You are on page 1of 67

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi adalah istilah yang di turunkan dari dua kata Yunani yaitu “an” dan
“esthesia”, dan bersama-sama berarti “hilangnya rasa atau hilangnya sensasi.” Kata
anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang menggambarkan
keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan
untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Analgesia ialah pemberian obat untuk
menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien.1

Anestesi secara umum berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap suatu
rangsangan. Obat yang digunakan dalam menimbulkan anestesia disebut sebagai
anestetik, dan kelompok obat ini dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik
lokal.1 Pemberian anestetikum dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan
rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Seringkali anestesi
dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan dengan pembedahan, yang adalah suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.2

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai


dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen
anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari: hipnotik, analgesia dan relaksasi otot.
Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan, pemantauan
fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup induksi,
maintenance, dan pemulihan.3
Sebagian besar operasi (70-75 %) dilakukan dengan anestesia umum,
lainnya dengan anestesia regional atau lokal. Operasi di sekitar kepala, leher,
intrathorakal, intraabdominal paling baik dilakukan dengan anestesia umum.
Pilihan cara anestesia harus selalu terlebih dahulu mementingkan segi-segi
keamanan dan kenyamanan pasien.4
Penyakit periodontal adalah salah satu penyakit yang banyak terdapat dalam
masyarakat dan merupakan masalah masyarakat di negara maju maupun negara

1
berkembang. Data yang dikumpulkan WHO di 35 negara menunjukkan prevalensi
yang cukup tinggi yaitu lebih dari 75% pada orang yang berumur 35-44 tahun di 7
negara, dan 40-47% di 13 negara serta prevalensi yang sedang atau kurang dari 40%
di 15 negara. Dari hasil laporan yang diterima Direktorat Kesehatan Gigi,
menunjukkan gambaran prevalensi penyakit periodontal yang meningkat usia 24-
44 tahun yaitu sekitar 77,91% - 87,10%.5
Penyakit periodontal dapat didefinisikan sebagai proses patologis yang
mengenai jaringan periodontal. Telah diketahui bahwa penyakit periodontal
merupakan penyakit multifaktor yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara
faktor lingkungan seperti pathogen periodontal dan pertahanan tubuh. Walaupun
faktor-faktor lain dapat mempengaruhi jaringan periodontal, penyebab utama
penyakit periodontal adalah mikroorganisme yang berkolonisasi dipermukaan gigi
(plak bakteri dan produk – produk yang dihasilkannya). 6
Periodontitis kronis adalah inflamasi jaringan periodontal yang ditandai
dengan migrasi epitel fungsional ke apikal, kehilangan perlekatan dan puncak
tulang alveolar. Pada periodontitis, gusi tertarik jauh dari gigi dan terbentuk pocket
yang mejadi sumber inflamasi. Toksin bakteri dan respon tubuh normal mulai
menghancurkan tulang dan jaringan yang mempertahankan gigi pada tempatnya.
Jika tidak diobati, tulang, gusi, dan jaringan yang menyangga gigi dapat hancur.
Gigi –gigi yang rusak tersebut lama kelamaan goyang dan akhirnya pecah –
pecah dan tanggal. Tindakan yang dapat dilakukan adalah pencabutan gigi
yang telah rusak tersebut dibawah anestesi untuk mencegah keparahan
infeksi intraoral.7

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Periodontal

2.1.1 Definisi

Penyakit periodontal adalah suatu inflamasi kronis pada jaringan


pendukung gigi (periodontium). Penyakit periodontal dapat hanya
mengenai gingiva (gingivitis) atau dapat menyerang struktur yang lebih
dalam (periodontitis). Gambaran klinis yang membedakan antara
gingivitis dan periodontitis adalah ada tidaknya kerusakan jaringan
periodontal destruktif umumnya dihubungkan dengan keberadaan dan
atau meningkatnya jumlah bakteri patogen spesifik seperti
Phorphyromonas gingivalis (P.g), prevotella intermedia (P.i),
bacteriodes forsytus (Bi) dan actinobacillus actinomycetemcomitans
(A.a).8

2.1.2 Etiologi

 Faktor primer
Penyebab primer dari penyakit periodontal adalah iritasi bakteri.
Menurut teori non-spesifik murni bakteri mulut terkolonisasi pada
leher gingiva untuk membentuk plak pada keadaan tidak ada
kebersihan mulut yang efektif. Semua bakteri plak dianggap
mempunyai beberapa faktor virulensi yang menyebabkan inflamasi
gingival dan kerusakan periodontal keadaan ini menunjukkan bahwa
plak akan menimbulkan penyakit tanpa tergantung komposisinya.
Namun demikian, sejumlah plak biasanya tidak mengganggu
kesehatan gingiva dan periodontal dan beberapa pasien bahkan
mempunyai jumlah plak yang cukup besar yang sudah berlangsung
lama tanpa mengalami periodontitis yang merusak walaupun mereka
mengalami gingivitis.8

3
 Faktor sekunder
Faktor penyebab penyakit periodontal dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu faktor lokal (ekstrinsik) dan faktor sistemik (intrinsik).
Faktor lokal merupakan penyebab yang berada pada lingkungan
disekitar gigi, sedangkan faktor sistemik dihubungkan dengan
metabolisme dan kesehatan umum. Kerusakan tulang dalam
penyakit periodontal terutama disebabkan oleh factor lokal yaitu
inflamasi gingiva dan trauma dari oklusi atau gabungan keduanya.
Kerusakan yang disebabkan oleh inflamasi gingiva mengakibatkan
pengurangan ketinggian tulang alveolar, sedangkan trauma dari
oklusi menyebabkan hilangnya tulang alveolar pada sisi permukaan
akar.9
1. Plak bakteri
Plak bakteri merupakan suatu massa hasil pertumbuhan mikroba
yang melekat erat pada permukaan gigi dan gingiva bila
seseorang mengabaikan kebersihan mulut. Berdasarkan letak
huniannya, plak dibagi atas supra gingival yang berada disekitar
tepi gingival dan plak sub-gingiva yang berada apikal dari dasar
gingival. Bakteri yang terkandung dalam plak di daerah sulkus
gingiva mempermudah kerusakan jaringan. Hampir semua
penyakit periodontal berhubungan dengan plak bakteri dan telah
terbukti bahwa plak bakteri bersifat toksik. Bakteri dapat
menyebabkan penyakit periodontal secara tidak langsung
dengan jalan :
- Meniadakan mekanisme pertahanan tubuh.
- Mengurangi pertahanan jaringan tubuh
- Menggerakkan proses immuno patologi
Meskipun penumpukan plak bakteri merupakan penyebab utama
terjadinya gingivitis, akan tetapi masih banyak faktor lain
sebagai penyebabnya yang merupakan multifaktor, meliputi
interaksi antara mikroorganisme pada jaringan periodontal dan
kapasitas daya tahan tubuh.9

4
2. Kalkulus
Kalkulus terdiri dari plak bakteri dan merupakan suatu massa
yang mengalami pengapuran, terbentuk pada permukaan gigi
secara alamiah. Kalkulus merupakan pendukung penyebab
terjadinya gingivitis (dapat dilihat bahwa inflamasi terjadi
karena penumpukan sisa makanan yang berlebihan) dan lebih
banyak terjadi pada orang dewasa, kalkulus bukan penyebab
utama terjadinya penyakit periodontal. Faktor penyebab
timbulnya gingivitis adalah plak bakteri yang tidak bermineral,
melekat pada permukaan kalkulus, mempengaruhi gingiva
secara tidak langsung.9
3. Impaksi makanan
Impaksi makanan (tekanan akibat penumpukan sisa makanan)
merupakan keadaan awal yang dapat menyebabkan terjadinya
penyakit periodontal. Gigi yang berjejal atau miring merupakan
tempat penumpukan sisa makanan dan juga tempat terbentuknya
plak,sedangkan gigi dengan oklusi yang baik mempunyai daya
self cleansing yang tinggi.
Tanda-tanda yang berhubungan dengan terjadinya impaksi
makanan yaitu
- perasaan tertekan pada daerah proksimal
- rasa sakit yang sangat dan tidak menentu
- inflamasi gingiva dengan perdarahan dan daerah yang
terlibat sering berbau
- resesi gingiva
- pembentukan abses periodontal menyebabkan gigi dapat
bergerak dari soketnya, sehingga terjadinya kontak prematur
saat berfungsi dan sensitif terhadap perkusi
- kerusakan tulang alveolar dan karies pada akar9

5
4. Pernafasan mulut
Kebiasaan bernafas melalui mulut merupakan salah satu
kebiasaan buruk. Hal ini sering dijumpai secara permanen atau
sementara. Permanen misalnya pada anak dengan kelainan
saluran pernafasan, bibir maupun rahang, juga karena kebiasaan
membuka mulut terlalu lama. Sementara misal pasien penderita
pilek dan pada beberapa anak yang gigi depan atas protrusi
sehingga mengalami kesulitan menutup bibir. Keadaan ini
menyebabkan viskositas (kekentalan) saliva akan bertambah
pada permukaan gingiva maupun permukaan gigi, aliran saliva
berkurang, populasi bakteri bertambah banyak, lidah dan
palatum menjadi kering dan akhirnya memudahkan terjadinya
penyakit periodontal.9
5. Sifat fisik makanan
Sifat fisik makanan merupakan hal yang penting karena makanan
yang bersifat lunak seperti bubur atau campuran semiliquid
membutuhkan sedikit pengunyahan,menyebabkan debris lebih
mudah melekat disekitar gigi dan bisa berfungsi sebagai sarang
bakteri serta memudahkan pembentukan karang gigi. Makanan
yang mempunyai sifat fisik keras dan kaku dapat juga menjadi
massa yang sangat lengket bila bercampur dengan ludah.
Makanan yang demikian tidak dikunyah secara biasa tetapi
dikulum di dalam mulut sampai lunak bercampur dengan ludah
atau makanan cair, penumpukan makanan ini akan memudahkan
terjadinya penyakit. Makanan yang baik untuk gigi dan mulut
adalah yang mempunyai sifat self cleansing dan berserat yaitu
makanan yang dapat membersihkan gigi dan jaringan mulut
secara lebih efektif, misalnya sayuran mentah yang segar, buah-
buahan dan ikan yang sifatnya tidak melekat pada permukaan
gigi.9

6
6. Iatrogenik Dentistry
Iatrogenik Dentistry merupakan iritasi yang ditimbulkan karena
pekerjaan dokter gigi yang tidak hati-hati dan adekuat sewaktu
melakukan perawatan pada gigi dan jaringan sekitarnya sehingga
mengakibatkan kerusakan pada jaringan sekitar gigi.
Dokter gigi harus memperhatikan masa depan kesehatan
jaringan periodontal pasien, misalnya :
- Waktu melakukan penambalan pada permukaan proksimal
(penggunaan matriks) atau servikal, harus dihindarkan tepi
tambalan yang menggantung (kelas II amalgam), tidak baik
adaptasinya atau kontak yang salah, karena hal ini
menyebabkan mudahnya terjadi penyakit periodontal.
- Sewaktu melakukan pencabutan, dimulai dari saat
penyuntikan, penggunaan bein sampai tang pencabutan dapat
menimbulkan rusaknya gingiva karena tidak hati – hati
- Penyingkiran karang gigi (manual atau ultra skeler) juga harus
berhati – hati karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan
gingiva.9
7. Trauma dari oklusi
Trauma dari oklusi menyebabkan kerusakan jaringan
periodonsium, tekanan oklusal yang menyebabkan kerusakan
jaringan disebut traumatik oklusi. Trauma dari oklusi dapat
disebabkan oleh :
- Perubahan-perubahan tekanan oklusal. Misal adanya gigi
yang elongasi, pencabutan gigi yang tidak diganti, kebiasaan
buruk seperti bruksim, clenching.
- Berkurangnya kapasitas periodonsium untuk menahan tekanan
oklusal
- Kombinasi keduanya.9

