You are on page 1of 18

NASAL POLIP

A. Anatomi hidung

Gambar 1. Anatomi Hidung

1. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian bagiannya dari atas ke
bawah :
a. Pangkal hidung (bridge)
b. Dorsum nasi
c. Puncak hidung
d. Ala nasi
e. Kolumela
f. Lubang hidung (nares anterior)

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars
transversa dan M. Nasalis pars allaris. Kerja otot otot tersebut
menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit. Batas atas nasi
eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks
sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada
bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :

a. Superior : os frontal, os nasal, os maksila


b. Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor
dan kartilago alaris minor

Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior


menjadi fleksibel.

Perdarahan :

a. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A.


Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).
b. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris
interna, cabang dari A. Karotis interna)
c. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)

Persarafan :

a. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)


b. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
2. Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan
yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi
ini berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior
dan fossa kranial media. Batas batas kavum nasi :
a. Posterior : berhubungan dengan nasofaring
b. Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus
sfenoidale dan sebagian os vomer
c. Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal,
bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap.
Bagian ini dipisahkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
d. Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan
(dekstra dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi
dilapisi oleh kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian
dari septum yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars
membranosa = kolumna = kolumela.
e. Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os
etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.

Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari


tulang etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang
terpisah. Ruangan di atas dan belakang konka nasalis superior adalah
resesus sfeno-etmoid yang berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang
kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak di bagian
ini.

Perdarahan :

Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah


A.sfenopalatina yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale
anterior yang merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai
pleksus yang terletak submukosa yang berjalan bersama sama arteri.

Persarafan :

a. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus


yaitu N. Etmoidalis anterior
b. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion
pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi
N. Palatina mayor menjadi N. Sfenopalatinus.
3. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan
fungsional dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa
pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya
dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya
terdapat sel sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara
mukosanya lebih tebal dan kadang kadang terjadi metaplasia menjadi sel
epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan
selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada
permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel
goblet.

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang


penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi
akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai
daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan
benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi
silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan
hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat obatan.

Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior


dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis
semu dan tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium).
Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan
sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat
kekuningan.

4. Sinus Paranasal
Polip nasi sering dihubungkan dengan sinusitis. Sinus paranasal ada
empat buah yaitu sinus maksila, sinus etmoid, sinus frontal, dan sinus
sphenoid.
a. Sinus maksila terdapat dilateral hidung, dasar sinus maksila adalah
processus alveolaris gigi, atap sinus maksila berhubungan dengan dasar
orbita. Pstium sinus maksila berhubungan dengan meatus media.
b. Sinus etmoid seperti sarang tawon (honeycomb). Dibagi menjadi dua
bagian anterior dan posterior. Terletak antara dinding lateral hidung dan
dinding medial orbita (lamina papirasea). Atap sinus etmoid berhubungan
dengan sinus frontal dan fossa kranii anterior. Di inferolateral sinus etmoid
berhubungandengan sinus maksila. Sinus etmoid posterior berhubungan
dengan sinus sphenoid.
c. Sinus frontal terletak pada tulang frontal. Dinding posterior sinus frontal
membentuk dinding anrerir fosa kranii. Di inferior sinus ini berbatasan
dengan orbita dan sinus etmoid. Drainase sinus ini melalui duktus
nasofrontal langsung ke hidung atau melalui infundibulum etmoid.
d. Sinus sphenoid terletak di garis tengah. Dibagi dua oleh septum. Di
superior berbatasan dengan hipofisa, lobus frontal dan sinus kavernosus.
Di posterior terletak pons cerebri dan arteri basilaris, di inferior terletak
nasofaring. Arteri karotis terletak di lateral sinus ini.
Gambar 2 : Anatomi sinus

B. Definisi Polip Nasi


Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak
yang bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan,
dengan permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak
cairan. Polip nasi bukan merupakan penyakit tersendiri tapi merupakan
manifestasi klinik dari berbagai macam penyakit dan sering dihubungkan
dengan sinusitis, rhinitis alergi, fibrosis kistik dan asma.
Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2 :
1. Polip eusinofilik
Polip jenis ini biasanya disebabkan proses hipersensitivitas atau alergi.
2. Polip neutrofilik
Polip jenis ini biasanya disebabkan oleh proses inflamasi non-alergi

