumnya dibersihkan dengan alkohol 70%.

12
a. Pemeriksaan dengan sediaan basah
Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% kerok skuama dari bagian tepi
lesi dengan memakai scalpel atau pinggir gelas taruh di obyek glass
tetesi KOH 10-15 % 1-2 tetes tunggu 10-15 menit untuk melarutkan
jaringan lihat di mikroskop dengan pembesaran 10-45 kali, akan
didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan
bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang
lama atau sudah diobati, dan miselium.3

b. Pemeriksaan kultur dengan Sabouraud agar


Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada
medium saboraud dengan ditambahkan chloramphenicol dan
cyclohexamide (mycobyotic-mycosel) untuk menghindarkan kontaminasi
bakterial maupun jamur kontaminan. Identifikasi jamur biasanya antara 3-
6 minggu.3

c. Punch biopsi
Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun
sensitifitasnya dan spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc
AcidSchiff, jamur akan tampak merah muda atau menggunakan
pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau hitam .3

d. Penggunaan lampu wood bisa digunakan untuk menyingkirkan adanya


eritrasma dimana akan tampak floresensi merah bata.3

3.6 Diagnosis dan diagnosis banding


a. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
dengan melihat gambaran klinis dan lokasi terjadinya lesi serta
pemeriksaan penunjang seperti yang telah disebutkan dengan

13
menggunakan mikroskop pada sediaan yang ditetesi KOH 10-20%,
sediaan biakan pada medium Saboraud, punch biopsi, atau penggunaan
lampu wood.

b. Diagnosis Banding
1. Candidosis intertriginosa
Kandidosis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh
spesies Candida biasanya oleh Candida albicans yang bersifat akut
atau subakut dan dapat mengenai mulut, vagina, kulit, kuku,
bronki.Penyakit ini terdapat di seluruh dunia, dapat menyerang
semua umur, baik laki-laki maupun perempuan.
Patogenesisnya dapat terjadi apabila ada predisposisi baik
endogen maupun eksogen. Faktor endogen misalkan kehamilan
karena perubahan pH dalam vagina, kegemukan karena banyak
keringat, debilitas, iatrogenik, endokrinopati, penyakit kronis orang
tua dan bayi, imunologik (penyakit genetik). Faktor eksogen
berupa iklim panas dan kelembapan, kebersihan kulit kurang,
kebiasaan berendam kaki dalam air yang lama menimbulkan
maserasi dan memudahkan masuknya jamur, kontak dengan
penderita.
Dapat mengenai daerah lipatan kulit, terutama ketiak,
bagian bawah payudara, bagian pusat, lipat bokong, selangkangan,
dan sela antar jari; dapat juga mengenai daerah belakang telinga,
lipatan kulit perut, dan glans penis (balanopostitis). Pada sela jari
tangan biasanya antara jari ketiga dan keempat, pada sela jari kaki
antara jari keempat dan kelima, keluhan gatal yang hebat, kadang-
kadang disertai rasa panas seperti terbakar.
Lesi pada penyakit yang akut mula-mula kecil berupa
bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah, dan kemerahan.
Kemudian meluas, berupa lenting-lenting yang dapat berisi nanah
berdinding tipis, ukuran 2-4 mm, bercak kemerahan, batas tegas,

14
Pada bagian tepi kadang-kadang tampak papul dan skuama. Lesi
tersebut dikelilingi oleh lenting-lenting atau papul di sekitarnya
berisi nanah yang bila pecah meninggalkan daerah yang luka,
dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi utama.
Kulit sela jari tampak merah atau terkelupas, dan terjadi lecet. Pada
bentuk yang kronik, kulit sela jari menebal dan berwarna putih.

