You are on page 1of 258

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. Wb. Alhamdulillahi rabbil’alamin.

Segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga monograf ini dapat terselesaikan dengan baik.
Monograf ini berisi kumpulan artikel ilmiah dari beberapa Akademisi, Praktisi,
Pemerintah, NGO dan para sarjana yang concern terhadap semua permasalahan
ketidakadilan pada perempuan dan anak. Artikel Ilmiah tersebut dipresentasikan dan
didiskusikan dalam Seminar Nasional dengan tema “Membangun Budaya Adil Gender
dan Ramah Anak” yang akan diselenggarakan di Balai Keratun Provinsi lampung, pada
tanggal 17 Oktober 2017 berkat berkerjasama Fakultas Hukum Universitas Lampung dan
Pemerintah Provinsi lampung.

Monograf ini disusun untuk mendokumentasikan gagasan dan hasil penelitian terkait
dengan fakta, isu, gagasan, inovasi dan pemecahan masalah dalam permasalahan
keperempuanan dan anak. Selain itu monograf ini dapat memeberikan wawasan terhadap
perkembangan dalam kebijakan berkeadilan gender dan ramah anak. Dengan demikian,
seluruh pihak yang terkait dapat terus termotivasi, bersinergi dan berperan aktif
membangun budaya adil gender dan anak dalam setiap sisi pembangunan. Dalam
penyelesaian prosiding ini, kami menyadari bahwa tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, panitia menyampaikan ucapan terimakasihdan
memberikan penghargaan setingi-tingginya, kepada; Menteri Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak, Rektor Universitas Lampung, Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Ketua Program Studi
Kajian Wanita Gender Universitas Indonesia, Para Narasumber, para Peserta, Para
penyaji artikel ilmiah serta seluruh peserta seminar nasional dan segenap panitia Seminar
Nasional.

Kami menyadari bahwa monograf ini tentu saja tidak luput dari kekurangan, untuk itu
segala saran dan kritik kami harapkan demi perbaikan monograf ini pada terbitan tahun
yang akan datang. Akhirnya kami berharap Monograf ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pihak terkait.

Bandar Lampung, 11 September 2017

Ketua Pelaksana

Dr. Yusnani Hasyimzum, S.H., M.Hum

i
DAFTAR ISI

1. Membangun Budaya Adil Gender dan Ramah Anak 1


Prof. Yohana Susana Yembise, Ph.D (keynote speaker)

2. Pengarusutamaan Hak Anak Sebagai Basis Pembangunan Daerah 5


Dr. Susanto, M.A.

3. Membangun Masyarakat yang Responsive Gender untuk Keadilan 10


Perempuan dan Anak
Dr. Lidwina Inge Nurtjaho, S.H., M.Si

4. Kendala Peningkatan Kuota Keterwakilan Perempuan dalam Membuat 19


Kebijakan
Dr. Ani Purwanti, S.H., M.Hum

5. Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, Anak dan Pelaku 29


Kekerasan dalam Upaya Penegakan Hukum
Dr. Yusnani Hasyimzum, S.H., M.Hum

6. Kewenangan Pembentukan Peraturan Daerah Untuk Pemenuhan Hak 36


Anak dalam Perspektif Ilmu Perundang-Undangan
Ade Arif Firmansyah dan Malicia Evendia

7. Reformasi Sistem Hukum Perkawinan Warga Muslim dalam Rangka 44


Perlindungan Hukum Anak Pada Perkawinan Tidak Tercatat
Dr. Amnawati, S.H., M.H.

8. Aborsi; Hak Anak untuk Hidup Atau Mati (Pendekatan Sosiologis 54


Kebijakan Aborsi di Indonesia, China dan Jepang)
Intan Fitri Meutia, Ph.D., Bayu Sujadmiko, Ph.D., dan Orima Davey

9. Budaya Hukum Partai Politik dalam Rekruitmen Calon Anggota 72


Legislatif Berkeadilan Gender
Drs. Baharudin, M.H.

10. Perlindungan Pekerja Perempuan berdasarkan Konvensi ILO dan 82


Implementasinya di Indonesia
Desi Churul Aini, S.H., M.H., dan Desia Rakhma Banjarani, S.H.

11. Tinjauan Kriminologis Prostitusi Anak di Bandar Lampung 94


Dr Eddy Rifai

ii
12. Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak dalam 105
Perspektif Politik Hukum Pidana Sebagai Wujud Pengakuan Hak
Asasi Manusia
Dr. Efa Rodiah Nur, M.H.

13. Reformasi Regulasi Tata Ruang Kota yang Responsif Gender 115
Dr. Erina Pane

14. Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan dan Anak (PKHPA) Berbasis 120
Kearifan Lokal
Farida Ariyani

15. Dimensi Politik Berbasis Kesetaraan Gender; Suatu Perspektif Keadilan 128
Substantif dalam Politik Indonesia
Dr. Fatkhul Muin, S.H., LL.M., Rully Syahrul Mucharom, S.H., M.H.,
Dr. Agus Prihartono PS, S.H., M.H.

16. Perjanjian Perkawinan; Perspektif Hak Kepemilikan Hak Milik atas 137
Tanah
Dr. FX. Sumarja, S.H., M.H.

17. Analisis Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Anak di Bawah 150


Umur Dalam Perkara Tindak Pidana Pencurian
Dr. Ketut Seregig, S.H., M.H.

18. Hukuman Kebiri bagi Pelaku Pencabulan Terhadap Anak 167


Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H., dan Angga Kurniawan

19. Menguatkan Peran Kelompok Pendukung ASI untuk Membentuk 172


Budaya Adil Gender dalam Pemberian ASI Ekslusif (Studi Kasus
Asosiasi ibu Menyusui Indonesia Cabang Lampung dan Komunitas
Ayah ASI Lampung
Ritma Fathi Khalida, S.Si

20. Hak Mewaris Perempuan Dalam Islam dari Perspektif Hukum 178
Berkeadilan Gender
Rohaini, Ph.D.

21. Kendala Peningkatan Kuota Keterwakilan Perempuan dalam Penentuan 185


Kebijakan
Siti Khoiriah, S.H., M.H., dan Utia Meylina, S.H.

22. Pemenuhan dan Perlindungan Perempuan dalam Peraturan Perundang- 205


Undangan
Dinarti Andarini dan Yulia Neta, S.H., M.H.

23. Tanggung Jawab Negara dalam Memenuhi Hak dan Kebutuhan Anak
211
Yulia Neta, S.H., M.H., Tia Nurhawa, dan Rudi Wijaya

iii
24. Perlakuan Ramah Terhadap Sebagai Pelaku dan Korban Tindak Pidana 218
Sebagai Upaya Maksimal Hukum Perlindungan Anak di Indonesia.
Yunan Prasetyo Kurniawan, S.H., M.H.

25. Respon Istri Terhadap Aktivitas Suami Pada Ranah Domestik di 225
Wilayah Perkotaan dan Pedesaan ((Studi Komparasi di Kelurahan
Rajabasa Raya, Kecamatan Rajabasa, Kota Bandar Lampung dan Desa
Nambah Dadi, Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung
Tengah)
Dwi Atwati dan Teuku Fahmi

26. Disharmoni Keadilan Pembagian Harta Bersama Perkawinan Akibat 233


Perceraian Bagi Perempuan Muslim di Indonesia dalam Perspektif
Gender
Dr. Wahyuni Retnowulandari, S.H., M.H.

iv
KEYNOTE SPEECH

PADA ACARA

“SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN BUDAYA ADIL GENDER DAN


RAMAH ANAK”

Lampung, 17 Oktober 2017

Yang terhormat :

 Rektor Universitas Lampung dan jajarannya;


 Para Narasumber;
 Para Peserta Seminar; dan
 Undangan serta hadirin yang berbahagia.

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Selamat pagi dan Salam Sejahtera untuk Kita Semua

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya kita dapat hadir pada hari yang berbahagia
ini dalam keadaan sehat wal’afiat untuk mengikuti Seminar dengan tema “Membangun
Budaya Adil Gender Dan Ramah Anak”.

Pada kesempatan ini Saya memberikan apresiasi yang tinggi kepada Rektor Universitas
Lampung atas pelaksanaan seminar hari ini, karena Membangun Budaya Adil Gender
Dan Ramah Anak”, merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dari Hak Asasi Manusia,
diatur dalam instrument internasional sampai dengan nasional, antara lain Penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan atau Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW) dan merupakan salah satu
instrument Hak Asasi Perempuan yang paling mendasar. Indonesia telah meratifikasi
CEDAW menjadi UU No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan segala bentuk
Diskriminasi terhadap perempuan.

Arah pembangunan Indonesia sesungguhnya sudah sejalan dan dapat menjawab berbagai
tantangan untuk mencapai 17 isu prioritas SDGs pada tahun 2030 dan Indonesia, juga
masuk dalam 10 negara besar kedepan untuk mewujudkan Planet 50:50 di seluruh dunia
pada tahun 2030.

Selain itu, secara global ada gerakan “He For She” merupakan suatu bentuk komitmen
yang menjadi kepedulian para pemimpin negara yang menyatakan bahwa Perempuan
adalah representasi separuh dari pelaku dan penerima manfaat dari pembangunan. Terkait

1
hal tersebut, maka isu-isu tentang pengarusutamaan gender menjadi fokus utama di dalam
pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa komitmen ini bukan hanya dari dan untuk
kaum perempuan saja, namun dukungan kaum laki-laki untuk mewujudkan kesetaraan
gender menjadi tidak kalah pentingnya karena pemberian kesempatan baik bagi kaum
laki-laki maupun kaum perempuan akan dapat menjamin peningkatan daya saing yang
sehat sehingga dengan dukungan kaum laki-laki, perempuan akan dapat meningkat
kualitas dan kemampuannya hingga dapat disetarakan dengan kaum laki-laki.

Bapak dan Ibu yang berbahagia,

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, di Indonesia setiap 2 jam
terdapat 3 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Jika diakumulasikan, dalam
sehari ada 35 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Hal ini salah satunya
disebabkan oleh perkembangan teknologi dan informasi yang begitu cepat namun tidak
terfilter dengan baik, melalui gawai semua orang dapat dengan mudah mengakses
informasi, bahkan konten – konten pornografi.

Selain itu, kekerasan terhadap anak khususnya kekerasan seksual dan pembunuhan
semakin marak. Belum habis kasus YY di Bengkulu yaitu anak perempuan berusia 14
tahun yang diperkosa beramai-ramai kemudian dibunuh oleh 14 laki-laki yang 10
diantaranya masih anak-anak juga, muncul lagi kasus pemerkosaan terhadap anak di
Manado, pedofilia di Bali, kemudian di Bogor, dan beberapa daerah lainnya.

Secara garis besar, hal yang ingin saya sampaikan kepada bapak, ibu dan adik – adik
mahasiswa, bahwa persoalan perempuan dan anak masih sangatlah banyak.
Mengsejahterakan perempuan dan anak, bukan hanya tugas pemerintah saja. Semua
elemen harus turut mengambil peran.

Hadirin yang berbahagia,

Perguruan Tinggi memiliki Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan, Penelitian
dan Pengabdian Masyarakat. Pendidikan merupakan kunci utama dalam pembangunan.
Melalui jalur pendidikan di perguruan tinggi, mahasiswa akan melalui proses untuk
menjadi insan yang unggul, dalam hal ini perguruan tinggi memiliki tanggung jawab
untuk menghasilkan generasi emas. Perguruan tinggi memiliki kebebasan untuk
menentukan metode dan model pendidikan dan pengajaran kepada mahasiswa. Melalui
peran dan tugas Pendidikan diharapkan Perguruan Tinggi dapat membantu membangun
dan meningkatkan pemahaman tentang kesetaraan gender yang lengkap, yang akan
berdampak pada pengetahuan, sikap, dan perilaku mahasiswa.
Pada bidang penelitian dan pengembangan, bagi saya, penelitian adalah jantung atau inti
dari perguruan tinggi itu sendiri. Karena perguruan tinggi tanpa penelitian, maka bisa
dikatakan tertinggal atau tidak produktif. Update ilmu pengetahuan terletak pada
penelitian dan pengembangan yang di lakukan oleh perguruan tinggi. Sehingga,

2
perguruan tinggi bukan hanya menjadi tempat belajar saja tetapi juga sebagai problem
solving.

Ketiga, ialah pengabdian kepada masyarakat. Tugas ini bukan hanya menjadi tanggug
jawab dari mahasiswa saja, namun dosen maupun perguruan tinggi secara kelembangaan
memiliki peran yang sama. Pengabdian masyarakat ialah bukti implementasi ilmu yang di
kaji dan di pelajari, memberikan manfaat bagi masyarakat.

Sebagai seorang Dosen, Saya percaya bahwa sudah banyak inisiatif dan upaya yang
dilakukan perguruan tinggi dalam membangun masyarakat. Peran penting perguruan
tinggi di masyarakat tidak bisa di kesampingkan, banyak program – program inovatif dan
aplikatif yang lahir dari perguruan tinggi. Dosen dan Mahasiswa sebagai insan akademik
di lingkungan kampus juga memiliki peran strategis karena bertindak sebagai agen
kontrol dan agen perubahan di masyarakat.

Hadirin yang berbahagia,

Peran Perguruan Tinggi yang sangat strategis mendorong Kementerian Pemberdayaan


Perempuan dan Perlindungan Anak untuk melakukan kerjasama terkait program One
Student Save One Family (OSSOF), pada bulan Februari 2017. Saya mengumpulkan para
Rektor dan Kepala Lembaga Penelitian dan Pengembangan perguruan tinggi negeri
Indonesia di Jakarta untuk mengsosialisasikan program ini.

Program ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan keluarga menyelesaikan


permasalahan perempuan dan anak melalui pelibatan aktif perguruan tinggi mahasiswa
dalam mendampingi keluarga pra sejahtera. Namun secara spesifik dapat di jabarkan
menjadi tujuan utama antara lain: Meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang situasi
dan kondisi keluarga, perempuan dan anak di dalamnya dan masyarakat; Meningkatkan
pengetahuan mahasiswa tentang mekanisme penyelesaian masalah oleh pemerintah,
lembaga masyarakat dan Perguruan Tinggi; Meningkatkan peran Perguruan Tinggi dalam
memperbaiki kondisi ketahanan keluarga, perempuan dan anak melalui progam
pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat serta Meningkatnya pengetahuan
Masyarakat tentang ketahanan keluarga.

Peran perguruan tinggi dalam konteks ini harus bersifat holistik. Artinya, Perguruan
Tinggi dapat membantu menjawab tantangan dan masalah dari pembangunan baik
infrastruktur maupun suprastrukturnya yaitu Sumber Daya Manusia.

Bapak dan Ibu yang berbahagia,

Selama ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah banyak berkolaborasi dengan


Perguruan Tinggi seperti Pusat Studi Wanita dan Gender yang terhimpun dalam Asosiasi
Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Indonesia. Dalam beberapa kali rapat kerja,
ASWGI selalu memberikan masukan dan rekomendasi kebijakan terkait Perempuan dan
anak.

3
Secara umum, kami juga telah berkolaborasi dengan berbagai perguruan tinggi ataupun
peneliti untuk melakukan kajian - kajian penting, seperti Kajian tentang Female Genital
Mutilation yang di lakukan oleh empat perguruan tinggi di empat provinsi, kajian tentang
Grand Deasin Intervensi program perempuan dan anak di papua dan papua barat yang
melibatkan Universitas dan Dewan Adat Papua. Ada begitu banyak kerja sinergi antara
Perguruan tinggi dan Kementerian PPPA.

Terakhir, pada pertengahan tahun 2016 kami telah menjalin kerjasama dengan 9
(sembilan) Perguruan Tinggi Islam yang memiliki perhatian dan komitmen tinggi
terhadap upaya perlindungan perempuan dan anak serta pencapaian kesetaraan gender
yang diwujudkan dalam penandatanganan kesepahaman bersama dalam Pelaksanaan
Pengarusutamaan Gender melalui Penguatan Akademik.

Bapak dan Ibu yang berbahagia,

Demikian beberapa hal yang dapat Saya sampaikan. Harapan Saya, kegiatan seminar
pada hari ini dapat membuka wawasan bagi semua civitas akademika dalam melihat
masalah dan tantangan yang dihadapi dalam pembangunan yang berkelanjutan dan
tindaklanjut yang harus dilakukan.

Selamat mengikuti seminar, semoga memperoleh rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti


di masa depan.

Wassalamu’alaikum.,Wr.Wb.,

Terima kasih.

Menteri

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Prof. Yohana Yembise, Ph.D.

4
Pengarusutamaan Hak Anak
Sebagai Basis Pembangunan Daerah

Dr. Susanto, MA
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Komisi Negara Independen

1. Pendahuluan
Regulasi perlindungan anak telah ada, namun masalah anak semakin kompleks dan terus
meningkat. Kemudian, implementasi Perlindungan Anak, belum sepenuhnya menjawab
persoalan dan menjadi solusi. Pelanggaran hak anak, belum dipahami dalam perspektif
yang sama. Hal tersebut nampak dari semakin maraknya pemberitaan kasus-kasus yang
menempatkan anak sebagai salah satu pelaku dalam perkara tersebut. Sebagaimana fakta
tersebut, kami telah melansir beberapa kasus yang perlu mendapat perhatian lebih
dikarenakan banyak di antara kasus tersebut yang berkaitan dengan anak. Adapun kasus-
kasus tersebut ialah antara lain:
1. Anak Korban Kekerasan dan bullying;
2. Anak korban pornografi dan cyber crime;
3. Anak Korban Trafficking;
4. Anak Korban Kejahatan seksual;
5. Anak berhadapan dengan hukum (ABH);
6. Anak terlantar;
7. Pekerja anak;
8. Anak korban radikalisme agama.

2. Isu-Isu Strategis Penyelenggaraan Perlindungan Anak


Oleh karena ada begitu banyak kasus-kasus yang menjadi trend dalam masyarakat
indonesia tersebut, mengakibatkan perlunya bagi kita untuk menyoroti isu-isu strategis
yang kemudian bermuara kepada trend dari kasus-kasus tersebut. Dalam hal ini
setidaknya terdapat 4 (empat) isu strategis yang kemudian perlu kita perhatikan. Di mana
ke-empat isu strategis itu ialah antara lain:
1. Pemenuhan Hak Anak Masih Rendah
a) Masalah pemenuhan hak pendidikan;
Saat ini terdapat 1,3 juta anak usia 7-15 tahun di Indonesia terancam putus
sekolah. Setiap menit ada empat anak yang putus sekolah.

5
b) Masalah pekerja anak;
Anak terlantar sebanyak 10.322.674 dan pekerja anak sebanyak 109.454.
c) Masalah pemenuhan hak kesehatan;
Diperkirakan 8 juta anak Indonesia mengalami kekurangan gizi.
d) Maraknya pornografi anak.
Berdasarkan riset, sebanyak 68 persen siswa SD sudah mengakses situs
porno.

2. Perlindungan Anak Belum Menjadi Sistem


a) Norma, belum sepenuhnya efektif;
Dari sisi substantif, UU Perlindungan Anak masih memiliki sejumlah untuk
diperbaiki.
b) Cenderung Sektoral, minim Keterpaduan;
Urusan perlindungan anak tersebar di berbagai Kementerian/Badan/lembaga
negara/pemerintah, namun minim kolaborasi program bahkan seringkali
cenderung sektoral.
c) Koordinasi dan sinkronisasi Lemah;
Koordinasi sangat minim, kalaupun ada sering bersifat seremonial dan
kurang bersifat futuristik.
d) Penganggaran tersebar, dan belum berorientasi kepentingan terbaik anak.
Alokasi anggaran tersebut belum mengutamakan program dan kegiatan yang
mendukung pemenuhan hak-hak anak.

3. Penyelenggaraan Perlindungan Anak Seringkali Kasuistik dan kurang


substansial
a) Terjebak parsialitas, sering lupa hal fundamental;
Kecenderungan respon terhadap masalahnya, dan bukan penyelesaian akar
masalah.
b) Penyelesaian instan lebih dominan daripada futuristik;
Anak jalanan sering menjadi obyek razia Satpol PP, namun upaya intervensi
terhadap pencegahan anak agar tidak turun ke jalan, masih terbatas.
c) Seringkali kasuistis, tanpa penyelesaian jangka panjang.
Ketika terjadi kasus anak diangkat media: respon bermunculan, namun
seringkali melupakan penyelesaian jangka panjang.
4. Kelembagaan Perlindungan Anak

6
Khusus dalam hal ini, baik dalam tubuh pemerintahan maupun masyarakat kerap
kali terjadi kesalahfahaman dalam hal penanggulangan kasus-kasus yang
berkenaan dengan anak. Hal ini dapat dicontohkan sebagaimana berikut ini:
a) Persepsi Atas Posisi KPAID dengan P2TP2A.
Seringkali berbagai kalangan berpandangan bahwa KPAID dan P2TP2A
memiliki fungsi yang sama. Padahal secara kelembagaan memiliki fungsi
yang berbeda.

3. Pengarusutamaan Hak Anak (Sebagai Basis Pembangunan Daerah)


1. Pengertian Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA)
Pengarusutamaan Hak Anak diartikan sebagai strategi yang dilakukan secara
rasional dan sistematis untuk mencapai perlindungan dan tumbuh kembang anak
melalui pengintegrasian hak-hak anak ke dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan, kebijakan, program, kegiatan dan anggaran, mulai dari
tahap perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dengan
prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dalam hal ini terdapat 3 (tiga) level
strategis yang mesti dicapai guna mengimplementasikan PUHA secara
konsekuen. Ketiga level tersebut ialah:
a) Tataran makro adalah perundangan dan kebijakan strategis.
b) Perencanaan dalam program jangka pendek, menengah dan panjang
merupakan tataran meso.
c) Pada tataran mikro mencakup kegiatan-kegiatan dan anggaran yang berpihak
pada anak.

Selanjutnya, perlu kita fahami mengenai bentuk dari kerangka berfikir manajemen
PUHA. Kerangka berfikir manajemen PUHA itu sendiri terdiri dari beberapa langkah
berfikir yang terdiri dari:
a) Perencanaan : menyusun pernyataan atau tujuan yang jelas bagi perlindungan
dan tumbuh kembang anak;
b) Pelaksanaan : memastikan bahwa strategi yang dijelaskan mempunyai
dampak pada anak;
c) Pemantauan : mengukur kemajuan dalam pelaksanaan program dalam hal
partisipasi dan manfaat bagi anak;
d) Penilaian : memastikan bahwa anak benar-benar menjadi terlindungi sebagai
hasil prakarsa tersebut.

7
4. Arah Pembangunan Daerah Ke Depan
Berkenaan dengan arah pembangunan daerah ke depan dapat kita analisis dan fahami
secara sederhana melalui diagram alur berikut ini.

Kelembagaan
Norma/Kebijak
Ramah Anak
an Ramah Anak

Orientasi
Pembangun
an Daerah
ke Depan Penganggaran
Partisipasi Ramah Anak
Publik Ramah
Anak
Kluster KHA
Terpenuhi
Optimal

Langkah selanjutnya ialah menginventarisir hal-hal apa saja yang diperlukan guna
menggapai arah pembangunan daerah tersebut yang apabila kita ringkas. Maka, kita akan
mendapati hal-hal berikut ini:
1. Meningkatkan komitmen para pemangku kepentingan di daerah terkait dengan
penyelenggaraan perlindungan anak;
2. Meningkatkan pemahaman, kesadaran dan peran serta masyarakat dalam
perlindungan anak;
3. Membangun sistem dan jejaring lintar sektor untuk pengawasan perlindungan
anak;
4. Meningkatkan jumlah penyelenggara perlindungan anak yang kompeten;
5. Meningkatkan kapasitas, aksesibilitas, dan kualitas layanan pengaduan
masyarakat;
6. Meningkatkan kinerja kelembagaan perlindungan anak.

8
Selain daripada itu, perlu juga untuk kita selidiki berkenaan dengan potensi-potensi apa
saja yang tersedia pada kalangan publik berkenaan dengan penggalakan Pengarusutamaan
Hak Anak (PUHA) ini. Berangkat dari hal itu, dapat kita ketahui bahwa terdapat potensi
positif yang dapat mendukung program PUHA ini serta potensi negatif atau kelemahan
yang perlu dicarikan solusinya agar cita-cita dari program PUHA ini dapat tercapai. Oleh
karenanya, secara ringkas dapat kita jabarkan potensi-potensi tersebut sebagaimana
berikut ini:
1. Potensi Positif Publik
a) Memiliki banyak unsur organisasi; berbasis profesi, ideologi, keagamaan,
dll;, sehingga potensial diambil manfaatkanya untuk campaign perlindungan
anak
b) Terorganisir, sehingga mudah digerakkan untuk perlindungan anak;
c) Terstruktur, sehingga cepat untuk berperan aktif dalam perlindungan anak;
d) Memiliki relasi lintas kelas, golongan dan ideologi, sehingga perlindungan
anak, dapat menjadi isu massif.

2. Kelemahan Publik
a) Komitmen perlindungan anak, masih terbatas;
b) Dukungan publik terhadpa perlindungan anak masih lemah;
c) Pemahaman akan konsep perlindungan anak, belum satu persepsi, bahkan
sebagian bertolak belakang;
d) Minimnya pelaporan atas kejadian pelanggaran hak anak;
e) Campaign belum menyasar kelompok-kelompok rentan pelanggaran hak
anak;
f) Layanan publik atas penanganan masalah anak terbatas.

Pada akhirnya. Dedikasi, kontribusi dan komitmen untuk anak indonesia menentukan
kualitas peradaban bangsa.

9
Membangun Masyarakat Responsif Gender dalam rangka
Melindungi Hak Perempuan dan Anak di Indonesia1

Lidwina Inge Nurtjahyo


(ketua Program Studi Kajian Gender SKSG UI, pengajar dan peneliti di FHUI)

1. Pengantar
Masyarakat Indonesia yang jumlahnya berdasarkan hasil SUPAS 2015 sebanyak
255.180.000 jiwa2 terdiri atas beragam kelompok, lapisan, dan golongan. Keberagaman
tersebut menjadi latar belakang yang menyebabkan terjadinya keberagaman akses
terhadap berbagai hak mendasar. Misalnya hak atas kehidupan yang layak, pekerjaan,
pendidikan, kesehatan, perlindungan hukum, kebebasan berpendapat, dan sebagainya.
Akses terhadap hak-hak tersebut tidak selalu terbuka luas untuk setiap orang. Tidak
secara merata dapat dinikmati. Ketidakmerataan penikmatan akses tersebut disebabkan
oleh berbagai faktor, di antaranya keterbatasan modal atau kapital; politik identitas yang
menimbulkan perbedaan persepsi, stereotipi, dan bahkan diskriminasi; keterbatasan
karena aspek geografis dan minimnya sumber daya alam; perbedaan persepsi antara
pembuat kebijakan dengan pihak pelaksana produk hukum nasional dan lokal yang tidak
memberi ruang bagi kelompok rentan; budaya birokrasi yang tidak efisien; dan korupsi
yang berurat berakar. Faktor lain yang juga cukup berperan adalah hadirnya nilai-nilai
budaya yang tidak berpihak pada kelompok rentan.

Dalam masyarakat, kelompok rentan adalah pihak yang paling banyak menderita akibat
dari ketimpangan dan atau keterbatasan akses atas hak-hak pendidikan, perlindungan
hukum, kesehatan, pekerjaan, keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan sebagainya.
Siapa sajakah yang termasuk di dalam kelompok rentan? Menurut Sulistyowati Irianto
dalam salah satu tulisannya3 , mereka yang termasuk dalam kelompok rentan adalah:
orang miskin, perempuan, anak, dan kelompok minoritas lainnya (berdasarkan etnis, ras,
bahasa, agama/kepercayaan, dan sebagainya). Perempuan dan anak di Indonesia,
khususnya yang berasal dari kelompok miskin dan minoritas, dan atau tinggal di wilayah
yang secara geografis kurang memberikan dukungan bagi kehidupan sejahtera, termasuk
ke dalam kelompok rentan.

Kelompok rentan ini karena konstruksi nilai sosial budaya di dalam masyarakat, sering
berada pada relasi kuasa yang timpang dengan kelompok lainnya. Relasi kuasa yang
timpang itu semakin menguat apabila kelompok rentan tersebut berada pada posisi lemah
berdasarkan perbedaan gender, jenis kelamin, usia, dan kelas. Kelompok rentan ini

1
Makalah dipresentasikan di acara Seminar Nasional di FH Universitas Lampung pada 17 Oktober
2017
2
Biro Pusat Statistik. Profil Penduduk Indonesia Hasil SUPAS, Jakarta, 2015: hlm. 25.
3
Sulistyowati Irianto. “Hukum dan Keadilan bagi Perempuan dan Anak: Problema Yuridis dan
Kasus Hukumnya” dalam buku Perlindungan Hukum Perempuan dan Anak (editor: Sulistyowati
Irianto). Jakarta, The Asia Foundation, 2015: xi

10
dengan posisinya yang lemah itu, diiringi dengan relasi kuasa yang timpang, akan terus
menerus mengalami keterbatasan akses terhadap hak-haknya.

Penting untuk dicatat bahwa meskipun bicara soal gender bukanlah bicara tentang
perempuan saja, melainkan bicara tentang bagaimana peran dari perempuan dan laki-laki
itu di dalam budaya dan masyarakat. Faktanya dalam kajian tentang isu gender, persoalan
yang mengemuka adalah persoalan tentang perempuan. Bagaimana perempuan itu
diposisikan dalam masyarakat. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap perempuan.
Mestinya, bicara tentang gender berarti bicara juga tentang bagaimana laki-laki dan
perempuan saling bersinergi dalam masyarakat. Saling berbagi ‘kue’ kesejahteraan
dengan adil. Sayangnya, hal itu belum terjadi. Perempuan, masih dikonstruksikan oleh
budaya dalam masyarakat sering berada dalam posisi kelas dua. Padahal Perempuan
Indonesia, jumlahnya 126.950.255 jiwa atau sekitar 49% dari penduduk Indonesia4 . Dari
jumlah yang besar itu, sebagian masih termasuk dalam kelompok rentan. Keberadaan
perempuan dalam kelompok rentan disebabkan oleh berbagai hal, di antaranya karena
termasuk dalam kelompok minoritas (ras, etnis, agama, dan bahasa); keterbatasan sumber
daya alam di wilayah tempat tinggal; status sosial ekonomi; dan karena konstruksi nilai-
nilai budaya.

Makalah ini berisi paparan tentang amat signifikannya melakukan rekonstruksi atas nilai-
nilai budaya di dalam masyarakat. Upaya melakukan rekonstruksi atas nilai budaya
tersebut penting dilakukan dalam rangka membangun budaya ramah perempuan dan
anak, sehingga terjadi peningkatan akses kelompok rentan yaitu perempuan (dan anak)
dari kelompok miskin dan minoritas, terhadap hak-haknya. Upaya rekonstruksi nilai-nilai
budaya dalam rangka penguatan akses bagi masyarakat yang termasuk dalam kelompok
rentan ini sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam Convention on Elimination of All
Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, secara khusus pada Pasal 2 butir f tentang
kewajiban negara melakukan segala tindakan yang diperlukan termasuk pembuatan
peraturan, penghapusan atau perubahan peraturan yang tidak menguntungkan bagi
perempuan, dan juga penghapusan praktek yang bersifat diskriminatif terhadap
perempuan. Konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor
7 Tahun 19845 . Dukungan terhadap kehadiran nilai budaya baru yang lebih ramah
perempuan dan anak juga diberikan Negara melalui Undang-undang No 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia6 , secara khusus pada Pasal 8, Pasal 71 dan 72 tentang
kewajiban pemerintah menghormati, melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia dan
bahwa kewajiban tersebut meliputi langkah implementasi yang efektif di bidang hukum,
politik, ekonomi, sosial budaya, dan bidang-bidang lainnya.

4
Biro Pusat Statistik. Profil Penduduk Indonesia Hasil SUPAS, Jakarta, 2015: hlm.31
5
Undang-undang Republik Indonesia No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Lembaran Negara Tahun 1984 No 29.
6
Undang-undang Republik Indonesia No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran
Negara Tahun 1999 No…

11
2. Masalah

Secara khusus tulisan ini akan terfokus pada bagaimana melakukan rekonstruksi atas nilai
budaya yang menghambat akses perempuan (dan anak) kepada penikmatan atas hak-
haknya dan kepada keadilan. Upaya rekonstruksi tersebut dilakukan dengan juga
membangun masyarakat yang responsif gender dalam rangka memperluas akses
perempuan dan anak kepada hak-haknya tersebut.

Pertanyaan yang kemudian mengemuka; bagaimana upaya membangun masyarakat yang


responsif gender tersebut dapat dilakukan? Apa saja langkah-langkah yang perlu
dilaksanakan dan siapa saja yang turut berperan?

3. Pembahasan

Sebelum masuk ke pembahasan mengenai bagaimana langkah-langkah membangun


masyarakat yang responsif gender, perlu dipetakan terlebih dahulu nilai dan atau praktek-
praktek apa saja dalam budaya yang menghambat perempuan dan anak dalam mengakses
hak-haknya sebagaimana laki-laki dalam masyarakat Indonesia.

Secara umum, nilai budaya yang sering menjadi penghambat bagi akses perempuan dan
anak terhadap hak-hak mereka adalah nilai budaya yang berperspektif patriarkis. Pada
nilai budaya yang hidup karena perspektif patriarkis, laki-laki berada pada posisi yang
lebih tinggi daripada perempuan, dan kepada perempuan dilekatkan stereotipi tertentu
yang seringkali diafirmasi oleh si perempuan karena merasa tidak punya pilihan lain7
.Beberapa nilai budaya yang bersifat patriarkis antara lain:

 Perempuan diletakkan dalam posisi subordinat, sebagai ‘yang harus patuh dan
tunduk’, tidak diperkenankan mengambil keputusan atas nasibnya sendiri dan
bahkan sering tidak dianggap sebagai mampu berpikir;
 Perempuan dianggap sebagai kelas kedua yang bukan prioritas;
 Perempuan melulu dianggap sebagai pihak yang harus membuktikan
kesuciannya8 (hal mana akan berdampak pada pembuktian dalam kasus-kasus di
ranah hukum pidana9 );
 Perempuan adalah pihak yang lemah sehingga harus dilindungi, diawasi, bahkan
dibatasi geraknya.
 Tubuh perempuan adalah milik masyarakat dan keluarganya, seksualitas
perempuan dengan demikian akan selalu dikontrol oleh masyarakat dan keluarga.

7
Tien Handayani Nafi “Perempuan dan Anak dalam Perceraian” Bab 6 dalam buku Perlindungan
Hukum Perempuan dan Anak (editor: Sulistyowati Irianto). Jakarta, The Asia Foundation, hlm.
251.
8
Lidwina Inge Nurtjahyo “Perempuan dan Anak Korban Kejahatan Seksual” Bab 9 dalam buku
Perlindungan Hukum Perempuan dan Anak (editor: Sulistyowati Irianto). Jakarta, The Asia
Foundation, hlm.390
9
MaPPI FHUI dan LBH APIK Jakarta, Analisis Konsistensi Putusan Kekerasan Seksual terhadap
Perempuan. Jakarta: AIPJ, 2015, hlm. 145 dan 148.

12
Nilai-nilai semacam itu melahirkan praktek-praktek budaya yang bersifat merugikan
perempuan dan anak. Beberapa praktek budaya yang merugikan tersebut antara lain,
pertama, tidak menyertakan perempuan dalam pengambilan keputusan pada komunitas.
Ketika terjadi proses pengambilan keputusan untuk akses sumber daya alam perempuan
sering diabaikan dan suaranya tidak dianggap penting. Padahal pada saat suatu keputusan
terkait pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan dan masyarakat lokal dirugikan,
perempuan dan anak-anaklah yang akan paling merasakan dampaknya. Misalnya
pembukaan hutan untuk dijadikan tambang atau pengubahan peruntukkan hutan menjadi
hutan produksi yang diatasnya diletakkan Hak Guna Usaha. Konsekwensi yang timbul:
perempuan yang biasa memanfaatkan sumber-sumber pangan dari hutan tersebut dengan
cara meramu atau mengumpulkan daun-daunan/buahbuahan/akar-akaran akan kehilangan
sumber pangan tersebut; atau berkurangnya sumber daya air sehingga perempuan dan
anak harus berjalan lebih jauh lagi untuk mengambil air; atau berkurangnya jumlah kayu
bakar yang dapat dikumpulkan.

Kedua, penerapan tradisi yang tidak teruji secara ilmiah dan secara medis yang dapat
merugikan kesehatan reproduksi perempuan. Misalnya alih-alih diberikan pengetahuan
soal kesehatan dan kebersihan alat reproduksi dan makan makanan bergizi terutama pada
saat haid atau hamil, perempuan dipaksa untuk berpantang atau menggunakan ramuan
yang justru berbahaya bagi kesehatan alat reproduksinya. Contoh lainnya juga adalah
praktek genital mutilation yang dilaksanakan kepada perempuan tanpa
mempertimbangkan efek medisnya.

Ketiga, pembatasan akses pendidikan bagi anak perempuan. Dalam budaya beberapa
kelompok masyarakat, perempuan berada pada posisi subordinat ketimbang laki-laki.
Konsekwensinya, pendidikan untuk anak perempuan sering dianggap tidak penting.
Saudara laki-lakinya akan mendapatkan kesempatan untuk bersekolah sampai tamat SMA
atau bahkan sampai memperoleh gelar sarjana. Anak perempuan karena dipandang hanya
akan berkeluarga dan mengurus rumah tangga, diminta untuk berhenti sekolah pada usia
tertentu dan kemudian dinikahkan. Atau, pada kelompok masyarakat lain, anak laki-laki
dan anak perempuan diberi kesempatan yang sama untuk bersekolah sampai tamat SMA.
Kemudian anak laki-laki boleh lanjut kuliah di bidang apa saja. Anak perempuan harus
memilih menjadi guru atau bidan sesuai permintaan orangtua/keluarga besar karena
kedua bidang itu yang dipandang cocok untuk perempuan.

Keempat, pernikahan usia anak yang sering dialami oleh anak perempuan. Biasanya
setelah putus sekolah baik karena kondisi finansial atau karena memang orangtua tidak
mengizinkan anak perempuan terus bersekolah, perempuan-perempuan yang belum
matang secara biologis maupun mental ini dinikahkan. Baik dengan laki-laki yang
seumur ataupun dengan yang lebih tua usianya. Hal ini dilakukan dengan berbagai
pertimbangan dari pihak keluarga. Antara lain, dalam rangka meringankan beban
finansial keluarga, menjaga nama baik keluarga karena khawatir anak gadisnya keburu
hamil di luar nikah, untuk meneruskan keturunan, atau dalam rangka menjalin hubungan
baik dengan pihak keluarga si laki-laki. Tidak dipertimbangkan oleh orangtua atau
keluarga besar si perempuan tersebut bahwa pernikahan usia anak rentan terhadap
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

13
Kelima, kekerasan dalam rumah tangga yang seolah ‘diijinkan’ atau dibiarkan oleh
masyarakat dan adat. Pada beberapa daerah di Indonesia, sebagaimana temuan penelitian
yang dilakukan Pusat Kajian Wanita dan Gender bekerjasama dengan Komnas
Perempuan tahun 2008 dan penelitian Bidang Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas
Hukum Universitas Indonesia tahun 2013-2017, ditemukan bahwa kekerasan dalam
rumah tangga (selanjutnya disingkat KDRT), sering dianggap sebagai hal yang biasa atau
lumrah terjadi dalam suatu rumah tangga. Bahkan, pada beberapa wawancara yang
dilakukan, para informan yang berasal dari tokoh adat ataupun tokoh pemerintahan
daerah setempat mengatakan bahwa ‘kekerasan itu adalah bagian dari pendidikan untuk
perempuan dan anak supaya disiplin dan patuh’.

Perempuan yang mengalami KDRT ketika mengadu kepada tokoh adat akan diminta
untuk berdamai kembali dengan suaminya dan mempertimbangkan ulang keputusan cerai
sekalipun KDRT tersebut sudah terjadi secara berulang. Ada anggapan bahwa KDRT
baru dianggap serius kalau KDRT tersebut sudah menimbulkan luka berdarah,
sebagaimana informasi yang digali dari beberapa wilayah di Nusa Tenggara Timur.

Keenam, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak kerap terjadi justru di dalam
keluarga atau di wilayah komunitas yang dikenal baik. Penyelesaian atas kasus kekerasan
seksual ini sering tidak berperspektif pro korban. Menurut Catatan Tahunan Komnas
Perempuan tahun 2016, kasus kekerasan seksual yang kerap menimpa anak dan
perempuan baik dalam lingkup keluarga maupun di komunitas mencakup: perkosaan,
pencabulan, pelecehan seksual, dan juga termasuk melarikan anak perempuan (49 kasus
di 2016 yang dilaporkan ke Komnas Perempuan). Kekerasan seksual dalam lingkup
komunitas sering diselesaikan dengan cara pelaku dan korban dinikahkan. Hal ini
berpotensi menimbulkan masalah baru di mana korban yang secara mental dan fisik
masih berada pada posisi rentan akan dipaksa menerima pelaku. Dapat saja terjadi
kemudian KDRT yang berujung pada perceraian, atau bahkan memakan korban jiwa baik
pihak isteri, suami maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut.

Ketujuh, adanya pembatasan hak ekonomi perempuan di dalam keluarga. Pada beberapa
kelompok masyarakat, berlaku nilai di mana sumber-sumber penghasilan berada
sepenuhnya di bawah kontrol pihak laki-laki. Dalam situasi semacam ini, perempuan dan
anak dapat saja bekerja dan menghasilkan sejumlah uang dari pekerjaan tersebut.
Misalnya, perempuan dan anak menenun dan menjual hasil tenunannya. Akan tetapi
penguasaan atas hasil tenun tersebut berada di tangan sang ayah. Para peneliti dari Bidang
Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2013-2017 di
Nusa Tenggara Timur, khususnya di Kabupaten Belu, di Sumba Timur, dan di Rote,
menemukan bahwa uang yang diperoleh laki-laki kemudian akan dipergunakan pertama-
tama untuk kebutuhan dirinya dan baru kebutuhan keluarga dan untuk aspek sosial.
Konsekwensinya perempuan dan anak di dalam keluarga sering kurang atau tidak
menikmati apa yang dihasilkan oleh perempuan (dan anak) sendiri. Berbeda halnya
apabila hasil kerja dari perempuan (dan anak) itu dikelola oleh si perempuan. Pertama-
tama ia akan memenuhi kebutuhan keluarganya (terutama anak-anak), aspek sosial, dan
baru kemudian kebutuhan dirinya. Dengan demikian amat penting untuk memberikan
pendidikan soal pengelolaan keuangan yang baik kepada keluarga.

14
Bagaimana kemudian praktek-praktek yang dijelaskan pada paragraf di atas – dan juga
praktek lainnya yang merugikan perempuan dan anak anak – dapat dihapus? Bagaimana
kita dapat membangun masyarakat yang responsif terhadap isu keadilan dan kesetaraan
gender?

Ada beberapa langkah yang dapat dilaksanakan. Pertama, melalui program pendidikan
yang berperspektif keadilan gender bagi generasi muda. Pendidikan tersebut dapat
diberikan dalam format terintegrasi dalam kurikulum maupun sebagai bagian dari
kegiatan sosialisasi di dalam masyarakat. Pendidikan berbasis keadilan gender penting
diberikan dalam rangka membangun kesadaran khususnya dalam pikiran orang muda
bahwa laki-laki dan perempuan adalah bermartabat setara dan saling melengkapi dalam
membangun masyarakat. Tidak ada salah satu pihak yang superordinat yang meletakkan
pihak lainnya menjadi subordinat. Di dalam CEDAW pendidikan merupakan upaya untuk
memberi edukasi kepada warga masyarakat dalam rangka menghapus praktek-praktek
yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan dan anak.

Pendidikan berbasis keadilan dan kesetaraan gender ini juga penting untuk diberikan
kepada para aparat penegak hukum. Mereka ini berada pada garis terdepan penanganan
kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sudah sepantasnya mereka
memiliki perspektif yang ramah korban, ramah perempuan dan anak

Peran kampus menjadi amat penting, khususnya mahasiswa dan dosen dalam rangka
mengadakan sosialisasi pendidikan keadilan dan kesetaraan gender bagi masyarakat.
Syaratnya, mahasiswa dan dosen juga harus sudah memiliki perspektif keadilan dan
kesetaraan gender yang baik.

Langkah Kedua, Negara wajib merevisi, menghapus, dan memperbaiki peraturan


perundangundangan yang merugikan perempuan. Penghapusan, perbaikan dan revisi
tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip yang ada dalam Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang sudah diratifikasi oleh Republik
Indonesia pada tahun 1987 melalui Undangundang.

Langkah Ketiga, melalui pemberdayaan hukum masyarakat atau legal empowerment.


Pemberdayaan hukum masyarakat ini merupakan langkah yang dilakukan sebelum terjadi
kasus. Bentuk-bentuknya dapat berupa sosialisasi pengetahuan hukum bagi masyarakat.
Isinya adalah upaya untuk mengangkat kesadaran warga masyarakat atas hak-hak yang
sudah mereka miliki dan meraih hak-hak baru dengan menghadapi patologi sistemik yang
membatasi akses kepada kepemilikan hak dan penegakannya10.

Langkah keempat, penyediaan bantuan hukum. Bagi perempuan dan anak, fasilitas
bantuan hukum amat penting hadir pada saat terjadi kasus KDRT maupun kekerasan
seksual.

Langkah kelima, penyediaan bantuan non hukum pada saat penanganan kasus KDRT
maupun kekerasan seksual. Bantuan non hukum ini sasarannya tidak hanya untuk

10
0 John Bruce. Legal Empowerment of the Poor: From Concepts to Assessment.
http://www.ardinc.com/upload/photos/676LEP_Phase_II_FINAL.pdf, 2007: hlm. 2. DIakses pada
4-3-2009.

15
advokasi kasus itu, untuk membangun semangat korban dan keluarga, tetapi juga dalam
rangka memberi edukasi bagi masyarakat secara luas. Melalui bantuan non hukum berupa
dukungan jejaring, edukasi pers, bedah kasus bersama akademisi mengundang APH,
pendekatan personal kepada APH yang memiliki kepedulian, pelatihan khusus kepada
APH yg diselenggarakan lembaga penyedia layanan dan fakultas hukum, penelitian dan
diseminasi hasilnya kepada publik; maka masyarakat diharapkan dapat memperoleh
edukasi tentang bagaimana melindungi hak-hak perempuan dan anak. Seyogyanya
dengan memperoleh pengetahuan tersebut, masyarakat pelahan akan berubah untuk
menjadi lebih sensitif dan responsif terhadap isu keadilan gender. Misalnya dalam kasus
perkosaan, proses edukasi diharapkan dapat memberi pengetahuan kepada masyarakat
bagaimana mekanisme penanganan yang tepat bagi korban, kemudian juga bagaimana
melindungi identitas korban dan memulihkan hak-hak korban. Bukan justru
menyebarluaskan identitas korban semata-mata karena rasa ingin tahu dan mencederai
hak-hak korban.

Baik juga untuk memulai kebiasaan di kalangan dosen dan mahasiswa untuk
menghentikan menyebarluaskan atau mengucapkan joke di kelas yang memojokkan
korban kekerasan seksual atau perempuan pada umumnya. Atau menghentikan kebiasaan
menyebarluaskan materi dengan konten seksual di mana perempuan dan anak menjadi
korbannya. Tindakan tersebut merupakan juga bagian dari sikap edukasi dalam rangka
membangun masyarakat yang responsif terhadap isu keadilan dan kesetaraan gender

Pelaksanaan dari langkah-langkah di atas tentu tidak mudah. Ada beberapa tantangan
dalam pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Pertama, nilai patriarkis yang
kuat terutama dalam masyarakat yang tidak memiiki latar belakang pendidikan formal
dan spiritual yang komperehensif.

Kedua, intensitas arus globalisasi saat ini yang menguat. Penguatan tersebut disebabkan
antara lain karena temuan-temuan dari teknologi informasi dan arus perpindahan orang
dan modal11 . Globalisasi tidak selalu menjamin terjadinya perubahan dalam masyarakat
menuju ke tatanan hubungan yang setara antara laki-laki dan perempuan. Justru informasi
yang dibawa melalui proses globalisasi apabila tidak dihadapi dengan nalar yang sehat
dan spiritualitas yang baik, informasi-informasi tersebut dapat memperkuat perspektif
patriarki.

Ketiga, kepentingan politik yang masih mempergunakan isu-isu patriarki. Pada setiap
proses pemilihan pemimpin baik di tingkat nasional, regional, bahkan sampai tingkat
desa, stereotip terhadap perempuan dengan dibungkus nilai budaya, masih dijadikan
materi kampanye.

4. Penutup

Perempuan dan anak di Indonesia masih berada pada posisi rentan. Terutama perempuan
dan anak dari kelompok minoritas dan miskin. Kerentanan tersebut menyebabkan mereka

11
Keebet von Benda Beckmann. “Globalisation and Legal Pluralism” dalam International Law
Forum du droit international No. 4. Amsterdam: Kluwer Law International, 2002, hlm. 20

16
mengalami keterbatasan akses atas hak-haknya. Seringkali kerentanan itu juga diperkuat
dengan nilai-nilai budaya yang bersifat patriarkis.

Dalam rangka membangun masyarakat yang responsif terhadap isu keadilan dan
kesetaraan gender, dengan mengikis pelahan nilai budaya yang bersifat patriarkis penting
untuk dilaksanakan beberapa upaya. Mulai dari pendidikan berbasis keadilan dan
kesetaraan gender, perumusan ulang hukum yang lebih mengakomodir keadilan dan
kesetaraan gender, penyediaan bantuan hukum dan pemberdayaan hukum dan
masyarakat, sampai dengan upaya mengubah beberapa kebiasaan yang bersifat seksis.

Upaya-upaya melakukan rekonstruksi atas nilai budaya yang tidak ramah perempuan dan
anak itu tidak mudah. Ada berbagai tantangan. Akan tetapi tantangan tersebut hadir justru
untuk membantu baik para pembuat kebijakan, akademisi, dan penegak hukum untuk
merumuskan lebih baik upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan dalam memberikan
pendidikan bagi masyarakat. Terutama yang terkait dengan upaya merekonstruksi ulang
nilai budaya yang menghambat akses perempuan dan anak atas hak-haknya, sehingga
dapat terbentuk masyarakat yang menghargai kesetaraan gender dan martabat perempuan
dan anak.

Daftar Pustaka12

A. Buku dan artikel

Herni Sri Nurbayanti. “Konsep-konsep Utama Hukum dan Gender” Bab 3 dalam buku
Perlindungan Hukum Perempuan dan Anak (editor: Sulistyowati Irianto). Jakarta, The
Asia Foundation, hlm.82-119.

John Bruce. Legal Empowerment of the Poor: From Concepts to Assessment.


http://www.ardinc.com/upload/photos/676LEP_Phase_II_FINAL.pdf. 2007: hlm. 2.
Diakses pada 4-3-2009.

Keebet von Benda Beckmann. “Globalisation and Legal Pluralism” dalam International
Law Forum du droit international No. 4. Amsterdam: Kluwer Law International, 2002,
hlm. 19-25.

Lidwina Inge Nurtjahyo “Perempuan dan Anak Korban Kejahatan Seksual” Bab 9
dalam buku Perlindungan Hukum Perempuan dan Anak (editor: Sulistyowati Irianto).
Jakarta, The Asia Foundation, hlm. 390-451.

12
Penulisan nama penulis dalam daftar pustaka diupayakan menggunakan sistem yang ramah
gender.

17
MaPPI FHUI dan LBH APIK Jakarta, Analisis Konsistensi Putusan Kekerasan Seksual
terhadap Perempuan. Jakarta, AIPJ, 2015.
Sulistyowati Irianto. “Hukum dan Keadilan bagi Perempuan dan Anak: Problema
Yuridis dan Kasus Hukumnya” dalam buku Perlindungan Hukum Perempuan dan Anak
(editor: Sulistyowati Irianto). Jakarta, The Asia Foundation, 2015: xi-xix.

Tien Handayani Nafi “Perempuan dan Anak dalam Perceraian” Bab 6 dalam buku
Perlindungan Hukum Perempuan dan Anak (editor: Sulistyowati Irianto). Jakarta, The
Asia Foundation, hlm. 251-290..

B. Peraturan perundangan

Undang-undang Republik Indonesia No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi


tentang

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Lembaran Negara Tahun


1984 No 29.

Undang-undang Republik Indonesia No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.


Lembaran

Negara Tahun 1999 No. 165

18
Kendala Peningkatan Kuota Keterwakilan
Perempuan Dalam Membuat Kebijakan

Dr.Ani Purwanti,SH,M.Hum
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang

1. Pendahuluan

Ciri-ciri hukum modern adalah digunakannya secara aktif hukum dengan sadar untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu.1 Kesadaran tersebut menyebabkan hukum modern
menjadi instrumental kehidupan sosial yang ada yang dengan kesadarannya dibentuk dari
kemauan sosial, golongan, elit dalam masyarakat. Cita-cita untuk maju dan gerakan
memajukan perempuan di Indonesia merupakan suatu proses dan dilaksanakan secara
berkelanjutan, sebagai bagian integral dari pembangunan negara dan bangsa.

Salah satu aspek mendasar dari pembangunan manusia adalah partisipasi politik. Kajian
yang dilakukan oleh United National Development Programme menunjukkan adanya
kerangka analitis hubungan antara partisipasi politik perempuan dan tata pemerintahan
yang baik juga memberikan beberapa contoh dimana pemberian kesempatan bagi
perempuan untuk terlibat dalam pembuatan keputusan telah meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan. Walau secara tradisional perempuan lebih dipandang
sebagai pihak penerima peran aktif yang sesungguhnya dimainkan perempuan yakni
sebagai pelaku perubahan dan pembangunan hal ini semakin diakui pada tingkat global.
Hal ini menciptakan banyak peluang untuk menyusun tatanan masyarakat yang lebih adil,
dimana hak-hak asasi manusia dilindungi dan kesetaraan gender menjadi norma yang
diterapkan dalam kerangka sosial dan kelembagaan.

Perempuan mempunyai hak konstitusional yang sama dengan laki laki meskipun
demikian sampai saat ini posisi perempuan masih banyak berada di sekitar ranah
domestik, selain itu mayoritas perempuan Indonesia masih mengalami marjinalisasi, sub
ordinasi, mempunyai beban ganda dan stereotype tertentu serta mengalami kekerasan
baik di wilayah publik maupun domestik. Fakta tersebut menjadikan permasalahan
kesenjangan dan ketimpangan gender di masyarakat, sehingga berbagai upaya dilakukan
untuk menguranginya, salah satunya adalah dengan mengupayakan peningkatan jumlah
perempuan (partisipasi perempuan) di bidang politik khususnya di lembaga legislatif.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia telah memberi landasan bagi persamaan


kedudukan untuk laki dan perempuan dalam berparstisipasi di bidang politik dan
pemerintahan, bahkan pada perubahan UUD 1945 yaitu Pasal 28H ayat (2) memberikan

1
Lihat David M.Trubeck, Toward a Social Theroy of Law: An Essay on the Study of Law and
Development, dalam Yale Law Journal, Vol. 82, 1972, hal. 4-5; lihat, Donald Black,
Sociological Justice, Oxford University Press, 1989, hal 44.

19
"diskriminasi positif"2 untuk meningkatkan partisipasi perempuan di bidang politik,
sehingga keterlibatan perempuan dalam kehidupan publik dan politik (legislatif) terlihat
telah meningkat, meskipun partisipasi dan keterwakilan mereka di lembaga perwakilan
tingkat provinsi, dan kabupaten/kota masih harus diupayakan lagi peningkatannya.

Permasalahan partisipasi perempuan di bidang politik adalah sebuah keniscayaan, oleh


karena itu setiap negara, termasuk Indonesia, berusaha mengupayakan peningkatan
keterlibatan perempuan di bidang politik khususnya lembaga legislatif. Dengan demikian
penelitian ini akan memberikan kontribusi terkait untuk mendorong perempuan
berpartisipasi dalam kehidupan politik dan publik.Partisipasi merupakan aspek penting
dari demokrasi.3 Partisipasi politik di negara-negara yang menerapkan sistem politik
demokrasi merupakan hak warganegara, tetapi dalam kenyataannya warga negara yang
berpartisipasi berbeda dari satu negara dengan negara yang lain. Dengan kata lain, tidak
semua warga negara ikut serta dalam proses politik.

Di negara yang menganut paham demokrasi, pemikiran yang mendasari konsep


partisipasi politik adalah bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang pelaksanaannya
dapat dilakukan oleh rakyat secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan.
Partisipasi politik merupakan aspek yang sangat penting dan merupakan ciri khas adanya
modernisasi politik.4Di negara yang kehidupan masyarakatnya masih tergolong
tradisional dan sifat kepemimpinan politiknya ditentukan oleh segolongan elit penguasa,
maka partisipasi warga negara dalam ikut serta memengaruhi pengambilan keputusan dan
memengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara relatif sangat rendah. Sementara itu di
negara yang proses modernisasi politiknya telah berjalan baik maka tingkat partisipasi
politik warga negara cenderung meningkat.5

Pengaturan partisipasi perempuan di bidang politik khususnya Legislatif merupakan


politik hukum yang diambil Indonesia untuk mengatur sakaligus meningkatkan partisipasi
perempuan di bidang politik, sehingga semua stakeholder yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat, partai politik, Komisi Pemilihan Umum yang institusi atau lembaga terkait
misalnya Kantor Pemberdayaan Perempuan Dan Anak, Komisi Nasional Perempuan,
Lembaga Swadaya Masyarakat termasuk lembaga kajian hendaknya memenuhi
pengaturan tersebut.

Jumlah perempuan dalam pembuatan kebijakan dan hukum formal/publik negara


Indonesia yang sangat sedikit sehingga memengaruhi sistem. Gerakan-gerakan
perempuan aktivis dan aktivis perempuan di akar rumput, organisasi-oganisasi non-
pemerintah kerap dicurigai dan dihalangi aksesnya, khususnya pada masa Orde Baru,

2 Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, “Pers Release” dalam
http://www.koalisiperempuan.or.id/pers-release/ (diakses pada tanggal 20 Oktober 2013).
3 Damsar, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), hlm. 285.
4 Universitas Sumatera Utara, “Bab I Pendahuluan” dalam
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28804/4/Chapter%20I.pdf (diakses pada tanggal
20 Oktober 2013.
5 Ibid.

20
dalam memberikan advokasi, masukan, tekanan, dan penyadaran kepada masyarakat
bawah, maupun kepada pemerintah Indonesia.6

Perjuangan para aktivis perempuan dalam memengaruhi kebijakan negara termasuk


Indonesia dalam mengimplementasikan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination against Women, CEDAW) sebagai konsekuensi penandatanganan
konvensi tersebut7 baru mendapat perhatian yang serius dari parlemen Republik
Indonesia di era Reformasi. Salah satunya adalah mewujudkan Pasal 7 CEDAW yaitu
dengan melakukan tindakan affirmative action untuk meningkatkan keterwakilan
perempuan di bidang politik khususnya lembaga legislatif.

Perjuangan aktivis perempuan dan koalisi perempuan anggota parlemen di Era


Reformasi, menghasilkan pengaturan partisipasi perempuan khususnya pada lembaga
legislatif yang diundangkan secara formal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik8 dan diberlakukan sejak 27 Desember 2002. Produk lainnya adalah
Undang-Undang tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD Nomor 12 Tahun 20039 yang
berlaku mulai 11 Maret 2003, di mana Pasal 65 ayat (1) dan (2) berisi tentang affirmative
action yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut.

(1) Setiap partai politik beserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah
pemilihan, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-
kurangnya 30%;
(2) Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-
banyaknya 120% jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap daerah
pemilihan.

2. Pembahasan

Secara yuridis, kesetaraan derajat antara perempuan dan laki-laki, baik di bidang hukum,
politik, sosial maupun ekonomi, dijamin setingkat dalam konstitusi negara Indonesia.
Namun demikian realitas berbicara lain. Meskipun perangkat yuridis tidak membedakan
hak dan kewajiban warga negara berdasar jenis kelamin, tetapi perangkat yuridis tersebut
tidak memiliki efek yang signifikan terhadap realitas sehari-hari, termasuk dalam bidang
politik. Perempuan menjadi subordinasi dari laki-laki dalam berbagai hal, khususnya
penentuan dan pengambilan kebijakan. Di lembaga politik selalu terjadi kesenjangan
yang cukup lebar dalam setiap keterwakilan perempuan. Hal ini dapat dilihat pada jumlah
anggota legislatif perempuan yang masih sedikit. Jumlah perempuan yang duduk di
lembaga legislatif masih jauh dari yang dicita-citakan (dibawah kuota 30%).10

6 Deviyanti Dwiningsih, op. cit., hlm. 52.


7 CEDAW diratifikasi pada era Orde Baru melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.
Ibid., hlm. 54.
8 Lembaran Negara Nomor 22 Tahun 1999.
9 Lembaran Negara Nomor 138 Tahun 2002.
10
Berdasarkan studi United Nations Division for the Advancement of Women (UN-DAW), suara
perempuan, khususnya dalam menunjukkan dan memperjuangkan nilai-nilai, prioritas, dan

21
Keterwakilan perempuan di dalam parlemen mempunyai tujuan mempengaruhi kebijakan
yang akan diputuskan dalam proses legislasi. . Hal ini terutama terkait dengan pembuatan
kebijakan publik yang bersentuhan dengan kepentingan perempuan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Namun demikian, kesadaran akan pentingnya representasi
perempuan masih belum dipahami dengan baik oleh masyarakat secara umum. Oleh
karena itu, dalam rangka meningkatkan keterwakilan perempuan di dalam parlemen,
maka dilakukan upaya affirmative action di dalam pelaksanaan Pemilihan Umum
(Pemilu). Upaya affirmative action ini telah mulai dilaksanakan Indonesia sejak Pemilu
Tahun 2004, melalui UU Pemilu yang mengatur kuota pencalonan legislatif perempuan
sebanyak 30 persen. Meski upaya kuota telah dilakukan, namun hasil Pemilu 2004, 2009
dan 2014 belum menunjukan angka keberhasilan yang signifikan.

Padahal, kehadiran perempuan dalam ranah politik menjadi sangat penting. Hal ini
dikarenakan:11 Pertama, perempuan telah bekerja di banyak bidang namun tidak memiliki
saluran politik. Oleh karena itu, diperlukan keterlibatan perempuan dalam proses
pengambilan keputusan; Kedua, kebijakan –kebijakan negara memiliki dampak yang
berbeda antara warga negara perempuan dan warga negara laki-laki; Ketiga, kebijakan-
kebijakan yang berhubungan dengan perempuan tersebut seringkali dianggap sudah pasti
terpenuhi oleh para anggota parlemen laki-laki. Padahal di lain pihak, kepentingan khusus
perempuan tidak mendapatkan porsi yang cukup dalam proses pengambilan kebijakan
politik yang ada.

Pemberdayaan menjadi konsep untuk mengatasi ketimpangan Gender sebagaimana


dikatakan oleh Nursyahbani Katjasungkana terdapat 4 indikator pemberdayaan, yaitu :

1. Akses (kesamaan hak dalam mengakses)

2. Partisipasi (keikutsertaan dalam mendayagunakan)

3. Kontrol (mempunyai kesempatan yang sama untuk melakukan kontrol atas


pemanfaatan)

4. Manfaat (sama-sama menikmati hasil pemanfaatan pembangunan)

Dalam pemberdayaan, Gunawan Sumodiningrat mengatakan 3 langkah yang


harus dilakukan secara berkesinambungan, yaitu

1. Pemihakan (perempuan sebagai pihak yanghendak diberdayakan harus


dipihaki darpada laki laki)

karakter khas keperempuanan baru diperhatikan dalam kehidupan publik apabila mencapai
minimal 30-35 persen. Lihat, Marle Karl, Women and Empowerment: Partisipation and
Decision Making, London & New Jersey: Zed Book Ltd, 1995, h. 63-64 dalam Ramlan
Surbakti, Didik Supriyanto dan Hasyim Asy’ari, Meningkatkan Keterwakilan Perempuan:
Penguatan Kebijakan Afirmasi, Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2011,
halaman 1.
11
Sri Yanuarti, Pergulatan di Tengah Marginalisasi dan Dominasi Kultur Patriarki: Perempuan,
Partai Politik & Parlemen di Nusa Tenggara Barat dalam Jurnal Perempuan, Partai Politik, dan
Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di Tingkat Lokal, Pusat Penelitian Politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftun, Jakarta, 2012, halaman
130

22
2. Penyiapan (pemberdayaan menuntut kemampuan perempuan untuk bisa ikut
mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan mengambil manfaat)

3. Perlindungan memberi proteksi sampai dapat dilepas.

Perempuan meyakini bahwa dengan menambah jumlah keterwakilan perempuan di


legislatif maka perjuangan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan gender pada tataran
kebijakan Negara dapat dicapai, termasuk mengawal Undang-Undang yang berkaitan
dengan isu perempuan sebab perempuan lebih mampu memahami, merasakan dan
berempati terhadap masalah dan aspirasi perempuan, disamping mempunyai kesadaran
politik dan kesadaran gender.12

Affirmative Action sudah diterapkan tiga kali dalam Pemilihan Umum yaitu pada
Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2004 yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 menghasilkan keterwakilan perempuan sebesar 11,2% atau 62 perempuan
dari total 550 anggota DPR. Sementara pada Pemilihan Umum Tahun 2009 yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan diakomodirnya Keputusan Mahkamah
Konstitusi terkait suara terbanyak menghasilkan 18,6% atau 104 perempuan dari total 560
anggota DPR. Sedangkan pada Pemilihan Umum Tahun 2014 yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2012 menghasilkan keterwakilan perempuan sebesar 17,32%
atau 97 orang dari total 560 anggota DPR. Pada Pemilihan Umum Tahun 2014,
keterwakilan perempuan di Parlemen mengalami penurunan dari Pemilihan Umum Tahun
2009.
Dengan demikian, perlu adanya strategi peningkatan partisipasi perempuan pada
Lembaga Legislatif, karena pembuatan kebijakan ada di ranah tersebut.

Jumlah dan persentase keterwakilan perempuan sejak Indonesia merdeka sampai dengan
saat ini terlihat pada bagan di bawah ini:

Tabel
Jumlah Anggota Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, sejak Pemilu pertama sampai pemilu tahun 2014

Jumlah
Total
Pemilu Anggota Persentase
Anggota DPR
Perempuan
1955 272 17 6,25

1971 460 36 7,83

1977 460 29 6,30

12
Konfrensi dunia di Beijing tahun 1995, mencatat 12 bidang penting perempuan yang perlu
diperhatikan baik oleh lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah dan menjadi agenda
politik perempuan yaitu: Perempuan dan kemiskinan, pendidikan dan pelatihan perempuan,
perempuan dan kesehatan, tindak kekerasan terhadap perempuan, perempuan dan konflik
bersenjata, perempuan dan ekonomi, perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan,
mekanisme kelembagaan dan kemajuan perempuan, Hak asai Perempuan, perempuan dan media
masa, perempuan dan lingkungan hidup serta Anak Perempuan.

23
1982 460 39 8,48

1987 500 65 13,00

1992 500 62 12,50

1997 500 54 10,80

1999 500 45 9,00

2004 550 61 11,09

2009 560 101 (103) 17,86 (18,3%)*

2014 560 97 17,32

Sumber: Diolah dari data Puskapol Fisip UI


Keterangan: Jumlah Anggota Perempuan DPR-RI Periode 2009-2014 menjadi
103 (18,3%) yang disebabkan pergantian antarwaktu (PAW).

Dari tabel di atas, terlihat bahwa gerakan perempuan di Indonesia memiliki keterlibatan
aktif di bidang politik namun masih ada kesenjangan dalam hal partisipasi dan
keterwakilan perempuan di struktur politik formal. Artinya, mereka belum terwakili
secara setara di lembaga legislatif tingkat nasional pada pemilihan umum pertama pada
pada tahun 1955, sehingga representasi perempuan hanya sekitar 5,9% kursi di parlemen.
Meskipun telah ada kecenderungan meningkat dalam hal keterwakilan perempuan sejak
tahun 1971, ada beberapa pengecualian, termasuk pada pemilihan umum tahun 1977
ketika jumlah perempuan terpilih melorot dari 7,8% menjadi 6,3% jika dibandingkan
dengan pemilihan umum sebelumnya (1971) dan kembali mengalami penurunan lagi
pada pemilhan umum tahun 1999 menjadi 9% jika dibandingkan dengan pemilihan umum
sebelumnya sebesar 10,8% pada tahun 1997.
Meskipun demikian, terjadi peningkatan keterwakilan perempuan di DPR RI pada pemilu
2004 dan 2009, yaitu 11,8% pada 2004 dan 18% pada 2009; walaupun terjadi penurunan
sebesar 1% pada 2014 menjadi 17%. Kecenderungan meningkat dalam hal keterwakilan
perempuan di DPD RI dari 22,6% pada 2004 menjadi 26,5% pada 2009 juga cukup
menggembirakan.

Tantangan dan Kendala

a. Adanya Tantangan-Tantangan Ideologis

Tantangan yang paling mendasar yang dihadapi oleh perempuan ketika akan memasuki
ranah publik justru datang dari pemisahan wilayah yang luas antara ranah publik dan
privat. Ideologi pemisahan tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin menentukan
perempuan sebagai seorang warga negara yang bersifat privat dengan peran utama di
dalam rumah tangga sebagai ibu dan istri, sementara laki-laki diberikan peran yang lebih
produktif di ranah publik

24
Adapun bentuk-bentuk tantangan ideologis perempuan dalam bidang politik dapat dilihat
dari hambatan secara langsung, hambatan yang Bersifat Mendasar maupun Hambatan
Struktural. Bentuk-bentuk tantangan ideologis perempuan dalam bidang politik secara
langsung adalah sebaga berikut:

 Kurangnya Keterampilan dan Pendidikan Politik

 Kurangnya Pengetahuan akan Sistem

 Kurangnya Minat Perempuan terhadap Politik

 Kurangnya Sumber Daya Finansial

 Kurang Percaya Diri

 Kurang Mobilitas

 Tanggung Jawab Keluarga

 Kurangnya Perempuan yang Aktif sebagai Kader Partai Politik

 Kurangnya Dukungan dari Partai Politik

 Persepsi yang Menganggap Politik itu Kotor

Sedangkan bentuk-bentuk tantangan ideologis perempuan dalam bidang politik yang


bersifat mendasar adalah sebagai berikut:

 Budaya Maskulin dan Dominasi Laki-laki

 Agenda Partai Politik yang Berorientasi terhadap Laki-laki Saja

 Kurangnya Demokrasi di Internal Partai Politik

 Komersialisasi Politik

 Sistem Kepemiluan

 Nepotisme dan Elitisme didalam Partai Politik

 Kekerasan Politis

 Korupsi dalam Politik

Bentuk-bentuk tantangan ideologis perempuan dalam bidang politik yang bersifat


struktural adalah sebagai berikut:

 Dikotomi Diskursif Ranah Publik-Privat

 Patriarki Publik dan Privat

 Perilaku Sosial yang Patriarkis terhadap Laki-laki dan Perempuan

25
 Fundamentalisme Keagamaan

b. Adanya Tantangan-Tantangan Sosio-Ekonomi

Budaya patriarki dan nilai-nilai sosial di Indonesia menuntut perempuan untuk tidak
berpartisipasi di ranah politik maupun pemerintahan, dan politik dianggap sebuah ranah
yang prerogatif milik laki-laki. Adapun bentuk-bentuk tantangan sosio-ekonomi
perempuan dalam bidang politik dapat dilihat dari hambatan secara langsung, hambatan
yang Bersifat Mendasar maupun Hambatan Struktural. Bentuk-bentuk tantangan sosio-
ekonomi perempuan dalam bidang politik secara langsung adalah sebaga berikut;

 Kurangnya Lapangan Kerja

 Kurangnya Mobilitas dalam Hal Pekerjaan

 Kurangnya Kualifikasi

 Tingginya Tingkat Pengangguran

 Batasan Budaya dalam Hal Pilihan Pekerjaan bagi Perempuan

 Pelecehan dan Intimidasi Seksual di Tempat Kerja

Sedangkan bentuk-bentuk tantangan sosio-ekonomi perempuan dalam


bidang politik yang Bersifat Mendasar adalah sebagai berikut:

 Dominasi Laki-laki di Tingkat Manajemen Senior dan Kebijakan

 Liberalisasi dan Kasualisasi Pekerjaan

 Ketidakadaan Kuota Gender

Dan bentuk-bentuk tantangan sosio-ekonomi perempuan dalam bidang politik


yang Bersifat Struktural adalah sebagai berikut:

 Ideologi Peran Gender

 Lembaga Budaya yang Bersifat Maskulin

 Pasar Tenaga Kerja yang Tersegmentasi

c. Adanya Tantangan-Tantangan Politis dan Kelembagaan

Sistem kepemiluan di Indonesia masih memberikan dukungan terhadap kekuasaan yang


dipegang oleh elit politik, meskipun sistem daftar calon terbuka sudah mulai
diperkenalkan pada pemilu 2009. Dalam sistem yang baru ini, pemilih bisa memilih
partai politik, atau parpol dan calon legislatif, atau calon legislatif dari daftar calon.
Peraturan pemilihan umum ini diharapkan dapat mendobrak monopoli pimpinan parpol
dalam menentukan siapa yang akan mewakili kepentingan rakyat. Meskipun demikian,
sistem baru ini tidak membawa banyak perubahan.

26
3. Kesimpulan

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia telah memberi landasan bagi persamaan


kedudukan untuk laki dan perempuan dalam berparstisipasi di bidang politik dan
pemerintahan, bahkan pada perubahan UUD 1945 yaitu Pasal 28H ayat (2) memberikan
"diskriminasi positif"13 untuk meningkatkan partisipasi perempuan di bidang politik,
sehingga keterlibatan perempuan dalam kehidupan publik dan politik (legislatif) terlihat
telah meningkat, meskipun partisipasi dan keterwakilan mereka di lembaga perwakilan
tingkat provinsi, dan kabupaten/kota masih harus diupayakan lagi peningkatannya.

2. Dinamika pengaturan partisipasi perempuan pada lembaga legislatif mulai ada


menjelang pemilu legislatif tahun 2004 berlanjut pemilu tahun 2009 dan tahun 2014
melalui UU No 31 Tahun 2002,UU No 2 Tahun 2008 dan UU No 2 Tahun 2011 tentang
Partai Politik. Selain itu terdapat pada UU No 12 Tahun 2003, UU No 10 Tahun 2008 dan
UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, dan jumlah
perempuan yang terpilih menjadi anggota legislatif secara nasional mencapai 11,09 %
untuk pemilu 2004, tahun 2009 sebesar 18,04 % dan pada pemilu 2014 turun menjadi
sekitar 17,3%.

3. Harus diupayakan hal hal di tingkat politis yaitu dengan keterlibatan negara dalam
memberikan regulasi yang mewajibkan partai politik dalam Anggaran Dasar (AD) dan
Anggaran Rumah Tangganya (ART) untuk memberdayakan perempuan serta mengubah
sistem keterpilihan calon dalam Pemilu dari cara proporsional terbuka menjadi sistem
proporsional tertutup dengan mewajibkan Partai Politik memberikan keterwakilan
perempuan 30 persen di dalam calon terpilih. Selain itu, stategi yang penting untuk
dilakukan oleh stakeholder (pemangku kebijakan) adalah dengan melakukan berbagai
upaya dibidang struktural dan kultural terkait partisipasi perempuan pada lembaga
legislatif. Dengan demikian akan dihasilkan calon Legislatif perempuan yang kapabel dan
berkualitas.

Daftar Pustaka
1. David M.Trubeck, Toward a Social Theroy of Law: An Essay on the Study of
Law and Development, dalam Yale Law Journal, Vol. 82, 1972, hal. 4-5; lihat,
Donald Black, Sociological Justice, Oxford University Press, 1989
2. Farha Kamalia, “Keterlibatan Wanita dalam Politik di Indonesia Era Orde Baru
dan Reformasi” dalam
http://farhakamalia.wordpress.com/2012/01/05/keterlibatan-wanita-dalam-
politik-di-Indonesia-era-orde-baru-dan-reformasi/ (diakses pada tanggal 20
Oktober 2013).
3. Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, “Pers Release”
dalam http://www.koalisiperempuan.or.id/pers-release/ (diakses pada tanggal 20
Oktober 2013).

13 Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, “Pers Release” dalam
http://www.koalisiperempuan.or.id/pers-release/ (diakses pada tanggal 20 Oktober 2013).

27
4. Sri Yanuarti, Pergulatan di Tengah Marginalisasi dan Dominasi Kultur
Patriarki: Perempuan, Partai Politik & Parlemen di Nusa Tenggara Barat dalam
Jurnal Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota
Legislatif Perempuan di Tingkat Lokal, Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftun, Jakarta, 2012.
5. Damsar, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010)

Peraturan Perundang-Undangan

1. Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945


2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD
dan DPRD.
6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD
dan DPRD.
7. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD
dan DPRD

28
Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, Anak dan Pelaku
Kekerasan dalam Upaya Penegakan Hukum

Dr. Yusnani Hasyimzum, S.H., M.Hum

1. Pendahuluan

Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).
Kenyataan menunjukkan bahwa berbagai aturan hukum yang ada. Banyak terjadi
pelanggaran,berbagai permasalahan kekerasan terhadap perempuan muncul, Semua
perbuatan tersebut jelas telah melanggar UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.dan perempuan cenderung selalu dipersalahkan dan hukum tidak berpihak
pada perempuan maupun anak,sebaliknya perempuan dan anak justru sebagai korban .
Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak serta pemenuhan hak-hak
nya sebagai korban adalah bagian tak terpisahkan dari tanggung jawab negara dalam
menegakkan Hak Asasi Manusia.

Kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang


ditetapkan dalam Konferensi Hak Asasi Manusia ke II di Wina Tahun 1993. Charlotte
Bunch, adalah tokoh yang telah memulai transformasi konsep Hak Asasi Manusia
menyatakan bahwa issue perempuan tidak bisa lagi dianggap sebagai issu marjinal
dan harus digeser ketengah , artinya issue perempuan secara konkrit harus menjadi
fokus perhatian negara di tingkat nasional, regional dan internasional dengan demikian
issue perempuan harus dianggap sebagai masalah negara dan bangsa dan bukan
masalah perempuan saja.1

Indonesia telah meratifikasi konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala


Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita ( CEDAW)Convention on the Elimination of all
form of Discrimination Againts Women). Selain itu Indonesia juga meratifikasi
Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Child) dengan Keppres No.36
Tahun1990, yang dituangkan dalam Undang-Undang Nasional guna melindungi anak
dari segala bentuk kekerasan ,dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak, ancaman pidana diberikan bagi setiap orang yang melakukan
kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak.
pasal 59 menegaskan, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban
dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan khusus dan pendampingan
kepada anak korban kekerasan fisik dan/ atau psikis.

1
Saparinah sadli Hak Asasi Perempuan adalah hak asasi manusia , dalam pemahaman bentuk-
bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dan alternatif pemecahannya.Kelompok
kerja”convention wacht” Pusat Kajian wanita dan gender universitas Indonesia , bekerja sama
dengan kedutaan besar Selandia Baru, Alumni Bandung.Jakarta .2000. hlm.5

29
Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal .45
menegaskan bahwa : Hak Perempuan adalah Hak asasi manusia

Dalam Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang pengadilan HakAsasi Manusia Psl
9 Menyatakan : Perkosaan Perbudakan seksual, pelacuran Paksa , dan pemaksaan
kehamilan , sterilisasi secara paksa , kekerasan seksual yang lainnya merupakan
perbuatan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah


Tangga .Pasal 1 ayat.1 menyatakan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan secara fisik , seksual, psikologis
dan penelantaran Rumah Tangga termasuk ancaman utnuk melakukan perbuatan
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.

Jika kita telaah lebih dalam telah banyak peraturan yang memberikan perlindungan
terhadap perempuan dan anak tetapi kenyataannya masih banyak perempuan dan anak
yang menjadi korban kekerasan. Issue yang ditemukanberupaya untuk mencari solusi
bagaimana penghapusan kekerasan terhadap perempuan , anak dan pelaku kekerasan
dalam upaya penegakan hukum .

2. Pembahasan.

Dalam UUD 1945 Psl 27 ayat 1 dan ayat 2 s/d Pasal 28 D isi pasal tsb tidak
membedakan antara perempuan dan laki-laki, terminologi “setiap orang”, jelas memberi
makna bahwa hak asasi manusia dalam perspektif UUD 1945 tidak membeda-bedakan
gender, yang harus diturunkan dalam peraturan-peraturan dibawahnya yang bersifat
mengikat.

Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Kovenan Hak


Ekosob).telah diratifikasi negara Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak ekonomi,sosial dan budaya ).Kovenan
ini menentukan bahwa perempuan dan laki memiliki hak yang sama untuk menikmati
hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.2

Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik . Kovenan ini telah diratifikasi dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan InternationalCovenant On
Civil And Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik).
Dalam kovenan ini, ditekankan bahwa hak muatan kovenan tersebut berlaku antara laki-
laki dan perempuan sama dan sederajat.3Ternyata semua Konvensi Internasional selalu
memiliki rumusan kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan tidak ada diskriminasi.

2
Pasal 3 Kovenan Ekosob
3
Pasal 3 Kovenan Hak Sipol

30
Banyaknya aturan yang berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan tidak adadikriminasi
.tetapi dalam kehidupan masyarakat. Banyak ditemukan diskriminasi yang dialami
perempuan yang menimbulkan banyak kerugian dan membuatnya menjadi tersubordinasi
yang menimbulkan kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan,Ketidak
sinkronan pemahaman gender dengan sosial budayakeagamaan dan system
kenegaraanmembuat adanya perbedaan gender4 yang menimbulkan ketidak adilan gender.

Pada tahun 2013 tercatat 279.688 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka
kekerasan naik pada tahun 2014, Komnas Perempuan mencatat jumlah kekerasan atas
perempuan mencapai 305.730.5Kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol
kekerasan terjadi di ranah personal.Catahu 2016 menunjukkan terjadi kenaikan data
jenis kekerasan seksual di ranah personal dibanding tahun sebelumnya, yakni 11.207
kasus.Di ranah komunitas, terdapat 5.002 kasus kekerasan terhadap
perempuan.Sebanyak 1.657 kasus di antaranya jenis kekerasan seksual.Ternyata
Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi di bidang personal, komunitas dan negara
bahkan bentuk-bentuknya justru bervariasi sesuai dengan perkembangan prilaku
masyarakat dan semakin meningkat.

Berbicara tentang perempuan tidak dapat lepas dari Anak yang merupakan aset bangsa
yang sangat penting untuk melanjutkan regenerasi dalam sebuah negara. Sehingga anak
patut untuk di lindungi.Hal dinyatakan dalam pasal 28B ayat (2) UUD 1945 “Setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Ternyata kekerasan tidak tidak hanya terjadi pada kaum perempuan tetapi terjadi juga
terhadap anak Pada Tahun 2007 sampai dengan tahun 2013 kasus kekerasan
teMohammad Taufik Makarao,dkkrhadap anak mengalami kenaikan yang cukup
signifikan dan pada Tahun2014 angka kekerasan terhadap anak menurun . Meski
diakui bahwa terjadi penurunan pelanggaran hak anak dari 2013 sejumlah 3.339 menjadi
2.750 laporan di tahun 2014, angka kasus anak yang berhadapan dengan hukum di tahun
2014 naik 10% dari tahun lalu menjadi 26%. Pelaku kekerasan itu adalah anak-anak
dengan rentang usia 6 sampai 14 tahun.l dibawah ini terlihat banyaknya kasus dengan
bentuk-bentuk kekerasan yang bervariasi.

Tabel 3. Jumlah bentuk kasus kekerasan terhadap perempuan di tahun 2016 menurut
jenis
Jenis Jumlah
Kekerasan di ranah komunitas 5.002
kekerasan seksual:
Perkosaan 1.657
Pencabulan 1.064
pelecehan seksual 268
kekerasan seksual lain 130

4
Ristina Yudhanti.SH.M.Hum “Perempuan dalam Pusaran Hukum “Tafa Media Yogyakarta
hlm.31 .th.2014
5
Komnas PerempuanThn. 2013-2015

31
melarikan anak perempuan 49
percobaan perkosaan 6

Sumber: Statistik Komnas Perempuan 2016

Selain bentuk-bentuk kasus diatas juga dapat dilihat bentuk kasus perbidang.Menurut
data KPAI jumlah 5 kasus tertinggi dengan jumlah kasus pada tahun 2011 hingga april
2015. Pertama,kasus anak berhadapan dengan hukum hingga april 2015 tercatat 6006
kasus. Selanjutnya, kasus pengasuhan 3160 kasus, pendidikan 1764 kasus, kesehatan dan
napza 1366 kasus serta pornografi dan cybercrime 1032 kasus.6

Sebagian besar kasus-kasus tersebut ditangani oleh organisasi pengada layanan atau
komunitas penangganan dan penanggulangan korban kekerasan perempuan dan anak.Para
penggiat komunitas atau yang kerap menyebut sebagai pendamping korban ataupun
relawan adalah ujung tombak pemerintah dalam pemenuhan hak perempuan dan anak
korban kekerasan.

3. Simpulan

Tidak ada satu pun bentuk kekerasan terhadap anak yang dapat dibenarkan sehingga di
dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, ancaman pidana
diberikan bagi setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman
kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak. Di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak pasal 59 disebutkan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara
lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan khusus
dan pendampingan kepada anak korban kekerasan fisik dan/ atau psikis. Pasal 72 Ayat 1
juga menegaskan bahwa masyarakat (termasuk media massa) berperan serta dalam
perlindungan anak baik secara perseorangan maupun kelompok.