C. Epidemiologi
Polip nasi sudah di kenal sejak 4000 tahun yang lalu, melalui
pengetahuan dari prasasti yang ditemukan pada makam raja-raja Mesir. Polip
nasi digambarkan sebagai buah anggur yang turun melalui hidung ( grapes
coming down from the nose) .Istilah polip berasal dari kata Yunani poly-pous
yang berarti berkaki banyak. Pada awal perkernbangannya polip nasi sering
dihubungkan dengan neoplasma, baru pada tahun 1882 Zuckerkandl
menyatakan bahwa polip nasi merupakan suatu proses inflamasi (Abdul
Qadar Punagi). Polip nasi ditemukan 1-4 % dari populasi, 36 % penderita
dengan intoleransi aspirin, 20% pada penderita fibrosis kistik, 7% pada
penderita asma. Polip nasi lebih banyak ditemukan pada penderita asma non
alergi (13%) dibanding penderita asma alergi (5%). Polip nasi terutama
ditemukan pada usia dewasa, hanya kurang lebih 0.1% ditemukan pada
anak-anak, lebih sering ditemukan pada laki-laki dibanding dengan wanita
dengan rasio 2:1 atau 3:1 dan dapat ditemukan pada seluruh kelompok
rasdan kelas ekonomi.
Angka mortalitas polip nasi tidaklah signifikan, namun polip nasi
dihubungkan dengan turunnya kualitas hidup seseorang. Polip multipel yang
jinak biasanya timbul setelah usia 20 tahun dan lebih sering pada usia diatas
40 tahun. Polip nasi jarang ditemukan pada anak usia dibawah 10 tahun.

D. Etiologi dan Faktor Risiko


Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai etiologi polip nasi,
terdapat sejumlah hipotesis mengenai asal dari polip nasi eosinofilik dan
neutrofilik yang berkisar dari predisposisi genetik, variasi anatomi, infeksi
kronis, alergi inhalan, alergi makanan, sampai ketidakseimbangan vasomotor.
Namun saat ini yang banyak digunakan, yaitu : teori infeksi dan teori
inflamasi.
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada
terjadinya polip, yaitu :
1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan
sinus.
2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa
hidung.
Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui
tempat yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah
sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini
sehingga mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan polip.
Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari
daerah yang sempit di kompleks ostiomeatal (KOM) di meatus medius.
Walaupun demikian polip juga dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung
atau sinus paranasal dan seringkali bilaterak dan multipel.
Selain dari fenomena Bernouli terdapat beberapa hipotesa lainnya.
1. Perubahan Polisakarida di postulatkan pada 1971 oleh Jackson dan
Arihood.
2. Infeksi
3. Infeksi berulang pada sinus predisposisi pada mukosa menjadi
perubahan polipoid.
4. Alergi
Alergi telah di implikasikan sebagai penyebab, sejak sekresi hidung
mengandung eosinofil dan pasien mempunyai gejala alergi, sering
dikaitkan dengan asma dan atopi.
5. Teori vasomotor
Gangguan keseimbangan otonomik di duga mungkin sebagai penyebab
pada individu non atopi.
Juga di kaitkan dengan mediator inflamasi, faktor anatomi lokal, dan
tumor. Predisposisi genetik diketahui sebagai penyebab polipoid pada fibrosis
kistik.
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :.
1. Alergi terutama rinitis alergi.
2. Sinusitis kronik.
3. Iritasi.
4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan
hipertrofi konka.

E. Patofisologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau
reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip
hidung belum diketahui dengan pasti tetapi ada keragu raguan bahwa
infeksi dalam hidung atau sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan
dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan lapisan permukaan
mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam
rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan interseluler
dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau
pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang
pada anak anak. Pada anak anak, polip mungkin merupakan gejala dari
kistik fibrosis.
Banyak faktor yang mempengaruhi pementukan polip nasi. Kerusakan
epitel merupakan patogenesa dari polip. Sel-sel epitel teraktivasi oleh
alergen, polutan dan agen infeksius. Sel melepaskan berbagai faktor yang
berperan dalam reson inflamasi dan perbaikan. Epitel polip menunjukan
hiperplasia sel goblet dan hipersekresi mukus yang berperan dalam obstruksi
hidung dan rinorea.
Polip dapat timbul pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian
menyebabkan sumbatan yang mengakibatkan sinusitis, tetapi polip dapat
juga timbul akibat iritasi kronis yang disebabkan oleh infeksi hidung dan
sinus.
Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama dan
berulang. Penyebab tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam
jangka waktu yang lama, vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa
menyebabkan edema mukosa. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan
interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid Mukosa akan
menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk suatu
struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus
etmoid. Bila proses ini berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar dan
kemudian tururn kedalam rongga hidung sambil membentuk tangkai yang
akan turun ke kavum nasi kebanyakan terjadi di daerah meatus medius. Hal
ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang sering
dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada rinitis
alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak terdapat di Indonesia
karena tidak adanya variasi musim sehingga alergen terdapat sepanjang
tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa
menyebabkan obstruksi di meatus media.

F. Gejala Klinis
Pasien dengan polip yang masif biasanya mengalami sumbatan hidung
yang meningkat, hiposmia sampai anosmia, perubahan pengecapan, dan
drainase post nasal persisten. Sakit kepala dan nyeri pada muka jarang
ditemukan dan biasanya pada daerah periorbita dan sinus maksila. Pasien
polip dengan sumbatan total rongga hidung atau polip tunggal yang besar
memperlihatkan gejala sleep apnea obstruktif dan pernafasan lewat mulut
yang kronik.
Pasien dengan polip soliter seringkali hanya memperlihatkan gejala
obstruktif hidung yang dapat berubah dengann perubahan posisi. Walaupun
satu atau lebih polip yang muncul, pasien mungkin memperlihatkan gejala
akut, rekuren, atau rinosinusitis bila polip menyumbat ostium sinus. Beberapa
polip dapat timbul berdekatan dengan muara sinus, sehingga aliran udara
tidak terganggu, tetapi mukus bisa terperangkap dalam sinus. Dalam hal ini
dapat timbul perasaan penuh di kepala, penurunan penciuman, dan mungkin
sakit kepala. Mukus yang terperangkap tadi cenderung terinfeksi, sehingga
menimbulkan nyeri, demam, dan mungkin perdarahan pada hidung.
Manifestasi polip nasi tergantung pada ukuran polip. Polip yang kecil
mungkin tidak menimbulkan gejala dan mungkin teridentifikasi sewaktu
pemeriksaan rutin. Polip yang terletak posterior biasanya tidak teridenfikasi
pada waktu pemeriksaan rutin rinoskopi posterior. Polip yang kecil pada
daerah dimana polip biasanya tumbuh dapat menimbulkan gejala dan
menghambat aliran saluran sinus, menyebabkan gejala-gejala sinusitis akut
atau rekuren.

G. Diagnosis
1. Anamnesa
Pada anamnesa kasus polip, keluahan utama biasanya ialah:
a. Hidung tersumbat dari yang ringan sampai berat. Sumbatan ini
menetap, tidak hilang dan semakin lama semakin berat.
b. Rinore mulai dari yang jernih sampai purulen
c. Pasien sering mengeluhkan terasa ada massa di dalam hidung dan
sukar membuang ingus.
d. Hiposmia atau anosmia
Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit
kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin di dapati
post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul
adalah bernafas melalui mulut, halitosis, nyeri muka, suara nasal
(bindeng), telinga terasa penuh, mendengkur, gangguan tidur dan
penurunan kualitas hidup.
Selain itu juga harus di tanyakan riwayat rhinitis alergi, asma,
intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat serta makanan.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Polip yang masif sering sudah menyebabkan deformitas hidung
luar. Dapat dijumpai pelebaran kavum nasi terutama polip yang
berasal dari sel-sel etmoid.
b. Rinoskopi Anterior
Memperlihatkan massa yang berwarna pucat yang berasal dari
meatus medius yang mudah digerakkan. Deformitas septum membuat
pemeriksaan menjadi lebih sulit. Tampak sekret mukus dan polip
multipel atau soliter. Polip kadang perlu dibedakan dengan konka nasi
inferior, yakni dengan cara memasukan kapas yang dibasahi dengan
larutan efedrin 1% (vasokonstriktor), konka nasi yang berisi banyak
pembuluh darah akan mengecil, sedangkan polip tidak mengecil.
Polip dapat diobservasi berasal dari daerah sinus etmoidalis, ostium
sinus maksilaris atau dari septum.