7
2.1.3 Klasifikasi

1. Gingivitis
Karena plak berakumulasi dalam jumlah sangat besar di regio
interdental yang terlindungi, inflamasi gingiva cenderung dimulai
pada daerah
papilla interdental dan menyebar dari daerah ini ke sekitar leher gigi.
Histopatologi dari gingivitis kronis dijabarkan dalam beberapa
tahapan: lesi awal timbul 2-4 hari diikuti gingivitis tahap awal,
dalam waktu 2-3 minggu akan menjadi gingivitis yang cukup parah.
- Lesi awal
Perubahan terlihat pertama kali di sekitar pembuluh darah gingiva
yang kecil disebelah apikal dari epitelium jungtional. Pembuluh
ini mulai bocor dan kolagen perivaskuler mulai menghilang,
digantikan dengan beberapa sel inflamasi, sel plasma dan limfosit
terutama limfosit T cairan jaringan dan protein serum.
- Gingivitis tahap awal
Bila deposit plak masih tetap ada, perubahan inflamasi tahap awal
akan berlanjut disertai dengan meningkatnya aliran cairan gingiva
dan migrasi Polymorphonuclear Neutrophils (PMN). Perubahan
yang terjadi baik pada epithelium fungsional maupun pada
epithelium krevikular merupakan tanda dari pemisahan sel dan
beberapa proliferasi dari sel basal.
- Gingivitis tahap lanjut
Dalam waktu 2-3 minggu, akan terbentuk gingivitis yang lebih
parah. Perubahan mikroskopik terlihat terus berlanjut, pada tahap
ini sel-sel plasma terlihat mendominasi. Limfosit masih tetap ada
dan jumlah makrofag meningkat. Pada tahap ini sel mast juga
dapat ditemukan. Gingiva sekarang berwarna merah, bengkak,
dan mudah berdarah.9

8
Tabel 2.1 Stadium Gingivitis9

Gambar 2.1 generalized marginal and papillary gingivitis9


2. Periodontitis
Periodontitis adalah inflamasi jaringan periodontal yang ditandai
dengan migrasi epitel fungsional ke arah apikal, kehilangan
perlekatan tulang dan resorpsi tulang alveolar. Pada pemeriksaan
klinis terdapat peningkatan kedalaman probing, perdarahan saat
probing (ditempat aktifnya penyakit) yang dilakukan dengan
perlahan dan perubahan kontur fisiologis. Dapat juga ditemukan
kemerahan, pembengkakan gingiva dan biasanya tidak ada rasa
sakit.9
Periodontitis kronis adalah hasil dari respon host pada agregasi
bakteri di permukaan gigi. Mengakibatkan kerusakan irreversibel

9
pada jaringan perlekatan, yang menghasilkan pembentukan poket
periodontal dan kehilangan tulang alveolar pada akhirnya.
Sementara gingivitis dikenal kondisi yang sangat umum di antara
anak-anak dan remaja, periodontitis jarang terjadi pada anak-anak
dan remaja. Terjadinya periodontitis severe pada orang dewasa
muda memiliki dampak buruk terhadap gigi mereka tapi dalam
beberapa perawatan kasus penyakit periodontal dapat berhasil.9
Diagnosis periodontitis dan identifikasi individu yang terkena
kadang-kadang menjadi sulit karena tidak ada gejala yang
dilaporkan. Oleh karena itu dianjurkan dokter harus memahami
kerentanan pasien pada periodontitis dengan mengevaluasi eksposur
mereka terhadap faktor risiko yang terkait sehingga deteksi dini dan
manajemen yang tepat dapat dicapai. Kerusakan periodontitis telah
digambarkan sebagai konsekuensi dari interaksi antara faktor
genetik, lingkungan, mikroba dan faktor host.9
2.1.4 Faktor resiko terjadinya Periodontitis Kronis

Periodontitis merupakan penyakit yang disebabkan oleh beberapa


faktor. Faktor utama terjadinya periodontitis adalah terdapatnya
akumulasi plak pada gigi dan gingiva. Ada beberapa faktor yang ikut
berkontribusi dalam peningkatan resiko terjadinya penyakit, antara lain.

- Faktor lokal. Akumulasi plak pada gigi dan gingiva pada


dentogingiva junction merupakan awal inisiasi agen pada etiologi
periodontitis kronis. Bakteri biasanya memberikan efek lokal pada
sel dan jaringan berupa inflamasi.
- Faktor sistemik. Kebanyakan periodontitis kronis terjadi pada pasien
yang memiliki penyakit sistemik yang mempengaruhi keefektivan
respon host. Diabetes merupakan contoh penyakit yang dapat
meningkatkan keganasan penyakit ini.
- Lingkungan dan perilaku merokok dapat meningkatkan keganasan
penyakit ini. Pada perokok, terdapat lebih banyak kehilangan
attachment dan tulang, lebih banyak furkasi dan pendalaman poket.

10
Stres juga dapat meningkatkan prevalensi dan keganasan penyakit
ini.
- Genetik. Biasanya kerusakan periodontal sering terjadi di dalam satu
keluarga, ini kemungkinan menunjukkan adanya faktor genetik yang
mempengaruhi periodontitis kronis ini.9

2.1.4 Karakteristik Periodontitis Kronik

Adanya akumulasi plak pada supragingiva dan subgingiva, inflamasi


gingiva, pembentukan poket, kehilangan periodontal attachment,
kehilangan tulang alveolar, dan kadang-kadang muncul supurasi.9

Pada pasien dengan oral hygiene yang buruk, gingiva membengkak


dan warnanya antara merah pucat hingga magenta. Hilangnya gingiva
stippling dan adanya perubahan topografi pada permukaannya seperti
menjadi tumpul dan rata (cratered 11ertica). Pada banyak pasien
karakteristik umum seringkali tidak terdeteksi, dan inflamasi hanya
terdeteksi dengan adanya pendarahan pada gingiva sebagai respon dari
pemeriksaan poket periodontal.9

Kedalaman poket bervariasi, dan kehilangan tulang secara vertical


maupun horizontal dapat ditemukan. Kegoyangan gigi terkadang
muncul pada kasus yang lanjut dengan adanya perluasan hilangnya
attachment dan hilangnya tulang. Periodontitis kronis dapat didiagnosis
dengan terdeteksinya perubahan inflamasi kronis pada marginal
gingiva, adanya poket periodontal dan hilangnya attachment secara
klinis.9

Gambar 2.2 Perdarahan saat probing dari derajat 1, derajat 2, derajat 3,


hingga derajat 49

11
2.1.5 Patogenesis Periodontitis Kronis
Penyakit periodontal yang disebabkan karena reaksi inflamasi lokal
terhadap infeksi bakteri gigi, dan dimanifestasikan oleh rusaknya
jaringan pendukung gigi. Gingivitis merupakan bentuk dari penyakit
periodontal dimana terjadi inflamasi gingiva, tetapi kerusakan jaringan
ringan dan dapat kembali normal. Periodontitis merupakan respon
inflamasi kronis terhadap bakteri subgingiva, mengakibatkan
kerusakan jaringan periodontal irreversible sehingga dapat berakibat
kehilangan gigi. Pada tahap perkembangan awal, keadaan periodontitis
sering menunjukkan gejala yang tidak dirasakan oleh pasien.9
Periodontitis didiagnosis karena adanya kehilangan perlekatan antara
gigi dan jaringan pendukung (kehilangan perlekatan klinis) ditunjukkan
dengan adanya poket dan pada pemeriksaan radiografis terdapat
penurunan tulang alveolar. Penyebab periodontitis adalah multifaktor,
karena adanya bakteri patogen yang berperan saja tidak cukup
menyebabkan terjadi kelainan. Respon imun dan inflamasi pejamu
terhadap mikroba merupakan hal yang juga penting dalam
perkembangan penyakit periodontal yang destruktif dan juga
dipengaruhi oleh pola hidup, lingkungan dan faktor genetik dari
penderita.9
Pada periodontitis, terdapat plak mikroba negative gram yang
berkolonisasi dalam sulkus gingiva (plak subgingiva) dan memicu
respon inflamasi kronis. Sejalan dengan bertambah matangnya plak,
plak menjadi lebih patogen dan respon inflamasi pejamu berubah dari
keadaan akut menjadi keadaan kronik. Apabila kerusakan jaringan
periodontal, akan ditandai dengan terdapatnya poket. Semakin
dalamnya poket, semakin banyak terdapatnya bakteri subgingiva yang
matang. Hal ini dikarenakan poket yang dalam terlindungi dari
pembersih mekanik (penyikatan gigi) juga terdapat aliran cairan sulkus
gingiva yang lebih konstan pada poket yang dalam dari pada poket yang
diangkat.9

12
2.1.6 Klasifikasi Periodontitis Kronis
1. Periodontitis dewasa kronis
Tipe ini adalah tipe periodontitis yang berjalan lambat, terjadi pada
35 tahun keatas. Kehilangan tulang berkembang lambat dan
didominasi oleh bentuk horizontal. Faktor etiologi utama adalah
faktor lokal terutama bakteri gram negatif. Tidak ditemukan
kelainan sel darah dan disertai kehilangan tulang.

Gambar 2.3 Gambaran klinis periodontitis dewasa kronis9

Gambar 2.4 Gambaran radiografi periodontitis dewasa kronis:


terlihat kehilangan tulang horizontal ringan-sedang dan
terlokalisasi9

2. Early Onset Periodontitis (EOP)


- Periodontitis prepubertas, Tipe ini adalah tipe yang terjadi
setelah erupsi gigi sulung. Terjadi dalam bentuk yang
terlokalisir dan menyeluruh. Tipe ini jarang terjadi dan
penyebarannya tidak begitu luas.
- Periodontitis juvenil (periodontosis), Localised Juvenil
Periodontitis (LJP) adalah penyakit peridontal yang muncul
pada masa pubertas. Gambaran klasik ditandai dengan
kehilangan tulang vertikal yang hebat pada molar pertama tetap,
dan mungkin pada insisif tetap. Biasanya, akumulasi plak

13
sedikit dan mungkin tidak terlihat atau hanya sedikit inflamasi
yang terjadi. Predileksi penyakit lebih banyak pada wanita
dengan perbandingan wanita:pria 3:1. Bakteri yang terlibat pada
tipe ini adalah Actinobacillus actinomycetemcomittans. Bakteri
ini menghasilkan leukotoksin yang bersifat toksis terhadap
leukosit, kolagenase, endotoksin, dan faktor penghambat
fibroblas. Selain bentuk terlokalisir, juga terdapat bentuk
menyeluruh yang mengenai seluruh gigi-geligi.
- Periodontitis yang berkembang cepat adalah penyakit yang
biasanya dimulai sekitar masa pubertas hingga 35 tahun.
Ditandai dengan resorbsi tulang alveolar yang hebat,
mengenai hampir seluruh gigi. Bentuk kehilangan yang
terjadi vertikal atauhorizontal, atau kedua-duanya.
Banyaknya kerusakan tulang nampaknya tidak berkaitan
dengan banyaknya iritan lokal yang ada. Penyakit ini
dikaitkan dengan penyakit sistemik (seperti diabetes
melitus, sindrom down, dan penyakit-penyakit lain), tetapi
dapat juga mengenai individu yang tidak memiliki penyakit
sistemik. Keadaan ini dibagi dalam dua subklas:
a. Tipe A: terjadi antara umur 14-26 tahun. Ditandai
dengan kehilangan tulang dan perlekatan epitel yang
cepat dan menyeluruh.
b. Tipe B: ditandai dengan kehilangan tulang dan
perlekatan epitel yang cepat dan menyeluruh pada usia
antara 26-35 tahun.
c. Nekrosis ulseratif gingivo-periodontitis (NUG-P) adalah
bentuk periodontitis yang biasanya terjadi setelah
episode berulang dari gingivitis ulseratif nekrosis akut
dalam jangka waktu lama, yang tidak dirawat atau
dirawat tetapi tidak tuntas. Pada tipe ini terjadi
kerusakan jaringan di interproksimal, membentuk lesi

14
seperti kawah, baik pada jaringan lunak mapun tulang
alveolar.9
2.1.7 Penatalaksanaan Periodontitis
Sering dijumpai pasien datang ke dokter gigi, dengan kasus yang
dialami telah lanjut, sehingga tidak mungkin menghambat penyakit
tersebut. Keadaan ini merupakan pengalaman yang menyebabkan
trauma bagi pasien usia remaja bila mereka dihadapkan dengan
kenyataan bahwa mereka mempunyai penyakit periodontal dan akan
kehilangan satu atau semua gigi-giginya bila tidak segera dirawat.9
Penyakit periodontal harus ditemukan secepatnya dan dirawat sesegera
mungkin setelah penyebab penyakit itu ditemukan. Tujuan dari
perawatan ini adalah untuk mencegah kerusakan jaringan yang lebih
parah dan kehilangan gigi. Menurut Glickman ada empat tahap yang
dilakukan dalam merawat penyakit periodontal yaitu :
1. Tahap jaringan lunak
Pada tahap ini dilakukan tindakan untuk meredakan inflamasi
gingiva, menghilangkan saku periodontal dan faktor-faktor
penyebabnya. Disamping itu juga untuk mempertahankan kontur
gingiva dan hubungan mukogingiva yang baik. Pemeliharaan
kesehatan jaringan periodontal dapat dilakukan dengan penambalan
lesi karies, koreksi tepi tambalan proksimal yang cacat dan
memelihara jalur ekskursi makanan yang baik.
2. Tahap fungsional
Hubungan oklusal yang optimal adalah hubungan oklusal yang
memberikan stimulasi fungsional yang baik untuk memelihara
kesehatan jaringan periodontal. Untuk mencapai hubungan oklusal
yang optimal, usaha yang perlu dan dapat dilakukan adalah :
occlusal adjustment, pembuatan gigi palsu, perawatan ortodonti,
splinting (bila terdapat gigi yang mobiliti) dan koreksi kebiasaan
jelek (misal bruksim atau clenching).