Banyaknya kekerasan banyak pula lembaga pelayanan yang bermunculan baik oleh
masyarakat maupun oleh pemerintah, tetapi tidak sebanding dengan keberadaan
perangkat dan pendukung, baik dari sisi infrasruktur maupun sumberdaya manusianya
termasuk anggaran. Situasi ini yang menjadi tugas pemerintah untuk untuk memberikan
perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak.

Saat ini peristiwa kekerasan terhadap anak, tidak hanya terjadi di wilayah domestik,
melainkan telah meluas di berbagai ranah termasuk di wilayah publik.dalam bentuk;
pekerja seks online,mucikari, biro jodoh, penyedia layanan perkawinan siri dan banyak
lagi bentuk lain yang berkembang di dalam masyarakat.

Penghapusan kekerasan terhadap Perempuan dan anak dapat dilakukan dengan


memberikan :

6
KPAI .2015.

32
a. Perlindungan hukum.
Peraturan-peraturan perundang-undangan harus bersifat melindungi hak-hak
warga negara,berkedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan,
berkeadilan dan tidak diskriminatif. tetapi peraturan yang berlaku saat ini masih
bias gender dan belum berpihak pada kaum perempuan karena kebijakan masih di
dominasi kaum laki-laki termasuk substansi aturan-aturan hukum masih berpihak
pada kaum laki-laki.Oleh karenanya peraturan perundang-undangandiskriminatif
perlu direvisi untuk mewujudkan peraturan yang bersifat adil gender.

b. Pencegahan
Mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak. dengan cara memberikan
sosialisasi penyuluhan,pendidikan dan pemberdayaan masyarakat secara
berkesinambungan untuk dapat memahami apa pengertian kekerasan , apa saja
Hak asasi perempuan, selanjutnya memberdayakan organisasi –organisasi
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat,agar masyarakat sensitif dan
responsifterhadap masalah- masalah yang berkaitan dengan tindak kekerasan
terhadap perempuan dan anakguna menanamkan rasa tanggung jawab
bersama,yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan partisipasi masyarakat
dan peran pembuat kebijakan adalah salah satu upaya untuk mewujudkan
perubahan yaitu mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak.

c. Penanganan dan Penanggulangan


Unit Pelaksana Teknis Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan
Anak (UPTP2TP2A) sebagai pendamping korban kekerasan terhadap perempuan
dan anak dalam menangani dan menanggulagi kasus-kasus harus dilakukan
secara terpadu dengan melibatkan berbagai pihak yakni Aparat Penegak Hukum
(Polisi, Jaksa, Hakim), Rumah Sakit termasuk partisipasi masyarakat yang
tanggap memberikan informasi, sehingga penanganan dan penanggulangan
secara terpadu mendapatkan hasil yang optimal.

Disamping menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak dari 3 indikator di atas ,
lalu bagaimana upaya penegakan hukum yang harus dilakukan agar masyarakat dapat
hidup dengan damai sejahtera dan hak-haknya dapat terpenuhi. Menurut Suharto yang
dikutip R.Abdussalam menyatakan bahwa hukum adalah suatu rangkaian kegiatan yang
dilakukan aparat penegak hukum baik tindakan pencegahan maupun penindakan dalam
menerapkan ketentuan hukum yang berlaku guna menciptakan suasana aman damai dan
tertib demi kepastian hukum dalam masyarakat.7

Dalam Implementasi Undang-undang Nomor. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan


Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Pasal 50 UU menegaskan :
Selain sanksi pidana yag dijatuhkan pada pelaku kekerasan sebagai hukuman jera Hakim
juga berhak menjatuh kan pidana tambahan berupa :
a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban
dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;

33
b. penetapan pelaku kekerasan mengikuti program konseling di bawah pengawasan
lembaga tertentu.
Muatan Pasal 50 (a),(b).ternyata hakim belum menerapkan pidana tambahan berupa
konseling pembatasan gerak pelaku dengan menjauhkan pelaku dari korban
kekerasan. Selanjutnya penetapan pelaku kekerasan untuk mengikuti program
konseling.
Pengertian konseling Menurut Blocher. adalah suatu pemberian bantuan kepada
seseorang supaya dapat menyadari reaksi-reaksi pribadi terhadap prilaku dari
lingkungan, membantunya membentuk makna dari prilakunya dan memperjelas
rangkaian tujuan dari prilaku selanjutnya,8 Oleh karenanya dengan bimbingan
konseling membantu individu menyadari mereka dapat hidup lebih rasional dan
produktif yang dapat memberikan kontribusi dalam rumah tangganya
Mengingatnya semakin maraknya kasus-kasus tindak kekerasaan hingga saat ini maka
muatan/substansi Psl .50. sangat baik untuk diterapkan . karena langkah ini merupakan
suatu bentuk perlindungan hukum bagi hak – hak korban serta merespon kebutuhan untuk
mencegah berlanjutnya ancaman tindak KDRT,Selain itu program konseling yang
ditujukan untuk membimbing pelaku melakukan koreksi atas perbuatan KDRT yang
pernah dilakukannya.

Belum dilaksanakannya Psl 50 UU PKDRT tersebut karena; belum ada penjelasan


petunjuk secara teknis lembaga mana yang diberi tugas untuk melaksanakan pengawasan
dan memberikan konseling,dan lembaga tersebut sudah terakreditasi misalnya; rumah
sakit, klinik, kelompok konselor, atau yang mempunyai keahlian memberikan konseling
bagi pelaku.

Langkah yang perlu diambil adalah pemerintah segera menerbitkan petunjuk teknis
dalam menerapkan pasal 50 Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga.

Daftar Pustaka

-Blocher, dalam buku Singgih.D.Gunarsa, Konseling dan psikoterapi, Jakarta: BPK.


Gunung Mulia 1996.

-Sadli,SaparinahPemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan


Alternatif Pemecahannya,Kelompok kerja”convention wacht” Pusat Kajian
wanita dan gender universitas Indonesia , bekerja sama dengan kedutaan
besar Selandia Baru, Alumni Bandung.Jakarta .2000.
- Suharto yang dikutip R.Abdussalam,tentang Penegakan Hukum di Lapangan oleh
Polri.Gagas Mitra Catur Gemilang .1997.hlm.18

-YudhantiRistina.“Perempuan dalam Pusaran Hukum “Tafa Media Yogyakarta.2014

8
Blocher, dalam buku Singgih.D.Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi,Jakarta:BPK.Gunung Mulia
1996.hlm.19

34
-Data Komnas Perempuan, Jakarta Thn. 2013-2015

- KPAI .Jakarta Tahun 2015

- Statistik Komnas Perempuan. Jakarta 2016

Konvensi, peraturan Perundang-undangan


- International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights {Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2005)
- InternationalCovenant On Civil And Political Rights.[Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2005]
-Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
-Undang-undang Hak Asasi Manusia No.39 Tahun 1999
-Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita No.7 tahun 1984

35
Kewenangan Pembentukan Peraturan Daerah
Untuk Pemenuhan Hak Anak dalam Perspektif
Ilmu Perundang-Undangan

Ade Arif Firmansyah dan Malicia Evendia1

Abstrak

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus
dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang
harus dijunjung tinggi. Perkembangan kasus kekerasan pada anak menunjukkan
peningkatan sehingga harus direduksi dengan peranan aktif semua pihak terutama
pemerintah dan pemerintah daerah dalam konteks preventif dan kuratif. Tulisan ini
bertujuan memetakan kewenangan pembentukan peraturan daerah untuk pemenuhan hak
anak sebagai wujud tanggungjawab pemerintah daerah. Kewenangan pembentukan
peraturan daerah untuk pemenuhan hak anak dalam perspektif ilmu perundang-undangan
harus beranjak dari pandangan untuk mewujudkan pengayoman bagi anak dan
pembentukannya harus dimaknai secara progresif untuk kemaslahatan anak dengan
memperhatikan aspek kewenangan pembentukannya, selain aspek substantif dan
prosedural pembentukannya. Perwujudan kewenangan tersebut berasal dari kewenangan
yang bersumber dari rezim hukum pemerintahan daerah maupun rezim hukum sektoral
perlindungan anak. Pemerintah daerah harus pro aktif dan cerdas dalam
mengelaborasikan sumber kewenangan pemenuhan hak anak yang dimilikinya.

Kata kunci: perda, hak, anak, pemenuhan, pengayoman.

1. Pendahuluan

Anak merupakan potensi yang sangat penting, generasi penerus masa depan bangsa,
penentu kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang akan menjadi pilar utama
pembangunan nasional, sehingga perlu ditingkatkan kualitasnya dan mendapatkan
perlindungan secara sungguh-sungguh dari semua elemen masyarakat. SDM yang
berkualitas tidak dapat lahir secara alamiah, bila anak dibiarkan tumbuh dan berkembang
tanpa perlindungan, maka mereka akan menjadi beban pembangunan karena akan
menjadi generasi yang lemah, tidak produktif dan tidak kreatif, sedangkan jumlah mereka
lebih dari sepertiga penduduk Indonesia.2

1
Penulis adalah Peneliti dan Tenaga Pendidik pada Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
2
Tim Penyusun, Pedoman Pelaksana Kota Layak Anak, Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan, 2008, hlm 1.

36
Makanan dan pakaian saja belum cukup untuk menjadikan anak sebagai media
persemaian SDM yang berkualitas, kreatif, berdaya saing tinggi yang memiliki jiwa
nasionalisme dan pekerti luhur. Perlu adanya kesadaran yang tinggi dan kemauan politik
yang kuat untuk menciptakan lingkungan yang peduli dan responsif terhadap kepentingan
dan kebutuhan anak.3 Hal tersebut mengingat besarnya kasus kekerasan yang terjadi
terhadap anak di Indonesia.

Meskipun Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah mencantumkan
tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan negara, namun kasus kekerasan terhadap anak yang
mencederai upaya pemenuhan hak-hak anak tetap saja terjadi.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 1000 kasus kekerasan pada
anak dalam kurun waktu selama tahun 2016, diantara 1000 kasus tersebut, ada 136 kasus
kekerasan terhadap anak melalui medsos.4 KPAI juga mencatat jumlah anak berhadapan
dengan hukum mengalami peningkatan selama periode Januari-April 2016 ada 298
kasus.5 Besarnya jumlah kasus tersebut mengindikasikan diperlukannya peranan berbagai
pihak secara massif dan sistematis dalam pemenuhan hak-hak anak. Orang tua, keluarga,
dan masyarakat juga bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara pemenuhan hak
asasi anak tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum.

Pemerintah dan pemerintah daerah juga memiliki tanggung jawab menyediakan fasilitas
dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pemenuhan hak anak terkait
pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.6 Pelaksanaan tanggung
jawab tersebut oleh pemerintah daerah secara yuridis harus memiliki dasar hukum berupa
peraturan daerah sebagai jaminan keberlanjutan dan dukungan yang kuat dari pemerintah
daerah. Tulisan ini akan memaparkan lebih lanjut mengenai kewenangan pembentukan
peraturan daerah oleh pemerintah daerah dalam perspektif ilmu perundang-undangan.

2. Pembahasan

2.1 Pemenuhan Hak Anak Sebagai Tanggungjawab Pemerintah Daerah

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus
dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang
harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang
termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa
depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas

3
Ibid.
4
http://www.kpai.go.id/berita/8194/, diakses 5 Oktober 2017.
5
http://www.tribunnews.com/nasional/2016/05/06/kpai-angka-kekerasan-terhadap-anak-
meningkat, diakses 5 Oktober 2017.
6
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

37
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas
perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.7

Definisi anak juga dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 22 Tahun 2003,
bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan perlindungan anak
adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Adapun hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi,
dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.

Secara sosial, anak adalah individu dan sekaligus bagian dari keluarga. Individu adalah
seseorang yang memiliki peran dan fungsi, serta memiliki hak dan kewajiban ketika ia
berhubungan dengan invididu lainnya. Sebagai bagian dari keluarga, anak menjadi
individu yang memiliki hak dan kewajiban serta terikat dengan kedua orang tua dalam
keluarga.8 Dalam konteks hubungan tersebut, pemerintah daerah hadir untuk menjamin
pemenuhan hak anak sebagai seorang individu maupun bagian dari keluarga.

Pemenuhan hak-hak anak yang digaransi dalam Pasal 28 A-J Amandemen ke-II UUD
1945 tanggal 18 Agustus 2000, yang secara substansi telah memasukan instrumen HAM
internasional (UDHR 1948 dan UIDHR 1981). Instrumen-instrumen HAM internasional
diratifikasi ke dalam peraturan dan perundang-undangan HAM di Indonesia, antara lain:
Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Sikap dan Pandangan Hidup Bangsa
Indonesia tentang HAM serta Deklarasi HAM; UU No. 09 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 27 Tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban, PP No. 03 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi
Terhadap Pelanggaran HAM Berat, dan Keputusan Presiden RI No. 40 Tahun 2004
tentang Rencana Aksi Nasional HAM 2004-2009.9

Pemenuhan hak-hak anak seperti yang digariskan dalam KHA (Konvensi Hak Anak)
yaitu tentang empat prinsip yang terkandung dalam KHA: (1) non diskriminasi; (2)
kepentingan terbaik bagi anak; (3) hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
serta (4) penghargaan terhadap pendapat anak.10 Berkaitan dengan bagaimana pemenuhan
hak-hak anak dapat dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, tentu ia bukan hanya tanggung jawab individu (personal responsibility), tetapi
juga merupakan tanggung jawab negara (state responsibility).11 Terkait dengan hal

7
Ibid.
8
Fahadil Amin Al Hasan, https://iyesindonesia.wordpress.com/2014/07/09/pemenuhan-
hak-anak-pemenuhan-hak-anak-dalam-hukum-islam-hukum-positif-dan-hukum-ham-
internasional/, diakses 5 Oktober 2017.
9
Ibid.
10
Ibid.
11
Ibid.

38
tersebut, telah dibagi urusan pemerintahan di bidang pemberdayaan perempuan dan
pelindungan anak secara konkuren antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan
pemerintah daerah kabupaten/kota.

Pembagian urusan pemerintahan bidang pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak


berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 terdiri dari beberapa sub urusan sebagai berikut:
a) Kualitas Keluarga;
b) Sistem Data Gender dan Anak;
c) Pemenuhan Hak Anak (PHA); dan
d) Perlindungan Khusus Anak.
Adapun sub urusan pemenuhan hak anak sebagai concern dari tulisan ini diuraikan pada
tabel satu berikut ini.

Tabel 1. Urusan Pemerintahan Daerah


Sub Bidang Pemenuhan Hak Anak (PHA)

No. Pemda Provinsi Pemda Kab/Kota

1. Pelembagaan PHA pada lembaga Pelembagaan PHA pada lembaga


pemerintah, nonpemerintah, dan dunia pemerintah, non pemerintah, dan
usaha tingkat Daerah provinsi. dunia usaha tingkat Daerah
kabupaten/kota.

2. Penguatan dan pengembangan lembaga Penguatan dan pengembangan


penyedia layanan peningkatan kualitas lembaga penyedia layanan
hidup anak tingkat Daerah provinsi dan peningkatan kualitas hidup anak
lintas Daerah kabupaten/kota. tingkat Daerah kabupaten/kota.

Sumber: Lampiran UU No. 23 Tahun 2014.

Berdasarkan uraian pada tabel satu, terlihat dengan jelas bahwa pemerintah daerah
memiliki tanggung jawab yang besar dalam mewujudkan terpenuhinya hak anak di
daerah. Perwujudan tersebut salah satunya dimulai dengan pembentukan peraturan daerah
untuk pemenuhan hak anak, baik dari kewenangan yang bersumber dari rezim hukum
pemerintahan daerah maupun rezim hukum perlindungan anak.

2.2 Kewenangan Pembentukan Peraturan Daerah Untuk Pemenuhan Hak Anak Dalam
Perspektif Ilmu Perundang-Undangan

Menurut Adolf Merkl, yang pendapatnya dirujuk oleh Maria Farida Indrati Soeprapto dan
Ni’matul Huda, mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua
wajah (das Doppelte Rechtsantlizt). Suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan
berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah ia menjadi dasar dan menjadi

39
sumber bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai
masa berlaku (Rechtskracht) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma
hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya.12 Pendapat tersebut
diperjelas lagi oleh Hans Kelsen, menurutnya hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-
lapis membentuk hirarki, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi. 13

Selain berkutat pada sisi validitas sebagaimana dimaksud Kelsen di atas, norma
hukum/peraturan perundang-undangan dalam pembentukannya harus memperhatikan
berbagai aspek dan asas. Menurut Van der Vlies, secara umum membedakan dua kategori
asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut (algemene beginselen van
behoorlijk regelgeving), yaitu asas formal dan asas material.14 Menurut Jimly
Asshiddiqie,15 pembentukan sebuah aturan yang baik haruslah dilandaskan kepada aspek
filosofis, sosiologis, yuridis, politis dan administratif dan keberlakuannya juga haruslah
tercermin secara filosofis, sosiologis, yuridis dan politis.

Secara filosofis, pembentukan Peraturan Daerah harus mengacu pada cita hukum
pancasila. Arief Sidharta16 menjelaskan bahwa cita hukum Pancasila yang berakar dalam
pandangan hidup Pancasila, dengan sendirinya akan mencerminkan tujuan menegara dan
nilai-nilai dasar yang secara formal dicantumkan dalam pembukaan, khususnya dalam
rumusan lima dasar kefilsafatan negara, dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal
Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.

Peraturan Daerah dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuan-


ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat.
Tentang hal ini, Mochtar Kusumaatmadja17 mengemukakan, sebagai berikut: “Hukum
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam
masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan daripada nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat itu”. Menurut Syaukani dan Thohari18, bila hukum itu

12
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi dan Materi
Muatan), Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm 23. Lihat juga Ni’matul Huda dan R. Nazriyah, Teori
& Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Nusa Media, Bandung, 2011, hlm 25-26.
13
Lihat Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York,
1973, hlm 112-115.
14
I.C. Van der Vlies, Handboek Wetgeving (Buku Pegangan Perancang Peraturan
Perundang-Undangan), Dirjen Peraturan Perundang-Undangan DEPKUMHAM RI, Jakarta, 2007.
Hlm 258-303. Lihat juga Attamimi, A. Hamid S. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia,
1990 dan Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya.
Jld 2. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
15
Jimly Asshiddiqie. Perihal Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hlm. 243-
244.
16
B. Arief Sidharta. Ilmu Hukum Indonesia. Bandung: Fakultas Hukum Universitas
Katolik Parahyangan, 2010, hlm. 85.
17
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional,
Binacipta, Bandung, 1986, hlm. 5.
18
Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta: Raja
Grafindo Persada. 2008, hlm. 25.

40
dibangun di atas landasan yang tidak sesuai dengan struktur rohaniah masyarakat, bisa
dipastikan resistensi masyarakat terhadap hukum itu akan sangat kuat. Hart19
mengemukakan eksistensi sebuah sistem hukum merupakan fenomena sosial yang
selalu menghadirkan dua aspek, yang harus kita perhatikan agar tinjauan kita
mengenainya menjadi realistis. Adapun secara yuridis, Peraturan Daerah merupakan
upaya untuk mengisi kekosongan hukum akan kebutuhan yang dihadapi.

Pembentukan Peraturan Daerah untuk pemenuhan hak anak harus beranjak dari
pandangan untuk mewujudkan pengayoman bagi anak dan pembentukannya harus
dimaknai secara progresif untuk kemaslahatan anak. Menurut Arief Sidharta, Pancasila
sebagai cita hukum untuk mewujudkan pengayoman20 bagi manusia, yakni melindungi
manusia secara pasif dengan mencegah tindakan sewenang-wenang, dan secara aktif
dengan menciptakan kondisi kemasyarakatan yang manusiawi yang memungkinkan
proses kemasyarakatan berlangsung secara wajar sehingga secara adil tiap manusia
memperoleh kesempatan yang luas dan sama untuk mengembangkan seluruh potensi
kemanusiaannya secara utuh.21

Demikian halnya dengan gagasan hukum progresif, menurut Satjipto Rahardjo22 gagasan
hukum progresif dimulai dari asumsi dasar filosofis bahwa hukum adalah untuk manusia,
bukan sebaliknya. Hukum progresif menganut ideologi hukum yang pro-keadilan dan
hukum yang pro-rakyat.23 Karakter hukum progresif yang menghendaki kehadiran hukum
dikaitkan dengan pemberdayaan sebagai tujuan sosialnya, menyebabkan hukum progresif
juga dekat dengan sosial engineering dari Roscoe Pound24.

Berdasarkan pemaparan kerangka teoretik sebelumnya, kewenangan pembentukan


peraturan daerah untuk pemenuhan hak anak dalam perspektif ilmu perundang-undangan
harus memperhatikan aspek kewenangan pembentukannya selain aspek substantif dan
prosedural pembentukannya. Peraturan daerah untuk pemenuhan hak anak yang akan

19
H.L.A. Hart. Konsep Hukum (The Concept Of Law). Bandung: Nusamedia, 2009, hlm.
311.
20
Kata pengayoman pertama kali diperkenalkan dalam bidang hukum oleh Sahardjo.
Menurut Daniel S. Lev, in 1960 Sahardjo was replaced the blindfolded lady with scales by a
stylized Banyan tree as Indonesia’s symbol of justice, that inscribed with the Javanese word
Pengajoman-protection and succor. It also represented a quickening of the process of
transformation of the heritage of Dutch colonial law into Indonesian law. Daniel S. Lev, The Lady
and the Banyan Tree: Civil-Law Change in Indonesia, The American Journal of Comparative
Law, Vol. 14. No. 2 (spring, 1965). P. 282.
21
Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia, Upaya Pengembangan Ilmu Hukum
Sistematik Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat, Genta Publishing, Yogyakarta,
2013. hlm. 105.
22
Gagasan tentang hukum progresif pertama kali muncul tahun 2002 melalui artikel yang
ditulis oleh Satjipto Rahardjo pada harian Kompas dengan judul”Indonesia Membutuhkan
Penegakan Hukum Progresif”, tanggal 15 Juni 2002.
23
Satjipto rahardjo. “Hukum Progresif sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009. hlm 6.
24
Roscoe Pound dalam dalam Bernard L. Tanya dan kawan-kawan. (Teori Hukum
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi)., Menyatakan bahwa untuk mencapai
keadilan maka perlu dilakukan langkah progresif, yaitu memfungsikan hukum untuk menata
perubahan, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm 155.

41
dibentuk harus mampu mewujudkan kebutuhan anak dalam tumbuh kembangnya.
Perwujudan kewenangan tersebut dapat bersumber dari kewenangan yang berasal dari
rezim hukum pemerintahan daerah maupun dari rezim hukum sektoral perlindungan anak,
sebagaimana dipetakan pada ragaan satu.

Ragaan 1. Sinergi Kewenangan Pembentukan Peraturan Daerah


Untuk Pemenuhan Hak Anak

Rezim
Hukum
Perlindungan
Anak

Rezim
Hukum
Pemerintah
an Daerah

Perda untuk
Pemenuhan Hak
Anak

Sumber: Data diolah, 2017.

3. Simpulan

Kewenangan pembentukan peraturan daerah untuk pemenuhan hak anak dalam perspektif
ilmu perundang-undangan harus beranjak dari pandangan untuk mewujudkan
pengayoman bagi anak dan pembentukannya harus dimaknai secara progresif untuk
kemaslahatan anak dengan memperhatikan aspek kewenangan pembentukannya selain
aspek substantif dan prosedural pembentukannya. Perwujudan kewenangan tersebut
bersumber dari kewenangan yang berasal dari rezim hukum pemerintahan daerah maupun
rezim hukum sektoral perlindungan anak.

Referensi

A. Hamid S Attamimi,. (1990). Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam


Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia.
Bernard Arief Sidharta. (2010). Ilmu Hukum Indonesia. Bandung: Fakultas Hukum
Universitas Katolik Parahyangan.

42
Bernard Arief Sidharta, (2013). Ilmu Hukum Indonesia, Upaya Pengembangan Ilmu
Hukum Sistematik Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat, Genta
Publishing, Yogyakarta.
Bernard L. Tanya et all. (2010). Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta.
Daniel S. Lev, (spring, 1965). The Lady and the Banyan Tree: Civil-Law Change in
Indonesia, The American Journal of Comparative Law, Vol. 14. No. 2.
H.L.A. Hart. (2009). Konsep Hukum (The Concept Of Law). Bandung: Nusamedia.
Hans Kelsen, (1973). General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York.
I.C. Van der Vlies, (2007). Handboek Wetgeving (Buku Pegangan Perancang Peraturan
Perundang-Undangan), Dirjen Peraturan Perundang-Undangan DEPKUMHAM RI,
Jakarta.
Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, (2008). Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Jimly Asshiddiqie. (2006). Perihal Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press.
Maria Farida Indrati S. (2007). Ilmu Perundang-undangan: Proses dan Teknik
Pembentukannya. Jld 2. Yogyakarta: Kanisius.
Maria Farida Indrati Soeprapto, (2007). Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi dan
Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta.
Mochtar Kusumaatmadja, (1986). Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional,
Binacipta, Bandung.
Ni’matul Huda dan R. Nazriyah, (2011). Teori & Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan, Nusa Media, Bandung.
Satjipto Rahardjo pada harian Kompas, (2002). Indonesia Membutuhkan Penegakan
Hukum Progresif, tanggal 15 Juni.
Satjipto Rahardjo. (2009). “Hukum Progresif sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta
Publishing, Yogyakarta,
Tim Penyusun, (2008). Pedoman Pelaksana Kota Layak Anak, Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan.

Internet:
Fahadil Amin Al Hasan, https://iyesindonesia.wordpress.com/2014/07/09/ pemenuhan-
hak-anak-pemenuhan-hak-anak-dalam-hukum-islam-hukum-positif-dan-hukum-
ham-internasional/, diakses 5 Oktober 2017.
http://www.kpai.go.id/berita/8194/, diakses 5 Oktober 2017.
http://www.tribunnews.com/nasional/2016/05/06/kpai-angka-kekerasan-terhadap-anak-
meningkat, diakses 5 Oktober 2017.

43
Reformasi Sistem Hukum Perkawinan Warga Muslim
dalam Rangka Perlindungan Hukum Anak
pada Perkawinan Tidak Dicatat

Dr. Amnawaty

1. Latar Belakang

Realitas di masyarakat terdapat sistem hukum perkawinan yang tidak dicatat,


sebagian masyarakat berhukum dengan Hukum Islam, penghulu dan hakim agama
berhukum dengan hukum negara, sehingga antara kedua sistem hukum ini tidak
terdapat harmoni.1 Sistem pada hakikatnya sebuah unit yang beroperasi dengan
batas-batas tertentu. Sistem bersifat organis, mekanis atau sosial. Adapun yang
dimaksud batas tertentu adalah pengacara, hakim, polisi, legislator, administrator,
notaris dll.

Pengertian Sistem Hukum yaitu menurut Lawrence M.Friedman adalah sebuah


kesatuan unit yang terdiri dari tiga sub sistem yaitu substansi hukum, struktur hukum,
dan kultur hukum.

Di sini substansi hukum dan struktur hukum merupakan ciri-ciri yang kukuh yang
terbentuk pelan-pelan oleh kekuatan sosial dalam jangka panjang. 2 Dalam tulisan ini
adalah struktur lembaga pengadilan agama, hakim pada pengadilan agama.
Sedangkan kultur hukum yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-
keyakinan) kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak baik dari para penegak
hukum, maupun dari masyarakat tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkait
dengan hukum.Selanjutnya Lawrence M. Friedman3 mengatakan bahwa c) Legal
cultures isthe value and attitudes held by leaders and members are among these
factors since their behavior depends on their judgment obout which options are
useful or correct. Legal cultures refers then, those part of general cultures, customs,
opinions, way of doing and thinking, that bend social forces toward or away from the
law and particular ways

1
Lawrence M.Friedman, The legal System a Social Science Persepective. New York: Russel
Sage foundation, 1975, hlm. 15.
2 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Bandung :Nusa Media, 2009,
hlm, 17.
3 Lawrence M. Friedman, ibid, hlm. 12. Teori sistem hukum ini juga dirumuskan secara lebih
sederhana oleh Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (LegalTheory) dan Teori Peradilan,
(Judicialprudence) termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, hlm. 204 dan 226.

2
Ibid.
3
Lawrence M.Friedman, 1975, hlm. 15.

44
2. Permasalahan

(1) Bagaimana konstruksi sistem hukum perkawinan warga muslim dalam rangka
perlindungan anak dari perkawinan tidak dicatat?

(2) Mengapa sebagian orang melakukan perkawinan tidak dicatat?

(3) Bagaimaan reformasi sistem hukum perkawinan warga muslim dalam rangka
perlindungan hukum Anak pada perkawinan tidak dicatat?

3. Metode Penelitian

Metode penelitian menggunakan tipe penelitian kualitatif, paradigma


constructivisme. Pendekatan penelitian menggunakan socio-legal research,
interpretasi data adalah hermenetik dan indepth interview. Pengambilan data dengan
menggunakan prinsip snowball. penelitian untuk disertasi ini secara garis besar dapat
dikelompokkan ke dalam ranah pendekatan socio-legal research. Bahwa hukum dan
masyarakat memiliki bingkai yang disebut “The Law-Society Framework.4
Hubungan tersebut ditunjukkan dengan dua komponen dasar. Komponen pertama
terdiri dari dua tema pokok yaitu (1) ide yang menyatakan bahwa hukum adalah
cermin masyarakat dan (2) ide bahwa fungsi hukum adalah untuk mempertahankan
“social order”. Komponen kedua terdiri dari tiga elemen, yaitu: (1) custom/consent,
(2) morality/reason, dan (3) positive law. Custom/consent and morality/reason dapat
dipahami dalam pemikiran Donald Black sebagai culture.5

Sumber data utama adalah para stakeholders yang terkait dengan perkawinan warga
muslim khususnya bagi perkawinan tidak dicatat. Informan selanjutnya ditentukan
secara snowball yang terdiri dari beberapa informan.

Data sekunder diperoleh melalui studi dokumen terhadap beberapa bahan hukum
primer seperti UUD 1945 NRI dan beberapa UU terkait. Dan bahan hukum sekunder
berupa: Putusan MK terhadap Judicial Review atas UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan No 46/PU-VIII/2012, Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
No.1241/Pdt.G/2012/PA, dan beberapa auran terkait.

Data dalam penelitian ini diperoleh melalui kegiatan-kegiatan observasi, interview


visual, interpretasi dokumen (teks) dan material, serta personal experience. Sesuai
dengan paradigma penelitian ini.

4 Suteki, 2008, Reformasi Politik Hukum Tentang Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya
Air Berbasis Nilai Keadilan Sosial, Disertasi, Semarang, Undip
5. Donald Black, The Behaviour of Law, Academic Press, New York, 1976, hlm. 61
Black mengatakan bahwa “culture is the symbolic aspect of social life, including expression of
what is true, good, beautiful. It includes ideas about the nature of reality (theoretical and
practical), sepernatural, metaphysical or empirical), conceptions of what ougt to be (right or
wrong, proper and technology, religion, magic or folklore). Values, ideology, morality and law
have a symbolic aspect of this kind”.

45
4. Hasil dan pembahasan

4.1 Konstruksi Sistem Hukum Pencatatan Perkawinan warga Muslim

Perkawinan sah menurut hukum Islam apabila semua persyaratan perkawinan yang
ditetapkan ulama melalui Rukun dan Syarat Perkawinan terpenuhi dan tidak ada
larangan perkawinan Islam yang dilanggar. Perkawinan sah menurut Undang-Undang
Perkawinan adalah bila perkawinan itu dilaksanakan menurut Pasal 2 (1) dilakukan
menurut agama dan kepercayaannya itu, lalu (2) tiap-tiap perkawinan dicatatkan
menurut undang-undang yang berlaku. Sehubungan dengan Pasal 2 ayat (2) tiap-tiap
perkawinan dicatatkan menurut undang-undang yang berlaku ini dijelaskan dalam
Kompilasi Hukum Islam No.1 Tahun Pasal 5 ayat (1) agar terjamin ketertiban bagi
masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat (2) yaitu pencatatan perkawinan
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
No.22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954.

Dengan kata lain sebuah perkawinan oleh masyarakat muslim harus memenuhi dua
hal tersebut dilakukan secara agama dan harus dicatatkan dengan memberikan peran
yang besar pada PPN.

Pertentangan substansi hukum perkawinan juga terjadi pada wilayah hukum negara
dan hukum yang hidup di masyarakat, sehingga sangat jelas terdapat legal gap antara
hukum yang berasal dari negara (state law), dan hukum yang hidup dalam
masyarakat (religion, ethics, moral) yang pada gilirannya di ranah implementasi
menimbulkan legal conflict antara hukum

Hasil penelitian diketahui bahwa dari sisi sistem hukum perkawinan diketahui bahwa
dari sistem substansi hukum 6:

(1) sistem hukum perkawinan diketahui dari makna /pengertian perkawinan dalam
UUP tidak mengakui adanya pernikahan tidak dicatat dalam konteks perkawinan
secara agama atau tidak berakta nikah dengan menyebutkan anak yang lahir dari
perkawinan tidak sah adalah anak luar kawin (Pasal 42 UUP) dan Putusan Pengadilan
Agama Jakarta Selatan No.1241/Pdt.G/2012/PAJS. Perkawinan tidak dicatat tidak
mempunyai kekuatan hukum yang tertuang dalam KHI Pasal 6 ayat (2) dan menjadi
perkawinan liar menurut pendapat pemerintah pada kasus judicial review Pasal 43
UUP. Faktanya berdasarkan hasil penelitian terdapat masyarakat yang melakukan
perkawinan tanpa dicatat dengan berbagai alasan yang dikelompokkan menjadi dua
yaitu faktor peraturan dan faktor budaya hukum masyarakat.

4.2 Faktor Penyebab terjadinya perkawinan tidak dicatat (sirri)

Dari penelitian lapangan7 diketahui Faktor Budaya hukum Masyarakat tidak


mencatatkan perkawinan yaitu:

6
Amnawaty, Reformasi sistem hukum pencatatan perkawinan bagi warga muslim dalam rangka
perlindungan anak pada perkawinan tidak dicatat.Semarang, UNDIP, disertasi,2015

46
1. Karena Peraturan,
2. Karena Budaya Hukum Masyarakat,
3. Karena ekonomi lemah,
3. Menikah tidak dicatat karena perceraian tidak dicatat,
4 Kelompok masyarakat Islam eklusif. Sedangkan hal yang mempengaruhi
putusan hakim menolak pengesahan anak pada perkawinan tidak dicatat karena
faktor budaya hukum hakim agama.

Untuk melindungi perkawinan tidak dicatat tersebut perlu dilakukan perubahan


paradigma dari pemerintah bahwa perkawinan tersebut adalah sah sepajang
perkawinan tersebut telah memenuhi Rukun dan Syarat seperti yang disebutkan
dalam KHI Pasal 4 dan sebagai tindak lanjut atas perubahan paradigma tersebut
dengan meninjau ulang ketentuan tentang keharusan PPN hadir di ijab kabul dan
Pasal 6 ayat (2) yang mengatakan bahwa jika PPN tidak mengawasi dan menghadiri
ijab kabul perkawinan tersebut illegal.

(2) Dari sisi perlidungan hukum terhadap anak, UUP telah mengakomodir
perlindungan hukum terhadap anak dengan putusan MK,akan tetapi belum dapat
diimplementasikan oleh hakim agama Jakarta Selatan.. Dalam UU perlindungan anak
tidak disebutkan tentang perlindungan hukum perdata anak dari perkawinan tidak
dicatat.

(3) Perubahan atas Pasal 43 UUP tidak diikuti oleh perubahan akan peraturan
lainnya, seperti KHI Pasal 99, Pasal 100 yang intinya menyebutkan bahwa
perkawinan sah dan anak sah ketika orangtua menikah mempunyai akta nikah maka
otomatis anak yang lahir adalah anak sah. Dan beberapa peraturan lain yang tidak
ikut disinkronkan pemerintah sehingga menimbulkan kekosongan hukum.

Dari sisi struktur hukum atau kelembagaan maka sebuah peraturan dibuat seharusnya
membawa aspirasi kepentingan umat yang berpijak pada kesadaran hukum
masyarakat, berpegang pada sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa
berpijak pada nila-nilai keadilan Islam yaitu persamaan, keseimbangan dan non
diskriminasi.

Konstruksi hukum perkawinan dan perlindungan anak 8berdasarkan keadilan Islam


anak berhak mendapatkan perlindungan mulai dari dalam kandungan, hak anak
dalam kesucian dan keturunan (nasab), hak anak dalam pemberian nama baik, hak
anak dalam menerima susuan, hak anak dalam memperoleh asuhan, perawatan dan
pemeliharaan, hak anak dalam kepemilikan harta benda atau warisan demi
kelangsungan hidupnya, hak anak dalam memperoleh pendidikan dan pengajaran.
Selain itu anak berhak atas hak radla’ (menyusui), hak hadlanah (pemeliharaan), hak
walayah (wali), dan hak nafkah (alimentasi). Dengan terpenuhinya lima kebutuhan
ini, orang tua akan mampu mengantarkan anaknya untuk mandiri.

7
ibid
8
Amnawty, perlindungan hukum anak pada perkawinan tidak dicatat. www.academia.edu.
Hlm.1-5

47
Perlindungan hukum anak didasarkan pada Alqur’an 9adalah anak memiliki
pengertian transendental yaitu anak merupakan anugrah Allah yang menjadi penerus
orangtua dan amanah, dan ujian bagi orangtua, karena itu setiap anak dianugrahi
berbagai hak, hak anak tersebut dibangun atas dasar kemuliaan (karomah) yaitu hak
kelangsungan hidup (survival), tumbuh dan berkembang (development) dan
perlindungan (protectional). Hak anak menurut Alqur’an lebih dirinci yaitu (1) hak
anak dalam kandungan, (2) hak anak setelah lahir, (3) Hak perlindungan anak pada
masa tumbuh kembang, (4) hak anak dari diskriminasi perlakuan.

Konstruksi KUH Perdata dalam perlindungan anak dari perkawinan yang tidak
dicatat paling lengkap dan dapat dilakukan oleh kedua orangtua anak tersebut melalui
prosedur yang ditetapkan undang-undang, kecuali untuk anak sumbang (incest) bila
akan dilakukan pengakuan harus mendapat izin dari presiden. Anak-anak luar kawin
tersebut mendapatkan perlindungan hukum sepanjang mendapatkan pengakuan dari
ibu bapaknya. Model perlindungan anak dari KUH Perdata dapat diadopsi untuk
melindungi anak-anak yang tidak beruntung di Indonesia. 10

4.3 Reformasi Sistem Hukum Pencatatan Perkawinan bagi warga Muslim

Diperlukan peraturan hukum baru atau yurisprudensi baru yang dapat menjadi
rujukan agar putusan MK No.46/PU-VIII/2010 dapat diimplementasikan.

Menurut Menski11 dengan teori Pluralisme hukum mengatakan 12bahwa hukum yang
ideal adalah ketika pada tahap formulasi sebuah peraturan adalah hasil pertemuan
dari tiga sistem hukum yang ada state law, society, and ethic atau religion. UUP dan
KHI diharapkan diformulasikan dengan berpegang pada teori ini.

Hal itu akan memandu orang dalam memilih bagaimana uintuk melakukan
“reformulasi” terhadap keseluruhan struktur hukum, mencakup, antara lain,
kombinasi hukum asli (pribumi) dan hukum yang merupakan hasil cangkokan hukum
asing, dalam rangka untuk memelihara akomodasi mereka untuk mampu mengubah
keadaan dilingkungannya.

Uraian di atas bila di hubungkan dengan konsep hukum Satjipto Raharjo tentang
hukum progresif yang bertujuan untuk membuat orang bahagia maka pilihannya
adalah mereformasi substansi peraturan terkait.

Kini Pasal 43 UUP telah dirubah redaksionalnya sehingga anak yang lahir dari
perkawinan tidak dicatat secara hukum telah dilindungi hak-haknya. Akan tetapi,
setelah Pasal 43 UUP di judicial review maka muncullah problema hukum dimana
peraturan hukum yang senada dan setara dengan ketentuan UUP Pasal 43 baru

9
ibid. www.academia.edu. Hlm 1-5
10
Amnawaty, Hak perdata anak dari perkawinan sirri pada dua sistem hukum (Hukum Islam
dan hukum Indonesia), Jurnal Fiat Yustisia, Fakultas Hukum Universitas Saburai,2017.hlm.15-26,
www.jurnal.saburai.ac.id
11
Werner Menski, comparative law in a global context the legal system of asia and Africa,
Second edition, 2006,p 600-610
12
Werner Menski, ibid

48
tersebut belum dilakukan perubahan, sehingga dalam praktik hakim agama maupun
penghulu KUA tetap berpegang teguh pada peraturan lain yang menunjang hakim
untuk tetap berpegang pada aliran positivistik (legal centralism). Meskipun ia
seorang hakim agama yang sepatutnya memepertimbangkan hal-hal yang
berhubungan dengan agama Islam seperti yang disebutkan dalam UU Peradilan
Agama Pasal 49 bahwa perkara yang ditangani hakim agama adalah perkara yang
berhubungan dengan hukum Islam dan agama Islam, tetapi hakim agama tetaplah
memegang teguh azas legalitas di bawah aliran positivistik (legal centralism), dan
tidak ambil peduli dengan hukum Islam. Hakim adalah corong undang-undang.

Dilihat dari sudut pandang keadilan Islam Quraish Shihab yaitu tentang makna dari
mawzun (perimbangan), musawah (persamaan) tidak diskriminasi, maka apa yang
dilakukan oleh hakim MK melalui putusannya tentang Pasal 43 UUP dapat
disimpulkan bahwa hakim MK telah berupaya mnedekati keadilan, terutama keadilan
dalam rangka melindungi anak-anak yang lahir dari perkawinan tidak dicatat, tetapi
tidak dapat diimplementasikan oleh hakim agama di pengadilan Agama Jakarta
Selatan.

Reformasi sistem hukum pencatatan dalam rangka perlindungan anak pada substansi
1) Pasal 2 ayat (1) UUP merupakan peristiwa hukum ditawarkan untuk
dipisahkan dengan Pasal 2 ayat (2) UUP sebagai peristiwa penting, sehingga
tidak terjadi pembatalan perkawinan yang telah memenuhi Rukun dan Syarat
Perkawinan Islam
2) Pasal 4 ayat (1 ) dan Pasal 4 ayat (2) UUP tentang poligami warga muslim
yang tidak berkeadilan Islam, dan Pasal 4 ayat (1) PP No.9 Tahun 1975 yang
tidak berkeadilan islam
3) Pasal 6 ayat (1) telah memberikan peran pada penghulu KUA terlalu besar,
(3) Peran yang terlalu besar pada Pasal 6 ayat (2) KHI
4) Pasal 7 ayat (1) KHI yang hanya mengakui alat bukti untuk perkawinan
hanyalah akta nikah, telah menafikan Rukun dan Syarat menikah Islam, dan
bertentangan dengan hukum acara di pengadilan agama.
5) Reformasi budaya hukum hakim agama untuk bersikap adil berdasarkan
keadilan Islam.
6) Reformasi budaya hukum masyarakat dilakukan oleh pemerintah, keluarga,
ilmuan, tokoh masyarakat dengan menanamkan rasa kesadaran hukum akan
pentingnya pencatatan perkawinan.
7) Reformasi struktur hukum yaitu lembaga pengadilan Agama dan lembaga
KUA direformasi kewenangannya.
Dengan demikian sudah sepatutnya substansi beberapa perturan yang terkait
perkawinan tidak dicatat oleh warga muslim dilakukan reformasi dalam rangka
perlindungan anak-anak tersebut.

Model reformasi sistem hukum pencatatan perkawinan dapat dilakukan dengan


mengadaptasi teori Chambliss-Seidman tentang bekerjanya hukum melalui tahap-
tahap tuntutan reformasi diajukan melalui lembaga pembuat peraturan
(Presiden+Presiden), lembaga penerap sanksi dan masyarakat pemegang peran (role
occupant) ditambah dengan penggunaan konsep pembangunan hukum (ilmu hukum)
dari Barda Nawawi Arief, Konsep hukum perkawinan Bagir Manan, Konsep hukum
syekh Al Jaad Al Haq dan model pencatatan perkawinan dari negara Malaysia.

49
Model pencatatan perkawinan di dasarkan pada prinsip budaya hukum masyarakat,
bukan berasal dari kekuasaan.

3. Rancangan Model

Rancangan Model sistem pencatatan perkawinan yang ditawarkan adalah


mengadopsi dari teori Chambliss and Seidman tentang bekerjanya hukum, Konsep
pembangunan hukum Barda Nawawi Arief, Konsep dasar sistem hukum perkawinan
bagir Manan, Konsep hukum perkawinan dari syekh Al Jaad Al Haq.

Dalam skema sebagai berikut:


Ragaan 1. Rancangan Model pencatatan Perkawinan warga muslim alam upaya
perlindungan anak pada perkawinan tidak dicatat

50
TUJUAN
NASIONAL

K
Pembangunan Hukum
E Nasional

P
Pembangunan Konsep Nilai
Budaya Hukum
E

N
Dibangun Dengan Nilai-Nilai
T Budaya Hukum

I
Nilai-Nilai PANCASILA
N

Sistem
Presiden dan
hukum
Masyarakat Perkawinan
DPR
Umpan
Tuntutan balik

Norma Norma
Umpan
balik

PA, MA dan MK ADRESAT


Kegiatan
Pemagaran HUKUM

Hukum

Umpan
Faktor-Faktor Non balik Faktor-Faktor Non
Hukum Hukum

Keterangan:

1. Sistem hukum bersumber pada Tujuan Nasional sehingga sistem hukum nasional
harus diarahkan pada pencapaian Tujuan Nasional tersebut melalui Pembangunan

51
Hukum Nasional.
2. Pembangunan Hukum Nasional didasarkan pada Pembangunan Konsep Nilai
dalam bentuk Pembangunan Budaya Hukum. Pembangunan Ilmu Hukum
Nasional termasuk di dalam Pembangunan Budaya Hukum ini.
3. Pembentukan Budaya Hukum tersebut dibangun dengan cara meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat terhadap 1) Pengetahuan seluruh elemen
masyarakat tentang hukum, 2) penghayatan terhadap hukum, 3) ketaatan seluruh
elemen masyarakat terhadapa hukum. Nilai-nilai kesadaran hukum dalam wujud
konkret dapat dilihat pada nilai-nilai Pancasila sila kesatu.
4. Sistem Hukum di samping berdasar pada Tujuan Nasional, sistem hukumharus
menjadikan Pancasila sebagai pegangannya.
5. Sistem hukum selanjutnya akan menentukan kualitas penegakan hukum yang
dapat disamakan dengan bekerjanya hukum Chambliss-Seidman baik penegakan
hukum“in abstracto yaitu proses legislasi/formulasi/pembuatan peraturan-
perundang-undangan (law making). Proses law making melalui law making
institutions merupakan tahap awal yang sangat strategis dari proses penegakan
hukum “in concreto” yang dilakukan oleh Pemegang Peran, yaitu masyarakat
atau addressat hukum. Kesalahan/kelemahan pada tahap kebijakan
legislasi/formulasi merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi
penghambat upaya penegakan hukum “in conreto”.
6. Dalam praktik legislasi, terlalu banyak produk legislatif yang bermasalah,
sehingga tidak jarang suatu UU yang baru keluar sudah digugat (sebagai umpan
balik) oleh masyarakat bahkan harus dicabut, diubah, diperbaiki, atau
diamandemen. Seperti kasus Pasal 43 UU Perkawinan yang di judicial review.
7. Lembaga Pemagaran Hukum bertugas untuk mengawal, memagari, mereview
sampai mencabut atau membatalkan peraturan perundang-undangan yang
bermasalah. Lembaga yang berwenang untuk ini adalah Mahkamah Konstitusi
(MK) dan/atau Mahkamah Agung (MA). Kedua lembaga ini harus memiliki
sensitivitas terhadap fungsinya sebagai “constitution guardian”, khususnya
Mahkamah Konstitusi.

5. Penutup

5.1 Simpulan

a. Konstruksi sistem hukum pencatatan perkawinan secara real belum melindungi


hak anak dari perkawinan sirri meskipun Pasal 43 sudah diperbarui melalui
putusan MK NO.46/PU-VIII/Pdt/2010
b. Faktor penyebab terjadinya perkawinan tidak dicatat (sirri) adalah1. Karena
Peraturan, 2. Karena Budaya Hukum Masyarakat, 3. Karena ekonomi lemah,
3. Menikah tidak dicatat karena perceraian tidak dicatat, 4 Kelompok
masyarakat Islam eklusif.
c. Pembangunan Hukum Nasional didasarkan pada Pembangunan Konsep Nilai
dalam bentuk Pembangunan Budaya Hukum. Pembangunan Ilmu Hukum
Nasional termasuk di dalam Pembangunan Budaya Hukum ini. Pembentukan
Budaya Hukum tersebut dibangun dengan cara meningkatkan kesadaran hukum
masyarakat terhadap 1) Pengetahuan seluruh elemen masyarakat tentang hukum,
2) penghayatan terhadap hukum, 3) ketaatan seluruh elemen masyarakat
terhadapa hukum. Nilai-nilai kesadaran hukum dalam wujud konkret dapat dilihat
pada nilai-nilai Pancasila sila kesatu.

52
B. Saran Rekomendasi ini ditujukan pada lembaga pembuat hukum
(Presiden+ DPR), untuk mereformasi peraturan agar anak pada perkawinan tidak
dicatat dilindungi negara:

(1) Mereformasi peraturan tentang sistem pencatatan perkawinan warga muslim


dengan berpijak pada konsep bahwa Rukun dan Syarat menikah adalah
peristiwa hukum yang mengesahkan perkawinan Islam dan pencatatan adalah
peristiwa penting seperti peristiwa kelahiran dan kematian. Mengacu pada
prinsip ini maka sistem hukum pencatatan perkawinan ke depan sepatutnya
berkeadilan Islam dan sesuai dengan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu perlu
dibuat kebijakan yang dapat mendukung sistem pencatatan perkawinan berkeadilan
Islam dan berlandaskan HAM. Dengan demikian memberi ruang dan tempat
untuk memberi perlindungan hukum anak pada perkawinan tidak dicatat.

(2) Melakukan perubahan paradigma pemerintah atau negara bahwa pencatatan


perkawinan adalah sebuah peristiwa penting, bukan peristiwa hukum, dalam
kajian ushul fikih maqosyid al syariah pencatatan adalah pemenuhun
kebutuhan hajiyi (utama) manusia.

Daftar Pustaka

Amnawaty, Perlindungan Anak pada perkawinan tidak dicatat.www.academia.edu

--------------, Reformasi Sistem Hukum Pencatatan Perkawinan Warga Muslim Dalam


Rangka Perlindungan Anak Pada Perkawinan Tidak Dicatat, Semarang, UNDIP,2015

--------------, Hak perdata anak dari perkawinan sirri pada dua sistem hukum (Hukum
Islam dan hukum Indonesia), Jurnal Fiat Yustisia, Fakultas Hukum Universitas
Saburai,2017.hlm.15-26, www.jurnal.saburai.ac.id

--------------, Perlindungan Hukum Anak pada perkawinan tidak dicatat, Semarang:


Magister,2016. www. academia.edu
Lawrence M.Friedman, The legal System a Social Science Persepective. New York:
Russel Sage foundation, 1975.

Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Bandung :Nusa Media,
2009.

Werner Menski, comparative law in a global context the legal system of asia and Africa,
Second edition, 2006

Suteki, Reformasi Politik Hukum Tentang Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya
Air Berbasis Nilai Keadilan Sosial, Disertasi, Semarang, Undip,2008

Donald Black, The Behaviour of Law, Academic Press, New York, 1976, hlm. 61
Black mengatakan

53
Aborsi; Hak Anak untuk Hidup atau Mati (Pendekatan Sosiologis
Kebijakan Aborsi di Indonesia, Jepang dan China

Intan Fitri Meutia, Ph.D., Bayu Sujadmiko, Ph.D., Orima Davey

1. Latar Belakang

Perempuan dan anak-anak selalu menjadi sebuah pembicaraan yang hangat dalam ranah hukum
internasional. Hal ini disebabkan oleh adanya stigma dimana semua hal yang berkaitan dengan
perempuan selalu diremehkan..1 Padahal, dapat ditegaskan bahwa baik perempuan atau anak-
anak mewakili bagaimana hak asasi manusia diterapkan dengan baik. Pada titik ini, hak asasi
manusia telah berkembang pada tahap menakjubkan yang sangat mendukung perempuan melalui
adanya persetaraan gender dan pencegahan aspek diskriminasi dalam bidang politik, sosial-
budaya, dan hak ekonomi yang telah diatur dalam sebuah bentuk konvensi yaitu the Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW).2 Tidak diragukan
lagi, regulasi ini menjadi sebuah pengakuan dalam menyokong perempuan di seluruh dunia.
Disisi lain, anak-anak, melalui the Convention of the Rights of Child (CRC), memiliki
keistimewaan untuk mencapai hak mereka dalam hidup, kesehatan, pendidikan, nutrisi,
standarisasi kehidupan, dan ukuran untuk perlindungan mereka saat diancam oleh kejahatan,
kekerasan, dan eksploitasi.3

Sekalipun sudah ada peraturan kuat yan dibentuk mengenai permasalahan ini, baik perempuan
ataupun anak-anak masih harus menghadapi cobaan utama dalam kehidupan. Pernyataan ini
dapat dilihat dari maraknya tingkat kematian perempuan (ibu) setiap tahun akibat komplikasi
kehamilan atau melahirkan. Dari permasalahan ini, terbentuklah sebuah spesifikasi mengenai
hak asasi perempuan dan anak yang kemudian mengantarkan kita pada kenyataan pahit akan
maternal mortality (MM) atau tingkat kematian ibu yang kompleks. MM adalah salah satu
hambatan utama dalam keseteraan gender dunia dimasa kini. MM juga dikaitkan dengan
berbagai aspek sensitif seperti budaya, agama, dan politik.

World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia mengartikan maternal
death (kematian ibu) sebagai kematian seorang perempuan saat mengandung atau 42 hari
setelah kehamilan diakhiri, tanpa melihat jangka waktu dan lokasi kehamilan dari berbagai
akibat yang berhubungan atau diperburuk oleh kehamilan atau perlakuannya, namun tidak
merupakan akibat kecelakaan atau kejadian kebetulan.4 Terdapat setidaknya 830 jiwa
perempuan yang meninggal setiap hari akibat komplikasi kehamilan atau proses melahirkan
pada tahun 2015.5 Hampir semua kematian ini terjadi pada lokasi dengan keahlian yang rendah,
dan hampir sebagian dapat dicegah. Maternal death dapat dihindari apabila perempuan

1
United Nations, 2014, Women’s Rights are Human Rights, New York and Geneva: UNHR, hlm. 1.
2
ICC Working Group on Business and Human Rights, 2010, Business, Women’s and Children’s Rights,
hlm., 2, Accesed from http://www.unglobalcompact.org/docs/issues_doc/human_rights/Resources/
Companies_Leading_the_Way.pdf.
3
UNICEF, 1999, Human Rights for Children and Women: How UNICEF Helps Make Them a Reality,
New York: 3 United Nations Plaza, hlm. 1.
4
Isyaku, A. M., Tilde, B. Y., & Isah, S., 2015, “Maternal Mortality in Developing Countries : A Threat to
the Millennium Development Goal”, vol. 4, No. 5.
5
World Health Statistic. (2016). Maternal Mortality, 44.

54
memiliki akses dalam mencegah atau menangani komplikasi kehamilan dan melahirkan, secara
khusus kepada ahli obstetric.6

Secara global, maternal deaths diakibatkan oleh komplikasi obstetric seperti pendarahan, sepsis,
preklampsia, penundaan atau hambatan saat kelahiran, dan aborsi yang tidak aman. Aborsi
adalah salah satu penyebab MM, namun aborsi mengalami kurangnya laporan. Terdapat banyak
aborsi ilegal yang dilakukan seluruh dunia namun tidak direkam secara medis dengan
semestinya. Hal unik mengenai aborsi adalah, tidak semua negara menganggapnya sebagai
sebuah penyelesaian. Pernyataan ini disebabkan adanya perbedaan kepentingan pada tiap
negara. Sebagai contoh, Indonesia melarang aborsi (kecuali darurat medis), Republik Rakyat
China (RRC) membatasi keturunan warganya, dan Jepang yang memberlakukan aborsi sebagai
pilihan terhadap perempuan. Oleh karena itu, artikel ini akan membahwa mengenai alasan dari
ketiga negara tersebut yang menyebabkan aborsi diposisikan secara berbeda.

2. Pembahasan

1. Maternal Mortality (MM) dan Aborsi

a. Rendahnya Laporan Maternal Deaths akibat Aborsi

Terdapat beragam argument yang berspekulasi saat membahas hubungan antara maternal
mortality dan abortion mortality. Sebagian berpendapat bahwa kedua permasalahan tersebut
tidak saling berkaitan, akan tetapi fakta yang terjadi menunjukan bahwa aborsi memiliki peran
signifikan dalam kematian perempuan saat mengandung.7 Keadaan ini dimaklumi, karena
tingkat laporan kematian perempuan mengandung akibat dilakukannya aborsi sangat rendah.
Untuk menentukan apakah seorang perempuan meninggal karena aborsi secara tidak aman
bukanlah perkara yang mudah. Alasan, waktu, dan lokasi yang tepat untuk menentukan aborsi
sebagai penyebab aborsi berhadapan dengan sebuah ketidaksamaan. Oleh karena itu, the
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) membentuk sebuah persyaratan untuk
mengkategorikan abortion mortality:8
1) Di Amerika, 93 persen dari semua aborsi dilakukan pada klinik gratis. Perempuan yang
mengalami krisis kesehatan setelah melakukan aborsi akan dirujuk pada rumah sakit umum
melalui departemen darurat. Pihak-pihak medis yang menangani dalam unit gawat darurat
bukanlah dokter atau tenaga medis yang melakukan aborsi, sehingga mereka tidak akan
merekam medis kematian tersebut sebagai akibat dari aborsi.
2) Jika seorang perempuan meninggal, biasanya pihak yang menangani sertifikat kematian
bukan pihak yang menyediakan jasa aborsi, namun petugas autopsi atau dokter keluarga,
dan informasi seperti ini yang mungkin atau tidak dilaporkan pada CDS. ketidakcukupan
informasi dari laporan dokter atau autopsi seringkali terjadi. Namun, rincian yang tidak
jelas membentuk keadaan yang tidak mungkin untuk menentukan apakah aborsi dilakukan
secara sengaja atau spontan. Sebagai contoh, Canadian Medical Certificates of Death telah
mengutarakan adanya kesalahan setiap waktu. Pada masa kini, dengan adanya politisasi
mengenai permasalahan ini, tidak begitu mengejjutkan apabila rekam medis kematian
aborsi tidak lengkap.
3) Persandian rumah sakit tidak mewakili sistem numerisasi internasional secara general.
Seorang perempuan yang meninggal karena pendarahan dapat direkam medis dengan
kematian sesederhana “pendarahan” saja, tetapi tidak ada sandi yang dapat
menghubungkan pendarahan tersebut dengan aborsi secara sengaja yang dilakukan

6
Ilmu yang mempelajari perawatan perempuan pada masa kehamilan dan kelahiran.
7
Calhoun, B., 2013, “Systematic Review The maternal mortality myth in the context of legalized
abortion”, The Linacre Quarterly, Vol. 80, No. 3, hlm. 270.
8
Women’s Health after Abortion: The Medical and Psychological Evidence Key.

55
sebelumnya. Sandi seperti embolisme9 atau cardiomyopathy10sudah jelas tanpa perlu
diikuti acuan sebagai akibat aborsi secara sengaja.
4) Petugas rumah sakit mungkin saja menghindari penggunaan persandian lengkap untuk
melindungi kerahasiaan informasi pasien yang telah meninggal, keluarganya, atau
keterlibatan politisasi.
5) Persandian tidak lengkap, tidak langsung, atau sulit dimengerti dapat mendukung praktisi
aborsi yang melakukan risiko tinggi namun tidak dapat memberikan pertanggungjawaban.
Malpraktik adalah permasalah utama bagi tenaga medis masa kini, peran pengadilan bagi
perempuan yang dirugikan oleh aborsi telah menyebakan praktisi aborsi menjadi rentan.

b. Aborsi Secara Aman dan Tidak Aman

Menurut Ina K. Warriner, akar permasalahan dari terjadinya aborsi adalah maraknya kehamilan
yang tidak diinginkan yang mencerminkan kegagalan program keluarga berencana untuk
memenuhi kebutuhan alat kontrasepsi kepada perempuan yang berisiko mengalami kehamilan
yang tidak diinginkan. Berdasarkan angka pertumbuhan usia reproduksi pria dan perempuan
yang ingin mengendalikan tingkat kesuburannya dan mempunyai keturunan yang sedikit, maka
diperlukan metode atau cara penggunaan alat kontrasepsi yang efektif secara konsisten dan
tepat. Akan tetapi, permasalahan seperti sulitnya akses dalam mengetahui cara penggunaan alat
kontrasepsi yang baik, kemudian penggunaan yang tidak konsisten, serta kegagalan dari alat
kontrasepsi tersebut tidak mudah untuk diselesaikan serta dapat menyebabkan kehamilan yang
tidak diinginkan.11

Alasan lain dari timbulnya kehamilan yang tidak diinginkan adalah hubungan intim yang
dipaksakan atau tidak dikehendaki serta kurangnya pengakuan terhadap suara perempuan
mengenai permasalahan seksual ataupun reproduksi. Norma sosial, kondisi ekonomi, aturan
yang menghambat, dan faktor lainnya telah memberikan dampak yang signifikan bagi
perempuan untuk melakukan aborsi, terutama aborsi secara tidak aman. Kemiskinan, contohnya,
adalah salah satu faktor utama bagi seorang perempuan untuk melakukan aborsi, dikarenakan
adanya pertimbangan finansial dari sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Aborsi sudah
selayaknya diakui menjadi aborsi secara aman dan tidak aman. Komplikasi umum yang
biasanya dilaporkan sebagai akibat aborsi adalah rasa sakit luar biasa (52%) dan pendarahan
(44%) pada perempuan. Sedangkan 14% adalah demam, cidera ringan, dan komplikasi ringan
lainnya.12

1) Aborsi Secara Aman

Cara-cara atau metode aborsi yang aman pada trimester pertama (12 minggu) dari sebuah
kehamilan adalah vacuum aspiration, dilation, curettage, dan aborsi dengan pengobatan.
Lamanya kehamilan dihitung dari hari pertama siklus menstruasi terakhir. Walaupun demikian,
metode dibawah tidak direkomendasikan pada kehamilan trimester kedua.13
a) Vacuum Aspiration

9
Penyumbatan mendadak pada pembuluh darah oleh gumpalan atau benda asing linnya (embolus) yang
terbentuk atau dimasukkan di tempat lain pada sistem sirkulasi darah dan terbawa ke tempat penyumbatan
oleh aliran darah.
10
Tidak berfungsinya selaput jantung.
11
Warriner, I. K., 2006, “Unsafe Abortion: An Overview of Priorities and Needs” from Preventing
Unsafe Abortions and its Consequences, New York: Guttmacher Institute, hlm. 2.
12
Hussain, R., & Henshaw, S. K., 2008, “Severity and Cost of Unsafe Abortion Complications Treated in
Nigerian Hospitals”, International Family Planning Perspectives, vol. 34, no. 1, hlm. 46.
13
Mesce, D., 2005, Unsafe Abortion: Facts & Figures, Washington: People Reference Bureau, hlm.11.

56
Metode ini adalah cara yang tercepat dan paling aman untuk mengosongkan rahim dengan
menggunakan suntikan besar dan cannula. Metode ini dilakukan bagi perempuan yang
mengalami keguguran atau aborsi yang tidak selesai, untuk mengatur pendarahan yang terjadi
per bulannya, serta mengakhiri sebuah kehamilan yang tidak diinginkan.14

b) Dilation and Curettage


Dilation and curettage (D&C) adalah prosedur operasi sederhana yang menghilangkan jaringan
dari dalam rahim. Setelah dilating (pembukaan) dari serviks (mulut rahim), jaringan dari dalam
rahim diambil menggunakan alat pengikis, alat pengisap, serta alat khusus lainnya.15

c) Aborsi dengan Pengobatan


Aborsi secara medis adalah aborsi dengan cara mengonsumsi obat yang dapat mengakhiri
sebuah kehamilan. Alternatif dari cara ini adalah aborsi melalui operasi, yaitu mengakhiri
kehamilan dengan mengosongkan rahim menggunakan alat-alat khusus. Pada tahap awal,
pengobatan yang digunakan adalah mifepristone atau methotrexate secara bersamaan dan
dilanjutkan dengan mengonsumsi misoprostol, untuk memancing aborsi. Aborsi dengan
pengobatan bekerja melalui tiga cara:16
i. Mifepristone adalah pengobatan yang dikembangkan dan diuji secara spesifik untuk
memberikan reaksi aborsi. Obat ini diizinkan pertama kali di Perancis dan RRC pada
1988. Sejak itu, mifepristone telah digunakan secara aman oleh jutaan perempuan di
seluruh dunia. Obat ini dikonsumsi dalam bentuk pill. Cara bekerjanya yaitu dengan
memblokir hormon progesterone yang dibutuhkan untuk menyokong kehamilan. Tanpa
keberadaan hormon ini, lapisan rahim hancur, kemudian serviks melunak dan
menyebabkan terjadinya pendarahan.

ii. Methotrexate telah dignakan di Amerika Serikat sejak 1953 saat diizinkan oleh FDA
untuk merawat sejumlah tipe kanker. Sejak itu, penelitian medis menemukan fungsi
penting lain dari obat tersebut. Salah satunya adalah untuk mengakhiri kehamilan yang
tidak diinginkan. Biasanya obat ini diberikan kepada perempuan melalui suntikan atau
dapat dimakan.

iii. Misprostol dikonsumsi beberapa hari setelah mengonsumsi salah satu dari mifepristone
atau methotrexate. Tablet dari mifoprostol dapat diletakkan pada tiga tempat yaitu di
dalam vagina, antara gusi dengan pipi, atau ditelan yang menyebabkan rahim
berkontraksi dan mengosongkan isinya. Hal ini tentu mengakhiri sebuah kehamilan.

2) Aborsi Secara Tidak Aman

Aborsi yang tidak aman adalah keadaan yang dapat dicegah namun terjadi secara terus menerus.
WHO mendefinisikan aborsi secara tidak aman sebagai sebuah prosedur untuk mengakhiri
kehamilan yang tidak dikehendaki baik oleh pihak tanpa keahlian yang diperlukan atau
lingkungan yang tidak menyesuaikan standari minimum medis, atau keduanya. Dimana sebuah
akses untuk aborsi secara aman dibatasi, maka komplikasi dari aborsi tersebut akan

14
“ Chapter 23: Manual Vacuum Aspiration (MVA)” from the book of Hesperian Health Guides: A Book
for Midwives, 2013, HLM. 417, accessed from www.hesperian.org on July 21th, 2017, 19.49.
15
American Society for Reproductive Medicine, 2008, “Patient Fact Sheet: Dilation and Curettage
(D&C)”, hlm. 1.
16
National Abort Federation, What is Medical Abortion, hlm. 1.

57
mengantarkan pada keadaan tidak sehat dan merupakan penyebab utama daru maternal deaths
(kematian ibu).17

Secara global, telah diestimasikan sebanyak 68.000 perempuan meninggal setiap tahunnya
sebagai dampak dari aborsi secara tidak aman, serta sebanyak 5.3 juta perempuan menderita
disabilitas sementara ataupun permanent. Beban dari kesehatan publik paling tinggi dialami oleh
negara berkembang.18 Angka absolute dari aborsi tidak aman tidak dapat dibandingkan antar
regional ataupun sub regional karena ukuran populasi yang berbeda. Oleh karena itu, rasio dan
tingkatan dibutuhkan untuk mengkalkulasi perbandingan tersebut. Timbulnya aborsi secara
tidak aman dan kematian dikalkulasikan dalam bentuk rasio atau klasifikasi sebagai berikut:19
i. Rasio timbulnya aborsi secara tidak aman: rasio aborsi tidak aman adalah angka
dari aborsi tidak aman yaitu sejauh 100 kelahiran bayi yang hidup (sebagi perwakilan
semua kehamilan yang ada). Aborsi yang tidak aman mengindikasikan kesempatan
relatif bahwa sebuah kehamilan akan berakhir melalui aborsi daripada kelahiran bayi
hidup.

ii. Tingkatan timbulnya aborsi secara tidak aman: tingkatan aborsi tidak aman adalah
angka dari aborsi tidak aman per 1000 perempuan dari usia reproduktif (15-44 tahun)
tiap tahun. Ukuran ini menggambarkan tingkat aborsi tidak aman dalam sebuah
populasi. Hal ini mengindikasikan perbandingan perempuan dalam usia reproduktif
yang condong melakukan aborsi tidak aman pada tahun tertentu.

iii. Rasio kematian aborsi tidak aman: rasio kematian aborsi tidak aman adalah angka
dari kematian karena melakukan aborsi tidak aman yaitu sejauh 100.000 kelahiran
bayi hidup. Hal ini adalah himpunan bagian rasio mortalitas dan ukuran dari risiko
kematian akibat aborsi tidak aman dengan perbandingannya pada jumlah kelahiran
bayi hidup.

iv. Rasio kecelakaan aborsi tidak aman: rasio ini mengungkapkan estimasi kematian
dari prosedur aborsi tidak aman sejauh 100 per prosedur. Rasio ini mengekspresikan
risiko mortalitasi yang diasosiasikan dengan prosedur.

v. Aborsi tidak aman dihubungkan dengan perbandingan kematian ibu: angka dari
kematian aborsi per 100 kematian ibu, saat kematian ibu rendah dan dilain hal
penyebab kematian ibu telah dikurangi dalam jumlah besar, jumlah kecil dari aborsi
tidak aman mungkin dapat menerangkan sebuah perbandingan penting dari kematian
ibu. Oleh karena itu, perhitungan ini didorong oleh tingkat keseluruhan kematian ibu
dengan beragam penyebab kematian ibu dalam sebuah negara.
Bertambahnya jumlah aborsi secara tidak aman telah menjadi sebuah espektasi yang
tidak diucapkan, kecuali terdapat sebuah jalan bagi perempuan untuk memahami serta
tidak dibatasi dalam menjangkau aborsi yang aman atau alat kontrasepsi. Pernyataan
ini dapat saja menjadi sebuah cara untuk mendukung dan menakui perempuan dalam
memutuskan apa yang patut dilakukan terhadap badan mereka.

17
Grimes, D. A., Benson, J., Singh, S., Romero, M., Ganatra, B., & Okonofua, F. E., 2006, “Unsafe
abortion : the preventable pandemic”, Geneva: World Trade Organization, hlm. 1.
18
Warriner, I. K., loc. Cit.
19
World Health Organization, 2004, “Unsafe Abortion: Global and Regional of the Incidince of Unsafe
Abortion and Associated Mortality in 2000”, Geneva: WHO Marketing and Dissemination, hlm. 8.

58
3) Bagaimana aborsi dilakukan di Indonesia, Jepang, dan RRC?

Pada 2010-2014, estimasi sejumah 36 juta aborsi secara sengaja dilakuka setia tahun di Asia.
Sebagian besar dari aborsi ini dilakukan di Asia Selatan dan Tengah (16 juta), yang terdiri dari
India, dan Asia timur (13 juta) termasuk RRC (Republik Rakyat China). Untuk memahami
bagaimana aborsi dimata tiap negara, maka artikel ini akan membandingka perspektif aborsi
yang berbeda antara Indonesia, Jepang, dan RRC.20

a) Indonesia
Setidaknya dua juta aborsi tiap tahun dilakukan di Indonesia, dengan rasio sebesar 43 aborsi
pada untuk 100 kelahiran atau 30% kehamilan. Perempuan yang mengalami aborsi berusia 20
tahun keatas (92%) dan timbulnya aborsi lebih tiggi pada bagian daerah/desa (60%)
dibandingkan perkotaan (30%). Berdasarkan pihak-pihak yang melakukan aborsi, sepertiga dari
kota dan sisanya dari desa menyatakan bahwa aborsi dilakukan pada kehamilan pertama. Dari
pernyataan tersebut, sebagian besar masih lajang. Berdasarkan pasien yang dirujuk ke rumah
sakit di Yogyakarta karena komplikasi aborsi, 4.6% lajang dan hanya status perkawinannya
hanya sah secara agama (nikah siri). Tingkat kematian ibu di Indonesia berlanjut pada tahap
yang tinggi. Secara spesifik, angka kematian ibu berdasarkan berbagai sumber masih
kontroversial, namun estimasi terakurat untuk Indonesia menyatak setidaknya 20.650
perempuan dewasa dan muda meninggal setiap tahun akibat komplikasi terkait kehamilan
ditambah 413.000-619.500 perempuan yang menderita disabilitas akibat komplikasi saat
kehamilan atau proses melahirkan setiap tahun.21

Pada sebuah penelitian mengenai induksi haid pada sebuah klinik kota, tahap pertama seorang
perempuan adalah untuk mengonsumsi obat tradisional atau herbal (jamu) untuk merangsang
mensutrasi. Kemudian mereka akan melakukan tes kehamilan. Setelah kehamilan dipastikan,
pada umumnya perempuan pada usaha pertama melakukan aborsi akan mengonsumsi lebih
banyak lagi obat tradisional dan jamu ataupun pijatan yang dapat merangsang aborsi oleh tabib
tradisional. Jika tindakan tersebut tidak berhasil, maka perempuan tersebut akan mengakhiri
kehamilannya disebuah klinik.22 Di sisi lain, hanya 38% perempuan yang telah melaksanakan
aborsi diklinik melaporkan bahwa prosedur yang dilakukan menyertai vacuum aspiration atau D
& C. Sebesar 25% lainnya menerima pengobatan dan pijaam aborsi, 13% menerima substansi
yang disuntik kedalam tubuh, 13% menerima benda asing yang dimasukkan kedalam vagina
atau rahim, dan 4% ditangani dengan akupunktur. Aborsi secara tidak aman telah mengantarkan
kita pada sejumlah angka komplikasi dan kematian. Estimasi terbaru mengenai kematian terkait
aborsi di Indonesia tidak tersedia.23 Poin terpenting adalah Indonesia tidak mendukung aborsi,
dengan faktor sebagai berikut:

i. Faktor Agama
Agama sangat mempengaruhi pandangan terhadap aborsi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
agama yang membentuk opini publik dalam isu-isu tertentu seperti aborsi. Survei terakhir
menyatakan sebanyak 105 tokoh agama Islam, Katolik, dan Kristen di Yogyakarta menerangkan
kedudukan aborsi dalam kelompok-kelompok agama di Indonesia. Walaupun tidak terwakili

20
Guttmacher Institute, 2016, Fact Sheet: Abortions in Asia, accessed from
https://www.guttmacher.org/sites/default/files/factsheet/ib_aww-asia.pdf on July 24th, 2017, 21.35.
21
Maternal and Neonatal Program Effort Index, 2002, At A Glance: Indonesia, Glastonbury: The
Maternal Health Study, hlm. 2.
22
Dwisetyani, I., 2013, “Adolescent Pregnancy in Indonesia : A Literature Review”, Australia: Australia
National University, hlm. 6.
23
Guttmacher Institute, 2008, “Abortion in Indonesia”, no. 2, Hlm. 2, accessed from
www.guttmacher.org on July 23rd, 2017 at 23.25.

59
secara nasional, namun studi telah menggambarkan kehadiran dari beragam pandangan
mengenai aborsi, yang sebagian tidak begitu konservatif seperti halnya kebijakan nasional.
Sebagian besar tokoh agama (82%) menyetujui bahwa aborsi dapat ditolerir apabila hidup
seorang perempuan dalam bahaya. Banyak yang beralasan bahwa nyawa perempuan tersebut
lebih penting dibandingkan sang janin, karena ia dibutuhkan oleh anak-anak serta keluarganya.

Tokoh agama Islam, walaupun terkenal konservatif, memiliki lebih banyak toleransi mengenai
kedudukan aborsi dibandingkan rekannya yaitu tokoh agama Kristen. Sebagai contoh, walaupun
sebagian besar tidak setuju bahwa aborsi dapat didasari karena kehamilan akan mengganggu
pendidikan atau kesehatan psikologis perempuan. Menurut alasan tersebut (pendidikan dan
kesehatan psikolog), perbandingan menunjukkan bahwa tokoh agama Islam lebih mendukung
dibandingkan tokoh agama Kristen.

ii. Hukum Nasional Indonesia Menentang Aborsi


Faktor agama telah membawa sebuah peran besar dalam penyusunan hukum agama.
Berdasarkan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Dengan kemajemukan agama,
budaya, dan geografis, Indonesia memiliki hukum yang merangkul seluruh masyarakatnya.
Walaupun hukum memiliki kekuatannya, perlu diingat bahwa agama merupakan aspek yang
signifikan di Indonesia. artinya, setiap pertimbangan untuk membentuk sebuah peraturan hukum
di Indonesia mengandung dasar keagamaan. Jika tidak sesuai dengan norma agama, maka hal
tersebut tidak dapat dilaksanakan. Alasan mengapa agama sangat mengendalikan hukum dan
kebijakan di Indonesia tentu dikarenakan adanya Pancasila sebagai ideology Indonesia yang
terdiri dari lima sila yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanakan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Sebagai Ground Norm, Pancasila adalah akar dari segala hukum yang akan disosialisasikan
pada masyarakat Indonesia. Selain itu, hal ini sesuai dengan salah satu prinsip hukum umum
yaitu lex superior derogate lege inferiori atau hukum dengan hirerarki lebih tinggi akan
diprioritaskan dibandingkan hukum dibawahnya dan hukum dengan hirerarki yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan hukum diatasnya, khususnya ground norm sebuah negara atau
dalam hal ini sila pertama dari Pancasila.24 Semua agama resmi di Indonesia tidak mendukung
adanya aborsi dan kenyataan tersebut sangat berdampak pada regulasi yang terkait. Penjelasan
tersebut memberikan pemahaman yang lebih mudah mengenai alasan hukum nasional Indonesia
yang bertentangan dengan aborsi. Regulasi tersebut yakni:

 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.25


 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek Van Straftrecht.26
 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.27
 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan/Perawatan Medis.28

24
Sasongko, W., 2013, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Bandar Lampung: Penerbit Universitas Lampung,
hlm. 29.
25
Lihat Pasal 28 A-J.
26
Lihat Pasal 229, 347-349.
27
Lihat Pasal 53 point 1.

60
 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga.29
 Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1960 tentang Sumpah Dokter.30

iii. Menikah Usia Dini dan Kurangnya Penggunaan Alat Kontrasepsi


Usia menikah pertama kali bagi perempuan di Indonesia dapat dikategorikan sangat dini.
Berdasarkan perbandingan data kota dan desa, tingkat menikah usai dini lebih tinggi pada area
perdesaan (6.2%), perempuan tanpa pendidikan (9.5%), petani, nelayan, dan buruh (6.3%), serta
perempuan dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah (6%). Menstruasi awal dan usia menikah
dini menghasilkan usia reproduksi yang semakin luas pada perempuan Indonesia dan
menyebabkan lebih banyak anak-anak yang lahir. Tingkat kehamilan pada usia 10-14 tahun
adalah 0.01%, usia 15-19 tahun sebesar 1.9%, dan usia 20-29 tahun sebesar 6%. Pada tingkat
nasional, terdapat 8.4% perempuan di Indonesia yang melahirkan 5-6 anak dan 3.4%
melahirkan lebih dari 7 anak. Provinsi dengan tingkat perempuan yang memiliki anak banyak
(lebih dari 7 anak) adalah Papua Barat (7.5%) dan terendah adalah DI Yogyarakata. Penggunaan
alat kontrasepsi sangat dibutuhkan apabila melihat keadaan tersebut. Secara umum, penggunaan
alat kontrasepsi modern adalah sebesar 57.4% (2007) dan 55.85% (2010). Dengan target sebear
65% pada 2015, sepertinya Indonesia akan sukses dalam hal ini.

Malangnya, hanya 25.9% perempuan pada usia 10-14 tahun yang menggunakan alat
kontrasepsi. Kondisi ini membutuhkan perhatian lebih karena kehamilan pada usia dini berarti
risiko tinggi pada kematian ibu dan bayi.31

b) Jepang
Pemerintahan Jepang telah dikejutkan dengan rendahnya tingkat kesuburan secara historis dan
memulai pertemuan antar kementerian untuk membahas cara untuk menangani permasalah
kesuburan.32 Namun, aborsi di jepang berada dalam tingkat yang baik dibandingkan dengan
negara-negara bagian barat. Di Jepang, seorang dokter melalui himpunan medis dengan
kepentingan umum yang tergabungkan dengan himpunan yang ditetapkan dari wilayah
administrative dapat melaksanakan aborsi secara sengaja kepada seseorang yang berada
dibawah dua keadaan setelah mendapatkan persetujuan dari calon ibu dan pasangannya:33
i. Dimana kelanjutan kehamilan atau persalinan dapat merusak kesehatan dari calon ibu
baik secara fisik atau ekonomi.
ii. Dimana seorang perempuan hamil karena hasil dari pemerkosaan atau berada dalam
keadaan dia tidak dapat menolak.

Aborsi termasuk tindak pidana di Jepang. Namun, aborsi boleh dilakukan dan dilindungi oleh
dua statuta: Eugenic Protection Law 1948 dan versi revisinya, Maternal Body Protection Law
1996, dengan ketentuan sebagai berikut; Guna menyelamatkan nyawa dan/atau kesehatan fisik
wanita dan Kehamilan adalah hasil dari perkosaan atau inses dengan alasan finansial dan/atau
social. Dengan catatan, aborsi menjadi ilegal jika dilakukan atas dasar cacat janin atau
kesehatan mental ibu. Aborsi legal hanya boleh dilakukan dalam 24 minggu (6 bulan) pertama

28
Lihat Pasal 75-77.
29
Lihat Pasal 10.
30
Lihat Pasal 1.
31
Sugiarto, N., & Kumboyo, D. A., 2015, “Current trend of maternal health in Indonesia Bali”, Med J
Indones, vol. 21, no. 3, hlm. 180.
32
Suzuki, T., 2006, “Fertility Decline and Policy Development in Japan”, The Japanese Journal of
Population, , vol.4, no. 1, hlm.9.
33
Kobe University of Law, 2016, “World Association for medical law 2016 Annual Congress Japanese
Law of Abortion, Prenatal Diagnosis and Wrongful Birth”, accessed from http://www2.kobe-
u.ac.jp/~emaruyam on July, 25th, 2017, 12.06.

61
usia kehamilan, wajib dalam fasilitas medis memadai di bawah pengawasan dokter yang telah
ditunjuk oleh asosiasi medis lokal, dan atas persetujuan dari pasien. Persetujuan dari wanita
pengidap keterbelakangan mental dapat diberikan oleh walinya. Ketika kehamilan adalah hasil
perkosaan atau inses, aborsi bisa dilakukan tanpa persetujuan hukum dari wanita tersebut.
Menurut analisis demografis oleh Ryuzaburo Sato di National Institute of Population and Social
Security Research34, tingkat kejadian aborsi di Jepang pada tahun 1955 mencapai rekor tertinggi
hingga 1.17 juta, dan dilaporkan terus menurun drastis seiring berjalannya waktu. Pada tahun
2005, angka kejadian aborsi mencapai 289 ribu kasus per 1000 wanita berusia 15-49 tahun.

c) Republik Rakyat China (RRC)


RRC terkenal selaku negara yang terkenal akan kepadatan penduduknya, dimana perencanaan
berkeluarga adalah hal fundamental dalam kebijakan negara. RRC menerapkan perhitungan
komprehensif untuk mengendalikan angka dan meningkatkan kualitas umum dari populasi.35
Kebijakan “one child policy” telah menjadi karakteristik tetap dalam keadaan sosial dan politk
di RRC masa kini. Namun nama kebijakan tersebut ternyata tidak resmi. Selain itu, penerapan
dari kebijakan tidak setegas yang dikhawatirkan. Hal ini disebabkan oleh jumlah anak-anak
yang ditentukan oleh perbedaan etnis, lokasi, dan kesenjangan antara penduduk asli serta tenaga
kerja. Walaupun demikian, kebijakan telah melembagakan intervensi negara secara langsung,
yang biasanya permasalahan ini dinegara lain dianggap sebagai keadaan yang privat. Selama
tiga puluh tahun, dan keadaan terkini menunjukkan tidak adanya tanda-tanda berkurang.
Kebutuhan dan tujuan negara untuk mengungguli keinginan para individu dan visi populasi dari
PRC (People’s Republic China) merumuskan konstitusi RRC pada pasal 25 sebagai berikut:
“The state promotes family planning so that population growth may fit the plans for economic
and social development.36”

Sejak 1979, PRC telah menerapkan kendali yang tegas mengenai angka, waktu, dan jarak
kelahiran untuk mengendalikan pertumbuhan populasi yang kemudian menciptakan
perkembangan sosial dan ekonomi yang lebih baik. Pada saat kebijakan tersebut diperkenalkan,
RRC sudah menguasai seperempat porsi dari populasi dunia. Dua per tiga merupakan
masyarakat dibawah usia 30 tahun yang menguasai 7% dari dunia.37 Kini, populasi RRC
diestimasikan mencapai 1,3 milyar, dengan kebijakan keluarga berencana dilaksanakan akan
mencegah antara 250-300 juta kelahiran. Tujuan utama dari kebijakan tersebut adalah untuk
menghentikan kebiasaan tradisional yaitu masyarakat dengan keluarga yang sangat besar,
dengan menciptakan satu atau dua anak keluarga sebagai bagian norma dalam wilayah
pedesaan. Penghentian ini tentu dimaksudkan untuk mencegah keadaan dimana RRC tidak
dapat mensejahterakan (makanan) rakyatnya sendiri dan juga sebagai upaya menuju
perkembangan yang tangkas.38 Beberapa bentuk akhir dari sanksi administrasi kebijakan
kelahiran tersebut yaitu:
1. Pasangan menikah wajib menyerahkan izin tertulis sebelum kehamilan diperbolehkan.
2. Kehamilan diluar perkawinan adalah ilegal, dan semua bentuk kehamilan yang tidak sah
wajib diakhiri.
3. Mengikuti kelahiran anak pertamanya, perempuan diminta untuk memakai Intrauterine
Device (IUD) atau alat kontrasepsi lainnya.