c. Rinoskopi Posterior
Kadang-kadang dapat dijumpai polip koanal. Sekret
mukopurulen ada kalanya berasal dari daerah etmoid atau rongga
hidung bagian superior, yang menandakan adanya
rinosinusitis.1,6,9,10.
d. Nasoendoskopi
Adanya fasilitas nasoendoskopi akan sangat membantu
diagnosis kasus baru. Polip stadium awal tidak terlihat pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan
nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat terlihat
tangkai polip yang berasal dari ostium assesorius sinus maksila.
3. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal ( posisi waters, lateral, Caldwell dan AP)
dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan
di dalam sinus, tetapi sebenarnya kurang bermanfaat pada kasus polip
nasi karena dapat memberikan kesan positif palsu atau negative palsu
dan tidak dapat memberikan informasi mengenai keadaan dinding lateral
hidung dan variasi anatomis di daerah kompleks osteomeatal.
4. Pemeriksaan tomografi computer
Pemeriksaan tomografi computer sangat bermanfaat untuk melihat
dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses
radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks
osteomeatal. Terutama pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi
medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan
tindakan bedah terutama bedah endoskopi. Biasanya untuk tujuan
penapisan dipakai potongan koronal, sedangkan polip yang rekuren juga
dipeerlikan potongan aksial.
5. Tes alergi
Evaluasi alergi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan
riwayat alergi lingkungan atau riwayat alergi pada keluarganya.
6. Laboratorium
Untuk membedakan sinusitis alergi atau non alergi. Pada sunisitis
alergi ditemukan eosinofil pada swab hidung, sedang pada non alergi
ditemukannya neutrofil yang menandakan adanya sinusitis kronis.
7. Stadium Polip Nasal
Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997) :
a. Stadium 1 : polip masih terbatas di meatus medius
b. Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus medius tapi belum
memenuhi rongga hidung
c. Stadium 3 : polip yang masif
8. Diagnosis Banding
Polip didiagnosisbandingkan dengan konka polipoid, yang ciri cirinya
sebagai berikut :
a. Tidak bertangkai
b. Sukar digerakkan
c. Nyeri bila ditekan dengan pinset
d. Mudah berdarah
e. Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan


polip dan konka polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang
juga harus hati hati pemberiannya pada pasien dengan penyakit
kardiovaskuler karena bisa menyebabkan vasokonstriksi sistemik,
maningkatkan tekanan darah yang berbahaya pada pasien dengan hipertensi
dan dengan penyakit jantung lainnya.