15
3. Tahap sistemik
Kondisi sistemik memerlukan perhatian khusus pada pelaksanaan
perawatan penyakit periodontal, karena kondisi sistemik dapat
mempengaruhi respon jaringan terhadap perawatan atau
mengganggu pemeliharaan kesehatan jaringan setelah perawatan
selesai. Masalah sistemik memerlukan kerja sama dengan dokter
yang biasa merawat pasien atau merujuk ke dokter spesialis.
4. Tahap pemeliharaan
Masalah sistemik memerlukan kerja sama dengan dokter yang biasa
merawat pasien atau merujuk ke dokter spesialis.9
2.1.8 Terapi Pembedahan pada Periodontitis
1. Flap Surgery
Terapi pembedahan dibutuhkan apabila inflamasi dan poket yang
dalam tetap ditemukan setelah dilakukan perawatan dan pembeian
obat. Spesialis bedah mulut perlu melakukan teknik flap surgery
untuk membuang kotoran yang terkumpul pada poket yang
terbentuk atau untuk mengurangi poket periodontal sehingga
memudahkan dokter gigi dan pasien untuk melakukan perawatan
dan menjaga gigi tetap bersih. Teknik pembedahan yang sering
dilakukan adalah mengangkat gusi dan menyingkirkan kotorannya.
Gusi kemudian dijahit kembali. Setelah tindakan pembedahan, gusi
sembuh dan menjadi lebih sempit sehingga tempat penumpukan
sisa makanan dan plak dapat dihindari.7
2. Bone and Tissue Grafts
Selain tindakan flap surgery, ahli bedah mulut dapat
mempertimbangkan prosedur yang dapat membantu regenerasi
tulang dan jaringan gusi yang rusak akibat periodontitis. Bone
grafting, yaitu pemberian tulang baru atau tulang sintesis paa area
tulang yang hilang, yang dapat merangsang pembentukan tulang
baru.7

16
2.2 Anestesi Umum
2.2.1 Definisi
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara
sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali
atau reversible. Agen anestesi umum bekerja dengan cara menekan
sistem saraf pusat (SSP) secara reversibel. Anestesi umum diperoleh
melalui penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang
ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya
ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap rangsangan atau refleks
dan hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran
(unconsciousness).2
Anestesi umum memungkinkan pasien untuk mentolerir tindakan
pembedahan yang dapat menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang
berpotensi menyebabkan perubahan fisiologis tubuh yang ekstrim, dan
menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Hipnotik atau sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesik: hilangnya respon terhadap nyeri
3. Relaksasi otot2
2.2.2 Pilihan Cara Anestesi
1. Umur
- Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum.
- Pada orang dewasa untuk tindakan singkat dan hanya
dipermudahkan dilakukan dengan anestesi lokal atau umum.
2. Status fisik
- Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Untuk mengetahui
apakah pernah dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat
mengetahui apakah ada komplikasi anestesi dan pasca bedah.
- Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin
dihindari penggunaan anestesi umum.
- Pasien gelisah, tidak kooperatif, atau disorientasi dengan
gangguan jiwa sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.

17
- Pasien obesitas, jika disertai leher pendek dan besar, sering
timbul gangguan sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan
induksi anestesi. Pilihan anestesi adalah regional, spinal, atau
anestesi umum endotrakeal.
3. Posisi pembedahan
- Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi
memerlukan anestesi umum endotrakea untuk menjamin
ventilasi selama pembedahan. Demikian juga pembedahan yang
berlangsung lama.
4. Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah
- Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan
keterampilan dan kebutuhan dokter bedah antara lain teknik
hipotensif untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada
laparotomi, pemakaian adrenalin pada bedah plastik, dan lain-
lain.
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi
6. Keinginan pasien
7. Bahaya kebakaran dan ledakan
- Pemakaian obat anestesi yang tidak mudah terbakar dan tidak
eksplosif adalah pilihan utama pada pembedahan dengan alat
elektrokauter.3
2.2.3 Faktor – faktor yang mempengaruhi Anestesi
1. Faktor respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesi akan masuk ke dalam
paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan
parsial tertentu. Kemudian zat anestesi akan berdifusi melalui
membran alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat difusi zat
anestesi sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan
tekanan parsial dalam arteri pulmonaris.
Hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah:

18
- Konsentrasi zat anestesi yang dihirup atau diinhalasi: makin
tinggi konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat
anestesi dalam alveolus.
- Ventilasi alveolus: makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat
meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya
pada hipoventilasi.
2. Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena. Faktor yang
mempengaruhi:
- Perubahan tekanan parsial zat anestesi yang jenuh dalam alveolus
dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesi diserap
jaringan dan sebagian kembali melalui vena.
- Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi
dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan
keseimbangan. Bila kelarutan zat anestesi dalam darah tinggi/BG
koefisien tinggi maka obat yang berdifusi cepat larut di dalam
darah, sebaliknya obat dengan BG koefisien rendah, maka cepat
terjadi keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya
penderita mudah tertidur waktu induksi dan mudah bangun waktu
anestesi diakhiri.
- Aliran darah yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin
banyak aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesi
yang diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga
induksi lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai tingkat anestesi yang adekuat.
3. Faktor jaringan
- Perbedaan tekanan parsial obat anestesi antara darah arteri dan
jaringan.
- Koefisien partisi jaringan atau darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian
besar zat anestesi kecuali halotan.
- Kecepatan metabolisme obat
- Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:

19
 Jaringan kaya pembuluh darah (otak, jantung, hepar, ginjal).
Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga
tekanan parsial zat anestesi ini meninggi dengan cepat dalam
organ-organ ini. Otak menerima 14% curah jantung.
 Kelompok intermediet (otot skelet dan kulit)
 Jaringan sedikit pembuluh darah
 Relatif tidak ada aliran darah (ligament dan tendon)2
4. Faktor zat anestesi
Bermacam-macam zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda-
beda. Untuk menentukan derajat potensi ini dikenal adanya MAC
(minimal alveolar concentration atau konsentrasi alveolar minimal)
yaitu konsentrasi terendah zat anestesi dalam udara alveolus yang
mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang
rasa sakit. Makin rendah nilai MAC, makin tinggi potensi zat anestesi
tersebut.3
2.2.4 Stadium Anestesi Umum
Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi
anestesi, agar tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa
penderita, tetapi cukup adekuat untuk melakukan operasi. Kedalaman
anestesi dinilai berdasarkan tanda klinik yang didapat. Guedel membagi
kedalaman anestesi menjadi 4 stadium, yaitu:
1) Stadium I
Disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi.
Dimulai sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada
stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat
analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan,
seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada
stadium ini.
2) Stadium II
Disebut juga stadium delirium atau stadium exitasi. Dimulai
dari hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Pada stadium ini
terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak,

20
pasien tertawa, berteriak, menangis, menyanyi, pernapasan tidak
teratur, kadang-kadang apne dan hiperpnu, tonus otot rangka
meningkat, inkontinensia urin dan alvi, muntah, midriasis, hipertensi
serta takikardia. Stadium ini membahayakan penderita, karena itu
harus segera diakhiri. Keadaan ini bisa dikurangi dengan
memberikan premedikasi yang adekuat, persiapan psikologi
penderita dan induksi yang halus dan tepat.
3) Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya
pernapasan sampai pernapasan spontan hilang. StadiumIII dibagi
menjadi 4 plana yaitu:
 Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang,
terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak pupil
miosis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring
dan muntah tidak ada dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang
sempurna (tonus otot mulai menurun).
 Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak,
terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai
menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga
dapat dikerjakan intubasi.
 Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal
mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral,
refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik
hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
 Plana 4: Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal
paralisis total, pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang,
refleks sfingterani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot
lurik sempurna (tonus otot sangat menurun).
4) Stadium lV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan
melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada

21
stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut jantung berhenti,
dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada
stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.4
2.2.5 Tahapan Tindakan Anestesi Umum
1. Penilaian dan persiapan pra-anestesi
Persiapan pra-bedah yang kurang memadai merupakan faktor
terjadinya kecelakaan dalam anestesi. Sebelum pasien dibedah
sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga
pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari
kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan
operasi, mengurangi biaya operasi, dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan.
a) Penilaian pra-bedah
- Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada
hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus misalnya alergi,
mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal, atau sesak napas pasca
bedah sehingga dapat dirancang anestesi berikutnya dengan
baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang dapat
menimbulkan masalah di masa lalu sebaiknya jangan
digunakan ulang misalnya halotan jangan digunakan ulang
dalam waktu 3 bulan atau suksinilkolin yang menimbulkan
apnea berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan
merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya.
- Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, atau lidah
relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan
menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan
kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum

22
tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi,
dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
- Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium dilakukan atas indikasi yang tepat sesuai
dengan dugaan penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa perdarahan,
dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas
50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
- Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar. Sebaliknya
pada operasi sito, penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran
fisik seseorang adalah yang berasal dari The American Society
of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat
perkiraan risiko anestesi karena efek samping anestesi tidak
dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan.
 Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik,
biokimia.
 Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau
sedang.
 Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga
aktivitas rutin terbatas.
 Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tidak
dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya
merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
 Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau
tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf
E.

23
- Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi.
Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan
napas merupakan risiko utama pada pasien yang menjalani
anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien
yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode
tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa
umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan pada bayi 3-
4 jam. Makanan tidak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anestesi. Minuman air putih, teh manis sampai 3 jam,
dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah
terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.2
b) Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah
dilakukan premedikasiyaitu pemberian obat sebelum induksi
anestesi diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan, dan bangun dari anestesi di antaranya:
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
- Menghilangkan rasa khawatir melalui:
 Kunjungan pre-anestesi.
 Pengertian masalah yang dihadapi.
 Keyakinan akan keberhasilan operasi.
- Memberikan ketenangan (sedatif).
- Membuat amnesia.
- Mengurangi rasa sakit (analgesik non-narkotik atau
narkotik).
- Mencegah mual dan muntah.
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.

24
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah atau
liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
Pemberian antikolinergik atropin, primperan, rantin, atau H2
antagonis.
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam,
secara intramuskuler minimum harus ditunggu 40 menit. Pada
kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan
yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara intravena. Obat
akan sangat efektif sebelum induksi. Jika pembedahan belum
dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian premedikasi
intramuskuler, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat
premedikasi jika diberikan secara intravena dapat menyebabkan
sedikit hipotensi kecuali atropin dan hiosin. Hal ini dapat
dikurangi dengan pemberian secara perlahan-lahan dan
diencerkan.
Obat-obat yang sering digunakan:
1) Analgesik narkotik
a) Petidin (amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b) Morfin (amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
c) Fentanyl (fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3μgr/kgBB
2) Hipnotik
a) Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b) Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
3) Sedatif
a) Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1
mg/kgBB
b) Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg), dosis
0,1mg/kgBB
c) Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5
mg/kgBB

25
d) Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1
mg/kgBB
4) Antikolinergik
a) Sulfas atropin (antikolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg), dosis
0,001 mg/kgBB
5) Neuroleptik
a) Droperidol, dosis 0,1 mg/kgBB2
2. Induksi anestesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidaksadar sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Induksidapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,
intramuskuler, atau rektal. Setelahpasien tidur akibat induksi
anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaananestesi sampai
tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S: Scope -Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringoskop pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia
pasien. Lampu harus cukup terang.
T: Tube - Pipa trakea pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A: Airway - Pipa mulut faring (guedel, oro-tracheal airway) atau
pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah
tidak menyumbat jalan napas.
T: Tape - Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I: Introducer - Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik
(kabel)yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.
C : Connector - Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
S : Suction - penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya.