34
http://www.ipss.go.jp/index-e.asp, acces on October 10, 2017, lihat juga http://www.ipss.go.jp/webj-
ad/WebJournal.files/population/2006_3/sato-iwasawa.pdf.
35
Population and Family Planning Law of The People’s Republic of China.
36
Constitution of the PRC: Hereafter “Constitution” (2004) Pasal 25
37
Hesketh, Therese and Zhu Wei Xing. The Effect of China’s One-Child Family Policy after 25 Years,
IN: New England Journal of Medicine, Vol.353 (2005).hlm. 1171.
38
Ibid, 1174.

62
4. Mengikuti kelahiran anak yang tidah sah atau tidak direncanakan, salah satu pihak dari
pasangan harus disterlisisasi.39

Segi lain dari kebijakan ini yaitu kegagalan dari program keluarga berencana dalam
menyesuaikan target dapat menyebabkan denda, hilangnya, bonus, dan sanksi disiplin atau
penurunan pangkat. Walaupun beritikad baik, namun kebijakan mengenai sanksi internal dan
penghargaan telah mengakibatkan hal-hal yang tidak terduga serta tidak diinginkan. Walaupun
negara mengklain adanya partisipasi sukarela dari PRC, namun laporan mengenai paksaan dan
tindakan yang berlebihan dalam mencapai target populasi telah mengoyahkan kebijakan
keluarga berencana.40

Tindakan paksaan yang dilakukan untuk mencapai target populasi terdiri dari sanksi ekonomi
atau bonus, termasuk paksaan fisik dan psikologis. Metode meliputi: pemindahan paksa dari
rumah untuk pemeriksaan dan perawatan medis, aborsi paksa pada usia lanjut, pembunuhan
janin yang lahir hidup, prosedur sterilisasi paksa, penahanan ibu hamil selama diperlukan untuk
membujuk mereka agar menjalani aborsi, penyitaan barang-barang, pemecatan dari pekerjaan,
penahanan dan perlakuan sewenang-wenang terhadap keluarga sebagai insentif untuk dipatuhi,
(atau jika tidak ada anggota keluarga) penghancuran rumah dan harta pribadi.41 Aborsi paksa
dan sterilisasi paksa mempengaruhi baik individu maupun keluarga, para perempuan yang
menderita prosedur ini mengalami efek jangka panjang yang signifikan, baik fisik maupun
psikologis. Prosedur bedah paksa menghapuskan hak atas integritas keamanan tubuh manusia
dan otonomi dalam keputusan mengenai prosedur medis. Selain itu, tindakan yang dilakukan
untuk memverifikasi kepatuhan terhadap kebijakan kelahiran merupakan pelanggaran
kebebasan pribadi dan privasi.

Kesetaraan formal antara jenis kelamin dikodifikasikan ke dalam hukum China, dan telah lama
dijunjung tinggi sebagai kebijakan dasar negara. Demikian pula, tugas yang terlibat dalam
keluarga berencana secara hukum ditetapkan sebagai tanggung jawab suami dan istri.42 Namun
dalam praktiknya, perempuan telah lama menjadi target utama untuk bertanggung jawab atas
pengendalian kelahiran dan tindakan pemaksaan fisik dalam penegakan kebijakan. Cara
sistematis di mana kebijakan keluarga berencana diterapkan telah menempatkan beban pada
perempuan dan karena itu, secara efektif, keadaan ini merupakan diskriminasi karena akibatnya
yang tidak adil.

Pada tanggal 1 September 2001, Undang-Undang tentang Perencanaan Penduduk dan Kelahiran
mulai berlaku. Menurut undang-undang ini, pemerintah China akan berusaha untuk
mengendalikan populasi, meningkatkan kualitas penduduk, dan membantu melakukan
perencanaan kelahiran. Undang-undang ini mempertahankan kebijakan "one child policy"
sebelumnya, namun menambahkan bahwa pasangan dapat memiliki anak kedua jika mereka
memenuhi persyaratan tertentu. Kondisi tersebut sering termasuk klausul tentang menunggu
empat tahun atau lebih antar jarak kelahiran. Perubahan besar berikutnya yang dibuat pada "one
child policy" adalah pada bulan November 2013. Amandemen ini memungkinkan pasangan
suami-istri untuk memiliki dua anak jika setidaknya satu dari orang tua tersebut adalah anak
tunggal.43

39
Carmel Slave, 2006, China to CEDAW: An Update on Population Policy, IN: Women’s Rights: A
Human Rights Quarterly Reader, Baltimore: Bert B. Lockwood. hlm. 655
40
Ibid. hlm. 661.
41
Vanessa L.Fong, 2008, “China's One-Child Policy and the Empowerment of Urban Daughters”,
American Anthropologist, Vol.104, hlm. 55.
42
Article 48 and 49, The Constitution of PRC 2004.
43
ClarisssaBriasco-Stewart., “The One-Child Policy: Causes and Consequences.

63
2. Ruang Lingkup, Permasalahan, dan Aspek Hukum Kematian Ibu
a. Permasalahan Kematian Ibu
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, WHO mendefinisikan maternal mortality (MM)
sebagai: “the death of a woman while pregnant or within 42 days of termination of pregnancy
… from any cause related to or aggravated by the pregnancy or its management, but not from
accidental or incidental causes”.44 Sebaliknya, morbiditas maternal sebagai sebuah kondisi
diluar kehamilan dan proses melahirkan yang berdampak secara negative pada kesehatan
perempuan pada saat tersebut.45

Meskipun definisi standar kematian ibu dan penyebabnya ada, sulit untuk mengukur secara
akurat tingkat kematian ibu melahirkan karena tiga alasan utama: (a) sulit untuk
mengidentifikasi kematian ibu; (b) status kehamilan wanita mungkin tidak diketahui; dan (c) di
negara dimana sertifikasi medis penyebab kematian tidak ada, atribusi akurat kematian
perempuan karena kematian ibu sulit dilakukan.46

Kematian ibu adalah masalah kesehatan global yang penting. Millennium Development Goals
(MDG5) berupaya mengurangi angka kematian ibu melahirkan sebesar tiga perempat antara
tahun 1990-2015 dan mencapai akses universal terhadap kesehatan reproduksi. Untuk
melanjutkan pencapaian yang luar biasa dalam mengurangi angka kematian ibu melahirkan
yang dilakukan oleh banyak negara untuk memenuhi target MDG5, Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan yang ketiga memiliki visi untuk mengurangi rasio kematian maternal global
menjadi kurang dari 70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030.47

b. Ruang Lingkup Kematian Ibu


Kematian ibu sangat banyak karena sejumlah alasan yang saling terkait, atau penundaan, yang
pada akhirnya mencegah wanita hamil mengakses perawatan kesehatan yang mereka
butuhkan.48 Keterlambatan ini, yang sering disebut sebagai "three delays", dipahami meliputi:
(a) keterlambatan dalam mencari bantuan medis yang tepat untuk keadaan darurat kebidanan
karena alasan biaya, kurangnya pengakuan akan keadaan darurat, pendidikan yang buruk,
kurangnya akses terhadap informasi dan ketidaksetaraan jender; (b) keterlambatan dalam
mencapai fasilitas yang sesuai dengan alasan jarak, infrastruktur dan transportasi, dan; (c)
keterlambatan dalam menerima perawatan yang memadai saat fasilitas tercapai karena faktor
kekurangan staf, atau karena tidak tersedianya listrik, air atau persediaan medis.49

c. Aspek Hukum
Hukum internasional dapat digunakan sebagai alat untuk mengurangi angka kematian ibu,
karena banyak negara dengan tingkat kematian ibu tertinggi telah meratifikasi perjanjian
internasional yang memberikan dasar hukum dengan argumen bahwa ada hak asasi manusia
untuk bertahan hidup selama kehamilan.50 U Badan Pemantau Traktat Perserikatan Bangsa-
Bangsa menggunakan proses formal untuk menyelidiki dan mengukur kepatuhan negara

44
WHO., 2014, “International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems”, Tenth
Revision, vol. 2, Instruction Manual, 2nd ed. Geneva: WHO, hlm. 141.
45
S.A. Orshan, 2008, Maternity, Newborn and Women’s Health Nursing: Comprehensive Care across the
Life Span Philadelphia, Lippincott Williams and Wilkins, hlm. 15.
46
WHO, 2007, Maternal Mortality in 2005: Estimates Developed by WHO, UNICEF, UNFPA and The
World Bank Geneva: WHO, hlm. 5.
47
USAID., 2015, “Measuring Maternal Mortality”, USA: United State Census Bureau. HLM. 1.
48
D. Maine, 2001, Safe Motherhood Programs: Options and Issues,New York, Columbia University;
UNFPA response to the note verbale, hlm. 2.
49
UNFPA, response to the note verbale, hlm. 2; A/61/338, hlm. 21.
50
R.J. Cook and B.M. Dickens, 2001, Advancing Safe Motherhood through Human Rights, Geneva,
WHO, hlm. 5.

64
terhadap ketentuan-ketentuan perjanjian, dan kemudian menerbitkan laporan dengan komentar
dan instruksi perbaikan.51 Selain itu, komite dimungkinkan oleh PBB untuk memberikan
komentar atau rekomendasi umum untuk memberikan interpretasi ketentuan perjanjian. Bentuk
akuntabilitas dan tekanan internasional publik ini memiliki kapasitas untuk mempengaruhi
tindakan negara-negara pihak guna mengurangi angka kematian ibu melahirkan. Penjelasan
singkat tentang bagaimana ketentuan perjanjian telah digunakan untuk memerangi angka
kematian ibu berikut.

1) Hak untuk Hidup


Beberapa perjanjian internasional melindungi hak untuk hidup, dan Badan Pemantau dan
Komite Pemantauan PBB telah mengindikasikan bahwa pihak-pihak tersebut memiliki
kewajiban untuk bekerja dalam melindungi kehidupan perempuan selama kehamilan dan
persalinan.52 The Committee on the Convention on the Elimination of All forms of
Discrimination against Women (CEDAW) telah mengakui kematian ibu sebagai pelanggaran
hak perempuan untuk hidup.53 Komite telah berulang kali mendokumentasikan upaya atau
kekurangan dari negara-negara tertentu untuk memerangi kematian ibu. Setiap manusia
memiliki hak yang melekat pada kehidupan. Hak ini harus dilindungi hukum. Tidak ada orang
yang secara sewenang-wenang kehilangan nyawanya.54 Komite Hak Asasi Manusia menyatakan
bahwa para pihak harus mengambil semua langkah yang mungkin untuk meningkatkan harapan
hidup, termasuk peningkatan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi. Komite, sehubungan
dengan negara-negara tertentu, memiliki andil dalam menghubungkan angka kematian ibu
melahirkan dini, anak dan pernikahan paksa, dan mutilasi alat kelamin perempuan. Komite juga
telah menyatakan bahwa risiko kesehatan akibat aborsi ilegal melibatkan hak perempuan untuk
hidup. Selain itu, Konvensi Hak-hak Anak mensyaratkan agar partai menjamin kelangsungan
dan perkembangan anak. Komite Hak Anak telah mencatat bahwa para pihak harus "mengambil
tindakan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas ibu pada remaja perempuan" karena
kehamilan dini dan aborsi yang tidak aman, dan bekerja untuk mencegah pernikahan anak.

2) Hak untuk Memiliki Standari yang Paling Tinggi dalam Kesehatan Fisik dan Mental.
Hak atas kesehatan, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi, mencakup kebebasan untuk
mengendalikan kesehatan dan tubuh seseorang serta hak untuk menikmati berbagai fasilitas,
barang, layanan dan kondisi yang diperlukan untuk mewujudkan standar kesehatan tertinggi
yang dapat dicapai. Secara khusus, hak atas kesehatan mensyaratkan bahwa tindakan tertentu
dilakukan sehubungan dengan kehamilan dan persalinan, termasuk penyediaan layanan
kesehatan reproduksi dan ibu. International Covenant on Economic, Social, and CuItural Rights
(ICECSR) menyatakan bahwa "perlindungan khusus harus diberikan kepada ibu selama jangka
waktu yang wajar sebelum dan sesudah melahirkan" Negara harus memastikan kepada
perempuan layanan yang sesuai sehubungan dengan kehamilan, kurungan dan masa pasca
melahirkan, memberikan layanan gratis jika diperlukan, dan juga memadai. nutrisi selama
kehamilan dan menyusui”.55 ICECSR juga mensyaratkan penyediaan layanan kesehatan
reproduksi dan ibu (pra-dan juga pasca-kelahiran).56 Sejumlah instrumen dan badan hak asasi
manusia dan internasional lainnya telah diuraikan mengenai kewajiban negara sehubungan
dengan akses terhadap keluarga berencana, perawatan pra dan pasca melahirkan, keahilan bidan,

51
Ibid hlm.. 69.
52
Human Rights Committee, general comment No. 6, para. 5. See also European Commission on Human
Rights, Tavares v. France, decision of 12 September 1991, application No. 16593/90.
53
African Commission on Human and Peoples’ Rights, resolution on maternal mortality in Africa;
Human Rights Committee, general comment No. 28, hlm. 10
54
Article 16, The International Covenant on Civil and Political Rights.
55
Pasal 12, CEDAW
56
CESCR, general comment No. 14, hlm. 44 (a).

65
perawatan obstetrik darurat dan akses terhadap aborsi yang aman dan perawatan pasca aborsi.57
Hak atas kesehatan melampaui akses terhadap perawatan kesehatan, dan angka kematian dan
morbiditas ibu dipengaruhi oleh sejumlah faktor penentu kesehatan dan hambatan sosial,
ekonomi, budaya dan politik yang mendasarinya.58

3) Hak untuk Pendidikan dan Informasi


Realisasi hak atas pendidikan sangat penting bagi kemampuan perempuan untuk menikmati
berbagai hak asasi manusia. Selain itu, pemahaman komprehensif tentang kesehatan seksual dan
reproduksi sangat penting untuk memastikan kemampuan individu melindungi kesehatan
mereka dan membuat keputusan tentang seksualitas dan reproduksi. Tingkat sadar aksara dan
pendidikan perempuan yang rendah di seluruh dunia berkorelasi kuat dengan tingkat kematian
ibu yang tinggi dan sebaliknya terhadap indeks kesehatan ibu lainnya, termasuk tingkat
kesuburan, pemanfaatan perawatan prenatal, pemenuhan kebutuhan kontrasepsi, dan melahirkan
pada usia paruh baya. Kurangnya pendidikan mempengaruhi kesehatan perempuan dengan
membatasi pengetahuan tentang nutrisi, jarak kelahiran dan kontrasepsi. Selain itu, di beberapa
negara, pendidikan dapat menjadi penentu utama kualitas asuhan, dengan wanita berpendidikan
rendah menghadapi diskriminasi yang lebih besar di dalam fasilitas layanan kesehatan.

Hak atas informasi dan manfaat kemajuan ilmiah berakar kuat pada hak asasi manusia yang
paling mendasar, termasuk hak atas kehidupan, kesehatan, pendidikan dan non-diskriminasi.
Akses terhadap informasi merupakan bagian penting dari kemampuan perempuan untuk
membuat pilihan berdasarkan informasi mengenai kehidupan seksual dan reproduksi mereka
dan untuk mengakses layanan kesehatan yang diperlukan untuk memastikan kehamilan dan
persalinan yang sehat. Akses terhadap informasi, pendidikan, dan sarana memungkinkan
perempuan memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab atas jumlah dan jarak anak-anak
mereka.59

3. Perbandingan Penerapan Aspek Hukum Maternal Mortality (Kematian Ibu) antara


Indonesia, RRC, dan Jepang
Unsur Indonesia Jepang Republik Rakyat China

1. UU No. 36 Tahun 1. Maternal 1. Constitution of People’s


2009 tentang Protection Act.63 Republic China.
Kesehatan/Perawat 2. Notice of Vice 2. Population and Family
an Medis. Minister of Planning Law of The
2. UU No. 39 Tahun Health No. 122, People’s Republic of
1999 tentang Ministry of China.
Regulasi HAM.60 Health and
3. UU No. 7 Tahun Welfare,
1984 tentang September 25,
CEDAW. 61 1996.
4. Peraturan 3. Penal Code.64
Pemerintah No. 61
Tahun 2014 tentang

57
CEDAW, general recommendation No. 24.
58
HLM. Hunt and J. Bueno de Mesquita, 2010, Reducing Maternal Mortality: The Contribution of the
Right to the Highest Attainable Standard of Health, England: University of Essex, hlm. 6.
59
Pasal 16 CEDAW.
60
Lihat Pasal 5 point 3.
61
Lihat Pasal 5 and 12.

66
Kesehatan
Reproduksi. 62
1. Aborsi hanya 1. Melalui tes 1. Rakyat memiliki hak
diizinkan pada prenatal, terhadap reproduksinyaa
keada darurat perempuan dapat sekaligus kewajiban
medis saat mengakhiri untuk melaksanakan
kehamilan kehamilan apabila keluarga berencana
mengancam nyawa bayi dalam sesuai
ibu. kandungan dapat Hukum.
2. Perempuan bebas dibuktikan
untuk mengandung memiliki 2. Baik suami dan istri
baik dalam atau diluar komplikasi menanggung
perkawinan, namun kesehatan. tanggung jawab
dampaknya adalah yang sama dalam
pada status legal sang keluarga berencana.
anak. 3. Baik suami dan istri
melaksanakan
Hak Reproduksi perkawinan saat usia
Perempuan matang dan hanya
menanggung 1 anak
saja.65
4. Perempuan dapat
memastikan dalam
memilih alat
kontrasepsi yang
aman, efektif, dan
layak.66
5. Pasangan yang
melaksanakan
keluarga berencana
akan mendapatkan
bebas biaya, layanan
negara, dan asuransi
sosial.67
Tingkat 190 (per 100.000 kelahiran). 18,3 (per 100.000 kelahiran).
5 (per 100.000 kelahiran).
68
Kematian Ibu
1. UU No. 7 Tahun 1. Eugenic 1. Law on the
Perlindungan 1984 tentang Protection Act. Protection of
hukum bagi CEDAW.69 2. Maternal Women’s Rights and
perempuan 2. UU No. 13 Tahun Protection Act. Interest.
hamil 2013 tentang 2. Labor Protection
Ketenagakerjaan.70 Regulation.

63
Lihat Pasal 14.
64
Lihat Pasal 214.
62
Lihat Pasal 3.
65
Lihat Pasal 19 Population and Family Planning Law of The People’s Republic of China.
66
Lihat Pasal 20 Population and Family Planning Law of The People’s Republic of China.
67
Lihat Pasal 21 Population and Family Planning Law of The People’s Republic of China.
68
Lihat World Health Organization, 2016, EPI: Fact Sheet Indonesia.
69
Lihat Pasal 11.
70
Lihat Pasal 76, 81-83.

67
3. Peraturan
Pemerintahan No.
32 Tahun 1999
tentang Hak dan
Kewajiban
Perizinan 71
4. Peraturan
Pemerintah No. 58
Tahun 1999.72
5. Peraturan
Pemerintah No, 61
Tahun 2014 tentang
Kesehatan
Reproduksi.
1. Pronatal Policy Efek dari kebijakan satu
in Japan. anak tidak dapat
2. The Children dibalik karena
Leave Law.
berkaitan dengan
3. Children’s
Allowance Law. populasi yang menua
saat ini. Setiap
perubahan yang akan
terjadi akan
Keluarga Berencana yaitu menguntungkan
Rekomendasi “Dua Anak Lebih generasi masa depan.
Baik”. Jika China
memutuskan untuk
menyingkirkan atau
mengubah kebijakan
satu anak, sekarang
akan menjadi waktu
untuk menghapuskan
kebijakan lama
tersebut.

a. Perspektif Indonesia Mengenai Kematian Ibu


Angka Kematian Ibu di Indonesia adalah yang tertinggi diantara ketiga negara. Hal ini
disebabkan aborsi yang ilegal di Indonesia yang menyebabkan aborsi yang tidak aman. Meski
peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai angka kematian ibu hamil dan kesehatan
ibu hamil sangat kuat, masyarakat Indonesia masih belum sadar akan risiko usia dini kehamilan.
Agama adalah salah satu latar belakang utama situasi utama ini. Semua agama yang diakui di
Indonesia tidak mendukung aborsi, hubungan seksual sebelum menikah, dan beberapa tidak
setuju dengan penggunaan alat kontrasepsi, oleh karena itu dengan tingginya tingkat kelahiran
dan aborsi ilegal, Indonesia merekomendasikan masyarakatnya untuk memiliki maksimum dua
anak per keluarga.

b. Perspektif RRC Mengenai Kematian Ibu

71
Lihat Pasal 20.
72
Lihat Pasal 23-24.

68
Bertentangan dengan Indonesia, china memiliki perspektif tersendiri bahwa tingginya tingkat
kelahiran sejak awal tahun 1940-an-1980-an, mendorong pemerintah republik Rakyat China
untuk membentuk keluarga berencana yang merupakan “One Child Policy”. Kebijakan ini
didukung oleh Kependudukan dan Keluarga Berencana Republik Rakyat China. Ini mengatur
bahwa setiap keluarga di China terbatas hanya memiliki satu anak, jika pasangan hamil lagi,
maka kehamilan itu akan dihentikan. Keterbatasan ini memiliki sedikit keuntungan dari
pemerintah. Selain itu, ada sanksi bagi pihak yang tidak mengikuti polanya.

c. Perspektif Jepang Mengenai Kematian Ibu


Mengenai kematian ibu, sudut pandang Jepang paling unik dibandingkan kedua negara
sebelumnya. Meskipun Jepang berada dalam krisis pada populasi, yang berarti tingkat kematian
lebih tinggi daripada tingkat kelahiran, Jepang masih menawarkan perempuan pilihan mereka
atas kehamilan mereka. Aborsi legal di Jepang, meskipun alasan penghentian menyimpulkan
masalah sosial, ekonomi, dan medis atau bahkan hanya alasan pribadi. Pemerintah Jepang
memang memberikan penghargaan kepada orang-orang yang menjaga kehamilan melalui
perhatian khusus dalam kesejahteraan

3. Kesimpulan

Tingkat kematian ibu diseluruh dunia telah menjadi sebuah keprihatinan dalam ranah hukum
internasional. Aborsi ilegal menjadi salah satu alasan kematian ibu diseluruh dunia dan hal
tersebut disebabkan oleh perbedaan sudut pandang tiap negara mengenai arti dari aborsi sendiri;
seperti alasan agama untuk Indonesia, politik untuk China, dan jaminan kesejahteraan untuk
Jepang. Oleh karena itu, selama pengaturan hukum aborsi dalam tiap negara berbeda, maka
perlindungan bagi perempuan hamil berbeda dimana tingkat kematian ibu akan berbeda juga.
Hal ini dibuktikan dengan Indonesia yang menentang aborsi menduduki tingkat kematian ibu
yang paling tinggi, RRC dengan kebijakan one chid policy telah memberikan penderitaan
tersendiri bagi rakyatnya, sehingga keadaan yang menurut Penulis paling ideal adalah Jepang
dimana aborsi adalah sebuah pilihan namun saat memilih untuk melahirkan anak akan diberikan
penghargaan berupa jaminan kesejahteraan. Walaupun demikian, secara subjektif. Penulis tetap
akan dominan terhadap sudut pandang Indonesia sesuai dengan faktor agama serta tidak melihat
sudut pandang RRC sebagai sebuah opsi kedepannya.

Daftar Pustaka
A. Buku
Carmel Slave, 2006, China to CEDAW: An Update on Population Policy, IN: Women’s
Rights: A Human Rights Quarterly Reader, Baltimore: Bert B. Lockwood.
Mesce, D., 2005, Unsafe Abortion: Facts & Figures, Washington: People Reference
Bureau.
S.A. Orshan, 2008, Maternity, Newborn and Women’s Health Nursing: Comprehensive
Care across the Life Span Philadelphia, Lippincott Williams and Wilkins.
Sasongko, W., 2013, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Bandar Lampung: Penerbit Universitas
Lampung.
UNICEF, 1999, Human Rights for Children and Women: How UNICEF Helps Make
Them a Reality, New York: 3 United Nations Plaza.
United Nations. 2014. Women’s Rights are Human Rights. New York and Geneva:
UNHR.
.

69
B. Jurnal dan Artikel
American Society for Reproductive Medicine, 2008, “Patient Fact Sheet: Dilation and
Curettage (D&C)”.
Calhoun, B., 2013, “Systematic Review The maternal mortality myth in the context of
legalized abortion”, The Linacre Quarterly, Vol. 80, No. 3.
Clarisssa Briasco-Stewart., “The One-Child Policy: Causes and Consequences.
D. Maine, 2001, Safe Motherhood Programs: Options and Issues,New York, Columbia
University; UNFPA response to the note verbale
Dwisetyani, I., 2013, “Adolescent Pregnancy in Indonesia : A Literature Review”,
Australia: Australia National University.
Grimes, D. A., Benson, J., Singh, S., Romero, M., Ganatra, B., & Okonofua, F. E.,
2006, “Unsafe abortion : the preventable pandemic”, Geneva: World Trade
Organization.
Hesketh, Therese and Zhu Wei Xing. The Effect of China’s One-Child Family Policy
after 25 Years, IN: New England Journal of Medicine, Vol.353 (2005).
Hussain, R., & Henshaw, S. K., 2008, “Severity and Cost of Unsafe Abortion
Complications Treated in Nigerian Hospitals”, International Family Planning
Perspectives, vol. 34, no. 1.
Isyaku, A. M., Tilde, B. Y., & Isah, S., 2015, “Maternal Mortality in Developing
Countries : A Threat to the Millennium Development Goal”, vol. 4, No. 5.
Iwasawa, M., 2006, “Contraceptive Use and Induced Abortion in Japan : How Is It So
Unique among the Developed Countries ?”,The Japanese Journal of
Population, vol. 4, no. 1.
Maternal and Neonatal Program Effort Index, 2002, At A Glance: Indonesia,
Glastonbury: The Maternal Health Study.
National Abort Federation, What is Medical Abortion..
P. Hunt and J. Bueno de Mesquita, 2010, Reducing Maternal Mortality: The
Contribution of the Right to the Highest Attainable Standard of Health,
England: University of Essex. Article 16 of the Convention on the Elimination
of All Forms of Discrimination against Women.
R.J. Cook and B.M. Dickens, 2001, Advancing Safe Motherhood through Human
Rights, Geneva, WHO.
Sugiarto, N., & Kumboyo, D. A., 2015, “Current trend of maternal health in Indonesia
Bali”, Med J Indones, vol. 21, no. 3.
Suzuki, T., 2006, “Fertility Decline and Policy Development in Japan”, The Japanese
Journal of Population, , vol.4, no. 1.
USAID., 2015, “Measuring Maternal Mortality”, USA: United State Census Bureau.
Vanessa L.Fong, 2008, “China's One-Child Policy and the Empowerment of Urban
Daughters”, American Anthropologist, Vol.104.
Warriner, I. K., 2006, “Unsafe Abortion: An Overview of Priorities and Needs” from
Preventing Unsafe Abortions and its Consequences, New York: Guttmacher
Institute.
WHO, 2007, Maternal Mortality in 2005: Estimates Developed by WHO, UNICEF,
UNFPA and The World Bank Geneva: WHO.
WHO., 2014, “International Statistical Classification of Diseases and Related Health
Problems”, Tenth Revision, vol. 2, Instruction Manual, 2nd ed. Geneva: WHO.
Women’s Health after Abortion: The Medical and Psychological Evidence Key.
World Health Organization, 2004, “Unsafe Abortion: Global and Regional of the
Incidince of Unsafe Abortion and Associated Mortality in 2000”, Geneva:
WHO Marketing and Dissemination.
World Health Statistic. (2016). Maternal Mortality.

70
C. Internet
“ Chapter 23: Manual Vacuum Aspiration (MVA)” from the book of Hesperian Health
Guides: A Book for Midwives, 2013. www.hesperian.org
Guttmacher Institute, 2008, “Abortion in Indonesia”, no. 2, Pg 2, accessed from
www.guttmacher.org
Guttmacher Institute, 2016, Fact Sheet: Abortions in Asia,
https://www.guttmacher.org/sites/default/files/factsheet/ib_aww-asia.pdf
ICC Working Group on Business and Human Rights, 2010, Business, Women’s and
Children’s Rights,
http://www.unglobalcompact.org/docs/issues_doc/human_rights/Resources/
Companies_Leading_the_Way.pdf.
Kobe University of Law, 2016, “World Association for Medical Law 2016 Annual
Congress Japanese Law of Abortion , Prenatal Diagnosis and Wrongful Birth”,
http://www2.kobe-u.ac.jp/~emaruyam

D. Dokumen
African Commission on Human and Peoples’ Rights, resolution on maternal mortality
in Africa; Human Rights Committee, general comment No. 28.
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women
(CEDAW)
CEDAW, general recommendation No. 24
CESCR, general comment No. 14.
Human Rights Committee, general comment No. 6, para. 5. See also European
Commission on Human Rights, Tavares v. France, decision of 12 September
1991, application No. 16593/90.
Population and Family Planning Law of The People’s Republic of China.
The Constitution of People’s Republic of China
The International Covenant on Civil and Political Rights.
UNFPA, response to the note verbale, p. 2; A/61/338.
World Health Organization, 2016, EPI: Fact Sheet Indonesia

71
Budaya Hukum Partai Poitik dalam Rekrutmen Calon Anggota
Legislatif Berkeadilan Gender

Drs. Baharudin MH.

1. Latar Belakang

Demokrasi memiliki relevansi dengan teori kedaulatan rakyat, bahkan jika ditelusuri
bahwa pengertian demokrasi sendiri berasal dari kata demos yang berarti “rakyat” dan
kratein yang berarti “kekuasaan”. Hal ini berarti rakyat menjadi pihak yang paling
berwenang untuk mengarahkan penyelenggaraan kekuasaan negara. Demokrasi saat ini
telah menjadi arus besar yang melanda dunia, sehingga dianggap sebagai sistem yang
paling populer dan dianggap sistem terbaik dalam mengatur hubungan antara rakyat
dengan penguasa,1 yang salah satu instrumen dalam negara demokrasi adalah adanya
pemilihan umum (pemilu).2

Pemilihan umum merupakan suatu keharusan untuk menegakkan tatanan demokrasi


untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden
dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Daerah.

Pemilu diatur dalam UUD NRI 1945 Pasal 22E ayat (1) yang menyatakan bahwa
“Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
setiap lima tahun sekali. Ayat (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ayat (3) Peserta pemilihan umum untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah partai politik.

Adapun fungsi Partai Politik sebagaimana diatur dalam Amandemen Undang-undang


Republik Indonsia No. 2 Tahun 2008 tentang Partai politik, terdapat pada Pasal 11 ayat
(e) yang menyatakan :

“Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi
dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender”.

Pelaksanaan pemilu untuk memilih calon anggota legislatif (DPR), DPRD, dan DPD,
lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang Nomor .8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum, dimana masing-masing partai politik, mempunyai kewenangan untuk merekrut
calon anggota legislatif baik ditingkat pusat maupun daerah.

Selanjutnya tata cara rekrutmen calon anggota legislatif, oleh Partai Politik baik ditingkat
pusat maupun daerah diatur pada Undang-undang No. 8 Tahun 2012 Pasal 52-56 yang
menyatakan bahwa : bahwa yang melakukan seleksi bakal calon anggota legislatif adalah

1
Fitra Arsil, dalam “Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa”, Jurnal Legislasi
Indonesia Vol. 9 No. 4 Desember 2012, hlm.563
2
A. Mukthie Fadjar, dalam “Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum
Pelanggaran Pemilu dan PHPU, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 1, April 2009, hlm.4

72
Partai politik ditiap tingkatan wilayahnya. dilakukan secara demokratis, dan terbuka
sesuai dengan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan /atau peraturan internal Partai
Politik peserta pemilu.

Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikit 30%
(tiga puluh persen) keterwakilan perempuan.

Hasil Pemilu tahun 2014, anggota DPR laki-laki lebih banyak, anggota DPR perempuan
sedikit. Lebih lanjut faktanya dapat dlihat pada tabel 1.1, dan tabel 1.2 di bawah ini :
Tabel 1,1
Komposisi anggota Dewan Legislatif tahun 2009

No Nama Laki-laki/% Perempuan/% Jumlah


1 DPR 467/80.5% 81//19.5% 548
2 DPRD Provinsi 79/8% 20/21% 90
Lampung
3 DPRD Kota 39/80,7% 6/13.3% 45
Bandar Lampung

Sumber Data : Pemilu, KPU Pusat. Provinsi Dan Kota3

Tabel 1.2

Komposisi Anggota DPR, DPRD Provinsi dan Bandar Lampung 2014

No Nama Laki-laki/% Perempuan/% Jumlah


1 DPR 476/82.5% 93/19.5% 569
2 DPRD Provinsi 63/79% 17/21% 80
Lampung
3 DPRD Kota 45/90% 5/10% 50
Bandar Lampung

Sumber Data : Pemilu KPU Kota Bandar Lampung4

Fakta tersebut di atas hasil pemilu tahun 2014 anggota legislatif laki-laki lebih banyak
dari pada anggota legislatif perempuan. Hal ini disebabkan pola rekrutmen calon anggota
legislatif oleh masing-masing partai politik peserta pemilu, belum berspektif gender.
Perspektif gender dalam perekrutan calon anggota legislatif maknanya tidak
mengutamakan laki-laki dari pada perempuan.

Selain itu, disebabkan pola rekrutmen calon anggota legislatif belum berkeadilan gender.
Menurut Agnes Widanti hukum berkeadilan gender adalah hukum (baik hukum Negara
maupun hukum masyarakat atau norma-norma masyarakat) yang memungkinkan
keseimbangan dinamis antara laki-laki dan perempuan dalam struktur-struktur kekuasaan
pada masyarakat dan Negara. Struktur-struktur tersebut terdapat dalam ekonomi politik,
hukum dan idiologi.5

3
Diunduh tanggal 10 Juli 2015
4
Diunduh pada Tanggal 7 Juli 2015
5
Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Gender, penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005, hlm 62.

73
Pemilu adalah wujud nyata demokrasi prosedural, meskipun demokrasi tidak sama
dengan pemilihan umum, namun pemilihan umum merupakan salah satu aspek demokrasi
yang sangat penting yang juga harus diselenggarakan secara demokratis. Oleh karena itu,
lazimnya di negara-negara yang menamakan diri sebagai negara demokrasi mentradisikan
Pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dilembaga legislatif baik di
pusat maupun daerah. Demokrasi dan Pemilu yang demokratis merupakan “qonditio sine
qua non”, the one can not exist without the others.6 (salah satu tidak bisa ada tanpa ada
yang lain).

Pemilu merupakan sebuah sarana bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan arah
penyelenggaraan pemerintahan. Pemilu-lah yang pada akhirnya berfungsi sebagai sarana
legitimasi politik bagi pemerintah yang berkuasa, karena melalui pemilu gagasan bahwa
pemerintahan memerlukan persetujuan dari yang diperintah dapat diasosiasikan.7 Bahkan,
di kebanyakan negara demokrasi, Pemilu dianggap sebagai lambang, sekaligus tolok ukur
dari demokrasi itu sendiri. Dengan kata lain, Pemilu merupakan konsekuensi logis
dianutnya prinsif demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip dasar
kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah setiap warga negara berhak ikut aktif
dalam proses politik.8

Menurut Hamdan Zoelva bahwa untuk menjamin terwujudnya Pemilu yang benar-benar
sesuai dengan kaidah demokrasi, pelaksanaannya harus dilakukan dengan sistem yang
baik, yaitu adanya bagian-bagian yang sangat penting, seperti electoral regulation,
electoral process, dan electoral law enforcement9

.Electoral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai Pemilu yang berlaku,
bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon, dan pemilih dalam
menunaikan peran dan fungsi masing-masing. Electoral process adalah seluruh kegiatan
yang terkait langsung dengan pelaksanaan pemilu merujuk pada ketentuan perundang-
undangan baik yang bersifat legal maupun bersifat teknikal .Electoral law enforcement
merupakan penegakan hukum terhadap aturan-aturan pemilu baik politis, administratif,
atau pidana. Terpenuhinya ketiga bagian pemilu tersebut sangat menentukan sejauh mana
kapasitas sistem dapat menjembatani pencapaian tujuan dan proses pemilu, masing-
masing bagian tidak dapat dipisah-pisahkan karena merupakan suatu kesatuan utuh.10

Partai politik peserta pemilu dalam merekrut calon anggota legislatif pada pemilu 2014 di
kota Bandar Lampung, kenyataannya masih mengesampingkan calon anggota legislatif
perempuan, pada hal undang-undang pemilu dan undang partai politik telah mengaturnya
hak-hak politik perempuan. Hal ini disebabkan oleh perilaku pengurus partai politik
dalam proses merekrut, menseleksi dan menetapkan calon anggota legislatif tidak
dilakukan secara demokrasi dan terbuka sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran
Rumah Tangga, dan /atau peraturan internal partai politik peserta pemilu.
Tata kelola partai politik yang tidak berkeadilan gender ini disebabkan
ketidakseimbangan dinamis hubungan antara lakil-laki dengan perempuan merupakan
ketidakadilan sosial. Artinya ketidakadilan yang disebabkan oleh struktur-struktur
kekuasaan dalam masyarakat. Struktur-struktur tersebut terdapat dalam bidang hukum

6
Ibid., hlm.4
Hamdan Zoelva, dalam “Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada oleh
7

Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 10, Nomor 3, September 2013, hlm.381
8
Bisariyadi, dkk., dalam “Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di
Beberapa Negara Penganut Paham Demokrasi Konstitusional, Jurnal Konstitusi Volume 9,
Nomor 3, September 2012, hlm.536
9
Op Cit.
10
Hamdan Zoelva, Ibid hlm 381

74
dan politik.11adanya konstruksi sosial mengenai diskriminasi kaum laki-laki terhadap
partisipasi perempuan dalam ekonomi dan politik. Sehingga berimplikasi pada tataran
kehidupan politik praktis, hukum dan hak-hak warga negara. Menurut Ratna Megawangi,
perbedaan peran gender di Indonesia akibat adanya proses konstruksi sosial. Dengan
berbagai cara perbedaan peran gender dikondisikan oleh tatanan masyarakat Indonesia
yang patriarkat. Menurut Ratna Megawangi kondisi tersebut tidak alami, sehingga bisa
diubah dengan kesepakatan bersama.12 Berdasarkan pendapat Ratna Megawangi tersebut
di atas, perbedaan kedudukan dan peran gender di Indonesia akibat konstruksi sosial, dan
masih di dominasi oleh tatanan masyarakat patriarkal, hal ini bisa berubah melalui
kesepakatan bersama, bahkan peran dan kedudukan perempuan, kesetaraan gender dan
feminis ditempatkan dalam konsteks yang memberdayakan potensi masing-masing
gender agar berfungsi secara semestinya, berfungsi secara komplementer.

Kondisi tersebut di atas, dalam hal budaya hukum Partai Politik dalam rekrutmen calon
anggota legislatif yang berkeadilan gender, secara obyektif akan bermanfaat bagi
perempuan. Jika rekrutmen calon angota legislatif tidak dengan budaya hukum yang
berkeadilan gender akan merugikan bagi perempuan dalam mengikuti proses pencalonan
anggota legislatif.

Menurut Susi Dwi Harijanti, hak seseorang Perempuan acapkali mendapatkan hambatan
dalam politik, yang meliputi hal-hal yang berkaitan dengan pemilihan (election),
pengambilan keputusan (decision Making), serta penyelenggaraan Negara dan
pemerintahan (governance). Saat aturan moral tidak lagi secara efektif dapat digunakan
untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia, maka hukumlah harus memainkan peran
untuk menentukan batas-batas serta kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi terhadap
orang lain.13 Lebih lanjut beliau mengatakan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Partai Politik, kuota 30% keterwakilan perempuan dalam pencalonan legislatif,
namun dalam praktiknya, menunjukan bentuk idiologi patriarkat selalu berulang di dalam
hukum.14

Berdasarkan latar belakang di atas, budaya hukum partai politik dalam rekrutmen calon
anggota legislatif yang keadilan gender perlu dikonstruksi yang baru (ideal) melalui,
nilai-nilai, dan sikap-sikap yang berkaitan dengan hukum, yang menentukan kapan,
mengapa, dan bagaimana masyarakat mematuhi hukum atau menolak hukum,
menentukan struktur hukum apa yang digunakan dan apa alasannya, dan peraturan hukum
apa yang dipilih untuk diterapkan atau dikesampingkan.15 hal ini mengakibatkan akan
terjadinya kecendrungan pengabaian, ketidak hormatan dan ketidak percayaan
masyarakat terhadap hukum.16 Indikasinya budaya hukum partai politik dalam rekrutmen
calon anggota legislatif berkeadilan gender, harus menerapkan budaya hukum partai
politik yaitu menerapkan sikap, nilai dan prilaku, tidak semata-mata mengedepankan
aspek kepastian hukum,dengan mengabaikan aspek keadilan, dan kemanfaatan.

11
Agnes Widanti, Op Cit,
12
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut pandang Baru Tentang Relasi Gender,
Bandung, Mizan Pustaka, 1999, hlm 103.
13
http://galeri.psi.id/koran-solidaritas/item/95-mendobrak-tabu-gender
14
Ibid
15
Lawrence M. Friedman, Legal Culture, and Social Devlomepment, Dalam Lauwrence dan
Stewart Maucaulay, (eds), Law and The behavioral Science, Indiaanan Polis, The Bobbs-Merril
Company, h 1000-17.
16
Sultan Hamengkbuono ke X, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2007, hlm .275.

75
2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa
permasalahan dalam kajian ini, yaitu:
a. Bagaimana budaya hukum partai politik dalam rekrutmen calon anggota legislatif
yang berkaitan dengan keadilan gender.
b. Mengapa budaya hukum partai politik dalam rekrutmen calon anggota legislatif
belum berkeadilan gender.
c. Bagaimana konstruksi yang ideal budaya hukum partai politik dalam rekrutmen
anggota legislatif yang berkeadilan gender.

3. Pembahasan
3.1 Budaya Hukum Parpol dalam rekrutmen yang berkaitan dengan keadilan gender.
Partai yang mengikuti pemilihan umum tahun 2014, adalah sebagai berikut : 1.
Partai Golkar, 2. PDI Perjuangan . 3, Demokrat. 4. Hanura. 5. PKB. 6. PPP, 7. PAN, 8.
Nasdem. 9. PKS, 10. Gerindra. 11. PKPI. 12. Bulan.Bintang
Partai politik peserta pemilu tahun 2014, telah merekrut dan menetapkan calon anggota
legislatif perempuan, telah memenuhi ketentuan undang-undang, yaitu telah memenuhi
keterwakilan perempuan 30%, ini semua dilakukan dalam rangka affirmatif action,
mendorong perempuan untuk duduk menjadi anggota legislatif. Namun Partai politik
peserta peserta pemilu, dalam merekrut dan menetapkan calon anggota legislatif belum
melalui mekanisme kaderisari partai, pendidikan dan latihan kader partai, yaitu partai
kecil seperti Partai PBB dan PKPI, hal ini dikarenakan kelemahan anggaran untuk
melakukan kegiatan tesebut.
Selain itu perekrutan calon anggota legislatif, tidak melalui tahapan-tahapan yang baik,
perekrutan calon hanya bersifat instan, ketika mau pemilhan umum, baru membuat
kegiatan persiapan dan penjaringan kader untuk pencalon anggota legislatif.
Partai politik sebaiknya, mempersiapkan kader-kader partainya, melalui tahapan-tahapan,
yang berkesimbungan melalui kaderisasi partai, sehingga setiap partai peserta pemilu
memiliki kader-kader tangguh dan berkualitas untuk dicalonkan, termasuk kader
perempuan. Bila kaderisasi tidak dilakukan ini akan menyebabkan kekurangan kader
yang berkualias untuk dicalonkan, akhirnya akan mencalonkan kader-kader perempuan
asal memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan. Hal inilah pula yang dapat
menyebabkan terpilihnya perempuan sedikit bila dibandingkan calon anggota legislatif
laki-laki. Di Bandar Lampung perempuan yang menjadi anggota legislatif hanya 5 orang,
dari jumlah anggota legislatif yang diusulkan 50 calon anggota legislatif yang ditetapkan
dalam pemiln umum tahun 2014. Anggota legislatif laki-laki yang terpilih berjumlah
berjumlah 45 orang.

3.2 Konstruksi Budaya Hukum Partai Politik yang ideal dalam rekrutmen Calon
Anggota Legislatif berbsis Keadilan Gender.
Suprastruktur partai politik adalah pengurus partai ditingkat kota Bandar Lampung adalah
yang tercantum dalam kepengurusan dari mulai pengurus partai kota, pengurus partai
ranting kecamatan, sampai ketingkat keluran/desa, semua kepengurusan partai dibentuk
secara sah, ditetapkan dalam surat keputusan yang ditanda tangani oleh ketua partai dan
sekretaris berdasarkan tingkatan kepengurusan.
Suprastruktur partai politik dimasing-masing bidang mempunyai tugas dan kewenangan
dalam melaksanakan program-program partai, untuk mensukseskan cita-cita partai, untuk
kepentingan bangsa masyarakat dan negara.
Suprastruktur partai politik, perlu dibangunan budaya hukumnya, yaitu prilaku politik
yang memiliki, sikap, nilai-nilai yang dipandang baik oleh masyarakat, tidak

76
memaksakan kehendaknya (otoriter), sebaiknya responsif dalam segala tindakan dan
keputusannya.
Infrastruktur politik adalah lembaga negara yang berdiri sendiri, yang memiliki fungsi
dan tugas netral, misalnya media, opini publik, lembaga sosial masyarakat, lembaga adat
(tokoh adat dan tokoh agama). Infra strutur politik , berfungsi untuk memberikan
masukan yang baik, kritik dan saran agar supra struktur partai politik dapat melaksanakan
tugas dan fungsinya dengan baik ketika proses merekrut calon anggota legislatif yang
berkeadilan gender.

3.3 Budaya Hukum Parpol dalam proses rekrutmen Caleg Berbasis Keadilan Gender
Penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan paradigma baru dalam menerapkan budaya
hukum partai politik, yang berarti akan ada konstruksi budaya hukum yang ideal partai
politik dalam rekrutmen calon anggota legislatif berkeadilan gender.

Adapun ide dasar yang melandasi konstruksi baru penerapan budaya hukum partai
politik yang ideal dalam rekrutmen calon anggota legislatif berkeadilan gender adalah
berdasarkan undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilu, yaitu sesuai dengan
Pasal 51 sampai Pasal 56, caranya merekrut calon anggota legislatif memenuhi
persyaratan dan kelengkapan, dan kebenaran administrasi yang telah ditentukan.

Substansi Undang pemilu tersubut di atas, sudah baik, yang berkaitan dengan syarat-
syarat rekrutmen calon anggota legislatif, namun dalam praktiknya pola rekrutmen Partai
politik peserta pemilu tahun 2014, belum semuanya perspektif gender. Perspektif gender
disini dimaksudkan tidak membedakan hak-hak politik perempuan-perempuan,
kedudukan dan peranan antara laki-laki sama dengan perempuan di dalam hukum
(equaliti before the law). Budaya hukum harus diterapkan dalam rekrutmen calon anggota
legislatif yang berkeadilan gender, Kenyataan menunjukan bahwa hukum di pertukarkan
tidak sesuai dengan aturan. Hukum hanya memperkokoh hubungan sosial yang patriarkis,
Hubungan yang dimaksud adalah berdasarkan pada perilaku nilai-nilai, moral kekuasaan
laki-laki dan mengabaikan kedudukan daripengalaman perempuan, karena perempuan
sendiri memiliki jiwa, atau perasaan bahwa praktisnya penerapan itu telah adil atau belum
adil.

Hal ini disebabkan oleh faktor budaya hukum struktur partai politik patriarki dalam
merekrut calon anggota legislatif, sehingga mengakibatkan pola rekrutmen yang tidak
adil, Fakta hasil wawancara dengan para informan pengurus partai politik peserta pemilu,
tokoh masyarakat , tokoh perempuan, tokoh adat. Partai politik peserta pemilu, merekrut
calon anggota legislatif perempuan telah memenuhi 30% keterwakilan perempuan,
tujuan sebenarnya adalah affirmatif action, mendorong perempuan untuk sukses duduk
dilembaga legislatif, tidak hanya sekedar partai politik lolos mengikuti pemilihan umum.

Selain itu budaya hukum partai politik dalam rekrutmen calon anggota legislatif, tidak
perspektif gender dipengaruhi oleh budaya adat lampung, yang hanya mendukung
kepemimpinan garis kekerabatan patrinial, garis keturunan laki-laki, tidak untuk
perempuan.

Budaya hukum patai politik dalam rekrutmen calon anggota legislatif yang berkeadilan
gender, harus dikonstruksi, dengan mengunakan teori hukum responsif Philipe Nonet
dan philipe Selznik, menjelaskan ada 3 jenis karakter hukum, yaitu represif, otonom dan
responsif. Hukum represif merupakan alat kekuasaan yang bertujuan untuk memaksakan
(represif) keinginan penguasa (kekuasaan). Hukum represif bertujuan untuk menegakan
keadilan melalui pendekatan kekuasaan, jika dikaitkan dengan partai politik adalah
pemegang kekuasaan partai politik peserta pemilu dalam merekrut calon anggota
legislatif, hanya dengan kekuasaan patriarki untuk kepentingan laki-laki, melupakan

77
kedudukan dan peran perempuan. Hukum otonom merupakan usaha menegakan keadilan
secara independen atau mandiri tanpa diintervensi dan terintervensi oleh siapapun dan
dari pihak siapapun. Sedangkan hukum responsif merupakan sarana merespon atas
realitas kebutuhan dan fenomena aspirasi masyarakat, sehingga hukum berkembang
sesuai dengan keinginan masyarakat. Dengan demikian proses hukum berkembang secara
bertahap yang secara pasti membawa perubahan secara evolutif. Evolutif dalam hukum
responsif dimulai dari tipe tidak ideal (represif), kurang ideal (otonom) sampai pada tipe
paling ideal (responsif).

Dengan demikian budaya hukum partai politik dalam merekrut calon anggota legislatif,
harus responsif berdasarkan demokrasi dan terbuka, serta aspiratif, berdasarkan
.keinginan suara nurani perempuan, tidak membedakan (diskriminasi) hak-hak politik
perempuan untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, Karena kedudukan dan
peranan perempuan, mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam negara hukum.

Partai politik peserta pemilu membuat perencanaan yang matang, dalam penjaringan
(merekrut) calon anggota legislatif, harus menerapkan budaya hukum yang responsif
gender, yang berdasarkan sikap, perilaku partai politik, nilai-nilai dan pandangan
masyarakat yang baik. Partai politik peserta pemilihan umum, merekrut calon anggta
legislatif, harus berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar NRI 1945, Pasal 27
menjamin hak antara laki-laki dan perempuan. Indonesia telah meratifikasi konvensi
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1984.

Hak-hak politik perempuan diatur dalam Pasal 7 meliputi :


a. Hak untuk memilih dan dipilih.

b. Hak partisipasi dalam pengambilan keputusan

c. Hak memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksnakan segala

fungsi pemerintahan di semua tingkatan.

d. Berpartisipasi dalam organisasi-oragnisasi dan perkumpulan;

e. Berpartisipasi dalam perkumpulan non pemerintah yang berhubungan

dengan kehidupan masyarakat dan politik negara.

Partai politik dalam merekrut dan menetapkan calon anggota legislatif yang berkeadilan
gender, perlu merekrut dan menetapkan akan menjadi aturan dalam ADRTnya ketentuan
merekrut dan menetapkan, batas, minimal 6 bulan dan maksimal,1 tahun telah menjadi
anggota partai peserta pemilu. Perutan ini dimaksudkan, agar tidak menjadi diskriminasi
dalam merekrut dan menetapkan calon anggota legislatif.

Rekonstruksi budaya hukum dalam rekrutmen calon anggota legislatif yang berkeadilan
gender, yaitu dengan menggunakan teori keadilan Aristoteles, budaya hukum perilaku
struktur Partai Politik yang sesuai dengan perasaan sosial etis, tidak merugikan orang lain
secara sewenang-wenang, memberikan pada semua orang bagiannya masing-masing,
yaitu cara merekrut dan menetapkan calon anggota legislatif, pada posisi, dan kedudukan
yang sama, dalam distribusi kekuasaan kekuasaan politik, dalam artian merekrut dan
menetapkan adil, kepada laki-laki dan perempuan.

78
Menurut Aristoteles17 tanpa ada kecendrungan sosial etis yang baik pada warga negara,
maka tidak ada harapan untuk tercapai keadilan tertinggi dalam negara-meskipun yang
memerintah orang yang bijak dengan undang-undang yang mana sekalipun. Karena
hukum mengikat semua orang, maka keadilan hukum mesti dipahami dalam pengertian
kesamaan. Namun ia membagi kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan
numerik melahirkan prinsip “ semua orang sederajat di depan hukum”. Sedangkan
kesamaan proporsional melahirkan prinsip “ memberi tiap orang apa yang menjadi
haknya.

Aristoteles mengajukan model keadilan lain, yakni keadilan distributif dan keadilan
korektif. Keadilan distributif identik dengan keadilan atas dasar kesamaan proporsional.
Sedangkan keadilan korektif (remedial), berfokus pada pembetulan yang salah. Jika suatu
perjanjian dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berupaya memberi
kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan. Keadilan korektif bertugas
membangun kembali kesetaraan.

Nasaruddin Umar, mendefinisikan gender, adalah suatu konsep yang digunakan untuk
mendefinisikan perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya, gender
dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non biologis.18

Menurut Ratna Megawangi, perbedaan peran gender di Indonesia akibat adanya proses
konstruksi sosial. Dengan berbagai cara perbedaan peran gender dikondisikan oleh
tatanan masyarakat Indonesia yang patriarkat. Menurutnya apakah ini alami? Saya kira
tidak. bisa diubah dengan kesepakatan bersama.19

Berdasarkan fakta tersebut di atas, jika perempuan itu mau, serius dalam perjuangan akan
membawa hasil juga, tercapai cita-citanya.Allah Swt. Maha adil kepada hambanya, Allah
berfirman dalam Al-Qur’an (Q.S:13:11 ) Allah tidak akan mengubah keadaan suatu
kaum, sehingga kaum itu mau mengubah keadaan dirinya sendiri.

Sejak disahkannya mengenai ketentuan “kuota perempuan 30% dalam Undang-undang


Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilihan umum, menandai pencapaian penting dalam
bertahun-tahun gerakan mendorong (affirmatif action) perempuan untuk duduk sebagai
anggota legislatif di berbagai tingkatan, baik tingkat pusat, provinsi dan Kabupaten/Kota.

Kehadiran perempuan dalam dunia politik merupakan prasyarat bagi terwujudnya


masyarakat yang memiliki kesetaraan dan keadilan gender. Pendek kata, kebutuhan untuk
meningkatkan representasi perempuan pada institusi politik di Indonesia, sehingga
muncul suatu kesadaran bahwa semua prioritas dan agenda politik harus dirombak dan
semua itu mustahil dapat dicapai dengan sistem politik tradisional. Jika kaum perempuan
mau tampil kedepan dan memegang berbagai posisi publik, niscaya mereka akan mampu
membangun dan menetapkan nilai-nilai sosial dan ekonomi baru yang sesuai dengan
kepentingan mereka.

Meningkatnya representasi perempuan pada institusi politik berarti pada saat yang sama
juga keputusan-keputusan politik yang akan dapat menjamin hak-hak kelompok mereka
dan masyarakat luas serta mengalokasikan berbagai sumber daya yang diperlukan untuk
meningkatkan kualitas hidup manusia.

17
Bernard L. Tanya, Yoan N Simanjuntak, Markus Y Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia
Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal 45.
18
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan gender, Perspektif Al-Qur’an, Dan Rakyat, 2010, hlm
31
19
Ratna Megawangi, Op Cit.

79
Rekrutmen calon anggota legislatif berkeadilan gender, adalah rekrutmen yang tidak
membedakan jenis kelamin, arti gender adalah jenis kelamin, keadilan gender artinya
tidak mebedakan jenis kelamin. Apakah ia laki-laki atau perempuan sama kedudukannya
dalam hukum.

Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-
laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda,
subordinasi, marginalisasi terhadap perempuan dan laki-laki.20 Terwujudnya keadilan
gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki.dalam
memperoleh kedudukan untuk menjadi anggota legislatif sebagai wakil rakyat.
Keadilan dalam Islam sebagaimana di katakan Ibnu Jubayr bahwa keadilan yang hendak
diwujudkan adalah keadilan sejalan dengan firman Allah, memenuhi prinsif-prinsif
kepatutan, tidak merugikan orang lain, mampu menyelematkan diri sendiri dan harus lahir
dari itikad baik.21 Dengan demikian, keadilan dalam Islam mendasarkan diri pada prinsip-
pinsip moral etis dan selalu berusaha untuk mewujudkan keadilan kelompok Keadilan
dalam Islam sebagaimana dikatakan Ibnu Jubayr bahwa keadilan yang hendak
diwujudkan adalah keadilan yang sejalan dengan Firman Allah, memenuhi prinsip-prinsip
kepatutan, tidak merugikan orang lain, mampu menyelamatkan diri sendiri dan harus
dengan iktikad baik.22Dengan demikian, keadilan dalam Islam mendasarkan diri pada
prinsip-prinsip moral- etis dan selalu berusaha untuk mewujudkan keadilan subtansial
dengan mewujudkan kebahagiaan individu maupun kelompok, kebahagian hidup lahir
dan batin dan kebahagiaan baik dunia maupun akhirat.

Pembangunan hukum nasional tidak akan berjalan dengan baik, jika dilihat dari substansi
hukumnya tidak baik.. Proses penetapan bakal calon legislatif yang lebih mengutamakan
keadilan prosedural inilah yang membuat sebagian besar kaum perempuan akan
mengalami kekecewaan dan dirugikan. akan mencedrai demokrasi. Hal ini yang akan
menyebabkan pemegang kekuasaan partai politik cenderung otoriter, dan dalam
penetapan bakal calon legislatif akan elitis atau ortodok, tidak demokratis/resfonsif.

Menurut Esmi Warassih23 persoalan keadilan merupakan masalah yang cukup rumit dan
kompleks, sebab menyangkut hubungan antara manusia dari segala aspek kehidupannya.
Pemahaman keadilan menjadi jelas, apabila terlebih dahulu kita memahami hukum. Pada
hakikatnya hukum selalu mengandung nilai-nilai abstrak. Yang menjadi dasar bagi
hukum untuk mengatur perilaku manusia. Mana yang boleh mana yang tidak. Apakah
yang menjadi ukuran disini ? Dalam hal ini hukurn yang dipakai tidak cukup hanya
landasan yuridis saja, melainkan perlu dilengkapi landasan filosopis dan landasan
sosiologis, .keadilan bukan sesuatu yang diperoleh hanya melalui proses penalaran atau
logika saja melainkan pula sesuatu yang dapat diperoleh secara utuh24. Hukum memiliki
dimensi nilai-nilai etika moral yang mewujud dalam asas-asas hukum dan tertuang dalam
norma-norma serta terumuskan dalam aturan-aturan, Oleh karena itu seorang pemimpin
partai politik dalam menetapkan bakal calon anggota legislatif, tidak cukup dilaksanakan
dengan demokratis dan peraturan perundang-undangan, tetapi dengan budaya hukum
yang mengandung nilai-nilai, moral, perilaku, sikap dan harapan masyakat.

20
21
Satya Arinanto, Op Cit,
Lihat Muhmutarom, Rekonstruksi Konsep Keadilan (studi tentang perilindungan
korban tindak pidana terhadap nyawa menurut hukum Islam, Konstruksi masyarakat dan
instrumen22Internasional), Semarang, Universitas Diponegoro, 2010, hlm 90.
Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, Baltimore and: The Johns Hopkin
University Press, 1984, hlm 7-8..
23
Esmi Waraasih “Pemberdayaan Masyarakat Dalam mewujdukan tujuan Hukum.
(proses penegakan hukum dan persoalan keadilan” Pidato pengukuhan Guru besar dalam ilmu
hukumpada fakultas hokum Universitas diponegoro,14 April 2001, hlm 34.
24
Esmi Warassih, Ibid, hlm 34..

80
Selanjutnya Esmi Warassih25 menjelaskan .wajah keadilan bersifat multidimensional
dalam negara hukum tergantung penerap hukum, dari sisi mana ia melakukan pendekatan
hukum. Dalam negara hukum Pancasila konsep keadilan hukum, ingin dicakup istilah “
yaitu Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Keadilan disini hendaknya memiliki arti yang sempurna karena keadilan tidak hanya
menyangkut pembagian sumberdaya saja tetapi harus merujuk pada persoalan akhlak.
Penerapan dan pelaksanaan keadilan seharusnya dilihat dari seluruh aspek sebagai
pelaksanaan kehidupan duniawi yang religius. Hal ini berkaitan dengan Budaya hukum
partai politik yang ideal dalam merekrut calon anggota legislatif selain memperhatikan
keadilan gender, perlu memperhatikan pendidikan calon anggota legislatif yang
berkualitas segi pendidikan minimal Sarjana/ strata satu. Partai politik perlu
memperhatikan darii segi lingkungan caleg baik secara internal maupun ekternal caleg.
Secara internal partai politik menetapkan caleg perempuan dari kader partai yang telah
memiliki dedikasi, loyalitas, disiplin, dan tidak cacat menurut hukum, serta partai politik
harus menetapkan caleg dengan syarat telah menjadi kader partai minimal 5 tahun
terakhir. Partai politik juga dalam menetapkan caleg perempuan yang mempunyai pokus
kesungguhan dalam mencalonkan anggota legislatif walaupun perempuan mempunyai
fungsi ganda. Partai politik dalam menetapkan caleg perempuan tidak terpengaruh dengan
budaya atau adat Lampung, patriarkhi, hanya mementingkan calon anggota legislatif
laki-laki dari pada caleg perempuan. Selain itu partai politik dalam merekrut dan
menetapkan calon anggota legislatif perempuan yang telah mendapat kepercayaan
masyarakat di daerah pemilihan (dapil) masing-masing dimana ia ditempatkan, sehingga
ia akan mendapat respon yang baik dari masyarakat.

4. Simpulan

1. Budaya hukum partai politik peserta pemilihan umum dalam rekrutmen calon anggota
legislatif belum berkeadilan gender, karena praktiknya rekrutmen terhadap calon
anggota legislatif belum berspektif gerder, partai politik dalam merekrut dan
menetapkan calon anggota legislatif, masih diskriminatif, tidak berdasarkan hak-hak
politik perempuan yang adil ,tidak mengabaikan keinginan dan pengalaman
perempuan.
2. Budaya hukum partai politik dalam rekrutmen anggota legislatif belum berkeadilan
gender, disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain budaya hukum partai politik
peserta pemilu ditingkat Dewan Pimpinan Cabang (DPC) atau di tingkat Dewan
Pimpinan Daerah (DPD II ), dalam proses dan pelaksanaan merekrut dan menetapkan
calon anggota legislatif, dalam pemilu, belum berdasarkan, pengambilan keputusan
yang berkeadilan gender, karena partai politik dalam proses rerekrutmen dan
menetapkan calon anggota legislatif, tidak berdasarkan demokrasi dan terbuka yang
didasarkan perilaku, nilai-nilai dan pandangan masyarakat yang baik.
3. Rekonstruksi budaya hukum partai politik yang ideal dalam rekrutmen dan
menetapkan calon anggota legislatif yang berkeadilan gender, yaitu yaitu menerapkan
budaya hukum partai politik dalam rekrutmen calon anggota legislatif, dengan
menerapkan proses rekrutmen yang adil, integritas, transparansi dan akuntabilitas,
selain itu berdasarkan keberpihakan kepada perempuan, yang tidak membedakan hak-
hak poliitik calon anggota legislatif perempuan dalam pemilu.

25
Ibid hlm 34

81
Perlindungan Pekerja Perempuan berdasarkan Konvensi ILO
(International Labour Organization) dan Implementasinya
di Indonesia

Desy Churul Aini, Desia Rakhma Banjarani

Abstrak

Data dari media elektronik Indonesia tahun 2016 menyebutkan bahwa buruh
perempuan di berbagai daerah di Indonesia masih mengalami diskriminasi di tempat
kerja. Bentuk diskriminasi itu beragam, mulai dari kesenjangan hak kerja hingga
pelecehan seksual. Berdasarkan hal tersebut, fokus penulisan ini membahas tentang
perlindungan pekerja perempuan berdasarkan Konvensi ILO dan Implementasinya di
Indonesia.
Perlindungan pekerja perempuan yang termuat dalam konvensi-konvensi ILO,
meliputi; Kesetaraan upah; Diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan; Perlindungan
kehamilan; Pekerja dengan tanggung jawab keluarga; Aturan-aturan tertentu terkait
dengan kerja malam, bawah tanah dan paruh waktu serta isu-isu kesehatan lainnya.
Pemerintah Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi ILO untuk melindungi pekerja
perempuan di Indonesia dengan UU No. 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO
convention 111 mengenai Anti Diskriminasi Jabatan dan Pekerjaan, dan dengan UU No.
80 Tahun 1957 tentang Persetujuan konvensi ILO No. 100 mengenai pengupahan yang
sama bagi buruh laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya.
Bentuk implementasi konvensi ILO terhadap perlindungan pekerja perempuan di
Indonesia adalah dengan UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam Pasal 76
(1), (2), (3) dan (4), Pasal 81, 82 dan 83; Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang
Perlindungan Upah; Keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi RI Nomor KEP-
224/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang memperkerjakan
pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s/d 07.00; Peraturan Menteri Tenaga Kerja
No. 8. Per-04/Men/1989 tentang Syarat-syarat Kerja Malam dan Tata Cara
Mempekerjakan Pekerja Perempuan pada Malam Hari.
Selain itu, implementasinya diwujudkan dengan diadakannya pemberdayaan
perempuan. Kerjasama yang dilakukan antara pemerintah Indonesia dan ILO untuk
melakukan pengawasan terhadap penegakan Konvensi ILO dan kerjasama pemerintah
Indonesia dengan organisasi serikat buruh untuk melindungi pekerja perempuan.

1. Pendahuluan

Pembangunan merupakan sebuah upaya suatu negara untuk mengubah keadaan


tertentu menuju kondisi yang lebih baik untuk kesejahteraan masyarakat.1 Perubahan itu
harus disertai adanya berbagai peningkatan dalam berbagai bidang dan aspek kehidupan.

1
Jakob Oetama, Pers Indonesia: berkomunikasi dengan masyarakat tidak lulus, Jakarta: Media
Kompas Nusantara, 2004, hlm. 283

82
Pembangunan di Indonesia sendiri dilakukan dalam berbagai aspek baik infrastruktur
maupun teknologi. Seperti pada tahun 2017 ini pemerintah Indonesia memiliki target
untuk menjaga stabilitas pembangunan nasional secara konsisten. Salah satu caranya
adalah dengan menghindari pembangunan yang mengandalkan sumber daya alam
(SDA).2 Dengan demikian, jika SDA sudah tidak diandalkan dalam pembangunan maka
bukan tidak mungkin sumber daya manusia (SDM) yang akan diandalkan bagi
pembangunan Indonesia.
Salah satu bentuk pembangunan dalam bidang SDM adalah tenaga kerja.3
Tercatat pasar tenaga kerja di Indonesia terus mengalami perkembangan selama tahun
2014 dan 2015, di mana pekerjaan mengalami pertumbuhan sedangkan pengangguran
terbuka mengalami penurunan.4 Namun, dalam pertumbuhan itu terdapat permasalahan
yang berpotensi menggagalkan pembangunan SDM. Permasalahan itu adalah adanya
diskriminasi gender tenaga kerja, dimana banyak perempuan yang bekerja dengan diberi
upah yang rendah dan prospek pengembangan karir yang lebih terbatas. Hal tersebut
membuat tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja masih sangat rendah jika
dibandingkan dengan laki-laki.5 Sebagaimana diketahui, setiap orang dari lapisan
manapun berhak memperoleh manfaat dari pembangunan. Bila salah satu mengalami
ketertinggalan, maka pembangunan dianggap tidak sukses.6
Berdasarkan hasil sensus penduduk Badan Pusat Statistik atau BPS tahun 2010,
jumlah penduduk perempuan di Indonesia 118.010.413 jiwa, sedangkan jumlah penduduk
laki-laki 119.630.913. Jumlah yang hampir sama antara penduduk laki-laki dan
perempuan ini mengindikasikan bahwa perempuan sebagai salah satu penyumbang
kemajuan negara, terkhusus di bidang ketenagakerjaan.7 Cukup besar serta berimbangnya
jumlah tenaga kerja perempuan ini mengharuskan pihak pemerintah negara Indonesia
untuk mengadakan aturan-aturan berupa perundang-undangan untuk meminimalisir
terjadinya diskriminasi terhadap perempuan di dunia kerja. Dalam rangka memenuhi
kebutuhan peraturan tentang tenaga kerja, pemerintah Indonesia sendiri sudah bergabung
menjadi anggota ILO yaitu Organisasi Buruh Internasional.
ILO (International Labor Organization) sebagai organisasi buruh yang berskala
internasional di bawah naungan PBB yang memiliki 183 anggota, berusaha membuat
aturan-aturan dalam bentuk konvensi8 sebagai instrumen sah yang mengatur aspek-aspek
administrasi perburuhan, kesejahteraan sosial atau hak asasi manusia.9 Bagi negara
anggota yang meratifikasi, konvensi mengemban dua tugas sekaligus, yakni komitmen

2
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170103025248-85-183663/pembangunan-tahun-2017-
pemerintah-tak-lagi-andalkan-sda/, diakses pada 23 September 2017, jam 20:27 WIB
3
Tenaga kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut UU No. 13 tahun 2003
Bab I pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat. Subijanto, Peran Negara Dalam Hubungan Tenaga Kerja Indonesia,
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan , vol 17 no 6, 2011, hlm. 708
4
ILO Indonesia, Tren Tenaga Kerja dan Sosialdi Indonesia 2014 – 2015 Memperkuat daya saing
dan produktivitas melalui pekerjaan layak, Jakarta: ILO, 2015, hlm. X
5
Ibid
6
Ratna P Tjaja, Perempuan Bekerja dan Implikasi Sosial, Naskah No. 20, Juni-Juli 2000,
diakses pada www.bappenas.go.id
7
http://sp2010.bps.go.id/, diakses pada 23 September 2017, jam 21:28 WIB
8
Konvensi atau Convention merupakan sebagai salah satu instrumen biasanya digunakan dalam
perjanjian-perjanjian multilateral baik terbatas maupun terbuka yang mengatur hal-hal yang
dianggap sangat penting, dan biasanya hal-hal tersebut bukan hal yang sederhana dan diatur secara
mendetail. F.A. Whisnu Situni, Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum
Internasional, Bandung: Mandar Maju, 1989, hlm.49
9
http://www.ilo.org/global/about-the-ilo/lang--en/index.htm, diakses pada 23 September 2017, jam
21:40 WIB

83
resmi untuk menerapkan aturan-aturan konvensi, dan kemauan untuk menerima ukuran-
ukuran penerapan yang diawasi secara internasional.10 Indonesia pun sebagai anggota
ILO juga turut meratifikasi 17 konvensi ILO diantaranya adalah konvensi-konvensi
tentang kesetaraan gender dan perlindungan bagi perempuan yaitu Konvensi ILO No. 111
tentang Anti Diskriminasi Jabatan dan Pekerjaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia
dengan UU No. 21 Tahun 1999, dan Konvensi ILO No. 100 tentang Kesetaraan Upah
yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 80 Tahun 1957.Meskipun Indonesia
sudah meratifikasi konvensi-konvensi ILO yang mengatur tentang keseteraan pekerja
baik laki-laki maupun perempuan, namun faktanya masih banyak adanya berbagai
pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan konvensi tersebut.
Seperti yang dilansir dalam media elektronik Indonesia tahun 2016 yang
menyebutkan bahwa buruh perempuan di berbagai daerah di Indonesia masih mengalami
diskriminasi di tempat kerja. Bentuk diskriminasi itu beragam, mulai dari kesenjangan
hak kerja hingga pelecehan seksual. Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) mencatat,
pelecehan seksual banyak terjadi di pabrik garmen. Pasalnya 99 persen pekerja di pabrik
garmen adalah perempuan. Pelecahan tersebut terjadi karena situasi yang tidak setara
antara buruh perempuan dengan pekerja laki-laki. Tak hanya dilakukan sesama rekan
buruh laki-laki, pelecehan juga dilakukan mekanik dan supervisor. Kalau buruh
perempuan menolak, ancamannya diputus kontrak atau beban pekerjaan ditambah.11
Kasus lainnya terjadi pada buruh perempuan yang bekerja di perusahaan teknologi
Keliner Perkins Caufiled & Byers. Beberapa buruh perempuan tersebut membawa kasus
ini hingga pengadilan karena mereka mengalami pelecehan dan diskriminasi gender.12
Beberapa kasus tersebut hanyalah sebagian kecil dari kasus lainnya yang
menimpa buruh perempuan di Indonesia. Masih banyak tindak kejahatan seksual yang
kerap diterima oleh para buruh perempuan. Di Jakarta, terdapat sekitar 80.000
orang buruh. Sebanyak 90 persen dari angka tersebut merupakan buruh perempuan dan
75 persen buruh perempuan yang ada di Jakarta telah mengalami kekerasan seksual. Dari
catatan tahunan yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan, terdapat 216.156 kasus
kekerasan seksual. Di antaranya diterima oleh buruh perempuan sebanyak 2.521. Angka
itu berdasar kepada buruh perempuan yang melaporkan kejadian yang dialaminya.13
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka diperlukan adanya analisis
tentang “Perlindungan Pekerja Perempuan berdasarkan Konvensi ILO dan
Implementasinya di Indonesia” Persoalan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah
bagaimana perlindungan pekerja perempuan berdasarkan Konvensi ILO dan
Implementasinya di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian hukum normatif dan data yang diperoleh adalah data sekunder yang berasal
dari sumber kepustakaan seperti literatur, artikel dan situs-situs internet.

2. Pembahasan

Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO adalah badan Perserikatan Bangsa-


Bangsa (PBB) yang terus berupaya mendorong terciptanya peluang bagi perempuan dan
laki-laki untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif secara bebas, adil, aman

10
http://www.ilo.org/global/standards/introduction-to-international-labour-standards/conventions-
and-recommendations/lang--en/index.htm, diakses pada 23 September 2017, jam 21:42 WIB
11
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20161124152933-20-175048/buruh-pabrik-garmen-
sering-alami-kekerasan-seksual/, diakses pada 23 September 2017, jam 22.00 WIB
12
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150330095201-185-42877/cerita-diskriminasi-
perempuan-di-perusahaan-teknologi/, diakses pada 23 September 2017, jam 22.10 WIB
13
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/04/21/75-buruh-perempuan-alami-kekerasan-seksual,
diakses pada 24 September 2017, jam 20:38 WIB

84
dan bermartabat. Tujuan utama ILO adalah mempromosikan hak-hak di tempat kerja,
mendorong terciptanya peluang kerja yang layak, meningkatkan perlindungan sosial serta
memperkuat dialog untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang terkait dengan
dunia kerja. ILO adalah badan global yang bertanggungjawab untuk menyusun dan
mengawasi standar-standar ketenagakerjaan internasional. Bekerjasama dengan 181
negara anggotanya, ILO berupaya memastikan bahwa standar-standar ketenagakerjaan ini
dihormati baik secara prinsip maupun praktiknya.14 Sejak didirikan tahun 1919, sebagai
bagian dari Perjanjian Versailles yang mengakhiri Perang Dunia Pertama, ILO telah
banyak menghasilkan perjanjian internasional.15
Perjanjian internasional yang dihasilkan ILO merupakan kerangka susunan sistem
ketenagakerjaan internasional yang diwujudkan dalam bentuk konvensi, rekomendasi dan
kaidah. Sistem standar ketenagakerjaan internasional bertujuan untuk mempromosikan
kesempatan bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan
produktif, dalam kondisi kebebasan, kesetaraan, keamanan dan bermartabat. Sistem
standar ketenagakerjaan internasional tersebut disusun pada saat pertemuan Konferensi
Perburuhan Internasional (International Labour Conference) bersama dengan negara
anggota ILO yang diadakan setiap tahun. Hingga saat ini, ILO telah mengadopsi lebih
dari 180 Konvensi dan 190 Rekomendasi yang mencakup semua aspek dunia kerja.16
Untuk mencapai tujuan dari sistem standar ketenagakerjaan tersebut, maka ILO
membentuk beberapa konvensi tentang kesetaraan gender anti diskriminasi pria dan
perempuan, dan beberapa ketentuan dikhususkan untuk melindungi perempuan.

2.1 Perlindungan Pekerja Perempuan berdasarkan Konvensi ILO


Sebagaimana telah disebutkan bahwa sistem ketenagakerjaan internasional
bertujuan untuk menerapkan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan, sistem tersebut
tertuang dalam sebagian konvensi ILO. Namun demikian beberapa Konvensi secara
khusus memberi perhatian pada masalah yang dialami oleh pekerja perempuan. Terdapat
beberapa acuan standar ILO bagi norma-norma hukum yang berdampak kepada pekerja
perempuan yakni sebagai berikut:17
1. Kesetaraan upah;
2. Diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan;
3. Perlindungan kehamilan;
4. Pekerja dengan tanggung jawab keluarga;
5. Aturan-aturan tertentu terkait dengan kerja malam, bawah tanah dan paruh waktu
serta isu-isu kesehatan lainnya.

Empat Konvensi utama ILO yang melarang diskriminasi berdasarkan jenis


kelamin dan promosi kesetaraan adalah: Konvensi Upah yang Setara, 1951 (No.100),
Konvensi Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), 1958 (No.111), Konvensi Pekerja
dengan Tanggung Jawab Keluarga, 1981 (No.156) dan Konvensi Perlindungan
Kehamilan, 2000 (No.183).

1. Konvensi Upah yang Setara, 1951 (No.100)


a. Upah yang setara untuk jenis pekerjaan yang memiliki nilai yang setara berarti
suatu standar upah yang baku tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.

14
ILO Indonesia, Sekilas tentang ILO, Jakarta: ILO Publishers, 2007, hlm. 1
15
Ibid., hlm. 3
16
http://www.ilo.org/global/standards/introduction-to-international-labour-standards/lang--
en/index.htm, diakses pada 24 September 2017, jam 17:59 WIB
17
ILO Indonesia, Konvensi-Konvensi ILO tentang Kesetaraan Gender di Indonesia, Jakarta: ILO
Publishers, 2006, hlm. 10

85
b. Memberikan upah sebagai imbalan dan honorarium baik dalam bentuk tunai
maupun natura.
c. Melakukan penilaian terhadap pekerjaan secara obyektif berdasarkan isi dari
pekerjaan tersebut.

2. Konvensi Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), 1958 (No.111)


a. Mempromosikan kesetaraan kesempatan dan perlakuan dalam pekerjaan dan
jabatan.
b. Melarang diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan (artinya, setiap pembedaan,
pengabaian atau preferensi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama,
aliran politik, pencabutan kewarganegaraan atau asal muasal yang mengakibatkan
lemahnya atau batalnya untuk memperoleh kesetaraan kesempatan dan perlakuan
dalam pelatihan, akses ke pekerjaan dan atau jabatan tertentu, keamanan dan
kondisi terkait dengan pekerjaan.
c. Persyaratan yang melekat pada pekerjaan bukan merupakan diskriminasi.
d. Perlunya adopsi suatu kebijakan nasional tentang kesetaraan kesempatan dan
perlakuan dalam pekerjaan dan jabatan.
e. Perlunya mencabut atau merevisi peraturan perundangan dan merubah segala
instruksi-instruksi administrasi atau praktik-praktik, yang tidak sesuai dengan
kebijakan tersebut.
f. Pemberian konsultasi oleh pemerintah kepada perwakilan pengusaha dan pekerja
untuk mempromosikan tujuan konvensi

3. Konvensi Pekerja dengan Tanggung Jawab Keluarga, 1981 (No.156)


a. Semua upaya yang mungkin dilakukan untuk membantu pekerja-pekerja dalam
menggunakan haknya untuk bebas memilih pekerjaan dan mempertimbangkan
kebutuhan-kebutuhan terkait dengan kondisi kerja dan keamanan sosial serta
membangun pelayanan masyarakat seperti tempat penitipan anak dan pelayanan
keluarga serta fasilitas-fasilitas.
b. Pendidikan dan informasi hendaknya diberikan untuk memastikan pemahaman
yang lebih luas tentang prinsip-prinsip kesetaraan kesempatan dan perlakuan bagi
pekerja laki-laki dan perempuan yang memiliki tanggung jawab keluarga.
Tindakan khusus juga harusnya diambil di bidang pelatihan dan panduan
kejuruan.
c. Tanggung jawab keluarga tidak dapat menjadi suatu alasan pemecatan

4. Konvensi Perlindungan Kehamilan, 2000 (No.183) (Direvisi)


a. Mencakup empat elemen utama dari perlindungan kehamilan:
1) Cuti melahirkan;
2) Tunjangan finansial dan kesehatan;
3) Perlindungan kesehatan;
4) Menyusui
b. Memperpanjang jangka waktu cuti dari 12 minggu menjadi 14 minggu, dengan
cuti wajib enam minggu setelah kelahiran anak, selama itu si ibu tidak diijinkan
untuk bekerja.
c. Mengeluarkan kebijakan adanya suatu hak untuk cuti tambahan jika mengalami
sakit, komplikasi atau resiko dari komplikasi tersebut yang membahayakan
kehamilan.
d. Pemberian tunjangan finansial pada tingkat dimana perempuan dapat menjaga
dirinya dan anaknya dalam kondisi sehat dan dengan suatu standar kehidupan
yang layak. Tunjangan finansial tersebut hendaknya seperti yang diterima oleh
kebanyakan perempuan yang bekerja.

86
e. Memberikan tunjangan kesehatan termasuk sebelum kelahiran,pada saat
kelahiran dan setelah kelahiran serta perawatan dirumah sakit jika diperlukan.
f. Mengakui hak atas perlindungan kesehatan untuk memastikan bahwa tidak ada
kewajiban bekerja karena sedang hamil atau menjalani perawatan
keperempuanan karena akan merugikan kesehatan ibu dan anaknya atau telah
diketahui sebelumnya bahwa pekerjaan tersebut akan beresiko terhadap
kesehatan ibu atau anaknya.
g. Memberikan perempuan satu jam atau lebih istirahat sehari-hari untuk menyusui
atau mengurangi jam kerjanya.

2.2 Implementasi Konvensi ILO di Indonesia


Konvensi ILO merupakan perjanjian-perjanjian internasional, yang tunduk pada
ratifikasi negara-negara anggota. Indonesia merupakan negara pertama di Asia dan ke-
lima di dunia yang telah meratifikasi seluruh konvensi pokok ILO. Sejak menjadi anggota
tahun 1950, Indonesia telah meratifikasi 17 konvensi.18 Diantaranya konvensi ILO yang
diratifikasi Indonesia adalah konvensi tentang kesetaraan gender yaitu Konvensi ILO No.
111 tentang Anti Diskriminasi Jabatan dan Pekerjaan yang telah diratifikasi oleh
Indonesia dengan UU No. 21 Tahun 1999, dan Konvensi ILO No. 100 tentang Kesetaraan
Upah yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 80 Tahun 1957. Peraturan-
peraturan tersebut mengatur tentang hak dan kewajiban dari buruh atau pekerja
perempuan serta bagaimana seharusnya pekerja perempuan diperlakukan oleh pihak
pengusaha.
Setelah meratifikasi konvensi ILO untuk melindungi pekerja perempuan, langkah
selanjutnya pemerintah Indonesia membuat peraturan hukum lainnya untuk melindungi
pekerja perempuan yaitu UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang mengatur
tentang perlindungan pekerja perempuan khususnya pada Pasal 76 (1), (2), (3), dan (4),
serta Pasal 81, Pasal 82 dan Pasal 83.
Jenis-jenis Perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan berdasarkan Pasal
7619 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah:
1. Bagi pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas)
tahun
Pekerja/buruh perempuan tersebut dilarang untuk dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00.
2. Bagi pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter
berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya.

18
http://www.ilo.org/public/indonesia/region/asro/jakarta/download/faktailojkt.pdf, diakses pada
24 September 2017, jam 20:56 WIB

19
Pasal 76: (1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun
dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00; (2) Pengusaha dilarang
mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi
kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00
sampai dengan pukul 07.00; (3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib:

a.memberikan makanan dan minuman bergizi; dan b; menjaga kesusilaan dan keamanan selama
di tempat kerja; (4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh
perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan
Menteri.