2. Erytrasma
Erytrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum
korneum yang disebabkan oleh Corynebacterium minitussismum,
ditandai lesi berupa eritema dan skuama halus terutama di daerah
ketiak dan lipat paha. Gejala klinis lesi berukuran sebesar milier
sampai plakat. Lesi eritroskuamosa, berskuama halus kadang
terlihat merah kecoklatan. Variasi ini rupanya bergantung pada
area lesi dan warna kulit penderita. Tempat predileksi kadang di
daerah intertriginosa lain terutama pada penderita gemuk.
Perluasan lesi terlihat pada pinggir yang eritematosa dan
serpiginose. Lesi tidak menimbul dan tidak terlihat vesikulasi.
Efloresensi yang sama berupa eritema dan skuama pada seluruh
lesi merupakan tanda khas dari eritrasma. Skuama kering yang
halus menutupi lesi dan pada perabaan terasa berlemak. Pada
pemeriksaan dengan lampu wood lesi terlihat berfluoresensi merah
membara (coral red) (Rasad, Asri, Prof.Dr. 2005)

3. Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun,
bersifat kronik dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak
eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis
dan transparan, disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan
Kobner. Tempat predileksi pada skalp, perbatasan daerah tersebut
dengan muka, ekstremitas ekstensor terutama siku serta lutut dan

15
daerah lumbosakral. Kelainan kulit terdiri atas bercak eritema yang
meninggi (plak) dengan skuama diatasnya. Eritema sirkumskrip
dan merata, tetapi pada stadium penyembuhan sering bagian di
tengah menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Skuama
berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika, serta
transparan. Besar kelainan bervariasi dapat lentikular, numular atau
plakat, dapat berkonfluensi.

4. Dermatitis Seboroik
Dermatitis Seboroik merupakan penyakit inflamasi konis
yang mengenai daerah kepala dan badan. Prevalensi Dermatitis
Seboroik sebanyak 1-5% populasi.Lebih sering terjadi pada laki-
laki daripada wanita. Penyakit ni dapat mengenai bayi sampa orang
dewasa. Umumnya pda bayi terjadi pada usia 3 bulan sedang pada
dewasa pada usia 30-60 tahun. Kelainan kulit berupa eritema dan
skuama yang berminyak dan agak kekuningan dengan batas kurang
tegas. Bentuk yang berat ditandai dengan adanya bercak-bercak
berskuama dan berminyak disertai eksudat dan krusta tebal.

3.7 Penatalaksanaan

Pada infeksi tinea cruris tanpa komplikasi biasanya dapat dipakai


anti jamur topikal saja dari golongan imidazole dan allynamin yang
tersedia dalam beberapa formulasi. Semuanya memberikan keberhasilan
terapi yang tinggi 70-100% dan jarang ditemukan efek samping. Obat ini
digunakan pagi dan sore hari kira-kira 2-4 minggu. Terapi dioleskan
sampai 3 cm diluar batas lesi, dan diteruskan sekurang-kurangnya 2
minggu setelah lesi menyembuh. Terapi sistemik dapat diberikan jika
terdapat kegagalan dengan terapi topikal, intoleransi dengan terapi topikal.
Sebelum memilih obat sistemik hendaknya cek terlebih dahulu interaksi

16
obat-obatan tersebut. Diperlukan juga monitoring terhadap fungsi hepar
apabila terapi sistemik diberikan lebih dari 4 mingggu.

Pengobatan anti jamur untuk Tinea cruris dapat digolongkan dalam


empat golongan yaitu: golongan azol, golongan alonamin, benzilamin dan
golongan lainnya seperti siklopiros,tolnaftan, haloprogin. Golongan azole
ini akan menghambat enzim lanosterol 14 alpha demetylase (sebuah enzim
yang berfungsi mengubah lanosterol ke ergosterol), dimana struktur
tersebut merupakan komponen penting dalam dinding sel jamur. Golongan
Alynamin menghambat keja dari squalen epokside yang merupakan enzim
yang mengubah squalene ke ergosterol yang berakibat akumulasi toksik
squalene didalam sel dan menyebabkan kematian sel. Dengan
penghambatan enzim-enzim tersebut mengakibatkan kerusakan membran
sel sehingga ergosterol tidak terbentuk. Golongan benzilamin mekanisme
kerjanya diperkirakan sama dengan golongan alynamin sedangkan
golongan lainnya sama dengan golongan azole. Pengobatan tinea cruris
tersedia dalam bentuk pemberian topikal dan sistemik:

