You are on page 1of 17

Etiologi APP

Apendisitis akut dikaitkan erat dengan infeksi bakteri, kombinasi antara


bakteri aerob dan anaerob. Infeksi bakteri disebabkan oleh sumbatan lumen
apendiks hal ini dicetuskan oleh beberapa faktor; Hiperplasia jaringan limfe,
fekalit/apendikolit, tumor apendiks, cacing askariasis dan makanan rendah serat.
Fekalit dapat berupa komposisi material feses, kalsium fosfat, campuran bakteri
dengan debris epitel ataupun benda asing. Obstruksi lain dapat disebabkan oleh
tumor (carcinoma caecum) yang biasanya terdapat pada usia lanjut. Parasit sebagian
besar menyebabkan sumbatan yang disebabkan oleh cacing kremi (Oxyuris
vermicularis). Selain sumbatan erosi mukosa akibat infeksi parasit E. histolytica
diduga menyebabkan apendisitis.

Shogilev, DJ; Duus, N; Odom, SR; Shapiro, NI (November 2014). "Diagnosing


appendicitis: evidence-based review of the diagnostic approach in 2014.". The
Western Journal of Emergency Medicine (Review). 15 (7): 859–71.

Obstruksi
Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith
merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak
dengan Appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix.
Penyebab yang lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa
Appendix, barium yang mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone,
cacing usus terutama Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik, baik lokal
maupun generalisata, dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia, Salmonella, dan
Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius
vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh
infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan
cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga meningkat pada pasien dengan cystic
fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan pada kelenjar yang mensekresi
mukus. Obstruksi Appendix juga dapat terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya
jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, corpus alienum
seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya Appendicitis.
Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya Appendicitis adalah trauma, stress
psikologis, dan herediter.
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi.
Fecalith ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65%
pada kasus Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus
Appendicitis acuta gangrenosa dengan perforasi.

Gambar 3.1. Appendicitis (dengan fecalith)

Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi
normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada
Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan
meningkatkan tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang
akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar,
nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium.
Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan
bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ
melebihi tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti
vaskular. Akan tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya
menimbulkan refleks mual, muntah, dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi
segera melibatkan serosa Appendix dan peritoneum parietal pada regio ini,
mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ.
Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap
kekurangan suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan
arteriol, daerah dengan suplai darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan
paling parah. Dengan adanya distensi, invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark
jaringan, terjadi perforasi biasanya pada salah satu daerah infark di batas
antemesenterik.
Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala
gangguan gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan
kebiasaan BAB, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada
diagnosis Appendicitis, khususnya pada anak-anak.
Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri
tumpul di dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual
dan muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah
timbul mendahului nyeri perut, dapat dipikirkan diagnosis lain.
Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal,
terjadi gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal
tersebut semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya,
peningkatan tekanan ini menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi
Appendix yang menyebabkan iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark, dan
gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti
demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator inflamasi karena
iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding Appendix
berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi
dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc
Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului
nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di
pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai
peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi Appendix dan penyebaran infeksi.
Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat timbul di punggung atau
pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat ureter atau
pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada
testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran
infeksi Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti
terjadi retensi urine.
Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau
peritonitis difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah
perforasi dan kemampuan tubuh pasien berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda
perforasi Appendix mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis >
14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala
sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa
perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi tidak
memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada jaringan yang melokalisir
penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih tua
atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat
diketahui dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik.
Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering
dijumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat
iritasi Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya
abscess pelvis.

Bakteriologi
Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix normal.
Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari Appendicitis didapatkan bakteri
jenis anaerob, dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi Appendix
yang normal. Diduga lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi
mukosa ketika pertahanan mukosa terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan
iskemik dinding lumen. Flora normal Colon memainkan peranan penting pada
perubahan Appendicitis acuta ke Appendicitis gangrenosa dan Appendicitis
perforata.
Appendicitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus
didapatkan lebih dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang
mengalami perforasi. Flora normal pada Appendix sama dengan bakteri pada Colon
normal. Flora pada Appendix akan tetap konstan seumur hidup kecuali
Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya terlihat pada orang dewasa. Bakteri
yang umumnya terdapat di Appendix, Appendicitis acuta dan Appendicitis
perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagai variasi
dan bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan.