87
Pengusaha dilarang untuk mempekerjakannya antara pukul 23.00 sampai dengan pukul
07.00.
3. Bagi pekerja/buruh perempuan yang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan
pukul 07.00.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00, wajib:
a. memberikan makanan dan minuman bergizi, dan
b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
4. Bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul
23.00 sampai dengan pukul 05.00.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang
bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00, wajib untuk menyediakan
angkutan antar jemput.
5. Bagi pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid
Bagi pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan
memberitahukan hal tersebut kepada pengusaha, ia tidak wajib untuk bekerja pada hari
pertama dan kedua pada waktu haid. Pelaksanaan ketentuan tersebut berlaku dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
6. Bagi pekerja/buruh perempuan yang akan melahirkan dan setelah melahirkan
Pekerja/buruh perempuan memiliki hak untuk memperoleh istirahat selama 1,5 (satu
setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
7. Bagi pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan
Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau
sesuai dengan surat keterangan dokter atau bidan.
8. Bagi pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu
Pekerja/buruh perempuan harus diberikan kesempatan untuk menyusui anaknya jika hal
tersebut harus dilaksanakan selama waktu kerja.
Pengusaha yang melanggar ketentuan dalam nomor 1, 2, 3, dan 4 diberikan sanksi pidana
kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Pengusaha yang melanggar ketentuan dalam nomor 6 dan 7 diberikan sanksi pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,-
(empat ratus juta rupiah).
Secara garis besar ketentuan Pasal 76, 8120, 8221 dan 8322 dari UU Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur tentang perlindungan terhadap pekerja
perempuan dalam usaha pemenuhan beberapa hak sebagai berikut;

20
Pasal 81: Pekerja /buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan
memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua setelah
waktu haid.

88
a. Hak untuk tidak bekerja pada pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 untuk buruh
perempuan berusia kurang dari 18 tahun dan buruh yang sedang hamil;
b. Hak memperoleh perlindungan dan asupan gizi bagi buruh perempuan yang bekerja
pada pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00;
c. Hak mendapatkan fasilitas angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan
yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00;
d. Hak memperoleh cuti haid;
e. Hak memperoleh cuti sebelum dan saatnya melahirkan;
f. Hak untuk mendapatkan waktu menyusui anaknya.

Selain UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Indonesia memiliki


peraturan hukum lainnya sebagai bentuk perlindungan pekerja perempuan dan sebagai
bentuk implementasi Konvensi ILO yaitu dibentuknya Keputusan Menteri Tenaga kerja
dan Transmigrasi RI Nomor KEP-224/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Kewajiban
Pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s/d 07.00.
Pada dasarnya Keputusan Menteri ini merupakan bentuk pelaksanaan pasal 76 ayat (3)
dan (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur
lebih lanjut kewajiban pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara
pukul 23.00 sampai dengan 07.00. Sehingga untuk itu ditetapkan dengan Keputusan
Menteri; Aturan lain yang yaitu Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Perlindungan
Upah, Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 8. Per-04/Men/1989 tentang Syarat-syarat
Kerja Malam dan Tata Cara Mempekerjakan Pekerja Peremuan pada Malam Hari. Semua
peraturan tersebut secara jelas memberikan perlindungan kepada perempuan.
Selanjutnya, implementasi Konvensi ILO sebagai bentuk perlindungan pekerja
perempuan diwujudkan dengan diadakannya pemberdayaan perempuan, perwujudan
keadilan gender dan penghapusan diskriminasi diberbagai bidang dilakukan pemerintah
melalui bidang hukum.23 Sudah menjadi tanggung jawab Pemerintah, dalam hal ini pihak
Departemen Tenaga Kerja, untuk memperhatikan nasib tenaga kerja pekerja perempuan.
Perhatian tersebut dapat dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan secara langsung
pada pekerja perempuan. Segala upaya ini dilaksanakan demi terselenggaranya
pelaksanaan Pasal 81 hingga Pasal 83 UU No. 13 Tahun 2003 secara baik dan efektif,
sehingga tidak terjadi masalah mengenai hak istimewa tenaga kerja perempuan tersebut
yang tidak pernah dimiliki oleh laki-laki.24
Meskipun pemerintah telah membuat aturan-aturan untuk melindungi pekerja
perempuan namun pada kenyataannya masih banyak kasus penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi terhadap pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang diatur didalam peraturan-
peraturan tersebut. Penyimpangan tersebut mulai dari kesetaraan gender, diskriminasi
perempuan di tempat kerja dan diskriminasi upah pekerja perempuan. Hal tersebut di
dasarkan pada laporan Komnas Perempuan yang mencatat kasus kekerasan seksual 90%

21
Pasal 82: Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah)
bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan setelah melahirkan
menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan, dan Pekerja/buruh perempuan yang
mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau
sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
22
Pasal 83: Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan
sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilaksanakan selama waktu kerja.
23
Sinta Uli, “PekerjaPerempuan di Perusahaan dalam Perspektif Hukum dan Jender”, Jurnal
Equality, Vol. 10, N0. 2, 2005, hlm 91
24
Ni LuhPramitaDewi, Perlindungan Kerja Bagi Pekerja Perempuan Dalam Suatu Perusahaan
Ditinjau Dari Pasal 81 s/d Pasal 83 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 13Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan, Bali: UniversitasUdayana, hlm. 4

89
dialami oleh buruh perempuan.25 Dalam hal ini bukanhanya peran pemerintah yang
dibutuhkan, karena berdasarkan fakta yang ada peraturan yang dibentuk oleh pemerintah
tidak ditaati sepenuhnya. Sehingga dibutuhkan kerjasama oleh beberapa pihak untuk
menegakkan peraturan-peraturan tersebut baik itu oleh ILO, pemerintah, pengusaha,
pekerja dan organisasi-organisasi pekerja lainnya.
Setelah dibentuknya beberapa peraturan untuk melindungi pekerja perempuan,
langkah selanjutnya sebagai bentuk implementasi dari peraturan tersebut adalah
pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dan ILO. ILO di Indonesia memiliki tugas
untuk membantu pemerintah, pengusaha, pekerja dan organisasi-organisasi pekerja
lainnya (dalam hal ini disebut Tripatrit) untuk melaksanakan konvensi-konvensi ILO
yang diratifikasi Indonesia. Pelaksanaan konvensi termasuk didalamnya promosi dan
pembangunan kesadaran dari Tripatrit mengenai isi dan substansi konvensi, memastikan
hukum nasional sejalan dengan konvensi, penerapan yang efektif dari hukum nasional
dan konvensi ILO, termasuk pengawasannya. ILO juga membantu membangun kapasitas
Tripatrit melalui pelatihan-pelatihan maupun riset dan penelitian. Indonesia dalam hal ini
juga wajib untuk mengirimkan laporan pelaksanaan dari konvensi-konvensi tersebut
kepada ILO.26

Adapun pemerintah Indonesia juga melakukan pengawasan dalam penerapan


konvensi ILO yang diratifikasi Indonesia, yakni sebagai berikut:27
1. Pemerintah diminta melaporkan pelaksanaan konvensi dan rekomendasi ILO secara
berkala berdasarkan konstitusi ILO dan standar ILO Reporting Obligation;
2. Konvensi dan rekomendasi ILO yang dilaporkan pelaksanaannya berdasarkan waktu
tahunan, dua tahunan dan lima tahunan;
3. Pelaporan yang disampaikan kepada ILO di konsultasikan atau dikomunikasikan
terlebih dahulu kepada perwakilan Tripatrit Indonesia.

Selain dari pemerintah dan ILO, upaya perlindungan pekerja perempuan juga
dilakukan oleh organisasi-organisasi buruh lainnya. Dengan dukungan dari pemerintah
Indonesia, organisasi-organisasi tersebut melakukan berbagai kegiatan dan terobosan
sebagai langkah untuk melindungi pekerja perempuan. Salah satu terobosan tersebut
yakni didirikannya Sekolah Buruh Perempuan oleh organisasi Federasi Buruh Lintas
Pabrik. Tujuan dibangunnya sekolah ini adalah untuk memunculkan para pimpinan-
pimpinan dari kalangan perempuan. Selain itu, dalam sekolah ini para buruh perempuan
akan diajarkan berbagai macam hal seperti metode belajar, metode bertutur dan metode
bermain. Dengan metode seperti itu, diharapkan para buruh dapat menyampaikan
pengalaman mereka bekerja di pabrik.28

3. Penutup

Acuan perlindungan pekerja perempuan yang termuat dalam konvensi-konvensi


ILO, meliputi Kesetaraan upah; Diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan; Perlindungan
kehamilan; Pekerja dengan tanggung jawab keluarga; Aturan-aturan tertentu terkait

25
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/04/21/75-buruh-perempuan-alami-kekerasan-seksual,
diakses pada 24 September 2017, jam 20:38 WIB
26
Shafira Khairunnisa, Agus Pramono, dan Sonhaji, “Analisis Hukum dan Ratifikasi dan
Implementasi Konvensi-Konvensi International Labour Organization (ILO) di Indonesia”,
Diponegoro Law Review, Volume 5, Nomor 2, 2016, hlm. 7
27
Ibid., hlm.12
28
https://news.detik.com/berita/d-3374038/buruh-perempuan-luncurkan-sekolah-buruh-perempuan,
diaksespada 26 September 2017, jam 10:15 WIB

90
dengan kerja malam, bawah tanah dan paruh waktu serta isu-isu kesehatan lainnya.
Adapun pemerintah Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi ILO untuk
melindungi pekerja perempuan Indonesia yaitu Konvensi ILO No. 111 tentang Anti
Diskriminasi Jabatan dan Pekerjaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No.
21 Tahun 1999, dan Konvensi ILO No. 100 tentang Kesetaraan Upah yang telah
diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 80 Tahun 1957.
Bentuk implementasi konvensi ILO terhadap perlindungan perempuan di
Indonesia adalah dengan terbentuknya UU No 13 tahun 2003 yang mengatur tentang
perlindungan pekerja perempuan dalam Pasal 76, Pasal 81 sampai Pasal 83. Serta
Keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi RI Nomor KEP-224/MEN/2003
Tahun 2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh
perempuan antara pukul 23.00 s/d 07.00. Selain itu, implementasilainnya diwujudkan
dengan diadakannya pemberdayaan perempuan, perwujudan keadilan gender dan
penghapusan diskriminasi diberbagai bidang dilakukan pemerintah melalui bidang
hukum. Adapun kerjasama yang dilakukan antara pemerintah Indonesia dan ILO untuk
melakukan pengawasan terhadap penegakkan Konvensi ILO yang diratifikasi oleh
Indonesia. Selain dengan ILO pemerintah Indonesia juga melakukan kerjasama dengan
organisasi serikat buruh untuk melindungi pekerja perempuan dengan didirikannya
Sekolah Buruh Perempuan.
Dengan adanya regulasi dan berbagai upaya maupun kerjasama yang dilakukan
pemerintah dalam rangka memberi perlindungan bagi pekerja perempuan, diharapkan
mampu meniadakan kasus-kasus pelecehan maupun diskriminasi yang dialami para
pekerja perempuan di Indonesia. Selain itu, adapun saran agar pemerintah Indonesia
semakin meningkatkan perlindungan bagi pekerja perempuan dengan meratifikasi
Konvensi ILO 183 tentang Perlindungan Maternitas. Hal ini juga telah disuarakan oleh
para pekerja perempuan karena dalam konvensi tersebut memuat perlindungan yang lebih
baik bagi pekerja perempuan dalam hal mengajukan hak cuti melahirkan dan cuti haid.
Dengandemikian, diharapkan pemerintah untuk selalu mengaspirasi suara pekerja
perempuan agar hak-hak mereka dapat terlindungi dan terpenuhi dengan baik.

Daftar Pustaka

A. Buku
ILO Indonesia. 2006. Konvensi-Konvensi ILO tentang Kesetaraan Gender di
Indonesia. Jakarta: ILO Publishers

ILO Indonesia.2007. Sekilas tentang ILO. Jakarta: ILO Publishers

ILO Indonesia. 2015. Tren Tenaga Kerja dan Sosialdi Indonesia 2014 – 2015
Memperkuat daya saing dan produktivitas melalui pekerjaan layak. Jakarta:
ILO

Oetama, Jakob. 2004. Pers Indonesia: berkomunikasi dengan masyarakat tidak


lulusJakarta: Media Kompas Nusantara

Situni, F.A. Whisnu. 1989. Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum


Internasional. Bandung: Mandar Maju

B. Peraturan-Peraturan
Konvensi ILO No. 111 tentang Anti Diskriminasi Jabatan dan Pekerjaan

91
Konvensi ILO No. 100 tentang Kesetaraan Upah

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah

Keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi RI Nomor KEP-224/MEN/2003


Tahun 2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh
perempuan antara pukul 23.00 s/d 07.00.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 8. Per-04/Men/1989 tentang Syarat-syarat Kerja


Malam dan Tata Cara Mempekerjakan Pekerja Peremuan pada Malam Hari.

C. Skripsi, Jurnal, Artikel dan Sumber Internet lainnya

Ni Luh Pramita Dewi, Perlindungan Kerja Bagi Pekerja Perempuan dalam Suatu
Perusahaan Ditinjau Dari Pasal 81 s/d Pasal 83 Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Bali:
Universitas Udayana

Shafira Khairunnisa, Agus Pramono, dan Sonhaji, “Analisis Hukum dan Ratifikasi
dan Implementasi Konvensi-Konvensi International Labour Organization (ILO)
di Indonesia”, Diponegoro Law Review, Volume 5, Nomor 2, 2016

SintaUli, “PekerjaPerempuan di Perusahaan dalamPerspektifHukumdanJender”, Jurnal


Equality, Vol. 10, N0. 2, 2005

Subijanto, Peran Negara Dalam Hubungan Tenaga Kerja Indonesia, Jurnal


Pendidikan dan Kebudayaan , vol 17 no 6, 2011

http://sp2010.bps.go.id/, diakses pada 23 September 2017, jam 21:28 WIB

http://www.ilo.org/global/about-the-ilo/lang--en/index.htm, diakses pada 23


September 2017, jam 21:40 WIB

http://www.ilo.org/global/standards/introduction-to-international-labour
standards/conventions-and-recommendations/lang--en/index.htm, diakses
pada 23 September 2017, jam 21:42 WIB

http://www.ilo.org/global/standards/introduction-to-international-labour standards/lang--
en/index.htm, diakses pada 24 September 2017, jam 17:59 WIB

http://www.ilo.org/public/indonesia/region/asro/jakarta/download/faktailojkt.pdf, diakses
pada 24 September 2017, jam 20:56 WIB

http://www.tribunnews.com/nasional/2013/04/21/75-buruh-perempuan-alami
kekerasan-seksual, diakses pada 24 September 2017, jam 20:38 WIB

https://news.detik.com/berita/d-3374038/buruh-perempuan-luncurkan-sekolah buruh-
perempuan, diaksespada 26 September 2017, jam 10:15 WIB

92
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170103025248-85 183663/pembangunan-
tahun-2017-pemerintah-tak-lagi-andalkan-sda/, diakses pada 23 September 2017, jam
20:27 WIB

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20161124152933-20-175048/buruh pabrik-
garmen-sering-alami-kekerasan-seksual/, diakses pada 23 September 2017, jam
22.00 WIB

https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150330095201-185-42877/cerita
diskriminasi-perempuan-di-perusahaan-teknologi/, diakses pada 23 September
2017, jam 22.10 WIB

Ratna P Tjaja, Perempuan Bekerja dan Implikasi Sosial, Naskah No. 20, Juni-Juli
2000 diakses pada www.bappenas.go.id

93
Tinjauan Kriminologis Prostitusi Anak di Bandar Lampung

Eddy Rifai

Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung


Alamat: Fakultas Hukum Universitas Lampung, Jalan Sumantri Brojonegoro No. 1, Bandar
Lampung, Lampung, Indonesia.
Telp: 0721 786336
Postal codes: 35145
E-mail: eddyrifai63@gmail.com

Abstrak

Penelitian mengkaji tentang prostitusi anak. Penelitian menggunakan pendekatan


yuridis kriminologis dan yuridis normatif. Faktor penyebab kejahatan kesusilaan karena
faktor ekonomi, budaya modern dan lingkungan. Penanggulangan terhadap kejahatan
kesusilaan yang dilakukan oleh anak dilakukan melalui penegakan hukum preventif dan
represif. Pelaksanaan penegakan hukum preventif oleh Tim Pemerintah Kota Bandar
Lampung dalam rangka penegakan Peraturan Daerah. Penegakan represif dilakukan
dengan menerapkan ketentuan yang terdapat dalam Perda dan peraturan perundang-
undangan pidana lainnya oleh aparat penegak hukum pidana.

Kata kunci: Prostitusi anak, faktor penyebab, penanggulangan kejahatan

1. Pendahuluan
Kejahatan prostitusi merupakan salah satu bentuk kejahatan yang perlu mendapat
perhatian serius, hal ini terkait dengan meningkatnya kesadaran gender di kalangan
wanita yang menganggap perbuatan pelecehan dan pelanggaran seksual merupakan
kejahatan yang bertentangan dengan hak-hak dan kehormatan wanita. Prostitusi
merupakan kejahatan yang telah ada sejak lama, bahkan dapat dikatakan bahwa kejahatan
ini muncul sejak adanya peradaban manusia, sehingga masalahnya seusia dengan
peradaban manusia itu sendiri. Begitu pula upaya penanggulangannya telah lama
dilakukan dan hampir tidak pernah dapat menyelesaikannya secara tuntas.
Dewasa ini, marak adanya kegiatan prostitusi yang dilakukan oleh anak-anak.
Menurut Pusat Data dan Informasi CNSP Center terdapat sekitar 75.106 tempat pekerja
seks komersial (PSK) yang terselubung ataupun “terdaftar” dengan sekitar 30% dari
penghuni rumah bordil tersebut adalah perempuan berusia 18 tahun kebawah atau setara
dengan 200-300 ribu anak-anak (Aris Merdeka Sirait, 2010). Menurut data Unicef (2012),
di Indonesia meskipun banyak gadis yang memalsukan umurnya, diperkirakan 30% PSK
berumur kurang dari 18 tahun dan bahkan ada yang masih berusia 10 tahun. Diperkirakan
40.000-70.000 anak menjadi korban prostitusi anak-anak dan sekitar 100.000 anak
diperdagangkan tiap tahun.
Persoalan demikian terjadi di Kota Bandar Lampung, sebagai kota yang sedang
tumbuh dan berkembang kearah kota metropolitan telah lama menghadapi masalah
prostitusi. Tetapi suatu persoalan prostitusi yang perlu diadakan penanggulangan adalah
meningkatnya kegiatan prostitusi yang dilakukan oleh anak-anak. Pada waktu belakangan
ini, praktik prostitusi anak merupakan salah satu "pemandangan malam" di Kota Bandar

94
Lampung. Banyak wanita di bawah umur menjajakan diri, mulai dari tempat-tempat
hiburan seperti diskotek, karaoke, hotel-hotel melati, warung remang-remang sampai
dengan tempat-tempat umum dan pinggir jalan.
Program Officer Save The Children Wilayah Lampung, Renvi Liansari
menyatakan dari hasil temuan pihaknya bekerjasama dengan LSM Children Crisis Centre
(CCC) Lampung dan Lembaga Advokasi Anak (Lada), ditemukan 49 PSK di bawah
umur yang berusia 17 tahun, 16 tahun sebanyak 16 orang, 15 tahun sebanyak 15 orang,
dan 2 orang berusia 14 tahun (Lampung Post, 1 Februari 2015).
Penanggulangan prostitusi di Bandar Lampung, sebenarnya telah menjadi salah
satu kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung dengan dikeluarkannya
Peraturan Daerah (Perda) No. 15 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan
Tuna Susila. Sejak disahkannya Perda ini, dua lokalisasi prostitusi, yaitu di Pemandangan
dan Pantai Harapan di Kecamatan Panjang Bandar Lampung resmi ditutup. Tetapi sejak
beberapa tahun lalu di dua daerah tersebut muncul lagi sejumlah lokalisasi prostitusi dan
bahkan menjalar ke sejumlah tempat lainnya di sekitar kawasan itu tanpa dapat
ditanggulangi oleh Pemkot Bandar Lampung. Meningkatnya prostitusi anak perlu
dilakukan upaya untuk menanggulanginya dengan penegakan hukum pidana. Penegakan
hukum pidana merupakan suatu usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan dan
merupakan bagian dari kebijakan perlindungan masyarakat yang dilakukan melalui sarana
penal dan non-penal dengan tujuan akhir untuk mencapai tujuan kesejahteraan
masyarakat. Dalam konteks penanggulangan kejahatan prostitusi, perlu dipertimbangkan
kebijakan penggunaan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan kriminal penegakan
hukum pidana.
Kebijakan penegakan hukum pidana ini adalah dengan menyempurnakan
peraturan perundang-undangan, mengefektifkan penerapan dan penegakan hukum, dan
peningkatan peran serta masyarakat dalam penanggulangan kejahatan. Melalui kebijakan
penegakan hukum pidana yang demikian, maka persoalan kejahatan akan dapat
ditanggulangi sebagaimana mestinya (Barda Nawawi Arief, 1996).
Penanggulangan prostitusi anak, selama ini banyak menghadapi kendala antara
lain pengaturan terhadap kejahatan tersebut hanya diatur oleh Peraturan Daerah dimana
sanksi pidana penjara atau denda yang diterapkan relatif ringan. Di samping itu yang
menjadi objek dari penegakan hukum pidana hanya terhadap pelaku anak, padahal dalam
persoalan prostitusi anak didalamnya terlibat pelaku-pelaku lain seperti laki-laki hidung
belang sebagai pelanggannya dan mucikari atau germo yang mengiming-imingi imbalan
uang, memfasilitasi dan menjadi agen pemasar dari pelaku prostitusi anak.
Pengaturan perundang-undangan lain terdapat dalam KUHPidana, Undang-
Undang No. 23 Tahun 2002 jo UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang, tetapi karena beberapa kelemahan dalam beberapa undang-undang tersebut baik
dalam formulasi tindak pidana dan pelaksanaan penegakan hukumnya mengakibatkan
praktik-praktik prostitusi anak terus meningkat tanpa disertai penegakan hukum yang
memadai untuk dapat menanggulanginya.
Di samping masalah penegakan hukum adalah persoalan faktor-faktor penyebab
prostitusi anak tersebut terjadi yang perlu diketahui untuk dapat menanggulangi masalah
prostitusi anak. Faktor-faktor penyebab prostitusi anak terutama berasal dari para pelaku
prostitusi anak, seperti faktor ekonomi, budaya modern, lingkungan, keluarga dan faktor-
faktor yang berasal dari diri pelaku prostitusi anak itu sendiri.
Permasalahan dalam penelitian adalah: (1) Apakah faktor-faktor penyebab anak-
anak terlibat prostitusi anak? (2) Bagaimanakah penanggulangan kejahatan untuk
menanggulangi prostitusi anak?

2. Metode Penelitian

95
Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis empiris (kriminologis) dan yuridis
normatif. Data primer diperoleh dari lapangan sedangkan data sekunder dengan
menggunakan bahan hukum dan data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Selanjutnya data yang diperoleh untuk
keperluan analisis, pertama-tama akan dilakukan identifikasi menurut kelompok tujuan
penelitian, kemudian dianalisis berdasarkan teknik analisis kualitatif, sesuai logika
deduktif dan induktif.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan


3.1 Faktor-faktor Penyebab Anak Terlibat dalam Prostitusi Anak
Dinas Sosial Bandar Lampung pada tahun 2015 telah mengadakan pembinaan
terhadap pekerja seks komersial (PSK) sebanyak 50 orang dan pada tahun 2016
melakukan pembinaan sebanyak 31 orang. Dari 31 orang yang sedang dibina tersebut
terdapat 12 orang anak (berusia di bawah 18 tahun).
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden anak yang terlibat prostitusi anak,
faktor-faktor penyebab mereka melakukan kejahatan prostitusi adalah sebagai berikut:

(1) Faktor ekonomi

Pada umumnya responden menyatakan, bahwa faktor utama mereka melakukan


kejahatan prostitusi karena faktor ekonomi, dimana perbuatan tersebut mereka lakukan
karena terdesak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dikarenakan mereka tidak
mempunyai pekerjaan tetap.
Terdapat responden yang masih bertempat tinggal dengan orang tuanya, tetapi
orang tua responden adalah orang yang tidak mampu sehingga tidak dapat memberikan
kebutuhan hidup responden, sedangkan bagi responden yang tidak bertempat tinggal
dengan orang tuanya (kos) tidak mendapatkan bantuan uang dari orang tuanya, sehingga
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan melakukan pekerjaan tersebut.
Para responden menyatakan pernah bekerja, antara lain menjadi buruh pabrik,
menjaga toko atau menjajakan barang dari rumah ke rumah, tetapi penghasilan dari
pekerjaan tersebut tidak memadai, sehingga mereka memilih bekerja sebagai PSK dengan
harapan mendapat penghasilan yang lebih besar.
Faktor penyebab kejahatan protitusi karena motif ekonomi dipengaruhi pula oleh
gaya hidup para wanita pelaku prostitusi yang bergaya hidup mewah tanpa menyadari
kemampuan ekonomi yang mereka miliki. Rata-rata pelaku prostitusi selalu mengikuti
trend perkembangan zaman dimana kemewahan-kemewahan yang selalu ingin mereka
tunjukan sehingga membuat mereka melakukan segala cara agar dapat terwujud
keinginan mereka memiliki sehingga terjadilah praktik prostusi itu.

(2) Pengaruh budaya modern

Para responden mengakui bahwa perbuatannya juga dipengaruhi budaya modern,


dimana manusia sebagai mahluk sosial selalu berhubungan dengan manusia lainnya
dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam melakukan hubungan antar manusia (sering
disebut pergaulan) terhadap aturan-aturan atau tatanan yang pada pokoknya bertujuan
untuk ketertiban hidup bermasyarakat, baik yang berupa ketentuan hukum maupun norma
yang lain seperti kesusilaan (moral), norma agama dan lain-lain. Kesusilaan berakar dari
suara batin manusia yang menimbulkan perbuatan/perilaku manusia, sedangkan hukum
menyangkut kehidupan manusia dalam masyarakat yang lebih banyak dipengaruhi oleh
kekuasaan dan dipaksa oleh alat kekuasaan.
Antara hukum dan moral berhubungan dengan perilaku manusia dan keduanya
berkaitan erat karena pada hukum diterapkan norma moral (kesusilaan) sehingga hukum
seharusnya sesuai dengan keadilan, selain hukum mengandalkan cita-cita keadilan juga

96
merupakan tuntutan moral. Moral menunjuk pada tindakan yang berdasarkan pada etika
sebagai suatu kebiasaan, kelakuan kesusilaan.
Faktor-faktor yang dapat dipengaruhi perilaku seseorang antara lain: lingkungan
di dalam rumah (komunikasi antar anggota), lingkungan masyarakat sekitar atau
lingkungan sekolah, tempat kerja dan lain-lain. Semua ini dapat memberi pengaruh
terhadap perilaku seseorang, baik yang positif atau yang negatif.
Dalam era globalisasi seperti sekarang banyak sekali yang mempengaruhi pola
perilaku seseorang, dengan semakin majunya teknologi seakan jarak dunia dapat
dipersempit, karena semakin mudah dan lancarnya komunikasi antara manusia kapan saja
dan di mana saja berada.
Pengaruh "budaya" luar juga tidak luput akan dengan mudah masuk dalam
masyarakat kita. Adanya televisi, video, laserdisc dan internet atau film dan media
elektronik lainnya, selain memberikan informasi penting juga pengaruh negatif bagi
generasi kita. Melalui media tersebut orang (tua, muda dewasa, anak-anak) dengan
mudah memperoleh informasi sesuai dengan yang diinginkannya. Demikian juga melalui
media elektronik seperti film (baik layar lebar maupun televisi) selain memberi hiburan
juga pengaruh negatif bagi generasi muda karena banyak film yang diputar menonjolkan
bagian-bagian yang merangsang seperti "sekwilda (sekitar wilayah dada)" atau "bupati
(buka paha tinggi-tinggi)".
"Budaya modern" atau lebih tepat disebut "gaya hidup" yang dianggap modern
adalah apabila telah merasakan minuman keras, narkotika, obat-obat terlarang lainnya
bahkan kehidupan seks bebas sangat melanda generasi muda kita saat ini. Dalam
pergaulan mereka, jika diantara mereka ada yang tidak mengikuti "gaya hidup" tersebut
dianggap "kuper", diejek bahkan dianggap cemen. Mereka dianggap "sudah dewasa"
apabila telah melakukan semuanya termasuk urusan seks. Masalah seksual didalam
kehidupan generasi kita, selain dipengaruhi oleh hal-hal tersebut juga dipengaruhi oleh
"budaya" kita yang masih menganggap "tabu" untuk membicarakan seks secara
terang-terangan sehingga mereka merasa penasaran dan ingin mencobanya.
Dalam lingkungan kerja, timbul gaya hidup baru yaitu kecenderungan seseorang
untuk tidak langsung pulang ke rumah seletah usai kerja dengan alasan santai, refreshing
atau menghilangkan stres dengan pekerjaan di kantor dan ada lagi yang beralasan
menghindari kemacetan lalulintas. Diskotik atau kafe dan tempat-tempat hiburan lainnya
adalah menjadi pilihan mereka untuk "menjalin relasi bisnis", "untuk pergaulan" yang
kesemuanya sudah menjadi bagian dari gaya hidup para eksekutif muda terutama di
kota-kota besar seperti Jakarta.
Gaya hidup sedemikian rupa telah melanda sebagian besar kelompok tertentu
yang hidup di kota-kota besar, walaupun banyak diantara mereka berakibat timbulnya
keretakan rumah tangga karena gaya hidup tersebut cenderung menimbulkan
perselingkuhan atau tindak pelanggaran kesusilaan lainnya.
Pengaruh bertambah panjangnya jam kerja di kantor (sampai sore bahkan sampai
malam hari) mengakibatkan mereka untuk makan siang di luar baik karena alasan jauh
dari rumah ataupun malas pulang bahkan karena gengsi. Dari kebiasaan ini timbul istilah
yang sekarang lagi "ngetrend" di lingkungan tertentu/kelompok tertentu yaitu mulai dari
"makan siang bersama" yang dapat dilanjutkan dengan "bobo siang bersama". Hal ini
dapat terjadi diantara sesama teman kerja ataupun antara atasan (pemegang kekuasaan)
dengan bawahan.
Keadaan seperti ini menggambarkan hubungan antara pelaku dengan korban
sebagai atasan dan bawahan yang meliputi citra bahwa bawahan menjadi "milik" atasan.
Sedangkan bawahan memiliki kewajiban "pasrah" atas sikap dan kebijaksanaan atasan.
Citra dan persepsi tersebut sudah merupakan "cap" atau "label" tertentu di dalam
hubungan sosial antara atasan dan bawahan, sehingga tindak perkosaan/pelecehan seksual
dalam hubungan ini sebagai konsekuensi logis yang sulit terelakkan bagi bawahan
sekalipun ia tidak menghendakinya.

97
Kepentingan dan nilai-nilai kesusilaan/moral yang ada di dalam masyarakat
mencakup hal yang sangat luas. Nilai-nilai kesusilaan tidak hanya terdapat dalam bidang
seksual (yang lebih bersifat hubungan pribadi), tetapi juga dalam pergaulan dengan orang
lain di masyarakat dan bahkan dalam semua kehidupan bermasyarakat/ bernegara.
Di dalam setiap tatanan kehiduan bermasyarakat terdapat nilai-nilai
kesusilaan/moral, karena setiap masyarakat/negara dibangun di atas landasan nilai-nilai
filsafat, ideologi dan moralitas tertentu. Dengan demikian dalam masyarakat Indonesia
yang ber-Pancasila, maka nilai-nilai kesusilaan nasional yang bersumber dan dijiwai oleh
nilai-nilai Pancasila inilah yang seyogianya dilindungi dan ditegakkan lewat
ketentuan-ketentuan hukum pidana sehingga dapat dikatakan, bahwa setiap tindak pidana
pada hakikatnya merupakan tindak pidana kesusilaan, karena semua bentuk larangan
dengan sanksi (hukum) pidana pada hakikatnya melambangkan bentuk perlindungan
terhadap sistem nilai kesusilaan/moralitas tertentu yang ada dalam masyarakat. Dalam
struktur masyarakat Indonesia, muatan (substansi) nilai-nilai kesusilaan yang hendak
dilindungi ini tentunya yang bersumber dari moralitas agama dan nilai-nilai yang hidup di
dalam masyarakat.
Di samping dua faktor utama di atas, terdapat responden yang melakukan
perbuatan karena berasal dari keluarga yang berantakan, telah hamil di luar nikah dan
mempunyai anak, diajak atau ikut-ikutan teman yang telah terlebih dulu melakukan
profesi WTS. Kesemua faktor-faktor tersebut di atas menjadi faktor penyebab perbuatan
kejahatan kesusilaan yang dilakukan para responden.

(3) Faktor Lingkungan

Menurut responden yang menjadi penyebab kejahatan prostitusi juga dikarenakan


faktor lingkungan sangat mempengaruhi terjadinya praktik kejahatan prostitusi. Karena
dalam lingkungan pergaulan pelaku sepertinya halnya kawan-kawan pelaku adalah pelaku
kejahatan prostitusi sehingga lama-kelamaan pelaku ikut terpengaruh kedalam praktik
prostitusi itu sendiri dan juga dimana kurangnya perhatian dan bimbingan dari keluarga
pelaku membuat semakin tenggelam kedalam praktik protitusi. Pada dasarnya faktor
lingkungan sangat berpengaruh karena faktor ini paling cepat merespon dikalangan anak
muda. Kenapa, disebabkan pengaruh gaya hidup metropolis yang sudah melanda remaja
masa kini.
Seperti, keinginan untuk mempercantik diri dengan melakukan peremajaan ke
banyak salon dan spa yang sudah banyak menjamur di kota kota besar. Itu yang menjadi
salah satu faktor kenapa anak ABG sekarang lebih mengutamakan penampilan. Namun,
penampilan sendiri harus dibayar mahal dengan mengeluarkan uang yang tidak sedikit.
Hal itu menyebabkan mereka terlena dengan gaya hidup metropolis,yang dapat
mendongkrak pergaulan mereka dengan teman-teman sebayanya. Selain itu, gaya hidup
sering menghabiskan uang dengan berbelanja atau gaya hidup komsumtif juga sangat
berpengaruh. Karena menurut penelitian hampir rata-rata penduduk Indonesia memang
sangat mempunyai kebiasaan komsumtif. Hal lainnya seperti mengikuti kemajuan zaman
yang jika tidak diikuti akan membuat mereka tidak “gaul” atau gagap teknologi (gaptek),
sehingga membuat mereka tidak bisa bergaul dengan kawan sebayanya. Disebabkan
mereka malu untuk berteman, karena tidak adanya hal yang bisa membuat teman-
temanya bangga dengan apa yang mereka miliki.
Perasaan putus cinta atau pernah disakiti oleh teman lelaki nya, juga dapat
membuat pelaku jadi putus asa, sehingga mengambil jalan pelarian dengan terjun
kedalam praktik prostitusi. Seharusnya pacar atau teman dekatnya itu dapat melindungi
dia bukannya malah merusaknya. Hal itu yang menyebabkan para pelaku merasa sangat
putus asa atau dendam dengan laki-laki dan akhirnya terjun kedunia prostitusi anak.
Para pelaku merasa dirinya sudah tidak suci lagi. Faktor virginitas atau perawan
itu masih sangat kuat dianut di negara kita. Disebabkan para orang tua memandang tidak

98
perawan seorang gadis itu dapat membuat aib yang sangat besar bagi keluarga besarnya
dan juga dirinya. Trauma yang mendalam juga bisa terjadi karena desakan dari orang tua
yang harus membuat wanita Indonesia menjaga keperawanannya sampai mereka
menikah. Jika hal itu sudah tidak ada maka tidak ada lagi yang perlu dibanggakan seorang
wanita kepada pasangannya kelak.
Semua bisa ditepis dengan adanya faktor uang yang melimpah dan ketenaran
dimasa muda. Mereka merasa dapat menghasilkan uang yang sangat banyak, tetapi tidak
melakukan pekerjaan yang lumayan berat. Dengan adanya materi yang berkecukupan
dimasa muda, dapat membuat mereka bisa melakukan dan membeli apa saja yang mereka
inginkan. Yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh teman sebayanya. Itu yang
menyebabkan masa muda merupakan masa yang rentan bagi mereka, sebab di masa itu
para pelaku masih mencari jati diri mereka.
Pencarian jati diri itulah yang menyebabkan bisa sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan dan keluarga. Disini keluarga dan juga sekolah sangat berperan penting bagi
kelangsungan masa depan generasi penerus bangsa indonesia ini. Kenapa demikian, saat
mereka disekolah seharusnya para guru dapat bisa memonitor kelakuan anak didiknya
dengan seksama. Karena tanggung jawab pendidikan dan juga kelangsungan mereka di
bentuk 6 (enam) jam waktu mereka di sekolah.
Terpenting adalah faktor keluarga dalam pembinaan mereka, sebab keluarga
membentuk lebih lama dari para guru di sekolah. Sejak mereka pulang dari sekolah, maka
tanggung jawab akan langsung diserahkan oleh guru ke orangtua masing-masing.
Tidak semua tidak semua hal tersebut, terjadi pada anak ABG di zaman milenium
ini. Ada juga yang masih berkutat dengan buku pelajaran dan juga kursus di luar jam
sekolah. Hal ini dapat menimbulkan mereka dapat sejenak melupakan hal yang terjadi
didunia, dan dapat lebih fokus meraih masa depannya.
Dikaitkan dengan teori kriminologi tentang faktor-faktor penyebab kejahatan
yaitu biologi kriminal, psikologi kriminal dan sosiologi kriminal, maka dapat dikatakan
bahwa faktor-faktor penyebab anak terlibat prostitusi anak di Kota Bandar Lampung
mempunyai karakterisktik yang sama. Faktor ekonomi dan pengaruh budaya modern
merupakan faktor yang terdapat didalam sosiologi kriminal yaitu sebagai faktor yang
berada diluar diri/lingkungan pelaku protitusi anak, tetapi terdapat pula faktor biologi
kriminal yaitu pelaku prostitusi anak yang melakukan kejahatan karena kelainan-kelainan
pada dirinya seperti hiper seks.

3.2 Penanggulangan Kejahatan terhadap Prostitusi Anak


Menurut Barda Nawawi Arief (1996) upaya rasional dalam penanggulangan
kejahatan dilaksanakan melalui politik/kebijakan kriminal (criminal policy) dengan
menggunakan penegakan hukum pidana (sarana penal) dan sarana di luar hukum pidana
(non-penal). Kebijakan kriminal merupakan bagian dari kebijakan perlindungan
masyarakat (social defence policy) yang bersama-sama dengan kebijakan kesejahteraan
masyarakat (social welfare policy) adalah bagian dari kebijakan sosial (social policy).
Kejahatan prostitusi yang dilakukan oleh anak sebagai kejahatan yang
meresahkan masyarakat karena bertentangan dengan norma-norma agama, prostitusi,
kesopanan, dan hukum perlu ditanggulangi dengan penegakan hukum pidana berupa
penyempurnaan peraturan perundang-undangan dengan penerapan dan pelaksanaan
hukum pidana dan meningkatkan peran serta masyarakat untuk berpartisipasi dalam
penanggulangan kejahatan. Di samping itu juga dilakukan melalui sarana nonpenal,
seperti tindakan pre-emtif dan preventif dari masyarakat untuk tidak menjadi korban
kejahatan prostitusi, penerangan-penerangan melalui media massa cetak dan elektronik
serta sarana informasi lainnya, meningkatkan norma, keimanan dan ketaqwaan serta
memperkuat norma-norma agama, prostitusi dan kesopanan di kalangan masyarakat.
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana melalui
tahapan-tahapan, yaitu tahap legislatif (peraturan perundang-undangan), tahap aplikatif

99
(penerapan peraturan perundang-undangan) dan tahap eksekutif (penegakan peraturan
perundang-undangan). Tahap legislatif berupa kajian terhadap peraturan
perundang-undangan dan upaya pembaharuannya tentang kejahatan prostitusi dalam
KUHP dan Konsep Rancangan KUHP Baru, serta Peraturan Daerah Kota Bandar
Lampung tentang Larangan Prostitusi dan Tuna Susila, sedangkan tahap aplikatif dan
eksekutif berupa kajian terhadap pelaksanaan penegakan hukum pidana dalam
penanggulangan kejahatan prostitusi terhadap anak.
Kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai bagian dari politik kriminal, pada
dasar merupakan upaya yang rasional untuk menunjang dan mencapai tujuan politik
sosial. Secara umum tujuan dari politik sosial ialah mencapai kesejahteraan sosial dan
perlindungan sosial. Dengan demikian, digunakannya hukum pidana sebagai salah satu
sarana politik kriminal dan sarana politik sosial, dimaksudkan untuk melindungi
kepentingan dan nilai-nilai sosial tertentu dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial.
Ini berarti, apabila hukum pidana akan digunakan sebagai salah satu sarana
penanggulangan kejahatan di bidang kesusilaan, tentunya ada kepentingan dan nilai-nilai
kesusilaan tertentu di dalam masyarakat yang ingin dilindungi dan ditegakkan lewat
hukum pidana (Barda Nawawi Arief, 1995).
Kebijakan hukum pidana di Indonesia dalam penanggulangan kejahatan
kesusilaan bukanlah merupakan suatu pengaturan tentang kejahatan kesusilaan secara
eksplisit. Pengaturan ini dapat dilihat dalam Bab XIV Buku II Pasal 281 sampai dengan
Pasal 303 KUHP dan Buku III Bab VI Pasal 532 sampai dengan Pasal 547 KUHP, yang
mengatur bentuk-bentuk kejahatan dan pelanggaran terhadap kesusilaan sebagai berikut
di bawah ini.

1. Perzinahan (Pasal 284);


2. Perkosaan (Pasal 285).
3. Persetubuhan dengan wanita di bawah umur (Pasal 286 s.d. Pasal 288);
4. Pencabulan (Pasal 289 s.d. Pasal 294);
5. Penghubungan percabulan (Pasal 295 s.d. Pasal 297, 298, 506);
6. Pencegahan dan pengguguran kehamilan (Pasal 299, 534, 535);
7. Tindak pidana terhadap kesopanan-kesusilaan (Pasal 281 s.d. Pasal 283, 283 bis, 532
s.d. 533).
8. Mabuk dan penjualan minuman yang memabukkan (Pasal 300, 536 s.d. 539).
9. Eksploitasi anak untuk mengemis atau mengerjakan pekerjaan berbahaya (Pasal
301).
10. Penganiayaan, dan perlakuan yang berlebihan terhadap binatang (Pasal 302, 540 s.d.
541).
11. Perjudian (Pasal 303,542 s.d. 544).
12. Peramalan atau tafsiran mimpi (Pasal 545).
13. Menjual atau membagikan jimat-jimat atau memakai jimat saat memberikan
kesaksian atau benda yang memiliki kekuatan gaib atau mengajarkan kesaktian yang
dipakai untuk melakukan perbuatan pidana (Pasal 546 s.d. 547).
Penegakan hukum terhadap anak yang terlibat prostitusi anak menurut responden
Pol PP Pemerintah Kota Bandar Lampung dilakukan melalui penegakan hukum preventif
dan represif berdasrkan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Daerah No. 15 Tahun
2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila dalam Wilayah Kota Bandar
Lampung.
Pelaksanaan penegakan hukum preventif oleh Tim yang terdiri dari unsur Pol PP,
Dinas-Dinas Pemkot Bandar Lampung, dan penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim).
Menurut responden pelaksanaan tugas Tim meliputi:
a. Mengadakan razia pada beberapa tempat seperti hotel-hotel, rumah, jalanan dan
tempat-tempat yang dijadikan praktek prostitusi.
b. Menerima laporan/pengaduan tentang adanya kejahatan kesusilaan.

100
c. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada
penyidik Polri.
d. Membuat dan menandatangani laporan/pengaduan tentang adanya kejahatan
kesusilaan.
Pelaksanaan tugas Tim secara umum telah berjalan baik, khususnya terhadap
kejahatan kesusilaan yang dilakukan oleh anak, dimana dalam setiap razia yang dilakukan
Tim selalu menemukan adanya pelaku anak-anak.
Menurut responden, tindakan preventif sebagai upaya penanggulangan kejahatan
kesusilaan yang dilakukan oleh anak cukup efektif berjalan sehingga jarang terlihat
adanya kejahatan kesusilaan yang dilakukan oleh anak.
Penjelasan responden di atas sebenarnya berbeda dengan kenyataan yang ada di
lapangan, karena dalam kenyataannya masih terdapat kejahatan kesusilaan yang
dilakukan oleh anak.
Kurangnya razia-razia yang dilakukan tim, menurut keterangan responden,
karena kurangnya biaya dan personil, sehingga razia hanya dilakukan sewaktu-waktu saja
sesuai dengan anggaran biaya yang ada.
Pelaksanaan penegakan hukum represif dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS). Menurut responden, kegiatan penegakan hukum represif adalah
melaksanakan penegakan hukum secara yustisil terhadap tindak pidana kesusilaan, yaitu
tugas penyidik dan mengajukan perkara tindak pidana kesusilaan ke jaksa penuntut
umum. Kewenangan tugas tersebut diatur dalan Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP.
Dalam proses penyidikan tindak pidana kesusilaan, PPNS tidak bisa menangkap
tersangka atau yang diduga kuat pelaku tindak pidana pelanggaran kesusilaan, kecuali
dalam hal tertangkap tangan. Selain tidak bisa menangkap juga tidak bisa melakukan
penahanan.
Menurut responden, tugas PPNS dalam penegakan hukum yustisial sebagai
berikut:
a. Membuat laporan kejadian tentang tindak pidana kesusilaan kepada atasan selaku
PPNS.
b. Meminta surat perintah penyidikan dari atasan selaku PPNS.
c. Menyampaikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penuntut
umum melalui penyidik Polri tempat koordinasi.
d. Memeriksa tersangka untuk didengar keterangan dan hasilnya dituangkan dan BAP.
e. Menandatangani BAP atas perkara yang dihadapinya.
f. Memanggil saksi-saksi atau tersangka untuk didengar dan diminta keterangannya
selanjutnya dituangkan dalam BAP.
g. Menyerahkan tersangka kepada penuntut umum melalui penyidik Polri.
h. Menyerahkan alat bukti kepada penuntut umum.
i. Mengkonsultasikan bekas perkara yang dihadapinya kepada penuntut umum yang
memeriksa berkasnya.
j. Jika tersangka ditahan, PPNS dapat meminta perpanjangan penahan tersangka kepada
Kejaksaan melalui penyidik Polri.
Apabila dalam penyidikan diperlukan penangkapan karena tersangka dipanggil
tidak bersedia hadir, PPNS tidak bisa menangkap secara langsung atas tersangka
walaupun tersangkanya ada di depan PPNS. Proses penangkapannya harus meminta
bantuan penyidik Polri.
Dalam hal perlunya penggeledahan terhadap tempat tinggal, PPNS juga tidak
bisa menggeledah/tempat tinggal tersangka secara langsung. Pelaksanaannya tetap
melalui bantuan penyidik Polri atas izin ketua pengadilan setempat.
Segala kegiatan yang berkaitan dengan proses penyidikan tindak pidana
prostitusi, semua biaya dibebankan kepada Pemda Kota Bandar Lampung. Sampai
dengan sekarang PPNS baru menangani 1 (satu) perkara tindak pidana prostitusi yang
dilakukan anak.

101
Menurut responden, kurangnya perkara yang ditangani oleh PPNS karena:
1. Kurangnya laporan/pengaduan tentang adanya kejahatan kesusilaan yang
dilakukan oleh anak.
2. Adanya tindakan persuasif/pembinaan dari Tim.
Pelaksanaan penegakan hukum dalam penegakan hukum represif di atas tampak
masih kurang dilaksanakan sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Menurut responden, keadaan demikian terjadi karena terbatasnya jumlah PPNS,
dimana untuk mendapatkan status PPNS selain melalui pendidikan khusus, berpangkat
minimal II/b, dan diangkat langsung oleh Menteri Hukum dan HAM R.I., yang mana
prosedur dan birokrasi untuk mencapai status tersebut memerlukan waktu yang cukup
lama. Selain itu jabatan PPNS dibatasi untuk waktu 5 tahun dan setelah itu diangkat
kembali bila dipandang masih layak dan perlu. Juga terdapat pegawai yang berstatus
PPNS dipindahkan ke tempat atau bagian lain yang kadang kala tugasnya bukan sebagai
penegak hukum, sehingga semua itu menyebabkan pegawai yang berstatus PPNS
menjadi terbatas.
Selain masalah birokrasi dan kuantitas PPNS yang menjadi kendala dalam
penegakan hukum pidana, juga masalah kualitas dari PPNS itu sendiri. PPNS umumnya
diangkat dari pegawai negeri sipil yang kemudian mendapatkan pendidikan khusus PPNS
selama 12 (dua belas) hari. Sedikitnya waktu pendidikan tersebut kurang dapat
membentuk adanya PPNS yang tangguh dan kuat dalam menanggulangi kejahatan
kesusilaan.
Profesionalisme PNS juga masih diragukan baik dari segi keahlian dan
keterampilan (skills), tanggung jawab (responsibility) yang meliputi integritas, kejujuran,
dan kedisiplinan serta kesejawatan (partnership). Oleh karena itu, seyogianya apabila
PPNS meningkatkan pengetahuannya tentang berbagai modus operandi baru kejahatan
kesusilaan, bertanggung jawab dan selalu berkoordinasi dan bekerja sama dalam
penegakan hukum tindak pidana sehingga mewujudkan adanya PPNS yang mandiri.
Dalam kaitan dengan tindakan represif oleh kepolisian menurut, responden polisi
yang bertugas di Poltabes Bandar Lampung, penanganan terhadap praktik prostitusi anak
tidak hanya melakukan penindakan terhadap anak-anak pelaku prostitusi melainkan pula
terhadap laki-laki hidung belang sebagai pelanggan mereka. Oleh karena itu apabila
dilakukan razia dan penangkapan praktik prostitusi anak juga dilakukan kepada para laki-
laki tersebut. Poltabes Bandar Lampung pada tahun 2015 yang lalu telah melakukan
proses peradilan pidana berupa penangkapan dan penyidikan serta melanjutkannya
sampai dengan pemeriksaan di muka pengadilan terhadap pelaku bernama K (48thn). Di
samping itu penegakan hukum pidana juga diterapkan kepada mucikari atau germo dari
pelaku prostitusi anak dimana terhadap mereka dikenakan pelanggaran pasal-pasal yang
terdapat dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang (Undang-Undang Trafficking).
Para mucikari atau germo biasanya melakukan bujuk rayu dengan iming-iming
imbalan uang yang membuat pelaku tergiur akan melakukan praktik prostitusi tersebut
dengan memberi bayangan akan hal-hal yang serba enak dan mewah. Kemudian ketika
pelaku prostitusi tersebut terbujuk dengan rayuan mucikari atau germo tersebut, mucikari
memberikan arahan dan membawa pelaku ke salon untuk didandan (make up) sehingga
menjadi semenarik mungkin agar pelaku menjadi lebih tertarik sehingga akan membuat
nilai jualnya semakin tinggi dan para laki-laki hidung belang tertarik terhadap pelaku.
Umur pelaku yang masih muda belia ditambah dengan perawatan di salon yang memadai
membuat pelaku menjadi mudah untuk diperdagangkan oleh mucikari atau germo dan
memiliki nilai jual tersendiri. Mucikari atau germo juga biasa selalu memberikan arahan-
arahan kepada pelaku seperti halnya ketika para tamu laki-laki hidung belang
membookingnya, agar segala tentang identitas asli diri pelaku ini dirahasiakan dan pelaku
juga disuruh untuk mengakui bahwa pelaku melakukan praktik prostitusi ini adalah baru

102
sehingga membuat para tamu laki-laki hidung belang menjadi lebih semangat yang
bertujuan agar pelaku mendapatkan bayaran yang tinggi, dengan begitu mucikari atau
germo akan mendapatkan uang tips yang lebih besar dari praktik prostitusi itu. Mucikari
atau germo juga melarang pelaku untuk memberikan nomor handpone atau pun alamat
identitas tempat tinggal pelaku agar para tamu laki-laki hidung belang jika ingin
membooking pelaku harus melalui mucikari atau germo itu sendiri. Mucikari atau germo
juga biasanya memberikan fasilitas kepada pelaku prostitusi dengan memberikan tempat
tinggal di rumah mereka atau tempat indekost kepada pelaku, serta memberikan sarana
komunikasi berupa HP kepada pelaku prostitusi. Memberikan baju-baju yang modern
sehinggga membuat pelaku menjadi semenarik mungkin sehingga penampilan pelaku
menjadi lebih modis seksual dan dengan mudah mucikari atau germo memasarkan pelaku
kepada laki-laki hidung belang.
Perbuatan para mucikari atau germo ini dahulu kurang dapat dijangkau oleh
hukum, termasuk peraturan-peraturan daerah tidak mengatur tentang sanksi terhadap
mereka. Tetapi dengan diberlakukannya Undang-Undang Trafficking, maka terhadap
mereka dapat dikenai sanksi pidana.
Sedangkan menurut responden hakim pada Pengadilan Negeri Kelas IA
Tanjungkarang, penegakan hukum prostitusi anak dilakukan dengan menugaskan hakim
dalam tim yang dibentuk oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung, yaitu dengan
mengadakan persidangan di tempat untuk menerapkan Peraturan Daerah. Di samping itu,
pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang belum ada kasus yang terkait dengan
penerapan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 jo UU No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak, tetapi terdapat kasus dengan menggunakan Undang-Undang No. 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dimana terhadap
pelakunya telah dijatuhi pidana penjara dan denda.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa penanganan kasus kejahatan
prostitusi anak dilakukan dengan upaya non penal, yaitu berupa penyuluhan, tindakan-
tindakan preventif dan rehabilitatif yang dilakukan oleh Pol PP dan Dinas Sosial Kota
Bandar Lampung. Disamping itu dilakukan upaya penal dengan penegakan hukum pidana
baik dilakukan oleh PPNS Dinas Sosial Kota Bandar Lampung dan Poltabes Bandar
Lampung berupa penerapan Peraturan Perundang-undangan pidana baik berupa Peraturan
Daerah tentang Larangan Prostitusi maupun Undang-Undang Traficking.

5. Penutup
5.1 Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:

1) Faktor penyebab kejahatan kesusilaan karena faktor ekonomi, dimana perbuatan


tersebut dilakukan karena terdesak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
sedangkan mereka tidak mempunyai pekerjaan dan budaya modern berupa ingin
hidup mewah dan adanya kehidupan malam di tempat-tempat hiburan. Di
samping dua faktor utama di atas, terdapat responden yang melakukan perbuatan
karena berasal dari keluarga yang berantakan, telah hamil di luar nikah dan
mempunyai anak, diajak atau ikut-ikutan teman yang telah terlebih dulu
melakukan profesi PSK. Kesemua faktor-faktor tersebut di atas menjadi faktor
penyebab perbuatan kejahatan kesusilaan yang dilakukan para responden.

2) Penanggulangan kejahatan prostitusi anak dilakukan melaui penegakan hukum


terhadap kejahatan kesusilaan yang dilakukan oleh anak dilakukan melalui
penegakan hukum preventif dan represif. Pelaksanaan penegakan hukum
preventif oleh Tim dari Pol PP, Dinas-dinas Pemkot Bandar Lampung dan

103
penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) dengan mengadakan razia pada
beberapa tempat seperti hotel-hotel, rumah, jalanan dan tempat-tempat yang
dijadikan praktek prostitusi; menerima laporan/pengaduan tentang adanya
kejahatan kesusilaan; Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka
untuk diserahkan kepada penyidik Polri; Membuat dan menandatangani
laporan/pengaduan tentang adanya kejahatan kesusilaan. Pelaksanaan penegakan
hukum represif dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) berupa
melaksanakan penegakan hukum secara yustisil terhadap tindak pidana
kesusilaan, yaitu tugas penyidik dan mengajukan perkara tindak pidana
kesusilaan ke jaksa penuntut umum. Penegakan represif dilakukan dengan
menerapkan ketentuan yang terdapat dalam Perda dan peraturan perundang-
undangan pidana lainnya.

5.2 Saran
1) Agar ditingkatkan biaya dan fasilitas dalam penanggulangan prostitusi anak.

2) Perlu ditingkatkan kerjasama antar instansi yang terkait dengan


penanggulangan prostitusi anak, baik antara para aparat penegak hukum
maupun dengan istansi lainnya.

Daftar Pustaka

Arief, Barda Nawawi, 1995. Perbandingan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, .

----------, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.

----------, 1994. “Perkembangan Delik Kesusilaan dalam KUHP Baru”. Bahan Penataran
Kriminologi. FH Undip, Semarang.

Kartono, Kartini, 1996. Pathologi Sosial, Rajawali, Jakarta.

Susanto, I.S., 1990. Kriminologi. Fakultas Hukum Undip Semarang.

Sudarsono, 2000. Kenakalan Remaja. Rineka Cipta, Jakarta.

Soekanto, 1993. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali Jakarta.

Sirait, Aris Merdeka. Diakses dari http://www.djpp.dephumkam.go.id/tanggal 18 Agustus


2010.

Harian Umum Lampung Post, 1 Februari 2015

Unicef. Diakses dari Sexual Exploitation of Children. http://www.ecpact.net/tanggal 26


Maret 2010.

104
Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak
Perspektif Politik Hukum Pidana Sebagai Wujud Pengakuan
Hak Asasi Manusia

Dr. Efa Rodiah Nur, MH.

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Raden Intan Lampung

1. Pendahuluan

Kekerasan antar sesama manusia itu merupakan mozaik sejarah peradaban


manusia yang terjadi pada masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Seiring
dengan hal tersebut di atas sering kita menyaksikan terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga baik di media cetak, media elektronik, maupun di media lain baik kekerasan fisik,
psikis, seksual, dan kekerasan ekonomi. Kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga
pada dasarnya sering dilakukan oleh suami terhadap istri, oleh suami istri terhadap
pembantu dan lain-lain.
Dilihat dari segi tempat terjadinya, kekerasan fisik dan psikis terjadi dalam
lingkungan rumah tangga atau di luar rumah tangga. Dilihat dari segi pelakunya
kekerasan fisik dan psikis dalam rumah tangga dapat dibedakan antara pelaku orang
dewasa (suami, istri, pembantu rumah tangga) dan orang dewasa dengan anak-anak
(orang tua terhadap anak dan sebaliknya). Sebaliknya di luar rumah tangga, kekerasan
tersebut dapat dilakukan laki-laki maupun sesama perempuan.1
Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender merupakan faktor utama terjadinya
kekerasan terhadap perempuan atau isteri yang menempatkan perempuan subordinat
terhadap laki-laki, sehingga istri dianggap milik suami.2 Pendapat ini didasarkan pada
anggapan bahwa laki-laki bukan saja pencari nafkah keluarga. Oleh karena itu, laki-laki
dianggap sah dan berhak memperlakukan istri sekehendak hati. Kondisi sosial budaya
semacam itu terus-menerus bertahan pada masyarakat, sehingga walaupun seorang
perempuan bekerja ataupun berpendidikan lebih tinggi, kedudukannya tetap subordinat
yang berarti harus melayani suami dan keluarga serta berhak diperlakukan semaunya.
Perempuan dalam mengejar hak yang setara dengan laki-laki kerap menemui
banyak masalah yang dihadapi yakni terkait semua aspek, baik ekonomi, politik, sosial
dan budaya, antara lain yang dialami kaum perempuan dan anak, mulai dari kekerasan
terhadap perempuan dan anak, kekerasan dalam rumah tangga, trafficking, pelecehan
seksual, akses perempuan dibidang legislatif, eksekutif dan sebagainya.
Landasan hukum yang mengatur tentang jaminan hak asasi perempuan adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia, hal tersebut banyak diatur mulai
dari instrumen hukum internasional sampai dengan nasional, antara lain konvensi
Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan atau Convention on the
Elimination of All Form of Discrimation Againts Women (CEDAW). Merupakan salah
satu instrumen Hak asasi perempuan yang paling mendasar. Indonesia juga telah

1
Herkutanto, Kekerasan terhadap Perempuan dan Sistem Hukum Pidana: Pendekatan dari Sudut
Kedokteran (Bandung: Alumni, 2000), hlm. 263
2
Indriyati Suparno, et. al, Persepsi Pengetahuan Perempuan dan Gambaran SituasiKekerasan
terhadap Istri (Solo: idarity Kemanusiaan Perempuan, 2002), hlm. 3

105
meratifikasi CEDAW menjadi UU No. 7 Thn 1984 tentang penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 1 dan ayat 2 s/d Pasal 28 D isi pasal tersebut
tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki, terminologi “setiap orang”, jelaslah
bahwa hak asasi manusia dalam perspektif UUD 1945 tidak membeda-bedakan gender,
yang kemudian harus pula diturunkan dalam peraturan-peraturan dibawahnya yang
bersifat mengikat.
Hadirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dalam teori politik hukum
merupakan salah satu bentuk kebijakan (policy) pemerintah sebagai legislasi nasional
dalam rangka menghapus kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini terjadi dan juga
sebagai payung hukum bagi saksi sekaligus korban kekerasan dalam rumah tangga untuk
melindungi dirinya di dalam proses peradilan pidana dalam persidangan. Hal ini
didasarkan pada fakta bahwa walaupun kekerasan dalam rumah tangga merupakan bentuk
tindak pidana, pengungkapan kekerasan dalam rumah tangga oleh sebagian masyarakat
Indonesia dianggap suatu hal yang tabu untuk diungkap ke publik.
Dari uraian di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengakuan Hak Asasi Manusia terhadap perempuan dan anak ?
2. Bagaimana penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam
perspektif politik hukum pidana ?

2. Pembahasan
2.1 Hak-hak Korban dan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga.3
Kekerasan dalam rumah tangga dalam pengertian luas menunjuk pada kekerasan
yang mana pelaku dan korbannya berada dalam lingkup rumah tangga yang terdiri dari:
suami, istri, anak, pembantu rumah tangga yang bekerja pada rumah tersebut. Dan yang
sering menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga adalah pada istri.4
Pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 menyatakan bahwa setiap
orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup
rumah tangga dengan cara: pertama, kekerasan fisik; kedua, kekerasan psikis; ketiga,
kekerasan seksual; keempat, penelantaran rumah tangga”. Selanjutnya pasal 10 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 menyatakan bahwa korban berhak mendapatkan: (1)
Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga
sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan (2) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
(3) Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; (4) Pendampingan
oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (5) Pelayanan bimbingan rohani.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya
masing-masing dapat bekerja sama dengan masyarakat dan lembaga-lembaga penegak
hukum terkait dalam rangka mewujudkan semua hak korban kekerasan dalam rumah
tangga sebagaimana tersebut di atas, dengan melakukan upaya: (1) Penyediaan ruang

3
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
4
Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Jakarta: The Asian
Foundation, 1999), hlm. 22

106
pelayanan khusus di kantor kepolisian; (2) Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja
sosial, dan pembimbing rohani; (3)
Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan
yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan (4) Memberikan
perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban. Menjamin hak-hak
perempuan di bidang hukum dan kebijaksanaan serta jaminan kepada perempuan.
Negara wajib menjamin persamaan hak secara de jure (substansi hukumnya) dan
juga dari segi de facto, yaitu dengan mendorong realisasi terwujudnya hak perempuan.
Kewajiban negara meliputi mencegah diskriminasi terhadap perempuan, melarang
diskriminasi perempuan, melakukan identifikasi adanya diskriminasi terhadap perempuan
dan menjalankan langkah-langkah untuk mengatasinya, melaksanakan sanksi atas
tindakan diskriminatif terhadap perempuan, memberikan dukungan pada penegakan hak-
hak perempuan dan mendorong persamaan, kesetaraan dan keadilan melalui langkah
proaktif, dan meningkatkan persamaan de facto perempuan dan laki-laki.

2.2 Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagai Pelanggaran HAM


Perkembangan peradaban manusia tumbuh dalam lingkup budaya dan ideologi
patriarkhi terjadi pada dunia Barat ataupun Timur, demikian pendapat Erna sofyan
Syukrie.5 Di negara-negara Barat, Amerika Serikat, dan Eropa Barat, budaya tersebut
terlebih dahulu terkikis sejalan dengan perkembangan teknologi dan demokrasi, yang
mendudukkan persamaan dan keadilan sebagai nilai yang sentral. Di negara-negara dunia
ketiga, termasuk Indonesia, budaya dan ideologi tersebut masih sangat kental dan
mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat serta menciptakan
ketimpangan-ketimpangan gender. Budaya dan ideologi bukan satu hal yang turun dari
langit, melainkan dibentuk oleh manusia dan disosialisasikan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
Budaya patriarkhi masih sangat kental dalam budaya kita. Nilai budaya
merupakan faktor mental yang menentukan perbuatan seseorang atau masyarakat. Dalam
kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan terlebih lagi dalam budaya, keadaan ketimpangan,
asimetris dan subordinatif terhadap perempuan tampak sangat jelas. Pada kondisi yang
seperti itu proses marjinalisasi terhadap perempuan terjadi pada gilirannya perempuan
kehilangan otonomi atas dirinya. Eksploitasi serta kekerasan terjadi terhadap perempuan,
baik di wilayah domestik maupun publik. Dalam situasi demikian, maka perbedaan,
diskriminasi, dan ketidakadilan gender tumbuh dengan suburnya. Hal ini ironis karena
secara formal, dalam UUD 1945, hak laki-laki dan perempuan tidak dibedakan (sama),
namun dalam tataran empiris sangat berbeda.
Patriarkhi dipandang sebagai hal yang tidak perlu dipermasalahkan bagi
masyarakat tradisional, karena hal tersebut selalu dikaitkan dengan kodrat dan
kekuasaaan yang tidak terbantahkan. Kepercayaan bahwa Tuhan telah menetapkan
adanya perbedaan laki-laki dan perempuan, sehingga perbedaan dalam kehidupan
manusia juga diatur berdasarkan perbedaan tersebut. Faktor agama juga telah digunakan
untuk memperkuat kedudukan kaum laki-laki. Determinise biologis juga telah
memperkuat pandangan tersebut. Artinya. karena secara biologis perempuan dan laki-laki
berbeda maka fungsi-fungsi sosial ataupun kerja dengan masyarakat pun diciptakan
berbeda.

5
Erna Sofyan Syukrie, 2003, “Pemberdayaan Perempuan Dalam PembangunanBerkelanjutan”,
makalah disampaikan dalam seminar loka karya pembangunan hukum nasional ke VIII
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan HAM RI Tanggal 14 sampai dengan 18 Juli 2003 di Hotel Kartika Plaza,
Denpasar, Bali Politik Hukum Pidana

107
Pendidikan yang merupakan proses yang sangat penting bagi pertumbuhan nalar
seseorang, juga masih sangat patriarkis. Satu keluarga biasanya akan lebih memberikan
prioritas kepada anak laki-Iaki karena ia adalah penerus keluarga sedangkan anak
perempuan akan pindah dan masuk ke dalam keluarga lain. Pendidikan dalam keluarga
pun mensosialisasikan bahwa bapak adalah sentral, sehingga secara tidak disadari akan
mengecilkan peran perempuan dalam keluarga. Anak perempuan jarang dilibatkan dalam
pembicaraan kebijakan keluarga sehingga sosialisasi pada norma-norma yang semacam
itu akan berdampak pada pembentukan kepribadian dan sikapnya yang cenderung tidak
terbuka.
Dominasi budaya patriarkhi bisa menimbulkan tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga khususnya tindak kekerasan terhadap istri dan anak. Secara harfiah
patriarkhi berarti sistem yang menempatkan ayah (laki-laki) sebagai penguasa keluarga.
Istilah ini kemudian digunakan untuk menjelaskan pada suatu masyarakat tempat kaum
laki-laki berkuasa atas kaum perempuan dan anak-anak hal ini dapat diartikan bahwa
laki-laki adalah superior dan perempuan adalam inferior sehingga laki-laki dapat
dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan dan kedudukan perempuan
tersebut sub ordinat. Perwujudan patriarkhi sebagai sebuah sistem nilai budaya ini
dipratikkan dalam berbagai institusi kehidupan masyarakat, baik dibidang ekonomi,
politik maupun dalan institusi keluarga. Menurut Kate Millet dalam bukunya Sexual
Politics, sebagaimana dikutip oleh Suparno, patriarkhi pada awalnya tumbuh dan
berkembang secara mapan dalam kehidupan keluarga dimana pada dasarnya keluarga
adalah bagian utama dari struktur kekuasaan masyarakat yang secara langsung maupun
tidak langsung ikut melestarikan kekuasaan patriarkhi.6
Beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, menurut penulis dalam beberapa
konteks atau ranah tertentu kekerasan dalam rumah tangga dapat dikatakan pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM) dan termasuk kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta
bentuk diskriminasi yang harus dihapus, sebagaimana dalam dijelaskan dalam Pasal 28 I
ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa ”Setiap orang berhak
bebas dariperlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif ”.
Meskipun dalam masyarakat tradisional yang memang dengan budayanya mereka
menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki (tidak seimbang/subordinat), keadaan
demikian tidak dikatakan pelanggaran HAM. Pada dasarnya dalam konteks sesama
manusia, Allâh SWT telah menempatkan posisi perempuan sejajar dengan laki-laki, yang
membedakan hanyalah ketaqwaannya.
Dalam konteks rumah tangga laki-laki memang sebagai imam atau panutan keluarga
sepanjang masih berada dan sesuai dengan syarî’at Islam.
Namun demikian, bukan berarti laki-laki sekehendaknya sendiri melakukan
perempuan seperti budak. Jauh sebelum ada konferensi CEDAW, Islâm telah lebih dahulu
mendeklarasikan untuk mengatur dan mengangkat derajat perempuan, hanya tinggal
impelementasinya di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini.

2.3 Perspektif Politik Hukum Pidana (Penal Policy) dalam Penghapusan Kekerasan
Rumah Tangga
Pada tulisan ini penulis akan mengutip pendapat Teuku Muhammad Radhie
tentang konsepsi politik hukum yang penulis anggap tepat dalam kajian ini, politik hukum
dalam pandangan Radhie adalah sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa Negara
mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum
yang dibangun.7

6
Suparno, Persepsi Pengetahuan, hlm.8
7
Teuku Muhammad Radhie, “Pembaruan dan Politik Hukum Dalam Rangka Pembangunan
Nasional” Majalah Prisma, No. 6 tahun Ke II Desember 1973, hlm. 4

108
Kata ”kehendak penguasa negara” kalau dicermati dalam rumusan politik hukum
di atas, maka dengan nyata bahwa undang-undang itu lahir dan diciptakan sesuai dengan
keinginan penguasa negara mengenai kapan undang-undang itu dibuat dan kapan
undangundangkan itu diberlakukan, setelah undang-undang itu
diberlakukan maka langkah pemerintah itu bagaimana menegakkan hukum dan
mengembangkan undang-undang sesuai dengan perkembangan masyarakat, karena kata
”perkembangan hukum yang dibangun” oleh Radhie di atas adalah jelas mengenai hukum
yang dicita-citakan berlakunya di masa yang akan datang yang biasa disebut sebagai ius
constituendum.Dalam pandangan Hikmahanto8, politik hukum dapat dibedakan menjadi
dua dimensi yaitu:8 Pertama, politik hukum yang menjadi alasan dasar diadakannya
peraturan perundang-undangan. Dimensi yang pertama disebut dengan “kebijakan dasar”
atau basic policy. Kedua, tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan peraturan
perundang-undangan. Dimensi yang kedua ini disebut dengan kebijakan pemberlakuan
atau enactment policy.
Lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) berpotensi disambut dengan beragam respon,
baik pro maupun kontra. Namun, kepedulian terhadap tindak kekerasan dalam rumah
tangga tidak boleh berhenti dan tetap terus digalang. Pokok-pokok pikiran yang menjadi
dasar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang terkandung di dalam undang-undang
tersebut sebagai berikut:
Pertama, kasus kekerasan dalam rumah tangga makin menunjukkan peningkatan
yang signifikan dari hari ke hari, baik kekerasan dalam bentuk kekerasan fisik atau
psikologis maupun kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Bahkan, sudah menjurus
dalam bentuk tindak pidana penganiayaan dan ancaman kepada korban yang dapat
menimbulkan rasa ketakutan atau penderitaan psikis berat bahkan kegilaan pada
seseorang.
Kedua, pandangan yang berpendapat semua kejahatan harus diatur dalam suatu
kodifikasi hukum, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana adalah pandangan yang tidak mendukung adanya
pembaruan hukum sesuai dengan tuntutan perkembangan yang ada, karena peraturan
perundang-undangan tersebut belum menyentuh permasalahan yang mendasar.
Ketiga, para korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami berbagai
hambatan untuk dapat mengakses hukum seperti sulit untuk melaporkan kasusnya
ataupun tidak mendapat tanggapan positif dari aparat penegak hukum. Ketentuan Hukum
Acara Pidana atau perundang-undangan lainnya sejauh ini terbukti tidak mampu
memberikan perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Semua orang, baik pihak penegak hukum, Lembaga Swadaya Masyarakat yang
concern terhadap perempuan dan pihak-pihak lain menurut penulis harus sepakat bahwa
kekerasan dalam rumah tangga merupakan bentuk kejahatan. Oleh karena itu, hal itu
tidak bisa dibiarkan harus ada regulasi dari pemerintah yang akhirnya melahirkan hukum
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Usaha penanggulangan kejahatan dengan
hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum
(khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa
politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan
hukum (law enforcement policy).
Hal ini tentunya dilaksanakan melalui sistem hukum peradilan pidana (criminal
justice system), yang terdiri dari subsistem Kepolisian, sub sistem Kejaksaan, sub sistem

8
Hikmahanto J, “Politik Hukum Undang-undang Bidang ekonomi di Indonesia”. Hand Outkuliah
Kebijakan Pembangunan Hukum Program Doktor (S3) Universitas Islam
Indonesia.

109
Pengadilan dan sub sistem lembaga pemasyarakatan.9 Sudarto mengatakan dalam
bukunya “Hukum dan Hukum Pidana”, sebagaimana yang dikutip oleh Arief Amrullah
dalam bukunya “Politik Hukum Pidana”, bahwa menjalankan politik hukum pidana, juga
mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling
baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna. Untuk mencapai hasil yang
berhasil guna dan berdayaguna, maka para pembuat kebijakan dapat memanfaatkan
informasi yang telah disediakan oleh kriminologi. Oleh karena itu, apabila mengabaikan
informasi hasil penelitian dari kriminologi akan mengakibatkan terbentuknya perundang-
undangan yang tidak fungsional.10
Pendapat Sudarto di atas, sesuai dengan tulisan Marc Ancel sebagaimana yang
dikutip oleh Arief Amrullah bahwa in modern science has primary three essensial
compenens: criminology, criminal law dan penal policy. Kriminologi mempelajari
kejahatan dalam semua aspek. Selanjutnya criminal law menjelaskan dam menerapkan
peraturan-peraturan positif atas reaksi masyarakat terhadap fenomena kegiatan.
Kemudian penal policy baik sebagai ilmu maupun seni mempunyai tujuan praktis
utamanya memungkinkan peraturan-peraturan positif dirumuskan lebih baik dan petunjuk
tidak hanya kepada legislator yang harus merancang perundang-undangan hukum pidana,
tetapi juga pengadilan di mana peraturan-peraturan itu ditetapkan dan penyelenggaraan
pemasyarakatan (prison administration) yang memberi pengaruh praktis terhadap putusan
pengadilan.
Selain itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembaruan undang-undang
hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan
masyarakat social welfare. Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik
hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik hukum (social
policy). Kebijakan sosial dapat pula diartikan
sebagai segala usaha yang rasional mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus
melindungi masyarakat.
Jadi, di dalam pengertian social policy sekaligus tercakup di dalamnya social
welfarepolicy dan social defence policy11 Penal policy atau politik hukum pidana itu,
pada dasarnya adalah bagaimana hukum pidana dirumuskan dengan baik dan
memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan
aplikasi (kebijakan yudikatif). Kebijakan legislatif merupakan tahap yang sangat
menentukan bagi tahap-tahap berikutnya karena pada saat perundang-undangan pidana
hendak dibuat, maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju dengan dibuatnya
undang-undang dimaksud dalam konteks ini adalah pembentukan undang-undang tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada
hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi, kebijakan
atau politik hukum pidana (penal policy) juga merupakan bagian dari politik kriminal,
maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan
kejahatan dengan hukum pidana”. Hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktik
perundang-undangan selama ini yang menujukkan bahwa penggunaan hukum pidana
merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di Indonesia.

9
Barda Nawawi Arief, Politik Hukum Pidana (Jakarta: Pasca Sarjana UI, 1992), hlm. 3
10
Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana: Dalam Rangka Perlindungan Korban Kejahatan
Ekonomi di Bidang Perbankan (Malang: Bayumedia Publishing, 2003), hlm.17
11
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1996), hlm. 30

110
Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan normal seolah-olah
eksistensinya tidak lagi dipersoalkan.12
Dengan demikian, dapatlah ditegaskan bahwa pembaruan hukum pidana (penal
refom), termasuk lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, merupakan bagian
dari kebijakan/politik hukum pidana (penal policy). Makna dan hakikat pembaruan
hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan
hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum
pidana dapat ditinjau dari aspek sosio politik, sosio filosofis, dan sosio kultural atau dari
berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan penegakan
hukum). Ini berarti makna dan hakikat pembaruan hukum pidana juga berkaitan erat
dengan berbagai aspek itu.
Artinya pembaruan hukum pidana juga pada hakikatnya harus merupakan
perwujudan dari perubahan dan pembaruan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang
melatarbelakangi itu. Dengan demikian, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya
mengandung makna suatu upaya untuk melakukan “reorientasi dan reformasi” hukum
pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio filosofis dan sosio
kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan
kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapatlah dikatakan, bahwa
pembaruan hukum pidana hakekatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang
berorientasi pada nilai (value orinted approach).13
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa makna dan hakikat
pembaruan hukum pidana sebagai berikut: Pertama, dilihat dari sudut pendekatan-
pendekatan: (1) Sebagai bagian dari kebijakan sosial. Pembaruan hukum pidana pada
hakekatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial
(termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka menciptakan atau menunjang tujuan
nasional (kesejahteraan rakyat dan sebagainya); (2) sebagai bagian dari kebijakan
kriminal. Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya
perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan); (3) sebagai
bagian dari kebijakan penegakan hukum.
Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya
memperbarui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan
penegakan hukum. Kedua, dilihat dari sudut pendekatan nilai, maka pembaruan hukum
pidana pada hakekatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali
(re-orientasi dan re-evaluasi) nilai-nilai sosio politik, sosio filosofis, dan sosio kultural
yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substansi hukum pidana
yang dicita-citakan Bukanlah pembaruan (reformasi) hukum pidana, apabila orientasi
nilai-nilai dari hukum pidana yang dicitacitakan misalnya KUHP baru sama saja dengan
orientasi nilai-nilai dari hukum pidana lama warisan penjajahan belanda (KUHP lama
atau WvS).
Usaha kebijakan hukum pidana dalam mengatur masalah kekerasan dalam rumah
tangga merupakan salah satu bagian tugas pemerintah dan DPR untuk memberikan
sebuah payung hukum yang sangat memadai bagi saksi sekaligus korban kekerasan dalam
rumah tangga, karena politik hukum yang hendak dicapai oleh pemerintah dalam
mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 sebagaimana termuat di dalam
Pasal 3 berbunyi bahwa penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan

12
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana (Jakarta: RajaGrafindo, 1997), hlm. 21
13
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai, hlm. 30 - 32

111
berdasarkan asas penghormatan hak asasi manusia; keadilan dan kesetaraan gender;14
nondiskriminasi;15 dan perlindungan korban.
Pengertian diskriminasi dalam Pasal 1 dapat disimak dalam Pasal 4, bahwa yang
tidak dianggap diskriminasi ialah tindakan yang disebut affirmative action yaitu tindakan
khusus yang bersifat sementara dengan tujuan untuk mendapatkan persamaan kesempatan
dan perlakuan sama yang nyata antara perempuan dan laki-laki. Makna pembaruan
hukum pidana (penal reform) sebagaimana dikemukakan Arief di atas dalam konteks
tulisan ini, merupakan bentuk pembaruan dari hukum pidana yang bersifat umum
(KUHP) yang memuat tindak pidana umum ke hukum pidana yang bersifat khusus dalam
hal ini Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 sebagai hukum khusus (lex specialis
derogat lex generalis).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga yang diundangkan di Jakarta pada 22 September 2004 merupakan produk
hukum era transisional. Hadirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dapat
dikatakan sebagai produk hukum responsif yang lahir dari lembaga atau institusi
responsif politik di tengah beralihnya hak legislasi ke pangkuan pihak legislatif pasca
amandemen UUD 1945. Hukum responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan
dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh
rakyat. Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada subyek hukum atau
sesuatu yang dikenai aturan hukum itu dalam tulisan ini adalah Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 di mana dalam konteks hukum responsif, hukum telah merespon semua
kebutuhan masyarakat melalui lembaga yang berwenang dalam konteks Indonesia adalah
DPR sebagai institusi pemangku kekuasaan legislasi. Suatu institusi yang responsif
mempertahankan secara kuat hal-hal yang essensial bagi integritasnya sembari tetap
memperhatikan atau memperhitungkan keberadaan kekuatan-kekuatan baru di dalam
lingkungannya. Untuk melakukan itu, hukum responsif melakukan cara-cara di mana
keterbukaan dan integritas dapat saling menopang walaupun terdapat benturan diantara
keduanya. Lembaga responsif ini menganggap tekanantekanan sosial sebagai sumber
pengetahuan dan kesempatan untuk mengoreksi diri.16
Konsep hukum responsif melihat suatu pemecahan untuk dilema ini yang
mencoba untuk mengkombinasikan keterbukaan dengan integritas. Jawaban dari hukum
responsif adalah adaptasi selektif ke dalam tuntutan-tuntutan dan tekanan-tekanan baru.
Karakter produk hukum responsif adalah kekuasaan yang didasarkan atas hukum yang
dicita-citakan, tetapi sekarang tidak lagi diartikan sebagai kepantasan prosedural formal,
melainkan sebagai reduksi secara progresif dari kesewenang-wenangan dan
penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi. Jadi hukum
responsif tidak membuang ide tentang keadilan, melainkan ia memeperluasnya untuk
mencakup keadilan substantif.
Secara garis besar karakter produk hukum responsif adalah sebagai berikut:17 (1)
Pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan kedaulatan tujuan; (2)
pentingnya kewajiban dan kesopanan masyarakat dalam menyambut aturan hukum baik
sebagai salah satu tujuan hukum maupun sebagai tujuan akhir yang ingin dicapai oleh

14
Kesetaraan gender adalah suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki menikmati status
yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan
potensinya bagi keutuhan dan kelangsungan rumah tangga secara proporsional
15
Pengertian yang tidak dianggap diskriminasi ialah tindakan yang disebut affirmative action yaitu
tindakan khusus yang bersifat sementara dengan tujuan untuk mendapatkan persamaan
kesempatan dan perlakuan sama yang nyata antara perempuan dan laki-laki.
16
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Pilihan di Masa Transisi, terj.(Jakarta:
Elsam dan Huma, 2003), hlm. 62.
17
Ibid, hlm. 62-77

112
produk hukum responsif; dan (3) partisipasi hukum dan partisipasi politik, di saat sistem
hukum memperluas sumber-sumber kritisnya, sistem hukum itu mendelegasikan lebih
banyak diskresi untuk memutuskan hal-hal yang otoritatis. Partisipasi hukum diperluas
hingga menjangkau pembuatan dan interpretasi kebijakan hukum.
Hadirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 telah merespon semua
kekerasan dalam rumah tangga yang sebelumnya tidak diatur secara khusus. Oleh karena
itu, dalam konteks sistem hukum Indonesia Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
mampu memenuhi keadilan substantif dalam lingkup rumah tangga. Dalam kaitannya
dengan hukum progresif sebagaimana pandangan Satjipto Rahardjo, bahwa hukum
progresif lahir untuk menegaskan bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan
sebaliknya.18 Lebih lanjut ia mengemukakan hukum itu bukan hanya bangunan peraturan,
melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita. Karena tujuan hukum adalah
membahagiakan manusia”letak persoalan hukum adalah di manusianya.19

3. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa :

1.Politik hukum pidana (penal policy) yang diwujudkan di dalam Undang-undang Nomor
23 ahun 2004 dalam rangka penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan
berdasarkan asas penghormatan hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender,
nondiskriminasi, dan perlindungan korban.

2. Politik hukum pidana dalam upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
merupakan tindakan pemerintah dalam bentuk norma hukum dengan mengundangkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 24, yang menggolongkan kekerasan dalam rumah
tangga merupakan tindak pidana. Oleh karena itu, segala bentuk kekerasan seperti
kekerasan fisik, psikis, seksual, penelantaran rumah tangga (kekerasan ekonomi), dilarang
dengan keras Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, dengan ancaman pidana yang berat.

Daftar Pustaka

Amrullah, Arief. Politik Hukum Pidana: Dalam Rangka Perlindungan Korban


Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan. Malang: Bayumedia Publishing, 2003.
Arief, Barda Nawawi. Politik Hukum Pidana. Jakarta: Bahan Bacaan
Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1992.
---------. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1996.
----------. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas, 2006.
Ciciek, Farha. Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga Jakarta: The
Asian Fondatian, 1999.
Hamdan, M. Politik Hukum Pidana. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1997.
Herkutanto. Kekerasan Terhadap Perempuan dan Sistem Hukum Pidana:
Pendekatan dari Sudut Kedokteran. Bandung: Alumni, 2000.