26
Macam-macam induksi pada anestesi umum yaitu:
a. Induksi intravena
 Paling banyak dikerjakan. Indikasi intravena dikerjakan
dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat
induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik.
Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan
darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan
pada pasien yang kooperatif.
 Obat-obat induksi intravena:
- Tiophental (pentothal, tiophenton)
Sediaan ampul 500 mg atau 1000 mg. Sebelum digunakan
dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% (1
ml = 25 mg). Hanya digunakan untuk intravena dengan
dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan
dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan kecepatan
suntikan tiophental akan menyebabkan pasien berada dalam
keadaan sedasi, hipnosis, anestesi, atau depresi napas.
Tiophental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor,
tekanan intrakranial, dan diduga dapat melindungi otak
akibat kekurangan O2. Dosis rendah bersifat anti-analgesik.
Kontra Indikasi:
1) Anak-anak di bawah 4 tahun
2) Shock , anemia, uremia dan penderita-penderita yang
lemah
3) Gangguan pernafasan: asthma, sesak nafas, infeksi
mulut dan saluran nafas
4) Penyakit jantung
5) Penyakit hati
6) Penderita yang terlalu gemuk sehingga sukar untuk
menemukan vena yang baik.

27
- Propofol (diprivan, recofol)
Propofol ( 2,6 – diisopropylphenol ) merupakan derivat
fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena.
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu
bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg).
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2
mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg,
dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12
mg/kg/jam, dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2
mg/kg. Pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%.
Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita
hamil. Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang
diketahui, tapi diperkirakan efek primernya berlangsung di
reseptor GABA – A (Gamma Amino Butired Acid).
- Ketamin (ketalar)
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil
sikloheksilamin, merupakan “rapid acting non barbiturate
general anesthesia”.Kurang digemari karena sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri
kepala, serta pasca anestesi dapat timbul mual-muntah,
pandangan kabur, dan mimpi buruk. Sebelum pemberian
sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau
diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan
untuk mengurangi salivasi diberikan sulfas atropin 0,01
mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuskuler 3-
10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan
1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% (1 ml = 100
mg).
- Opioid (morfin, petidin, fentanyl, sufentanyl)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskuler
sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan

28
kelainan jantung. Untuk anestesi opioid digunakan fentanyl
dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit.
b. Induksi intramuskuler
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuskuler dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5
menit pasien tidur.
c. Induksi inhalasi
- N2O(gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida)
Berbentuk gas, tidak berwarna, bau manis, tidak iritasi, tidak
terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus
disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah dan
analgesi kuat sehingga sering digunakan untuk mengurangi
nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang
digunakan tunggal, sering dikombinasi dengan salah satu
cairan anastetik lain seperti halotan.
- Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil, dan sebelum tindakan
diberikan analgesik semprot lidokain 4% atau 10% sekitar
faring-laring. Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2
atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2
> 4 ltr/mnt atau campuran N2O:O2 = 3:1. Aliran > 4 ltr/mnt.
Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan, untuk
kemudian kalau sudah tenang dinaikan lagi sampai konsentrasi
yang diperlukan. Kelebihan dosis dapat menyebabkan depresi
napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi,
bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi
miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan
analgesik lemah tetapi anestesi kuat. Halotan menghambat
pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.

29
- Enfluran
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran
lebih iritatif disbanding halotan. Depresi sirkulasi lebih kuat
dibanding halotan tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia.
Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan.
- Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal sehingga digemari
untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada
pasien dengan gangguan koroner.
- Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%)
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan
hipertensi. Efek depresi napas seperti isofluran dan etran.
Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk
induksi anestesi.
- Sevofluran (ultane)
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien
jarang batuk walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi
tinggi sampai 8 vol %. Induksi dan pulih dari anestesi lebih
cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi
anestesi inhalasi di samping halotan.
d. Induksi per rektal
Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah dan
selanjutnya sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan
diagnostic (katerisasi jantung, roentgen foto, pemeriksaan mata,
telinga, oesophagoscopi, penyinaran dsb) terutama pada bayi-

30
bayi dan anak kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose dengan
inhalasi pada bayi dan anak-anak.
Syaratnya adalah:
1. Rectum betul-betul kosong
2. Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.
Obat-obat yang digunakan:
- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB
- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB3
3. Rumatan anestesi (maintenance)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total), dengan
inhalasi, atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi
mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar
tidak sadar, analgesik cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah
tidak menimbulkan nyeri, dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanyl 10-50 μg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien
tidur dengan analgesik cukup sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid
dosis biasa tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena,
pelumpuh otot, dan ventilator. Untuk mengembangkan paru
digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan
inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan
perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4%
atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah
pasien bernapas spontan, dibantu, atau dikendalikan.4
4. Tatalaksana jalan napas
Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:
 Hidung menuju nasofaring
 Mulut menuju orofaring
Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum
durum dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di

31
hipofaring. Hipofaring menuju esofagus dan laring dipisahkan
oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring terdiri dari tulang rawan
tiroid, krikoid, epiglottis, dan sepasang aritenoid, kornikulata, dan
kuneiform.
1. Manuver tripel jalan napas
Terdiri dari:
- Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital
- Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus
mandibula
- Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan
napas bebas sehingga gas atau udara lancer masuk ke trakea
lewat hidung atau mulut.
2. Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil maka dapat dipasang
jalan napas mulut faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway)
atau jalan napas lewat hidung (naso-pharyngeal airway).
3. Sungkup muka
Mengantar udara atau gas anestesi dari alat resusitasi atau
sistem anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat
sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk bernapas
spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk
semua ke trakea lewat mulut atau hidung.
4. Sungkup laring (laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa
besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang
pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada
pipa trakea. Tangkainya dapat berupa pipa keras dari polivinil
atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
- Sungkup laring standar dengan 1 pipa napas.

32
- Sungkup laring dengan 2 pipa yaitu 1 pipa napas standar
dan lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya
berhubungan dengan esofagus.
5. Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya
dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat
dimasukan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui
hidung (nasotracheal tube).
6. Laringoskopi
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru.
Laringoskop merupakan alat yang digunakan untuk melihat
laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa
trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal 2
macam laringoskop:
- Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-
dewasa.
- Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut
terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut
Mallampati dibagi menjadi 4 gradasi.
7. Intubasi
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke
dalam trakea melalui rima glotis sehingga ujung distalnya
berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan
bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya
digolongkan sebagai berikut:
a. Menjaga potensi jalan napas oleh sebab apapun
Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus,
pembersihan sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
b. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi memungkinkan penggunaan
relaksan dengan efisien, dan ventilasi jangka panjang.

33
c. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Adapun prosedur dalam pelaksanaan intubasi meliputi:
1. Persiapan
- Persiapan alat yang dibutuhkan seperti: laringoskop,
ETT, stilet, dan lain-lain.
- Masih siap pakai atau alat bantu napas.
- Obat induksi seperti: pentotal, ketalar, diprivan, dan
lain-lain.
- Obat pelumpuh otot seperti: suksinil kolin, atrakurium,
pavulon, dan lain-lain.
- Obat darurat seperti: adrenalin (efinefrin), SA, mielon,
dan lain-lain.
2. Tindakan
- Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap.
- Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi
(+).
- Jika fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama
kira-kira 1 menit.
- Batang laringoskop dipegang dengan tangan kiri, tangan
kanan mendorong kepala sedikit ekstensi → mulut
membuka.
- Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah
kanan, sedikit demi sedikit, menyelusuri kanan lidah,
dan menggeser lidah ke kiri.
- Cari epiglotis → tempatkan bilah di depan epiglotis
(pada bilah bengkok) atau angkat epiglotis (pada bilah
lurus).
- Cari rima glotis (dapat dengan bantuan asisten dengan
menekan trakea dar luar).
- Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya
merah.
- Masukan ETT melalui rima glotis.

34
- Hubungkan pangkal ETT dengan mesin anestesi dan
atau alat bantu napas (alat resusitasi)
Adapun kesulitan dalam intubasi yaitu:
- Leher pendek berotot
- Mandibula menonjol
- Maksila atau gigi depan menonjol
- Uvula tidak terlihat
- Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
- Gerak vertebra servikal terbatas
Adapun komplikasi pada intubasi yaitu:
1. Selama intubasi
- Trauma gigi geligi
- Laserasi bibir, gusi, laring
- Merangsang saraf simpatis
- Intubasi bronkus
- Intubasi esofagus
- Aspirasi
- Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
- Spasme laring
- Aspirasi
- Gangguan fonasi
- Edema glotis-subglotis
- Infeksi laring, faring, trakea
Sedangkan untuk pelaksanaan ekstubasi harus memperhatikan
hal-hal berikut ini:
1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar jika:
- Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
- Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah
ringan dengan catatan tidak akan terjadi spasme laring.

35
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring
dari sekret dan cairan lainnya.
5. Pasca anestesi
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi
terutama yang menggunakan anestesi umum maka perlu melakukan
penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah
dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu diobservasi di ruang
recovery room (RR).
a. Aldrete score
Nilai warna
 Merah muda 2
 Pucat 1
 Sianosis 0
Pernapasan
 Dapat bernapas dalam dan batuk 2
 Dangkal tetapi pertukaran udara adekuat 1
 Apnea atau obstruksi 0
Sirkulasi
 Tekanan darah menyimpang < 20% dari normal 2
 Tekanan darah menyimpang 20-50% dari normal 1
 Tekanan darah menyimpang > 50% dari normal 0
Kesadaran
 Sadar, siaga, dan orientasi 2
 Bangun tetapi cepat kembali tertidur 1
 Tidak berespons 0
Aktivitas
 Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2
 Dua ekstremitas dapat digerakkan 1
 Tidak bergerak 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.

36
b. Steward score (anak-anak)
Pergerakan
 Gerak bertujuan 2
 Gerak tak bertujuan 1
 Tidak bergerak 0
Pernapasan
 Batuk, menangis 2
 Pertahankan jalan napas 1
 Perlu bantuan 0
Kesadaran
 Menangis 2
 Bereaksi terhadap rangsangan 1
 Tidak bereaksi 0
Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.
6. Mesin dan Peralatan Anestesi
Fungsi mesin anestesia (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau
campuran gas anestetik yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik
yang kemudian dihisap oleh pasien dan membuang sisa campuran
gas dari pasien.Rangkaian mesin anestesia sangat banyak ragamnya,
mulai dari yang sangat sederhana sampai yang diatur oleh komputer.
Mesin yang aman dan ideal ialah mesin yang memenuhi persyaratan
berikut:
- Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat
- Ruang rugi (dead space) minimal
- Mengeluarkan CO2 dengan efisien
- Bertekanan rendah
- Kelembaban terjaga dengan baik
- Penggunaannya sangat mudah dan aman
Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari :
- Sumber O2, N2O dan udara tekan
- Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)
- Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve)

37
- Meteran aliran gas (flow meter)
- Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers)
- Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)
- Lubang O2 darurat (oxygen flush control)
Berdasarkan sistim aliran udara pernapasan dalam rangkaian alat
anestesi, anestesi dibedakan menjadi 4 sistem, yaitu : Open, semi
open, closed, dan semi closed:
a. Sistem open adalah sistem yang paling sederhana. Di sini tidak
ada hubungan fisik secara langsung antara jalan napas penderita
dengan alat anestesi. Karena itu tidak menimbulkan peningkatan
tahanan respirasi. Di sini udara ekspirasi babas keluar menuju
udara bebas. Kekurangan sistem ini adalah boros obat anestesi,
menimbulkan polusi obat anestesi di kamar operasi, bila memakai
obat yang mudah terbakar maka akan meningkatkan resiko
terjadinya kebakaran di kamar operasi, hilangnya kelembaban
respirasi, kedalaman anestesi tidak stabil dan tidak dapat
dilakukan respirasi kendali.
b. Dalam sistem semi open alat anestesi dilengkapi dengan reservoir
bag selain reservoir bag, ada pula yang masih ditambah dengan
klep 1 arah, yang mengarahkan udara ekspirasi keluar, klep ini
disebut non rebreating valve. Dalam sistem ini tingkat keborosan
dan polusi kamar operasi lebih rendah dibanding sistem open.
c. Dalam sistem semi closed, udara ekspirasi yang mengandung gas
anestesi dan oksigen lebih sedikit dibanding udara inspirasi, tetapi
mengandung CO2 yang lebih tinggi, dialirkan menuju tabung
yang berisi sodalime, disini CO2 akan diikat oleh sodalime.
Selanjutnya udara ini digabungkan dengan campuran gas anestesi
dan oksigen dari sumber gas ( FGF /Fresh Gas Flow) untuk
diinspirasi kembali. Kelebihan aliran gas dikeluarkan melalui
klep over flow. Karena udara ekspirasi diinspirasi lagi, maka
pemakaian obat anestesi dan oksigen dapat dihemat dan kurang
menimbulkan polusi kamar operasi.