Obat secara topikal yang digunakan dalam tinea cruris adalah:

1. Golongan Azol
a. Clotrimazole (Lotrimin, Mycelec)
Merupakan obat pilihan pertama yang digunakan dalam
pengobatan tinea cruris karena bersifat broad spektrum antijamur
yang mekanismenya menghambat pertumbuhan ragi dengan
mengubah permeabilitas membran sel sehingga sel-sel jamur mati.
Pengobatan dengan clotrimazole ini bisa dievaluasi setelah 4
minggu jika tanpa ada perbaikan klinis. Penggunaan pada anak-
anak sama seperti dewasa. Obat ini tersedia dalam bentuk kream
1%, solution, lotion. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu.
Tidakada kontraindikasi obat ini, namun tidak dianjurkan pada

17
pasien yang menunjukan hipersensitivitas, peradangan infeksi yang
luas dan hinari kontak mata.

b. Mikonazole (icatin, Monistat-derm)


Mekanisme kerjanya dengan selaput dinding sel jamur yang
rusak akanmenghambat biosintesis dari ergosterol sehingga
permeabilitas membran sel jamur meningkat menyebabkan sel
jamur mati. Tersedia dalam bentuk cream 2%, solution, lotio,
bedak. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Penggunaan pada
anak sama dengan dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang
menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata.

c. Econazole (Spectazole)
Mekanisme kerjanya efektif terhadap infeksi yang
berhubungan dengan kulit yaitu menghambat RNA dan sintesis,
metabolisme protein sehingga mengganggu permeabilitas dinding
sel jamur dan menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan
ecnazole dapat dilakukan dalam 2-4 minggu dengan cara dioleskan
sebanyak 2kali atau 4 kali dalam sediaan cream 1%.. Tidak
dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas,
hindari kontak dengan mata.

d. Ketokonazole (Nizoral)
Mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan imidazole
yang bersifat broad spektrum akan menghambat sintesis ergosterol
sehingga komponen sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur
mati. Pengobatan dengan ketokonazole dapat dilakukan selama 2-4
minggu. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan
hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata.

18
e. Oxiconazole (Oxistat)
Mekanisme oxiconazole kerja yang bersifat broad spektrum
akan menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur
meningkat menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan
oxiconazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. Tersedia dalam
bentk cream 1% atau bedak kocok. Penggunaan pada anak-anak 12
tahun penggunaan sama dengan orang dewasa. Tidak dianjurkan
pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas dan hanya
digunakan untuk pemakaian luar.

f. Sulkonazole (Exeldetm)
Sulkonazole merupakan obat jamur yang memiliki
spektrum luas. Titik tangkapnya yaitu menghambat sintesis
ergosterol yang akan menyebabkan kebocoran komponen sel,
sehingga menyebabkan kematian sel jamur. Tersedia dalam bentuk
cream 1% dan solutio. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun
penggunaan sama dengan orang dewasa (dioleskan pada daerah
yang terkena selama 2-4 minggu sebanyak 4 kali sehari).

2. Golongan Alinamin
a. Naftifine (Naftin)
Bersifat broad spektrum anti jamur dan merupakan derivat
sintetik dari alinamin yang mekanisme kerjanya mengurangi
sintesis dari ergosterol sehingga menyebabkan pertumbuhan sel
amur terhambat. Pengobatan dengan naftitine dievaluasi setelah 4
minggu jika tidak ada perbaikan klinis. Tersedia dalam bentuk 1%
cream dan lotion. . Penggunaan pada anak sama dengan dewasa (
dioleskan 4 kali sehari selama 2-4minggu).