18
Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, Jurnal Hukum Progresif,
Vol. 1 Nomor 1/April 2005.
19
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2006), hlm. 3-9

113
J, Hikmahanto. “Politik Hukum Undang-Undang Bidang Ekonomi di Indonesia”.
Hand Out kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum Program Doktor (S3) Universitas
Islam Indonesia.
Nonet, Philippe dan Selznick, Philip. Hukum Responsif, Pilihan di Masa
Transisi, terj. Rafael Edy Bosco. Jakarta: Elsam dan Huma, 2003.
al-IhkRadhie, Teuku Muhammad. “Pembaruan dan Politik Hukum dalam Rangka
Pembangunan Nasional” dalam Majalah Prisma, No. 6 tahun Ke II Desember 1973.
Rahardjo, Satjipto. “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, Jurnal
Hukum Progresif, Vol. 1 Nomor 1/April 2005.
Suparno, Indriyati, et. al. Persepsi Pengetahuan Perempuan dan Gambaran
Situasi Kekerasan terhadap Istri. Solo: Solidarity Kemanusiaan Perempuan, 2002.
Syukrie, Erna Sofyan. “Pemberdayaan Perempuan Dalam Pembangunan
Berkelanjutan”, makalah disampaikan dalam Seminar dan Loka Karya Pembangunan
Hukum Nasional ke VIII diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan Kehakiman RI Tanggal 14 sampai dengan 18 Juli 2003 di Hotel
Kartika Plaza, Denpasar, Bali, 2003.

114
Reformulasi Regulasi Tata Ruang Kota yang Responsif Gender

Erina Pane

1. Pendahuluan

Pengarusutamaan gender1 membuka paradigma baru dengan mempertimbangkan


tuntutan gender dalam penataan ruang. Sebagaimana disampaikan Cuthbert: 2until
relatively recently, the relation between gender and urban space has been isolated to the
periphery of investigation into the social relations of capitalism, and urban life in general
(sampai saat ini, hubungan antara gender dan ruang kota telah di kesampingkan dalam
penelitian hubungan sosial kapitalisme dan kehidupan kota pada umumnya).
Pembedaan penggunaan ruang antara laki-laki dan perempuan telah berlangsung
lama. Laki-laki diidentikkan dengan kegiatan di luar rumah, sedangkan perempuan
diidentikkan dengan rumah dan pekerjaan domestik, penggunaan ruang bagi perempuan
menjadi terbatas hanya seputar rumah dan sekitarnya. Saat ini mulai terjadi pergeseran
peranan dimana perempuan bekerja dan bepergian hampir sama dengan yang dilakukan
laki-laki. Tata ruang yang telah terbentuk seringkali memberikan rasa tidak nyaman dan
tidak aman bagi perempuan. Perempuan secara tidak langsung menjadi inferior akibat
pola-pola ruang yang tercipta. Keprihatinan tersebut memunculkan konsep dimana tata
ruang kota dan infrastrukturnya dapat mengakomodasi kegiatan perempuan.
Salah satu instrumen yang dipercayai di dalam pengaturan ruang kota adalah
konsep zonasi. Zonasi diperuntukan supaya fungsi kawasan bisa diatur agar terjadi
keseimbangan pemanfaatan ruang. Kritik yang timbul dimana zonasi kurang peka
terhadap persepsi dan perilaku perempuan. Zoning hanya mempertimbangkan faktor
efisiensi, ekonomi, dan lingkungan semata, sehingga hal tersebut tak jarang merugikan
kaum perempuan.3 Ketidakadilan gender timbul disebabkan karena adanya pemisahan
kawasan permukiman dengan kawasan komersil atau pun industri. Kawasan permukiman
biasanya dijauhkan dari kawasan komersil dan industri demi kesehatan dan kenyamanan
lingkungan kawasan permukiman.
Akses perempuan ke lapangan pekerjaan terhambat dikarenakan menyulitkan
perempuan untuk memadukan pekerjaan dalam rumah (rumah tangga) dan pekerjaan luar
rumah. Terlebih lagi adanya penempatan kawasan permukiman di pinggiran kota yang
disebabkan terjadinya pertambahan penduduk. Sementara, pada kawasan periferi
transportasi umum sangat minim, sedangkan akses perempuan ke kendaraan pribadi juga
tidak semudah kaum laki-laki (Greed, 1994 dalam Hidayati, 2008).4 Hal ini juga
berakibat pada terbatasnya akses perempuan ke pekerjaan yang berujung pada
diskriminasi struktural aktivitas ekonomi.

1
Dalam upaya menghilangkan budaya ketidakadilan gender diberbagai aspek kehidupan, maka
diambil langkah atau strategi yang dikenal dengan istilah pengarusutamaan gender (gender
mainstreaming).
2
Cuthbert, Alexander R. 2006. The Form of Cities : Political Economy and Urban Design. e-book
Black Well Publishing. Hal.127
3
Isti Hidayati, 2008. Konsep Feminisme dalam Kawasan Wisata Belanja, Studi Kasus: Kawasan
Malioboro. Skripsi tidak diterbitkan, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas
Teknik, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
4
ibid

115
Pola persebaran fasilitas-fasilitas yang terkait dengan aktifitas perempuan selama
ini kurang dipertimbangkan dengan baik di dalam penataan ruang kota. Seperti tempat
penitipan anak, sekolah, dan lain-lain karena biasanya perempuan mengantarkan anaknya
ke tempat-tempat tersebut. Persepsi dan preferensi perempuan dalam hal ini perlu
dipertimbangkan secara matang.5

McDowell (1993) dalam Cuthbert (2006) menyatakan bahwa penelitian telah


menunjukkan bagaimana perempuan merasa, bahwa kebebasan mereka untuk
menggunakan ruang-ruang perkotaan bervariasi sepanjang hari, serta bagaimana
diferensial kontrol laki-laki atas ruang privat dan publik mempengaruhi perilaku
perempuan. Adanya perbedaan penggunaan ruang publik oleh laki-laki dan perempuan
yang menyebabkan perempuan termarginalisasi dalam pemanfaatan ruang. Hal ini juga
ditegaskan oleh M. Domosh dan J. Seager (2001)6:

“the public arena has been described as masculine since the 1500th century. During this
time, women’s access to the public were strictly limited and they where mostly banished
to the home. Although women slowly gained legal access to the public arena the
masculinesation of the public sphere and women’s connection to the home still continues
to be a major issue for feminist research” (arena publik telah digambarkan sebagai
maskulin sejak abad ke-1500. Selama masa ini, akses perempuan ke masyarakat dibatasi
secara ketat dan di tempat yang kebanyakan dibuang ke rumah. Meski wanita perlahan
mendapatkan akses legal ke arena publik, maskulinitas ranah publik dan hubungan wanita
dengan rumah masih terus menjadi isu utama bagi penelitian feminis)

Dapat disimpulkan ada tiga bentuk ketidaknyamanan yang dialami perempuan


karena adanya ketidakadilan gender dalam penyelenggaran tata ruang yaitu ancaman,
diskriminasi, dan marginalisasi.7 Penataan ruang diharapkan mewujudkan ruang yang
adil dan setara-gender. Setara dalam hal mengakses ruang, partisipasi perencanaan, dan
kontrol terhadap ruang dan adil dalam hal pemanfaatan ruang.8
Perbedaan persepsi, perilaku, dan kebutuhan perempuan dalam ruang juga perlu
diidentifikasi lebih lanjut untuk kemudian diakomodasikan dalam proses
perumusan rencana penataan ruang. Adanya perbedaan kebutuhan laki-laki dan
perempuan disadari tentunya juga berimplikasi pada perbedaan kebutuhan ruang dan
seharusnya perencanaan (ruang) kota dapat mengakomodasi adanya perbedaan tersebut. 9

2. Zonasi dalam Regulasi Tata Ruang

Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.10 Dimana struktur
ruang merupakan susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan
sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang
secara hierarkis memiliki hubungan fungsional11 dan pola ruang ialah distribusi

5
Cuthbert, Alexander R. 2006. The Form of Cities : Political Economy and Urban Design. E-book
Black Well Publishing.
6
Domosh, M. & Seager, J. 2001. Putting Women in Place: Feminist Geographers Make Sense of
the World dalam Ekstam, Helen (2007). A Feminist Perspective on Compact Living, sebuah
paper dalam Konferensi Internasional Sustainable Urban Areas, Rotterdam, 25 – 28 Juni
7
op.cit. Isti Hidayati
8
Buletin Tata Ruang (Butaru) Edisi I Tahun 2011. Retrived:http//www.tataruang.org pada 06
Oktober 2017
9
op. cit. Isti Hadayati
10
Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
11
ibid Pasal 1 angka (3)

116
peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi
lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan penataan ruang, peraturan zonasi
menjadi penting artinya terutama yang berkenaan dengan upaya pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang yang selama ini menyeimbangkan benturann antara
kepentingan publik dengan kepentingan pribadi. Dalam kondisi ini peraturan zonasi
menjadi penting artinya, karena peraturan zonasi ini dapat menjadi rujukan dalam
perizinan, penerapan insentif/disinsentif, penertiban ruang, menjadi jembatan dalam
penyusunan rencana tata ruang yang bersifat operasional, serta dapat menjadi panduan
teknis dalam pengembangan/pemanfaatan lahan.
Peraturan zonasi (zoning regulation) yang merupakan seperangkat aturan pada
skala blok yang umum digunakan di negara maju potensial untuk melengkapi rencana
detail tata ruang kota agar lebih operasional. Penggunaan peraturan zonasi dapat
dilakukan di negara-negara maju (Amerika Serikat dan Eropa Barat) dikarenakan pola
ruang wilayah administratif pada negara-negara tersebut didasarkan pada pola
pengembangan blok. Untuk penggunaannya di Indonesia, ternyata peraturan zonasi
tersebut memerlukan modifikasi tersendiri. Pengaturan ruang sangat rigit sehingga kurang
tepat pada kota yang dinamis dan sedang berkembang seperti di Indonesia.
Peraturan zonasi diharapkan menjamin bahwa pembangunan yang akan
dilaksanakan dapat mencapai standar kualitas lokal minimum (health, safety, and
welfare), melindungi atau menjamin agar pembangunan baru tidak mengganggu penghuni
atau pemanfaat ruang yang telah ada, memelihara nilai property,
memelihara/memantapkan lingkungan dan melestarikan kualitasnya dan
menyediakan aturan yang seragam di setiap zona.
Pada dasarnya zonasi dalam tata ruang kota masih menjadi alternatif, yang
menjadi harapan adalah penataan ruang dengan peraturan zoning dapat responsif gender.
Pemerintah dan pemerintah daerah sebagai penyelenggaraan penataan ruang tetap
menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.12 Penyusunan regulasi tata ruang yang responsif gender menjadi dasar dalam
menyelesaikan permasalahan di atas. Keberadaan peraturan perundang-undangan bukan
hanya dijadikan sebagai alat untuk menciptakan kesejahteraan, tetapi juga untuk
mewujudkan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat, baik laki-laki dan perempuan.
Dengan terwujudnya kesetaraan gender akan berdampak pada peningkatan kualitas
kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pembentukan peraturan perundang-undangan, serta teknis perumusan kebijakan
operasional atau turunannya harusnya mengacu pada Parameter Kesetaraan Gender
(2002). Perencanaan dan penataan ruang seringkali dilakukan tanpa pemahaman yang
benar tentang persepsi dan perilaku manusia pengguna ruang tersebut, maka di antara
persepsi dan perilaku yang selayaknya dipertimbangkan dalam perencanaan dan penataan
ruang adalah persepsi dan perilaku perempuan.
Pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 menegaskan bahwa dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas pengayoman,
kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan,
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum,
serta keseimbangan keserasian, dan keselarasan. Pada dasarnya materi muatan suatu
peraturan perundang-undangan tidak boleh mengandung atau mengakibatkan hal-hal
yang bersifat diskriminatif, ketidakadilan, ketidaksetaraan, termasuk ketidakadilan dan
ketidaksetaraan gender, serta berbagai hal yang tidak selaras dengan asas-asas materi
yang telah ditentukan dalam undang-undang tersebut. Jaminan mengenai kesetaraan
setiap warganegara Indonesia untuk mendapatkan pemenuhan hak konstitusional
sesungguhnya telah diatur dalam UUD 1945.

12
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: RadjaGrafindo Persada. 2006. Hal. 13

117
Ada 14 rumpun hak konstitusional tersebut, yaitu: 1) hak atas kewarganegaraan,
2) hak atas hidup, 3) hak untuk mengembangkan diri, 4) hak atas kemerdekaan pikiran
dan kebebasan memilih, 5) hak atas informasi, 6) hak atas kerja dan penghidupan yang
layak, 7) hak atas kepemilikan dan perumahan, 8) hak atas kesehatan dan lingkungan
sehat, 9) hak berkeluarga, 10) hak atas kepastian hukum dan keadilan, 11) hak bebas
dari ancaman, diskriminasi, dan ancaman kekerasan, 12) hak atas perlindungan, 13) hak
memperjuangkan hak, dan 14) hak atas pemerintahan. Masing-masing rumpun tersebut
diuraikan satu persatu hingga menjadi hak-hak konstitusional setiap warganegara. Oleh
karena itu, sebelum pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, sangat penting
terlebih dahulu untuk dilakukan kajian dan analisis mengenai latar belakang, tujuan,
sasaran, jangkauan arah pengaturan, dan konsepsi yang akan dibangun. Salah satu alat
analisis yang perlu dilakukan adalah bagaimana dampak suatu peraturan perundang-
undangan terhadap hak-hak konstitusional perempuan dan laki-laki, apakah pengaturan
telah responsif gender, dan tidak diskriminatif terhadap perempuan.
Parameter Kesetaraan Gender menentukan empat indikator kesetaraan gender
yang perlu diintegrasikan pada setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-
undangan,13 yaitu:
a) Akses; mempertimbangkan bagaimana agar perempuan dan laki-laki dapat
memperoleh kesempatan yang setara terhadap setiap sumber daya yang akan diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya: akses terhadap fasilitas kesehatan,
pengambilan keputusan pada saat akan melahirkan, akses terhadap informasi,
pendidikan, dan sumber daya ekonomi.
b) Partisipasi; terkait dengan partisipasi, perlu diperhatikan apakah peraturan perundang-
undangan memberikan kesempatan yang setara bagi perempuan dan laki-laki untuk
melaksanakan hak dan kewajibannya dalam setiap kebijakan dan program
pembangunan.
c) Kontrol; perlu dianalisis apakah norma hukum yang akan dirumuskan dalam
peraturan perundang-undangan memuat ketentuan yang setara berkenaan dengan relasi
antara laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban.
d) Manfaat; menganalisis apakah norma hukum dalam peraturan perundang-undangan
mampu menjamin suatu kebijakan dan program akan menghasilkan manfaat yang
setara bagi laki-laki dan perempuan.

Adapun tujuan penyusunan parameter kesetaraan gender dalam pembentukan peraturan


perundang-undangan, yaitu:
a. Sebagai acuan dan analisis melalui perspektif gender, untuk dapat melihat bagaimana
akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat pembangunan dapat dilakukan, dinikmati, dan
dimiliki oleh perempuan dan laki-laki;
b. Mengintegrasikan perspektif gender dalam proses peraturan perundang-undangan,
dimulai dari perencanaan/penyusunan naskah akademik, penyusuna dan
pembahasan peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan teknis
operasionalnya; dan
c. Sebagai acuan dalam melakukan pengkajian, pemantauan, dan evaluasi atas
perencanaan dan pelaksanaan, serta pelaporan implementasi suatu perundang-
undangan.

13
Dian Martiany. 2013. Info Singkat: Penggunaan Parameter Kesetaraan Gender dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data
dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Vol.V. No. 05/I/P3DI/Maret/2013

118
D. Penutup
Perencanaan tata ruang kota tidaklah netral dari gender. Ada pertanyaan
mendasar yang perlu ditekankan dalam menyusun regulasi tata ruang yag reponsif
gander, yaitu siapa yang seharusnya menjadi sasaran perhatian dari perencanaan kota,
apa perbedaan kebutuhan antara laki-laki dan perempuan dan apa target dari perencanaan
kota dan apa saja yang dapat mengindikasikan telah terjadinya kesamaan pemenuhan hak
antara laki-laki dan perempuan.

“I believe we will have better government when men and women discuss public issues
together and make their decisions on the basis of their differing areas of concern for the
welfare of their families and their world.“

(Eleanor Roosevelt : 1952)

Daftar Pustaka

Buletin Tata Ruang (Butaru) Edisi I Tahun 2011. Retrived:http//www.tataruang.org pada


tanggal 06 Oktober 2017
Cuthbert, Alexander R. 2006. The Form of Cities : Political Economy and Urban Design.
e-book Black Well Publishing.
Dian Martiany. 2013. Info Singkat: Penggunaan Parameter Kesetaraan Gender dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Pusat Pengkajian,
Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Vol.V. No.
05/I/P3DI/Maret/2013
Domosh, M. & Seager, J. 2001. Putting Women in Place: Feminist Geographers Make
Sense of the World dalam Ekstam, Helen (2007). A Feminist Perspective on
Compact Living, sebuah paper dalam Konferensi Internasional Sustainable Urban
Areas, Rotterdam, 25 – 28 Juni
Isti Hidayati, 2008. Konsep Feminisme dalam Kawasan Wisata Belanja, Studi Kasus:
Kawasan Malioboro. Skripsi tidak diterbitkan, Program Studi Perencanaan
Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: RadjaGrafindo Persada. 2006.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

119
Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan dan Anak (PKHPA)

Berbasis Kearifan Lokal

Farida Ariyani

1. Pengantar

Surat al hujarat ayat 13

‫اكلُعُي َٰ َم َك َمسَي لق َل َٰا ل َنن َ َأ ٍَق ََك َّْ َن َْمَ َكسَي لق َل َّاناي ُ سا ل‬
‫ين اَاُّ َيي َاي‬ ‫يََلُُ َٰلَ َئيبَّ َق ل‬
َ ‫َُّ َ َك‬ ‫َِّ ََّ َسنَ ا َ َق َك َْ لر َل َّا ان‬
‫اَمَكَي لق َل ا‬ ‫َِ َّا ان‬
‫َمَِّ َل ا‬
َ
‫ِك‬
َ َّ‫َْئ‬

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.(Qs.al-hujarat ;13)

Ibu… di tubuh mu ada Rahim ibu


Di jari mu …ada ibu jari
Di ucapan mu… ada bahasa ibu
Di hari mu… ada hari ibu
Di bumi … ada ibu pertiwi
Di telapak kaki mu… ada surga
Masihkah ada … air mata ibu
(Ida Bustam)

Kesetaraan dan keadilan gender merupakan salah satu upaya untuk menempatkan
perempuan supaya terhindar dari kelemahan sub ordinasi, marginalisasi dan stigmatisasi.
Perempuan dan anak merupakan sisi mata uang yang layak untuk di diskusikan.
Partisipasi perempuan yang berkualitas dan anak yang berkualitas dapat berperan aktif
menghapus ketimpangan antara laki-laki dan perempuan baik secara individu maupun
kelompok. Untuk itu, kearifan dalam melihat budaya lokal menjadi bermakna sebagai
pelengkap tatanan berkehidupan agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya
bertindak, berbuat, menentukan sikap, jika ia berhubungan dengan orang lain.

Kearifan lokal yang diwariskan generasi tua ke generasi muda, memiliki makna
dalam kehidupan. Setiap kelompok etnik memiliki identitas dasar yang ditentukan oleh

120
kadar budayanya (Barth.1988). identitas dasar terbagi atas, (1) nilai-nilai dasar yang
dimiliki sebagai standar moral, (2) tanda atau gejala yang membedakan dengan etnik lain
yakni bentuk budaya (pakaian, bahasa, bentuk rumah, dan gaya hidup).

Bertumpu pada istilah kesetaraan gender Indonesia, dapatlah dirumuskan


indikator-indikator dan capaian dalam meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak.
Perbedaan agama kepercayaan yang tumbuh di Indonesia, dapat ditoleransi melalui
piranti budaya yaitu bahasa daerah masing-masing untuk mendukung budaya nasional.
Proses pemahaman kesetaraan gender yang berawal dari negara lain, berproses dan dapat
berterima dengan tetap menunjukkan ciri Kesetaraan Gender Indonesia (KGI)

Proses tersebut dapat dicermati pada tulisan biografi Prof.(Emeritus) Dr. Saparinah Sadli
pada artikel yang ditulis oleh Didi Kuartanada.

2. Kesetaraan Gender Indonesia

Kesetaraan gender adalah kesamaan antara perempuan dan laki-laki memiliki


akses, kesempatan berpartisipasi, kontrol atas pembangunan dan memperoleh manfaat
yang setara dan adil dari kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
sesuai dengan amanat dalam UUD 1945. untuk mencapai KGI, terdapat beberapa
indikator berikut ini.

1. Akses, merupakan peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau


menggunakan sumber daya tertentu, seperti akses memperoleh beasiswa
melanjutkan pendidikan untuk anak didik perempuan dan laki-laki diberikan
secara adil.
2. Partisipasi, merupakan keikutsertaan seseorang atau kelompok dalam mengambil
keputusan. Dalam hal ini perempuan dan laki-laki akan menentukan apakah
memiliki peran yang sama dalam pengambilan keputusan di tempat yang sama
atau tidak.
3. Kontrol, merupakan kewewenangan atau kekuatan untuk mengambil keputusan.
Hal ini berkaitan dengan apakah pemegang jabatan tertentu sebagai pengambil
keputusan didominasi oleh gender tertentu atau tidak.
4. Manfaat, merupakan kegunaan keputusan yang dapat dinikmati secara optimal
bagi perempuan dan laki-laki.
Payung hukum Kesetaraan Gender Indonesia (KGI) meliputi antara lain:

(1) Intruksi presiden RI NO.9 Tahun 2000 Tentang Pengarus Utamaan Gender
(PUG);

121
(2) Peraturan Pemerintah No.08/2008, mengenai Tahapan, Tata cara, Penyusunan
pengandalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pambangunan;
(3) Permendagri No. 15 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan PUG di daerah;
(4) UU RI No. 32 Tahun 2004 Pemerintah daerah yang menugaskan bahwa
pemberdayaan perempuan menjadi urusan wajib daerah.

3. Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan dan Anak (PKHPA)

Kualitas hidup perempuan dan anak dapat dilihat dari beberapa indikator seperti
Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI), Kesehatan Reproduksi
Perempuan, Status Gizi Buruk Pada Anak, Partisipasi dan Representasi Perempuan di
bidang pendidikan dasar, SD, pendidikan tinggi, Angka Putus Sekolah dan Angka Buta
Huruf, dan Keterampilan Perempuan.

Capaian pembangunan di daerah dapat dicermati melalui peringkat Indeks


pembangunan manusia (HDI) meliputi; (1) Pendidikan berkaitan antara lain dengan usia
wajib belajar, pendidikan anak usia dini. (2) Kesehatan berkaitan dengan antara lain usia
harapan hidup (3) pendapatan berkaitan dengan standar Upah minimum Regional dan
Daya Beli. Upaya yang dapat dilakukan melalui strategi pengarus utamaan gender dengan
menyusun kebijakan, program, dan kegiatan di daerah secara terintegrasi dan
menyeluruh. Implementasi gerakan operasional Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan
dan Anak (PKHPA) ke dalam program pembangunan daerah, dengan memanfaatkan
budaya setempat. Pada jalur pendidikan, dapat mengintegrasikan substansi Peningkatan
Kualitas Hidup Perempuan dan Anak (PKHPA) dalam kurikulum pendidikan formal dan
non formal melalui bidang studi yang relevan. Nilai-nilai budaya daerah sangat
mendominasi dalam mencapai keberhasilan program Peningkatan Kualitas Hidup
Perempuan dan Anak (PKHPA). Keterkaitan antar bidang dalam program PKHPA dapat
dilihat pada gambar dibawah ini.

122
KETERKAITAN
PKHPA ANTAR BIDANG

PROGRAM

PENDIDIKAN

PROGRAM PROGRAM PROGRAM

PARTISIPASI KESEHATAN
SOSBUDLING
POLITIK

PROGRAM

EKONOMI

Gambar 1. PKHPA

4. Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat
dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal biasanya diwariskan secara
turun temurnun dari satu generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke mulut.
Kearifan lokal ada di dalam cerita rakyat, peribahasa, lagu, dan permainan rakyat.
Kearifan lokal sebagai suatu pengetahuan yang ditemukan oleh masyarakat lokal tertentu
melalui kumpulan pengalaman dalam mencoba dan diintegrasikan dengan pemahaman
terhadap budaya dan keadaan alam suatu tempat.

Pengertian kearifan lokal (local wisdom) dalam kamus terdiri dari dua
kata:kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols
dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan
kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan lokal) adalah gagasan-gagasan

123
setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,bernilai baik, yang tertanam dan
diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Kearifan lokal masyarakat Lampung dapat ditemukan pada prilaku tatanan daur
ulang kehidupan orang Lampung dari lahir sampai mati. Kearifan lokal tersebut secara
turun temurun masih berlaku walaupun tidak sama dengan masa lalu. Akan tetapi, secara
konten masih diberlakukan seperti pemberlakuan hukum adat (cepala). Misalnya tentang
perkawinan yang merupakan peristiwa sosial yaitu pengukuhan perpindahan status bujang
dan gadis menjadi orang yang berkeluarga dengan segala hak dan kewajibannya. Dahulu
secara tegas dengan perkawinan bujujur memberikan kepastian tentang kedudukan istri
sebagai pihak yang diambil. Pola ini mengindikasikan gadis tersebut hilang hak dan
kewajibannya sebagai seorang anggota kerabat asal (keluarga yang melahirkan dan
membesarkannya), artinya secara lahiriah dan batiniah gadis ini telah menjadi warga
kerabat laki-laki dan menggantikan fungsi dari ibu suaminya (Imron, 2005: Hal 4). Pada
masa sekarang, makna tersebut disikapi dengan perubahan yang ditandai dengan
mengabaikan sifat keindividuan keluarga menjadi kenetralan dalam keluarga dengan
tidak mengurangi prosesi upacara adat.

5. Implementasi Kesetaraan Gender Indonesia dalam Budaya Lampung

Lampung merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Penduduknya


sangat heterogen sehingga, Lampung memiliki multikultural kehadiran suku lain ( Jawa,
sunda, Bali, batak, Tionghoa, Madura, Dsb), tidak mengubah tatanan budaya suku
Lampung yang menganut dua jurai secara keadatan, yaitu jurai pepadun dan sai batin.

Orang Lampung Jurai Pepadun pada umumnya bermukim di sepanjang aliran sungai yang
bermuara di laut jawa, dan orang Lampung Jurai Sai Batin bermukim di pesisir pantai dan
disepanjang aliran sungai yang bermuara ke samudra Indonesia (Imron, Ali, 2005:1).
cermati syair berikut ini.

Jak Ujung Danau Ranau


Teliuh Mit Way Kanan
Sampai Pantai Laut Jaoh
Pesisir Rik Pepadun
Jadi sai Dilom Lambang
Lampung Sai Kayo Rayo

124
Lampung Sai……
Sai Bumi… Ruwa Jurai

Studi tentang Kekuatan Budaya Lampung dalam penerimaan masyarakat sudah


banyak dilakukan, baik dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Lampung di masa
lampau sudah banyak di deskripsikan. Pegawai pemerintah Belanda (Van Royen, 1930)
mengembangkan penelitian di bidang bahasa. Ungkapan Lampung Sai Kayo Rayo
merepresentasikan kejayaan Lampung dengan tanah ladanya. Keadaan tersebut memberi
harapan kepada masyarakat jawa sehingga mereka mengikuti program pemerintah yaitu
transmigrasi. Kesepakatan lain yang pernah penulis baca yaitu adanya perjanjian Babat
Tanah Banten yang berisi pengakuan bersaudara antara Lampung Banten.

Penelitian lain yang memfokuskan kepada fenomena sosial budaya pada


masyarakat Lampung dilakukan oleh Dr. Rina (2012: VIII) memberikan sumbangan
penting pada ilmu sosial budaya Lampung melalui kajian yang berjudul Canggot dalam
masyarakat Lampung: Perspektif Perempuan.

Canggot merupakan tarian adat dalam pesta. Canggot memiliki pasangan igol
yaitu tarian yang dipentaskan oleh anak laki-laki. Sebagaimana halnya canggot, igol juga
merupakan tarian ekspresi kejantanan seorang laki-laki Lampung. Sebagai ekspresinya
laki-laki mengungkapkan melalui igol ketika menduduki singgasananya dalam upacara
mepadun. Sedangkan canggot adalah saat seorang anak gadis atau wanita dewasa
menduduki singgasananya.

Berdasarkan kajian tersebut dapat digambarkan oposisi Binair yang


terdapatdidalam canggot dan mepadun. Cangget melegitimasikan perubahan kedudukan
pengantin wanita dari seorang gadis (Muli) menjadi kolompok bebai (wanita yang
bersuami), dan begawi cakak pepadun (upacara naik tahta adat) adalah bujang (meranai)
menjadi kelompok punggawo yaitu orang yang berhak memimpin keluarganya dan
memiliki hak suara di dalam kekerabatannya. Cangget adalah dunia perempuan
sedangkan mepadun adalah dunia laki-laki.

Tabel 1. Oposisi Binair

Bentuk pertunjukan Cangget Igol

125
Waktu pelaksanaan Malam hari Siang hari

Pelaku Perempuan Laki-laki

Sistem nilai Liyom (rasa malu) Pi-il (rasa harga diri)

Hukum adat Adat cepala (mengatur Kitab kuntara (hukum adat)


perilaku)

Legimitasi Cangget; berubahnya Mupadun: berubahnya


kedudukan perempuan dari kedudukan laki-laki dari
muli (gadis) ke be-bai-sebbai meranai (bujang) ke
(istri) punggawo (suami)

Kedudukan dalam Ngejuk (pemberi anak dara) Ngakuk (pengambil anak


perkawinan dara)

Kedudukan dalam sistem Tamu Tuan rumah


sosial

Kewajiban dalam Sesan (alat-alat rumah Jujur (uang, senjata)


perkawinan tangga)

6. Penutup

Perempuan dan anak merupakan bagian penerus generasi yang akan datang dalam
membangun sumber daya manusia yang merupakan bagian dari tujuan UUD 1945 untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itu, kearifan lokal perlu digali dan
dikembangkan khususnya oleh pemerintah. Semoga pokok-pokok pikiran ini berguna,
semata-mata beribadah kepada Allah SWT, aamiin.

Daftar Pustaka

A.S.Padmanugraha, ‘Common Sense Outlook on Local Wisdom and Identity: A


Contemporary Javanese Natives’ Experience’ Paper Presented in International
Conference on “Local Wisdom for Character Building”, (Yogyakarta: 2010), h.
12

Imron, Ali. 2005. Pola Perkawinan Sai Batin. Lampung. Universitas Lampung

Martiana, Rina. 2012. Nilai dan Norma Budaya Lampung: dalam Sudut Pandang
Strukturalisme. Yogyakarta. Badan Penerbit Isi Yogyakarta.

126
Marzali, Dr. Amri, MA. 2007. Metode Etnografi James P. Spradley. Yogyakarta. Tiara
Wacana Yogya.

https://kajiangender.wordpress.com/2011/10/11/saparinah-sadli-nation-builder-di-bidang-
gender-dan-pejuang-kemanusiaan/

http://tipsserbaserbi.blogspot.co.id/2016/10/pengertian-gender-kesetaraan-gender-dan-
istilah-terkait.html

127
Dimensi Politik Berbasis Kesetaraan Gender: Suatu Perspektif

Keadilan Substantif dalam Politik di Indonesia

1
Fatkhul Muin, 2Rully Syahrul Mucharom, 3Agus Prihartono PS
1,2,3
Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang-Banten
Email: fatkhulmuin@untirta.ac.id

Abstrak

Kajian ini menganalisis sudut pandang hak warga Negara untuk mendapatkan
kesetaraan gender dalam bidang politik dengan menggunakan pendekatan doktrinal.
Keberadaan politik sebagai bagian dari paradigma pembangunan Negara yang
berlandaskan kepada pola peran serta masyarakat secara aktif. Kesetaraan gender dalam
politik dan dipilih serta memilih merupakan hak konstitusional warga Negara baik laki-
laki dan perempuan. Selain itu berdasarkan pasal 3 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), bahwa negara-negara Peserta wajib
melakukan segala langkah-tindak yang diperlukan, khususnya dalam bidang politik,
sosial, ekonomi dan budaya, termasuk membuat peraturan perundang-undangan, untuk
memastikan perkembangan dan pemajuan perempuan sepenuhnya, dengan tujuan untuk
menjamin bagi mereka penerapan dan penikmatan hak-hak asasi dan kebebasan
fundamental atas dasar kesetaraan dengan laki-laki. Kesetraan gender dalam politik
diperlukan, sehingga keterwakilan antara laki-laki dan perempuan dapat memberikan
kontribusi posiitif bagi upaya untuk pemenuhan hak-hak sebagai warga Negara. Oleh
karena itu seperti pada peraturan perundang-undangan sebelumnya pada Pasal 2 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, bahwa Pendirian dan pembentukan
Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh persen)
keterwakilan perempuan. Dengan sistem keterwakilan dalam pembentukan partai politik,
maka akan meningkatkan partisipasi perempuan dalam pemilu aktif. Dengan berlakunya
Undang-Undang No.7 tahun 2017 Tentang Partai Politik yang menggantikan UU
sebelumnya, selain keterwakilan perempuan pada partai politik, berdasarkan pasal 10 ayat
7, bahwa Komposisi keanggotaan KPU, keanggotaan KPU provinsi, dan keanggotaan
KPU Kabupaten/Kota, keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen).
Dengan keseimbangan komposisi penyelenggaran pemilu, maka secara otomotis
kebijakan dalam penyelenggara pemilu berbasiskan kepada keadilan gender.

Kata Kunci: Politik, Keadilan dan Gender

128
1. Pendahuluan

Dinamika kehidupan bernegara tidak terlepas dari pembangunan nilai-nilai


demokrasi. Prinsip dasar yang harus dibangun adalah keseimbangan gender dalam
berdemokrasi, dimana partisipasi laki-laki dan perempuan diperlukan secara aktif.
Keterlibatan perempuan dalam politik dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan.
Salah satu indikatornya adalah tren peningkatan keterwakilan perempuan di legislative,
terutama sejak pemilihan umum (Pemilu) 1999 hingga Pemilu terakhir pada 2009. Pada
Pemilu 1999 (9%), Pemilu 2004 (11,8%), dan Pemilu 2009 (18%). Peningkatan
keterwakilan perempuan dalam politik, terutama dalam Pemilu, tersebut tidak terjadi
secara serta merta, namun karena perjuangan yang terus menerus untuk mewujudkan hak
setiap orang untuk mencapai persamaan dan keadilan. salah satunya adalah dengan
mewujudkan peraturan perundang-undangan yang memiliki keberpihakan dan afirmatif
terhadap peningkatan keterwakilan perempuan.1 Tetapi dalam pemilihan pada tahun 2014
mengalami penurunan keterwakilan perempuan di parlemen.
Eksistensi dalam proses politik di Indonesia, maka tidak terlepas dari partisipasi
aktif berbasiskan kepada ksestaraan gender.2 Indonesia telah lama mengesahkan Undang-
Undang No. 68 Tahun 1958 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan. Di
dalamnya, mengatur mengenai Perwujudan Kesamaan Kedudukan (non diskriminasi),
jaminan persamaan hak memilih dan dipilih, jaminan partisipasi dalam perumusan
kebijakan, kesempatan menempati posisi jabatan birokrasi, dan jaminan partisipasi dalam
organisasi sosial politik. Namun, peningkatan keterwakilan perempuan terjadi setelah
berlakunya perubahan UndaangUndang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yaitu pasal 28 H ayat (2 ) yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapatkan
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama
guna mencapai persamaan dan keadilan”. Ketentuan UUD 1945 tersebut menjadi
landasan yang kuat bagi semua golongan warga negara untuk bebas dari diskriminasi
sistematik dan struktural dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pada aspek politik.
Karena itu, UU paket politik yang digunakan sebagai landasan pelaksanaan Pemilu 2004
maupun Pemilu 2009 mengakomodasi norma-norma hukum yang bertujuan untuk

1
Ignatius Mulyono, Strategi Meningkatkan Keterwakilan Perempuan, Makalah disampaikan
dalam Diskusi Panel RUU PemiluPeluang untuk Keterwakilan Perempuan, Dep. Pemberdayaan
Perempuan & Perlindungan Anak DPP Partai Demokrat di Hotel Crown, Jakarta, 2 Februari 2010,
dikases melalui
http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/makalah_STRATEGI_MENINGKATKAN_KETERWAK
ILAN_PEREMPUAN__Oleh-_Ignatius_Mulyono.pdf. Pada tanggal 12 September 2017.
2
Perbedaan gender (gender differences) ini tidak menjadi masalah krusial jika tidak melahirkan
struktur ketidakadilan gender (gender inequalities). Akan tetapi pada kenyataannya, perbedaan
gender justru melahirkan struktur ketidakadilan dalam berbagai bentuk: dominasi, marginalisasi
dan diskriminasi, yang secara ontologis merupakan modus utama kekerasan terhadap kaum
perempuan. Lihat Fadlan, (2011), Islâm, Feminisme, Dan Konsep Kesetaraan Gender Dalam Al-
Qur’ân, KARSA, Vol. 19 No. 2, hlm. 108

129
meningkatkan keterwakilan perempuan di legislatif.3 Dengan pengaturan tersebut, baik
pendirian partai politik dan keterwakilan perempuan di parlemen dapat meningkat.
Sistem politik Indonesia yang mulai berkembang dan mendasarkan kepada
kesetaraan gender dengan memberikan syarat bagi pendirian partai politik dengan
menempatkan perempuan sebagai pengurus partai politik pada tingkat pusat sampai
daerah, maka menunjukan bahawa kesadaran politik bangsa Indonesia berlandaskan
kepada nilai-nilai dasar kesetaraan gender, sehingga dengan adanya kesetaraan gender
maka akan mendorong partisipasi aktif perempuan dan sistem keterwakilan yang
seimbang baik laki-laki dan perempuan. Tetapi di aspek lain, kesadaran terhadap
keterlibatan aktif perempuan terhadap politik masih kurang, oleh karena itu di perlukan
adanya pendidikan politik dengan berbasiskan pemahaman kesetaraan gender.

2. Pembahasan
2.1 Politik dalam Dimensi Kesetaraan Gender di Indonesia
Paradigma dalam keadilan gender berlandaskan kepada sistem yang dibangun
oleh satu Negara melalui regulasi. Langkan yang dapat dilakukan pada tahap awal adalah
dengan memberikan pendidikan politik untuk mencapai kesadaran politik berbasiskan
keadilan gender. Dialektika politik tidak terlepas dari partisipasi seluruh elemen
masyarakat. Besarnya keterlibatan perempuan dalam pemilu dapat dipengaruhi oleh
kebijakan dan program yang disusun oleh penyelenggara pemilu. Dengan pola kebijakan
yang dibangun dalam proses pemilu yang berbasiskan kepada keadilan gender terutama
oleh penyelenggara pemilu, maka akan meningkatkan partisipasi aktif peserta pemilu dan
keterwakilan yang seimbang.
Sampai saat ini, perempuan di berbagai Negara masih menjadi “second class
citizens” ketika berbicara kiprahnya di ranah politik. Kondisi tersubordinasi oleh kaum
laki-laki masih menjadi fenomena lumrah di berbagai belahan dunia. Berbagai upaya
sebetulnya telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik di level internasional maupun
nasional di masingmasing Negara. Secara internasional, Konvensi PBB – Convention on
Political Rights for Women dan Convention on the Elimination of all Forms of
Discrimination Against Women (CEDAW) – diadopsi sejak tahun 1952 dan 1979.
Konvensi Hak-hak Politik Kaum Perempuan menetapkan standar internasional untuk hak-
hak politik kaum perempuan.4
perempuan. Sementara CEDAW menjadi dasar untuk mewujudkan kesetaraan
antara kaum perempuan dan laki-laki dengan memberikan jaminan kesetaraan akses dan
kesempatan dalam kehidupan politik dan aktivitas publik lainnya, termasuk hak untuk
memberikan suara dan mengikuti pemilihan umum. Upaya lainnya adalah Beijing
Declaration and Platform for Action pada tahun 1995 yang merupakan kerangka

3
Ignatius Mulyono, Ibid.,
4
Mudiyati Rahmatunnisa, (2016), Affirmative Action Dan Penguatan Partisipasi Politik Kaum
Perempuan Di Indonesia, Jurnal Wacana Politik, Vol. 1, No. 2, hlm. 90.

130
kebijakan global yang komprehensif untuk mencapai kesetaraan gender dan
pemberdayaan kaum perempuan.
Perwakilan terpilih dari berbagai provinsi di DPR RI dan DPD RI, sepertinya ada
inkonsistensi dalam hal perilaku para pemilih yang perlu penjelasan lebih jauh.5 Hal ini
dapat terlihat dari penurunan keterwakilan perempuan di parlemen. Selain itu, seperti
perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat tingkat Daerah (DPRD) juga tidak terwakili
dengan baik. Data yang dihimpun dari 33 provinsi menunjukkan bahwa secara
keseluruhan hanya 13,53 persen perempuan terwakili di DPRD tingkat Provinsi. Sekali
lagi, ada variasi yang besar dalam hal keterwakilan perempuan di antara provinsi-provinsi
tersebut. Dari data sampel, jumlah tertinggi perwakilan perempuan ada di provinsi Jawa
Barat (26 persen) dan yang terendah adalah dari provinsi Sulawesi Tenggara (4,44
persen) serta Nangroe Aceh Darussalam (5,80 persen). Keterwakilan perempuan berada
pada posisi terendah di tingkat kabupaten/kota. Data yang dihimpun dari 29 dari total 491
kabupaten/kota (DPRD Kabupaten/Kota) menunjukkan bahwa ratarata hanya 10 persen
perempuan terwakili di pemerintah kabupaten.6 Dengan kondisi menurunnya
keterwakilan perempuan dan pada pemilu 2014, maka menunjukan bahwa kesadaran
terhadap politik berbasiskan kepada kesetaraan gender belum berkembang dalam
pemahaman masyarakat pada umumnya.
Keterwakilan yang berbasis kesetaraan gender dalam sistem politik baik pada
tingkat nasional dan pada tingkat local, maka telah membangun paradigma politik yang
berorientasi kepada nilai-nilai keadilan, dimana regulasi yang mengatur tentang sistem
pemilu dan partai politik mengisyaratkan sistem keterwakilan gender. Oleh karena itu,
dalam upaya untuk menyelenggarakan sistem pemilu, maka yang paling utama untuk
memberikan contoh konkrit, maka penyelenggara pemilu pun harus berbasiskan kepada
sistem keadilan gender seperti yang tertuang saat ini pada pasal 10 ayat 7 UU No. 7
Tahun 2017 Tentang Parpol, dimana komposisi penyelenggara pemilu yaitu KPU 30%
diisi oleh perempuan. Dengan komposisi yang disiyaratkan oleh UU, maka seharusnya
mendorong terjadinya kesetaraan gender dalam sistem pemilu dan membangun kesadaran
masyarakat akan nilai-nilai kesetaraan gender.

2.2 Mambangun Budaya Politik Berbasis Keadila Gender


Indonesia yang wilayahnya sangat luas, merupakan sebuah negara besar yang
dihuni oleh penduduk dalam jumlah yang besar pula, yakni lebih dari 260 juta jiwa.
Penduduk di wilayah tersebut terdiri atas sejumlah kelompok masyarakat yang tinggal
menyebar di berbagai pulau yang membentang dari ujung barat hingga ke ujung timur.
Kelompok-kelompok masyarakat tersebut memiliki latar belakang budaya yang berbeda
satu sama lainnya, dan perbedaan tersebut dapat memberikan gambaran jati diri yang
khas bagi setiap kelompok masyarakat yang memilikinya. Sudah tentu beragamnya

5
Farzana Bari, Perempuan di Ranah Politik, Pusat Dokumentasi Elsam, diakses melalui
http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/12/Perempuan-di-Ranah-Politik.pdf. Pada
tanggal 14 September 2017.
6
Farzana Bari, Ibid.,

131
kelompok masyarakat berikut karakteristik budaya yang mereka miliki mewarnai
kehidupan berbangsa dan bernegara.7 Dengan berbagai budaya yang ada di Indonesia
sebagai wujud dari Negara yang multikulturalis, tetapi kultur yang perlu di bangun dan
dijaga merupakan kultur yang memberikan rasa keadilan terutama yang sering terjadi
adalah marginalisasi dalam bentuk gender.
Dalam aspek budaya, maka budaya politik merupakan aspek yang sangat
siginifikan dalam sistem politik.Hal ini dikarenakan bekerjanya struktur dan fungsi politik
dalam suatu sistem politik sangat ditentukan oleh budaya politik yang melingkupinya.8
Gabriel Almond dan Sidney Verba (1963) mengklasifikasikan tipe-tipe kebudayaan
politik : (1) Budaya politik parokial (parochial political culture) yang ditandai dengan
tingkat partisipasi politik masyarakat yang sangat rendah. Hal ini disebabkan faktor
kognitif, misalnya tingkat pendidikan masyarakat yang rendah; (2) Budaya politik subyek
(subject political culture) di mana anggota-anggota masyarakatnya memiliki minat,
perhatian, mungkin pula kesadaran terhadap sistem secara keseluruhan, terutama terhadap
output-nya, namun perhatian atas aspek input serta kesadarannya sebagai aktor politik,
boleh dikatakan nol; dan (3) Budaya politik partisipan (participant political culture) yang
ditandai oleh adanya perilaku bahwa seseorang menganggap dirinya ataupun orang lain
sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik sehingga menyadari setiap hak dan
tanggungjawabnya (kewajibannya) dan dapat pula merealisasi dan mempergunakan hak
serta menanggung kewajibannya.9 Budaya politik pun perlu dibangun berdaarkan kepada
pembangunan budaya politik berbasiskan kesetaraan gender.
Dalam banyak kasus, perempuan memang paling banyak mengalami problema
dalam kasak-kusuk politik atau ekonomi, atau dalam lingkungan yang lebih sempit,
rumah tangga. Masalah ini seolah sudah menjadi aksioma yang tidak lagi memerlukan
pembuktian. Dengan kata lain, perempuan, sebagaimana halnya dengan anak-anak dan
kelompok lanjut usia (Lansia), lebih rentan terhadap terjadinya gejolak yang memproduk
ketidakstabilan pada ranah publik. Itulah sebabnya, pledoi-pledoi yang diajukan oleh
kaum aktivis atau para pembela kaum ini sering pula diberi label “pembebasan” atau
“pemberdayaan”. Maka, lahirlah istilah pemberdayaan perempuan sebagai antiklimaks
dari gagasan pemberdayaan masyarakat (people empowerment).10 Oleh karena itu,
diperlukan adanya pemahaman dan pendidikan politik dan hak-haknya perempuan,

7
Munadi, BUDAYA POLITIK MASYARAKAT SAMIN (SEDULURSIKEP) (Studi Kasus di Dukuh
Mbombong Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah), dikases
melalui http://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/download/6070/5178. Pada tanggal 17
September 2017.
8
Winarno, (2007), Sistem Politik Indonesia Era Reformasi.Yogyakarta: MedPress. hlm 65, dalam
Budi Mulyawan, (2015), Budaya Politik Masyarakat Indonesia Dalam Perspektif Pembangunan
Politik, JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2, hlm. 1.
9
Budi Mulyawan, Ibid., hlm. 2.
10
Murniati Ruslan, (2010), Pemberdayaan Perempuan Dalam Dimensi Pembangunan Berbasis
Gender, Jurnal Musawa, Vol. 2, No. 1, hlm 79.

132
sehingga tidak ada lagi marjinalisasi dalam gender.11 Hal ini yang memperkuat partisipasi
politik aktif berbasis kesetaraan gender.
Kehadiran sosok perempuan dalam panggung kontestasi politik Indonesia, baik
pada pemilihan umum (pemilu) nasional maupun pemilihan umum kepala daerah
(pemilukada) di daerah-daerah, kian tampak nyata. Kehadiran sosok perempuan itu tak
bisa disangkal dan dipungkiri telah ikut meramaikan dan mewarnai dinamika politik. Di
daerah-daerah di mana pemilukada berlangsung sejumlah nama dan gambar tokoh
perempuan muncul terpampang di ruang-ruang publik: disosialisasikan! Mereka
menawarkan diri dan/atau ditawarkan sebagai alternatif pemimpin pemerintahan,
berusaha memberi dan menumbuhkan harapan, dan tidak jarang memancing serta
menjadi bahan perbincangan di berbagai kalangan. Di antara sosok-sosok yang tampil ada
yang sekadar meramaikan sampai pada tahapan nominasi, ada yang berhasil lanjut ke
tahap kandidasi, bahkan ada yang telah berhasil memenangi kontestasi. Kehadiran
sejumlah sosok perempuan dalam kontestasi politik di daerah-daerah dapat dikatakan
sebagai fenomena baru, seiring dengan arus demokratisasi yang kian menguat hingga ke
daerah-daerah. Boleh jadi fenomena ini merupakan kecenderungan yang akan terus
menguat, sebagai buah dari terus menguatnya gerakan dan tuntutan, serta meluasnya
kesadaran tentang kesetaraan gender. Ruang dan jabatan politik kian terbuka, tidak boleh
lagi ditutup-tutupi, tidak boleh lagi diperuntukkan eksklusif bagi laki-laki, dan tidak boleh
ditabukan bagi perempuan.Perempuan berhak dan berpotensi memberikan kontribusi di
arena politik.12
Namun demikian, tetap saja fenomena makin banyaknya sosok perempuan dalam
kontestasi politik di daerah telah memancing diskusi, perdebatan, dan tak jarang masih
menyisakan keraguan, khususnya yang terkait dengan kapasitas kontributif perempuan
dalam memajukan demokrasi, mengendalikan dinamika politik, dan mempercepat

11
Satu-satunya cara yang rasional untuk membebaskan mereka dari kenestapaan itu adalah
memberdayakan perempuan-perempuan tadi, tidak saja dari kemiskinan, tetapi juga dari
kebodohan, dan keterbelakangan yang merupakan sejumlah faktor menghambat mereka dalam
mengembangkan diri. Membebaskan perempuan Indonesia dari problema tersebut merupakan
suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena sesungguhnya, pemberdayaan
perempuan adalah suatu proses yang memungkinkan setiap perempuan Indonesia mampu
memenuhi pilihannya sendiri secara bijaksana. Dengan demikian, pemberdayaan perempuan
haruslah diterjemahkan sebagai upaya memperbaiki fungsi dan kemampuan kaum perempuan
sebagai mitra sejajar kaum laki-laki. Hanya dengan begitu, proses pembangunan yang
dilaksanakan dapat berlangsung secara seimbang karena di dalamnya tercakup pula elemen
pemberdayaan kelompok yang selama ini dinilai paling lemah, yakni perempuan. Dari uraian di
atas tampak bahwa cara atau strategi yang paling rasional untuk membebaskan kaum perempuan
dari kungkungan kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan adalah memberdayakan mereka,
baik dari dimensi ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Lihat juga Murniati
Ruslan, Ibid., hlm. 80.
12
Hj. Nurul Azizah, (2014), Perempuan Pemenang Pemilukada Studi Perspektif Gender Dan
Meluruhnya Budaya Patriarkidi Propinsi Jawa Timur, Jurnal Marwah, Vol. XIII No. 2, hlm. 154.

133
peningkatan kesejahteraan rakyat. Tampilnya sosok politisi perempuan baik dalam politik
lokal maupun kontestasi pemilukada di Indonesia ini bukanlah fenomena yang
unik.Seperti diutarakan oleh Manuell Castells dalam The Power of Identity bahwa
transformasi politik dunia menjelang abad ke-21 salah satunya ditandai oleh fenomena
runtuhnya tatanan patriarki (the end of patriarchy) di berbagai belahan dunia.13
Pada awal-awal reformasi, lembaga-lembaga non pemerintah yang focus dalam
pemilu dan kesetaraan gender, seperti Centre for Electoral Reform (CETRO), Kaukus
Perempuan Politik Indonesia (KPPI) dan Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia
memberikan beberapa catatan kritis tentang peranan perempuan Indonesia dalam politik
formal 1999-2001:14
1. Belum adanya jumlah perempuan yang signifikan baik di yang duduk sebagai
pengurus partai politik maupun yang berada dalam DPR.
2. Politik adalah saluran terpenting yang menjadi penghubung rakyat dan negara, dan
DPR adalah lembaga legislatif yang menentukan arah kebijakan negara. Sehingga
aspirasi lebih dari 50% rakyat Indonesia yang nota bene adalah perempuan tidak
tercermin dalam setiap proses pengambilan keputusan penting dalam kehidupan
bernegara.
3. Partai politik, pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat sangat didominasi oleh
laki-laki, sehingga nilai, kepentingan, aspirasi, serta prioritas mereka menentukan
agenda politik dan terlalu mendominasi proses politik saat ini. Padahal perempuan
memiliki nilai, kepentingan, kebutuhan dan aspirasi yang berbeda dengan laki-laki.
Dan perbedaan ini sangat penting untuk dapat terwakili dalam lembaga politik, untuk
memberikan perubahan terhadap proses politik ke arah yang lebih demokratis.
4. Pemilu yang dianggap demokratispun belum cukup untuk meningkatkan keterwakilan
perempuan di parlemen. Sebuah mekanisme yang strategis dan transparan perlu
diterapkan untuk membuka kesempatan bagi perempuan agar dapat memasuki arena
politik formal secara lebih leluasa.
Oleh karena itu, tidak dapat dilepaskan bahwa dalam bidang politik, maka tidak
terlepas bahwa pada dasarnya perjuangan gender ingin melakukan dekonstruksi terhadap
ideologi gender,15 sehingga dapat dikembangkan kesadaran akan kesetaraan gender
dalam masyarakat.16 Dengan kesadaran yang ada pada masyarakat, maka akan

13
Castells, Manuell. (1997), The Power of Identity, London and New York: Blackwell Publishing.
Hal.134-138, dalam Hj. Nurul Azizah, Ibid., hlm. 154.
14
Nirmala Afrianti Sahi, Studi Partisipasi Politik Perempuan Kabupaten Gorontalo, dikses
melalui https://media.neliti.com/media/publications/98558-ID-studi-partisipasi-politik-perempuan-
kabu.pdf. Pada tanggal 12 September 2017.
15
Fakih, M. (1996). Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, dalam
Naomi Srie Kusumastutie dan Faturochman, (2004), Analisis Gender Pada Iklan Televisi Dengan
Metode Semiotika, Jurnal Psikologi, No. 2, 130-141.
16
Secara khusus, penerapan kebijakan affirmative action juga menunjukkan capaian yang
beragam. Meski di beberapa Negara telah berkonsekuensi pada hasil-hasil yang positif dalam
penguatan partisipasi politik kaum perempuan, di sebagian lainnya, justru belum menunjukkan

134
mendorong budaya politik yang berbasiskan kepada kesadaran terhadap kesetaraan
gender dalam masyarakat.

3. Kesimpulan

Kesetaraan gender dalam politik merupakan paradigma yang berkembang cukup


lama, terutama disaat konvensi internasional CEDAW yang diratifikasi seluruh Negara-
negara di belahan dunia. Di Indonesia perkembangan kesetaraan gender dalam bidang
politik mulai berkembang disaat mengisyaratkan keterwakilan perempuan pada partai
politik mencapai 30% dan bertujuan agar keterwakilan perempuan di parlemen
meningkat. Melalui UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Partai politik, maka saat ini, selain
keterwakilan perempuan di partai politik, komposisi perempuan pada penyelenggara
pemilu yaitu Komisi Pemilihan Uumum, berdasarkan pasal 10 ayat 7 UU No. 7 Tahun
2017, harus terdapat keterwakilam perempuan 30%. Dengan adanya ketentuan tersebut,
maka hal tersebut sebagai upaya untuk membangun sistem kesetaraan gender dalam
sistem pemilu di Indonesia dengan menentukan kesetaraan gender muali dari
penyelenggara pemilu sampai dengan partai politik sehingga menghasilakan keterwakilan
yang sesungguhnya pada parlemen dan pemerintahan serta ikut serta dalam pengambilan
kebijakan baik pada tingkat nasional atau pada tingkat lokal.

Refrensi

Budi Mulyawan, (2015), Budaya Politik Masyarakat Indonesia Dalam Perspektif


Pembangunan Politik, Jurnal Aspirasi, Vol. 5 No.2.
Murniati Ruslan, (2010), Pemberdayaan Perempuan Dalam Dimensi Pembangunan
Berbasis Gender, Musawa, Vol. 2, No. 1.
Fadlan, (2011), Islâm, Feminisme, Dan Konsep Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur’ân,
KARSA, Vol. 19 No. 2.
Farzana Bari, Perempuan di Ranah Politik, Pusat Dokumentasi Elsam, diakses melalui
http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/12/Perempuan-di-Ranah-
Politik.pdf. Pada tanggal 14 September 2017.
Ignatius Mulyono, (2010), Strategi Meningkatkan Keterwakilan Perempuan, Makalah
disampaikan dalam Diskusi Panel RUU Pemilu Peluang untuk Keterwakilan
Perempuan, Dep. Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak DPP Partai
Demokrat di Hotel Crown, Jakarta, 2 Februari, dikases melalui
http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/makalah_STRATEGI_MENINGKATK

pengaruhnya yang positif. Kasus Negara Ukraina misalnya, berbagai kebijakan dan aktivitas untuk
mempromosikan kesetaraan gender belum secara substantive memperbaiki kualitas maupun
kuantitas partisipasi politik kaum perempuan dalam ranah politik dan proses pengambilan
keputusan. Lihat Mudiyati Rahmatunnisa, Op. Cit., hlm. 90, dan Naomi Srie Kusumastutie dan
Faturochman, Ibid., hlm. 132.

135
AN_KETERWAKILAN_PEREMPUAN__Oleh-_Ignatius_Mulyono.pdf. Pada
tanggal 12 September 2017.
Hj. Nurul Azizah, (2014), Perempuan Pemenang Pemilukada Studi Perspektif Gender
Dan Meluruhnya Budaya Patriarkidi Propinsi Jawa Timur, Jurnal Marwah,
Vol. XIII No. 2 Desember.
Munadi, BUDAYA POLITIK MASYARAKAT SAMIN (SEDULURSIKEP) (Studi Kasus di
Dukuh Mbombong Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati
Provinsi Jawa Tengah), dikases melalui
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/download/6070/5178. Pada
tanggal 17 September 2017.
Mudiyati Rahmatunnisa, (2016), Affirmative Action Dan Penguatan Partisipasi Politik
Kaum Perempuan Di Indonesia, Jurnal Wacana Politik, Vol. 1, No. 2.
Nirmala Afrianti Sahi, Studi Partisipasi Politik Perempuan Kabupaten Gorontalo, dikses
melalui https://media.neliti.com/media/publications/98558-ID-studi-partisipasi-
politik-perempuan-kabu.pdf. Pada tanggal 12 September 2017.
Naomi Srie Kusumastutie dan Faturochman, (2004), Analisis Gender Pada Iklan Televisi
Dengan Metode Semiotika, JURNAL PSIKOLOGI, NO. 2.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 7 Tahun Tahun 2017 Tentang Partai Politik.

136
Perjanjian Perkawinan:

Perspektif Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah

FX. Sumarja
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung, fxsmj.unila@gmail.com

Abstrak

Sampai dengan akhir tahun 2016, seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang
melakukan perkawinan campuran (WNI menikah dengan Warga Negara Asing/WNA),
meskipun statusnya tetap sebagai WNI kehilangan kesempatan mendapatkan hak milik
atas tanah, jika sebelum melakukan pernikahan tidak membuat perjanjian perkawinan
pemisahan harta. Berbeda dengan masa sekarang, WNI yang telah melakukan perkawinan
campuran, namun sebelumnya tidak membuat perjanjian perkawinan pemisahan harta,
terbuka kesempatan mendapatkan hak milik atas tanah, dengan cara membuat perjanjian
perkawinan pemisahan harta dalam bentuk akta notaris dan melakukan pencatatan
laporan perjanjian perkawinan kepada instansi catatan sipil. Perjanjian perkawinan dapat
dilakukan sebelum, pada saat atau selama perkawinan berlangsung.

Kata kunci: Perjanjian perkawinan, perkawinan campuran, hak milik atas tanah

1. Pendahuluan

Desain hukum yang dapat dilaksanakan sesuai dengan fungsinya, misalnya dalam
bidang hukum pertanahan yang menjunjung tinggi asas nasionalitas harus sejalan dengan
nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
(UDNRI 1945). Mendesain hukum yang dapat memberikan perlindungan terhadap hak-
hak atas tanah WNI dari eksploitasi asing diperlukan sikap kritis serta kesediaan
berpikir terbuka. Mendesian hukum yang demikian, menuntut pemikiran berbasis
pendekatan holistik dengan pertimbangan bahwa hukum tidak dapat dilepaskan
dengan ekonomi, politik, sosial dan budaya, sehingga langkah-langkah yang kritis dan
positif perlu dilakukan. Mengingat bahwa undang-undang itu belum berhasil mengatur

137
segalanya secara tuntas,1 peraturan-peraturan hukum sifatnya tidak lengkap dan tidak
mungkin lengkap. Demikian dikemukakan Scholten bahwa tidak mungkin undang-
undang mengatur segalanya secara tuntas.2
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menganut
prinsip nasionalitas yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (1) UUPA, bahwa hanya
warganegara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan hukum yang sepenuhnya
dengan bumi, air dan ruang angkasa. Pasal 9 ayat (2) UUPA, bahwa tiap-tiap
warganegara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama
untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya,
baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Pasal 9 UUPA tidak mempersoalkan warga negara Indonesia asli, warga negara
Indonesia keturunan, ataukah warga negara Indonesia naturalisasi. Demikian juga
ketentuan tersebut tidak membedakan WNI atas dasar agama ataupun suku. Hak atas
tanah yang dapat diperoleh WNI adalah semua hak atas tanah yang meliputi Hak Milik
(HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP), atau
Hak sewa untuk Bangunan. Manfaat dan hasil yang diperoleh dari hak atas tanah tidak
hanya dirasakan oleh dirinya sendiri, akan tetapi juga oleh keluarganya.
Praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara terdapat WNI yang
melakukan perkawinan campuran,3 meskipun tetap tinggal di Indonesia dan menjadi
WNI yang baik merasa diperlakukan berbeda dengan WNI yang lainnya. Perlakuan
berbeda itu adalah bahwa mereka tidak dapat memiliki hak milik atas tanah. Mereka
merasa mendapatkan penghalang karena adanya ketentuan Pasal 21 UUPA.
Pasal 21 UUPA mengatur diantaranya bahwa: a) hanya warga-negara Indonesia dapat
mempunyai hak milik; b) orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini
memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena

1
Satjipto Rahardjo, “Penafsiran Hukum yang Progresif” dalam Bahan Bacaan Untuk
Mahasiswa Program Doktor Hukum Universitas Diponegoro, 31 bahan bacaan Januari 2005
s.d. Agustus 2008.

2
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Yogyakarta: Liberty,
1991, hlm. 104

3
Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewearganegaraan Indonesia (Pasal 57 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), lihat juga
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut: Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 2007, hlm 13.; berbeda dengan peraturan tentang
Perkawinan Campuran menurut Regeling op de Gemengde Huweliijken, S. 1898 No. 158 (G.H.R),
yaitu: perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang
berlainan. Perkawinan campuran dalam G.H.R, tidak sebatas antara WNI dengan WNA, namun
antara orang beragama satu dengan beragama yang lain, juga antara orang-orang golongan satu
dengan golongan yang lain., liha juga K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1980, hlm 45.

138
perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan
setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib
melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut
atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak
milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada
Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung. Pasal ini menegaskan, bahwa hak milik atas tanah tidak dapat dimiliki oleh
warga negara Indonesia yang menikah dengan WNA, karena adanya percampuran harta
perkawinan.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahannya adalah benarkah terjadi kontradiksi antara
ketentuan Pasal 9 dan Pasal 21 UUPA? Apakah Pasal 21 UUPA sungguh menjadi
penghalang bagi WNI yang melakukan perkawinan campuran untuk memiliki tanah hak
milik? Pada satu sisi ada jaminan bahwa setiap laki-laki dan perempuan WNI
mempunyai hak yang sama memperoleh tanah hak milik. Pada sisi lain WNI yang nikah
dengan WNA tidak boleh memperoleh tanah hak milik. Persoalan inilah yang kemudian
mendorong adanya uji materi Pasal 21 ayat (1) dan (3) UUPA dan Pasal 29 UU No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).

2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif


adalah kajian hukum sebagai suatu sistem peraturan-peraturan yang abstrak, termasuk
asas-asasnya. Peraturan hukum diposisikan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri terlepas
dari hal-hal di luar peraturan-peraturan tersebut.4
Materi dan bahan hukum mencakup peraturan-peraturan, buku-buku dan jurnal yang
terkait dengan kepemilikan tanah hak milik oleh WNI yang melakukan perkawinan
campur. Peraturan-peraturanya, yaitu: UUPA, UU Perkawinan, Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang No 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, dan Surat Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kementerian Dalam Negeri No. 472.2/5876/Dukcapil tentang Pencatatan Pelaporan
Perjanjian Perkawinan.
Pengumpulan dan pengolahan data dilakukan dengan cara membaca dan mengutip
bagian demi bagian yang menjadi objek kajian. Kemudian data yang terkumpul
dilakukan klasifikasi dan sistematisasi.
Data yang telah tersistemastisasi dianalisis menggunakan analisis rechtmatig-heidsdaad
toosing.

4
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, cet. Ke-6, Bandung: Citra Adhitya Bahkti, 2006, hlm. 6.

139
3. Pembahasan

Berdasarkan ajaran hukum positivis, untuk mendapatkan kepastian hukum dalam


membuat peraturan hukum harus mendasarkan pada delapan asas menurut Fuller5, yaitu:
1) Sistem hukum berupa peraturan-peraturan, dan bukan putusan-putusan sesaat yang
dibuat oleh penguasa; 2) Peraturan diumumkan pada publik; 3) Tidak berlaku surut; 4)
Dibuat dalam rumusan yang dimengerti umum, jelas, dan tidak multi tafsir; 5) Tidak
boleh memuat norma yang saling bertentangan; 6) Tidak boleh menuntut suatu melebihi
yang bisa dilakukan; 7) Tidak boleh sering berubah; dan 8) Harus sesuai antara aturan
dan pelaksanaannya.

Mengacu pada pendapat Fuller yang disunting oleh Satjipto Rahardjo tersebut, sudah
seharusnya dalam menyusun peraturan perundang-undangan, termasuk UUPA tidak
diperkenankan adanya pertentangan norma di dalamnya. Seperti yang dikemukakan
dalam permasalahan tulisan ini, apakah memang norma hukum yang termuat dalam
Pasal 9 dan 21 UUPA sungguh bertentangan. Untuk menjawabnya perlu dikaji substansi
pasa-pasal tersebut.

Pasal 9 dan 21 UUPA yang menegaskan prinsip nasionalitas atau kebangsaan6 tidak
mempersoalkan asal-usul WNI, namun yang dipersoalkan adalah bahwa WNI tersebut
memiliki harta yang bercampur dengan harta WNA, terutama Pasal 21 ayat (3) UUPA.
Harta yang ada unsur asingnya itulah yang menjadi penghalang untuk mendapatkan
tanah hak milik bagi WNI tersebut, tetapi tidak demikian untuk tanah hak pakai atau hak
sewa untuk bangunan. Urusan harta perkawinan tidak menjadi muatan dalam UUPA,
namun masuk dalam materi muatan hukum perkawinan. Maka tahun 1974, lahirlah UU
Perkawinan yang mengatur hak (tidak secara langsung) bagi WNI yang menikah dengan
WNA untuk mendapatkan Hak Milik Atas Tanah. WNI yang menikah dengan WNA
berhak mendapatkan tanah hak milik, dengan syarat mereka pada saat atau sebelum
pernikahan harus membuat perjanjian perkwinan untuk pemisahan harta perkawinan.7

5
Satjipto Rahardjo, “Kepastian Hukum” dalam Bahan Bacaan Untuk Mahasiswa Program
Doktor Hukum Universitas Diponegoro, 31 bahan bacaan Januari 2005 s.d. Agustus 2008.
6
Menurut Parlindungan, kaidah yang terkadung dalam Pasal 9 ayat (1) UUPA adalah suatu
negara yang masih dalam pembangunan dan sebagian rakyatnya masih dalam keadaan yang sangat
minim, patut melindungi warganya dari dari kemungkinan tanah-tanahnya jatuh kepada orang
asing, lihat FX. Sumarja, Problematika Kepemilikan Tanah Bagi Orang Asing, Sebuah Tinjauan
Yuridis-Filosofis, Bandar Lampung: Indepth Publishing, 2012, hlm. 62.
7
Pasal 29 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, “Pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis
yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga tersangkut.”

140
Tanpa adanya perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta, mereka terhalang
mendapatkan tanah hak milik, karena terdapat harta yang dimiliki bersama WNA.
Dengan kata lain terdapat harta yang ada unsur asingnya. Unsur asing tersebut
ditegaskan pula oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Direktorat Jenderal
Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam Surat Nomor HAM2-HA.01.02-
10, tertanggal 20 Januari 2015, yang menyatakan: “Menurut ketentuan hukum yang
berlaku, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama,
sehingga disini ada percampuan harta, dan suami yang berstatus WNA akan turut
menjadi pemilik atas harta tersebut. Ketentuan ini, dapat dikecualikan dengan adanya
perjanjian kawin pisah harta yang dibuat sebelum perkawinan vide Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”8

Pada satu sisi UU Perkawinan memberikan peluang kepada WNI yang menikah dengan
WNA untuk mendapatkan tanah hak milik, pada sisi lain ketentuan Pasal 35 ayat (2) dan
Pasal 36 ayat (1) membuka celah bagi orang asing untuk memiliki tanah hak milik
dengan cara menikah dengan WNI.9 Modus penyelundupan hukum dengan cara
pernikahan inilah yang sering dilakukan orang asing untuk mendapatkan tanah hak
milik.10

Pasal 35 ayat (2) mengatur, bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Artinya
pasangan suami istri (yang salah satunya orang asing) dapat memperjanjikan terkait harta
bawaan dan harta perolehan sebagai harta yang dimiliki bersama. Apabila terjadi
perceraian atau pihak WNI meninggal terlebih dahulu, maka orang asing akan
mendapatkan harta bawaan atau harta perolehan (yang awalnya bisa berupa tanah hak
milik).

Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan, mengatur bahwa terhadap harta bersama, suami atau
isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Harta bersama adalah harta
benda (termasuk tanah hak milik) yang diperoleh selama perkawinan. Berdasarkan
ketentuan Pasal 36 ayat (1) tersebut, selama tidak ada perjanjian mengenai harta bersama
maka harta bersama adalah dalam penguasaan bersama suami isteri. Apabila tanah hak

8
Putusan MK No.69/PUU-XIII/2017 tentang Pengujian Undang-Undang No 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, hlm. 14.
9
Abulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010,
hlm. 109-110.
10
FX. Sumarja, Hak Atas Tanah Bagi Orang Asing, Tinjauan Politik Hukum dan
Perlindungan Warga Negara Indonesia, Yogyakarta: STPN Press, 2015, hlm, 217-218.

141
milik dibeli selama dalam perkawinan, maka tanah hak milik menjadi milik bersama, 11
dan apabila pihak WNI meninggal maka tanah hak milik jatuh pada orang asing.

Persoalannya, bahwa WNI yang menikah dengan WNA pada umumnya tidak
mengetahui adanya syarat demikian (perjanjian perkawinan pisah harta sebelum
pernikahan dilaksanakan), kalaupun mereka mengetahui namun alpa melaksanakan atau
merasa tidak pantas dalam membentuk sebuah keluarga dengan perkawinan, namun ada
perjanjian pisah harta. Kenyataan seperti ini ternyata betul-betul terjadi dan menjadi
penghalang pasangan keluarga tersebut untuk mendapatkan tanah hak milik di Indonesia.
Upaya mendapatkan tanah hak milik, tetap tertutup, meskipun mereka berusaha untuk
melakukan perjanjian pernikahan di kemudian hari. Sebab UU Perkawinan tidak
mengenal perjanjian perkawinan dibuat setelah pernikahan, dan perjanjian perkawinan
harus dibuat sebelum atau pada waktu pernikahan dilaksanakan.

Ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan tetap harus dipertahankan untuk menjamin adanya


kepastian hukum seperti yang dikemukakan oleh Fuller. Kalaupun aspirasi masyarakat
WNI yang menikah dengan WNA tersebut akan diakomodir untuk melaksanakan
perjanjian perkawinan setelah penikahan berlangsung, tentu menurut aturan hukum yang
berlaku harus dibuatkan normanya terlebih dahulu. Jalan menuju arah tersebut bisa
dilakukan dengan cara mengamandemen atau melakukan perubahan terhadap UU
Perkawianan atau uji materi UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi. Mengingat
bahwa memang hukum tidak selalu tuntas memberikan jawaban-jawaban atas persoalan
kehidupan masyarakat, dimungkinkan sebuah undang-undang dirubah.

Hukum itu dapat saja mengandung kelemahan atau cacat sejak diundangkan atau
dilahirkan, mengingat banyak faktor yang turut ambil bagian dalam melahirkan keadaan
cacat. Tidak jarang kelemahan hukum yang dibuat itu baru tampak dengan adanya
perubahan kondisi sosial ekonomi dan politik suatu negara seiring berjalannya waktu.12
Seperti halnya yang dialami oleh WNI yang melaksanakan pernikahan dengan WNA,
mereka tergabung dalam sebuah Perkumpulan Masyarakat Perkawinan Campuran
Indonesia (Perca Indonesia) yang beranggotakan 800 orang. Semula mereka alpa atau
belum terpikirkan untuk melakukan perjanjian perkawinan pisah harta. Mengingat
perkembangan sosial ekonomi masyarakat, bahwa tidak selamanya wanita WNI yang
menikah dengan laki-laki WNA mempunyai kedudukan ekonomi yang lebih rendah
dibanding pihak WNA. Ataupun tidak selamanya wanita WNI yang menikah dengan
laki-laki WNA adalah ibu rumah tangga, mereka memiliki sumber penghidupannya
sendiri yang cukup. Dengan kata lain, wanita WNI yang menikah dengan pria WNA
bukanlah wanita yang ketergantungan hidupnya pada suami-suaminya. Setelah

11
Meskipun dalam kesaksian para saksi yang diajukan oleh pemohon uji materi UUPA dan
UU Perkawinan, WNI yang menikah dengan WNA tidak bisa mendapatkan tanah hak milik,
kecuali mau menurunkan status tanahnya menjadi Hak Pakai atau Hak Sewa untuk bangunan
(Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015, tanggal 27 Oktober 2016)
12
FX. Sumarja, Hak Atas Tanah....,Op.cit., hlm, 3.

142
menyadari itu semua, mereka terbentur pada sebuah aturan bahwa mereka tidak bisa
memiliki tanah hak milik, karena tidak memiliki perjanjian pisah harta. Sementara untuk
membuatnya kemudian, tidak dimungkinkan oleh aturan hukum (Pasal 29 UU
Perkawinan).

Mengingat, aturan hukum Pasal 21 ayat (1) dan (3) UUPA, dianggap kontradiksi dan
sebagai penghalang bagi WNI yang melakukan perkawinan campuran untuk
mendapatkan tanah hak milik, seperti yang diatur dalam Pasal 9 UUPA, maka mereka
mengajukan uji materi Pasal 21 UUPA ke Mahkamah Konstitusi. Jika dikaji dari sisi
kepastian hukum penyusunan norma Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3) UUPA, bukanlah
sebuah norma yang kontradiksi dan aturan penghalang, namun justru Pasal 21 ayat (1)
dan (3) UUPA tersebut mempertegas dan memastikan bahwa hanya WNI sajalah yang
bisa menjadi subjek hak milik atas tanah. Hal ini terbukti dari Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 terkait Pengujian UUPA dan UU Perakwinan terhadap
UUDNRI 1945, bahwa Pasal 21 ayat (1) dan (3) UUPA tidak bertentangan dengan
UUDNRI 1945.

Pertimbangan hukum MK menolak permohonan pemohon mengenai frasa “warga


negara Indonesia” dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA untuk dimaknai warga negara
Indonesia tanpa terkecuali dalam segala status perkawinan, baik warga negara Indonesia
yang tidak kawin, warga negara Indonesia yang kawin dengan sesama warga negara
Indonesia dan warga negara Indonesia yang kawin dengan warga negara asing adalah
justru akan mempersempit pengertian warga negara Indonesia sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarga-negaraan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kewarganegraan).13

Sementara itu, pertimbangan hukum MK menolak uji materi Pasal 21 ayat (3) UUPA,
diantaranya sebagai berikut:

“.....salah satu prinsip atau asas UU 5/1960 adalah asas nasionalitas (kebangsaan).
Asas dalam satu peraturan perundang-undangan merupakan jiwa, ruh, titik tolak, dan
tolok ukur serta kendali untuk memberi arah pada substansi dan norma suatu ketentuan
baik dalam pasal-pasal maupun ayat. Ketentuan dalam pasal dan ayat harus selaras
dengan asas suatu peraturan perundang-undangan.

.... asas nasionalitas berintikan bahwa hanya bangsa Indonesia saja yang dapat
mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi (tanah) air, ruang angkasa, dan
kekayaan yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain, asas nasionalitas adalah
satu asas yang menyatakan bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang

13
Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 .....Op.cit, hlm. 150; FX. Sumarja, “Rakyat
Indonesia dalam Perspektif Konstitusi Agraria” dalam Tebaran Pemikiran Hukum Administrasi
Negara, Bandar Lampung: Sai Wawai Publishing kerjasama dengan Pusat Kajian Kebijakan
Publik dan HAM (PKKPHAM), dan Bagian Hukum Adminsitrasi Negara FH Unila, 2016, hlm.
184-185.

143
mempunyai hak milik atas tanah yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi (tanah),
air, dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki dan wanita serta
sesama warga negara. Tujuan dan fungsi asas nasionalitas ini dimaksudkan untuk
melindungi segenap rakyat Indonesia dari ketidakadilan dan perlakuan sewenang-
wenang yang diatur dalam peraturan yang dibuat dan berlaku pada masa sebelum
kemerdekaan bangsa Indonesia.

Pemberlakuan asas nasionalitas adalah sebagai jaminan hak-hak warga negara terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan sistem pertanahan dan sebagai pembatas hak-hak warga
negara asing terhadap tanah di Indonesia. UU 5/1960 mengatur bahwa seluruh wilayah
Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai
bangsa Indonesia. Oleh sebab itulah dalam UU 5/1960 disebutkan asas kebangsaan.
Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya sebagai karunia dari Tuhan Yang Mahakuasa. Dalam UU 5/1960 ditegaskan
bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, serta ruang angkasa
tersebut adalah hubungan yang bersifat abadi (vide Pasal 1 dan Pasal 2 UU 5/1960).”14

Guna mengakomodir aspirasi masyarakat (Perca Indonesia), Pemerintah menegaskan dan


mengatur secara normatif kemungkinan bagi WNI yang melakukan perkawinan
campuran untuk mendapatkan hak-haknya sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) UUPA dan
Pasal 21 ayat (1) UUPA, dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun
2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang
Berkedudukan di Indonesia (PP 103/2015), pada tanggal 22 Desember 2015.

Pasal 3 PP 103/2015 mengatur bahwa WNI yang melaksanakan perkawinan dengan


orang asing dapat memiliki hak atas tanah yang sama dengan WNI lainnya. Hak atas
tanah tersebut bukanlah merupakan harta bersama yang dibuktikan dengan perjanjian
pemisahan harta antara suami dan istri, yang dibuat dengan akta notaris. Artinya hak
yang diberikan kepada WNI yang melakukan pernikahan campuran untuk mendapatkan
hak milik atas tanah dengan syarat atau hak bersyarat. Syaratnya adalah harta tersebut
bukanlah harta bersama atau harta yang bersih dari unsur asing. Alat bukti yang
diperlukan adalah perjanjian perkawinan pemisahan harta.

Niat baik pemerintah untuk mengeluarkan PP 103/2015 sudah tampak pada saat
Pemerintah memberikan keterangan di hadapan sidang Mahkamah Konstitusi tentang uji
materi Pasal 21 UUPA dan Pasal 29 UU Perkawinan, sebagai berikut:

“Bahwa UUPA dan UU Perkawinan sudah sesuai dan sejalan dengan amanat UUD
1945, sehingga terkait dengan permasalahan yang dialami oleh pemohon, perlu
untuk dipikirkan instrumen hukum agar dapat mengakomodir kasus-kasus yang
terjadi agar masyarakat tidak dirugikan baik material maupun imaterial. Dengan
demikian, atas dasar tersebut di atas, Pemerintah sangat menghargai dan
mengapresiasi usaha yang dilakukan oleh pemohon, sehingga Pemerintah perlu

14
Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 .....ibid, hlm. 147-148.

144
untuk mempertimbangkan untuk segera menyusun sebuah instrumen hukum
lainnya dengan melihat dinamika yang terjadi pada saat ini.”15

Persoalannya ketentuan Pasal 3 PP 103/2015 tidak serta merta memberikan hak kepada
WNI yang melakukan perkawinan campuran memperoleh tanah hak milik. Pasal tersebut
tidak memberikan penegasan waktu pelaksanaan perjanjian pemisahan harta. Perjanjian
pemisahan harta masih tunduk pada ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan, yaitu sebelum
atau pada waktu dilakukan pernikahan. Pasal 3 PP 103/2015 tidak otomatis berlaku pada
WNI yang telah melaksanakan pernikahan namun tidak membuat perjanjian perkawinan
pemisahan harta.

Pasal 3 PP 103/2015 juga bukanlah norma baru yang diadakan oleh hukum tanah
nasional, namun hanya sebagai norma penegas ketentuan Pasal 21 ayat (3) UUPA.
Meskipun hanya sebagai norma penegas, namun dampaknya akan lebih meluas bahwa
WNI yang menikah dengan WNA mempunyai hak yang sama dengan WNI lainnya,
sepanjang hak atas tanah yang dimiliki tidak ada unsur asingnya. Syarat agar hak atas
tanah tidak ada unsur asingnya, maka harus ada penegasan bahwa hak atas tanah tersebut
bukan harta bersama yang dibuktikan dengan akta notaris. Pasal 3 PP 103/2015 akan
memacu seseorang untuk melakukan perjanjian perkawinan pisah harta. Hal ini akan
semakin memberikan jaminan kepastian hukum kepada WNI yang menikah dengan
WNA untuk tetap mendapatkan hak milik atas tanah.

Menurut Mahkamah Konstitusi ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan yang


mengatur bahwa “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai
pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang
pihak ketiga tersangkut”, makna pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan
adalah bentuk pencorengan asas kebebasan berkontrak. Perjanjian perkawinan tidak
seharusnya dibatasi oleh “waktu” yaitu hanya pada atau sebelum perkawinan
dilaksanakan, karena makna suatu perjanjian menjadi hilang. Pembatasan oleh waktu
bertentangan dengan hak warga negara untuk berserikat sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 28 E UUDNRI 1945.

15
Pada saat uji materi UUPA dan UU Perkawinan sedang berlangsung, Pemerintah juga sedang
membahas persoalan yang sama, yaitu kemungkinan WNI yang kawin campur dapat memperoleh
tanah hak milik, dalam rangka pembahasan revisi PP 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah
Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Memang PP 41
tahun 1996 perlu direvisi untuk mensinkronkan kewenanngan BPN dalam mengembalikan
kedudukan hukum orang asing pada proporsinya sejalan semangat UUPA (FX. Sumarja, Orang
Asing Sebagai Subjek Hak Atas Tanah di Indonesia, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, FH UNDIP,
Jilid 44 No. 3, Juli 2015, hlm. 313).

145
Pasal 3 PP 103/2015 semakin lengkap dan semakin mendapatkan kepastian hukum untuk
dapat dilaksanakan dengan adanya Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015. Mahkamah
Konstitusi melalui putusannnya mengabulkan permohonan uji materi Pasal 29 UU
Perkawinan. Inti putusan tersebut menetapkan bahwa perjanjian perkawinan dapat
dilakukan baik sebelum, pada waktu, maupun selama perkawinan berlangsung. Artinya
upaya dan perjuangan WNI yang menikah dengan WNA untuk mendapatkan tanah hak
milik dapat terlaksana dengan melakukan perjanjian perkawinan pisah harta di kemudian
hari atau selama pasangan suami-isteri terikat pernikahan. Mengingat pada saat
pernikahan atau sebelum pernikahan tidak terpikirkan untuk membuat perjanjian
perkawinan pisah harta.

Perjanjian perkawinan yang dilaksanakan kemudian hari atau setelah pernikahan atau
sebelum dan pada saat pernikahan wajib dilaporkan ke Kantor Catatan Sipil. Perjanjian
perkawinan perlu dilaporkan, sebagai syarat bagi Kantor Catatan Sipil untuk membuat
catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta perkawinan. Hal ini, sesuai dengan
Surat Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam
Negeri No. 472.2/5876/Dukcapil tentang Pencatatan Pelaporan Perjanjian Perkawinan,
tanggal 19 Mei 2017. Surat ditujukan kepada Kepala Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten/ Kota se-Indonesia. Surat ini dikeluarkan untuk
menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015, tanggal 27
Oktober 2016.