38
d. Dalam sistem closed prinsip sama dengan semi closed, tetapi
disini tidak ada udara yang keluar dari sistem anestesi menuju
udara bebas. Penambahan oksigen dan gas anestesi harus
diperhitungkan, agar tidak kurang sehingga menimbulkan
hipoksia dan anestesi kurang adekuat, tetapi juga tidak
berlebihan, karena pemberian yang berlebihan bisa berakibat
tekanan makin meninggi sehingga. menimbulkan pecahnya
alveoli paru. Sistem ini adalah sistem yang paling hemat obat
anestesi dan tidak menimbulkan polusi. Pada sistem closed dan
semiclosed juga disebut system rebreathing, karena udara
ekspirasi diinspirasi kembali, sistem ini juga perlu sodalime untuk
membersihkan CO2. Pada system open dan semi open juga
disebut sistem nonrebreathing karena tidak ada udara ekspirasi
yang diinspirasi kembali, sistem ini tidak perlu sodalime. Untuk
menjaga agar pada sistem semi open tidak terjadi rebreathing,
aliran campuran gas anestesi dan oksigen harus cepat, biasanya
diberikan antara 2 – 3 kali menit volume respirasi penderita.
7. Kontraindikasi Anestesi Umum
Adapun kontraindikasi dalam anestesi umum meliputi:
- Mutlak: dekompensasio kordis derajat III-IV dan AV blok derajat
II total (tidak ada gelombang P).
- Relatif: hipertensi berat atau tidak terkontrol (diastolik >110
mmHg), diabetes melitus tidak terkontrol, infeksi akut, sepsis,
dan glomerulonefritis akut.
Kontraindikasi mutlak ialah pasien sama sekali tidak boleh diberikan
anestesi umum sebab akan menyebabkan kematian, apakah kematian
DOT (death on the table) meninggal di meja operasi atau selain itu.
Kemudian kontraindikasi relatif ialah pada saat itu tidak bisa
dilakukan anestesi umum tetapi melihat perbaikan kondisi pasien
hingga stabil mungkin baru bisa diberikan anestesi umum.

39
2.3 Anestesi pada pasien Anemia
Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih parameter sel darah
merah: konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah
(hemoglobin <10 g/dl , hematokrit <30 % , dan eritrosit < 2,8juta/mm3).
Secara fisiologis, anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah
hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke jaringan sehingga tubuh akan
mengalami hipoksia. Anemia merupakan gejala dan tanda penyakit tertentu
yang harus dicari penyebabnya agar dapat diterapi dengan tepat. Anemia
dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme independen yaitu
berkurangnya produksi sel darah merah, meningkatnya destruksi sel darah
merah dan kehilangan darah.10

Kriteria anemia menurut WHO adalah 11:

1. Laki-laki dewasa : Hb < 13 g/dl


2. Wanita dewasa tidak hamil : Hb < 12 g/dl
3. Wanita hamil : Hb < 11 g/dl
4. Anak umur 6-14 tahun : Hb < 12 g/dl
5. Anak umur 6 bulan – 6 tahun : Hb < 11 g/dl
Derajat anemia berdasarkan kadar hemoglobin menurut WHO adalah11 :
1. Ringan sekali : Hb 10 g/dl-batas normal
2. Ringan : Hb 8 g/dl-9,9 g/dl
3. Sedang : Hb 6 g/dl-7,9 g/dl
4. Berat : Hb < 6 g/dl

Anemia dapat mengakibatkan transport oksigen oleh haemoglobin akan


berkurang. Hal ini berarti untuk mencukupi kebutuhan oksigen jaringan,
jantung harus memompa darah lebih banyak sehingga timbul takikardi,
murmur, dan kadang timbul gagal jantung pada pasien dengan anemia. Peran
anestesi adalah memastikan bahwa organ vital menerima oksigen yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme, selama prosedur bedah
berlangsung. Penentu transport oksigen termasuk di antaranya ialah
pertukaran gas di pulmo, afinitas Hb-O2, konsentrasi total Hb, dan cardiac
output. Seluruhnya bekerja dalam satu sistem dan menyediakan kapasitas

40
oksigen yang adekuat. Apabila ada penurunan pada satu komponen di atas,
maka menyebabkan komponen lain terpengaruh. Dari komponen tersebut,
haemoglobin mempunyai kemungkinan terbesar untuk dimanipulasi sehingga
dapat meningkatkan transport oksigen.11

Setelah mengalami proses ventilasi, perfusi dan difusi oksigen akan


ditransportasikan dari sirkulasi pulmoner ke seluruh jaringan tubuh secara
fisik terlarut dalam plasma dan secara kimia terikat dengan haemoglobin.
Satu molekul hemoglobin dapat mengikat 4 molekul oksigen dan bentuk
ikatan tersebut adalah reversibel dan berlangsung sangat cepat sekitar 0,01
detik. Kebanyakan oksigen ditransportasi secara kimiawi.11
Oksigenasi jaringan yang adekuat tidak tergantung pada kadar
haemoglobin normal saja. Perdarahan intraoperative utamanya digantikan
dengan cairan bebas eritrosit seperti cairan kristaloid atau koloid (Ringer
Laktat, Dextran, Hydroxyethyl Starch, gelatine). Selama keadaan
normovolemia tercapai, keadaan anemia dilusi dan penurunan kadar
oksigen arterial (CaO2) akan terkompensasi tanpa timbulnya risiko
hipoksia jaringan, melalui peningkatan cardiac output. Reduksi progresif
dari CaO2 akan menurunkan delivery oksigen pada jaringan (DO2). 11
Pada keadaan hemodilusi yang ekstrim (ketika sudah melewati
DO2 crit), jumlah oksigen yang sudah dihantarkan ke jaringan menjadi
tidak sesuai dengan permintaan oksigen dari jaringan, sebagai
konsekuensinya, VO2 mulai turun. Penurunan VO2 harus
diinterpretasikan sebagai tanda indirek dari manifestasi hipoksia jaringan.
Tanpa penanganan, keadaan DO2 crit akan menyebabkan kematian dalam
waktu kurang dari 3 jam.11

Faktor yang mempengaruhi pengangkutan oksigen antara lain: 11


1. Volume Darah
Komponen utama untuk kompensasi efektif adalah normovolemia.
Selama hipovolemia permintaan oksigen seluruh tubuh meningkat
karena release katekolamin dan hormons stress lain dibandingakan
dengan bila normovolemia.

41
2. Kedalaman Anestesi
Pada dosis tinggi, kebanyakan anestesi menurunkan cardiac output
selama hemodilusi dan menurunkan toleransi anemia.
3. Pelemas Otot (muscle relaxant)
Otot rangka mempunyai masa tubuh ⅓ dari total, sehingga relaksasi
muscular dapat secara efektif menurunkan permintaan oksigen dan
meningkatkan toleransi anemia.
4. Temperature Tubuh
Pada studi model didapatkan hipotermia meningkatkan toleransi
anemia karena penurunan permintaan oksigen tubuh.
5. Performa Miokard
Pasien dengan coronary artery disease, gagal jantung kongestif,
konsumsi obat-obatan cardiodepresan, akan menyebabkan penurunan
toleransi anemia.

Identifikasi DO2 crit dapat dilakukan dengan11:

1. Pulmonary Artery catheter


2. Metabolic monitoring
3. ECG (perubahan segmen ST) dan Trans Esophageal
Echocardiography (TEE) (perubahan pergerakan dinding regional)

Apabila didapatkan perdarahan massif, dapat dilakukan transfusi


perioperatif. Transfusi sel darah merah perioperatif jarang diindikasikan
pada pasien dengan Hb > 10 g/dl, namun hampir selalu diindikasikan pada
pasien dengan Hb < 6 g/dl. Pada pasien dengan risiko kardiovaskular,
konsentrasi Hb perioperatif harus dijaga antara 8 – 10 g/dl.11

Setiap keputusan transfusi harus berdasarkan:

1. Konsentrasi Hb actual
2. Adanya komorbiditas penyakit kardiopulmonar
3. Penampakan keadaan anemia secara fisik
4. Dinamika perdarahan11

42
Komponen darah yang dipakai adalah Packed Red Cell (PRC).
Dapat meningkatkan 1.1 g/dl per unit, pada pasien dewasa dengan BB 70
kg. Pada perdarahan akut tanpa resusitasi cairan, akan membutuhkan
waktu beberapa jam untuk meningkatnya Hb. Pada situasi terkontrol
(cairan hilang digantikan dengan kristalloid / koloid sehingga dicapai
keadaan normovolemia), satu unit PRC dapat menyeimbangkan Hb dalam
waktu yang cepat (kurang dari 15 menit).11

Guideline transfusi darah CBO, 2005:


1. Mempertimbangkan transfusi darah kerika Hb < 6.4 g/dl :
a. Perdarahan akut pada pasien ASA 1 dengan usia < 60 tahun
b. Individu sehat dengan anemia kronis asimptomatik
2. Mempertimbangkan transfusi darah ketika Hb < 8 g/dl:
a. Perdarahan akut pada individu sehat (ASA 1) dengan usia > 60
tahun
b. Perdarahan akut pada keadaan multitrauma
c. Prediksi perdarahan perioperatif > 500 cc
d. Pasien dengan demam
e. Pasien ASA 2 dan ASA 3 dengan operasi tanpa resiko komplikasi
3. Mempertimbangkan transfusi darah ketika Hb < 10 g/dl
a. Pasien ASA 4
b. Pasien dengan penyakit gagal jantung, penyakit katup jantung
c. Pasien sepsis
d. Pasien dengan penyakit paru parah
e. Pasien dengan simptomatik cerebrovaskular disease11

Penanganan preoperatif yang perlu diperhatikan pada pasien dengan


anemia adalah :
1. Dari anamnesis perlu digali adanya riwayat perdarahan atau penyakit
yang menyebabkan anemia atau yang dapat memperburuk keadaan
saat operasi.