19
b. Terbinafin (Lamisil)
Merupakan derifat sintetik dari alinamin yang bekerja
menghambat skualen epoxide yang merupakan enzim kunci dari
biositesis sterol jamur yang menghasilkan kekurangan ergosterol
yang menyebabkan kematian sel jamur. Secara luas pada penelitian
melaporkan keefektifan penggunaan terbinafin. Terbenafine dapat
ditoleransi penggunaanya pada anak-anak. Digunakan selama 1-4
minggu.

3. Golongan Benzalmin
a. Butenafine (mentax)
Anti jamur yang poten yang berhuungan dengan alinamin.
Kerusakan membran sel jamur menyebabkan sel jamur terhambat
pertumbuhannya. Digunakan dalam bentuk cream 1%, diberikan
selama 2-4 minggu. Pada anak tidak dianjurkan. Untuk dewasa
dioleskan sebanyak 4kali sehari.

4. Golongan Lainnya
a. Siklopiroks (Loprox)
Memiliki sifat broad spektrum anti fungal. Kerjanya
berhubunan dengan sintesi DNA

b. Haloprogin (halotex)
Tersedia dalam bentuk solution atau spray, 1% cream.
Digunakan selama 2-4minggu dan dioleskan sebanyak 3kali sehari.

a. Tolnaftate
Tersedia dalam cream 1%,bedak,solution. Dioleskan 2kali
sehari selama 2-4 minggu(Wiederkehr, Michael. 2008).

20
Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk untuk lesi yang
luas atau gagal dengan pengobatan topikal, berikut adalah obat sistemik
yang digunakan dalam pengobatan tinea cruris:

1. Ketokonazole
Sebagai turunan imidazole, ketokonazole merupakan obat jamur
oral yangberspektrum luas. Kerja obat ini fungistatik. Pemberian
200mg/hari selama 2-4 minggu.

2. Itrakonazole
Sebagai turunan triazole, itrakonazole merupakan obat anti jamur
oral yang berspektrum luas yang menghambat pertumbuhan sel jamur
dengan menghambat sitokrom P-450 dependent sintetis dari ergosterol
yang merupakan komponen penting pada selaput sel jamur.Pada
penelitian disebutkan bahwa itrakonazole lebih baik daripada
griseofulvin dengan hasil terbaik 2-3 minggu setelah perawatan. Dosis
dewasa 200mg po selam 1 minggu dan dosis dapat dinaikkan 100mg
jika tidak ada perbaikan tetpi tidak boleh melebihi 400mg/hari.Untuk
anak-anak 5mg/hari PO selama 1 minggu. Obat ini dikontraindikasikan
pada penderita yang hipersensitivitas, dan jangan diberikan bersama
dengan cisapride karena berhubunngan dengan aritmia jantung.

3. Griseofulfin
Termasuk obat fungistatik, bekerja dengan menghambat mitosis sel
jamur dengan mengikat mikrotubuler dalam sel. Obat ini lebih sedikit
tingkat keefektifannya dibanding itrakonazole. Pemberian dosis pada
dewasa 500mg microsize (330-375 mg ultramicrosize) PO selama 2-
4minggu, untuk anak 10-25 mg/kg/hari Po atau 20 mg microsize
/kg/hari

21
4. Terbinafine
Pemberian secara oral pada dewasa 250g/hari selama 2 minggu).
Pada anak pemberian secara oral disesuaikan dengan berat badan:
1. 12-20kg :62,5mg/hari selama 2 minggu
2. 20-40kg :125mg/ hari selama 2 minggu
3. >40kg:250mg/ hari selama 2 minggu

Edukasi kepada pasien di rumah :


1. Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering
2. Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan
infeksi.
3. Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat keringkan dengan
handuk dan mengganti pakaian yang lembab
4. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap
keringat seperti katun, tidak ketat dan ganti setiap hari.
5. Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang
digunakan penderita harus segera dicuci dan direndam air panas.

3.8 Komplikasi
Tinea cruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri
yang lain. Pada infeksi jamur yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan
hiperpigmentasi kulit.

3.9 Prognosis
Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang tepat
asalkan kelembapan dan kebersihan kulit selalu dijaga.