Aturan senada dengan Pasal 3 PP 103/2015, juga sudah diterapkan di negara lain, yaitu
di Thailand. Bagi perempuan warga negara Thailand yang menikah dengan orang asing
kehilangan hak untuk membeli tanah di negaranya. Namun mulai tahun 1999,
Pemerintah Thailand memperkenankan warga negaranya baik laki-laki maupun
perempuan yang melakukan pernikahan dengan orang asing untuk membeli tanah
dengan persyaratan tertentu. Persyaratannya, mereka harus dapat membuktikan bahwa
uang pembeliannya dari mereka sendiri dan orang asingnya harus membuat pernyataan
tertulis. Pernyataan tertulis berisikan, bahwa ia (orang asing) tidak akan mengklaim
tanah yang dibeli itu sebagai miliknya.16

Perlu disadari tidak ada kesempurnaan sejati dalam kehidupan di dunia ini. Begitu juga
dalam Putusan MK tentang diterimanya uji materi UU Perkawinan mengenai perjanjian
perkawinan, ada juga ketidaksempurnaan. Ketidaksempurnaan substansi putusan MK,
dimaknai adanya potensi keuntungan dan kerugian. Potensi kerugian yang dapat timbul
adalah sebagai berikut :

1) dapat dilakukannya perjanjian perkawinan setelah perkawinan berlangsung, dapat


menimbulkan “kesenjangan sosial” dalam kehidupan berumah tangga. Jika terjadi

16
Maria SW. Sumardjono, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta
Bangunan bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing, Jakarta: Buku Kompas, 2007, hlm. 33.

146
persoalan dalam rumah tangga, salah satu pihak (suami/isteri) tiba-tiba berencana
memisahkan harta perkawinan dengan tujuan tertentu. Misalnya agar suami/isteri
tidak bahagia. Hal ini tentu akan mencederai lembaga perkawinan itu sendiri;
2) mengingat isi perjanjian tidak hanya berkaitan dengan harta bersama, akan sangat
dimungkinkan timbul perjanjian-perjanjian lain yang jauh dari tujuan dari perkawinan
sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 UU Perkawinan;
3) posisi wanita lebih rentan dibanding pihak laki-laki, jika dikemudian hari terjadi
perjanjian perkawinan, meskipun asasnya perjanjian tersebut dibuat atas dasar
kesepakatan bersama dan tidak boleh merugikan pihak ketiga.
Selain dikhawatirkan berpotensi berdampak negatif, diperkenankannya perjanjian
perkawinan setelah perkawinan berlangsung juga mengandung potensi keuntungan,
diantaranya:

1) dapat mencegah adanya suatu pemborosan yang sengaja dilakukan oleh salah satu
pihak dalam rumah tangga (suami/isteri);
2) dapat mencegah adanya unsur penipuan dalam perkawinan, karena dimungkinan
sebelum perkawinan terjadi bujuk rayu atau segala tipu daya guna menggerakkan
seorang perempuan/laki-laki agar mau diajak menikah;
3) menjamin WNI pelaku perkawinan campuran dapat memiliki tanah hak milik;
4) mempermudah proses pengalihan harta, karena tidak diperlukannya persetujuan dari
suami/istri;
5) menjadikan suatu perjanjian bersyarat kepada seorang suami/isteri yang ringan
tangan, pemboros, pemabok, atau berperilaku menyimpang, sehingga bisa
menguatkan eksistensi lembaga perkawinan.

Berdasarkan uraian di atas bahwa dengan lahirnya PP No. 103 Tahun 2015 tentang
Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di
Indonesia, tanggal 22 Desember 2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-
XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
tanggal 27 Oktober 2016 terdapat norma yang tegas tentang jaminan hukum kepada WNI
yang menikah dengan WNA untuk mendapatkan hak milik atas tanah, asalkan dibuktikan
adanya perjanjian perkawinan pemisahan harta dengan akta notaris. Perjanjian
perkawinan pemisahan harta dapat dilakukan baik sebelum, pada saat maupun selama
masih terikat dalam perkawinan. Perjanjian perkawinan pemisahan harta wajib dilaporkan
kepada pejabat Dinas Kependukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota setempat, untuk
dibuatkan cacatan pinggir pada register akta dan kutipan akta perkawinannya.

4. Simpulan

1. Ketentuan Pasal 9 dan Pasal 21 UUPA tidak bersifat kontradiksi, justru Pasal 21 ayat
(3) UUPA menegaskan prinsip nasionalitas yang tertuang dalam ketentuan Pasal 9
UUPA.

147
2. Pasal 21 UUPA sesungguhnya tidaklah menjadi penghalang bagi WNI yang
melakukan perkawinan campuran untuk mendapatkan tanah hak milik, karena
penghalang sesungguhnya adalah ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan yang
membatasi perbuatan hukum perjanjian pemisahan harta, hanya pada saat atau
sebelum perkawinan.

Daftar Pustaka

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut: Perundangan, Hukum


Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 2007
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Yogyakarta: Liberty,
1991
Muhammad, Abulkadir, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, cet. Ke-6, Bandung: Citra Adhitya Bahkti, 2006.
Rahardjo, Satjipto, “Kepastian Hukum” dalam Bahan Bacaan Untuk Mahasiswa
Program Doktor Hukum Universitas Diponegoro, 31 bahan bacaan Januari 2005 s.d.
Agustus 2008.
Rahardjo, Satjipto, “Penafsiran Hukum yang Progresif” dalam Bahan Bacaan Untuk
Mahasiswa Program Doktor Hukum Universitas Diponegoro, 31 bahan bacaan Januari
2005 s.d. Agustus 2008.
Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980.
Sumardjono, Maria SW., Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta
Bangunan bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing, Jakarta: Buku Kompas, 2007.
Sumarja, FX., Problematika Kepemilikan Tanah Bagi Orang Asing, Sebuah Tinjauan
Yuridis-Filosofis, Bandar Lampung: Indepth Publishing, 2012
Sumarja, FX., Hak Atas Tanah Bagi Orang Asing, Tinjauan Politik Hukum dan
Perlindungan Warga Negara Indonesia, Yogyakarta: STPN Press, 2015.
Sumarja, FX., Orang Asing Sebagai Subjek Hak Atas Tanah di Indonesia, Jurnal
Masalah-Masalah Hukum, FH UNDIP, Jilid 44 No. 3, Juli 2015.
Sumarja, FX., “Rakyat Indonesia dalam Perspektif Konstitusi Agraria” dalam Tebaran
Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Bandar Lampung: Sai Wawai Publishing
kerjasama dengan Pusat Kajian Kebijakan Publik dan HAM (PKKPHAM), dan Bagian
Hukum Adminsitrasi Negara FH Unila, 2016.

Peraturan Perundang-undangan
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
PP 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang
Asing yang Berkedudukan di Indonesia.
Surat Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri
No. 472.2/5876/Dukcapil tentang Pencatatan Pelaporan Perjanjian Perkawinan.

148
Putusan MK No.69/PUU-XIII/2017 tentang Pengujian Undang-Undang No 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.

149
Analisis Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku di Bawah
Umur dalam Kasus Pencurian
(Studi Perkara Nomor: 08/Pid.Sus-Anak/2016/Pn.Gs)

I Ketut Seregig

Dosen Magister Hukum Program Pascasarjana


Universitas Bandar Lampung
Email: ketut1183@gmail.com

Abstrak

Pertanggungjawaban pidana pelaku anak di bawah umur dalam perkara pencurian


dengan pemberatan sudah sering terjadi di wilayah Hukum Polda Lampung. Dalam
proses penyidikan yang dilakukan Polri, dilakukan kebijakan hukum melalui diversi
sebagaimana diatur dalam undang-undang, namun penanganannya belum sesuai dengan
ketentuan diversi yang diatur dalam Undang-undang Nomor: 11 tahun 2012, tentang
sistem peradilan pidana anak.
Disamping belum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, terutama dalam
pelaksanaan musyawarah diversi, sebagian besar masyarakat belum memahami apa itu
diversi dan bagai mana melaksanakannya. Masyarakat hanya tahu bahwa setiap pencuri
harus di hukum dan untuk menjatuhkan hukuman hanya melalui pengadilan.
Kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan, bahwa pelaku tindak pidana
pencurin yang masih dibawah umur wajib dilakukan diversi, sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam pasal 14 ayat (1) yang menyatakan “dalam jangka waktu paling lama
7x24 jam terhitung sejak dimulainya penyidikan, Penyidik memberitahukan dan
menawarkan kepada Anak dan/atau orang tua/wali, serta korban atau anak korban
dan/atau orang tua/wali untuk menyelesaikan perkara melalui Diversi”. Terjadinya
pandangan berbeda di masyarakat tentang diversi akibat dari masih rendahnya
pemahaman hukum masyarakat, yang menganggap bahwa setiap tindak pidana harus
diselesaikan melalui proses peradilan, sedangkan proses diversi dianggap bukan
merupakan penyelesaian peradilan.

Kata kunci: pertanggungjawaban pidana, pelaku anak, diversi.

1. Pendahuluan

Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan
setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa diminta oleh anak
tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang ditentukan dalam Konvensi Hak Anak
(Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh dengan Keputusan Presiden
Nomor: 36 tahun 1990, kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor: 4 tahun
1979, tentang kesejahteraan anak dan Undang-Undang Nomor: 23 tahun 2002, tentang
perlindungan anak. Dalam ketentuan undang-undang tersebut, dikemukakan tentang

150
prinsip-prinsip umum dalam perlindungan terhadap anak, yaitu non diskriminasi,
kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya anak dan
menghargai partisipasi anak.
Berdasarkan catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPA) yang
dipublikasi tanggal 19 Januari 2012, sepanjang tahun 2011 KPA menerima 1.851
pengaduan anak yang berhadapan dengan hukum yang diajukan ke Pengadilan di seluruh
Indonesia. 52% dari angka tersebut adalah kasus pencurian, diikuti dengan kekerasan,
perkosaan, narkoba dan penganiayaan. Sekitar 89,8% berakhir pada pemidanaan atau
diputus pidana. Sementara data penyidikan kasus pidana yang melibatkan anak di bawah
umur sebagai pelaku kejahatan yang terjadi di wilayah hukum Polres Lampung Tengah
dalam kurun waktu 3 tahun terakhir sejak Bulan September tahun 2014 hingga September
tahun 2016 tercatat 14 kasus. Setidaknya data-data tersebut memberikan gambaran
kepada peneliti, bahwa pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur
cukup memprihatinkan.1
Terkait dengan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka
pertanggungjawaban pidana pelaku di bawah umur yang melakukan pencurian tidaklah
tepat dilaksanakan melalui proses peradilan, sebagaimana teori pemidanaan yang
dikemukakan oleh Moeljatno yang menyatakan bahwa “seseorang yang diduga
melakukan tindak pidana haruslah digali terlebih dahulu, apakah pelaku itu telah cukup
bukti melakukan perbuatan pidana yang akan dipertanggung jawabkan kepadanya”.
Dalam penerapan pidana terhadap pelaku di bawah umur yang diduga melakukan
pencurian, berdasarkan teori yang Barda Nawawi atau atau teori Hoefnagle dapat
ditempuh dengan melakukan proses Diversi, sebagaimana diatur dalam undang-undang
Nomor: 11 tahun 2012. Selain diatur dalam ketentuan undang-undang tersebut, maka
untuk mengakomodir prinsip-prinsip perlindungan anak terutama dalam proses
penyidikan yang dilakukan oleh Satuan Reskrim Polres Lampung Tengah, hal ini untuk
menghindari anak dari proses peradilan, sehingga tidak menimbulkan stigma buruk
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Tujuanny adalah agar anak dapat kembali
ke dalam lingkungan sosial secara wajar.
Berdasarkan Pasal 1 point 6 UU SPPA disebutkan, keadilan restoratif adalah
penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga
pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian
yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula bukan
pembalasan. Sedangkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU SPPA disebutkan, Sistem Peradilan
Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif. Keadilan restoratif
yang dimaksud dalam UU SPPA adalah kewajiban melaksanakan Diversi. Dalam Pasal 7
UU SPPA disebutkan bahwa “ayat (1) pada tingkat penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi”. Dan juga
pada ayat (2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak
pidana yang dilakukan “diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun” dan
bukan merupakan pengulangan tindak pidana”. Oleh karena penerapan Diversi
merupakan suatu kewajiban, maka menjadi penting bagi pejabat dalam setiap
pemeriksaan untuk benar-benar memahami bagaimana mekanisme penerapan Diversi
tersebut.2
Terkait dengan karya ilmiah ini, peneliti hanya akan meneliti dan mengkaji
tentang penerapan Diversi dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh Polri khususnya
di wilayah hukum Polres Lampung Tengah, karena undang-undang ini tidak mengatur
secara teknis mengenai bagaimana menerapkan Diversi. Dalam Pasal 15 UU SPPA
dinyatakan bahwa ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan proses Diversi, tata cara

1
Sofyan Parerungan, Penerapan Diversi dalam Persidangan Anak, Artikel, Publising: pn-
Bangil.go.id/ data, 2014, hlm.1
2
Ibid

151
dan koordinasi pelaksanaan Diversi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan
Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua
Belas) Tahun. Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang tersebut adalah
pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif (restorative justice) dan Diversi,
yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan,
sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum,
dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena
itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut.
Proses itu harus bertujuan pada terciptanya keadilan restoratif, baik bagi anak maupun
bagi korban. Keadilan restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang
terlibat dalam suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik
dengan melibatkan korban, anak dan masyarakat, dalam mencari solusi untuk
memperbaiki, rekonsiliasi dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.3
Pertanggungjawaban pidana dalam perkara pencurian yang dilakukan oleh anak
di bawah umur, yang terjadi di wilayah hukum Polres Lampung Tengah, telah dilakukan
dengan menerapkan diversi, karena ancaman hukuman tindak pidana pencurian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 KUHP adalah maksimal diancam 5 tahun
penjara (masih di bawah ancaman 7 tahun). Pertanggungjawaban pidana yang diproses
melalui diversi di wilayah hukum Polres Lampung Tengah masih menimbulkan
pandangan pro dan kontra di masyarakat. Hal ini disebabkan belum adanya pemahaman
hukum yang baik di masyarakat, sehingga tindakan diversi yang dilakukan penyidik
dianggap sebagai penyimpangan yang dilakukan aparat penegak hukum. Kelompok ini
mendalilkan bahwa semua perkara pidana harus sampai pada proses pengadilan,
sedangkan masyarakat hanya mengerti bahwa dalam penerapan diversi tidak ada dasar
hukum yang pasti untuk melakukan restorative justice, maka proses diversi dianggap
tindakan hukum yang illegal, padahal proses akhir dalam pelaksanaan diversi adalah
penetapan hasil diversi yang dilakukan Pengadilan. Proses diversi dalam pertanggung
jawaban pidana merupakan proses penegakan hukum diluar pengadilan yang dibenarkan
berdasarkan undang-undang. Permasalahan yang timbul dimasyarakat bahwa dalam
penerapan diversi masyarakat masih beranggapan bahwa proses diversi bukanlah proses
hukum yang merupakan bentuk pertanggungjawabkan pidana terhadap pelaku anak di
bawah umur yang melakukan pencurian. Untuk memberikan gambaran terhadap proses
diversi yang dianggap tidak memiliki dasar hukum tersebut, melalui artikel penelitian
ilmiah yang berjudul “Analisis Yuridis Pertanggungjawaban Pidana, Pelaku Anak di
bawah umur dalam kasus Pencurian”, penulis akan menguraikan hasil penelitian dalam
studi perkara nomor 08/Pid.Sus-Anak/2016/ PN.GS yang telah dilakukan di Polres
Lampung Tengah.
Tujuan dan kegunaan Penelitian yang dilakukan ini adalah untuk memahami dan
menganalisis ketentuan hukum dan tatacara pelaksanaan diversi terhadap pelaku anak di
bawah umur dalam tindak pidana pencurian. Sedangkan kegunaannya adalah dalam
rangka pengembangan wawasan pemgetahuan bagi masyarakat agar tidak apriori dalam
memandang proses diversi yang dilakukan penyidik terhadap pelaku anak di bawah umur
yang melakukan tindak pidana pencurian.

2. Metode Penelitian

Pendekatan masalah dalam penelitian ini terdiri dua pendekatan, yaitu pendekatan
yuridis normatif dan pendekatan empiris, guna mendapatkan suatu hasil penelitian yang

3
Ibid, hlm.2

152
benar dan objektif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan dengan cara menelaah
kaidah-kaidah, norma-norma, aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah yang
akan diteliti. Kegiatan ini dimaksud untuk mengumpulkan berbagai macam peraturan
perundang-undangan, teori-teori dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan
masalah yang akan diteliti.4 Sedangkan Pendekatan Empiris adalah pengumpulan data
primer yang diperoleh secara langsung melalui penelitian terhadap objek penelitian,
dengan cara observasi dan wawancara dengan responden atau narasumber yang
berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.5
Hukum pidana menurut Moeljatno adalah bagian daripada keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk
menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa
melanggar larangan tersebut.6 Moeljatno menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana
tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus
ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang
tidak tertulis tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (green straf zonder schuld, ohne
schuld keine straf).7
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, bahwa pidana adalah penderitaan yang
sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-
syarat tertentu atau merupakan reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang
dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.8 Muladi dan Barda Nawawi
Arief mengatakan Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan
atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; Pidana itu diberikan
dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang
berwenang); Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana
menurut undang-undang.9 Selanjutnya, Barda Nawawi Arief menjelaskan,
pertanggungjawaban menurut ilmu hukum adalah kemampuan bertanggungjawab
seseorang terhadap kesalahannya telah melakukan atau tidak melakukan perbuatan-
perbuatan dilarang oleh undang-undang dan tidak dibenarkan masyarakat atau tidak patut
menurut pandangan masyarakat, melawan hukum dan kesalahan adalah unsur-unsur
peristiwa pidana atau perbuatan pidana (delik) dan antara keduanya terdapat hubungan
yang erat dan saling terkait.10
Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa pidana hakekatnya merupakan
pengenaan penderitaan terhadap pembuat delik dimana pidana tersebut diharapkan
mempunyai pengaruh terhadap orang yang dikenai pidana tersebut. Pidana ini baru dapat
dirasakan secara nyata oleh terpidana ketika putusan hakim dilaksanakan secara efektif.
Pemidanaan disini diharapkan agar terpidana tidak melakukan tindak pidana lagi. Dengan
adanya pemidanaan, maka tujuan pemidanaan baru dapat tercapai. Tercapainya tujuan
pemidanaan tersebut tidak terlepas dari adanya sistem hukum dalam penegakan hukum
itu sendiri.
Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak pernah henti-hentinya
dibicarakan. Istilah penegakan hukum mempunyai konotasi menegakan, melaksanakan
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga dalam konteks

4
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm.14
5
Ibid, hlm.16
6
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm.1
7
Ibid, hlm.17
8
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
2005, hlm. 2
9
Ibid, hlm.4
10
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm.106

153
yang lebih luas penegakan hukum merupakan perwujudan konsep-konsep menjadi
kenyataan. Dalam proses tersebut, hukum tidaklah mandiri, artinya ada faktor-faktor lain
yang erat atau ikut serta dalam proses penegakan hukum tersebut, yaitu masyarakat itu
sendiri dan penegak hukum. Penegakan hukum merupakan kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah kaidah mantap dan mengejawantah
dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian hidup.11 Pada dasar nya hukum terbentuk
melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan
secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah peradaban manusia, dimana yang
dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga masyarakatnya. Hal ini tentu
menunjuk pada teori Carl Von Savigny yang mengungkapkan bahwa hukum itu dibuat,
akan tetapi tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat (volgest).12
Berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami bahwa hukum adalah cermin dari jiwa
rakyatnya dan hukum harus dilihat dari sosial budaya masyarakatnya. Kekuasaan
membentuk hukum yang ada pada rakyat (living law), maka hukum itu ditemukan seiring
dengan perkembangan dari peradaban masyarakat (hukum sebagai sistem sosial
masyarakat). Hukum bukan merubah konsep dalam masyarakat karena hukum tumbuh
secara alamiah dalam pergaulan masyarakat yang mana hukum selalu berubah seiring
perubahan sosial. Penegakan hukum yang ideal pada dasarnya merupakan tujuan yang
hendak dicapai. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa dalam penegakan hukum
semua hak dan kewajiban terlaksana dan terpenuhi disamping tercapainya tujuan dan
proses penegakan hukum, baik itu jangka panjang maupun tujuan kontekstual.
Penegakan hukum menurut Satjipto Rahardjo merupakan penegakan kebijakan dengan
proses pentahapan, yang meliputi:

1. Tahap Penetapan Legislatif


Dalam penentuan kebijakan pemidanaan, tahapan ini merupakan tindakan awal dalam
penanggulangan kejahatan, yang secara fungsional dapat dilihat sebagai bagian dari
perencanaan dan mekanisme penanggulangan kejahatan. Tahap penetapan pidana
sering pula disebut dengan pemberian pidana in abstracto. Tahap ini
memformulasikan suatu kebijakan penegakan hukum yang intinya untuk
kesejahteraan masyarakat, karena tujuan akhir dari suatu formulasi adalah agar
ketentuan yang telah ditetapkan dapat berlaku dalam kehidupan masyarakat dan
menemukan ketertiban dalam kehidupan masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi
dari penetapan kebijakan kriminalisasi sebagai bagian dari suatu perencanaan
penanggulangan mencapai kesejahteraan masyarakat. Tahap ini merupakan suatu
kebijakan legislatif (formulatif), merupakan tahap paling strategis dari keseluruhan
proses operasionalisasi/fungsionalisasi dan konkritisasi (hukum) pidana.

2. Tahap penerapan hukum pidana


Tahapan ini dapat pula disebut dengan tahap kebijakan yudikatif mulai dari
kepolisian hingga pengadilan melalui tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan sidang hingga putusan hakim.

11
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum,Rajawali,Jakarta, 2007, hlm.3
12
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 74

154
3. Tahap pelaksanaan pidana
Tahapan ini dikenal dengan ekseskusi, yang merupakan pelaksanaan hukum pidana oleh
aparat pelaksana pidana, tahap ini dikenal pula dengan tahap kebijakan eksekutif atau
administratif, yaitu pemberian pidana secara in concreto.13

Disamping jenis sanksi yang berupa pidana dalam hukum pidana positif, menurut
Bambang Waluyo juga dikenal jenis sanksi yang berupa tindakan, misalnya: penempatan
di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena jiwanya
cacat dalam tumbuh nya atau terganggu karena penyakit (Pasal 44 ayat 2 KUHP); bagi
anak yang sebelum umur 16 tahun melakukan tindak pidana, hakim dapat mengenakan
tindakan yang diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, yaitu;
mengembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya; atau memerintahkan
agar anak tersebut diserahkan kepada pemerintah, yaitu anak tersebut dimasukan ke
rumah pendidikan negara yang penyelengaraan nya diatur dalam peraturan pendidikan
paksa; penempatan ditempat bekerja negara bagi penganggur yang malas bekerja dan
tidak mempunyai mata pencaharian serta mengganggu ketertiban umum dengan
melakukan pengemisan, bergelandangan atau perbuatan asosial; tindakan tata tertib dalam
hal Tindak Pidana Ekonomi (Pasal 8 UU Nomor: 7 Drt/1955) dapat berupa: a.
Penempatan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan untuk selama waktu tertentu
(3 tahun untuk kejahatan TPE dan 2 tahun untuk pelanggaran TPE); b. Pembayaran uang
jaminan selama waktu tertentu; c. Pembayaran sejumlah uang sebagai pencabutan
keuntungan menurut taksiran yang diperoleh dan d. Kewajiban mengerjakan apa yang
dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan melakukan jasa-jasa
untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya terhukum sekedar
hakim tidak menentukan lain.14
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa jenis pidana dalam KUHP terdiri dari
dua bagian yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pembagian pidana tersebut
menunjukkan bahwa jika suatu tindak pidana diancam dengan pidana pokok secara
alternatif, maka penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan
apabila hal itu dipandang telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan
pemidanaan. Ketentuan ini juga sejalan dengan adanya ketentuan mengenai pengurangan
hukuman pada masa penangkapan dan penahanan yang dalam penjelasannya dinyatakan,
pengurangan masa pidana bertujuan untuk menimbulkan pengaruh psikologis yang baik
terhadap terpidana dalam menjalani pembinaan selanjutnya. Jenis-jenis pidana dalam
konsep perkembangan terakhir pidana pokok menjadi pidana penjara, pidana titipan,
pidana pengawasan, pidana denda, dan juga pidana kerja sosial. Pemberian pidana
terhadap pelaku tindak pidana juga harus memperhatikan latar belakang dari pelaku
tersebut, misal karena cacat jiwa, anak-anak yang belum cukup umur, pengemis,
gelandangan.
Dalam pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat
dipertanggung jawabkan. Ini berarti harus diperhatikan terlebih dahulu yang dinyatakan
sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana. Dalam kenyataannya, tidaklah mudah untuk
memastikan siapakah pembuat dari suatu tindak pidana, karena untuk menentukan siapa
yang bersalah harus melalui proses yang ada yaitu Sistem Peradilan Pidana. Van Hammel
dalam buku PAF Lamintang menyatakan pertanggungjawaban adalah suatu keadaan
norma dan kematangan psikis yang membawa 3 (tiga) macam kemampuan untuk; a.
memahami arti dan akibat dari perbuatannya sendiri; b. memahami bahwa perbuatannya
itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat; c. menetapkan kemampuan terhadap
perbuatan-perbuatan itu sehingga dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban

13
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum (suatu tinjauan sosiologis) BPHN,
Jakarta, 2001, hlm.11
14
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm.11- 12

155
mengandung pengertian kemampuan dan kecakapan.15 Dalam pandangan Moeljatno
pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya suatu perbuatan pidana
saja, akan tetapi disamping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela,
ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis tidak dipidana jika tidak ada kesalahan
(green straf zonder schuld, ohne schuld keine straf).16
Roeslan Saleh menyatakan, pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus
dipertanggung jawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang
tercela oleh masyarakat dan dipertanggungjawabkan oleh si pembuatnya dengan kata lain
kesadaran jiwa orang yang dapat menilai, menentukan kehendaknya tentang perbuatan
tindak pidana yang dilakukan berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum yang tetap.
Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan, ini berarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan sebagai
pembuat untuk suatu tindak pidana.17
Pertanggungjawaban atau yang dikenal dengan konsep liability dalam segi
falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan bahwa:
I…Use simple word liability for the situation whereby one may exact legally and other is
legally subjeced to the exaction. Pertanggungjawaban pidana diartikan Pound adalah
sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari
seseorang yang telah dirugikan, juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut
tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah
nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.18
Untuk permalasahan yang akan diteliti, teori yang digunakan adalah teori
pertanggungjawaban pidana dengan mengutamakan kebijakan Non Penal sebagaimana
dikemukakan Hoefnagle dalam Barda Nawawi Arief, yang intinya menyatakan bahwa
dalam penanggulangan tindak dapat dilakukan dengan penyelesaian di luar pengadilan,19
juga teori Lawrance M.Friedman tentang sistim budaya hukum, yang menyatakan bahwa
sistim budaya hukum memiliki pengaruh cukup besar dalam penerapan hukum terkait
dengan proses peradilan pidana.20

3. Hasil Penelitian
3.1 Konsepsi Diversi
Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan kriminal
sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor diluar diri anak. Untuk melakukan perlindungan
terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul
pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat aturan formal
tentang tindakan mengeluarkan terduga pelanggar hukum atau yang melakukan tindak
pidana dari proses peradilan pidana umum dengan memberikan alternatif lain yang
dianggap lebih baik bagi perkembangan dan masa depan anak. Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Diversi adalah
pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar
peradilan pidana. Kasus yang sering muncul di masyarakat yang melibatkan anak sebagai

15
P.A.F. Lamintang, Op. Cit, hlm. 108
16
Ibid, hlm. 17
17
Roeslan Saleh, Loc. Cit
18
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan II, Mandar Maju, Bandung,
2000, hlm. 65
19
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
20
Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Sosial Science Perspective, Russell Sage
Foundation, New York, 1975, hlm.7-9

156
pelaku, maka dalam penyelesaiannya dengan mekanisme atau tindakan diversi dapat
memungkinkan anak dialihkan dari proses peradilan menuju proses pelayanan sosial
lainnya. Penggunaan mekanisme diversi tersebut diberikan kepada para penegak hukum
menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda atau di bawah umur tanpa
menggunakan pengadilan formal. Penerapan diversi tersebut dimaksudkan untuk
mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam suatu proses peradilan.
Peradilan anak merupakan sistem peradilan yang bersifat restorative justice yang
dalam pelaksanannya mengutamakan kebutuhan dan kepentingan anak dimasa yang akan
datang. Stigmatisasi anak nakal seperti yang terjadi selama ini tidak akan memberikan
peluang kepada anak untuk mendapatkan ruang tumbuh kembang yang lebih baik. Begitu
juga penanganan anak dipenjara, jangan sampai menimbulkan trauma dan tidak ditahan
bersama orang dewasa. Risiko penanganan anak di penjara menjadi tekanan yang sangat
luar biasa bagi anak setelah menjalani putusan hukum. Upaya untuk mewujudkan
criminal restorative justice system bagi anak yang berhadapan dengan hukum, diperlukan
payung hukum antar pihak terkait mampu menangani secara komprehensif. Berdasarkan
pikiran tersebut, maka lahirlah konsep diversion yang disebut diversi atau pengalihan
proses hukum peradilan.
Diversi dilakukan untuk menemukan suatu penyelesaian yang memberikan
perlindungan terhadap anak dengan mengedepankan prinsip the best interest of the child.
Konsep diversi lahir didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap
anak pelaku tindak pidana, karena melalui sistem peradilan pidana konvensional
menimbulkan lebih banyak menimbulkan keburukan dari pada kebaikan. Dalam hal ini
mekanisme peradilan akan memberikan stigma terhadap anak atas tindakan yang
dilakukannya sebagai anak jahat, maka langkah yang dilakukan lebih baik
menghindarkan anak dari sistem peradilan pidana konvensional ke mekanisme
penyelesaian di luar sistem peradilan pidana yang disebut Diversi.
Pertimbangan dilakukannya diversi didasarkan pada alasan untuk memberikan
keadilan kepada anak yang telah melakukan tindak pidana serta memberikan kesempatan
pada anak untuk memperbaiki dirinya. Menurut Peter C.Kratcoski terdapat tiga jenis
pelaksanaan diversi, yaitu:

a. Pelaksanaan kontrol sosial, dalam hal ini aparat penegak hukum menyerahkan anak
pelaku pada pertanggungjawaban dan pengawasan masyarakat, dengan ketaatan pada
persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas
perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh
masyarakat.
b. Pelayanan sosial masyarakat terhadap pelaku, yaitu pelayanan sosial oleh masyarakat
dengan melakukan fungsi pengawasan, mencampuri, dan menyediakan pelayanan bagi
pelaku serta keluarganya.
c. RestorativeJustice atau perundingan, yaitu melindungi masyarakat, memberi
kesempatan pelaku bertanggungjawab langsung kepada korban dan masyarakat serta
membuat kesepakatan bersama antara pelaku, korban dan masyarakat. Semua pihak
yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan terhadap
pelaku.21

Menurut Lawrence M. Friedman, ada tiga unsur dalam sistem hukum; pertama,
sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus berubah, namun bagian-bagian
sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap bagian berubah tidak
secepat bagian tertentu lainnya. Inilah struktur sistem hukum kerangka atau rangkanya,
bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap

21
Apong Herlina, dkk, Perlindungan Terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum,
Buku Saku untuk Polisi, Unicef, Jakarta, 2004, hlm.160

157
keseluruhan. Struktur sistem hukum terdiri dari unsur berikut ini: jumlah/ukuran
pengadilan, yurisdiksi (yaitu, jenis perkara yang diperiksa, dan bagaimana serta
mengapa), dan cara naik banding dari satu pengadilan ke pengadilan lain; kedua, aspek
lain dari sistem hukum adalah substansinya, yaitu aturan, norma, dan pola prilaku nyata
manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti “produk” yang dihasilkan
oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu keputusan yang mereka keluarkan, aturan
baru yang mereka susun. Penekannya di sini terletak pada hukum hukum yang hidup
(Living law), bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum (law books); ketiga, komponen
ketiga dari sistem hukum adalah budaya hukum. Yaitu sikap manusia terhadap hukum
dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan kata lain
budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan
bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum,
sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya seperti ikan yang mati terkapar di keranjang,
bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya.22
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa penanganan terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum sekarang lebih difokuskan pada konsep restorative justice
dimana anak yang berhadapan denagan hukum serta korban terlibat secara langsung
dalam penaganan perkara hukum tersebut dan menghindari proses peradilan yang dapat
menimbulkan pengaruh kurang baik bagi kehidupan dan perkembangan anak. Paradigma
ini ditujukan selain untuk penyelesain perkara anak yang berhadapan dengan hukum juga
agar tercipta perbaikan hubungan antar manusia melalui pemberian maaf dimana pelaku
atau anak yang berhadapan dengan hukum menyesali perbuatannya dan secara langsung
meminta maaf kepada korban yang kemudian pihak korban secara langsung pula
memberikan maafnya, yang artinya segala proses yang terjadi benar-benar melibatkan
anak yang berhadapan dengan hukum serta korban secara aktif.

3.2 Konsepsi Yuridis Diversi


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Polres Lampung Tengah terkait
dengan permasalahan ketentuan hukum dan tatacara Penyidik Polri menerapkan Diversi
terhadap pelaku tindak pidana pencurian berdasarkan Perkara Nomor 08/Pid.Sus-
Anak/2016/PN.GS, berdasarkan hasil wawancara dengan Resky Maulana Z. selaku
Penyidik dan Etty Mei Rini selaku Penyidik Pembantu, maka dapat diuraikan sebagai
berikut:

3.2.1.1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002


Dalam penerapan Diversi menurut Resky Maulana Z. selaku Penyidik
menyatakan, bahwa selama ini belum ada ketentuan Undang-Undang secara khusus yang
menetapkan standar prosedur pelaksanaan diversi dalam proses penyidikan perkara tindak
pidana anak di bawah umur, namun secara normatif kewenangan diskresi yang diatur
dalam Pasal 16 ayat (1) hururf 1 telah memberi keleluasaan kepada penyidik untuk
melakukan langkah kearah Diversi. Pasal tersebut menyatakan; dalam rangka
menyelenggarakan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 di
bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Kemudian dalam
pasal 16 ayat (2) dinyatakan: tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l
adalah tindakan Lidik dan Sidik yang dilaksanakan jika memenuhi syarat:
a) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
b) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan
c) Harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya

22
Lawrence M.Friedman, The Legal System: A Sosial Science Perspective, Russell Sage
Foundation, New York, 1975, hlm.7-9

158
d) Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa
e) Menghormati hak asasi manusia”

3.2.1.2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012


Keterangan Resky Maulana Z. selaku Penyidik Reskrim Polres Lampung Tengah,
menyatakan, bahwa substansi yang diatur dalam Undang-undang nomor 11 Tahun 2012,
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, antara lain; mengenai penempatan anak yang
menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lapas Anak (LPKA). Substansi paling
mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai diversi
yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan
sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
dan diharapkan anak dapat kembali ke lingkungan sosial dengan wajar. Dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor: 11 tahun 2012 juga menyatakan, Sistem Peradilan
Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan
dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah
menjalani pidana. Kemudian Pasal 4 menyatakan mengenai hak anak yang menjalani
masa pidana, yaitu:

(1) Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak:


a. mendapat pengurangan masa pidana;
b. memperoleh asimilasi;
c. memperoleh cuti mengunjungi keluarga;
d. memperoleh pembebasan bersyarat;
e. memperoleh cuti menjelang bebas;
f. memperoleh cuti bersyarat;
g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada anak yang memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana


Anak menjelaskan mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu:

(1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif,
yaitu Sistem Peradilan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang meliputi;
a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
b. Persidangan anak yang dilakukan pengadilan dilingkungan pengadilan umum;
c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses
pelaksanaan pidana atau tindakan setelah menjalani pidana atau tindakan.

(2) Dalam Sistem Peradilan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan
huruf b wajib diupayakan Diversi.

Mengenai pemberian diversi diperlukan syarat dan pertimbangan seperti yang


tertuang dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, yang menyatakan,
“Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus
mempertimbangakan; a.kategori tindak pidana; b.umur anak; c.hasil penelitian
kemasyarakatan dari Bapas; dan c.dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

3.2.1.3 PP RI Nomor 65 Tahun 2015


Peraturan ini mengatur tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan
Anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun. Hasil wawancara dengan Resky

159
Maulana Z. selaku Penyidik, menyatakan, bahwa peraturan ini merupakan dasar
pelaksanaan diversi dan penanganan anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun yang
merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak Pasal 15 dan Pasal 21 ayat (6). Substansi yang diatur dalam peraturan pemerintah
ini, memuat secara rinci mengenai pedoman pelaksanaan proses diversi; tatacara dan
koordinasi pelaksanaan diversi yang meliputi tahap penyidikan, penuntutan dan tahap
pemeriksaan di pengadilan; penanganan anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun
yang meliputi syarat dan tatacara pengambilan keputusan, program pendidikan,
pembinaan dan pembimbingan; pendanaan dan ketentuan peralihan.
Dalam penjelasan peraturan tersebut, proses diversi merupakan sebuah
mekanisme baru dalam sistem peradilan pidana di Indonesia khususnya bagi Anak. dalam
proses diversi, penyelesaian perkara anak dialihkan dari proses peradilan pidana ke proses
diluar peradilan pidana. Diversi dan pengambilan keputusan terhadap anak yang berumur
12 (dua belas) tahun yang melakukan atau diduga melakukan tindak pidana dimaksudkan
untuk menghindari proses peradilan umum dan stigmatisasi terhadap anak serta agar anak
dapat kembali ke lingkungan sosial secara wajar.
Proses diversi wajib diupayakan pada setiap tahapan peradilan pidana, dimulai
pada penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Proses diversi
hanya dapat dilakukan terhadap anak yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7
(tujuh) tahun, serta bukan terhadap anak yang pernah melakukan pengulangan tindak
pidana baik yang sejenis maupun yang tidak. Anak yang belum berumur 12 tahun tidak
dapat diajukan ke sidang pengadilan, karena berdasarkan pertimbangan sosiologis,
psikologis, dan pedagogis, anak dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Oleh karena itu, terhadap anak yang belum berusia 12 tahun yang
melakukan atau diduga melakukan tindak pidana dapat diambil keputusan untuk
dilakukan pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan oleh orang tua/Wali atau
lembaga/instansi serta LPKS.
Berdasarkan wawancara dengan Etty Mei Rini selaku Penyidik Pembantu Sat
Reskrim Polres Lampung Tengah menyatakan, bahwa tatacara penyidik Polri dalam
menerapkan Diversi terhadap pelaku anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana
pencurian berdasarkan Perkara Nomor 08/Pid.Sus-Anak/2016/PN.GS yaitu didasarkan
pada Pasal 13 sampai dengan Pasal 24 PP RI Nomor: 65 Tahun 2015 yang menyatakan:

Pasal 13:
(1) Sejak dimulainya penyidikan, Penyidik dalam jangka waktu paling lama 1x24 jam
meminta:
a. Pembimbing Kemasyarakatan untuk hadir mendampingi Anak dan melakukan
penelitian kemasyarakatan; dan
b. Pekerja Sosial Profesional untuk membuat laporan sosial terhadap Anak Korban
dan/atau Anak Saksi.
(2) Dalam jangka waktu paling lama 3x24 jam terhitung sejak tanggal diterimanya surat
permintaan dari Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembimbing
kemasyarakatan wajib menyampaikan hasil penelitian kemasyarakatan dan pekerja sosial
profesional wajib menyampaikan hasil laporan sosial.

Pasal 14:
(1) Dalam jangka waktu paling lama 7x24 jam terhitung sejak dimulainya penyidikan,
Penyidik memberitahukan dan menawarkan kepada Anak dan/atau orang tua/wali, serta
korban atau anak korban dan/atau orang tua/wali untuk menyelesaikan perkara melalui
Diversi.
(2) Dalam hal anak dan/atau orang tua/wali, serta korban atau anak korban dan/atau orang
tua/wali sepakat melakukan Diversi, Penyidik menentukan tanggal dimulai nya
musyawarah Diversi.

160
(3) Dalam hal anak dan/atau orang tua/wali, serta korban atau anak korban dan/atau orang
tua/wali tidak sepakat untuk melakukan Diversi, Penyidik melanjutkan proses penyidikan,
kemudian menyampaikan berkas perkara dan berita acara upaya Diversi kepada Penuntut
Umum.

Pasal 15:
(1) Proses Diversi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal dimulainya Diversi.
(2) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah Diversi.
(3) Pelaksanaan musyawarah Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melibatkan: a.
Penyidik; b. Anak dan/atau orang tua/walinya; c. korban atau anak korban dan/ atau orang
tua/walinya; d. Pembimbing Kemasyarakatan; dan e. Pekerja Sosial Profesional.
(4) Dalam hal dikehendaki oleh anak dan/atau orang tua/wali, pelaksanaan musyawarah
Diversi dapat melibatkan masyarakat yang terdiri atas: a. tokoh agama; b. guru; c. tokoh
masyarakat; d. Pendamping; dan e. Advokat atau Pemberi Bantuan Hukum.
(5) Dalam hal tidak terdapat Pekerja Sosial Profesional sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dalam pelaksanaan musyawarah Diversi, keterwakilan Pekerja Sosial Profesional
dapat digantikan oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial.

Pasal 16:
(1) Musyawarah Diversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dipimpin oleh
penyidik sbg fasilitator dan pembimbing kemasyarakatan sebagai wakil fasilitator.
(2) Musyawarah Diversi dihadiri oleh Anak dan/atau orang tua/wali, korban, atau anak
korban dan/atau orang tua/wali, dan/atau Pekerja Sosial Profesional.
(3) Musyawarah Diversi sbgmana dimaksud pada ayat (2) dapat melibatkan masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4).

Pasal 17:
(1) Dalam hal proses musyawarah Diversi tidak mencapai kesepakatan, Penyidik
membuat laporan dan berita acara proses Diversi.
(2) Penyidik mengirimkan berkas perkara kepada Penuntut Umum serta melanjutkan
proses peradilan pidana.

Pasal 18:
(1) Dalam hal musyawarah Diversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 mencapai
kesepakatan, Surat Kesepakatan Diversi ditandatangani oleh Anak dan/atau orang
tua/Wali, korban, Anak Korban dan/atau orang tua/Wali, Penyidik, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional.
(2) Seluruh proses pelaksanaan Diversi dicatat dalam berita acara Diversi.

Pasal 19:
(1) Dalam hal diversi mencapai kesepakatan penyidik menyampaikan surat kesepakatan
Diversi dan berita acara Diversi kepada atasan langsung Penyidik.
(2) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal dicapainya
kesepakatan Diversi, atasan langsung penyidik mengirimkan surat kesepakatan diversi
dan berita acara diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Ketua Pengadilan
Negeri untuk memperoleh penetapan.

Pasal 20:
(1) Ketua Pengadilan negeri mengeluarkan penetapan kesepakatan diversi dan sekaligus
menetapkan status barang bukti dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung
sejak tanggal diterimanya surat kesepakatan diversi dan BA diversi.

161
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada penyidik dan
pembimbing kemasyarakatan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung
sejak tanggal penetapan.

Pasal 21:
(1) Penyidik meminta para pihak untuk melaksanakan kesepakatan Diversi setelah
menerima penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
(2) Atasan langsung Penyidik melakukan pengawasan thd pelaks kesepakatan diversi.
(3) Pembimbing kemasyarakatan melakukan pendampingan, pembimbingan dan
pengawasan pelaksanaan kesepakatan Diversi.

Pasal 22:
(1) Dalam hal diperlukan, Pembimbing Kemasyarakatan dpt melaksanakan rehabilitasi
dan reintegrasi sosial terhadap Anak, bekerja sama dengan lembaga terkait.
(2) Dalam hal diperlukan, Pekerja Sosial Profesional dapat melaksanakan rehabilitasi dan
reintegrasi sosial terhadap Anak Korban, bekerja sama dengan lembaga terkait.

Pasal 23:
(1) Pembimbing Kemasyarakatan menyusun laporan pelaksanaan kesepakatan Diversi.
(2) Laporan mengenai pelaksanaan kesepakatan Diversi, disampaikan oleh Pembimbing
Kemasyarakatan kepada atasan langsung Penyidik.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara ringkas dalam
jangka waktu paling lama 1x24 jam terhitung sejak kesepakatan diversi selesai
dilaksanakan.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara lengkap dalam
jangka waktu paling lama 3x24 jam terhitung sejak kesepakatan Diversi selesai
dilaksanakan.

Pasal 24:
(1) Penyidik menerbitkan surat ketetapan penghentian penyidikan:
a. dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat
penetapan pengadilan, jika kesepakatan Diversi berbentuk perdamaian tanpa ganti
kerugian atau penyerahan kembali Anak kepada orang tua/Wali;
b. dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal kesepakatan
Diversi selesai dilaksanakan, jika kesepakatan Diversi berupa pembayaran ganti kerugian,
pengembalian pada keadaan semula, atau pelayanan masyarakat;
c. dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal kesepakatan
Diversi selesai dilaksanakan, jika kesepakatan Diversi berupa keikutsertaan Anak dalam
pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS; atau
d. dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal seluruh
kesepakatan Diversi selesai dilaksanakan.
(2) Surat ketetapan penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekaligus memuat penetapan status barang bukti sesuai dengan penetapan Ketua
Pengadilan Negeri setempat.
(3) Surat ketetapan penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikirimkan kepada Penuntut Umum beserta laporan proses Diversi dan berita acara
pemeriksaan dengan tembusan kepada Anak dan orang tua/Wali, korban, Anak Korban
dan/atau orang tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional, dan
Ketua Pengadilan Negeri setempat.

3.3 Tupoksi Personil Reserse Kriminal


Tugas pokok Satuan Reserse Kriminal adalah melaksanakan penyelidikan,
penyidikan dan pengawasan penyidikan tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi dan

162
laboratorium forensik lapangan serta pembinaan, koordinasi dan pengawasan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil. Untuk dapat melaksanakan tugas pokok tersebut, maka Satuan
Reserse Kriminal menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
a. Pembinaan teknis terhadap administrasi penyelidikan dan penyidikan, serta
identifikasi dan laboratorium forensik lapangan;
b. Pelayanan dan perlindungan khusus kepada remaja, anak dan wanita baik sebagai
pelaku maupun korban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Pengidentifikasian untuk kepentingan penyidikan dan pelayanan umum;
d. Penganalisisan kasus beserta penanganannya, serta mengkaji efektivitas
pelaksanaan tugas Satreskrim;
e. Pelaksanaan pengawasan penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik
pada unit reskrim Polsek dan Satreskrim Polres;
f. Pembinaan, koordinasi dan pengawasan PPNS baik di bidang operasional
maupun administrasi penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
g. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum dan khusus, antara lain tindak
pidana ekonomi, korupsi, dan tindak pidana tertentu di daerah hukum Polres.

3.4 Pelaksanaan Diversi


Pedoman yang dapat menjadi acuan bagi penyidik Polri dalam menerapkan konsep
diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum adalah telegram Rahasia Kaba
Reskrim Polri No.Pol: TR/1124/XI/2006 yang memberi petunjuk dan aturan tentang
teknik diversi yang dapat dilakukan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
adalah telegram Kaba Reskrim Polri yang berpedoman Undang-Undang Nomor: 2 tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal ini memberi pedoman dan
wewenang bagi penyidik Polri untuk mengambil tindakan lain yang bertujuan untuk
kepentingan terbaik bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Secara spesifik dasar
hukum penerapan diversi ini diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf l yang diperluas oleh
Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor: 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang menyatakan: “Polisi dapat mengadakan tindakan lain menurut
hukum yang bertanggungjawab dengan batasan, bahwa tindakan tersebut tidak
bertentangan dengan hukum yang berlaku, selaras dengan kewajiban hukum atau profesi
yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan tersebut, tindakan tersebut harus patut
dan masuk akal serta termasuk dalam lingkup jabatannya, yang didasarkan pada
pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan menghormati Hak
Asasi Manusia”.
Berdasarkan TR Kaba Reskrim tersebut terdapat pengertian mengenai diversi,
yakni suatu pengalihan bentuk penyelesaian dari penyelesaian yang bersifat proses pidana
formal ke alternatif penyelesaian dalam bentuk lain yang dinilai terbaik menurut
kepentingan anak. Dengan kata lain dapat diartikan bahwa diversi artinya pengalihan
kasus yang berkaitan dengan anak yang disangka telah melakukan pelanggaran diluar
prosedur peradilan formal dengan atau tanpa syarat-syarat tertentu. Berdasarkan uraian
tersebut, dapat disimpulkan bahwa hanya anak yang berkonflik dengan hukum atau anak
sebagai pelaku tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui jalur diversi, sepanjang
memenuhi ketentuan hukum yang mengatur tentang hal itu.
Selain petunjuk Kaba Reskrim Polri yang dituangkan dalam telegram No.Pol:
TR/1124/XI/ 2006, Penyidik Reskrim Polres Lampung Tengah juga berpedoman pada
tatacara yang diatur dalam UU Nomor: 11 tahun 2012, tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak dan PP RI Nomor: 65 tahun 2015, tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan
Penanganan Anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun. Ketentuan tersebut wajib
dijalankan, karena tidak satu pun dalam ketentuan perundang-undangan tersebut
mengatur agar proses pertanggung jawaban pidana pelaku anak di bawah umur yang
melakukan pencurian dilaksanakan pada peradilan umum.

163
4. Kesimpulan

Berdasarkan data-data hasil penelitian yang telah dilakukan dan ketentuan-


ketentuan Diversi sebagaimana diuraikan diatas, maka secara yuridis formal pelaksanaan
Diversi dalam proses penyidikan tindak pidana terhadap pelaku anak di bawah umur yang
melakukan tindak pidana pencurian dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pertanggungjawaban pidana pelaku anak di bawah umur yang melakukan tindak
pidana pencurian, dalam pelaksanaannya wajib dilaksanakan diversi dan proses
peradilan yang dilakukan tidak boleh melalui proses peradilan umum, melainkan
proses diluar peradilan dengan cara penerapan Diversi.
2. Ketentuan tentang Diversi secara umun diatur dalam Undang-undang Nomor 11
Tahun 2012, tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang pelaksanaannya diatur
dalam pasal 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23 dan pasal 24 Peraturan
Pemerintah Nomor: 65 tahun 2015, yang secara tegas memuat ketentuan tentang
penerapan Diversi dan hak anak yang berhadapan dengan hukum.
3. Secara spefisik tatacara penerapan proses Diversi diatur dalam pasal 15 ayat (1)
sampai dengan ayat (4) yang menyatakan: ayat (1): Proses diversi dilaksanakan dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal dimulainya
Diversi; ayat (2): Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah Diversi; ayat (3):
Pelaksanaan musyawarah Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melibatkan: a.
Penyidik; b. Anak dan/atau orang tua/walinya; c. korban atau anak korban dan/atau
orang tua/walinya; d. Pembimbing Kemasyarakatan; dan e. Pekerja Sosial Profesional;
dan ayat (4): Dalam hal dikehendaki oleh anak dan/atau orang tua/wali, pelaksanaan
musyawarah Diversi dapat melibatkan masyarakat yang terdiri atas: a. tokoh agama; b.
guru; c. tokoh masyarakat; d. Pendamping; dan e. Advokat atau Pemberi Bantuan
Hukum.**

Daftar Pustaka

A. Buku
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, ____PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.

Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Bambang Poernomo, Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Seksi Kepidanaan Fakultas
____Hukum UGM, Yogyakarta, 1982.

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, PT Gramedia


Pustaka, ____Jakarta, 2004.

John Rawls, A Theory of Justice, Oxford University Press, London, 1973, yang sudah
____diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori
____Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.

Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Sosial Science Perspective, Russell Sage
Foundation, New York, 1975.

____, American Law, W.W. Norton & Co, New York, 1984.

164
____, American Law An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah
Pengantar), ____ Penerjemah Wisnu Basuki, Penerbit PT Tatanusa, Jakarta, 2001.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2005.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
2005.

PAF.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
____Bandung, 1997.

Pipin Sarifin, Hukum Pidana di Indonesia, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2000.

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Angkasa, Jakarta,


1991.

Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Armico, Bandung, 1993.

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), BPHN,


Jakarta, ____ 2001.

Soerjono Soekanto, Penanggulangan Kejahatan, Rajawali Pers, Jakarta, 1984.

____, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, 2007.

Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1997.

Soleman B. Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum Dalam Masyarakat, PT. Raja Grafindo
____Persada, Jakarta, 1993.

Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990.

WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976.

B. Undang-Undang Dan Peraturan Lainnya

____Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1946, tentang KUHP.


____Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981, tentang KUHAP.
____Undang-Undang Nomor: 3 Tahun 1997, tentang Peradilan Anak.
____Undang-Undang Nomor: 2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
____Undang-Undang Nomor: 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
____Undang-Undang Nomor: 48 tahun 2009, tentang Perubahan atas UU Nomor: 4 tahun
____2004, tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

____Undang-Undang Nomor: 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

____Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor ____23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

165
____Peraturan Pemerintah Nomor: 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan
____Pemerintah Nomor: 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum ____Acara Pidana.

C. Sumber Lain

Imam Supomo, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1982.

Sofyan Parerungan, Penerapan Diversi dalam Persidangan Anak, Artikel, Publising: pn-
____Bangil.go.id/data, 2014.

166
Hukuman Kebiri bagi Pelaku Pencabulan Terhadap Anak

Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H., dan Angga Kurniawan

1. Pendahuluan

Perlindungan terhadap korban pelaku tindakan pidana sangat lah penting, Banyak
sekali kasus-kasus pencabulan anak Dampak buruk yang akan terjadi adalah luka fisik
maupun mental sank anak, selain pemulihan luka fisik luka mental adalah luka yang
sangat penting harus disembuhkan agar sang anak dapat kembali kehidupan sosialnya

2. Permasalahan

1. Mengapa pentingnya hukumunan kebiri perlu diberikan pada pelaku dewasa?


2. Apa saja syarat dan prosedur dijatuhkannnya sanksi kebiri?

3. Metode Penelitian

Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan pendekatan


yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan.
Data dianalisis secara kualitatif. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik
studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

4. Pembahasan
4.1 Hukuman Kebiri Perlu Diberikan Terhadap Pelaku Pencabulan Anak.
Terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak. Perppu ini
memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan pencabulan, yakni hukuman mati, penjara
seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara. Perppu juga
mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik,
serta pemasangan alat deteksi elektronik.Sanksi penegebiri syaraf libido dalam peraturan
pemerintah pengganti undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 terhadap pelaku sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan
pemasangan cip.1
Undang-Undang No.1 Tahun 2016, sanksi kebiri kimiawi di cantumkan pada pasal 81,
pasal 82 dan pasal 81A sebagai hukuman tambahan dan itu bisa menjadi pilihan bagi
aparat penegak hukum khususnya Hakim sebagai pengadil di dalam persidangan untuk
memberikan hukuman dengan tujuan efek jera untuk para pelaku, sanksi kebiri kimiawi
di anggap sesuai dengan tujuan pemidanaan sanksi pidana merupakan salah satu cara
yang di gunakan untuk mencapai tujuan diadakannya hukuman pidana, pemberian
hukuman pidana sebenarnya telah menjadi persoalan dan pemikiran di kalangan para ahli
dalam mencari alasan – alasan dan syarat-syarat seseorang dijatuhi hukuman pidana.

1
http://nasional.kompas.com/read/2016/05/25/20464201/ini.isi.lengkap.perppu.kebiri 6 desember
2016 pukul 13:00

167
Dalam hal ini ada tiga teori yang terkait pemidanaan, yaitu:2
1. Teori absolut
2. Teori Relatif
3. Teori Gabungan

1. Penerapan Sanksi Hukuman Kebiri Di Indonesia


. Kedudukan Pidana kebiri dalam sistem pemidanaan di Indonesia bukanlah sebagai
pidana pokok, tambahan maupun pemberatan, namun termasuk dalam pidana tindakan.
Pasal 81 ayat (7) Perppu No. 1 Tahun 2016 menegaskan, “terhadap pelaku sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan
pemasangan cip”. Perbedaan pidana pemberatan dan pidana tambahan berdasarkan
Undang-undang No. 1 Tahun 2016 terletak pada Pasal 81 ayat 3 dan 4 yang menyatakan
bahwa:
Pasal 81 ayat (3) ”Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga,
pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan
anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah
1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal 81 ayat 4”
Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga)
dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D”. Adanya frasa
“pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)” Bahwa yang termasuk kerabat dekat anak dan
pelaku residivis dalam tindak perbuatan kekerasan seksual terhadap anak dikenakan
pemberatan hukuman melalui penambahan sepertiga (1/3) dari ancaman pidana penjara 5
hingga 15 tahun dan tambahan sepertiga (1/3) dari ancaman pidana denda paling banyak
Rp. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah). Adapun yang termasuk dalam pidana tambahan
dalam Pasal 81 ayat 6 Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 yaitu, “selain dikenai pidana
tambahan dimaksud ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana
tambahan berupa pengumuman identitas pelaku”.
Penegakan hukum pidana yang rasional tersebut terdiri dari tiga tahap, yaitu : tahap

formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekusi.

2. Relevansi Pidana Kebiri Dalam Teori Pemidanaan


Maka unsur-unsur delik atau ciri-ciri pidana adalah:3
a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan ataunestapa atau
akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan/oleh yang berwenang;
c. Pidana itu dikenakan kepada subyek hukum yang telah melakukan perbuatan pidana
(yang dapat dipertanggung jawabkan).
Pidana sebagai sebuah nestapa atau penderitaan, maka obyek atau sasaran pengenaanya
dalam hal ini ditujukan kepada:
1. Ditujukan terhadap jiwa, seperti pidana mati;
2. Ditujukan terhadap badan, seperti pidana cambuk, pidana kebiri dan sebagainya;
3. Ditujukan terhadap kemerdekaan atau kebebasan, seperti pidana penjara,pidana
kurungan, pidana pembuangan;
4. Ditujukan terhadap harta benda, seperti pidana denda

2
Roni Wiyanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung; Mandar Maju 2012) hlm 111.
3
Saleh, Roeslan (1983). Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara Baru. Halaman 18

168
Mengingat pidana merupakan suatu penderitaan yang tidak menyenangkan, karena
memang hukum pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat
berlakunya norma-norma hukum yang telah ada, tetapi tidak mengadakan norma yang
baru, maka atas dasar inilah Kant menyebut bahwa hukum pidana sesungguhnya adalah
hukum sanksi.
Demikian halnya dengan posisi sanksi pidana juga berkedudukan sebagai ultimum
remidium.4 Menurut Barda Nawawi Arief yaitu karena hukum pidana juga mempunyai
batas-batas kemampuan sebagai sarana/saluran kebijakan kriminal. Itu semua
dikarenakan oleh hal-hal sebagai berikut :5
Untuk membuat pidana kebiri ini lebih efektif, lebih baik jika ditambahkan dengan
sebuah terapi yang merubah perilaku kekerasanya dan perilaku seksualnya.

4.2 Syarat penjatuhan sanksi kebiri


1. Syarat-syarat utama dalam pemberian sanksi kebiri kimiawi terhadap pelaku
pencabulan anak.
Ada sejumlah syarat bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang
akan dijatuhi hukuman kebiri. Syarat umum bagi pelaku di jatuhkan hukuman kebiri
a. Pertama pelaku yang akan dikebiri divonis hukuman pidana minimal 5 tahun dan
maksimal 20 tahun.
b. keputusan hakim yang mutlak di berika kepada pelaku atau terdakwa, karna
keputusan hakim menjadi syarat utama dalam membrikan sanksi.
c. Ketiga hukuman kebiri diberikan apabila pelaku sudah dewasa atau sudah berumur
dia atas 18 tahun
2. Syarat khusus bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang
akan di jatuhkan hukuman kebiri
a. Keempat hukuman kebiri diberikan apabila Hukuman pokoknya itu minimalnya lima
tahun maksimalnya 20 tahun.
b. Kelima hukuman kebiri diberikan apabila si pelaku melakukannya lebih dari satu kali
atau korbannya lebih dari satu
c. hukuman kebiri diberikan apabila jumlah korban lebih dari satu. Kemudian syarat
lainnya adalah jika ulah pelaku mengakibatkan rusaknya alat kelamin korban, atau
korban menderita penyakit kelamin menular serta gangguan jiwa menyebabkan
korbannya terkena penyakit menular. Atau kerusakan alat reproduksi
Selain itu, dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tersebut juga diatur bahwa hukuman
bagi pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak tidak hanya kebiri tetapi
juga hukuman mati dan seumur hidup. "Tapi bukan cuma kebiri, bisa jadi dia jatuhnya
adalah hukuman mati atau seumur hidup atau kebiri,"6
Berdasarkan aspek Hak Asasi Manusia, kejahatan pencabulan anak dapat dikatakan telah
merusak generasi muda karena dengan hal buruk yang di alami anak Hak Asasi Manusia
yang dimiliki si anak akan terampas, penegakan hukum suatun istilah khas di Indonesia
yang di terima sebagai konotasi penerapan Undang-Undang. Secara positif, makna
kekuasaan merupakan sumber kekuasaan yang menggerakan masyarakat berada dalam
lingkungan tatanan hidup.
Kekuasaan dalam proses penegakan hukum dimaksudkan melaksanakan atau menerapkan
hukum atas dasar kekuasaan yang diberikan oleh hukum dan kekuasaan yang disalurkan
serta dibatasi oleh hukum. Menurut ajaran teori absolute atau pembalasan dasar hukum

4
Kelsen, Hans (2008). Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif. Bandung: Nusa
Media halaman 57
5
Arief, Barda Nawawi (2010). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: Kencana. Hal
24
6
https://www.merdeka.com/peristiwa/ini-syarat-pelaku-kekerasan-seksual-boleh-dihukum-
kebiri.html, rabu 5 juli 2017. Pukul 22:06

169
dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan,
akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan dari
pada hukuman.7
Menurut penulis, kode etik kedokteran sampai saat ini menjadi hambatan utama bila
sanksi pidana tambahan di berikan kepada para pelaku, karna kode etik profesi dan semua
itu tertuang dalam Pasal 8, Pasal10, Pasal 11 dan Pasal 12, melarang mereka untuk
melakukan suatu perbuatan yang bersifat menyakiti pasien karna dokter umum yang
patuh terhadap kode etik tidak diperbolehkan melakukan tindakan pengebirian, dan solusi
dalam hal ini adalah dengan membentuk dokter khusus yang tergabung dalam dokter
kepolisian yang tentunya dokter kepolisian akan tunduk pada undang-undang dan
perintah atasan agar bisa melaksanakan eksekusi tersebut.
Berikut adalah pasal-pasal yang di langgar seorang kode etik dalam dunia kedokteran bila
seorang dokter melakukan suntik kebiri kimiawi kepada pelaku kejahatan pencabulan
anak di bawah umur: Pasal 8, 9, 10,Pasal 11, 12, .8

3. Keduduan Pidana Kebiri Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia (Pasca


Dikeluarkannya Undang-undang No. 1 Tahun 2016)

1) Pengawasan dan pengendalian secara umum terhadap kegiatan Dokpol


dilaksanakan:
a. Pada tingkat Mabes Polri oleh Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri; dan
b. Pada tingkat kewilayahan oleh Inspektorat Pengawasan Daerah (Itwasda) Polda.
2) Pengawasan dan pengendalian teknis terhadap kegiatan dokpol dilaksanakan:
a. Pada tingkat Mabes Polri oleh Kapusdokkes Polri; dan
b. Pada tingkat kewilayahan oleh Kapusdokkes Polda.
3) Eksekutor Pidana Kebiri
Muncul penolakan dari dokter, dalam hal ini Ikatan Dokter Indonesia (IDI), untuk
menyuntik pelaku pedofil dengan zat kimia. Dokter menolak menjadi eksekutor pidana
kebiri dengan alasan bertentangan dengan kode etik (KODEKI). Sesuai kode etik,
seorang dokter harus menjadi pelindung kehidupan sesuai dengan Pasal 11 Kode Etik
Kedokteran. Seorang dokter harus mengerahkan segala kemampuanya untuk memelihara
kehidupan alamiah pasienya dan tidak untuk mengakhirinya. Selain itu, terdapat tiga asas
alasan utama dokter (IDI) menolak menjadi eksekutor kebiri, yaitu):
a. Asas manfaat, b. Asas jangan mencederai atau jangan merugikan Prinsip ini menjadi
penegasan asas manfaat, c. Asas Otonomi
Dokpol sebagai unit kerja Polri, yang profesional di bidangnya menjadi pelaksana
eksekutor pelaku pidana kebiri. Peraturan Kepolisan Negara Republik Indonesia No. 12
Tahun 2011 tentang Kedokteran Kepolisian Pasal 1 ayat 1 menyatakan, “Kedokteran
Kepolisian yang selanjutnya disingkat Dokpol adalah penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran beserta ilmu-ilmu pendukungnya untuk kepentingan tugas
kepolisian.”Kepentingan tugas kepolisian yang dimaksudkan dalam Peraturan Kepolisian
RI No. 12 Tahun 2011 Pasal 1 ayat 1 salah satunya adalah dalam rangka penegakan
hukum terhadap pelaku pidana kebiri berdasarkan putusan pengadilan. Kemampuan
Dokpol dalam Peraturan Kepolisian RI Pasal 6, di antaranya, yaitu: 1) Olah Kejadian
Tempat Perkara (TKP), aspek medis; 2) Patologi Forensik; 3)Antropologi Forensik; 4)
Odontologi kepolisian; 5) DNA Profiling; 6) TaksikologiForensik; 7) Kesehatan
Tahanan; 8) Forensik Klinik; 9) Psikiatri forensik;
10)Kedokteran lalu lintas; 11) Hukum kesehatan;12) Medikolegal; 13) PPT korban
kekerasan terhadap perempuan dan anak; 14) Farmasi kepolisian; 15) Keslap;

7
Satochid kartanegara, hukum pidana bagian satu, Jakarta:balai lekt ur mahasiswa, hal:59
8
https://idicabangkotabaru.wordpress.com/kode-etik-kedokteran-indonesia/, kamis 6 juli 2017,
pukul 11:20

170
Pengamanan Kesehatan; 16) Pengamanan Makanan; 17) Penanganan penyalahgunaan
narkotika; 18) Penanganan bahaya CBRN; 19) Geomedichine; 20) Kesehatan Perpolisian
Masyarakat (Kespolmas).
Pertanggungjawaban Dokpol terdapat dalam Peraturan Kepolisian RI No. 12 Tahun 2011
Pasal 13 ayat (1) dan (2), yaitu: ISSN: 1412-6834 Vol. 8 No. 1 Februari 2017, hal. 1-19
Keduduan Pidana Kebiri Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia (Pasca Dikeluarkannya
Undang-undang No. 1 Tahun 2016)
4) faktor penghambat
Faktor sarana atau fasilitas, hambatan ini penjadi pertimbangan khusus bagi hakim dalam
membrikan sanksi pidana keberi selain terbentur oleh para pendapat yang tidak
mendukung masalah sanks ini pun terbentur oleh pada eksekutor ya itu peran dokter
dalam menyuntikan kebiri kimiawi terhadap pelaku karna dokter memiliki kode etik
kedokteran dan ikatan dokter Indonesia (IDI) yang tidak mengizinkan memberikan sanksi
kebiri kimiawi karna mereka berpendapat bahwa hal tersebut tidak boleh dilakukan kerna
menyalah aturan dokter yang seharusnya melakukan tindakan penyembuhan tetapi dalam
hal ini dokter di tuntut melakukan perbuatan yang menciderai kesehatan pada manusia
walau senyata nya hal ini di atur oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 2016.

5. Simpulan

Bedasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis dan telah dijelaskan
pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan yaitu:
1. Penjatuhan pidana kebiri kimiawi kepada pelaku dewasa pencabulan anak di bawah
umur sudah di anggap sangat tepat.
2. Pelaksanaan eksekusi kebiri harus dilakukan nantinya oleh tim khusus yang dibentuk
Dokpol.

Daftar Pustaka
Buku-buku / Literatur
1

Arief, Barda Nawawi (2010). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta:
Kencana.

Roni Wiyanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung; Mandar Maju 2012)

Kelsen, Hans (2008). Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif.
Bandung: Nusa Media

Rosidah Nikmah, 2011, Asas-Asas Hukum Pidana. semarang,


Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Yogjakarta: Balai Lektur Mahasiswa,
Saleh, Roeslan (1983). Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara Baru.

Marzuki Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Group, .
http://nasional.kompas.com/read/2016/05/25/20464201/ini.isi.lengkap.perppu.kebiri 6
desember 2016 pukul 13:00
24https://www.merdeka.com/peristiwa/ini-syarat-pelaku-kekerasan-seksual-boleh-
dihukum-kebiri.html, rabu 5 juli 2017. Pukul 22:06

171
Menguatkan Peran Kelompok Pendukung ASI untuk Membentuk
Budaya Adil Gender dalam Pemberian ASI Eksklusif
Studi Kasus: Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia Cabang Lampung dan
Komunitas Ayah ASI Lampung

Ritma Fathi Khalida, S. Si.


Ketua Divisi SDM dan Pengembangan Organisasi AIMI Lampung

Abstrak

Menyusui merupakan hak reproduksi dan merupakan bagian dari isu kesetaraan
gender. Menyusui memiliki manfaat kesehatan bagi ibu, bayi dan masyarakat. Namun
angka menyusui masih jauh dari harapan. Salah satu penyebab masih sedikitnya angka
menyusui adalah kurang nya peran serta dari ayah dalam mendukung pemberian ASI
Ekslusif. Untuk itu perlu adanya edukasi terkait pentingnya adil gender berupa
keterlibatan suami dalam mendukung ibu menyusui. Kelompok pendukung ASI seperti
AIMI Lampung dan Komunitas Ayah ASI Lampung memiliki peran yang penting dalam
melakukan edukasi tentang pentingnya keikutsertaan suami dalam pemberian ASI
ekslusif. Namun dalam menjalankan peran tersebut perlu adanya penguatan terhadap
kedua kelompok pendukung ASI tersebut, berupa penguatan kelembagaan, termasuk
penguatan pendanaan, perlunya akses yang lebih luas ke berbagai sektor baik itu
pemerintah dan swasta, serta perlunya peningkatan kompetensi pengurus dan konselor.

1. Pendahuluan

Telah banyak diketahui bahwa menyusui memiliki manfaat kesehatan bagi ibu
dan bayi baik itu manfaat jangka pendek dalam mengurangi angka kematian bayi dan ibu
pasca melahirkan maupun manfaat jangka panjang dalam mengurangi berbagai resiko
kesehatan dimasa datang (Victoria et al., 2016).
Menyusui merupakan hak reproduksi yang sudah dijamin oleh berbagai
instrument baik itu internasional dan nasional sebagai bentuk perlindungan dan dukungan
terhadap hak menyusui (Gribble et al,. 2011) Sebagai salah satu negara yang meratifikasi
perlindungan dan dukungan terhadap pemberian ASI, Pemerintah Republik Indonesia pun
turut mengeluarkan regulasi yang menjadi payung hukum perlindungan hak menyusui
diantaranya adalah:
1. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pasal 128
menyatakan “setiap bayi yang lahir berhak untuk mendapatkan ASI Eksklusif’.
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perundangan Anak.
3. Peraturan Mentri Kesehatan RI No 39 Tahun 2013, tentang susu formula dan
produk bayi.
Sebagai bentuk dukungan yang sama Pemerintah Provinsi Lampung juga
mengeluarkan Peratuean Darah Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Pemberian Air Susu Ibu
Eksklusif.
Selain sebagai salah satu isu kesehatan yang sangat penting, menyusui juga
merupakan bagian dari isu kesetaraan gender. Esterik (1994) menyatakan bahwa
Menyusui adalah isu penting perempuan, isu hak asasi manusia, dan isu feminis, karena

172
menyusui memberi dan memberdayakan perempuan untuk berkontribusi terhadap
kesetaraan Gender. Lake dan Chan (2006) menyatakan bahwa menyusui eksklusif dapat
meningkatkan jarak kelahiran, memungkinkan wanita untuk menunda kehamilan
berikutnya dan memberdayakan perempuan untuk melakukan otonomi reproduksi yang
lebih besar, terutama di negara-negara dan masyarakat di mana perempuan memiliki
akses terbatas terhadap informasi dan perawatan kontrasepsi yang berkualitas. Pada
gilirannya, hal ini dapat meningkatkan kemampuan perempuan dan anak perempuan
untuk kembali ke sekolah, dan bekerja di luar rumah dan mendukung keluarga mereka
dengan lebih baik.
Namun pada pelaksanaanya menyusui masih dianggap hanya domain
perempuan, masih banyak yang menganggap keberhasilan dan kegagalan menyusui
merupakan tanggung jawab perempuan sepenuhnya.

2. Pembahasan
2.1 Angka Pemberian ASI Ekslusif di Indonesia dan Provinsi Lampung
Berbagai perlindungan terhadap hak menyusui sudah banyak diterbitkan,
berbagai program pun sudah dilaksanakan untuk meningkatkan angka cakupan menyusui,
namun hasilnya ternyata masih jauh dari harapan. Dalam Situasi dan Analisis ASI
Eksklusif yang dikeluarkan oleh Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI tahun 2014,
Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 angka cakupan ASI eksklusif 0-6 bulan mencapai
54,3%. Namun dalam Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016, angka
cakupan ASI eksklusif sampai 6 bulan hanya 29,5%. Demikian Juga dengan Provinsi
Lampung Berdasarkan Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016 hanya
22, 4 % bayi mendapatkan ASI Eksklusif sampai 6 bulan. Data ini menurun jika
dibandingkan dengan data Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015
yaitu bayi yang mendapatkan ASI eksklusif sampai 6 bulan mencapai 54.9%.

2.2 Penyebab Kegagalan Menyusui


Penyebab kegagalan menyusui yang paling dominan adalah kurang
pengetahuan tentang menyusui kepada ibu, keluarga terutama suami serta tenaga
kesehatan, dan berarti sebaliknya, pengetahuan yang memadai melalui program edukasi
mampu meningkatkan angka menyusui (Aurora et al., 2017). Masih banyak yang
mengaggap menyusui bisa dilakukan secara alamiah tanpa perlu dipelajari. Dari data
konseling home visit yang dijelaskan dalam Laporan Kegiatan AIMI Lampung 2015-
2016, sebanyak 70% dari klien home visit memiliki masalah posisi dan pelekatan
menyusui. Posisi dan pelekatan adalah keterampilan dasar yang salah satu yang utama
dalam kelancaran proses menyusui, namun rupanya masih banyak ibu yang belum
mengetahui keterampilan keterampilan ini.
Kurangnya pemahaman tentang ilmu menyusui berdampak pada kurang
fahamnya menyusui sebagai tanggung jawab bersama dalam keluarga termasuk di
dalamnya adalah suami. Menyusui seringkali dianggap hanya menjadi domain dan
tanggung jawab perempuan. Padahal dukungan orang terdekat yaitu suami menjadi faktor
dominan yang sangat mempengaruhi keberhasilan menyusui. Menurut Raj dan Plichta
(1998) dukungan sosial termasuk di dalamnya dukungan suami mampu meningkat angka
menyusui, dan sebaliknya kurangnya dukungan dari suami akan menurunkan angka
menyusui. Hal yang sama ditunjukkan oleh Aish (2013) dan Wahyuningsih dan
Machmudah (2012). Maycock et al. (2015) menyatakan adanya peningkatan signifikan
angka menyusui ketika ayah mengikuti kelas edukasi tentang menyusui sebelum persalian
dan setelah persalinan. Dari hasil penelitian diatas menunjukkan pentingngnya
memberikan edukasi kepada ibu dan ayah sebelum persalinan untuk meningkatkan angka
menyusui. Menurut Ramadani dan Hadi (2009) menyatakan ibu yang mendapat dukungan
suami dalam pemberian ASI eksklusif berpeluang memberikan ASI eksklusif 2 kali

173
daripada ibu yang suaminya kurang mendukung pemberian ASI eksklusif. Oleh
karenanya suami harus juga dijadikan sasaran edukasi ASI dan didorong untuk lebih aktif
mencari informasi serta aktif belajar mengenai ASI, sehingga lebih paham dalam
memberikan dukungan kepada ibu untuk menyusui secara eksklusif.

Peran Kelompok Pendukung ASI Dalam Meningkatkan Peran Serta Suami


Sebagai bentuk kepedulian terhadap pentingnya edukasi menyusui, berbagai
kelompok dan komunitas pendukung ASI turut bermunculan dan tergerak untuk turut
serta melakukan dukungan, pendampingan dan edukasi menyusui. Diantara kelompok
pendukung ASI yang ada di provinsi Lampung, Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI)
Cabang Lampung dan Komunitas Ayah ASI Lampung merupakan salah satu kelompok
pendukung ASI yang tidak hanya melakukan edukasi tentang pentingnya menyusui tapi
juga melakukan edukasi tentang pentingnya keikutsertaan suami sebagai bentuk keadilan
gender dalam pemberian ASI Eksklusif.

 Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Lampung


Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) adalah organisasi nirlaba berbasis
kelompok sesama ibu menyusui dengan tujuan menyebarluaskan pengetahuan dan
informasi tentang menyusui serta meningkatkan angka ibu menyusui di Indonesia dan
memiliki visi menjadi kelompok pendukung ibu andalan masyarakat dan berperan utama
dalam peningkatan angka ibu menyusui di Indonesia melalui penyelenggaraan kegiatan-
kegiatan promosi, edukasi, dan advokasi mengenai menyusui. AIMI Lampung adalah
cabang ke 15, yang berdiri secara resmi pada tanggal 26 Oktober 2016.
AIMI lampung secara rutin mengadakan kegiatan Edukasi, Advokasi, dan Sosialisasi
ASI di berbagai tempat dan untuk berbagai kalangan, seperti Kelas Edukasi Menyusui,
Kelas Edukasi MPASI (Makanan Pendamping ASI), AIMI Goes to Office, AIMI Goes To
Community, konseling home visit dan hospital visit serta peer group. Dalam berbagai
kegiatan sosialisasi dan edukasi AIMI Lampung selalu menekankan tentang pentingan
dukungan suami/ayah dalam kesuksesan pemberian ASI Eksklusif. AIMI Lampung
senantiasa mendorong keikutsertaan suami dalam berbagai kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan. AIMI Lampung tidak ragu untuk berkolaborasi dengan berbagai
stakeholder baik itu pemerintah, swasta dan komunitas pendukung ASI lainnya seperti
Komunitas Ayah ASI Lampung. Beberapa kolaborasi yang pernah dilakukan dengan
Ayah ASI Lampung diantaranya dengan mangundang admin @AyahAsi_Lampung
dalam kegiatan Kelas Edukasi Menyusui sebagai pemateri, mengadakan Lomba Foto
Ayah Asi dan lain lain. Saat ini AIMI Lampung memiliki 2273 follower instagram, 1200
anggota grup Facebook, 129 follower twitter dan 256 member grup Whatsapp.

 Komunitas Ayah ASI Lampung


Komunitas Ayah ASI adalah komunitas pendukung ASI yang di pelopori oleh 8
orang ayah yaitu Pandu Gunawan, Dipa Andika Nurprasetyo, Shafiq Pontoh, A. Rahmat
Hidayat, Aditia Sudarto, Syarief Hidayatullah, Ernest Prakasa, Sogi Indra Dhuaja, Milla
Andriana. Komunitas ini berdiri ditandai dengan terbitkannya buku “Catatan Ayah ASI”
dan akun @ID_AyahASI di twitter. Komunitas yang berdiri pada tanggal 25 April 2011
ini merupakan sekelompok ayah yang mempunyai satu tujuan, mendukung 100%
pemberian ASI eksklusif pada buah hati. Komunitas ini hanya ingin berbagi pengalaman,
bagaimana caranya supaya istri mampu mengeluarkan ASI semaksimal mungkin. Setahun
kemudian tepatnya pada bulan Oktober 2012 aku twitter @AyasASI_Lampung
diluncurkan menandakan terbentuknya Komunitas Ayah ASI Cabang Lampung. Saat ini
Ayah ASI Lampung memiliki 211 follower instagram, dan 1071 follower twitter.

174
Terbentuknya Komunitas Ayah ASI merupakan simbol dari kesetaraan gender dalam
pemberian ASI Eksklusif. Menyusui menuntut peran dari keluarga terutama ayah/ suami
tidak hanya semata-mata tugas ibu/ istri. Selain memberikan edukasi tentang pentingnya
menyusui dan pentingnya peran ayah dalam menyusui Komunitas Ayah ASI juga
memberikan edukasi tentang apa saja yang bisa dilakukan oleh ayah untuk mendukung
menyusui.

AIMI lampung dan Ayah ASI Lampung memiliki beberapa peran dalam membentuk
budaya adil gender dalam pemberian ASI Eksklusif yaitu;
 Memberikan edukasi tentang pentingnya menyusui, pengetahuan dan
keterampilan menyusui serta pentingnya kesetaraan gender dalam pemberian ASI
Eksklusif.
 Memberikan rasa percaya diri kepada ibu, pemahaman yang cukup tentang
menyusui yang didapatkan dari kelas edukasi atau dari konsultasi sebelum
persalinan membuat ibu lebih percaya diri dalam memberikan ASI bagi bayinya
termasuk ketika menghadapi masalah menyusui, juga percaya diri menyatakan
haknya untuk mendapatkan dukungan sosial termasuk dukungan dari suami
 Memberikan rasa percaya diri suami/ayah dalam memberikan dukungan dan
bantuan kepada ibu untuk menyusui.
 Memberikan wadah solidaritas ketika menghadapi berbagai persoalan menyusui
yang dihadapi oleh ibu.

Dengan peran yang penting dalam meningkatkan angka menyusui di provinsi Lampung,
penulis melihat masih banyak kendala yang dihadapi oleh kedua kelompok pendukung
ASI ini, diantaranya adalah:
1. Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui keberadaan AIMI Lampung
dan Ayah ASI Lampung.
2. Keterbatasan sumber daya manusia, dengan jumlah pengurus dan konselor
menyusui menyebabkan belum efektifnya pelaksanaan program kerja. Kedua
kelompok ini merupakan organisasi berbasis sukarela, dimana sebagai besar
pengurusnya memiliki pekerjaan utama, sehingga dalam melakukan keja
organisasi seringkali terkendalan waktu dan tenaga.
3. Keterbatasan pendanaan. AIMI Lampung dan Ayah ASI Lampung merupakan
organisasi yang berbasis sukarela. Selama ini pendanaan berasal dari bantuan
sponsor pada kegiatan rutin maupun insidental. Namun sampai saat ini belum
bisa membiayai roda organisasi secara maksimal, sehingga seringkali pengurus
dan konselor harus menggunakan uang pribadi untuk menjalankan fungsi-fungsi
organisasi.

Dari beberapa kendala yang dihadapi, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan
untuk menguatkan peran dari kedua kelompok pendukung ASI ini yaitu:
1. Penguatan Kelembagaan, dengan cara memperluas jaringan dan kolaborasi tanpa
konflik kepentingan dengan berbagai stakeholder baik itu pemerintah maupun
swasta. Kolaborasi penting selain untuk mengenalkan kelompok ASI ke cakupan
yang lebih luas, kolaborasi juga bisa menjadi salah satu jalan untuk mendapatkan
pendanaan baik itu seperti dana CSR ataupun berupa sponorship. yang bisa
dilakukan bisa berupa pendanaan maupun kerja sama dalam bentuk kegiatan
bersama.
2. Perlunya dukungan dari pemangku kebijakan agar komunitas pendukung ASI
bisa diberikan akses untuk bisa turut terlibat dan bisa berkolaborasi menjalankan
program-edukasi ke berbagai sektor, termasuk dalam menjalankan peran

175
advokasi menyusui baik itu di instansi pemerintah swasta maupun fasilitas
kesehatan.
3. Memperkuat kompetensi pengurus dan konselor, untuk menguatkan peran
organisasi, perlu dilakukan program peningkatan kompetensi pengurus dan
konselor yang dilakukan secara rutin.

Diharapkan beberapa upaya tersebut bisa menguatkan peran dan kontribusi AIMI
Lampung dan Ayah ASI Lampung dalam meningkatkan angka ASI Eksklusif melalui
edukasi tentang pentingnya keadilan gender sebagai dukungan terhadap pemberian ASI
Eksklusif.

3. Kesimpulan

Kelompok pendukung ASI seperti AIMI Lampung dan Komunitas Ayah ASI
Lampung memiliki peran yang penting dalam melakukan edukasi tentang pentingnya
keikutsertaan suami dalam pemberian ASI ekslusif. Namun dalam menjalankan peran
tersebut perlu adanya penguatan terhadap kedua kelompok pendukung ASI tersebut,
berupa penguatan kelembagaan, termasuk penguatan pendanaan, perlunya akses yang
lebih luas ke berbagai sektor baik itu pemerintah dan swasta, serta perlunya peningkatan
kompetensi pengurus dan konselor.