H. Penatalaksanaan
Karena etiologi yang mendasari pada polip nasi adalah reaksi inflamasi,
maka penatalaksanaan medis ditujukan untuk mpengobatan yang tidak
spesifik. Pada terapi medikamentosa dapat diberikan kortikosteroid.
Kortikosteroid dapat diberikan secara sistemik ataupun intranasal.
Pemberian kortikosteroid sistemik diberikan dengan dosis tinggi dalam
waktu yang singkat, dan pemberiannya perlu memperhatikan efek samping
dan kontraindikasi. Kortikosteroid oral adalah pengbatan paling efektif untuk
pengobatan jangka pendek dari polip nasi, dan kortikosteroid oral memiliki
efektivitas paling baik dalam mengurangi inflamasi polip.
Kortikosteroid juga dapat diberikan secara intranasal dalam bentuk
spray steroid, yang dapat mengurangi atau menurunkan pertumbuhan polip
nasi yang kecil, tetapi secara relatif tidak efektif untuk polip yang masif.
Steroid intranasal paling efektif pada periode post operatif untuk mencegah
atau megurangi relaps.
Pengobatan juga dapat ditujukan untuk mengurangi reaksi alergi pada
polip yang dihubungkan dengan rhinitis alergi. Pada penderita dapat
diberikan antihistamin oral untuk mengurangi reaksi inflamasi yang terjadi.
Bila telah terjadi infeksi yang ditandai dengan adanya sekret yang
mukopurulen maka dapat diberikan antibiotic
Pengobatan Medis polip nasal sebagai berikut :
1. Steroid oral dan topikal di berikan pada pengobatan pertama pada nasal
polip. Antihistamin, dekongestan dan sodiumcromolyn memberikan sedikit
keuntungan. Imunoterapi mungkin dapat berguna untuk pengobatan
rhinitis alergi, tapi bila digunakan sendirian, ak dapat berguna pada polip
yang telah ada, pemberian antibiotik bila terjadi superimposed infeksi
bakteri.
2. Kortikosteroid adalah pengobatan pilihan, baik secara topikal maupun
sistemik. Injeksi langsung pada polip menunjukkan berkurangnya
pertumbuhan polip dan berkurangnya gejala pada hidung dibandingkan
dengan pengobatan intranasal. Injeksi steroid intrapolip ini merupakan
pengobatan alternatif yang aman pada pasien tertentu tapi masih
dibutuhkan penelitian lebih lanjut. Tapi tindakan ini kemudian tidak
dibenarkan oleh Food and Drug Administration karena dilaporkan terdapat
3 pasien dengan kehilangan penglihatan unilateral setelah injeksi
intranasal langsung dengan kenalog. Keamanan
mungkin tergantung pada ukuran spesifik partikel. Berat molekuler yang
besar seperti Aristocort lebih aman dan sepertinya sedikit yang di
pindahkan ke area intrakranial. Hindari injeksi langsung ke dalam
pembuluh darah.
3. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga
polipektomi medikamentosa.Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya
diberikan kortikosteroid intranasal selama 4-6 minggu. Bila reaksinya
baik, pengobatan ini diteruskan sampai polip atau gejalanya hilang. Bila
reaksinya terbatas atau tidak ada perbaikan maka diberikan juga
kortikosteroid sistemik. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid intranasal
mungkin harganya mahal dan tidak terjangkau oleh sebagian pasien,
sehingga dalam keadaan demikian langsung diberikan kortikosteroid oral.
Dosis kortikosteroid saat ini belum ada ketentuan yang baku, pemberian
masih secara empirik misalnya diberikan Prednison 30 mg per hari
selama seminggu dilanjutkan dengan 15 mg per hari selama
seminggu. Menurut van Camp dan Clement dikutip dari Mygind dan,
Lidholdt untuk polip dapat diberikan prednisolon dengan dosis total 570
mg yang dibagi dalam beberapa dosis, yaitu 60 mg/hari selama 4 hari,
kemudian dilakukantapering off 5 mg per hari. Menurut Naclerio.
pemberian kortikosteroid tidak boleh lebih dari 4 kali dalam setahun.
Pemberian suntikan kortikosteroid intrapolip sekarang tidak dianjurkan
lagi mengingat bahayanya dapat menyebabkan kebutaan akibat emboli.
Kalau ada tanda-tanda infeksi harus diberikan juga antibiotik. Pemberian
antibiotik pada kasus polip dengan sinusitis sekurang-kurangnya selama
10-14 hari
4. Respon dengan kortikosteroid tergambar dari ada atau tidaknya
eosinofilia, jadi pasien dengan polip dan rhinitis alergi atau asma
seharusnya respon dengan pengobatan ini. Pasien dengan polip yang
sedikit eosinofil mungkin tidak respon terhadap steroids. Penggunaan
steroid oral jangka panjang tidak direkomendasikan karena efek
sampingnya yang merugikan (seperti gangguan pertumbuhan, Diabetes
Melitus, hipertensi, gangguan psikis, gangguan pencernaan, katarak,
glukoma, osteoporosis).
5. Banyak penulis menganjurkan pemberian steroid topikal untuk polip
nasal, sebagai pengobatan primer atau pengobatan lanjutan mengikuti
pemberian per oral, atau bedah. Banyak steroid nasal (seperti ; flucitason,
beclomethasone, budesonide) efektik untuk menurunkan gejala subjektif,
dan meningkatkan aliran udara di hidung ketika dipastikan secara objektif.
Beberapa penelitian mengindikasikan mempunyai onset yang lebih cepat
dan mungkin sedikit lebih baik dari beclomethasone.
6. Pemberian topikal kortikosteroid di beriakan secara umum karena lebih
sedikit efek yang merugikan dibandingkan pemberian sistemik karena
bioavaibilitasnya yang terbatas. Pemberian jangka panjang khususnya
dosis tinggi dan kombinasi dengan kortikosteroid inhalasi, terdapat resiko
penekanan hipotalamus-pituari-adrenal aksis, pembentukan katarak,
gangguan pertumbuhan, perdarahan hidung, dan pada jarang kasus
terjadi perforasi septum.
7. Inhibitor Leukotrien : Leukotrien dibentuk selama pemecahan asam
arachidonat oleh enzim 5-lipoxigenase. Mereka merupakan mediator
inflamasi yang berperan dalam patogenesis asma, rhinitis alergi, dan
polip nasal. Hasilnya mereka menjadi target modulasi terapi. Penelitian
baru-baru ini mengenai penghambatan sintesis leukotrien menunjukkan
peningkatkan aliran udara dalam hidung dan pengecilan polip nasal yang
dibuktikan dengan endoskopi dan studiim aging. Penggunaan inhibitor
leukotrien ini menunjukkan hasil maksimal pada penderita dengan rhinitis
alergi konkomitan dan polip nasal eosinofilik.
8. Obat-obatan lain : obat-obatan lain yang mungkin digunakan dalam
pengobatan polip nasal adalah antibiotic makrolid, terapi diuretic topical,
dan asam asetilsalisilat-lisin intranasal.

Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau


polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Pembedahan
dilakukan jika Polip menghalangi saluran pernafasan, menghalangidr ainas e
dari sinus sehingga sering terjadi infeksi sinus, atau berhubungan dengan
tumor.
Terapi bedah yang dipilih tergantung dari luasnya penyakit (besarnya
polip dan adanya sinusitis yang menyertainya), fasilitas alat yang tersedia
dan kemampuan dokter yang menangani. Macamnya operasi mulai dari
polipektomi intranasal menggunakan jerat (snare) kawat dan/ polipektomi
intranasal dengan cunam (forseps) yang dapat dilakukan di ruang tindakan
unit rawat jalan dengan analgesi lokal; etmoidektomi intranasal atau
etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid; operasi Caldwell-Luc untuk
sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop maka dapat
dilakukan tindakan endoskopi untuk polipektomi saja, atau disertai
unsinektomi atau lebih luas lagi disertai pengangkatan bula etmoid sampai
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional lengkap. Alat mutakhir untuk membantu
operasi polipektomi endoskopik ialahmicrodebrider (powered instrument)
yaitu alat yang dapat menghancurkan dan mengisap jaringan polip sehingga
operasi dapat berlangsung cepat dengan trauma yang minimal.
Tindakan pengangkatan polip atau polipektomi dapat dilakukan dengan
menggunakan senar polip dengan anestesi lokal, untuk polip yang besar
tetapi belum memadati rongga hidung. Polipektomi sederhana cukup efektif
untuk memperbaiki gejala pada hidung, khususnya pada kasus polip yang
tersembunyi atau polip yang sedikit. Bedah sinus endoskopik (Endoscopic
Sinus Surgery) merupakan teknik yang lebih baik yang tidak hanya
membuang polip tapi juga membuka celah di meatus media, yang merupakan
tempat asal polip yang tersering sehingga akan membantu mengurangi
angka kekambuhan. Surgical micro debridement merupakan prosedur yang
lebih aman dan cepat, pemotongan jaringan lebih akurat dan mengurangi
perdarahan dengan visualisasi yang lebih baik.