43
2. Penyakit yang akan di operasi apakah berkaitan dengan anemia atau
dapat memperburuk anemia sehingga perlu dipersiapkan transfusi
darah pre atau post operasi.
3. Keadaan klinis pasien.
4. Kadar Hb pasien.
5. Adanya perdarahan

Monitoring peri operatif yang perlu diperhatikan pada pasien anemia :


1. Monitoring kardiovaskular
2. Monitoring respirasi
3. Monitoring blokade neuromuskuler dan sistem saraf
Stimulasi saraf dapat dilakukan untuk mengetahui apakah relaksasi
otot sudah cukup baik saat operasi, dan apakah tonus otot kembali
normal setelah selesai anestesia.
4. Monitoring suhu
Monitoring suhu penting dilakukan untuk operasi lama atau pada bayi
dan anak kecil
5. Monitoring ginjal
Produksi urine normal minimal 0,5 – 1,0 ml/kgBB/jam dimonitor pada
bedah lama dan sangat bermanfaat untuk menghindari retensi urin
atau distensi vesica urinaria.11

44
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama Pasien : Ny. YG


Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 28 tahun
BB : 53 kg
Alamat : Polimak
Suku : Papua
Agama : Kristen Protestan
No. DM : 18 82 02
Tanggal MRS : 18 September 2017
Tanggal Operasi : 19 September 2017
Status Pernikahan : Sudah menikah
Pekerjaan : PNS
3.2 Anamnesa

a. Keluhan Utama :
Nyeri pada gusi
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poliklinik Gigi dan Mulut dengan keluhan nyeri pada
gusi sejak 1 minggu SMRS. Nyeri dirasakan pada gusi atas dan bawah
selama 1 tahun belakangan ini, namun intensitasnya semakin parah sejak
1 minggu terakhir. Nyeri hilang timbul terasa nyeri terutama saat pasien
mengkonsumsi makanan yang terlalu panas atau terlalu dingin. Pasien
tidak mampu makan makanan yang terlalu keras karena akan terasa ngilu.
Gusi membengkak sejak 1 minggu namun bengkak mulai turun setelah
diberikan antibiotik. Bau tidak sedap dari mulut (+), gusi mudah berdarah
(+). Pasien memiliki riwayat gigi berlubang sejak pasien di bangku SMP.
Gigi geraham atas dan bawah mulai berlubang, namun pasien tidak
memeriksakan keadaannya ke dokter gigi sehingga perlahan – lahan gigi
yang berlubang semakin banyak, gigi mulai goyang, dan akhirnya pecah

45
– pecah. Pasien mengaku jarang sikat gigi dan senang mengkonsumsi
makanan yang manis-manis.
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat keluhan yang sama (+) sejak pasien berusia 14 tahun

Riwayat hipertensi : Disangkal

Riwayat sakit jantung : Disangkal

Riwayat diabetes mellitus : Disangkal

Riwayat sakit maag : Disangkal

Riwayat asma : Disangkal

Riwayat operasi sebelumnya : Disangkal

Riwayat anestesi : Disangkal

d. Riwayat Penyakit keluarga:


Dalam keluarga pasien, tidak ada yang mengalami keluhan seperti pasien.

Riwayat hipertensi : Disangkal

Riwayat sakit jantung : Disangkal

Riwayat diabetes mellitus : Disangkal

Riwayat sakit maag : Disangkal

Riwayat asma : Disangkal

e. Riwayat Alergi

Riwayat alergi obat : Disangkal

Riwayat alergi makanan : Disangkal

46
f. Riwayat Kebiasaan
Pasien mengaku memiliki kebiasaan jarang menggosok gigi dan senang
mengkonsumsi makanan yang manis – manis.
3.3 Pemeriksaan Fisik
A. Tanda – tanda vital (Pemeriksaan tanggal 18 September 2017)
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Tanda-tanda Vital :
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Nadi : 80 x/m
 Respirasi : 20 x/m
 Suhu badan : 36,5 C
 Saturasi Oksigen : 99 %

B. Status Generalisata

Kepala : Wajah pucat (-), Konjungtiva anemis (-/-),


Sklera ikterik (-/-), pupil isokor diameter 3
mm, refleks cahaya (+/+), bibir lembab, T1 =
T1, faring hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Trakea normal di
tengah, Pembesaran tiroid (-)
Thoraks : Paru
I : Simetris, tidak ada bekas
luka/scars/sikatriks, ikut gerak
napas, retraksi (-)
P : v/f (Dextra = Sinistra)
P : Sonor seluruh lapang paru
A : Suara napas vesikuler, Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
Jantung
I : Ictus cordi tidak tampak

47
P : Thrill tidak teraba
P : Pekak
A : Bunyi jantung I – II regular, gallop
(-), murmur (-)
Abdomen : I : Datar
A : Bising usus (+) normal : 2 – 3x/15 detik
P : Supel, Nyeri tekan (-), Hepar : tidak teraba
membesar Lien : tidak teraba membesar
P : Timpani
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2”; Edema (-/-), anemis
(-/-), ikterik (-/-),sianosis (-/-)
Vegetatif : Makan / minum : baik/ baik
BAB / BAK : lancar / baik berwarna kuning
cerah
C. Status Lokalis
Ekstra oral : Tidak ada kelainan

Intra oral : Inspeksi : tampak sisa akar gigi,


bengkak (-), kemerahan (-)
Palpasi : Nyeri tekan (+)
Perkusi : nyeri ketok (+)

3.4 Pemeriksaan Penunjang

PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN


(18-09-2017)
HGB 10,5 (g/dL) L : 13,5-16,6
P : 11,0-14,7
WBC 8,58 (10^3/µL) 4,8-10,8
PLT 349 (10^3/µL) 150-450
GDS 96 mg/dL 75-115
Kalium 3,7 mEq/L 3,5-5,3

48
Natrium 142 mEq/L 135-148
Klorida 107 mEq/L 98-106
AST 10,8 U/L < 40,0 U/L
ALT 14,4 U/L < 41,0 U/L
UREUM 10,7 mg/dL 7,0 – 18,0 mg/dL
CREA 0,48 mg/dL < 0,95 mg/dL
CT 9’00” IVY : 1-7
BT 2’30” IVY : 1-6 Duke : 1-3
1. Pemeriksaan Darah Lengkap dan Kimia Lengkap

3.5 Status Anestesi Pra Operasi


B1 Airway bebas, Mallampati score: I; gigi tanggal (-); gigi goyang (+)
Breathing: thorax simetris, ikut gerak napas, RR:20 x/m, palpasi:
Vocal Fremitus D=S, perkusi: sonor, suara napas vesikuler+/+,
ronkhi-/-, wheezing -/-

49
B2 Perfusi: hangat, kering, merah. Capilary Refill Time < 2 detik, BJ: I-
II regular, murmur (-) gallop (-) Nadi : 80 x/m; TD: 110/70 mmHg

B3 Kesadaran Compos Mentis, GCS: (E4V5M6), riwayat kejang (-),


riwayat pingsan (-)

B4 Tidak Terpasang DC, produksi urin pre op (+), warna kuning jernih;
Ureum: 10,7mg/dL; Creatinin: 0,48 mg/dL
B5 Simetris, Datar, BU 2-3x/15 Detik ; Hepar/Lien: tidak teraba/tidak
teraba ; Nyeri Ketok (-), Nyeri Tekan (-); ALT; 14,4 U/L; AST:
10,8 U/L; GDS : 96 mg/dl

B6 Akral hangat (+), edema (-), fraktur (-), deformitas (-)

3.6 Penentuan PS ASA


PS ASA : II
Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang. Pasien dalam kasus ini
memiliki co-morbid yaitu anemia ringan (Hb 10,1gr/dL).

3.7 Persiapan Pre Anestesi


 Informed consent / SIO (+)
 Laboratorium : DL, CT/BT (+)
 Siap darah WB  1 - 2 bag
 Puasa mulai jam 24.00 WIT
 IVFD RL ; terpasang abocath 18 G, 20 tpm makro
PS-ASA : II  Co Morbid : Anemia (Hb 10,8 gr/dL)

SIO : (+) sudah dilakukan

Hari/Tgl : Selasa, 19 September 2017

Diagnosa Pra Bedah : Periodontitis kronik 6543 34568

8 8

Diagnosa Pasca Bedah : 6543 34568

50
Post removal of teeth 8 8

Keadaan Pra Bedah


- Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
- Makan terakhir : 10 jam yang lalu
- TB/BB : 164 cm / 63 kg
- TTV : TD 110/70 mmHg, DN 80 x/m, RR 20 x/m, SB 36,5˚C
- SpO2 : 100%

B1 : Airway bebas, Mallampati score: I; gigi tanggal (-),


gigi goyang (+)
Breathing: thorax simetris, ikut gerak napas, RR:20
x/m, palpasi: Vocal Fremitus D=S, perkusi: sonor,
suara napas vesikuler+/+, ronkhi-/-, wheezing -/-

B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilary Refill Time <


2 detik, BJ: I-II regular, murmur (-) gallop (-) Nadi : 80
x/m; TD: 110/70 mmHg

B3 : Kesadaran Compos Mentis, GCS: (E4V5M6), riwayat


kejang (-), riwayat pingsan (-)

B4 : Tidak Terpasang DC, produksi urin pre operasi (+),


warna kuning jernih
Ureum 10,7 mg/dl, Creatinin 0,48 mg/dL

B5 : Simetris, Datar, BU 2-3x/15 Detik ; Hepar/Lien: Tidak


Teraba/tidak teraba ; Nyeri Ketok (-), Nyeri Tekan (-);
ALT; 14,4 U/L; AST: 10,8 U/L;
GDS : 96 mg/dl

B6 : Akral hangat (+), edema (-), fraktur (-), deformitas (-)

3.8 Laporan Durantee Oparasi


Jenis Pembedahan Odontektomi

Lama Operasi 80 menit (10.00 – 11.20 WIT)

Jenis Anestesi Anestesi umum dengan Intubasi Endotrakea

Lama Anestesi 1 jam (09.50 – 10.45 WIT)

51
Anestesi Dengan General anestesi Sevoflurane + 02
Propofol 50 mg

Relaksasi Dengan Atracuryum Besylate 30mg

Teknik Anestesi Pasien tidur terlentang dengan posisi supine, kemudian


diberikan pre medikasi, dilakukan induksi, pre-
oksigenasi  5 menit, Cuffed O2 4 lpm, kemudian IV
obat anestesi, ETT uk 7,0mm, observasi TTV/ 5 menit.

Teknik Khusus Tidak dilakukan

Pernapasan Ventilator

Posisi Supine (terlentang)

Infus Tangan kiri, abocath 18 G, cairan RL

Penyulit pembedahan -

Akhir Pembedahan TD : 100/60; N:70 x/m; SpO2 100%

Terapi Khusus Pasca IVFD RL 20 tpm makro


Bedah Monitoring perdarahan

Penyulit Pasca Bedah -

Hipersensitivitas -

Premedikasi  Midazolam 5 mg (iv)


 Petidin 30 mg (iv)
 Fentanil 50 mg (iv)

Medikasi  Propofol 50 mg (iv)


 Atracurium besylate 30 mg (iv)
 Dexametasone 5 mg (iv)
 Ceftriaxone 2gr (iv)
 Ranitidin 50 mg (iv)
 Ondancentron 4 mg (iv)
 Natrium metamizole 1000 mg (iv)
3.9 Laporan Operasi

Nama Pasien : Ny. YG

52
Umur : 28 tahun
Nomor DM : 18 82 02
Nama Ahli Bedah : drg. Meiske, Sp. BM
Nama Asisten : Br. Gabriel
Nama Perawat :
Nama Ahli Anestesi : dr. Albinus, Sp.An, M.Kes
Jenis Anastesi : General Anestesi dengan Sevofluran + O2
Diagnosis Pre Operatif : Periodontitis kronik
Diagnosis Post Operatif : Post removal of teeth
6543 34568

8 8

Jaringan yang di :
Eksis/Insisi
Tanggal Operasi / Jam : :19 September 2017 pukul 10.00 (Lama Operasi
mulai 90 menit)
Laporan Operasi:
1. SIO diisi
2. Pasien terlentang di meja operasi dalam anastesi umum dengan Sevofluran + O2
3. Skin test Ceftriaxone negative, injeksi Ceftriaxone 2 gr.
4. Asepsis dan antisepsis wajah dan intraoral dengan Povidine Iodine
5. Pasang duk steril 6543 34568
6. Dilakukan pencabutan open metode
8 8
7. Rawat perdarahan
8. Dilakukan penjahitan dengan PGA 3.0
9. Perdarahan –
10. Pasang tampon steril
11. Operasi selesai
3.10 Diagram Operasi

53
Diagram Observasi Vital Sign Ny. YG (28 th)
140

120

100

80

60

40

20

0
09.45
09.50
09.55
10.00
10.05
10.10
10.15
10.20
10.25
10.30
10.35
10.40
10.45
10.50
10.55
11.00
11.05
11.10
11.15
11.20
Waktu (Time)
Sistol Diastol Nadi

3.11 Instruksi Post Operasi


 IVFD RL 1500 cc : 1 ampul tramadol / 24 jam
 Natrium Metamizole 3x1000mg (IV)
 Ranitidine 2x50mg (IV)
 Monitoring tanda-tanda vital, distress pernapasan, perdarahan, produksi
urine, balance cairan masuk dan keluar