Daftar Pustaka

Arora, S., Mcjunkin, C., Wehrer, J., & Kuhn, P. (2000). Major Factors Influencing
Breastfeeding Rates : Pediatrics, 106(5), 1–7.
Asih, K. (2013). Hubungan Dukungan Suami Dengan Pemberian ASI Eksklusif Pada
Karyawati Rumah Sakit Bakti Wira Tamtama. Universitas Muhammadiyah Malang.
Esterik, P. Van. (1994). Breastfeeding and Feminism. International Journal of
Gynecology & Obstetrics, 47 Suppl. http://doi.org/10.1016/0020-7292(94)02233-O
Gribble, K. D., Mcgrath, M., Maclaine, A., & Lhotska, L. (2011). Supporting
breastfeeding in emergencies : Protecting women’s reproductive rights and maternal
and infant health. Disasters, 35(October). http://doi.org/10.1111/j.1467-
7717.2011.01239.x
Hardhana, B., Budiono, C. S., Kurniasih, N., Manullang, E. V, Susanti, M. I.,
Pangribowo, S., … Sigit, B. B. (2016). Data dan Informasi Profil Kesehatan
Indonesia.
Kemenkes R.I. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 39 Tahun 2013
Tentang Susu Formula Bayi dan Produk Bayi Lainnya (2013).
Kemenkes R.I. (2014). Situasi dan Analisis ASI Eksklusif. Pusat Data Dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI. http://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Kementrian Kesehatan RI. (2015). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Journal of
Chemical Information and Modeling.
http://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Lake, A., & Chan, M. (2016). Breastfeeding: A Key to Sustainable Development
UNICEF and WHO joint message for World Breastfeeding Week 2016No Title.
Retrieved October 5, 2017, from http://waba.org.my/breastfeeding-a-key-to-
sustainable-development-unicef-world-breastfeeding-week-2016-message/
Laporan Kegiatan AIMI Lampung 2015-2016. (2016). Bandar Lampung.
Maycock, B., Binns, C. W., Dhaliwal, S., Tohotoa, J., Hauck, Y., Burns, S., & Howat, P.
(2015). Education and Support for Fathers Improves Breastfeeding Rates : A

176
Randomized Controlled Trial. http://doi.org/10.1177/0890334413484387
Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif
(2014). Bandar Lampung.
Raj, V. K., & Plichta, S. B. (1998). The Role of Social Support in Breastfeeding
Promotion: A Literature Review. Journal of Human Lactation, 14(1), 41–45.
http://doi.org/10.1177/089033449801400114
Ramadani, M., & Hadi, E. N. (2009). Dukungan Suami dalam Pemberian ASI Eksklusif
di Wilayah Kerja Puskesmas Air Tawar Kota Padang , Sumatera Barat. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional, 4(6), 1–6.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jakarta: Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 109.
Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (2009). Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomo 506350.
Victora, C. G., Bahl, R., Barros, A. J. D., Franca, G. V. A., Horton, S., Krasevec, J., …
Rollins, N. C. (2016). breastfeeding in the 21st century : epidemiology,
mechanisms, and lifelong effect. The Lancet, 387(10017), 475–490.
http://doi.org/10.1016/S0140-6736(15)01024-7
Wahyuningsih, D., & Machmudah. (2012). Dukungan suami dalam pemberian asi
eksklusif. Jurnal Keperawatan Maternitas, 51, 93–101.

177
Hak Mewaris Perempuan dalam Islam dari Perspektif Hukum
Berkeadilan Gender

Rohaini, Ph.D.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung


E-mail: rohaini.arifien81@gmail.com

Abstrak

Seiring dengan bias gender kaum feminis selalu meminta kedudukan yang sama
dengan laki-laki, sebab pada prinsipnya hukum tidak membeda-bedakan jenis kelamin
antara laki-laki dengan perempuan. Dengan berubahnya paradigma terhadap peran laki-
laki dan perempuan maka tuntutan akan keadilan pun menjadi berubah pula. Tuntutan ini
pun terjadi dalam lingkup hukum keluarga, salah satunya hukum kewarisan. Perbedaan
besaran nilai waris antara perempuan dan laki-laki dalam Islam pada akhirnya
menimbulkan pertanyaan kritis mengenai sistem waris dalam Islam apakah telah
memenuhi asas keadilan yang berspektif gender ataukah jangan-jangan selama ini justru
sistem waris Islam menyimpangi nilai-nilai keadilan itu sendiri.

Kata kunci: Waris, Keadilan, Gender

1. Pendahuluan

Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan, mengetahui


bagian-bagian yang menerima dari harta peninggalan itu untuk setiap ahli waris yang
berhak. Ahli waris adalah orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang
telah meninggal dunia. Warisan adalah ketetapan hukum, yang mewariskan tidak dapat
menghalangi ahli waris dari haknya atas harta warisan, dan ahli waris berhak atas harta
warisan tanpa perlu kepada pernyataan menerima dengan suka rela atau atas keputusan
hakim.
Seiring dengan bias gender kaum feminis selalu meminta kedudukan yang sama
dengan laki-laki, sebab pada prinsipnya hukum tidak membeda-bedakan jenis kelamin
antara laki-laki dengan perempuan. Semakin banyaknya tuntutan kaum feminis terhadap
kaum maskulin mempengaruhi pula terhadap sistem hukum yang berlaku dalam
masyarakat. Nilai keadilanpun mulai mengalami pergeseran. Dulu laki-laki dianggap
sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap setiap permasalahan dalam rumah
tangga, terutama masalah nafkah, namun sekarang anggapan tersebut saat ini tidak lagi
diamini dan dianut oleh masyarakat. Kini laki-laki tidak satu-satunya pencari nafkah
dalam keluarga.
Dengan berubahnya paradigma terhadap peran laki-laki dan perempuan maka
tuntutan akan keadilan pun menjadi berubah. Bila dalam masyarakat yang menganut
sistem

178
kekeluargaan patrilineal1, semua harta akan menjadi milik suami atau anak laki-laki,
maka pelan tapi pasti sistem kewarisan ini mulai dipertanyakan bahkan mungkin akan
ditinggalkan.
Namun demikian, meskipun pergeseran peran laki-laki dan perempuan yang
mempengaruhi pergeseran paradigma di atas, dalam praktek pembagian fifty-fifty antara
laki-laki dan perempuan sulit ditemukan. Tuntutan kaum perempuan terhadap hak-haknya
sesuai peran perempuan dalam keluarga, sehingga hukum waris Islam pun harus dapat
pula mengakomodir kebutuhan masyarakat terhadap hukum yang dapat memberikan
keadilan terhadap perempuan di masa sekarang ini.
Dalam Islam, pengaturan mengenai kewarisan secara tegas dinyatakan dalam Al-
Quran Surat An-Nisā’ (4) 11 yang mengatur tentang hak waris anak dan orangtua. Secara
khusus, dalam ayat ini ditemukan konsep bagian 2:1 (baca: dua berbanding satu) antara
laki-laki dengan perempuan, dinyatakan “......yaitu bagian seorang anak laki-laki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan....”.2
Sedangkan Al-Quran Surat An-Nisā’ (4) 12 mengatur tentang pembagian warisan
untuk janda, duda dan saudara dari pewaris. Ketentuan ayat tersebut berkaitan dengan
pembagian harta warisan bagi janda atau duda dari si pewaris dan perolehan saudara jika
terjadi “kalālah” (mati punah tanpa keturunan).3
Dalam hukum waris Islam, asas keadilan mengandung pengertian adanya
keseimbangan antara hak yang diperoleh dan harta warisan dengan kewajiban atau beban
kehidupan yang harus ditanggungnya atau ditunaikannya di antara para ahli waris. Oleh
karena itu, arti keadilan dalam hukum waris Islam bukan diukur dari kesamaan tingkatan
antara ahli waris, tetapi ditentukan berdasarkan besar-kecilnya beban atau tanggung

1
Dalam sistem kekerabatan masyarakat adat, dikenal tiga macam sistem kekerabatan
yaitu: anak menghubungkan diri dengan kedua orangtuanya. Anak jugamenghubungkan diri
dengan kerabat ayah-ibunya secara bilateral (parental), anak menghubungkan diri dengan ayahnya
(berdasarkan garisketurunan laki-laki/patrilineal), anak menghubungkan diri dengan ibunya
(berdasarkan garisketurunan perempuan/matrilieneal)
2 Arti lengkap Al-Quran surat An-Nissa’: 11 “Allah mensyariatkan (mewajibkan)
kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki
sama dengan dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semua perempuan yang berjumlah
lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak
perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk
kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang
meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi
oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal)
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut
di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah maha mengetahui, maha
bijaksana.
3 Dan bagianmu (suami-suami) adalah dua seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak,
maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang
mereka buat atau (dan setelah dibayar) hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu
buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi
wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada
ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah maha mengetahui, maha penyantun.

179
jawab diembankan kepada mereka, ditinjau dari keumuman keadaan atau kehidupan
manusia.

2. Permasalahan


Berdasarkan uraian di atas mengenai perbedaan perhitungan hak waris antara


laki-laki dengan perempuan maka permasalahan yang diajukan adalah apakah sistem
waris dalam Islam telah memenuhi asas keadilan yang berspektif gender?

3. Pembahasan
3.1 Pengertian Hukum Waris

Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan pewaris kepada ahli waris dikarenakan sebab-sebab tertentu,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-
masing.4 Definisi tersebut pada pokoknya menegaskan kewarisan sebagai peraturan yang
mengatur mengenai perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu
atau beberapa orang lain. Namun demikian, menurut C.S.T Kansil definisi tersebut terlalu
sempit, karena yang berpindah dalam pewarisan selain hak milik, dan hak-hak kebendaan
yang lain (hak kekayaan), namun juga juga kewajiban-kewajiban yang termasuk dalam
hukum kekayaan.5 Lebih lanjut, menurut Abdulkadir Muhammad ahli waris adalah setiap
orang yang berhak atas harta peninggalan pewaris dan berkewajiban menyelesaikan
hutang-hutangnya.6 Hak dan kewajiban ini akan timbul manakala pewaris meninggal
dunia. Hak waris ini sendiri didasarkan pada hubungan perkawinan, hubungan darah, dan
surat wasiat.
Mengenai dasar hukum tentang kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam secara
garis besar tetap berpedoman pada hukum kewarisan Islam yang bersumber dari Al-
Qur’an dan hadis. Adapun dasar hukum waris dalam KUH Perdata terdapat pada Pasal
830 sampai dengan Pasal 1002 KUH Perdata yang pada pokoknya menyatakan bahwa
bagi para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak miik atas semua
barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal.

3.2 Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam



Dalam hukum Islam terdapat beberapa asas yang berkaitan dengan pembagian
warisan kepada ahli waris, antara lain:7
a. Asas Ijba’ry
Secara etimologis kata ijba’ry mengandung arti paksaan, yaitu melakukan sesuatu di luar
kehendak sendiri. Dalam hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang
telah meninggal dunia kepada yang masih hidup dengan sendirinya. Hal ini terjadi secara
otomatis meskipun tidak ada perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari si pewaris

4
Kompilasi Hukum Islam Buku ke-II, Pasal 171.
5
C.S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita (2006), hlm. 43.
6
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti
(2000), hlm. 282.
7
H. Achmad Kuzari, Sistem Asabah Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta
Tinggalan, dalam Maryati Bachtiar, “Hukum Waris Islam Dipandang Dari Perspektif Hukum
Berkeadilan Gender”, Jurnal Hukum Islam, Vol.3 No. 1.

180
sebelumnya, bahkan si pewaris (semasa hidupnya) tidak dapat menolak atau menghalang-
halangi terjadi peralihan harta tersebut. Secara khusus, pelaksanaan asas ijba’ry dapat
ditemukan pada Al-Qur’an, surat An-Nisa ayat 7, Kompilasi Hukum Islam tentang bagian
ahli waris dalam Bab II Pasal 176 sampai Pasal 182, mengenai siapa-siapa yang menjadi
ahli waris disebutkan dalam Bab II Pasal 174 ayat (1) dan (2).
b. Asas Bilateral
Asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah bahwa seseorang menerima hak
warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan
maupun garis keturunan laki- laki. Penerapan asas bilateral ini dapat dilihat dalam firman
Allah dalam Al-Quran Surat An-Nissa’ (4) 7, 11, 12 dan 176. Asas bilateral ini juga
berlaku juga untuk kerabat garis ke samping yaitu melalui ayah dan ibu. Bila dicermati
dari ayat-ayat tersebut, maka secara jelas akan terlihat bahwa selain beralih kepada anak-
anak (garis ke bawah), orang tua (garis ke atas), dan garis ke samping (saudara-saudara)
dari kedua belah pihak garis keluarga baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan.
Sistem kewarisan inilah yang menyebabkan waris Islam menganut asas bilateral.
c. Asas Individual
Dalam kewarisan, asas individual mengandung pengertian bahwa setiap ahli waris (secara
individual) berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris lainnya,
dengan demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris dari harta pewaris, dimiliki secara
perorangan, dan ahli waris yang lainnya tidak ada sangkut paut sama sekali dengan
bagian yang diperoleh tersebut, sehingga individu masing-masing ahli waris bebas
menentukanatas bagian yang diperolehnya. Pengaturan mengenai asas individual ini
dapat kita temukan dalam ketentuan Al- Qur’an surat An-Nissa’ ayat 7 yang
mengemukakan bahwa bagian masing- masing (ahli waris secara individual) telah
ditentukan.
d. Asas keadilan berimbang
Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban dan
keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Dalam
hubungannya dengan hak yang menyangkut materi, khususnya yang menyangkut dengan
kewarisan, kata tersebut dapat diartikan keseimbangan antara hak dan kewajiban dan
keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.
e. Kewarisan Semata Akibat Kematian
Dalam hukum waris Islam, pewarisan hanya dapat terjadi manakala pemberi waris
meninggal dunia. Dengan demikian, pewarisan dalam Islam terjadi semata-mata
disebabkan adanya kematian. Tidak akan beralih harta seseorang atas dasar pewarisan
apabila yang bersangkutan masih hidup.

3.3 Keadilan dalam Pandangan Islam



Diskusi tentang keadilan sangat tergantung dari budaya, pemahaman dan tingkat
intelektual masyarakat. Nilai keadilan sendiri sangat relatif. Dalam bahasa Arab, adil
berasal dari kata ‘adala’ yang berarti tengah-tengah.8 Seseorang yang adil, maka dia harus
sanggup berdiri di tengah, netral tidak berpihak ke salah satu pihak, singkatnya keadilan
adalah keseimbangan. Dalam Islam, pemberian warisan untuk anak laki-laki sebanyak
dua kali lipat didasarkan atas keseimbangan sistem hubungan dalam keluarga yang
berkaitan erat dengan kewajiban laki-laki dalam hal menafkahi keluarga.
Bagian dua milik laki-laki tersebut sebenarnya diberikan bukan sepenuhnya untuk diri
yang bersangkutan sendiri. Bagian tersebut juga akan menjadi bagian untuk istri dan

8
Nurcholis Madjid, Islam Kemanusiaan dan Kemoderenan, Doktrin dan Peradaban,
Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Jakarta: Yayasan Wakaf, Cetakan Ke-2 (1992)
hlm. 512-513
.

181
keluarganya. Berbeda dengan perempuan, bagian waris perempuan yang hanya 1 (satu)
itu sepenuhnya merupakan milik perempuan. Apabila kelak si perempuan menikah, maka
secara otomatis hidup si perempuan akan ditanggung oleh suaminya. Karena ditanggung
oleh suami, maka bisa saja baginya untuk kemudian menabung/menyimpan warisan yang
ia peroleh tadi. Jika dilihat harta siapa yang lebih dahulu habis dan siapa pula yang utuh,
maka jawabannya jelas, yang lebih cepat habis milik laki-laki, karena dua bagian yang
diperolehnya harus dibagi lagi, sedang apa yang dimiliki wanita sama sekali tidak
digunakan.

3.4 Prinsip Keadilan Gender terhadap Bagian Waris Perempuan dalam Islam
Kata adil merupakan kata serapan Bahasa Arab yaitu al-adlu. Dalam hubungan
dengan hak terkait kewarisan maka kata adil bermakna keseimbangan antara hak dan
kewajiban keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.
Berdasarkan pengertian ini, perbedaan pembagian harta warisan dalam hukum Islam
secara mendasar dapat dikatakan bukan disebabkan pada perbedaan gender. Karena
sebagaimana laki-laki, perempuan mempunyai hak yang sama kuatnya untuk
mendapatkan warisan. Hal ini secara jelas disebut dalam Al-Qur’an dalam surah An-
Nissa’ ayat 7 yang menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hak
mendapatkan warisan. Lebih lanjut, Al-Qur’an surah An-Nissa’ ayat 11-12 dan 176
diterangkan secara rinci persamaan hak menerima warisan antara anak laki-laki, dan anak
perempuan, ayah dan ibu, suami dan istri, saudara laki- laki dan perempuan.
Apabila ditinjau dari jumlah bagian saat menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan.
Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena keadilan dalam pandangan Islam
tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga
dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan. Karena secara umum pria membutuhkan lebih
banyak materi dibandingkan dengan wanita. Hal tersebut dikarenakan pria dalam ajaran
Islam –memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya
termasuk para wanita; sebagaimana dijelaskan Allah dalam Al-Quran Surah An-Nissa’
ayat 34.
Konsep di atas sejalan dengan teori Thomas Aquinas yang membedakan keadilan
dalam dua kelompok. Pertama, keadilan umum (justitia generalis); keadilan umum adalah
keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan
umum. Ked ̣ua, keadilan khusus; keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan
atau proporsionalitas. Keadilan ini dibedakan menjadi tiga kelompok, di antaranya adalah
keadilan distributif (justitia d ̣istributiva), yaitu keadilan yang secara proporsional yang
diterapkan dalam lapangan hukum public secara umum. 9
Bila dihubungkan dengan jumlah yang diterima dengan kewajiban dan tanggung
jawab seperti disebutkan diatas, maka akan terlihat bahwa kadar manfaat yang dirasakan
laki-laki sama dengan apa yang dirasakan oleh pihak wanita. Meskipun pada mulanya
pria menerima dua kali lipat dari perempuan, namun sebagian dari yang diterima akan
diberikan lagi kepada wanita, dalam kapasitasnya sebagai pembimbing yang bertanggung
jawab atas wanita. Inilah konsep keadilan dalam Hukum Kewarisan Islam.
Walaupun kerabat garis ke atas yaitu orang tua dan kerabat garis ke bawah yaitu
anak sama-sama berhak atas harta warisan bahkan dalam Al-Quran Surah An-Nissa ayat
11 menyatakan bahwa keduanya mempunyai kedudukan yang sama, namun terdapat
perbedaan dalam jumlah yang diterima. Anak rata-rata mendapatkan bagian yang lebih
besar dibandingkan dengan apa yang diterima oleh orang tuanya. Adanya perbedaan ini

9
M. Luthfi Hakim, “Keadilan Kewarisan Islam Terhadap Bagian Waris 2:1 Antara Laki-
Laki Dengan Perempuan Perspektif Filsafat Hukum Islam”, Al-Maslahah Jurnal Ilmu Islam,
Vol. 12 No. 1 (2016), hlm. 10.

182
dapat dikaji dari segi hak dan kewajiban, serta tanggung jawab, maka tanggung jawab
orang tua terhadap anak lebih besar daripada tanggung jawab anak terhadap orang tua.
Hak warisan yang diterima oleh ahli waris pada hakekatnya merupakan
kontinuitas tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya atau ahli waris berimbang
dengan perbedaan tanggung jawab seseorang (yang kemudian menjadi pewaris) terhadap
keluarga (yang kemudian menjadi ahli waris) bagi seorang laki-laki tanggung jawab yang
utama adalah istri dan anak-anaknya merupakan kewajiban yang harus dipikulnya.
Umur juga tidak menjadi faktor yang menentukan dalam pembagian harta
warisan. Dilihat dari segi kebutuhan sesaat yaitu waktu menerima hak, terlihat bahwa
kesamaan jumlah penerimaan antara yang besar dengan yang kecil tidaklah adil, tetapi
tinjauan dari kebutuhan tidak bersifat saat dilangsungkanya pembagian harta warisan
tetapi untuk jangka waktu yang lama sampai pada usia dewasa yang kecil membutuhkan
materi yang sama banyaknya dengan orang yang sudah dewasa. Bila dihubungkan dengan
besarnya keperluan orang dewasa dengan lamanya keperluan bagi anak yang belum
dewasa dan sikaitkan dengan pula kepada perolehan yang sama dalam hak kewarisan,
maka hasilnya keduanya akan mendapatkan kadar manfaat yang sama atas apa yang
mereka terima. Inilah keadilan hakiki dalam pandangan Islam. Yaitu keadilan berimbang
dan bukan keadilan yang sama rata.
Dalam perspektif keadilan gender, implementasinya dapat dilihat dari kedudukan
perempuan dan laki-laki, yaitu:
a. Antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama kuat dalam mendapat kan
harta warisan dari orang tuanya maupun dari saudaranya;
b. Perempuan adalah ahli waris yang sangat dilindungi oleh hukum waris Islam. Anak
Perempuan sebagai dzawil furud apabila tidak ada anak laki-laki. Apabila ada anak
laki-laki maka anak perempuan akan menjadi asobah bersama dengan anak laki-laki;
c. Perbandingan antara suami dan istri dengan perbandingan (2:1) apabila suami sebagai
satu-satunya orang yang bertanggung jawab ekonomi rumah tangga. Apabila suami
bukan sebagai satu-satunya yang bertanggung jawab sebagai pencari nafkah. Maka
perbandingan ini bisa berubah;
d. Hukum Waris Islam menetapkan laki-laki dan perempuan sebagai ahli waris terhadap
orang tua laki-laki, orang tua perempuan dan terhadap saudaranya.

4. Kesimpulan

Kewarisan Islam tidak memandang keadilan dari perspektif sama rata, karena
sama rata bila diimplementasi dengan perbedaan besaran tanggung jawab yang berbeda,
maka akan menjadi berat sebelah. Dalam hukum waris Islam, asas keadilan mengandung
pengertian adanya keseimbangan antara hak yang diperoleh dan harta warisan dengan
kewajiban atau beban kehidupan yang harus ditanggungnya atau ditunaikannya di antara
para ahli waris. Besar warisan yang diterima oleh ahli waris pada hakekatnya merupakan
kontinuitas tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya atau ahli waris yang berimbang
dengan perbedaan tanggung jawab seseorang. Bila dihubungkan dengan perbedaan
besaran waris perempuan dan laki-laki, maka perbedaan ini justru sangat sejalan dengan
dengan konsep keadilan yang berimbang dan keadilan gender.
Daftar Pustaka

Abdulkadir Muhammad, (2000), Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya


Bakti.
Abdul Jamil, (2000), Wanita Dalam Hukum Kewarisan Islam Dalam Penghapusan
Diskriminasi terhaḍap Wanita, Bandung: Alumni.
Abdul Ghofur Anshori, (2005), Filsafat Hukum Kewarisan Islam; Konsep Kewarisan
Bilateral, Yogyakarta: UII Press.

183
C.S.T. Kansil, (2006), Modul Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita.
Kompilasi Hukum Islam
M. Luthfi Hakim, (2016), “Keadilan Kewarisan Islam Terhadap Bagian Waris 2:1
Antara Laki-Laki dengan Perempuan Perspektif Filsafat Hukum Islam”, dalam
Al-Maslahah Jurnal Ilmu Islam, Vol. 12 No. 1.
Maryati Bachtiar, “Hukum Waris Islam dipandang dari Perspektif Hukum
Berkeadilan Gender”, dalam Jurnal Hukum Islam, Vol.3 No. 1.
Nurcholis Madjid, (1992), Islam kemanusiaan dan kemoderenan, Doktrin dan
Peradaban, sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Jakarta:
Yayasan Wakaf, Cetakan Ke- 2.

184
Kendala Peningkatan Kuota Keterwakilan Perempuan
Dalam Penentuan Kebijakan

Siti Khoiriah
Fakultas Hukum Universitas Lampung
Jln. Soemantri Brojo Negoro Nomor 1, Gedung Meneng, Bandar Lampung
siti.khoiriah@fh.unila.ac.id

Utia Meylina
Fakultas Hukum Universitas Lampung
Jln. Soemantri Brojo Negoro Nomor 1, Gedung Meneng, Bandar Lampung
utiameylina.umar.fh.unila@gmail.com

ABSTRAK

Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki
maupun perempuan, atas dasar prinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah dan
tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan keputusan. Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin keterlibatan semua
orang dalam berbagai ruang dan kesempatan seperti yang tertuang dalam Pasal 28 H ayat
(2 ) yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan”. Perubahan paradigma berfikir masyarakat terkait dengan peran perempuan
didalam semua aspek kehidupan menjadi peluang dan kesempatan bagi perempuan untuk
mengambil aksi di dalam segala aspek kehidupan baik sosial, ekonomi, budaya,
pemerintahan, dan politik. Peluang yang besar tidak serta merta mulus dalam pencapaian
kuantitas dalam setiap sector, hal ini tidak bisa lepas dari kendala dan hambatan yang
dihadapi oleh perempuan itu sendiri, baik langsung, hambatan mendasar dan hambatan
struktural yang terbangun dari kondisi sosial dan budaya yang ada.

Kata Kunci: Demokrasi, Perempuan, dan Kebijakan.

Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan
sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.

(R.A Kartini)

185
1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Tahun 1998 menjadi sakti jatuhnya rezim Orde Baru dan dimulainya reformasi di
Indonesia. Hal ini membuka pintu bagi keterlibatan perempuan secara lebih luas dalam
kehidupan politik dan pengambilan kebijakan setelah sebelumnya Orde Baru yang
dipimpin oleh Soeharto melakukan stigmatisasi, domestikasi, dan kooptasi terhadap
perempuan. Proses transisi demokrasi yang telah dan sedang berjalan sedikit banyak
memungkinkan perempuan untuk mengklaim ruang bagi kesetaraan dan keadilan gender
di lembaga-lembaga yang baru muncul atau yang direformasi.1

Sejarah mencatat pergerakan perempuan di Indonesia diawali oleh pemikiran R.A.


Kartini walaupun sejujurnya pergerakan perempuan sudah lama dimulai jauh sebelum
adanya pemikiran R.A. Kartini seperti perjuangan Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi.
Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina
Martha Tiahohu, dan lainnya. Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara
yang berbeda. Pemikiran R.A. Kartini bahwa perempuan mempunyai hak yang sama
dengan laki-laki namun tidak terlepas dari tuntunan agama menjadi cikal bakal
terbentuknya organisasi-organisasi perempuan sejak tahun 1912. Sejak saat itu, wacana
dan gerakan perempuan mewarnai bangsa Indonesia. Gerakan perempuan (gerakan
gender) yang banyak muncul sepanjang tahun 1950-an sampai pertengahan 1960-an
memunculkan berbagai tuntutan persamaan dalam hukum dan politik antara laki-laki dan
perempuan dengan model organisasi yang berkait atau di bawah partai politik2

Mansour Fakih dalam bukunya yang berjudul Membincang feminisme: diskursus


gender perspektif Islam menyatakan bahwa gender sebagai alat analisis umumnya
dipergunakan oleh penganut aliran ilmu sosial konflik yang memusatkan perhatian pada
ketidakadilan struktural dan sistem yang disebabkan oleh gender. Perbedaan gender
(gender differences) yang selanjutnya melahirkan peran gender (gender role)
sesungguhnya tidak menimbulkan masalah sehingga tidak perlu digugat. Maka, jika
secara biologis (kodrat) kaum perempuan dengan organ reproduksinya bisa hamil,
melahirkan dan menyusui, sesunguhnya tidak ada masalah dan tidak perlu digugat. Akan
tetapi yang menjadi masalah dan perlu digugat oleh mereka yang menggunakan analisis

1
Anita Dhewy, Perempuan dan Kebijakan Publik, Jurnal Perempuan, JP 92, hlm. 4.
2
Muhammad Nuruzzaman, 2005. Kia Husein membela perempuan. Yogyakarta: LKIS
Pelangi Aksara, hlm. 2.

186
gender adalah struktur ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan
gender tersebut.3

Tahun 2007 berdasarkan data yang dirilis oleh Indeks Pembangunan Gender atau
Gender Development Index (GDI), Indonesia berada dinomor 80 dari 156 negara yang
memberikan persamaan gender.4 Pada tahun 2009, angka ini merosot ke urutan 90,
artinya perempuan di Indonesia masih belum menikmati hak dan standar yang sama
dengan para laki-laki.5 Kondisi ini tidak sejalan dengan Undang-Undang No. 68 Tahun
1958 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan. Didalamnya, mengatur
mengenai Perwujudan Kesamaan Kedudukan (non-diskriminasi), jaminan persamaan hak
memilih dan dipilih, jaminan partisipasi dalam perumusan kebijakan, kesempatan
menempati posisi jabatan birokrasi, dan jaminan partisipasi dalam organisasi sosial
politik. Namun, peningkatan keterwakilan perempuan terjadi setelah berlakunya
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu Pasal 28
H ayat (2 ) yang menyatakan:

“Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk


memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan”

Perempuan memiliki peran penting dalam pembangunan suatu bangsa. Tetapi


perempuan sampai saat ini belum mendapatkan kesempatan yang lebih baik dalam
berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dibidang politik dan

3
Mansour, Fakih, dkk, 1996. Membincang feminisme: diskursus gender perspektif Islam.
Surabaya: Risalah Gusti, hlm 46.
4
Angka GDI (Gender-related Development Index) mengukur pencapaian dari dimensi dan
indikator yang sama dengan HDI (Human Development Index), namun dengan memperhitungkan
kesenjangan pencapaian antara perempuan dan laki-laki. GDI adalah HDI yang disesuaikan oleh
adanya kesenjangan gender, sehingga selisih yang semakin kecil antara GDI dan HDI menyatakan
semakin kecilnya kesenjangan gender. Berdasarkan Indonesia Human Development Report 2004,
angka HDI 65,8 dan angka GDI 59,2. Tingginya angka HDI dibandingkan dengan angka GDI
menunjukkan, bahwa keberhasilan pembangunan sumber daya manusia secara keseluruhan belum
sepenuhnya diikuti dengan keberhasilan pembangunan gender, atau masih terdapat kesenjangan
gender. Ukuran lain dalam pembangunan pemberdayaan perempuan adalah GEM (Gender
Empowerment Measurement), yang menitikberatkan pada partisipasi, dengan cara mengukur
ketimpangan gender di bidang ekonomi (perempuan dalam angkatan kerja dan rata-rata upah di
sektor non-pertanian), politik (perempuan di parlemen) dan pengambilan keputusan (perempuan
pekerja profesional, pejabat tinggi, dan manajer). Angka GEM Indonesia pada tahun 2002 adalah
54,6, yaitu ranking ke-33 dari 71 negara yang diukur.
5
UNDP Indonesia, Partisipasi PErempuan dalam politik dan pemerintahan:Makalah
Kebijakan, Jakarta, 2010, hlm. 1

187
pemerintahan. Perempuan masih dianggap kurang memiliki kemampuan untuk berperan
lebih banyak dalam membuat berbagai kebijakan yang lebih baik dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya kuota keterwakilan perempuan
dalam politik dan pemerintahan, ini berdampak kepada kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan tidak menyentuh urusan dan kepentingan perempuan. Oleh sebab itu, tulisan
ini akan memberikan gambaran kendala-kendala peningkatan kuota keterwakilan
perempuan dalam pengambilan kebijakan.

2. Metode Penelitian

Tulisan ini menggunakan penelitian yuridis-empiris6 yang bertujuan untuk


mendeskripsikan kendala peningkatan kuota keterwakilan perempuan dalam pengambilan
kebijakan melalui tinjauan hukum terkait keterwakilan perempuan dalam pengambilan
kebijakan. Metode analisis yang digunakan adalah analisis data kuota keterwakilan
perempuan.7Pendekatan masalah yang digunakan untuk menjawab permasalahan ini
adalah menggunakan pendekatan case of study (studi kasus) yaitu mengkaji data yang
terkait dengan keterkaitan dengan keterwakilan perempuan di Indonesia.8Bahan pustaka
bidang keterwakilan perempuan dalam kebijakan.9

Melakukan studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip, menyalin dan


menganalisa yang dikolaborasikan dengan data empiris. Analisis data dilakukan secara
kualitatif, komprehensif, dan lengkap. Data yang telah diperoleh akan dianalisis dengan
mengggunakan interpretasi dan konstruksi hukum. Dengan melakukan interpretasi
hukum, akan dilakukan penafsiran hukum melalui penemuan hukum (rechtsvinding).
Kemudian, konstruksi hukum yang dilakukan melalui argumentasi hukum a contrario
akan menjawab isu hukum. Sehingga, dengan metode penemuan hukum tersebut akan
dihasilkan argumentasi hukum yang dapat menjawab isu hukum melalui penalaran
hukum logis dan sistematis. Dan di akhir tulisan ini akan mampu untuk menunjukan
bahwa terdapat kendala- kendala yang dihadapi dalam upaya peningkatan kuota
keterwakilan perempuan dalam kebijakan.

6
Lebih lanjut, pengertian hukum normatif dapat dibaca di Suratman dan H. Philips Dillah
dalam Metode Penelitian Hukum , Bandung: Alfabeta, 2013, hlm. 54.
7
Suratman & H. Philips Dillah (2013). Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta.
8
Bahder Johan Nasution (2008). Metode Penelitian Ilmu Hukum. Jakarta: Mandar Maju.
9
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji (2011). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

188
3. Hasil dan Pembahasan

Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi
laki-laki maupun perempuan, atas dasar prinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah
dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan keputusan.
Demokrasi menuntut sistem perwakilan yang memungkinkan semua kelompok
masyarakat terwakili. Tujuannya agar dalam pengambilan keputusan tidak ada kelompok
yang ditinggalkan. Namun sejak gagasan demokrasi dipraktikkan, parlemen tidak pernah
mewakili semua kelompok yang ada di masyarakat. Kenyataan ini menyebabkan
parlemen sering mengeluarkan kebijakan yang justru mendiskriminasi kelompok
masyarakat yang diklaim diwakilinya.10

Apabila perempuan Indonesia hanya diwakili oleh segelintir perempuan saja,


sebanyak 101 juta lebih perempuan Indonesia terdiskriminasi oleh kebijakan legislatif.
Sehingga kepentingan perempuan tidak mampu terwakili di lembaga legislatif. Oleh
karena itu, perlu dilakukan kembali pemaknaan demokrasi perwakilan, dengan
menekankan pentingnya politik kehadiran (the political of presence), yaitu kesetaraan
perwakilan antara laki-laki dan perempuan, keseimbangan perwakilan diantara kelompok-
kelompok yang berbeda, dan melibatkan kelompok-kelompok termarjinalkan ke dalam
lembaga perwakilan.11

Platform Aksi Beijing dan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk


Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women atau CEDAW) merekomendasikan agar semua
pemerintah di dunia agar memberlakukan kuota sebagai langkah khusus yang bersifat
sementara untuk meningkatkan jumlah perempuan didalam jabatan-jabatan appointif
(berdasarkan penunjukan/pengangkatan) maupun elektif (berdasarkan hasil pemilihan)
pada tingkat pemerintahan lokal dan nasional. Pengkajian tentang negara-negara yang
memiliki massa kritis kaum perempuan (30 %) di parlemen, dewan-dewan legislatif dan
birokrasi tingkat lokal, membuktikan adanya pemberlakuan sistem kuota itu, baik yang
diterapkan secara sukarela oleh partai-partai politik maupun yang digariskan oleh
undang-undang.

10
Robert A Dahl, (terj.) Demokrasi dan Para Pengritiknya, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1992, Jilid II, h. 89-90.
11
Anne Philips, The Politics of Presence: The Political Representation of Gender, Etnicity,
and Race, Oxford: Oxford University Press, 1998, hlm. 57-85.

189
Reformasi menjadi titik dimulainya pembangunan isu kesetaraan gender hingga
menjadi menonjol dalam platform pembangunan, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di
dunia internasional. Kita tentu memahami bahwa selama ini perempuan secara sosial
terpinggirkan. Budaya partriarkis yang tidak ramah pada perempuan. Ada konstruksi
sosial yang menempatkan perempuan seolah-olah hanya boleh mengurus soal-soal
domestik (keluarga) saja. Tak ada hak untuk merambah area yang lain. Kenyataan
menunjukkan bahwa keyakinan itu masih tertanam kuat. Persoalan perwakilan
perempuan menjadi penting manakala kita sadar bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita
melihat perempuan tidak secara proporsional terlibat dalam pengambilan keputusan.
Padahal jumlah perempuan di Indonesia menurut data statistik lebih banyak ketimbang
laki-laki. Kurangnya representasi perempuan dalam bidang politik antara lain disebabkan
oleh kondisi budaya yang patriakal yang tidak diimbangi kemudahan akses dalam bantuk
tindakan afirmatif bagi perempuan, seperti pemberian kuota dalam bidang politik maupun
pemerintahan. Budaya Patriarki mengakibatkan ketimbangan gender. Ketimbangan
gender di Indonesia terjadi pada berbagai bidang kehidupan, seperti bidang pendidikan,
kesehatan, tenaga kerja dan politik.12 Hal tersebut melatar belakangi munculnya masalah
utama dalam pembangunan pemberdayaan perempuan adalah rendahnya kualitas hidup
dan peran perempuan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik.

Sejarah tentang representasi perempuan di parlemen dan pemerintahan Indonesia


merupakan sebuah proses panjang, tentang perjuangan perempuan di wilayah publik.
Kongres Wanita Indonesia pertama, pada tahun 1928, yang membangkitkan kesadaran
dan meningkatkan rasa nasionalisme di kalangan perempuan merupakan tonggak sejarah,
karena berperan dalam meningkatkan kesempatan bagi perempuan Indonesia untuk
berpartisipasi dalam pembangunan, termasuk dalam politik. Dalam pemilihan umum
pertama pada tahun 1955, 6,5% dari anggota parlemen adalah perempuan. Kemudian,
representasi perempuan Indonesia di parlemen mengalami pasang surut, dan mencapai
angka tertinggi sebesar 13,0% pada tahun 1987. Saat ini, jumlah perempuan mencapai 8,8
% dari seluruh anggota perwakilan terpilih. Naff dan Thomas13 yang menyatakan bahwa
rendahnya proporsi perempuan di birokrasi federal terkait dengan beberapa hal. Salah
satunya berkaitan dengan faktor-faktor institusional yang secara umum dipandang sebagai
isu glass ceiling dalam pengembangan jabatan perempuan di birokrasi.

12
Center For The Study Of Religion And Culture, Modul Pelatihan Agama dan Hak Asasi
Manusia, Jakarta, CSRC UIN Jakarta dan KAS Jakarta, 2009, hlm. 118-120.
13
Katherine C Naff, dan Sue Thomas. 1994. The Glass Ceiling Revisited: Determinants of
Federal Job Advancement. Policy Studies Review. Vol. 13: 3/4, 249-272.

190
Meskipun perempuan di Indonesia secara aktif memberikan sumbangsih mereka
terhadap perekonomian nasional maupun rumah tangga melalui kerja produktif dan
reproduktif mereka, mereka masih tidak dilibatkan dari berbagai struktur dan proses
pengambilan keputusan di keluarga, masyarakat dan tingkat negara. Kurangnya
keterwakilan perempuan dalam posisi-posisi pengambilan keputusan di sektor publik
telah berujung pada pembangunan kebijakan ekonomi dan sosial yang memberikan
keistimewaan terhadap perspektif dan kepentingan kaum lelaki, serta investasi sumber-
sumber daya nasional dengan mempertimbangkan keuntungan bagi kaum lelaki.

Rendahnya perwakilan perempuan tersebut tidak semata-mata merugikan


kelompok perempuan, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Kepedulian perempuan
terhadap isu-isu kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, antikekerasan, dan lingkungan,
tidak bisa berbuah menjadi kebijakan selama mereka tidak terlibat langsung dalam
pengambilan keputusan. Pengalaman hidup dan kepedulian perempuan yang khas
menjadikan mereka harus memperjuangkan sendiri apa yang diinginkannya. Mayoritas
laki-laki di DPR sulit diharapkan untuk memperjuangkan kepentingan perempuan sebab
mereka tidak mengalami dan memahami apa yang dirasakan dan diinginkan perempuan.14

Sedikitnya jumlah perempuan di parlemen dan pertimbangan perlunya perempuan


terlibat lebih banyak dalam pengambilan keputusan, mendorong lahirnya gerakan
peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen. Gerakan ini dipelopori oleh aktivis,
kelompok, dan organisasi perempuan, yang muncul secara terbuka menjelang jatuhnya
rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998, tetapi mereka mulai bekerja sistematis pasca-Pemilu
1999. Mereka membawa konsep affirmative action (kebijakan afirmasi) dalam bentuk
kuota keterwakilan perempuan untuk diadopsi dalam pengaturan sistem pemilu
demokratis. Konstitusi mengakui adanya kebijakan afirmasi dan penerapan kebijakan ini
di beberapa negara ternyata efektif meningkatkan jumlah perempuan di parlemen.15

Kebijakan affirmative action merupakan kebijakan yang berusaha untuk


menghilangkan tindakan diskriminasi yang telah terjadi sejak lama melalui tindakan aktif
yang menjamin kesempatan yang sama, seperti dalam pendidikan, pekerjaan, dan politik.

14
Ramlan Surbakti, dkk, Meningkatkan Keterwakilan Perempuan: Penguatan Kebijakan
Afirmasi, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Jakarta Selatan, 2011, hlm. 3
15
Nadezha Shedova, Kendala-kendala terhadap Partisipasi Perempuan dalam Parlemen,
dalam Julie Balington (ed.), (terj.), Perempuan di Parlemen: Bukan Sekadar Jumlah, Jakarta:
IDEA, 2002, h. 20-22.

191
Di bidang politik, kebijakan affirmative action diperlukan untuk mendorong keterwakilan
perempuan di lembaga legislatif yang hingga saat ini sangat minim secara kuantitatif.

Perubahan paradigma berfikir masyarakat terkait dengan peran perempuan didalam


semua aspek menjadi peluang dan kesempatan bagi perempuan untuk mengambil aksi di
dalam segala aspek kehidupan baik social, ekonomi, budaya, pemerintahan, dan politik.16
Bidang pekerjaan yang dapat dimasuki oleh perempuan 17. Bidang pekerjaan yang
sebelumnya hanya dipegang oleh laki-laki, sekarang secara perlahan sudah dimasuki oleh
perempuan, salah satunya seperti di bidang politik dengan munculnya keanggotaan
perempuan di parlemen. Peningkatan keterlibatan perempuan secara kuantitatif di bidang
ekonomi dapat dikatakan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berkaitan satu dengan
yang lainnya. Sebuah kesadaran baru pada diri perempuan, yang didukung oleh
pergeseran sistem nilai yang memungkinkan perempuan untuk bekerja di luar rumah.

Perempuan sudah terbiasa menjalankan tugas sebagai pemimpin dalam kelompok-


kelompok sosial dan dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti di posyandu, kelompok
pemberdayaan perempuan, komite sekolah, dan kelompok-kelompok pengajian. Alasan
tersebut tidak hanya ideal sebagai wujud modal dasar kepemimpinan dan pengalaman
organisasi perempuan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Argumen tersebut juga
menunjukkan bahwa perempuan dekat dengan isu-isu kebijakan publik dan relevan untuk
memiliki keterwakilan dalam jumlah yang signifikan dalam memperjuangkan isu-isu
kebijakan publik dalam proses kebijakan, terutama di lembaga perwakilan rakyat.18

Kebijakan yang hanya berfokus pada angka melalui kuota keterlibatan perempuan
tidak akan banyak berarti tanpa diperkuat dengan perluasan akses dan keterlibatan
perempuan dalam politik. Ketiadaan penguatan tersebut akan dapat menggiring kebijakan
kuota pada jebakan yang disebut Carol Bacchi19 sebagai the politic of presence atau
“politik kehadiran”. Politik kehadiran dapat ditafsirkan sebagai kebijakan yang merasa
cukup dengan kehadiran kaum perempuan dalam lembaga politik tanpa perlu secara

16
Dewi Motik, 1991. Kiat Sukses Perempuan Pengusaha. dalam Mily G Tan (ed) :
Perempuan Indonesia Perempuan Masa Depan?. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
17
Irwan Abdullah, 2001. Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang
Press
18
Muchtar, Adinda Tenriangke, 2008. “Mendorong keterwakilan Perempuan dalam
politik”. Media Indonesia. Rabu, 3 September 2009., hlm. 1
19
Laila Kholid Alfirdaus, 2008. ”Kebijakan setengah hati kuota perempuan dalam partai
politik dan parlemen”. Jurnal Konstitusi: membangun konstitusionalitas Indonesia, membangun
budaya sadar berkonstitusi. Vol. 5 Nomor 2, November, ISSN 1829-7706. Jakarta: Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia.

192
serius menelusuri apakah kehadiran tersebut telah dan akan berkontribusi bagi perubahan
kebijakan yang lebih memihak kepada perempuan. Dalam perjalanan sejarah perpolitikan
di Indonesia, jumlah perempuan dalam parlemen memang belum menunjukkan angka
yang signifikan. Perempuan masih dalam posisi yang lemah baik secara kualitas maupun
kuantitas. Sebagai gambaran lemahnya partisipasi perempuan dalam politik
(keterlibatannya dalam parlemen), berikut disajikan tabel jumlah perempuan dalam
parlemen Indonesia sejak tahun 1950.

Rendahnya keterwakilan perempuan di pemerintahan serta lembaga lainnya


disebabkan kultur atau budaya yang mengukuhkan bahwa laki-laki dipandang sebagai
pencari nafkah, sehingga laki-laki yang dominan peranannya dalam proses pengambilan
keputusan sehingga membuat perempuan menjadi lemah sikap mentalnya untuk terjun ke
ranah publik.20

Kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan menjadi lebih


terakomodir dengan keluarnya Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 2000, tentang
Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan nasional. Konsep pengarusutamaan
gender merupakan strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi suatu

20

193
dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan serta evaluasi
terhadap program pembangunan nasional.21

Seperti yang disampaikan oleh Hall22 bahwa saat ini perempuan sedang berjuang untuk
membuat trobosan baru dan memberikan peranan dalam perkembangan masyarakat dan
pemerintahan.

Keterwakilan Perempuan di Indonesia

A. Perempuan di politik
a. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Jumlah wanita : 97 orang
Jumlah pria : 463 orang
Jumlah anggota DPR RI keseluruhan : 560 orang
Lampung : 5 orang
Perbandingan Perolehan Kursi Anggota DPD RI Pada Pemilu 2009 dan Pemilu
2014

21
Sarjana. 2006. Partisipasi Perempuan dalam Pengembangan Agrowisata di Dusun
Dukuh, di Desa Sibetan Karangasem. Srikandi, Jurnal Studi Gender. Vol. VI No 2 Denpasar :
PSW Unud. Dan lihat juga Silawati, Hartian. 2006. Pengarusutamaan Gender: Mulai Dari Mana.
Jurnal Perempuan. No. 50, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
22
Ingrid M. Hall, 1991. Perempuan Karir : Sebuah Ilustrasi dari Kanada, dalam Milly G
Tan (ed) : Perempuan Indonesia Perempuan Masa Depan?. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

194
b. Dewan Perwakilan Daerah RI
Jumlah wanita : 32 orang
Jumlah pria : 98 orang
Jumlah anggota DPD RI keseluruhan : 130 orang
Lampung :0

195
c. Dewan Perwakilan Daerah Provinsi

196
197
Berdasarkan data di atas maka dapat disimpulkan bahwa keterwakilan perempuan
baik di DPR, DPD, dan DPRD masih jauh dari harapan yakni 30%.

B. Perempuan di Pemerintahan

Pilkada serentak 2015, 2017, dan 2018 merupakan pilkada serentak transisi. Tiga
gelombang penyelenggaraan pesta demokrasi lokal ini bertujuan menyamakan siklus
pilkada dan periode pemerintahan kepala daerah se-Indonesia. Berdasar perhitungan masa
jabatan kepala daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia,
Kementerian Dalam Negeri membagi jumlah daerah pilkada serentak gelombang pertama
di 269 daerah, gelombang kedua di 101 daerah, dan gelombang ketiga di 172 daerah.23

Jumlah daerah di Indonesia

Daerah Pilkada Jumlah

Provinsi 33

Kota 93

Kabupaten 416

542

23
Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015 dan2017, Komisi Pemilihan Umum Republik
Indonesia, Jakarta, 2017, hal 11

198
Daerah yang melaksanakan pilkada tahun 2015

Pilkada 2015 Jumlah

Provinsi 9

Kota 36

Kabupaten 224

269

Dari 269 daerah provinsi dan kabupaten/kota yang melaksanakan pilkada pada
tahun 2015 terdapat 123 calon kepala dan wakil kepala daerah perempuan,
setidaknya ada 35 calon yang terpilih, yaitu:

1. Airin Rachmi Diany, Walikota Tangsel.


2. Ratu Tatu, Bupati Serang.
3. Tri Rismaharini, Walikota Surabaya.
4. Sri Sumarni, Bupati Grobogan.
5. Cellica, Bupati Karawang.
6. Neni Moerniaeni, Walikota Bontang.
7. Rita, Bupati Kutai Kertanegara.
8. Chusnunia, Bupati Lampung Timur.
9. AsminLaura, Nunukan.
10. Ilmiati, Wakil Bupati Wakatobi.
11. Indah Putri, Bupati Luwu Utara.
12. Anna S, Bupati Indramayu.
13. Kartika, Lamongan.
14. Vonnie Anneke Panambuan, Kabupaten Minut (Sulawesi Utara).
15. Irna, Bupati Pandeglang.
16. Ibu Mas Sumantri, Kabupaten Karangasem Bali.
17. Indah Damayanti Putri, Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat.
18. Faida, Bupati Jember.
19. Hayati, Kediri.
20. Christine E Paruntu, Minahasa Selatan.
21. Neti Herawati, Wabup Kepahiang, Bengkulu.
22. Mirna, Bupati Kendal.
23. Maya Rosida, Kabupaten Wonosobo.
24. Hairiah, Wakil Bupati Sambas.
25. Badingah, Bupati Gunung Kidul.
26. Sri muslimatin, Wakil Bupati Sleman.
27. Hevearita, Wakil Walikota Semarang.
28. Sri Hartini, Bupati Klaten.
29. Sri Mulyani, Wakil Bupati Klaten.
30. Kusdinar Untung, Bupati Sragen.
31. Windarti Agustina, Wakil Walikota Magelang.
32. Yuli Hastuti, Wakil Bupati Purworejo.

199
33. Nurbalistik, Wakil Bupati Kabupaten Pekalongan.
34. Dyah Hayuning Pratiwi, Wakil Bupati Purbalingga.
35. Erlina, Wakil Bupati Pesisir Barat Lampung.

Pemungutan suara serentak yang dilakukan pada 15 Februari 2017 di 101 daerah
menghasilkan 13 perempuan kepala daerah dan wakil kepala daerah dari 45 orang
yang mencalonkan. Mereka terdiri dari satu wakil gubernur, dua wali kota, satu
wakil wali kota, delapan bupati, dan satu wakil bupati.
 Dari empat perempuan calon gubernur dan wakil gubernur, hanya satu yang
terpilih, yakni Enny Anggraeni Anwar untuk wakil Gubernur Sulawesi Barat
 Dari enam perempuan calon wali kota terpilih dua Perempuan Wali Kota Itu
Adalah.
1. Dewanti Rumpoko untuk wali kota Batu.
2. Tjhai Chui Mie untuk wali kota Singkawang.
 Delapan dari 15 perempuan calon bupati memenangkan pemilihan.
1. Idza Priyanti, untuk bupati Brebes
2. Kedua, Winarti, untuk bupati Tulang Bawang
3. Masnah Busro, untuk bupati Muaro Jambi.
4. Neneng Hasanah Yasin, untuk bupati Bekasi.
5. Karolin Margret Natasa, untuk bupati Landak.
6. Nurhidayah, untuk bupati Kotawaringin Barat.
7. Noormiliyani, untuk bupati Barito Kuala.
8. Yasti Soepredjo Mokoagow, untuk bupati Bolaang Mongondow
 Satu dari empat perempuan calon wakil wali kota, terpilih sebagai wakil wali
kota, yakni Pahima Iskandar, untuk wakil wali kota Sorong.
 Untuk wakil bupati, dari 15 perempuan calon wakil bupati, hanya satu
perempuan memenangkan Pilbup, yakni Satya Titiek Atyani Djoedir, untuk
wakil bupati Barito Selatan.

200
C. Perempuan di 13 Komisi Nasional

D. Perempuan di Lembaga Peradilan

201
Berdasarkan data Perempuan di politik, Perempuan di Pemerintahan, Perempuan di 13
Komisi Nasional, dan Perempuan di Lembaga Peradilan dapat dikelompokkan hambatan
atau kendala Partisipasi Perempuan dalam Bidang Politik dan Partisipasi Perempuan di
Sektor Pemerintahan.

Hambatan/kendala dalam Partisipasi Perempuan dalam Bidang Politik

1. Hambatan Langsung
a. Kurangnya Kepercayaan Perempuan terhadap Sistem Politik
b. Kurangnya Keterampilan dan Pendidikan Politik
c. Kurangnya Pengetahuan akan Sistem
d. Kurangnya Minat Perempuan terhadap Politik
e. Kurangnya Sumber Daya Finansial
f. Kurang Percaya Diri
g. Kurang Mobilitas Tanggung Jawab Keluarga
h. Kurangnya Perempuan yang Aktif sebagai Kader Partai Politik
i. Kurangnya Dukungan dari Partai Politik Persepsi yang Menganggap Politik
itu Kotor

2. Hambatan yang Bersifat Mendasar


a. Budaya Maskulin dan Dominasi Laki-laki
b. Agenda Partai Politik yang Berorientasi terhadap Laki-laki Saja
c. Kurangnya Demokrasi di Internal Partai Politik
d. Komersialisasi Politik
e. Sistem Kepemiluan
f. Nepotisme dan Elitisme didalam Partai Politik
g. Kekerasan Politis
h. Korupsi dalam Politik

3. HambatanStruktural
a. Dikotomi Diskursif Ranah Publik-Privat
b. Patriarki Publik dan Privat
c. Perilaku Sosial yang Patriarkis terhadap Laki-laki dan Perempuan
d. Fundamentalisme Keagamaan

Hambatan/kendala dalam Partisipasi Perempuan di Sektor Pemerintahan

1. Hambatan Langsung
a. Kurangnya Lapangan Kerja
b. Kurangnya Mobilitas dalam Hal Pekerjaan
c. Kurangnya Kualifikasi
d. Tingginya Tingkat Pengangguran

202
e. Batasan Budaya dalam Hal Pilihan Pekerjaan bagi Perempuan
f. Pelecehan dan Intimidasi Seksual di Tempat Kerja

2. Hambatan yang Mendasar


a. Dominasi Laki-laki di Tingkat Manajemen Senior dan Kebijakan
b. Liberalisasi dan Kasualisasi Pekerjaan
c. Ketidakadaan Kuota Gender

3. Hambatan Struktural
a. Ideologi Peran Gender
b. Lembaga Budaya yang Bersifat Maskulin
c. Pasar Tenaga Kerja yang Tersegmentasi

4. Simpulan

Perempuan mempunyai peranan yang sangat strategis bukan hanya dalam lingkup
keluarga melainkan dalam lingkup bernegara. Sejak tahun 1998 dimulailah upaya untuk
memberikan keterwakilan perempuan dalam angka yang lebih besar melalui affirmative
action. Kebijakan affirmative action merupakan kebijakan yang berusaha untuk
menghilangkan tindakan diskriminasi yang telah terjadi sejak lama melalui tindakan aktif
yang menjamin kesempatan yang sama, seperti dalam pendidikan, pekerjaan, dan politik.
Sejak reformasi, pertumbuhan keterwakilan perempuan menunjukkan peningkatan seiring
perubahan paradigma di dalam masyarakat. Perempuan sedang berjuang untuk
memberikan sumbangsih kepada Indonesia dengan bukti yang lebih luas dalam kebijakan.
Keikutsertaan perempuan di dalam upaya peningkatan keterwakilan perempuan dalam
kebijakan menghadapi kendala-kendala diantaranya kendala dalam Partisipasi Perempuan
dalam Bidang Politik dan Hambatan/kendala dalam Partisipasi Perempuan di Sektor
Pemerintahan.

Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan, 2001, Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang
Press.

Anita Dhewy, Perempuan dan Kebijakan Publik, Jurnal Perempuan, JP 92.

Bahder Johan Nasution , 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum. Jakarta: Mandar Maju.

Center For The Study Of Religion And Culture, 2009, Modul Pelatihan Agama dan Hak
Asasi Manusia, Jakarta, CSRC UIN Jakarta dan KAS Jakarta.

203
Ingrid M. Hall, 1991, Perempuan Karir : Sebuah Ilustrasi dari Kanada, dalam Milly G
Tan (ed) : Perempuan Indonesia Perempuan Masa Depan?. Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan.

Laila Kholid Alfirdaus, 2008. ”Kebijakan setengah hati kuota perempuan dalam partai
politik dan parlemen”. Jurnal Konstitusi: membangun konstitusionalitas Indonesia,
membangun budaya sadar berkonstitusi. Vol. 5 Nomor 2, November, ISSN 1829-
7706. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Mansour, Fakih, dkk, 1996. Membincang feminisme: diskursus gender perspektif Islam.
Surabaya: Risalah Gusti.

Motik, Dewi, 1991, Kiat Sukses Perempuan Pengusaha. dalam Mily G Tan (ed) :
Perempuan Indonesia Perempuan Masa Depan?. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Muchtar, Adinda Tenriangke, 2008. “Mendorong keterwakilan Perempuan dalam


politik”. Media Indonesia. Rabu, 3 September 2009.

Muhammad Nuruzzaman, 2005. Kia Husein membela perempuan. Yogyakarta: LKIS


Pelangi Aksara.

Nadezha Shedova, 2002, Kendala-kendala terhadap Partisipasi Perempuan dalam


Parlemen, dalam Julie Balington (ed.), (terj.), Perempuan di Parlemen: Bukan
Sekadar Jumlah, Jakarta: IDEA.

Naff, Katherine C dan Sue Thomas. 1994. The Glass Ceiling Revisited: Determinants of
Federal Job Advancement. Policy Studies Review. Vol. 13: 3/4, 249-272.

Philips, Anne, 1998, The Politics of Presence: The Political Representation of Gender,
Etnicity, and Race, Oxford: Oxford University Press.

Robert A Dahl, (terj.), 1992, Demokrasi dan Para Pengritiknya, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1992, Jilid II.

Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015 dan2017, Komisi Pemilihan Umum Republik


Indonesia, Jakarta, 2017.

Sarjana. 2006. Partisipasi Perempuan dalam Pengembangan Agrowisata di Dusun


Dukuh, di Desa Sibetan Karangasem. Srikandi, Jurnal Studi Gender. Vol. VI No 2
Denpasar : PSW Unud.

Silawati, Hartian. 2006. Pengarusutamaan Gender: Mulai Dari Mana. Jurnal


Perempuan. No. 50, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada..

Suratman dan H. Philips Dillah , 2013, Metode Penelitian Hukum , Bandung: Alfabeta.

Surbakti, Ramlan dkk, 2011, Meningkatkan Keterwakilan Perempuan: Penguatan


Kebijakan Afirmasi, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Jakarta
Selatan.

UNDP Indonesia, 2010, Partisipasi Perempuan dalam politik dan


pemerintahan:Makalah Kebijakan, Jakarta.

204
Pemenuhan dan Perlindungan Perempuan dalam Peraturan
Perundang- Undangan

Yulia Neta,S.H.,M.H1 dan Dinarti Andarini321

Abstrak

Hak perempuan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Hal ini dipertegas
dengan diratifikasinya Convention on the Elimination of All Form of Discrimination
Againt Women (Konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan) dengan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1984. Ratifikasi merupakan
langkah positif, namun demikian tindakan tersebut belumlah cukup untuk menjamin
terpenuhinya hak – hak yang dipenuhi dan dijamin oleh Konvensi. Langkah selanjutnya
guna mejamin terpenuhinya hak – hak yang dipenuhi dan dijamin oleh Konvensi adalah
melakukan harmonisasi terhadap seluruh produk hukum dan kebijakan agar singkron dan
senada dengan prinsip Konvensi. Harmonisasi perlu dilakuakan baik dalam konteks
legislasi maupun perumusan kebijakan

1. Pendahuluan
a. Latar Belakang
Pada tahun 1979, Perserikatan Bangsa – Bangsa mengesahkan Convention on the
Elimination of All Form of Discrimination Againt Women (Konvensi mengenai
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan). Pengesahan ini merupakan
tanda adanya komitmen bersama (global concern) seluruh umat manusia di dunia untuk
memberikan perhatian serius bagi segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.322
Selain prinsip – prinsip pokok hak asasi manusia seperti universality323, indivisibility324,
interdependence325 dan interrelatedness326, konvensi ini secara khusus mendorong dan
mengakui beberapa pertimbangan penting lainnya, yaitu memperkuat pentingnya
pengarusutamaan (mainstreaming) isu kesetaraan sebagai bagian utuh tak terpisahkan
dari perencanaan pembangunan, mengakui bahwa diskriminasi atas dasar gender
merupakan pelanggaran terhadap martabat kemanusiaan, mengakui adanya perbedaan

321
Mahasiswi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung
322
Maria Rosita, Perjalanan dan perkembangan Hak Asasi Perempuan Menuju tercapainya Hak
Asasi Manusia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010)hal.21
323
Universality merupakan prinsip tertinggi di dalam HAM itu berlaku secara keseluruhan
dimanapun seseorang berlaku di dunia ini. Prinsip ini dibagi dalam dua pemahaman yaitu tidak
dapat dicabut dan tidak dapat diubah ( Mansour Fakih).
324
Indivisibility adalah hak asasi itu tidak dijual terpisah. Sebagai analogi sebagai manusia tidak
bias menerima hak politik bila tidak menerima juga hak social dan budaya(Mansour Fakih).
325
Interdependence adalah pemenuhan dari suatu hak seringkali bergantung dari pemenuhan hak
lainnya, baik secra keseluruhan maupun sebagian (Mansour Fakih).
326
Interrelatedness adalah dimana hak asasi itu saling berkaitan (Mansour Fakih).

205
karakter gender327, dan mengakui pentingnya promosi dan perlindungan hak-hak terhadap
perempuan termasuk mereka yang memerlukan dukungan dan perlindungan khusus.
Pada 3 Desember 1981, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention on
the Elimination of All Form of Discrimination Againt Women (Konvensi mengenai
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan) dengan Undang – Undang
Nomor 7 Tahun 1984. Ratifikasi merupakan langkah positif, namun demikian tindakan
tersebut belumlah cukup untuk menjamin terpenuhinya hak – hak yang dipenuhi dan
dijamin oleh Konvensi. Langkah selanjutnya guna mejamin terpenuhinya hak – hak yang
dipenuhi dan dijamin oleh Konvensi adalah melakukan harmonisasi terhadap seluruh
produk hukum dan kebijakan agar singkron dan senada dengan prinsip Konvensi.
Harmonisasi perlu dilakuakan baik dalam konteks legislasi maupun perumusan kebijakan.

2. Permasalahan

Tulisan ini mencoba menjawab permasalahan berkenaan dengan Pemenuhan dan


Perlindungan Perempuan dalam Peraturan Perundang Undangan di Indonesia terhadap
pandangan feminisme dan bagaimana bentuk bentuk pemenuhan dan perlindungan
tersebut.

3. Tujuan dan Manfaat

a) Tujuan : Mengetahui bentuk-bentuk pemenuhan dan perlindungan perempuan


dalam peraturan perundang – undangan yang berlaku di Indonesia
b) Manfaat : Menambahkan wacana keilmuan dan memahami teori (Ilmu) hukum
baik untuk keperluan praktis maupun teoritis itu sendiri.

4. Landasan Teori

Teori yang dipakai akan tersebar dalam bagian- bagian selanjutnya yang terdiri
dari teori hukum feminis Brenda Cossman.

5. Metode Penulisan

Metode yang digunakan adalah yuridis normatif ( Normatife legal research)


pengumpulan dan pengolahan bahan – bahan dilakukan dengan cara membaca, mengedit
dan menuliskan kembali dalam bentuk tulisan. Setelah itu dilakukan analisis secara
persfektif normatif, sehingga mendapatkan kesimpulan yang bersifat deduktif.

327
Gender adalah sifat yang melekat baik pada kaum laki-laki maupun perempuan yang di
kontruksikan baik secara social maupun cultural. Misalnya perempuan dikenal lemah lembut,
emosional, cantik dan keibuan. Sementara laki- laki dianggap lebih kuat, rasional, jantan, dan
perkasa. Ciri dari sifat tersebut sebenarnya tidak mutlak. Perubahan ciri dan sifat tersebut dapat
berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Gender tidak sama dengan jenis kelamin.
Jenis kelamin ialah penyifatanatau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara
biologis yang melekat pada setiap jenis kelamin tertentu. (Mansour Fakih).

206
6. Pembahasan
6.1 Hakekat Hak Asasi Manusia
Manusia adalah makhluk ciptaan tuhan yang paling mulia dan mempunyai derajat
yang luhur sebagai manusia, budi dan karsa yang merdeka sendiri. Semua Manusia
memiliki harkat dan derajat yang sama dan memiliki hak – hak yang sama pula. Derajat
manusia yang luhur berasal dari Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakannya. Manusia
bebas mengembangkan dirinya sesuai budinya yang luhur.328
Sebagai Makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa semua manusia memiliki hak – hak
yang sama sebagai manusia. Hak – hak yang sama sebagai manusia itulah yang disebut
sebagai hak asasi manusia yaitu hak – hak yang melekat pada diri manusia berdasarkan
kodratnya yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa dan tidak dapat diganggu guggat oleh
siapapun dan tanpanya manusia akan sulit hidup sebagai manusia.
Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 39 1991 mendefinisikan Hak Asasi Manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.329
Menurut Jan Marteson seperti yang dikutip oleh Lopa, mengartikan Hak Asasi Manusia
sebagai sebagai hak yang melekat pada manusia yang tanpa itu manusia mustahil hidup
sebagai manusia “ Human right which are inheren in our nature without which we can
not live as a human being”. 330
Hak Asasi Manusia perlu ditegakan dalam kehidupan sehari- hari dan dalam kehidupan
bernegara. Bagi bangsa Indonesia Hak Asasi Manusia bukanlah hal yang asing,
perjuangan merebut kemerdekaan merupakan bagian dari perwujudan Hak Asasi
Manusia. Komitmen Indonesia dalam penghormatan, permajuan, pemenuhan dan
perlindungan Hak Asasi Manusia di seluruh wilayah di Indonesia bersumber pada
Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 yang dirumuskan jauh sebelum
dicanangkannya deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh Perserikatan Bangsa –
Bangsa pada tahun 1958.
Disamping itu keanekaragaman nilai – nilai agama dan budaya bangsa Indonesia menjadi
pertimbangan dalam upaya penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan Hak
Asasi Manusia. Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan
kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak
terpisahkan dari diri manusia yang harus dilindungi dan ditegakan demi peningkatan
martabat kemanusian, kesejahteraan serta keadilan.

6.2 Penegakan Gender Bagian dari Hak Asasi Manusia


Persamaan merupakan pilar bagi setiap masyarakat demokratis yang bercita – cita
mencapai keadilan sosial dan hak asasi manusia. Kenyataannya, dalam setiap masyarakat
dan lingkup kegiatan perempuan menjadi sasaran dari ketidakadilan dalam hukum
maupun dalam kenyataan sesungguhya. Keadaan ini juga diperburuk oleh adanya
diskriminasi di dalam keluarga, masyarakat dan ditempat kerja, diskriminasi terhadap
perempuan terjadi secara luas.
Penegakan gender dalam hal pemenuhan hak-hak merupakan bagian dari
penegakan hak asasi manusia. Sesuai dengan komitmen internasional dalam Deklarasi
PBB 1993, maka perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi perempuan
adalah tanggung jawab semua pihak lembaga- lembaga Negara, bahkan warga negara

328
Maria Rosita, Perjalanan dan perkembangan Hak Asasi Perempuan menuju tercapainya Hak
Asasi Manusia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hal 17.
329
Pasal 1 angka (1) Undang- Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
330
Baharudin Lopa dalam Mexasasi Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia,
(Bandung:Reflika Aditama,2011)Hal 116.

207
secara perorangan punya tanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi
perempuan.

6.3 Sejarah Penegakan Gender


Motif utama Hak Asasi Manusia tidak terlepas dari tuntutan dasar tentang hak
persamaan dan hak kemerdekaan. Dari kedua prinsip dasar inilah berkembang sejumlah
prinsip – prinsip lain selain prinsip penghormatan dan perlindungan terhadap martabat
manusia, partisipasi dan termasuk pembebasan terhadap hak perempuan sebagai manusia.
Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (
CEDAW) merupakan perjanjian interasional yang paling komprehensif tentang hak asasi
perempuan yang menetapkan kewajiban yang mengikat terhadap negara peserta untuk
secara hukum mengakhiri disriminasi terhadap perempuan, menyatakan persamaan hak
sipil, politik, ekonomi, sosial budaya antara laki-laki dan perempuan serta menetapkan
bahwa diskriminasi terhadap perempuan harus dihapuskan melalui langkah umum,
program serta kebijakan-kebijakan.331
Pada tanggal 18 Desember 1979, majelis umum PBB menyetujui sebuah
rancangan konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan. Majelis umum PBB mengundang negara - negara anggota PBB salah satunya
Indonesia untuk meratifikasinya. Konvensi ini kemudian dinyatakan berlaku pada tahun
1981.332
Disetujuinya Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan yang selanjutnya disebut konvensi perempuan, merupakan puncak dari upaya
Internasional dalam dekade perempuan yang ditunjukan untuk melindungi dan
mempromosikan perempuan diseluruh dunia. Hal ini merupakan hasil inisiatif yang
diambil oleh komisi kedudukan perempuan, sebuah badan yang dibentuk pada tahun 1974
oleh PBB untuk mempertimbangkan dan menyususun kebijakan yang dapat
meningkatkan posisi perempuan.333
Pada tahun 1949 sampai dengan tahun 1959, Komisi Kedudukan Perempuan
memepersiapkan berbagai kesepakatan internasional termasuk didalamnya konvensi
tentang hak politik perempuan dan Konvensi tentang kewarganegaraan perempuan yang
menikah. Pada Tahun 1963, Majelis Umum PBB mencatat bahwa diskriminasi terhadap
perempuan masih terus berlanjut dan meminta agar dapat dibuat suatu rencana
deklarasi.334
Pada tahun 1965, Komisi tersebut memulai menyiapkan upaya yang kemudian
pada tahun 1966 keluar sebuah rancangan yang kemudian disetujui menjadi sebuah
Deklarasi penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempauan berdasarkan
Resolusi XXII. Deklarsi ini merupakan instrument internasional yang berisi pengakuan
secara universal dan menjadi standar- standar persamaan hak laki-laki dan perempuan.335
Pada tahun 1968, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB mengambil inisatif untuk
menyususn sistem pelaporan terhadap pelaksanaan deklarasi tersebutoleh anggota –
anggota PBB. Mengingat deklarasi ini bukan kesepakatan (treaty), meskipun ada
penekanan secara moral dan politik terhadap para anggota untuk menggunakan nya. 336

6.4 Penegakan Gender Dalam Peraturan Perundang – Undangan

331
Nur said, Perempuan dalam Himpitan Teologi dan Hak Asasi Manusia di Indonesia, (
Yogyakarta: Pilar Media, 2000) hal 10.
332
Ibid.
333
Ibid.
334
Ibid.
335
Ibid.
336
Ibid.

208
Pada 3 Desember 1981, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention on
the Elimination of All Form of Discrimination Againt Women (Konvensi mengenai
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan) dengan Undang – Undang
Nomor 7 Tahun 1984. Konvensi mendorong diberlakukannya perundang – undangan
nasional yang melarang diskriminasi dan mengadopsi tindakan- tindakan khusus
sementara untuk mempercepat kesetaraan gender de facto antara laki - laki dan
perempaua, termasuk merubah praktek kebiasaan dan budaya yang didasarkan pada
inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau gender.
Sehingga lahirlah beberapa perundang-undangan nasional yang materi muatannya
tergolong responsive gender di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, yang merupakan bentuk
perjuangan yang dilakukan oleh penggiat feminisme di Indonesia. Pada Tahun 2002
untuk mendesak agar diundangkan sebuah kebijakan tentang kekerasan dalam rumah
tangga.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberatasan tindak pidana
perdagangan orang merupakan implementasi perlindungan hukum terhadap maraknya
kasus penjaulan perempuan dan anak yang terjadi ditanah air.
Selanjutnya perempuan yang digolongkan dalam kelompok masyarakat rentan
(vurnerable people) mendapat tempat khusus dalam pengaturan jaminan perlindungan hak
asasi manusia dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Pada Umumnya hak yang
telah diberikan kepada perempuan sama dengan hak-hak lain antara lain Hak untuk
hidup337, Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan338, Hak untuk mengembangkan
diri339, Hak atas kebebasan pribadi340, Ha katas rasa aman341, Hak atas Kesejahteraan342
dan Hak untuk turut serta dalam pemerintahan343, hanya saja hak dalam bagian ini hak
bagi kaum perempuan lebih dipertegas.Asas yang mendasarinya adalah asas hak
perspektif gender Dan anti diskriminasi. Dalam artian kaum perempuan memiliki
kesempatan yang sama seperti kaum pria.

7. Penutup

Perumusan dan intitusional Hak Asasi Perempuan yang merupakan bagian dari
Hak Asasi Manusia itu sendiri memang tak dapat dilepaskan dari lingkungan sosial dan
habitatnya, yaitu tidak lain masyarakat itu sediri dimana hak asasi perempuan
dikembangkan. Terjadi semacam korespondensi antara hak asasi manusia dalam
khususnya kaum perempuan dan perkembangan masyarakat.
Pembangunan dan penegakan hukum hak asasi terhadap perempuan di Indonesia haruslah
memperhatikan nilai-nilai secara cita hukum masyarakat Indonesia dalam hal ini tidak
lain adalah Pancasila. Pancasila yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 pada Alinea
IV merupakan kumpulan nilai-nilai filsafati bangsa Indonesia. Agar pelaksanaan hak

337
Pasal 28I UUD 1945 Amandemen 2 : “ Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk
kemerdekaan pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dihadapan hokum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hokum yang berlaku
surut adalah Hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
338
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa setiap orang berhak
membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah yang hanya
dapat berlangsung atas kehendak kedua calon suami dan istri yang bersangkutan dalam status
perkawinan.
339
Pasal 11 – 16 Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999
340
Pasal 20 - 43 Udang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
341
Pasal 33 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
342
Butir Pancasila sila Keadilan Sosial Bagi seluruh rakyat Indonesia.
343
Hak ini terkait dengan hak di bidang politik

209
asasi terhadap perempuan dapat efektif, perlu adanya singkronisasi dan interprestasi
terhadap dokumen hak asasi perempuan universal dan nasional sehingga ditemukan
harmonisasi dari keduanya.

Daftar Pustaka

Cossman, Brenda. 1990. “What is Feminist Legal Theory?.” Dalam Feminist Legal
Theory. The Thatched Patio. No.11.Jakarta : Konstitusi Press.
Rosita, Maria. 2010. Perjalanan dan perkembangan Hak Asasi Perempuan Menuju
tercapainya Hak Asasi Manusia. Jakarta: Sinar Grafika.
Soetriono dan SRDm Rita Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu dan Metodelogi Penelitian.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Said, Nur. 2010. Perempuan dalam Himpitan Teologi dan Hak Asasi Manusia di
Indonesia,Yogyakarta: Pilar Media.
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang- Undang Dasar Tahun 1945
Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

210
Tanggung Jawab Negara dalam Memenuhi
Hak dan Kebutuhan Anak

Yulia Netaa, Tia Nurhawab, Rudi Wijayac

a
Dosen pada Bagian Hukum Tata Negara FH Unila
e-mail: yulia.neta@fh.unila.ac.id
b
Mahasiswa Bagian Hukum Tata Negara FH Unila
e-mail: tia.nurhawa@gmail.com
c
Asisten Peneliti PUSHIBAN FH Unila
e-mail: rudi.wijaya@students.unila.ac.id

Abstrak

Anak merupakan anugrah Tuhan yang sangat berharga, sehingga harus dilindungi
dan dipenuhi hak-haknya. Secara filosofis, anak merupakan cikal bakal dari para birokrat
negara, sehingga untuk menghasilkan birokrat yang berkualitas, maka perlu pemenuhan
atas kebutuhan-kebutuhan anak secara berkualitas pula. Hal tersebut juga didukung
dengan amanat konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Namun demikian, amanat sebagai jaminan konstitusional terhadap anak
tersebut belum tentu mencerminkan hal yang sama dalam praktik di lapangan.
Dengan menggunakan metode deskriptif normatif dan pendekatan sosio-legal, tulisan ini
menyusun kerangka tanggung jawab negara dalam upaya pemenuhan hak dan kebutuhan
anak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kata Kunci: Tanggung Jawab Negara, Hak Anak, Kebutuhan Anak

1. Pendahuluan

Indonesia sebagai negara hukum,344 memuat konsekuensi agar seluruh kebijakan


yang diambil pemerintah harus memenuhi unsur-unsur negara hukum. Dalam hal ini, baik
negara hukum penganut sistem civil law345 maupun common law346 memiliki persamaan
dengan menekankan unsur jaminan terhadap hak asasi manusia. Jaminan terhadap hak
asasi manusia tersebut, harus dipenuhi dengan tidak diskriminatif, yaitu semua warga

344
Pernyataan ini secara tegas diatur dalam Pasal 1 Ayat (3) UUDNRI Tahun 1945.
345
Dalam sistem civil law –yang menghasilkan konsepsi rechtstaat, unsur-unsur negara hukum
yang harus dipenuhi yaitu: 1) adanya jaminan terhadap hak asasi manusia; 2) adanya pembagian
kekuasaan; 3)pemerintahan harus berdasarkan atas peraturan-peraturan hukum; dan 4) adanya
peradilan administrasi, dalam F.J. Stahl, 2009. The Doctrine of State and The Principles of State
Law. WordBridge Publishing.
346
Dalam sistem common law, –yang menghasilkan konsepsi rule of law, unsur-unsur negara
hukum yang harus dipenuhi yaitu: 1) supremasi aturan-aturan hukum; 2) kedudukan hukum yang
sama di hadapan hukum; 3) terjaminnya hak asasi manusia oleh undang-undang serta keputusan-
keputusan; dan 4) peradilan yang bebas dan tidak memihak,dalam A.V. Dicey, 1952. Law and
Constitution.

211
negara wajib dipenuhi hak asasi manusianya tanpa memandang umur, gender, suku, ras,
agama, dan golongan.
Dalam kaitannya dengan anak, maka pemenuhan hak asasi manusia tersebut
harus mampu untuk memenuhi hak anak.
Pemenuhan hak anak, selain merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi
manusia secara universal, juga merupakan tanggung jawab konstitusional negara
sebagaimana dalam UUDNRI Tahun 1945, sebagaimana diatur dalam Pasal 28B Ayat
(2)347 yang berbunyi:
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Rumusan pasal tersebut menghendaki agar anak dapat hidup –yang merupakan
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun,348 tumbuh, dan
berkembang, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi yang juga
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun.
Namun demikian, tidak mudah menemukan keadaan yang sesuai dengan dengan
apa yang menjadi tanggung jawab negara sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.
Dalam praktiknya, seringkali ditemukan kasus-kasus yang melibatkan anak, baik sebagai
korban maupun pelaku. Hal tersebut, meunjukkan bahwa ide besar dalam konstitusi
dalam prakteknya tidak otomatis mencerminkan konstitusionalisme.349
Hal tersebut nampaknya juga telah disadari oleh para perumus dalam perubahan
UUDNRI Tahun 1945 yang mengakui bahwa keberadaan anak yang hak dan kebutuhan
dasarnya tidak terpenuhi merupakan suatu hal yang akan tetap ada, sebagaimana
terdapatnya istilah “anak terlantar” dalam Pasal Ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 yang
secara lengkap berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh
negara”.
Meskipun menyadari dan menghadapi demikian, hal tersebut tidak dapat
dijadikan alasan bagi pemerintah untuk memalingkan dirinya dari tanggung jawab
konstitusional untuk memenuhi hak dan kebutuhan anak. Pemerintah sebagai
penyelenggara negara tetap harus menyadari dan melaksanakan tanggung jawabnya
terhadap anak.
Dengan menggunakan pendekatan sosio-logal, tulisan ini mencoba memaparkan
tanggung jawab negara terhadap hak-hak anak, yang ditelusuri dari peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia, norma-norma universal yang dimuat dalam
perjanjian internasional, serta pendapat-pendapat dari penelitidan penulis sebelumnya.

2. Pembahasan
Anak adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga karena dalam
dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung
tinggi. Anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga
setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi
serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan
kebebasan.350 Pengertian anak dalam kaitannya dengan perilaku delinkuensi anak,

347
Pasal ini masuk dalam Perubahan kedua UUDNRI Tahun 1945
348
Pasal 28I Ayat (1) UUDNRI Tahun 1945
349
Rudy, 2013. Konstitusionalisme Indonesia Buku I Dasar dan Teori. Bandar Lampung: Indepth
Publishing. Hlm. 2.
350
Poerwadarminta WJS, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 9.

212
biasanya dilakukan dengan mendasarkan pada tingkatan usia, dalam arti tingkat usia
berapakah seorang dapat dikategorikan sebagai anak.351
Maulana Hasan Wadong352 mengemukakan berbagai pengertian anak menurut sistem,
kepentingan, agama, hukum, sosial dan lain sebagainya sesuai fungsi, makna dan
tujuanya sebagai berikut:
1. Pengertian anak dari aspek agama, yaitu anak adalah titipan Allah SWT kepada kedua
orang tua, masyarakat, Bangsa dan Negara sebagai pewaris dari ajaran agama yang
kelak akan memakmurkan dunia. Sehingga anak tersebut diakui, diyakini dan
diamankan sebagai implementasi amalan yang diterima orang tua,
2. Pada dasarnya yang dimaksud dengan tindak pidana anak Pengertian anak dari aspek
sosiologis, yaitu anak adalah mahkluk sosial ciptaan Allah SWT yang senantiasa
berinteraksi dengan lingkungan masyarakat, bangsa dan Negara. Dengan keterbatasan-
keterbatasan yang dimilikinya karena berada pada proses pertumbuhan, proses belajar
dan proses sosialisasi dari akibat usia yang belum dewasa karena kemampuan daya
nalar (akal) dan kondisi fisiknya dalam perubahan yang berada dibawah kelompok
orang dewasa.
3. Pengertian anak dari aspek ekonomi, yaitu anak adalah seseorang yang berhak atas
pemeliharaanya dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan dan perlindungan
lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan
perkembanganya dengan wajar.
4. Pengertian anak dari aspek politik, yaitu anak sebagai tempat "issue bargaining".
Politik yang kondusif, kebijaksanaan politik muncul dengan menonjolkan suara-suara
yang mengaspirasikan status anak dan cita-cita memperbaiki anak-anak dari berbagai
kepentingan partai politik.
Anak memiliki karakteristik khusus (spesifik) dibandingkan dengan orang
dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan yang haknya masih terabaikan, oleh
karena itu hak-hak anak menjadi penting diprioritaskan.353 Keterabaian hak-hak anak
tersebut, disebabkan oleh kondisi psikologis maupun fisik anak yang belum mampu untuk
memenuhi haknya sendiri, sehingga sangat membutuhkan pemenuhan oleh warga negara
lainnya yang telah dewasa.

2.1 Anak dalam Hukum Positif Indonesia


Konstruksi yuridis dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
menyangkut pengertian dan batasan pengertian anak masih belum seragam, terutama
menyangkut batasan umur. Hal tersebut, terjadi karena adanya cara pandang yang
berbeda dalam menempatkan anak sebagai subjek hukum. Pengaturan mengenai batasan
pengertian anak tersebut yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Dalam Pasal 1 ayat (2) undang-undang ini anak didefinisikan sebagai seseorang
yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Definisi anak dalam Pasal 1 angka 1 undang-undang ini adalah orang yang dalam
perkara anak nakal telah berumur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur
18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan dalam Pasal 4 ayat
(1) Undang-undang ini menyebutkan bahwa batasan umur anak nakal yang dapat

351
Paulus Hadisuprapto, 2998. Delinkuensi Anak Pemahaman dan Penanggulangannya. Malang:
Bayumedia, Hlm.11.
352
Arief Gosita. 2001. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. hlm. 10.
353
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Nomor 15 Tahun 2010
tentang Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum

213
diajukan ke sidang anak adalah anak yang sekurangkurangnya 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
menyebutkan bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun dan
belum pernah kawin.
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Dalam Pasal 1 butir 1 undang-undang ini pengertian anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Sehingga anak yang belum dilahirkan dan masih di dalam kandungan
ibu menurut undang-undang ini telah mendapatkan suatu perlindungan hukum.
Selain terdapat pengertian anak, dalam undang undang ini terdapat pengertian
mengenai anak telantar, anak yang menyandang cacat, anak yang memiliki
keunggulan, anak angkat dan anak asuh.
5. Konvensi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa)
Dalam Konvensi PBB yang di tanda tangani oleh Pemerintah Republik Indonesia
tanggal 1990 di katakan batasan umur anak adalah di bawah umur 18 (delapan
belas) tahun).
6. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung sebagaimana yang telah dituangkan
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak maka yang dimaksud dengan anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun.