22
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus Tn. D (52 tahun) ditegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan dermatologis. Tn. D mengalami Tinea Cruris
yang merupakan suatu penyakit dermatofitosis pada sela paha, perineum dan
sekitar anus.1
Dari anamnesis, pasien mengaku lipat paha kiri dan kanan bagian dalam
terasa sangat gatal dan panas namun tidak nyeri. Bercak kemerahan juga semakin
menyebar ke daerah bokong kiri dan kanan. Rasa gatal hilang timbul, terutama
kambuh atau muncul saat pasien berkeringat pasca beraktifitas dan tidak
mengganti pakaian termasuk celana dan celana dalam. Sehingga kelembaban kulit
menjadi lebih rentan untuk terinfeksi jamur.
Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung.
Penularan secara langsung dapat berupa epitel rambut yang mengandung jamur
baik dari manusia, binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui
tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, pakaian dan debu.1
Berdasarkan anamnesis, pasien yang aktifitas pekerjaan sehari-hari selalu
membuatnya berkeringat dan jarang untuk mengganti pakaian saat pakaian
tersebut lembab, cenderung lebih rentan mendapatkan infeksi jamur secara
langsung.Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan
penyakit yang berlangsung seumur hidup.1
Berdasarkan anamnesis, pasien mengaku keluhan tersebut telah berulang
kali dirasakan bahkan sudah selama satu tahun terakhir.

23
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di kulit adalah:

a. Faktor virulensi dari dermatofita


Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur antropofilik,
6
zoofilik, geofilik. dari anamnesis pasien cenderung mendapat virulensi
dermatofita jamur geofilik.

b. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur.

c. Faktor suhu dan kelembapan


Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak
pada lokalisasi atau lokal, dimana banyak keringat seperti pada lipat paha,
sela-sela jari paling sering terserang penyakit jamur.4 seperti pada pasien,
keluhan gatal yang dirasa saat pasien berkeringat serta predileksi pasien yang
terjadi pada lipat paha bagian dalam kiri dan kanan.

d. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan


Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana terlihat
insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah
sering ditemukan daripada golongan ekonomi yang baik.

e. Faktor umur dan jenis kelamin.


Tingkat insiden lebih sering pada orang dewasa terutama pria
dibandingkan dengan wanita.1 namun untuk hal ini bertentangan dengan
faktor tersebut karena pasien disini adalah seorang ibu rumah tangga.

Kebutuhan untuk dilakukannya pemeriksaan penunjang sangat penting


untuk menyingkirkan diagnosis banding lainnya seperti dapat dilakukan
pemeriksaan anjuran berupa pemeriksaan mikologik dengan sediaan basah atau

24
pemeriksaan kultur dengan sabouraud agar serta penggunaan lampu wood untuk
menyingkirkan eritrasma dimana akan tampak floresensi merah bata.1

25
BAB V

KESIMPULAN

Telah dilaporkan sebuah kasus Tinea Cruris pada seorang laki-laki usia 52
tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan dermatologis.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Tinea cruris. Diunduh dari: http://www.news-medical.net/health/What-is-


tineacruris.aspx. November 2017.
2. Djuanda A. Mikosis. Dalam Djuanda A., Hamzah M.Aisah S. Ilmu penyakit kulit
dan kelamin. Edisi kelima. Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2007.h.189-95.
3. Geng A., McBean J., Zeikus P.S., et al. Tinea cruris. Dalam Kelly A.P., Taylor
S.C., Editors. Dermatology for skin of color. New York:Mc Graw Hill;2009.
4. Tinea cruris. Diunduh dari: Yayasan Psoriasis Indonesia dalam
http://www.tineacruris.or.id/ November 2017.
5. Goldenstein B., Goldenstein A. Tinea cruris. Dalam Goldenstein B.,Goldenstein
A., Melfiawaty., Pendit B.U., Editors. Dermatologi
Praktis.Jakarta:Hipokrates;2001.

27

You might also like