3.12 Terapi Cairan dan Resusitasi selama Peri Operatif


CAIRAN YANG DIBUTUHKAN AKTUAL

PRE OPERASI PRE OPERASI


1. MAINTENANCE Input : RL 600 cc
BB X Kebutuhan cairan/24 jam Output : DC tidak terpasang
= 53kg x 40-50cc /kgBB/24 jam
= 2120-2650cc/ kgBB/24 jam
= 53kg x 1-2cc /kgBB/jam
= 53-106 cc/jam
2. REPLACEMENT
Puasa sejak jam 24.00 WIT
Operasi mulai jam 10.00 WIT

54
Lama puasa 10 jam
Pengganti puasa 10 jam
= 10 jam x 53-106 cc
= 530-1060cc
3. Perdarahan (-)
4. Dehidrasi (-)
DURANTE OPERASI DURANTE OPERASI
Operasi mulai jam 10.00 – 11.30 WIT (90 menit/ 1 Input : RL 600 cc
jam 30 menit) Output : DC tidak terpasang
1. MAINTENANCE
Total Perdarahan = 45 cc
53kg x 1-2cc /kgBB/jam
Kassa : 5 x 5cc = 25cc
= 53-106 cc/jam
Suction : 20cc
Maintenance selama operasi 1 jam 30 menit
= 1,5 jam x 53-106 cc
= 79,5 – 159 cc/1,5 jam
2. REPLACEMENT
Perdarahan = 45cc
EBV = 53x65 cc = 3445 cc
EBL = 45 cc dapat diganti dengan cairan kristaloid
2-4 x EBL = 2-4x45cc = 90 cc – 180 cc
3. Cairan yang terlokasi selama operasi bedah kecil
BB x jenis operasi = 53kg x 3-5cc/jam
= 159cc – 265cc/ jam
1,5 jam = 238cc - 397cc

Total Kebutuhan Cairan Durante Operasi


= (79,5 – 159 cc) + (90 cc – 180cc) + (238cc -
397cc)
= 407 cc – 736 cc/1,5 jam
POST OPERATIF POST OPERATIF
19 September 2017 pukul 11.30 – besok pagi pukul 19 September 2017 pukul 11.30 –
08.00 (20 jam 30 menit) besok pagi pukul 08.00 (20 jam 30
1. MAINTENANCE menit)
= BB x kebutuhan cairan/jam x 20 jam 30 menit
= 53kg x 1-2cc/kgBB/jam x 20,5 jam Input :
= 1086,5 cc – 2173 cc Volume cairan:
Kalori 1000 – 1500 kkal/24jam RL 1000 cc : D5% 500cc
Total 1500cc/24 jam

55
3.13 Follow Up
Hari/ Follow Up
Tanggal
20/09/2017 S : Nyeri pada luka bekas operasi
O : Ca -/-
6543 34568
A: Post removal of teeth
8 8

P: Infus RL 1000 cc/24 jam


Diet TKTP lunak.
B1: Airway bebas, napas spontan, tidak terpasang O2, RR: 21 x/m
B2:Perfusi hangat, kering, merah, anemis (-), CRT<2”, TD:120/80
mmHg, Nadi 80x/m
B3: Kesadaran : Compos Mentis, Pupil bulat, Isokor 3 mm, refleks
cahaya (+/+)
B4 : Buang air kecil spontan (+)
B5 : Simetris, Supel, Cembung, Bu 3x/15 Detik ; Hepar/Lien/Renal:
Tidak Teraba Tesar; Nyeri Ketok (-), Nyeri Tekan
B6 : Deformitas (-) Fraktur (-) Edema (-)

3.14 Prognosis
Quo ad vitam : Ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ditemukan seorang wanita bernama Ny. YG usia 28 tahun


datang ke Poliklinik Gigi dan Mulut dengan keluhan nyeri pada gusi sejak 1 tahun
belakangan, namun intensitas nyeri bertambah sejak 1 minggu SMRS. Nyeri hilang
timbul namun muncul terutama saat pasien mengkonsumsi makanan yang terlalu
panas ataupun dingin. Mulut berbau dan gusi sering berdarah juga dilaporkan.
Pasien memiliki riwayat gigi berlubang sejak SMP, namun enggan memeriksakan
ke dokter gigi sehingga lama kelamaan gigi yang berlubang semakin banyak, gigi

56
ada yang goyah, bahkan pecah – pecah. Setelah merasa tidak nyaman dan tidak
mampu menahan nyeri barulah pasien memeriksakan keadaannya. Pasien mengaku
memiliki riwayat kurang menjaga kebersihan mulut dengan jarang menggosok gigi
dan sering mengkonsumsi makanan yang manis – manis.

Dari pemeriksaan fisik, kondisi pasien dalam batas normal. Namun pada
pemeriksaan status lokalis (intra oral) ditemukan sisa gigi dan akar gigi pada gigi
caninus atas kanan dan kiri, gigi premolar 1-2 atas kanan dan kiri, serta molar 3
bawah kanan dan kiri. Ditemukan pula ada gigi yang goyang yaitu pada molar 3
kanan bawah. Berdasarkan anmnesa dan pemeriksaan fisik, keadaan yang dialami
pasien mengarah pada Periodontitis kronik.

Penyebab primer dari periodontitis kronik adalah iritasi bakteri. Bakteri


mulut terkolonisasi pada leher gingiva untuk membentuk plak pada keadaan mulut
yang kurang bersih. Periodontitis merupakan respon inflamasi kronis terhadap
bakteri subgingiva, mengakibatkan kerusakan jaringan periodontal irreversible
sehingga dapat berakibat kehilangan gigi. Pada tahap perkembangan awal, keadaan
periodontitis sering menunjukkan gejala yang tidak dirasakan oleh pasien.9

Periodontitis didiagnosis karena adanya kehilangan perlekatan antara gigi


dan jaringan pendukung (kehilangan perlekatan klinis) ditunjukkan dengan adanya
poket dan pada pemeriksaan radiografis terdapat penurunan tulang alveolar.
Adanya akumulasi plak pada supragingiva dan subgingiva, inflamasi gingiva,
pembentukan poket, kehilangan periodontal attachment, kehilangan tulang
alveolar, dan kadang-kadang muncul supurasi. Pada kasus ini, pasien menunjukkan
gambaran klinis mengarah ke periodontitis kronis.

Tindakan yang dapat dilakukan adalah pencabutan gigi dan sisa akar gigi
(removal of teeth dan flap surgery) untuk mencegah komplikasi lebih lanjut
periodontitis kronis. Tindakan pembedahan yang dilakukan harus menggunakan
anestesi. Anestesi yang dapat digunakan adalah anestesi umum. Anestesi umum
adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral disertai dengan
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Anestesi umum
diperoleh melalui penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang
ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan

57
(amnesia), hilangnya respon terhadap rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak
spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran (unconsciousness).2 Anestesi
umum memungkinkan pasien untuk mentolerir tindakan pembedahan yang dapat
menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang berpotensi menyebabkan perubahan
fisiologis tubuh yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak
menyenangkan.2

Pada kasus ini indikasi penggunaan anestesi umum inhalasi dengan pipa
endotrakea adalah operasi pada daerah mulut yaitu operasi pencabutan gigi, dimana
total gigi yang harus dicabut sebanyak 11 gigi. Tindakan ekstraksi gigi sebanyak
itu membutuhkan waktu yang cukup lama dan perasaan tenang dan nyaman pada
pasien supaya tidak mengganggu tindakan pembedahan sehingga anestesi umum
dengan inhalasi pipa endotrakea merupakan pilihan yang tepat. Selain itu,
keuntungan anestesi umum yaitu mengurangi kesadaran dan ingatan intraoperatif
pasien, memungkinkan relaksasi otot yang diperlukan untuk jangka waktu yang
lama, memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi,
dapat disesuaikan dengan mudah dengan durasi prosedur yang tak terduga, dan
dapat diberikan dengan cepat dan bersifat reversibel.6

Hasil pemeriksaan laboratorium pasien menunjukan kadar hemoglobin rendah


yaitu 10,8 mg/dl. ). Berdasarkan kriteria anemia menurut WHO, pasien dalam kasus
ini dapat dikatakan anemia. Berdasarkan derajat anemia menurut WHO, pasien
dalam kasus ini diklasifikasikan ke dalam anemia ringan. Anemia pada pasien
dalam kasus ini dapat disebabkan karena periodontits kronis. Pasien mengaku gusi
sering berdarah terutama saat menggosok gigi atau saat di korek. Pasien sudah
mengalami keluhan tersebut sejak 1 tahun belakangan ini. Untuk memastikan
penyebab anemia pasien tersebut, tidak bisa pemeriksaan darah perifer dijadikan
acuan. Untuk menegakkan etiologi anemia pada kasus ini, pasien harus menjalani
pemeriksaan Apusan Darah Tepi, TIBC, SI, dll. Hal ini penting untuk diketahui
dengan baik karena sebagian besar oksigen diangkut oleh hemoglobin yang terdapat
dalam sel darah merah. Anemia dapat mengakibatkan transport oksigen oleh
haemoglobin akan berkurang. Hal ini berarti untuk mencukupi kebutuhan oksigen
jaringan, jantung harus memompa darah lebih banyak sehingga timbul takikardi,
murmur, dan kadang timbul gagal jantung pada pasien dengan anemia. Peran

58
anestesi adalah memastikan bahwa organ vital menerima oksigen yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme, selama prosedur bedah berlangsung. Penentu
transport oksigen termasuk di antaranya ialah pertukaran gas di pulmo, afinitas Hb-
O2, konsentrasi total Hb, dan cardiac output. Seluruhnya bekerja dalam satu sistem
dan menyediakan kapasitas oksigen yang adekuat. Apabila ada penurunan pada satu
komponen di atas, maka menyebabkan komponen lain terpengaruh. Dari komponen
tersebut, haemoglobin mempunyai kemungkinan terbesar untuk dimanipulasi
sehingga dapat meningkatkan transport oksigen. Tatalaksana anemia pada penyakit
kronik menurut teori, yaitu obati penyakit dasar dengan baik, maka anemia akan
sembuh dengan sendirinya; pemberian transfusi jarang dilakukan karena derajat
anemia ringan.
Berdasarkan anamnesis,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien tergolong PS ASA II yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan atau
sedang. Pasien digolongkan kedalam PS ASA II karena pasien mengalami anemia
ringan. Dari pemeriksaan tersebut maka kemungkinan dapat ditemukan beberapa
critical point yang dapat terjadi pada pasien ini selama pre operatif hingga post
operatif.

AKTUAL POTENSIAL ANTISIPASI


B1 Airway:bebas, - Sumbatan jalan - Chin lift, Head
mallampati score I, gigi nafas, lidah jatuh Tilt, Jaw Thrush
palsu (-), gigi goyah (+) kebelakang - Identifikasi gigi
Breathing: simetris, ikut - Gigi goyang goyah, lakukan
gerak nafas, RR 21 x/m, lepas saat Teknik intubasi
suara napas vesikuler +/+, melakukan menjauhi gigi
ronchi -/-, wheezing -/- intubasi yang goyang
- Henti nafas - Terapi oksigen
- Hipoksia adekuat dengan
nasal O2 kanul
2-3 lpm atau

59
gunakan masker
sungkup 6-8
lpm

B2 Perfusi hangat, kering, - Syok - Rehidrasi


merah, capillary refill - Hipotensi - Posisikan
time < 2”, Tekanan darah - Bradikardi trendelenberg
100/60 mmHg, jumlah - Perdarahan yang - Pemberian
nadi 67 kali per menit banyak antipiretik dan
dengan irama reguler dan antibiotic
kuat angkat , SB 36,5 ‘C, - Observasi tanda-
bunyi jantung I-II murni tanda vital
reguler. - Pemberian Efedrin
- Transfusi kristaloid
(2-4 x EBL)
- Transfusi WB
B3 Compos mentis, - Penurunan - Observasi
E4V5M6, kejang (-) kesadaran kesadaran
B4 Tidak terpasang DC - Oligouri - Obs pemberian
- Retensio Urine cairan
- Observasi produksi
urine
B5 Datar, supel, Bu (+) 2- - Mual Pemberian ranitidin dan
3x/15 detik, Hepar/lien - Muntah ondansentron
tidak teraba/tidak teraba, - Aspirasi
Nyeri tekan (-), timpani
B6 Fraktur (-) Edema (-) - - Posisikan pasien
Kekuatan motorik normal dengan tepat