Berdasarkan dinamika dan kasus-kasus terhadap anak yang telah terjadi, undang-
undang perlindungan anak mengalami telah mengalami perubahan melalui Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang baru ini masih memberikan
batasan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.
Hak Anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan
dipenuhi baik oleh keluarga, masyarakat dan juga pemerintah dan negara. Dalam
Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa
setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.Setiap anak berhak atas kesejahteraan, mendapatkan
kelembutan, kasih sayang, perawatan, bimbingan, pengasuhan, pemeliharaan dan
perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan agar anak dapat
tumbuh dan berkembang secara optimal.
Peran anak yang strategis dalam menentukan masa depan bangsa sangat disadari oleh
masyarakat dunia untuk melahirkan sebuah perjanjian internasional melalui Konvensi
Hak Anak (Convention on the Right of the Children). Konvensi Hak Anak sebagai suatu
instrumen internasional Hak Asasi Manusia (HAM) yang secara khusus memberikan
perlindungan akan hak-hak anak. Perjanjian ini menekankan posisi anak sebagai manusia
yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. KHA telah
diratifikasi oleh semua anggota badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk
negara Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990.
Dengan demikian, Indonesia berkewajiban untuk mengimplementasikan hak-hak anak
yang dilakukan dengan mengakui adanya hak-hak anak serta melaksanakan dan
menjamin terlaksananya hak-hak anak di masyarakat.KHA berdasarkan materi hukumnya
mengatur mengenai hak-hak anak dan mekanisme implementasi hak anak oleh negara
sebagai pihak yang meratifikasi peraturan tersebut. Materi hukum mengenai hak-hak anak
tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:

214
a. Hak atas kelangsungan hidup, yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi hak
untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak-hak untuk memperoleh
standar kesehatan tertinggi dan perawatan sebaik-baiknya.
b. Hak perlindungan, yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi hak
perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak
yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi.
c. Hak untuk tumbuh kembang, yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi
segala bentuk pendidikan formal maupun non formal dan hak untuk mencapai
standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan
sosial anak.
d. Hak untuk berpartisipasi, yaitu hak-hak dalam KHA yang meliputi hak anak
untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak.
Kasus-kasus terhadap anak saat ini seolah tidak sulit untuk ditemukan. Pelakunya sangat
beragam,mulai dari orang tua, anggota masyarakat, sampai institusi pendidikan.
Berdasarkan data KPAI354, telah dilaporkan beberapa diskriminasi yang dilakukan
sekolah kepada siswa. Sepanjang tahun 2010-2013 ditemukan 15 (lima belas) bentuk-
bentuk diskriminasi pendidikan dengan rinciannya sebagai berikut:
1. Tidak bisa sekolah karena tidak memiliki akte kelahiran;
2. Tidak bisa masuk RSBI karena nilainya kurang, atau kursi sudah diplot;
3. Tidak bisa ikut olimpiade karena tidak punya akte kelahiran;
4. Sekolah membedakan status orang tua;
5. Disabilitas;
6. Anak mendapatkan nilai kecil karena tidak mau mengikuti les kegiatan
tambahan dari sekolah lantaran tidak punya biaya;
7. Stigma negatif karena pindahan dari sekolah lain;
8. Orang tua ODHA;
9. Tidak bisa masuk jurusan yang diinginkan karena jurusan sudah diisi
oleh orang tua yang punya pengaruh ekonomi;
10. Tidak dapat raport karena belum lunas SPP;
11. Tidak mendapat nilai agama karena orang tua penghayat aliran
kepercayaan;
12. Tidak mendapatkan pendidikan agama yang sesuai karena sekolahnya
dikelola orang yang berbeda agama;
13. Stigma negatif karena menjadi korban kekerasan seksual;
14. Anak mendapat pelajaran yang menyemaikan diskriminasi gender; dan
15. Anak tidak boleh masuk sekolah, dipersulit pindah karena keyakinannya.
Berkaca pada kasus yang terjadi, dapatlah kasus yang terjadi pada anak dapat melibatkan
beberapa pihak, yakni pemerintah, institusi pendidikan, orang tua, pemilik modal, serta
orang-orang dalam lingkungan dimana anak tersebut tinggal. Di satu sisi, pihak-pihak
tersebut berpotensi menjadi pihak yang akan berperan sebagai pelaku kejahatan atau
diskriminasi terhadap anak, namun pada sisi yang lain pihak-pihak tersebut juga menjadi
pihak yang dapat mendukung terciptanya keadilan dalam pemenuhan hak-hak anak.
Adapun saat ini, perlu adanya sinergi dari pihak-pihak diatas, terutama pemerintah, untuk
menciptakan iklim layak anak, khususnya di daerah-daerah. Undang-Undang tentang
Perlindungan Anak, dapat diturunkan menjadi instrumen atau produk hukum daerah,
sehingga upaya menciptakan iklim layak tersebut terjadi secara simultan pada setiap
tingkatan pemerintahan.
Beberapa daerah nampaknya telah mencoba menerbitkan kebijakan yang berkaitan
dengan anak, baik berbentuk perda maupun kebijakan-kebijakan lainnya. Di Provinsi
Lampung sendiri misalnya, pemerintah Kabupaten Lampung Timur telah menjalankan

354
https://news.detik.com/berita/2402128/ini-15-bentuk-diskriminasi-sekolah-terhadap-siswa-
versi-kpai

215
program Desa Ramah Anak355. Program tersebut, selain dijalankan oleh pemerintah
daerah, juga mendapat bantuan perguruan tinggi dalam praktik pelaksanaannya. Hal
tersebut merupakan langkah yang sangat bagus, karena akan terjalin sinergisitas sekaligus
terbentuk pengaturan yang berkualitas.
Selanjutnya masih diperlukan sinergi dari pihak-pihak lain, terutama masyarakat itu
sendiri dan perusahaan swasta sebagai pemegang kapital. Rancangan desain hukum
mengenai anak, dalam implementasinya tentu akan sangat dipengaruhi budaya
masyarakat dan kapital perusahaan yang kuat. Bukanlah harapan kita semua, melihat
peraturan yang telah ada tidak terlaksana karena alasan-alasan yang sangat deterministik.
Bentuk kerjasama yang dijalin, misalnya dapat menggunakan model-model yang telah
dikembangkan sebelumnya seperti Triple Helix Model dan sebagainya.

3. Penutup

Negara memiliki tanggung jawab konstitusional terhadap pemenuhan hak-hak


anak. Anak harus mendapatkan haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang, serta
bebas dari perlakuan diskriminatif. Hak-hak tersebut, telah dikejawantahkan
dalamundang-undang serta peraturan perundang-undangan di bawahnya. Peraturan yang
telah ada tersebut, dapat diturunkan menjadi produk hukum daerah untuk mendukung
upaya menciptakan daerah yang layak dan ramah anak. Selain itu, perlu upaya yang
simultan dari setiap tingkatan pemerintahan. Adapun untuk menunjang kebijakan yang
diambil negara terhadap pemenuhak hak anak, dibutuhkan sinergi dari berbagai pihak.

Referensi

A.V. Dicey, 1952. The Law of The Constitution. 2013. OUP Oxford
Arief Gosita, 2001. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
F.J. Stahl, 2009. The Doctrine of State and The Principles of State Law. WordBridge
Publishing.
Paulus Hadisuprapto, 2008. Delinkuensi Anak Pemahaman dan Penanggulangannya.
Malang: Bayumedia
Poerwadarminta WJS, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Rudy, 2013. Konstitusionalisme Indonesia Buku I Dasar dan Teori. Bandar Lampung:
Indepth Publishing

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Nomor 15
Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan dengan
Hukum

355
http://wartamerdeka.net/bupati-lampung-timur-kukuhkan-24-desa-ramah-anak/ diakses pada 7
Oktober 2017 pukul 20:38 wib

216
Halaman Internet
https://news.detik.com/berita/2402128/ini-15-bentuk-diskriminasi-sekolah-terhadap-
siswa-versi-kpai diakses pada 6 oktober 2017 pukul 13:59 wib
http://wartamerdeka.net/bupati-lampung-timur-kukuhkan-24-desa-ramah-anak/ diakses
pada 7 Oktober 2017 pukul 20:38 wib

217
Perlakuan Ramah Terhadap Anak Sebagai Pelaku dan Korban
Tindak Pidana sebagai Upaya Maksimal Hukum Perlindungan
Anak Di Indonesia

Yunan Prasetyo Kurniawan S.H., M.H.

Abstrak

Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki
harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Dengan demikian untuk menjaga harkat
dan martabatnya maka perlu mendapatkan perlindungan khusus terutama perlindungan
hukum, tidak terkecuali Anak sebagai Pelaku dan Korban mempunyai hak untuk tetap
dapat terlindungi serta mendapatkan pelayanan serta kesejahteraan yang baik sesuai
amanat Undang Undang. Anak sebagai pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana
harus mendapatkan pelayanan khusus bagi anak serta kesejahteraan yang sesuai pada
bidang anak, korban anak sebagai akibat suatu tindak pidana sering sekali menjadi
terabaikan mengingat sulitnya korban anak untuk mendapatkan fasilitas perlindungan
yang telah ditetapkan yang diatur dalam hukum positif anak. Sosialisasi atas segala
bentuk peraturan hukum positif kepada semua pihak yang berdekatan dengan anak
sangatlah diperlukan guna tercapainya wujud perlindungan anak dan pelayanan ramah
anak.

Kata Kunci : Perlakuan Ramah Anak, Ramah Anak, Anak sebagai Pelaku dan Korban
Tindak Pidana, Perlindungan Anak, Upaya Perlindungan Anak, Restorative Justice, Anak
yang Berhadapan dengan Hukum, Diversi, Pidana Anak.

1. Pendahuluan

Kehidupan Anak di Indonesia tidak terlepas dari kehidupan masyarakat setempat,


keluarga dan Negara dalam regulasinya, tidak sedikit anak di Indonesia masih
mempunyai permasalahan. Mulai dari permasalahan keluarga sampai dengan anak yang
mempunyai permasalahan kenakalan serius atau berhadapan dengan hukum dan sebagai
korban dalam suatu tindak pidana. Anak-anak yang mengalami permasalahan demikian
berhak untuk mendapatkan perlindungan fisik, mental, spiritual maupun sosial sesuai
dengan apa yang termuat dalam prinsip-prinsip Konvensi Hak-hak Anak yang telah di
ratifikasi melalui Keppres 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Hak Anak, yang selanjutnya
dalam penerapan dan pelaksanaanya di Indonesia pemerintah memiliki inisiatif untuk
menerbitkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya
perlindungan anak di Indonesia di antaranya adalah Undang-Undang no 3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak pada saat ini sudah di rubah menjadi undang undang 11 tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Anak, Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang di
rubah menjadi Undang-Undang 35 tahun 2014, Undang-Undang No.13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang

218
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-Undang No.23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Peraturan perundang-undangan tersebut sangat diharapkan dapat dijadikan
sebagai landasan untuk dapat memberi arti bagi pelaksanaan perlindungan anak bagi
anak-anak yang mempunyai permasalahan kenakalan biasa sampai dengan kenakalan
yang menyebabkan mereka menjadi pelaku ataupun korban tindak pidana, termasuk juga
anak-anak yang berhadapan dengan hukum pada penerapannya di lapangan.
Pada saat ini masih banyak dijumpai pelaksanaan yang masih belum sepenuhya
sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang ada. Hal ini di
sebabkan kurangnya sosialisasi peraturan perundang-undangan sehingga pelaksanaan dan
pemahaman dari peraturan perundang-undangan dalam penanganan terhadap anak-anak
yang mempunyai masalah kenakalan biasa sampai dengan kenakalan anak yang
berhadapan dengan hukum masih bervariasi dan cenderung mempunyai persepsi yang
berbeda-beda dari pelaksanaanya selain ini juga faktor infrastruktur dan sarana-prasarana
yang masih sangat terbatas sehingga menambah permasalahan yang di hadapi oleh jajaran
aparat penegak hukum (khususnya aparat penegak hukum anak dan pendamping anak)
serta keluarga dan ahli sebagai pendamping anak pada saat menangani dan menyelesaikan
permasalahan-permasalahan anak.
Meningkatnya angka pelaku kejahatan pada kelompok anak usia 12-18 tahun
menunjukan bahwa adanya indikasi peningkatan jumlah anak yang melakukan tindak
pidana. Selain itu masalah anak sebagai korban tindak pidana juga tidak bisa di abaikan
terhadap hak-hak yang harus didapatkan ketika dirinya menjadi korban, yang tentunya ini
juga pasti akan membawa pengaruh/dampak bagi tumbuh kembang anak serta
kepribadian anak pada masa depanya. Oleh karena itu akan sangat penting bagi para
penegak hukum, masyarakat dan keluarga melakukan upaya-upaya untuk kepentingan
terbaik untuk anak sebagaimana yang telah tercantum dalam Konvensi Hak-Hak Anak
Pasal 37(b), The Beijing Rules (butir 13.1 dan 2).
Berdasarkan dari penjelasan uraian diatas dapat memberikan sebuah gambaran
bahwa kerjasama dan koordinasi antar Aparatur Negara serta element masyarakat dan
keluarga harus memahami bagaimana hukum positif melindungi anak sebagai pelaku
tindak pidana dan melindungi anak sebagai korban tindak pidana terutama adalah
keluarga bagaimana keluarga dapat memberikan perlindungan melalui pemberian
pendidikan, pengawasan, serta perlindungan dalam konteks preventive dan represif untuk
mencegah anak masuk kedalam pergaulan yang menyimpang, pemahaman yang tidak
baik, serta pengarahan anak yang positif. Hal ini juga sejalan dengan prinsip yang di anut
dalam Conventian Of The Right Of The Child (CRC) dan juga sebagaimana telah di
adopsi dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 (yang di ubah dengan Undang-Undang
35 tahun 2014) tentang Perlindungan Anak khususnya dalam hal menyangkut Prinsip
“The Best Interest Of The Child” dan pidana sebagai “The Last Resort”
Untuk melaksanakan dan mewujudkan semua upaya yang telah di jelaskan di atas
maka secara organisasi atau kelembagaan diperlukan landasan hukum dari upaya tersebut,
hal ini bertujuan agar masing-masing dari tugas pada kelembagaan dan organisasi
tersebut dapat saling mendukung dan proses penangananya dapat berjalan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku,

2. Penanganan Pidana Ramah Anak Sebagai Pelaku dan Korban Melalui Diversi /
Pendekatan Keadilan Restorative Justice.

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), sebagai hukum dasar yang menjadi
dasar hukum semua peraturan hukum nasional serta hukum positif tentang Anak
menginstruksikan agar setiap warga Negara Indonesia ikut serta mengusahakan,
meningkatkan dan bertanggung jawab untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur

219
spiritual dan materil sebagai aspirasi Bangsa Indonesia sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Dengan demikian negara, masyarakat dan individu harus berupaya
maksimal untuk mengembangkan Usaha-usaha Perlindungan Anak (UPA) dalam
berbagai bidang kehidupan dan penghidupan dalam suatu negara, masyarakat dan
keluarga.
Anak sebagai Pelaku dan Korban mempuyai hak untuk tetap dapat terlindungi
serta mendapatkan pelayanan serta kesejahteraan yang baik sesuai amanat undang
undang, anak sebagai pelaku tindak pidana harus mendapatkan pelayanan khusus anak
serta kesejahteraan yang sesuai pada bidang anak, tak terkecuali korban anak. Korban
anak sebagai akibat suatu tindak pidana sering sekali menjadi terabaikan mengingat
sulitnya korban anak untuk mendapatkan fasilitas perlindungan yang telah ditetapkan
yang diatur dalam hukum positif anak.
Penerapan sistem Restorative Justice pada upaya penanganan anak yang
berhadapan dengan hukum (anak sebagai Pelaku Tindak Pidana) dan anak sebagai Victim
(korban tindak pidana) diharapkan dapat menjadi pembaharuan terhadap permasalahan
pidana anak yang sebelumya menjadi permasalahan, berdasarkan penulisan ini dan
diharapkan dapat di temukan kendala yang menjadi permasalahan dalam penerapan
Restorative Justice untuk mengatasi permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum
baik sebagai pelaku maupun sebagai korban dalam upaya perlindungan dengan maksimal
dan pelayanan ramah anak.
Proses peradilan pidana dalam sebuah peradilan formal yang di alami oleh anak
tentu akan cenderung membawa trauma dan mempunyai efek buruk pada masa depannya,
terlebih lagi apabila proses tersebut menyebabkan anak-anak terpaksa mengalami
penahanan sampai pemenjaraan, jalan terbaik adalah menjauhkan anak-anak dari sistem
peradilan pidana dan mengalihkanya pada penanganan dan pembinaan alternatif. Tidak
hanya bagi pelaku, proses ini juga berlaku bagi anak-anak yang menjadi korban
kekerasan dan saksi, kepada mereka harus diprioritaskan untuk mencegah timbulnya
trauma dan penderitaan ganda akibat proses peradilan formal yang berlangsung, serta
terabaikannya hak hak mereka ketika menjadi korban.
Karena sebagaimana kita ketahui perkembangan anak sampai dewasa merupakan
sutu pembelajaran secara terus menerus yang sebagian besar dididik dan dibesarkan oleh
orang tuanya atau keluarganya termasuk juga peran dari lembaga pendidikan seperti
sekolah ataupun lingkungan masyarakat, sebagai bagian dari perkembangan ini anak
sering melakukan kesalahan atau melakukan penilaian yang keliru maka dalam hal ini
peran keluarga atau orang tua biasanya bisa membantu untuk memperbaikinya. Hal
tersebut menunjukan bahwa dalam lingkup keluarga dan orang tua harus mampu
menangani pelanggaran-pelanggaran ringan yang di lakukan oleh anak mereka dengan
efektif tanpa harus melibatkan sebuah proses peradilan formal. Dan yang menjadi lebih
penting lagi pendekatan seperti ini yang di harapkan dan disetujui oleh masyarakat.

2.1 Pengertian, Tujuan dan Prinsip-Prinsip Diversi


Diversi adalah pengalihan dari proses pidana formal sebagai alternatif terbaik
penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Diversi merupakan pengalihan
penanganan kasus-kasus anak yang di duga telah melakukan tindak pidana dari proses
formal dengan ataupun tanpa syarat, intervensi terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum sangat luas dan beragam, tetapi kebanyakan lebih menekankan pada penahanan
dan penghukuman, tanpa peduli betapa ringannya pelanggaran tersebut atau betapa
mudanya usia anak tersebut.
Ted Rubin memberi batasan Diversi adalah :
Diversion can mean “the channeling of cases to non court institution, in instance
where these cases would ordinarily have received an adjudicatory (or fact finding)
hearing by court. Or it can refer to “any process employed by components of criminal

220
justice system (police, prosecution, courts, correction) to turn suspect and/or offenders
away from the formal system or to a ‘lower’ level of the system.

Tujuan Diversi adalah :


1. Untuk menghindari anak dari penahanan.
2. Untuk menghindari cap/label sebagai penjahat.
3. Untuk meningkatkan keterampilan hidup bagi pelaku.
4. Agar pelaku bertanggung jawab atas perbuatanya.
5. Untuk mencegah pengulangan tindak pidana.
6. Untuk memajukan intervensi-intervensi yang di perlukan bagi korban dan pelaku
tanpa harus melalui proses formal.
7. Program diversi juga akan menghindari anak untuk mengikuti proses sistem
peradilan.
8. Lebih lanjut program ini akan menjauhkan anak-anak dari pengaruh-pengaruh
dan implikasi negative dari proses peradilan tersebut.
9. Memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat
yang dirugikan oleh tindak pidana.

Prinsip-Prinsip Diversi adalah:


1. Proses pemidanaan tidak akan di teruskan bagi seorang anak jika ada alternatif
penyelesaian lain untuk perkaranya, kecuali menyangkut kepentingan umum.
2. Anak tidak boleh di paksa untuk mengakui bahwa ia telah melakukan tindakan
tertentu.
3. Program diversi hanya di gunakan terhadap anak yang mengakui bahwa ia telah
melakukan suatu kesalahan, tetapi tidak boleh ada pemaksaan.
4. Pemenjaraan tidak dapat menjadi bagian dari diversi, mekanisme dan struktur
diversi tidak mengijinkan pencabutan kebebasan dalam segala bentuk.
5. Adanya kemungkinan penyerahan kembali ke pengadilan (perkara harus dapat di
limpahkan kembali ke sistem peradilan formal apabila tidak ada solusi yang dapat
di ambil)
6. Adanya hak untuk memperoleh persidangan atau peninjauan kembali, anak harus
tetap dapat mempertahankan haknya untuk memperoleh persidangan atau
peninjauan kembali.
7. Tidak ada diskriminasi

2.2 Kriteria Tindak Pidana yang dapat di pertimbangkan untuk Diversi


Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam memutuskan diversi antara lain:
1. Pelaku
Usia pertanggung jawaban kriminal di Indonesia adalah 8 tahun (dalam RKUHP
12 tahun) yang kemudian pada saat ini menjadi 12 – 18 tahun sesuai dengan Undang
Undang Sistem Peradilan Anak. Artinya, tidak ada seorang anak pun yang berusia di
bawah 12 tahun dapat secara legal dianggap melakukan kejahatan, dan tidak dapat
diproses. Anak yang masih muda tidak mampu membangun “tujuan kriminal”. Jika ada
yang berhadapan dengan polisi, maka orang tua yang harus menangani masalah tersebut.
Kalaupun ada anak dibawah 12 tahun yang terus-menerus berhadapan dengan polisi,
maka ada masalah yang sangat serius yang terjadi dan perlu dirujuk pada jasa pelayanan
social atau kelembagaan anak yang terkait.
Anak yang berusia 12-18 tahun dapat diproses hukum atas suatu kondisi tertentu
tetapi tidak bisa dikenakan penahanan atau pemenjaraan, untuk anak di bawah usia 12
tahun, Diversi harus selalu menjadi pertimbangan pertama dan bukan proses pidana.
Rencana diversi harus tersusun dengan baik agar efektif, dan polisi harus selalu
mempertanyakan apa untungnya dari sebuah proses pidana bagi anak.

221
2. Seriusitas Kejahatan
Seriusitas kejahatan selalu menjadi pertimbangan pertama untuk diversi dan
hukum telah membagi kejahatan berdasarkan tingkat seriusitasnya, walaupun ketika
menghadapi anak yang berhadapan dengan hukum, tingkatan tersebut juga menetapkan
standar yang umum tentang seriusitas perbuatan, anak berhak di perlakukan berbeda
dengan pelaku kejahatan dewasa, dan oleh karenanya bentuk dan tingkat intervensi pun
tetap berbeda, secara pedoman umum, kejahatan dapat di bedakan ke dalam 3 kategori
yaitu kejahatan ringan, kejahatan sedang, kejahatan berat.
Tingkat berat dan ringan lebih mudah di bedakan satu sama lain, dan secara
umum kepada perbuatan yang ringan sebisa mungkin diversi segera di berlakukan, dalam
sebuah kejahatan berat diversi bukanlah sebuah pilihan, tetapi untuk kejahatan sedang
yang terkadang sulit di bedakan, terdapat beberapa faktor pertimbangan yang dapat
membantu.
2.1. Perbuatan Yang Tergolong Ringan
Beberapa perilaku yang dapat di golongkan sebagai Petty Crime, seperti
pencurian ringan, penyerangan ringan tanpa menimbulkan luka-luka, atau kerusakan
ringan pada harta benda.
2.2. Perbuatan Yang Tergolong Sedang
Ini adalah tipe perbuatan di mana kombinasi antara semua kondisi yang ada harus
di pertimbangkan untuk menentukan apakah tepat bila di tangani dengan diversi.
2.3. Perbuatan yang tergolong Berat
Aturan hukum secara jelas mengidentifikasi jenis perbuatan ini sebagai kejahatan
dan kepadanya diversi tidak dapat di pertimbangkan, misalnya pada kasus penyerangan
seksual dan penyerangan fisik yang menimbulkan luka parah.

3. Sifat dan jumlah pelanggaran yang pernah di buat sebelumnya


Kalau sebelumnya anak pernah melakukan pelanggaran hukum ringan, diversi
harus tetap menjadi pertimbangan, tetapi kesulitan memberikan diversi akan muncul
ketika ada sejarah bahwa anak sering melakukan perbuatan melanggar hukum, langkah
ini harus di ambil dengan sangat hati hati dan setelah melalui pemikiran matang dan demi
kepentingan yang terbaik bagi anak.

4. Apakah anak tersebut mengakui pelanggaran tersebut


Kalau anak mengakui perbuatanya dan menyesalinya, maka ini adalah sebuah
pertimbangan yang positif untuk diversi. Pengakuan atas perbuatan tidak boleh di
dapatkan dengan ancaman atau bujukan atas imbalan, misalnya dengan mengatakan
bahwa “kalau kamu mengaku nanti akan diberi diversi”. Diversi tidak dapat di
pertimbangkan kalau anak tidak mengakui perbuatanya.

5. Pandangan Korban
5.1. Dampak perbuatan terhadap korban
Korban-korban akan mengiginkan respon yang berbeda-beda pada keadaan yang
hampir sama, itu karena setiap kejahatan memberikan dampak yang berbeda dan situasi
adalah unik bagi korban, kalau kejahatan berdampak serius pada korban, meskipun anak
tidak bermaksud demikian, maka diversi mungkin tidak dapat menjadi pilihan.
5.2. Usul yang diberikan untuk melakukan perbaikan atau meminta maaf pada korban.
Perbaikan yang di lakukan untuk mengganti kerugian yang diakibatkan adalah
dengan memberikan kompensasi untuk kerugian finansial dan/atau harta benda, biaya
perbaikan harus di berikan apabila terdapat kerusakan dan barang yang di ambil oleh anak
harus di kembalikan, apabila tidak memungkinkan, maka harus ada pengantian atas
barang tersebut, termasuk juga pengantian atas sentimental nilai barang, selain itu dengan
permintaan anak terhadap korban menunjukan anak mau bertanggung jawab atas

222
perbuatanya, permintaan maaf dapat di laksanakan melalui surat maupun secara langsung
kepada korban.
5.3 Pandangan korban tentang metode penanganan yang di tawarkan
Harus ada masukan dan/atau persetujuan dari korban dalam proses diversi agar
pengakuan korban mengenai dampak perbuatan turut dipertimbangkan. Kekhawatiran
korban biasanya timbul sehingga mereka sulit menerima diversi, untuk itu interversi yang
di lakukan harus tetap pantas dan proporsional dengan perbuatan anak dan dampak yang
di alami korban.

6. Sikap keluarga anak tersebut


Dukungan dari orang tua dan keluarga sangat penting agar diversi dapat berhasil.
Kalau keluarga berusaha menutup-nutupi perbuatan anak, maka rencana diversi yang
efektif akan sulit untuk di implementasikan. Keluarga mungkin merasa malu akan
perbuatan anak tersebut sehingga tidak mau memberikan dukungan kepada anak, tetapi
diversi harus tetap dilakukan untuk memberikan support kepada anak. Pelanggaran-
pelanggaran yang sering di lakukan anak juga akan membentuk persepsi negatif terhadap
orang tua/keluarga, namun mereka juga dapat menyambut dengan baik kemungkinan
diversi untuk membantu mereka dan anak tersebut.

3. KESIMPULAN

Berdasarkan tulisan yang telah di paparkan di atas maka penulis dapat menarik
kesimpulan bahwa apabila di lihat pada sisi korban, Diversi / Restorative Justice dapat
memberikan kepuasan secara lebih baik atas pemenuhan kebutuhan dibandingkan
dengan proses peradilan biasa. Selain itu apabila dilihat dari sisi pelaku, Diversi /
Restorative Justice dapat memberikan suatu peluang atau kesempatan bagi pelaku untuk
memperbaiki perbuatannya serta pelaku diberi kesempatan menerima tanggung jawab dan
kewajiban terhadap korban dan masyarakat pada umumnya serta dapat mengembalikan
rasa hormat dari masyarakat. Serta apabila dilihat dari segi sosial kemasyarakatan para
pelaku menjadi kurang bahaya di mata masyarakat selain itu biaya yang dipergunakan
untuk melaksanakan pidana dapat digunakan untuk melakukan upaya tindakan preventif
atau konstruktif lainya.
Dan menurut penulis, perlu adanya suatu mekanisme kejasama dan sistem yang
dimiliki dalam pelaksanaan keadilan Restorative Justice. Kerja sama tersebut harus di
lakukan antar semua instansi penegak hukum, lintas sektor terkait dengan masyarakat
setempat dan organisasi kemasyarakatan atau (LSM), baik dalam kerjasama lokal (yang
di lakukan di jajaran Polisi, Jaksa, BAPAS, Pengacara, Orang tua dan masyarakat),
kerjasama nasional (pada kerjasama tingkat ini di lakukan di tingkat pemerintahan pusat
yaitu Departemen Kementrian Negara yang berkoordinasi dengan perwakilannya di
daerah yang diimplementasikan melalui kebijakan-kebijakan antar departemen dan
instansi lain. Hal ini juga tentunya akan berkaitan langsung dengan masalah dana dan
biaya yang perlu dialokasikan dan diprioritaskan guna terwujudnya perlindungan anak,
serta dengan di lakukannya secara kontinyu dan dapat diukur serta dapat dikontrol
bersama), kemudian kerjasama regional (dalam hal bantuan dari negara lain merupakan
salah satu faktor yang sangat penting yang dapat langsung diimplementasikan melalui
lembaga departemen maupun non departemen).

223
Daftar Rujukan

Harper, Erica. (2009). International Law and Standard Applicable in Natural Disaster
Situation (Perlindungan Hak-hak Warga Sipil dalam Situasi Bencana). Jakarta:
PT. Grasindo.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (2001). Diterjemahkan oleh Moeljatno. Jakarta:
Bumi Aksara.
Panduan Jejaring Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum. (2009). Jakarta:
Deputi Bidang Perlindungan Anak, Kementerian Negara Pemberdayaan
Perempuan RI
Ruben Achmad, Upaya Penyelesaian Masalah Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Di
Kota Palembang, http://www.economic-law.net/jurnal/RubenAchmad.Doc
Standar Operasional Prosedur Tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan
Hukum. (2009). Jakarta: Deputi Bidang Perlindungan Anak, Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan RI.
Ted Rubin. Juvenille Justice Policy, Practise, And Law, ed.2 (p.176). New York :
Ramdon House.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
(2010). Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 & Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2007 tentang Perlindungan Anak. (2007). Bandung: Citra
Umbara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. (2007). Bandung: Citra Umbara.

224
Respon Istri Terhadap Aktivitas Suami pada Ranah Domestik
di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan
(Studi Komparasi di Kelurahan Rajabasa Raya, Kecamatan Rajabasa,
Kota Bandar Lampung dan Desa Nambah Dadi, Kecamatan Terbanggi
Besar, Kabupaten Lampung Tengah)

Dwi Atwati*), Teuku Fahmi**)

*)
Mahasiswa Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung
**)
Dosen Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan respon istri terhadap
aktivitas suami dalam bidang domestik. Lebih lanjut, dengan menggunakan perhitungan
uji beda U Mann-Whitney, analisis inferensial dilakukan guna melihat perbedaan antara
persepsional istri/responden terhadap aktivitas domestik suami pada klasifikasi perkotaan
dan pedesaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian dilakukan di
Kelurahan Rajabasa Raya Kota Bandar Lampung (perkotaan) dan Desa Nambah Dadi
Kabupaten Lampung Tengah (pedesaan). Secara keseluruhan, jumlah responden yang
terlibat dalam penelitian ini sebanyak 100 orang. Analisis data dalam penelitian ini
menggunakan perhitungan statistik deskriptif dan inferensial.Hasil penelitian
menunjukkan bahwa respon istri terhadap aktivitas suami dalam bidang domestik pada
klasifikasi pedesaan lebih tinggi dibandingkan wilayah perkotaan (perbandingan nilai
kekuatan respon pada wilayah pedesaan dan perkotaan yakni 4,17 : 3,82). Selanjutnya,
mengacu pada hasil perhitungan uji beda (Mann Whitney U Test for Two Independent
Samples) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsional
istri/responden terhadap aktivitas domestik suami di wilayah Rajabasa Raya (perkotaan)
dan Nambah Dadi (pedesaan) (Asymp. Sig. (2-tailed) 0.045 < 0.05).

Kata kunci: respon istri, aktivitas domestik, kekuatan respon, uji beda Mann-Whitney.

1. Pendahuluan

Ketidakadilan pembagian peran dalam masyarakat Indonesia masih cenderung


dipengaruhi oleh jenis kelamin. Dimana perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dipengaruhi oleh stereotip gender yang menganggap laki-laki lebih kuat dan derajatnya
dianggap lebih tinggi. Pandangan tersebut tidak terlepas dari faktor budaya patriakhi,
interpretasi agama, dan mitos yang selama ini turun menurun di masyarakat, bahwa
menjadi ibu rumah tangga merupakan sebagian peran dari perempuan yang sudah
berkeluarga. Berdasarkan persepsi yang berkembang di masyarakat tersebut, maka
perempuan dianggap lebih berkewajiban untuk tinggal di rumah dan mengerjakan
pekerjaan rumah tangga.

225
Menurut Oakley (1972) dalam sex, gender and society, menyatakan bahwa
gender merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang
dikontruksikan secara sosial budaya, yakni perbedaan yang bukan kodrat melainkan
diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultrul yang pajang (Fakih, 2013, p.
71). Misalnya laki-laki dianggap kuat, jantan, perkasa dan rasional sedangkan perempuan
dianggap lembut, cantik, keibuan dan irasional. Laki-laki dan perempuan dalam keluarga
memiliki peran masing-masing dalam rumah tangga. Laki-laki memiliki peran sebagai
kepala rumah tangga, mencari nafkah untuk anak dan istri serta berperan dalam wilayah
publik. Sedangkan perempuan memiliki peran sebagai ibu rumah tangga yang harus
mengerjakan segala pekerjaan yang ada di rumah seperti mengurus suami dan anak,
memasak, mencuci, menyapu dan sebagainya.
Banyaknya isu ketidakadilan terkait gender menyebabkan pengguna analisis
gender melakukan studi dan menemukan beberapa masalah terkait manifestasi
ketidakadilan. Ketidakadilan itu diantaranya terjadi pemiskinan terhadap kaum
perempuan, subordinasi pada salah satu jenis kelamin umumnya perempuan, pelabelan
negatif yang menyebabkan diskriminasi, kekerasan, dan beban domestik perempuan lebih
tinggi (Fakih, 2013, p.74). Informasi beban domestik suami dan istri suami yaitu, suami
memberikan kontribusi untuk pekerjaan domestik selama 7,2 jam, sedangkan istri 13,2
jam. Berdasarkan persepsi suami, rata-rata suami mengakui memberikan kontribusi
sebesar 18 jam per minggu, sementara istri memperkirakan suami mereka memberikan
kontribusi 13 jam per minggu. Terkait dengan kontribusi istri, suami memperkirakan istri
mereka menghabiskan wakktu 24,9 jam per minggu, sementara istri mengakui mereka
melakukannya sebanyak 26 jam per minggu (Lewin-Epstein, Stier, & Braun, 2006; Lee &
Waite, 2005).
Informasi masalah diskriminasi perempuan juga didapat dari komnas perempuan,
bahwa terdapat 259.150 kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan selama tahun
2016. Masalah diskriminasi dalam pembagian peran di Indonesia disebabkan dari adanya
budaya patriarki yang dianut oleh masyarakat (Nurmila, 2015). Lebih lanjut, Nurmila
(2015) menjelaskan bahwa budaya patriarki menempatkan suami pada posisi yang paling
tinggi dalam menentukan atau memutuskan kebijakan. Untuk konteks ini, perempuan
atau istri hanya bertugas mendampingi, melengkapi, menghibur dan melayani suami.
Sementara anak diposisikan sebagai generasi penerus dan penghibur ayahnya.
Banyak penelitian yang mengangkat tentang pembagian peran antara laki-laki
dan perempuan. Umumnya dalam keluarga tiap anggota memiliki peran yang berbeda
seperti suami sebagai kepala keluarga lebih banyak berperan dalam wilayah publik,
sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga lebih banyak berperan dalam wilayah domestik.
Supriyantini (2002) menjelaskan bahwa dalam keluarga suami dan istri harus saling
pengertian dalam pembagian peran serta diperlukan sikap saling membantu dalam
peraturan rumah tangga seperti soal pekerjaan dapur, memelihara pakaian, memelihara
alat rumah tangga, kebersihan rumah, serta dalam pengasuhan anak.
Partisipasi suami dalam kegiatan rumah tangga dapat meningkatkan rasa
kebersamaan suami dan istri. Sobur dan Septiawan (1999) menegaskan suami yang ikut
terlibat dalam kegiatan rumah tangga, minimal istri akan merasa terbantu karena
perhatian suami. Bahkan urusan mencari nafkah dalam keluarga tidak hanya menjadi
kewajiban suami dan begitu juga kewajiban dalam urusan rumah tangga tidak semata-
mata menjadi tugas istri (Sudarta, 2007). Berdasarkan penelitian terdahulu terkait
pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, menunjukkan bahwa peran laki-laki
sebenarnya tidak hanya di wilayah publik namun juga harus membantu perempuan dalam
aktivitas domestik.
Penelitian ini mengkaji lebih mendalam mengenai pembagian peran domestik
antara istri dan suami. Dalam hal ini akan disoroti lebih lanjut peran laki-laki dalam
aktivitas domestik serta mengetahui respon perempuan mengenai peran tersebut. Respon
perempuan mengenai aktivitas laki-laki di setiap wilayah kemungkinan berbeda.

226
Perbedaan tersebut dapat terjadi dikarenakan faktor seperti kebudayaan, lingkungan
sekitar, dan peradaban (Susilorini, 2013). Oleh karenanya, kajian ini dilakukan pada
wilayah dengan klasifikasi perkotaan dan pedesaan guna melihat kecenderungan
persamaan dan perbedaan pembagian peran domestik yang dilakukan suami.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Data primer diperoleh dengan


melakukan menyebarkan kuesioner secara langsung kepada perempuan yang sudah
menikah yang tinggal di wilayah dengan klasifikasi perkotaan dan pedesaan. Penelitian
dilakukan di Kelurahan Rajabasa Raya, Kecamatan Rajabasa, Kota Bandar Lampung
(sebagai respresentasi wilayah perkotaan) dan Desa Nambah Dadi, Kecamatan Terbanggi
Besar, Kabupaten Lampung Tengah (respresentasi wilayah pedesaan). Perlu diketahui,
penentuan wilayah perkotaan dan pedesaan tersebut mengacu pada klasifikasi yang
dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010. Secara keseluruhan, jumlah
responden yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 100 orang. Secara teknis,
penyebaran kuesioner dilakukan terhadap 50 responden untuk di wilayah Kelurahan
Rajabasa Raya dan 50 responden di wilayah Desa Nambah Dadi.
Operasionalisasi variabel “respon” merujuk pada pendapat Rakhmat (2005) yang
melingkupi: kognitif, afektif, dan behavioral. Sedangkan pada variabel “aktivitas
domestik” mengacu pada pendapat Nye (n.d) yang menjabarkan delapan aspek kegiatan
rumah tangga, mulai dari: the house keeper role, the provider role, hingga the therapeutic
role (Supriyantini, 2002, p. 8). Adapun untuk skala pengukuran yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu skala likert. Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan skala
likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif. Hasil uji validitas
menunjukkan bahwa tiap variabel memiliki tingkat validitas yang baik karena nilai r-
hitung > nilai r-tabel. Untuk hasil uji reliabilitas juga tergolong handal dimana nilai
cronbach alpha pada dua variabel lebih dari 0,6.

3. Hasil dan Pembahasan


3.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian
Responden dalam penelitian ini merupakan seorang istri yang telah menikah
lebih dari satu tahun di Kelurahan Rajabasa Raya (klasifikasi perkotaan) dan Desa
Nambah Dadi (klasifikasi pedesaan). Kriteria responden tersebut dilakukan sebagai upaya
agar data atau informasi yang diperoleh sesuai dengan topik penelitian. Umumnya, pada
rentang satu tahun perkawinan, istri/responden sudah lebih memahami aktivitas suami di
dalam keluarga.
Jumlah keseluruhan responden dalam penelitian ini mencapai 100 orang, dengan
dikontrol menurut klasifikasi wilayah, yakni 50 responden berada diperkotaan dan 50
lainnya berasal dari pedesaan. Dilihat berdasarkan kelompok umur, sebagian besar
responden berada pada rentang usia 31 - 50 tahun (62 persen). Jika diamati berdasarkan
tingkatan pendidikan, persentase terbesar berada pada kategori tamatan SMA (43 persen).
Namun demikian, bila dilihat berdasarkan klasifikasi wilayah, tingkatan pendidikan
responden di pedesaan persentase terbesarnya merupakan tamatan SMP (23 persen)
sedangkan diperkotaan tamatan SMA (26 persen). Hal ini mengindikasikan jika
responden di wilayah perkotaan tingkatan pendidikannya berada di atas mereka yang
tinggal di pedesaan. Hal yang cukup signifikan terlihat pada tingkatan Sarjana (S1).
Adapun untuk karakteristik lama menikah, persentase terbesar berada pada kategori 21 -
30 (32 persen). Rincian karakteristik sosiodemografi responden dalam penelitian ini dapat
diamati pada Tabel 1 berikut.

227
Tabel 1. Karakteristik Sosiodemografi Responden
Klasifikasi Wilayah
Total
Karakteristik Perkotaan Pedesaan

f % f % f %
Kelompok Umur
<20 tahun 0 0 2 2 2 2
20 - 30 tahun 8 8 12 12 20 20
31 - 40 tahun 14 14 18 18 32 32
41 - 50 tahun 16 16 14 14 30 30
>50 tahun 12 12 4 4 16 16
Total 50 50 50 50 100 100
Tingkatan Pendidikan
Tidak Sekolah 0 0 1 1 1 1
Tamatan SD 0 0 2 2 2 2
Tamatan SD 3 3 6 6 9 9
Tamatan SMP 4 4 23 23 27 27
Tamatan SMA 26 26 17 17 43 43
Sarjana (S1) 17 17 1 1 18 18
Total 50 50 50 50 100 100
Lama Menikah
1-10 Tahun 12 12 15 15 27 27
11 – 20 Tahun 15 15 15 15 30 30
21 – 30 Tahun 18 18 14 14 32 32
>30 Tahun 5 5 6 6 11 11
Total 50 50 50 50 100 100
Sumber: Olahan data primer, 2017

Penelitian ini juga melihat karakteristik responden menurut pendapatan dan


pengeluaran bulanan rumah tangga pada kedua klasifikasi wilayah. Pada komponen
pendapatan bulanan rumah tangga, terdapat perbedaan kecenderungan diantara wilayah
perkotaan dan pedesaan. Untuk konteks ini, sebagian besar rumah tangga di pedesaan
memiliki pendapatan kurang dari Rp 2 juta perbulannya, sedangkan untuk rumah tangga
di perkotaan pendapatan mereka berkisar Rp 2-3 juta perbulannya. Adapun pada
komponen pengeluaran bulanan, baik rumah tangga di perkotaan dan di perdesaan, sama-
sama mengoptimalkan penggunaan dana untuk memenuhi kebutuhan keseharian mereka
saja. Terlihat kecenderungan bahwa rumah tangga pada kedua klasifikasi wilayah tersebut
tidak serta merta menghabiskan pendapatan yang diperoleh tiap bulannya. Untuk konteks
ini, merujuk pada Rochaeni dan Lokollo (2005), pengeluaran rumah tangga di pedesaan
(petani) utamanya digunakan untuk pengeluaran konsumsi, komponen investasi bukan
termasuk kebutuhan primer rumah tangga di pedesaan. Secara rinci, perbandingan
besaran pendapatan dan pengeluaran bulanan responden dapat dilihat pada Gambar 1
berikut.

228
Gambar 1. Perbandingan Besaran Pendapatan dan Pengeluaran Bulanan
Responden
Perkotaan Pedesaan Perkotaan Pedesaan
68% 78%

54%

34%
28%
24% 26%
18% 20%
18% 18%
8%
0% 4% 2% 0%

<2 Juta 2-<3 Juta 3-<4 Juta ≥4 Juta <2 Juta 2-<3 Juta 3-<4 Juta ≥4 Juta

Besaran Pendapatan Responden Besaran Pengeluaran Bulanan Responden

Sumber: Olahan data primer, 2017

3. 2 Respon Istri terhadap Aktivitas Suami pada Ranah Domestik


Pengukuran Kekuatan Respon
Mengukur kekuatan respon dapat diketahui dari jawaban tiap pernyataan yang
diberikan oleh responden (sesuai tahapan yang sudah didesain) terkait dengan aktivitas
suami pada ranah domestik. Adapun operasionalisasi variabel respon terdiri dari respon
kognitif (informasi, keterampilan, pengetahuan), respon afektif (emosi, sikap, nilai), dan
respon behavioral (tindakan, kegiatan, kebiasaan berprilaku). Pada tahap ini, responden
dimintakan untuk memberikan tanggapannya tentang tingkat kesetujuan (mulai dari
sangat setuju/SS (Lr: 5) hingga sangat tidak setuju/STS (Lr:1)) dari sembilan pernyataan
yang diajukan.
Analisis kekuatan dilakukan pada 100 responden yang terdiri dari 50 istri di
Wilayah Rajabasa Raya dan 50 istri wilayah Desa Nambah Dadi dengan memberikan
bobot pada tiap jawaban. Mengukur kekuatan respon harus memperhatikan dua dimensi
yaitu panjang dan lebar. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Simamora (2003) bahwa
kekuatan respon tersebut diperoleh dengan mengalikan dua dimensi ini, panjang dan lebar
(Alviana & Miftahuddin, 2016, p. 276). Untuk berikutnya, hasil/nilai kekuatan respon
pada variabel yang diteliti tersebut dilakukan penyederhanaan bilangan (simplifying
complex numbers) guna memudahkan dalam menginterpretasikan hasil secara
keseluruhan. Teknik sederhana yang digunakan dalam simplifying complex numbers
yakni membagi bilangan total keseluruhan item pertanyaan dengan jumlah responden dan
jumlah pertanyaan variabel respon.
Pada Tabel 2 disajikan hasil perhitungan kekuatan variabel respon istri terhadap
aktivitas suami pada ranah domestik di wilayah Rajabasa Raya (perkotaan) dan Nambah
Dadi (perdesaan). Jika dilihat dari hasil perhitungan tersebut maka terdapat perbedaan
kekuatan respon di antara kedua wilayah yang menjadi locus penelitian ini. Dalam hal ini
kekuatan respon istri terhadap aktivitas suami dalam bidang domestik pada klasifikasi
pedesaan lebih tinggi dibandingkan wilayah perkotaan (perbandingan nilai kekuatan
respon pada wilayah pedesaan dan perkotaan yakni 4,17 : 3,82). Menarik untuk dicermati
terkait dengan hasil kekuatan respon tersebut dimana wilayah pedesaan memiliki angka
yang sedikit lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Setidaknya ada beberapa hal yang
menjadikan persepsional responden/istri di pedesaan tersebut lebih "sensitif gender",

229
diantaranya: nilai kekeluargaan dan kegotongroyongan yang relatif tinggi, faktor
keterlibatan suami dalam rumah tangga yang cenderung lebih tinggi, hingga waktu luang
yang dimiliki suami jauh lebih banyak.
Tabel 2. Kekuatan Variabel Respon Istri Terhadap Aktivitas Suami pada Ranah
Domestik di Wilayah Rajabasa Raya (Perkotaan) dan Nambah Dadi
(Perdesaan)
Pilihan Jawaban
Total Total
SS S ASTS TS STS
Responden Skor
Lr: 5 Lr: 4 Lr: 3 Lr: 2 Lr: 1
Tahapan
Rajabasa Raya

Rajabasa Raya

Rajabasa Raya

Rajabasa Raya

Rajabasa Raya

Rajabasa Raya

Rajabasa Raya
Sub-

Nambah Dadi

Nambah Dadi

Nambah Dadi

Nambah Dadi

Nambah Dadi

Nambah Dadi

Nambah Dadi
dalam
variabel
Model

Kognitif Informasi 10 13 31 35 8 1 1 1 0 0 50 50 200 210


Keterampilan 10 15 32 34 5 1 3 0 0 0 50 50 199 214
Pengetahuan 7 16 30 28 10 6 3 0 0 0 50 50 191 210
Afektif Emosi 12 23 32 26 5 1 1 0 0 0 50 50 205 222
Sikap 23 16 19 33 6 1 2 0 0 0 50 50 213 215
Nilai 10 17 32 31 7 2 1 0 0 0 50 50 201 215
Behavioral Tindakan 2 12 27 27 3 5 17 6 1 0 50 50 162 195
Kegiatan 7 15 35 30 6 4 2 1 0 0 50 50 197 209
Kebiasaan 2 7 20 31 9 4 19 8 0 0 50 50 155 187
Total Skor Keseluruhan Item Pertanyaan 1723 1877
Penyederhanaan Bilangan (Simplifying Complex Numbers ) 3.83 4.17
Sumber: Olahan data primer, 2017

Analisis Uji Beda Mann-Whitney Variabel Aktivitas Domestik Suami berdasarkan


Kategori Wilayah
Pada analisis ini, uji beda dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan
persepsional istri/responden mengenai aktivitas domestik suami mengacu pada kategori
wilayah (perkotaan dan pedesaan). Terkait dengan hal itu, operasionalisasi variabel
aktivitas suami pada penelitian ini diadopsi dari pendapat yang dikemukakan oleh Nye
(n.d) yang menjabarkan delapan aspek kegiatan rumah tangga, mulai dari: the house
keeper role, the provider role, the child care role, the child socialization role, the sexual
role, the kinship role, the recreational role, dan the therapeutic role (Supriyantini, 2002,
p. 8). Dalam hal ini, istri/responden dimintakan untuk memberikan penilaian tingkat
kesetujuan dari 20 pernyataan yang diberikan terkait dengan kedelapan aspek kegiatan
rumah tangga tersebut.
Dalam melakukan perhitungan uji beda (Mann Whitney U Test for Two
Independent Samples) hipotesis yang diujikan yakni:
Ho: tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsional istri/responden
terhadap aktivitas domestik suami di wilayah Rajabasa Raya (perkotaan) dan
Nambah Dadi (pedesaan)
Ha: terdapat perbedaan penilaian aktivitas domestik suami antara istri/responden
yang tinggal di wilayah perkotaan dengan di pedesaan.
Pengujian dilakukan dengan menggunakan angka signifikansi atau Asymp. Sig.
dengan ketentuan sebagai berikut:

230
o Jika angka signifikansi < 0,05; Ho ditolak dan Ha diterima
o Jika angka signifikansi > 0,05; Ho diterima dan Ha ditolak
Dengan menggunakan program olah data statistik, baik hasil perhitungan rata-
rata dan hasil perhitungan uji perbedaan persepsional istri/responden terhadap aktivitas
domestik suami di wilayah Rajabasa Raya (perkotaan) dan Nambah Dadi (pedesaan)
dapat diamati pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Hasil Uji Beda Persepsional Istri/Responden terhadap Aktivitas Domestik


Suami di Wilayah Rajabasa Raya (Perkotaan) dan Nambah Dadi
(Pedesaan)

Kategori responden N Mean Rank Sum of Ranks


Aktivitas Nambah Dadi 50 56.32 2816.00
Domestik Rajabasa Raya 50 44.68 2234.00
Suami
Total 100

Aktivitas Domestik
Suami
Mann-Whitney U 959.000
Wilcoxon W 2234.000
Z -2.008
Asymp. Sig. (2-tailed) .045
a. Grouping Variable: Wilayah domisili responden

Sumber: Olahan data primer, 2017

Hasil perhitungan pada tabel di atas menunjukkan bahwa signifikansi (Asymp.


Sig.) adalah 0,045. Karena signifikansi < 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan penilaian aktivitas domestik suami antara
istri/responden yang tinggal di wilayah perkotaan dengan di pedesaan. Adapun tampilan
angka pada tabel Mean Ranks, memberikan informasi bahwa istri/responden di wilayah
Nambah Dadi (pedesaan) memiliki peringkat rata-rata yang lebih tinggi dalam
memberikan penilaian terkait aktivitas domestik suami mereka bila dibandingkan dengan
istri/responden di wilayah Rajabasa Raya (perkotaan), yakni yakni 56,32 berbanding
44,68. Hasil uji beda (Mann-Whitney) tersebut secara khusus mengonfirmasi temuan
sebelumnya terkait kekuatan variabel respon pada bagian awal. Dalam hal ini, responden
di Nambah Dadi (pedesaan) cenderung memberikan tanggapan yang lebih positif
dibandingkan responden di Rajabasa Raya (perkotaan). Terlihat juga bahwa keikutsertaan
suami pada ranah domestik di wilayah pedesaan lebih tinggi dibandingkan wilayah
perkotaan.
Bila dilihat dari aspek pembagian peran, kewajiban tiap anggota keluarga dengan
melaksanakan peran dapat dilakukan dengan seimbang dan dilakukan atas kesepakatan
bersama maka akan tercipta kehidupan rumah tangga yang harmonis dan merupakan
indikasi dari keberhasilan penyesuaian pernikahan (Putri & Lestari, 2016). Lebih lanjut,
Sudarta (2007) juga menjelaskan perihal pembagian peran antara laki-laki dan
perempuan, dinyatakannya bahwa urusan mencari nafkah dalam keluarga tidak hanya
menjadi kewajiban suami dan begitu juga kewajiban dalam urusan rumah tangga tidak
semata-mata menjadi tugas istri. Hal ini berarti peran laki-laki sebenarnya tidak hanya di
wilayah publik namun juga harus membantu perempuan dalam aktivitas domestik.

231
Daftar Pustaka

Alviana, P., & Miftahuddin, A. (2016). Analisa sensitivitas respon konsumen dari
ekstensifikasi merek (brand extension) pada sabun mandi cair merek citra (studi
pada mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto). Media Ekonomi, 16(2).
Fakih, M. (2013). Analisis gender dan transformasi sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lee, Y. S., & Waite, L. J. (2005). Husbands’ and wives’ time spent on housework: A
comparison of measures. Journal of Marriage and Family, 67(2), 328-336.
Lewin‐Epstein, N., Stier, H., & Braun, M. (2006). The division of household labor in
Germany and Israel. Journal of Marriage and Family, 68(5), 1147-1164.
Nurmila, N. (2015). Pengaruh budaya patriarki terhadap pemahaman agama dan
pembentukan budaya. KARSA: Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman, 23(1), 1-16.
Putri, D. P. K., & Lestari, S. (2016). Pembagian peran dalam rumah tangga pada
pasangan suami istri Jawa. Jurnal Penelitian Humaniora, 16(1), 72-85.
Rochaeni, S., & Lokollo, E. M. (2016). Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan
ekonomi rumah tangga petani di Kelurahan Setugede Kota Bogor. Jurnal Agro
Ekonomi, 23(2), 133-158.
Sobur, A., Septiawan. (1999). Renungan perkawinan. Jakarta: Puspa Swara.
Statistik, B. P. (2010). Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik nomor 37 tahun 2010
tentang klasifikasi perkotaan dan pedesaan di Indonesia. Jakarta (ID): BPS.
Sudarta, W. (2007). Peranan wanita dalam pembangunan berwawasan gender. Jurnal
Studi Jender Srikandi, 3(1).
Supriyantini, S. (2002). Hubungan antara pandangan peran gender dengan keterlibatan
suami dalam kegiatan rumah tangga. Sumatera Utara: USU.
Susilorini, E. S., & Ngawi, U. S. (2013). Domestikasi suami dalam keluarga (studi
tentang peran domestik suami pada keluarga lapisan bawah di Kelurahan
Rejomulyo, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun). Malang: University of
Muhammadiyah Malang.

232
Disharmoni Keadilan Pembagian
Harta Bersama Perkawinan Akibat Perceraian
bagi Perempuan Muslim di Indonesia dalam perspektif Jender

Wahyuni Retnowulandari356
Universitas Trisakti, Jakarta
Wahyuni.r@trisakti.ac.id

Abstrak
Fenomena perceraian yang sangat meningkat akhir-akhir ini dengan berbagai macam
sebab, umumnya berakibat pada masalah perebutan anak dan atau Harta Benda
Perkawinan. Hal ini karena masalah akibat perceraian ini sering dianggap sepele oleh
sebagian besar masyarakat kita bahkan dinyatakan tabu dibicarakan oleh pasangan calon
suami isteri saat hendak menikah (Pasal29 (1) Undang-Undang Perkawinan no.1tahun
1974.357). Namun sesungguhnya ketabuan tersebut justru dapat menjadi boomerang
khususnya bagi perempuan, bilamana ternyata perkawinan yang diharapkan kekal
tersebut ternyata hancur di tengah jalan. Khusus mengenai masalah perebutan harta benda
perkawinan di masyarakat Indonesia yang beragam budaya/ adat dan agama, konsep
keadilan yang dianut menjadi sangat kompleks. Utamanya bagi mereka yang muslim;
karena faktanya, terjadi disharmoni keadilan hukum bagi mereka, karena selain tunduk
pada Undang-undang Perkawinan jo Kompilasi Hukum Islam yang menekankan
keadilan “gono gini”, juga tunduk pada ketentuan Syariah yang tidak mengenal harta
bersama dalam perkawinan dan keadilannya distributif, lebih kompleks lagi bila mereka
masih tunduk pada hukum adat tertentu khususnya bagi mereka berpersekutuan adat
genealogisnya patrilineal dan matrilineal yang juga tidak mengenal harta bersama
sehingga tidak memberi bagian pada perempuan. Oleh karenanya tulisan ini secara
normative diangkat untuk mendiskripsikan bagaimana sebaiknya membangun keadilan
jender dalam hukum nasional bagi penyelesaian pembagian Harta Bersama Perkawinan
akibat perceraian bagi perempuan muslim di Indonesia dengan teori Keadilan distributif,
agar dapat meminimalisasi gesekan antar kepentingan adat, dan agama .

Kata kunci: Keadilan jender, Harta Bersama Perkawinan, perempuan muslim

356
Lecturer. associate Professor, Faculty of law University Trisakti, Jakarta Indonesia,

357
Perjanjian kawin/ pra nikah adalah perjanjian yang dilakukan pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadkan perjanjian
tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

233
1. Pendahuluan
Selayaknya sebuah perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal(Pasal 1 UUP), namun faktanya dalam kehidupan
perkawinan apa yang diharapkan dapat tidak terwujud karena beberapa faktor, sehingga
mereka terpaksa harus bercerai, dan hal tersebut membawa dampak, dan yang paling
sering muncul adalah dampak terhadap perebutan hak pengasuhan anak serta pembagian
harta bersama yang biasa dikenal ‘gono gini”.

Beberapa tahun belakangan ini, telah terjadi fenomena perceraian yang sangat
meningkat dan sebab perceraiannya antara lain karena ketidak harmonisan, tidak ada
tanggungjawab, dan masalah ekonomi.(358 republika selasa 24/1,2008)
Dari sebab perceraian tersebut tidak sedikit perempuan menjadi korban akibat
dari perceraian tersebut, baik dalam pengasuhan anak dan atau mengenai pembagian
harta. Kasus-kasus yang mencuat khusus dalam pembagian harta bersama, dimedia masa
kita ketahui terjadi atas perceraian selebriti Huges-Alfin, Halimah-Bambang Tri,
Krisdayanti-Anang, Vena-Ivan, Nia Daniati – Farhat Abas dan banyak lagi kasus lain
yang mempermasalahkan harta bersama/ “gono gini” dimana perempuan/ mantan isteri
merasa lebih berhak atas harta yang diperebutkan.

Selain kasus selebriti tersebut di masyarakat, sesungguhnya banyak pengalaman


perempuan bercerai lainnya di masyarakat pedesaan di Indonesia, yang juga
mempermasalahkan “gono gini” dengan berbagai macam ragam pengalaman yang
partikular, sebagai contoh suami dan istri yang telah bercerai dan memperebutkan sebuah
rumah, yang dahulu rumah tersebut dibeli secara kredit oleh mereka, namun dalam
perjalanannya, istri lebih banyak membayar cicilan kredit tersebut karena suami tidak
bekerja, sehingga saat membagi harta gono-gini, isteri merasa lebih berhak atas rumah
tersebut. 
 Contoh lain perempuan-perempuan di pelosok desa seperti di Bali dan
daerah yang kental agama Islam, yang umumnya nikahi secara agama atau Adat, maka
dengan mudahnya diceraikan oleh pasangannya secara agama atau Adat pula, dan
selanjutnya akibat dari perceraian tersebut tidak jarang perempuan yang harus
menanggungnya sendiri beban atas anak-anak mereka tanpa dukungan pemeliharaan dari
mantan suami, dan tidak mendapat bagian “gono gini”, karena ketidak tahun mereka atas
hak akibat perceraian. Selain itu ada kasus pada pasangan yang di awal perkawinan,
perempuan dan keluarga perempuan yang berkorban bekerja membanting tulang untuk
keluarga dan suami, karena suaminya masih harus menyelesaikan pendidikan sebagai
perwira, pegawai negeri, pegawai bank dll, namun setelah lulus dan mencapai puncak
karir, suami justru menceraikan isteri dan karena ada konsep keharusan pembagian harta
secara “gono gini” merugikan pihak perempuan karena kesusksesan yang diperoleh suami
adalah kontribusi isteri tidak pernah diperhitungkan oleh hakim, serta kasus berapa
banyak tenaga kerja perempuan yang bekerja di luar negeri (Arab, Taiwan, Malaysia,
358
berdasarkan data dari Kementerian Departemen Agama Republik Indonesia direktorat
Bimas Islam pada tahun 2008 perceraian mencapai sekedar 200.000 kasus per 2 juta pasangan
meningkat pada tahu 2009 menjadi sekitar 250.000 kasus per 2 juta pasangan, dan pada tahun
2010, 285.181 kasus per 2 juta pasangan. Dirjen Badilag MA, Wahyu Widiana, “mengatakan
tingkat perceraian sejak 2005 terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya. Data jumlah
perceraian tahun 2011 belum bisa dipastikan sebab masih menunggu proses rekapitulasi dari 33
pengadilan tinggi agama se-Indonesia. Meski begitu, pihaknya tidak menyangkal terjadi kenaikan
perceraian di atas 10 persen dibanding angka tahun 2010.”
Penyebab pisahnya pasangan jika diurutkan tiga besar paling banyak akibat faktor
ketidakharmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggungjawab 78.407 perkara, dan
masalah ekonomi 67.891 perkara. Sedangkan tahun sebelumnya, tingkat perceraian nasional masih
di angka 216.286 perkara. Angka faktor penyebabnya terdiri atas ketidak harmonisan 72.274
perkara, tidak ada tanggungjawab 61.128 perkara, dan faktor ekonomi 43.309 perkara.

234
Hongkong, Korea dll) demi untuk menghidupi keluarganya (termasuk suami), yang
kemudian saat pulang ternyata mendapati suaminya sudah kawin lagi, dan bila bercerai
dipengadilan otomatis mendapat separuh harta istri. Demikian pula perempuan-
perempuan yang bercerai dimasyarakat adat patrilineal (359Soerojo Wignjodipoero, 1995:
h. 78-79 ,) di Bali, Batak dll, yang perkawinannya dilakukan dengan system jujur, maka
bagi isteri yang diceraikan itu tidak mendapat bagian harta menurut. Demikian pula
dimasyarakat matrilineal-Minangkabau, suami memang tidak harus berkontribusi
sehingga suami secara adat hanyalah diberlakukan sebagai ‘pejantan’ karena mereka
melakukan perkawinan secara semendo, sehingga suami tidak mempunyai peran apa-apa
dalam harta bersama ( tidak ada harta bersama) ( 360 Soerojo Wignjodipoero, 1995 h 248-
249).
Keprihatinan atas permasalah sebagian pengalaman perempuan-perempuan
sebagai korban perceraian tersebut di atas, melatar belakangi kajian ini karena ternyata
“gono gini” tidak selalu adil bagi perempuan sehingga pokok masalah yang diangkat
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana disharmoni keadilan pembagian harta bersama akibat perceraian bagi
perempuan muslim di Indonesia
2. Bagaimana membangun Keadilan jender dalam hukum Nasional Indonesia dalam
mengatasi disharmonisasi keadilan pembagian harta bersama perkawinan akibat
perceraian.

2. Pembahasan

Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) Pasal 37 mengatur


bahwa “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya
masing-masing”. Demikian juga dalam penjelasan UUP Pasal 35 menyebutkan bahwa
apabila perkawinan putus maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Hal ini berarti UUP membuka peluang untuk mengatasi masalah harta bersama dapat
dilakukan secara plural, sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 37 UUP yang
dimaksud dengan “hukumnya masing-masing” yaitu hukum agama, hukum adat dan
hukum lainnya. Hal ini berarti bagi yang muslim, tunduk pada Instruksi Presiden No 1
tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disingkat KHI) Pasal 97 yang
mengatur pembagian harta perkawinan bagi muslim apabila terjadi perceraian di bagi
sama rata (50:50) kecuali diperjanjikan lain. Sedangkan bagi mereka yang non muslim
apabila agama mereka tidak mengaturnya maka dapat menggunakan hukum adat atau
hukum lainnya dalam hal ini mungkin saja mereka menggunakan Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (selanjutnya disingkat dengan KUHPer) yang dalam Pasal 128nya
menentukan membagi dua harta bersama.
Dapat disimpulkan undang-undang Nasional telah menetapkan pembagian harta
bersama dalam perkawinan secara fix dibagi sama rata/ gono gini untuk suami isteri yang
bercerai. Secara awam nampak seperti sudah adil, dan seolah sesuai dengan indikator
keadilan jender dalam perkawinan dalam Undang undang Nomor. 7 tahun 1984 konvensi
mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita/ Convention on the
Elemination of All forms of Dicrimination Against Women ( CEDAW), Pasal 16 (c),

359
Persekutuan Hukum adat dipengaruhi faktor teritorial dan genealogis. Faktor genealogis
adalah persekutuan hukum yang dilandaskan pada pertalian darah suatu keturunan yang terdiri dari
3 macam yaitu : a. Patrilineal yaitu pertalian darah menurut garis Bapak ( Batak, Nias ,
Sumba, Bali), b Matrilineal yaitu pertalian darah menurut garis ibu ( Minangkabau),c. Parental
yaitu pertalian darah menurut garis bapak dan ibu ( Jawa, Sunda, Aceh, Dayak).
360
Soerojo mengutip pendapat ter Haar , pada masyarakat Patrilineal yang melakukan kawin
secara jujur dan semendo tidak memberi kemungkinan terbentuknya harta bersama.

235
yang menyatakan “The same rights and responsibilities during marriage and at its
dissolution”. Namun sesungguhnya tanggung jawab yang sama sepanjang perkawinan
maupun setelah putusnya perkawinan tidak dapat diartikan bahwa harta dalam
perkawinan harus dibagi sama rata, walaupun benar sepanjang perkawinan untuk
keperluan keluarga sebaiknya dipikul bersama. Namun faktanya situasi dan kondisi
pasangan perkawinan tidaklah sama, maka pegalaman perempuan dalam perceraianpun
juga tidaklah sama satu sama lain sebagaimana teori feminis jurisprudence (Sinha Surya
Prakash 1993), menyatakan bahwa “Studi feminis/ perempuan hendaknya bertitik tolak
dari pengalaman perempuan, dan boleh dikatakan pengalaman partikular, karena tidak
semua perempuan sama”. Yang dimaksud dengan pengalaman pasangan kawin tidak
sama situasi dan kondisinya, adalah karena faktanya ada banyak faktor yang
mempengaruhi situasi dan kondisi sebuah perkawinan sekaligus perceraiannya yaitu antara
lain faktor sosial, budaya, pendidikan, agama, perekonomian pasangan kawin tersebut.
Hal ini yang menyebabkan negara harus terus kreatif dan berhati-hati dalam menciptakan
konsepsi-konsepsi hukum yang sesuai dengan ke bhinekaannya dan meniadakan
konsep penyamarataan/ penyeragaman serta diskriminasi pada kelompok-
kelompok yang lemah dan minoritas. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Aristoteles
mengenai Keadilan Distributif yang pada dasar keadilan ini dikenal sebagai keadilan
distribusi ekonomi yang dianggap adil bagi semua warga negara. Demikian pula dengan
teori Keadilan distributif Jhon Rawls menyatakan dalam teori keadilan sosialnya bahwa
the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity. Inti the
difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar
memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. (John
Rawls ,2011, h 25). Oleh karena itu penting untuk diketahui situasi dan kondisi
masyarakat Indonesia bila akan melakukan pembangunan maupun penyempurnaan
hukum Nasional, (dalam hal ini undang-undang perkawinan).

Dalam kajian ini penulis membatasi pembahasan situasi dan kondisi terkait
masalah pengaturan harta bersama perkawinan akibat perceraian hanya bagi muslim di
Indonesia karena selaian mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, dan masalah
harta bersama bagi muslim adalah yang terkompleks di bandingkan dengan mereka yang
non muslim. Berikut ini deskripsi mengenai :
1. Disharmoni keadilan pembagian harta bersama akibat perceraian bagi
perempuan muslim di Indonesia dapat terlihat dati fakta-fakta sebagai berikut:

Bahwa keadilan atas pembagian harta bersama akibat perceraian dalam masyarakat
Adat, menurut agama Islam syariah dan KHI tidaklah harmoni karena dalam hukum
Adat yang membagi harta dalam empat (4) golongan (Soerojo Wignjodipoero, 1995
: h.150) yaitu :
a. Barang yang diperoleh suami atau isteri secara pewarisan atau penghibahan dari
kerabat masing-masing dibawa ke dalam perkawinan.
b. Barang-barang yang diperoleh suami atau isteri untuk diri sendiri serta atas jasa diri
sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan.
c. Barang-barang yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan isteri sebagai milik
bersama.
d. Barang yang dihadiahkan kepada suami dan isteri bersama pada waktu pernikahan.

Barang- barang tersebut pada saat terjadi perceraian harus di pisahkan antara
harta asal atau barang yang dibawa ke dalam perkawinan dan barang milik bersama atau

236
barang perkawinan. Dengan pemisahan harta demikian apabila terjadi perceraian barang
bawaan/asal masing-masing akan kembali pada mereka masing-masing, sedangkan harta
yang bersama dibagi rata/ gono gini walaupun semua harta yang diperoleh selama
berjalannya perkawinan hanya dari suami saja (Soerojo Wignjodipoero, 1995 ,h.156)361.
Hal ini hanya berlaku di masyarakat Jawa yang persekutuan adat genealogisnya parental/
bilateral dan sistem perkawinannya yang eleuterogami. Sedangkan di masyarakat yang
persekutuan adat genealogisnya patrilineal yang perkawinannya dilakukan dengan
membayar jujur dari pihak laki-laki, dan yang matrilineal yang dilakukan perekawinan
dengan cara semendo dari pihak perempuan, mereka tidak mengenal harta bersama dalam
perkawinan. Karena perkawinan jujur, berakibat perempuan masuk pada keluarga laki-
laki, dan tidak ada pembagian harta bersama karena perceraian. Demikian pula dengan
perkawinan semendo tidak ada harta bersama yang harus dibagi bila terjadi perceraian.
Bila perkawinan dari mereka yang tunduk dalam ketentuan Adat yang
persekutuan adat genealogis patrilineal dan matrilineal tersebut beragama muslim, tentu
kosep tersebut bertentangan dengan ketentuan yang di gariskan dalam Instruksi Presiden
No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 97 yang mengatur pembagian
harta perkawinan bagi muslim apabila terjadi perceraian di bagi sama rata (50:50) (yang
merupakan adopsi dari konsep gono gini adat jawa); kecuali diperjanjikan lain. Namun
akan sejalan dengan ketentuan syariah dimana terkait harta perkawinan tidak mengenal
harta bersama Karena konsep Harta dalam rumah tangga Islam (Syariah) diatur sebagai
berikut :
a. Bahwa harta merupakan tonggak kehidupan rumah tangga, sebagaimana firman
Allah Subhana Wa Ta’alla (selanjutnya disingkat SWT) (Qs 4: 25)362
b. Bahwa masing-masing suami/isteri memiliki hartanya sendiri sesuai dengan apa yang
telah diusahankannya dan diantra mereka tidak boleh saling iri hati.. Qs 4:32363
c. Kewajiban Suami yang berkenaan dengan harta adalah sebagai berikut :
Memberikan mahar kepada istri, sebagaimana firman Allah SWT (Qs 4 : 4)364;
Memberikan nafkah kepada istri dan anak, sebagaimana firman Allah SWT (Qs 2 :
233)365; Suami tidak boleh mengambil harta istri, kecuali dengan izin dan ridhonya,
sebagaimana firman Allah SWT: (Qs 4: 4)366;
d. Jika terjadi perceraian antara suami istri, maka ketentuan-nya sebagai berikut :
1). Istri mendapat seluruh mahar jika ia telah melakukan hubungan suami siteri
dengan suaminya, atau salah satu diantara kedua suami istri tersebut meninggal dunia dan
mahar telah ditentukan, dalam hal ini Allah swt berfirman. (Qs 4:20- 22)367.
361
Sesuai Yurisprudensi keputusan Mahkamah Agung, pada tanggal 7 November 1956,
dalam majalah “Hukum” 1957: 5-6 , h. 31.
362
QS Annisa(4):25 ”Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, harta kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan”.
363
Qs Annisa (4):32 dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan
Allah kepada sebagiankamu atas sebagian yang lain. Karena bagi laki-laki ada bagian dari apa
yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka
usahakan…..”
364
Qs 4:4 :“ Berikanlah mas kawin kepada wanita yang kamu nikahi sebagai bentuk
kewajiban (yang harus dilaksanakan dengan ikhlas
365
Qs 2 : 233 :“Dan kepada ayah berkewajiban memberi nafkah yang layak kepada
istrinya
366
Qs 4: 4 Jika mereka (istri-istri kamu) menyerahkan dengan penuh kerelaan sebagian
mas kawin mereka kepadamu, maka terimalah pemberian tersebut sebagai harta yang sedap dan
baik akibatnya
367
Qs 4:20- 22 “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah
kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya

237
2). Istri mendapat setengah mahar jika dia belum melakukan hubungan suami isteri
dengan suaminya dan mahar telah ditentukan, sebagaimana firman Allah sw ( Qs 2 :
237)368
3). Istri mendapat mut’ah (uang pesangon) jika dia belum melakukan hubungan
“suami isteri” dengan suaminya dan mahar belum ditentukan, sebagaimana firman Allah
SWT (Qs 2 : 236)369
Dari uraian diatas terbukti ada disharmoni pengaturan pembagian harta bersama
perkawinan antara ketentuan Adat, Agama maupun hukum Nasional. Sehingga mana
yang lebih adil bagi perempuan muslim dan dapat diterapkan dalam masyarakat tentu
selain ketentuan-ketentuan syariah tersebut, juga harus di tegakkan dengan
memperhatikan budaya di masyarakat serta harus memperhatikan rasa adil atas
pengalaman perempuan secara kasus perkasus, dan kemudian dituangkan dalam hukum
Nasional bagi muslim .

2. Membangun Keadilan jender dalam hukum Nasional Indonesia dalam


mengatasi disharmonisasi keadilan pembagian harta bersama perkawinan akibat
perceraian.

Untuk dapat membangun keadilan yang berperspektif jender370, atas pembagian


harta bersama akibat perceraian dalam hukun Nasional bagi perempuan muslim di
Indonesia, maka perlu memperhatikan beberapa teori keadilan yang sejalan dengan
kosep tersebut antara lain yaitu :
a. Kosep keadilan Islam menurut Lawrence Rosen371 mengatakan bahwa,

kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?
bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah
bergaul(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri
368
Qs 2 : 237 “ Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan
mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua
dari mahar yang telah kamu tentukan itu.
369
Qs 2 : 236 “ Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan
isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan
maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. rang yang
mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu
pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang
berbuat kebajikan
370
Tapi Omas Ihromi dkk ( penyunting) Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita,
Bandung,Penerbit alumni; 2000, h.27 : adalah sebagaimana “Konvensi Wanita” secara konkrit
Kesetaraan dan keadilan antara Perempuan dan Laki-laki (jenderequality and equity),
persamaan hak dan kesempatan serta perlakukan adil disegala bidang dalam semua kegiatan
meskipun diakui adanya perbedaan
371
Achmad Ali , ibid h 241 ;Lawrence Rosen, professor dan ketua jurusan Antropologi di
Universitas Prenceton dan Profesor Hukum di Universitas Kolumbia, penulis buku : The Justice
of Islam, Comparative Perspectives on Islamic Law and Society (2000), di sampul depan
menuliskan:

"One out of five people in the world today lives subject to Islamic law, but stereotypes of rigid
doctrine or harsh punishment obscure an understanding of the values and style of reasoning that
characterize everyday Islamic adjudication. By considering its larger social and cultural context
Islamic law is shown to be a kind of common law system; justice is sought through a careful
assessment of persons, more than facts, and justice resides not in equality but in a quest for
equivalence".

238
“satu dari lima orang di dunia hari ini, hidup dengan tunduk kepada hukum Islam,
tetapi adanya stereotip tentang doktrin yang sangat kaku atau hukuman keras,
mengakibatkan kaburnya pemahaman nilai serta gaya penalarati yang mengkarakterisasi
putusan hakim Islam setiap hari. Dengan lebih menitik beratkan fokus perhatian kita
terhadap konteks sosial dan kultur yang lebih luas dari hukum Islam, dapat terlihat bahwa
sistem hukum Islam merupakan "jenis Common Law System", dimana keadilan dicari
melalui satu pengkajian saksama dan mendalam, lebih dari sekadar pengkajian fakta, dan
keadilan berada tidak dalam ukuran `persamaan', tetapi mewujudkan kesetaraan”.
Hal tersebut diatas akan jelas kalau kita mengkaji konsep 'jender' dari perspektif
Islam. Karena kalau menurut konsep Barat jender menekankan "persamaan
kedudukan wanita dengan pria", maka konsep Islam menganggap, wanita dan pria dari
banyak aspek memang tidak mungkin sama, sehingga bukan kesamaan jender', melainkan
"kesetaraan jender", kesetaraan hak-hak dan kewajiban-kewajiban wanita dan pria di
muka hukum. Sesuai dengan Firman Allah SWT. (QS. Al Baqarah 2: 228372Ayat Al-
Qur'an ini secara jelas membuktikan bahwa wanita diberi hak yang setara secara
proporsional dengan kewajibannya. Serta Firman Allah SWT. (QS. Al Hujurat 49: 13)373
Sangat jelas bahwa bukan karena berjenis kelamin pria, sehingga seseorang di sisi Allah
dianggap sebagai yang paling mulia, tapi juga yang berjenis kelamin wanita, bersuku
bangsa apapun, seseorang dapat mulia karena ketakwaannya.

b. Konsep keadilan Adat “gono gini”


“Gono gini” adalah istilah hukum yang sudah populer di masyarakat dalam hal
keadilan pembagian harta bersama. Konsep dan istilah "gono-gini" sebenarnya
diambil dari tradisi Jawa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah yang
digunakan adalah "gana-gini", yang secara hukum artinya, "Harta yang berhasil
dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri".
(Kamus Terbaru Bahasa Indonesia, 2008 Surabaya:h 243)

c. Konsep keadilan dalam pembagian harta perkawinan akibat perceraian terdapat


dalam Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, sebagai ketentuan khusus bagi orang Islam.
Ketentuan tersebut merupakan implementasi dari ketentuan Undang-undang
Perkawinan Pasal 37 yang mengatur mengenai harta benda Perkawinan akibat
putusnya perkawinan. Bila memeperhatikan keadilan perempuan dalam al Baqarah
2: 228,"Dan para wanita mempunyai hak yang setara (secara proporsional) dengan
kewajibannya menurut cara yang makruf"memang menjadi suatu hal yang aneh
mengapa “gono gini” yang di gunakan dalam KHI secara baku, dan dipandang
sebagai pembagian harta yang paling adil untuk orang muslim di Indonesia. Padahal
Konsep Islam (syara’) atas harta bersama (syirkah) sesungguhnya tidak dibagi
secara baku/pasti (fixed, tsabit), isteri 50 % dan suami 50%. Sebab tidak ada nash
yang mewajibkan demikian, baik dari Al-Kitab maupun As-Sunnah. Karena dalam
konsep syara’ pembagian harta benda perkawinan bergantung pada kesepakatan
antara suami dan isteri berdasarkan musyawarah atas dasar saling ridha. Inilah yang
disebut dengan ash-shulhu (perdamaian) di antara suami isteri. Dalam istilah fiqih,
372
QS al Baqarah 2:228 ,"Dan para wanita mempunyai hak yang setara (secara
proporsional) dengan kewajibannya menurut cara yang makruf".
373
QS Al Hujurat 49 :13“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
pria dan seorang wanita dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertakwa di antara kamu, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha
mengenal."

239
kepemilikan harta bersama ini disebut dengan istilah syirkah, dimana pembagian
sifatnya tidak wajib, karena memang tidak ada nash syara’ yang mewajibkan
pembagian seperti itu. Pembagian fifty-fifty ini hanyalah salah satu alternatif
pembagian yang sifatnya mubah, bukan satu-satunya pembagian yang dibolehkan
karena pembagian dimungkin 30 :70, 60 : 40 atau berapapun sesuai keridhaan
masing-masing pihak. Ketentuan mubah ini kemudian diadopsi oleh KHI membagi
sama rata, menjadi satu ketentuan yang wajib, baku dan mengikat dalam pembagian
harta benda perkawinan.

d. Konsep keadilan distributif Aristoteles dan Jhon Rawls


Menurut Aristoteles ( Dr. Bernard L. Tanya et.al 2010, h.43-45) keadilan adalah ditandai
dengan hubungan baik antara tiga sari hukum yaitu honeste vivere, alterum non laedere,
suum quique tribuere (hidup secara terhormat, tidak terganggu orang lain, dan memberi
kepada setiap orang bagiannya). Oleh karena itu Teori keadilan Aristoteles secara
tradisional kemudian dibagi menjadi tiga, yaitu keadilan Legal, komutatif dan distributif.
Sedangkan keadilan distributif keadilan yang didasarkan kesamaan proporsional yaitu
“memberi tiap orang apa yang menjadi haknya” sesuai dengan kemampuannya,
prestasinya, dan sebagainya adalah lebih tepat. Sedangkan Keadilan Jhon Rawls prinsip
umum merumuskan dua prinsip keadilan sebagai berikut: 1. Setiap orang harus memiliki
hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi
semua orang; 2. Ketidaksamaan sosial ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga (a)
diharapkan memberi keuntungan bagi bagi orang-oang yang paling tidak beruntung, dan
(b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.( Jhon Rawls, 201, h.60)

Memperhatikan konsep keadilan diatas untuk dapat membangun Keadilan


jender dalam hukum nasional menurut penulis dapat digunakan keadilan distributif
sebagaimana keadilan syariah, teori keadilan Aristoteles, dan keadilan Jhon Rawls
karena hal ini sejalan dengan keadilan feminist, yang menurut pendapat ( L.M. Gandhi
Lapian,2012, 226-227) “studi feminis lahir untuk memperjuangkan keadilan bagi
perempuan yang tertindas, studi ini juga bukan hanya menerapkan asas kepastian dalam
hukum tetapi lebih ke asas keadilan (justice) dan kepatutan (equity)”. Yang dapat
disimpulkan adil bagi perempuan adalah kepatutan bukan kepastian. Sehingga keadilan
bagi perempuan adalah keadilan sesuai dengan situasi dan kondisi serta hak dan
kewajiban, sehingga adil, bukan harus sama rata, namun sesuai dengan kepatutan

3. Penutup

1. Dapat disimpulkan bahwa ketentuan harta bersama akibat putusnya perkawinan


di Indonesia bila dilihat fakta di masyrakat adat, dan agama tidak harmonis satu
sama lain. Sehingga perlu ketentuan hukum nasional yang mengharmonisasikannya
dengan berperspektif jender.
2. Rekomendasi
a. Untuk merubah Pasal 37 UUP sebagai ketentuan hukum nasional perkawinan yang
semula: “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut
hukumnya masing- masing” Menjadi :“Bila perkawinan putus karena
perceraian, harta benda perkawinan diatur pembagiannya sesuai dengan
keadilan yang menjunjung tinggi berkepatutan, kesebandingan dan kesetaraan
jender.
b. Meniadakan konsep baku bagi sama rata di Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam,
yaitu “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”, dan

240
menggatikannya dengan konsep sebagai berikut “ Janda dan duda cerai hidup
berhak mendapat bagian dari harta bersama setara satu sama lain sesuai
dengan kepatutan yang berkesebandingan, sepanjang tidak ditentukan lain
dalam perjanjian perkawinan.

Daftar Pustaka

A. Buku

Achmad Ali, (2009) “ Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) temasuk interpretasi Undang-undang(legisprudence)” Jakarta,
Kencana Prenada Media group.
Dr. Bernard L. Tanya,dkk (2010) ”Teori hukum Strategi Tertib Manusia lintas Ruang dan
Generasi” Yogyakarta, Genta Publising, cetakan III.

John Rawls, ( 2011) “ A Theory of Justice” diterjemahkan Teori Keadilan oleh Uzair
Fauzan Yogyakarta, Pustaka Pelajar .

L.M. Gandhi Lapian (2012)” Disiplin Hukum yang mewujudkan Kesetraan dan Keadilan
Jender” , Jakarta, Yayasan Pustaka obor Indonesia,

Tapi Omas Ihromi, Sulistyowati Irianto, Achie S. Luhulima, (2000).” Penghapusan


Diskriminasi terhadap Wanita, Bandung, Alumni.
Sinha Surya Prakash (1993)”Yurisprudense Legal Philosophy”West Publishing Co,

Soerojo Wignjodipoero, ( 1995)” Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat.” Jakarta, PT.
Gunung Agung,

Soerjono Soekanto,( 2011) “ HukumAdat Indonesia” Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,

B. Peraturan Perundangan

_____Undang undang Nomor .1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP)


_____Undang undang Nomor. 7 tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan Segala
bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. (Konvensi perempuan/ wanita atau
CEDAW= Convention on the Elemination of All forms of Dicrimination Against
Women).
_____Instruksi Presedin Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam ( KHI)
Yurisprudensi keputusan Mahkamah Agung, pada tanggal 7 November 1956, dalam
majalah “Hukum” 1957: 5-6.
C. Sumber lain
Al Qur’an dan terjemahan, 1998 Semarang, Asy-syifa’,
Kamus Terbaru Bahasa Indonesia 2008, Surabaya

241
LAMPIRAN
FOTO-FOTO KEGIATAN

242
243
244
245
246
247
248
249
250
251
252

You might also like