I. Prognosis
Polip nasi dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih tetap
berlanjut. Rekurensi dari polip umumnya terjadi bila adanya polip yang
multipel. Polip tunggal yang besar seperti polip antral-koanal jarang terjadi
relaps.

J. Proses keperawatan
1. Pengkajian :
a. Biodata : Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan,
pekerjaan,
b. Riwayat Penyakit sekarang :
c. Keluhan utama : biasanya penderita mengeluh sulit bernafas,
tenggorokan.
d. Riwayat penyakit dahulu :
1) Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung
atau trauma
2) Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
3) Pernah menderita sakit gigi geraham
e. Riwayat keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota
keluarga yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit
klien sekarang.
f. Riwayat spikososial
1) Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih)
2) Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
g. Pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
a) Untuk mengurangi flu biasanya klien mengkonsumsi obat
tanpa memperhatikan efek samping
h. Pola nutrisi dan metabolism
Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada
hidung
i. Pola istirahat dan tidur
Selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering
pilek
j. Pola Persepsi dan konsep diri
k. Klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsep
diri menurun
l. Pola sensorik
Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek
terus menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).
m. Pemeriksaan fisik
1) status kesehatan umum : keadaan umum , tanda vital, kesadaran.
2) Pemeriksaan fisik data focus hidung : rinuskopi (mukosa merah
dan bengkak).
Data subyektif :
1) Hidung terasa tersumbat, susah bernafas
2) Keluhan gangguan penciuman
3) Merasa banyak lender, keluar darah
4) Klien merasa lesu, tidak nafsu makan
5) Merasa pusing
Data Obyektif
1) Demam, drainage ada : Serous Mukppurulen Purulen
2) Polip mungkin timbul dan biasanya terjadi bilateral pada hidung
dan sinus yang mengalami radang ? Pucat, edema keluar dari
hidung atau mukosa sinus
3) Kemerahan dan edema membran mukosa
n. Pemeriksaan penunjung :
Kultur organisme hidung dan tenggorokan

2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul


a. Nyeri Akut berhubungan dengan agen injuri
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
d. Resiko infeksi
DAFTAR PUSTAKA

Bechara, Y Ghorayeb. Nasal polyps. Diakses dariwww.otolaryngology

Blumenthal MN. Kelainan alergi pada pasien THT. Dalam: Adam, Boies, Higler. BOIES.
1997. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta. EGC. Hal 196-8. Houston.htm. Diakses
tanggal 20 Juni 2008.

McClay, Jhon E MD. Nasal Polyps, di akses dari:www.emedicine.com . Diakses


tanggal 20 Juni 2008

Nizar, Nuty W, Endang Mangunkusumo. 2007. Hidung Dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Hidung dan Telinga editor : Eliaty AS, Nurbaiti, edisi ke 6. Hal 118-
122.

Nizar, Nuty W, Endang Mangunkusumo. Polip Hidung. Dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Hidung dan Telinga editor : Eliaty AS, Nurbaiti, edisi ke 6 tahun 2007.
Hal 123- 125

Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia. 2007. Guideline Penyakit THT-KL di


Indonesia. Hal 58

Polip hidung, 2004. Diakses dariwww.medicastore.co m Diakses tanggal 20 Juni 2008

Punagi, Abdul Qadar. 2005. Peranan Sitokin Pada Polip Nasi dalam Jurnal Media
Nusantara Volume 26 No.4 Oktober- Desember 2005. Hal 263-267.

Snell, Richard S,. 1997. Kepala dan Leher dalam Anatomi Klinik alih bahasa dr. Jan
Tamboyang. EGC.
Zulfadli. 2007. Polip Nasi. Diakses dari www.solaraid.co m. Diakses pada tanggal 24
Januari 2011

You might also like