Untuk tatalaksana anestesi pada kasus ini, digunakan anestesi umum dengan
inhalasi. Untuk anestesi inhalasi pada kasus digunakan sevofluran. Obat-obatan
yang digunakan untuk premedikasi yaitu midazolam 5 mg; petidin 30 mg, fentanil
50 mg. Midazolam merupakan obat golongan benzodiazepine, merupakan obat

60
penenang (transquilizer) yang memiliki sifat antiansietas, sedatif, amnesik,
antikonvulsan dan relaksan otot skelet. Dosis midazolam yaitu 0,025-0,1 mg/kgBB,
Paa kasus dosis yang diberikan sudah tepat. Petidin merupakan analgetik narkotik
yang digunakan untuk mengurangi cemas dan ketegangan pasien menghadapi
pembedahan, mengurangi nyeri, menghindari takipnea pada anestesia dengan
trikloretilen, dan membantu agar anestesia berlangsung baik. Dosis petidin untuk
premedikasi adalah 0,5 – 1mg/kgBB. Selain itu diberi pula Fentanil yaitu analgetik
narkotik dengan dosis premedikasi 0,05 – 0,1 mg/kgBB.
Pada kasus ini, induksi anestesia dilakukan dengan menggunakan propofol.
Pemulihan kesadaran yang lebih cepat dengan efek minimal terhadap susunan saraf
pusat merupakan salah satu keuntungan penggunaan propofol dibandingkan obat
anestesi intravena lainnya. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira – kira
30 % tetapi efek ini lebih disebabkan oleh vasodilatasi perifer ketimbang penurunan
curah jantung. Tekanan darah sistemik kembali normal dengan intubasi trakea.
Propofol tidak menimbulkan aritmia atau iskemia otot jantung, tetapi terjadi
sensitisasi jantung terhadap katekolamin. Efek propofol terhadap pernapasan mirip
dengan efek thiopental sesudah pemberian IV yakni terjadi depresi napas sampai
apneu selama 30 detik. Hal ini diperkuat bila digunakan opioid sebagai medikasi
pra-anestetik.
Pelumpuh otot yang digunakan pada kasus ini berupa Atrakurium 30 mg.
Atrakurium merupakan pelumpuh otot non depolarisasi berikatan dengan reseptor
nikotinik-kolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi. Hanya menghalangi
asetil-kolin menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja. Dosis awal
atrakurium 0,5-0,6 mg/kg, sedangkan dosis rumatan 0,1 mg/kg.
Setelah dosis sedasi telah tercapai, maka pada pasien dilakukan pemasangan
endotracheal tube dengan nomor 7,0 mm, cuff dikembangkan, lalu cek suara nafas
pada semua lapang paru dan lambung dengan stetoskop, dipastikan suara nafas dan
dada mengembang ETT difiksasi agar tidak lepas dan disambungkan dengan secara
simetris kemudian pasien diposisikan ke dalam posisi pronasi. Ventilator,
Maintenance dengan inhalasi oksigen 2 lpm, dan sevofluran MAC 1,5-2%. Monitor
tanda-tanda vital pasien, produksi urin, saturasi oksigen, tanda-tanda komplikasi
(pendarahan, alergi obat, obstruksi jalan nafas, nyeri). Digunakan sevoflurane

61
karena memiliki efek anestesi yang lebih cepat pulih sadar dibandingkan agen
volatile yang lain. Walaupun dapat menyebabkan hipotensi, tetapi efeknya tidak
sekuat jika digunakan Halotan atau enfluran.Pada kasus ini, manajemen airway dan
breathing pasien dikontrol dengan baik menggunakan ventilator. Setelah
pemasangan endotracheal tube tersebut pasien diberikan dexamethasone 5 mg.
Deksamethasone adalah glukokortikoid sintetik dengan aktivitas imunosupresan
dan anti-inflamasi. Sebagai imunosupresan deksamethasone bekerja dengan
menurunkan respon imun tubuh terhadap stimulasi rangsang. Aktivitas anti-
inflamasi deksamethasone dengan jalan mengurangi inflamasi dengan menekan
migrasi neutrofil, mengurangi produksi mediator inflamasi, dan menurunkan
permeabilitas kapiler yang semula tinggi dan menekan respon imun.
Selain itu pasien juga diberikan ranitidin dan ondansentron adalah untuk
mencegah mual-muntah akibat anestesi umum terutama pada penggunaan opioid,
bedah intra-abdomen dan hipotensi. Dosis ondansentron adalah 0,05-0,1 mg/kg
secara intravena, pada pasien ini diberikan dosis 4 mg. Ranitidin diberikan untuk
mengurangi sekresi asam lambung yang berlebihan dan pada pasien ini diberikan
50 mg.
Sebelum tindakan anestesi dihentikan, pasien diberi injeksi
metamizole1000 mg (sediaan 1 ampul(2ml) 500 mg/ml) untuk meredakan nyeri
akibat operasi.
Selain penentuan pemilihan anestesi pada pasien ini, juga dipertimbangkan
mengenai terapi cairan selama masa perioperatif.Terapi cairan sendiri adalah
tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas fisiologis
dengan cairan infus kristaloid atau koloid secara intravena.
Terapi cairan pada pasien ini adalah sebagai berikut :
CAIRAN YANG DIBUTUHKAN AKTUAL

PRE OPERASI PRE OPERASI


5. MAINTENANCE Input : RL 600 cc
BB X Kebutuhan cairan/24 jam Output : DC tidak terpasang
= 53kg x 40-50cc /kgBB/24 jam
= 2120-2650cc/ kgBB/24 jam
= 53kg x 1-2cc /kgBB/jam
= 53-106 cc/jam

62
6. REPLACEMENT
Puasa sejak jam 24.00 WIT
Operasi mulai jam 10.00 WIT
Lama puasa 10 jam
Pengganti puasa 10 jam
= 10 jam x 53-106 cc
= 530-1060cc
7. Perdarahan (-)
8. Dehidrasi (-)
DURANTE OPERASI DURANTE OPERASI
Operasi mulai jam 10.00 – 11.30 WIT (90 menit/ 1 Input : RL 600 cc
jam 30 menit) Output : DC tidak terpasang
4. MAINTENANCE
Total Perdarahan = 45 cc
53kg x 1-2cc /kgBB/jam
Kassa : 5 x 5cc = 25cc
= 53-106 cc/jam
Suction : 20cc
Maintenance selama operasi 1 jam 30 menit
= 1,5 jam x 53-106 cc
= 79,5 – 159 cc/1,5 jam
5. REPLACEMENT
Perdarahan = 45cc
EBV = 53x65 cc = 3445 cc
EBL = 45 cc dapat diganti dengan cairan kristaloid
2-4 x EBL = 2-4x45cc = 90 cc – 180 cc
6. Cairan yang terlokasi selama operasi bedah kecil
BB x jenis operasi = 53kg x 3-5cc/jam
= 159cc – 265cc/ jam
1,5 jam = 238cc - 397cc

Total Kebutuhan Cairan Durante Operasi


= (79,5 – 159 cc) + (90 cc – 180cc) + (238cc -
397cc)
= 407 cc – 736 cc/1,5 jam
POST OPERATIF POST OPERATIF
19 September 2017 pukul 11.30 – besok pagi pukul 19 September 2017 pukul 11.30 –
08.00 (20 jam 30 menit) besok pagi pukul 08.00 (20 jam 30
2. MAINTENANCE menit)
= BB x kebutuhan cairan/jam x 20 jam 30 menit
= 53kg x 1-2cc/kgBB/jam x 20,5 jam Input :

63
= 1086,5 cc – 2173 cc Volume cairan:
Kalori 1000 – 1500 kkal/24jam RL 1000 cc : D5% 500cc
Total 1500cc/24 jam

Kemudian pasien dibawa ke ruangan Recovery Room (RR) dan diberi


masker oksigen dengan reservoir 7 liter per menit. Pasien diobservasi di Recovery
Room terlebih dahulu, kemudian kembali ke ruangan dengan perhitungan skor
aldrete mencapai 9.
Nilai warna
Merah muda 2
Pucat 1
Sianosis 0
Pernapasan
Dapat bernapas dan batuk 2
Dangkal tetapi pertukaran udara adekuat 1
Apneu / obstruksi 0
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang < 20% dari normal 2
Tekanan darah menyimpang 20-50% dari normal 1
Tekanan darah menyimpang > 50% dari normal 0
Kesadaran
Sadar siaga dan orientasi 2
Bangun tetapi cepat kembali tertidur 1
Tidak berespon 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan 1
Tidak bergerak 0

64
BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
1. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang
didapatkan diagnosis Periodontitis Kronik
2. Untuk tindakan removal of teeth dipakai penggunaan anestesi umum yaitu,
agen anestesi intravena yang digunakan adalah Propofol dan pemeliharaan
anestesi dengan menggunakan anestesi inhalasi berupa Sevofluran ini
sudah sesuai, yang bertujuan:
a. Untuk mengurangi ansietas dan ketidaknyamanan pada pasien,
b. Untuk pembedahan yang diperkirakan kemungkinan akan memakan
waktu yang lama.
3. Premedikasi diberikan midazolam untuk sedasi dan pemberian fentanil
dan petidin untuk analgesia. Obat medikasi tambahan pada pasien ini
diberikan ondansetron dan ranitidin sebagai pencegahan dan pengobatan

65
mual muntah pasca operasi. Sebagai analgetik post operasi diberikan
Metamizole.
4. Pasien diklasifikasikan ke dalam PS ASA II karena pasien merupakan
pasien periodontitis kronis serta ditemukan kelainan sistemik ringan (Hb
10,8g/dL).
5. Resusitasi dan terapi cairan perioperatif kurang lebih telah memenuhi
kebutuhan cairan perioperatif pada pasien ini.
5.2 Saran
 Perhatikan tanda-tanda vital sign pasien ketika diberikan obat-obatan
anestesi, sehingga apabila tanda-tanda vital pasien tidak stabil dapat segera
diperbaiki.
 Pemberian obat – obat anestesi harus sesuai dengan indikasi dan sesuai
dengan dosis
 Memantau hemodinamik pasien untuk menyadari masalah potensial
maupun aktual yang dapat terjadi selama proses pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Latief A.S. Anestesia Umum. Dalam: Latief A.S, Suryadi A.K, Dachlan R.M,
penyunting. Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi kedua. Jakarta: FKUI;2009.
h 29-96
2. Dobson, Michael B. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta: EGC, 1994. h 53
3. Puspitasari ET. Referat Anestesi Umum. [serial online] 2012 [Diunduh 4
oktober 2017]. Tersedia dari: http://id.scribd.com/doc/120785372/REFERAT-
ANESTESI-UMUM
4. Zunilda DS, Elysabeth. Anestetik Umum. Dalam: Gunawan, Sulistia Gan, dkk,
penyunting. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.Jakarta : Departemen
Farmakologi dan Terapeutik; 2007. h.122-138
5. Situmorang N. 2005. Dampak Karies Gigi dan Penyakit Periodontal terhadap
Kualitas Hidup. Majalah Kedokteran Gigi. FKG Unair. Edisi Khusus Temu
Ilmiah Nasional. ISSN:0852-9027., pp 359-364
6. Fedi PF, Vernino AR, Gray JL. 2004. The periodontic Syllabus . Alih Bahasa
Amaliya, Penerbit Buku Kedokteran EGC., pp 13-29.

66
7. Tachi Y, Shimpuku H, Nosaka Y, dkk. 2003. Vitamin D Receptor Gene
Polymorphism is Associated with Chronic Periodontitis. Life Sci 73.pp 3313-
21.
8. Carranza FA. Clinical diagnosis. Dalam: Carranza FA, Newman MG, (eds).
Clinical periodontology. Ed ke-8. Philadelphia: WB Saunders; 2006. p. 349-
50.
9. Latief A.S. Anestesia Umum. Dalam: Latief A.S, Suryadi A.K, Dachlan R.M,
penyunting. Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi kedua. Jakarta: FKUI; 2009.
h 29-96
10. Drajat O. Anestesi Pada Anemia. [serial online] 2011 [Diunduh 04 Oktober
2017]. Tersedia dari: http://id.scribd.com/doc/102467633/Anestesi-Pada-
Anemia
11. Oehadian A. Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia. [serial online] 2012
[Diunduh23 Januari 2014]. Tersedia dari:
http://www.kalbemed.com/Portals/6/04_194CMEPendekatan%20Klinis%20d
an%20Diagnosis%20Anemia.pdf

67

You might also like