Tabel 1. Organisme yang ditemukan pada Appendicitis acuta


Bakteri Aerob dan Fakultatif Bakteri Anaerob
Batang Gram (-) Batang Gram (-)
Eschericia coli Bacteroides fragilis
Pseudomonas aeruginosa Bacteroides sp.
Klebsiella sp. Fusobacterium sp.
Coccus Gr (+) Batang Gram (-)
Streptococcus anginosus Clostridium sp.
Streptococcus sp. Coccus Gram (+)
Enteococcus sp. Peptostreptococcus sp.

Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien Appendicitis perforata


dan non perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur selesai,
seringkali pasien telah mengalami perbaikan. Apalagi, organisme yang dikultur dan
kemampuan laboratorium untuk mengkultur organisme anaerob secara spesifik
sangat bervariasi. Kultur peritoneal harus dilakukan pada pasien dengan keadaan
imunosupresi, sebagai akibat dari obat-obatan atau penyakit lain, dan pasien yang
mengalami abscess setelah terapi Appendicitis. Perlindungan antibiotik terbatas 24-
48 jam pada kasus Appendicitis non perforata. Pada Appendicitis perforata,
antibiotik diberikan 7-10 hari secara intravena hingga leukosit normal atau pasien
tidak demam dalam 24 jam. Penggunaan irigasi antibiotik pada drainage rongga
peritoneal dan transperitoneal masih kontroversi.
Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal
Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,
McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222

Tatalaksana APP
Pasien yang telah terdiagnosis apendisitis akut harus segera dirujuk ke layanan
sekunder untuk dilakukan operasi cito.
Penatalaksanaan di pelayanan kesehatan primer sebelum dirujuk:
1. Bed rest total posisi fowler (anti Trandelenburg)
2. Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun melalui
mulut.
3. Penderita perlu cairan intravena untuk mengoreksi jika ada dehidrasi.
4. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi
distensi abdomen dan mencegah muntah.

Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan
Anorektum”, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-
645.
Penatalaksanaan
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat Appendix menjadi dilindungi
oleh omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang
terbentuk tersusun atas campuran bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi
dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada Appendix
tidak dapat mengatasi rintangan-rintangan sehingga penderita terus mengalami
peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit,
tetapi segera menjadi abscess yang jelas batasnya.
Urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini adalah
bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi
untuk membuang Appendix yang mungkin gangrene, dari dalam massa perlekatan
ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan karena massa ini telah menjadi lebih
terfiksasi, sehingga membuat operasi berbahaya maka harus menunggu
pembentukan abscess yang dapat mudah didrainase.
Massa Appendix terjadi bila terjadi Appendicitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus.
Pada massa periappendikular yang pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi
penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis
purulenta generalisata. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari
saja. Pasien dewasa dengan massa periappendikular yang terpancang dengan
pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik
sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak
ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh
pulang dan Appendectomy elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar
perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi
perforasi, akan terbentuk abscess Appendix. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu
dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta
bertambahnya angka leukosit.
Tatalaksana Appendicular infiltrat pada anak-anak sampai sekarang masih
kontroversial. Dari hasil penelitian kasus terapi Appendicular infiltrat pada anak-
anak, kebanyakan adalah konservatif yaitu dengan observasi ketat dan antibiotik,
dengan cairan intravena, dan pemasangan NGT bila diperlukan. Konservatif
berlangsung selama ± 6 hari di rumah sakit, lalu direncanakan untuk dilakukan
Appendectomy elektif setelah 4-6 minggu kemudian untuk mencegah kemungkinan
risiko rekurensi dan perforasi yang lebih luas. Dari hasil penelitian komplikasi
setelah operasi dengan penanganan konservatif terlebih dahulu lebih sedikit bila
dibandingkan dengan terapi pembedahan segera seperti cedera pada ileum (Ileal
injury), abses intrabdominal, infeksi karena luka saat operasi. Sehingga terapi non-
operatif pada appendicular infiltrat yang diikuti dengan Appendectomy elektif
merupakan metode yang aman dan efektif. Terapi tersebut sama dengan pada orang
dewasa yaitu dengan konservatif terlebih dahulu yang diikuti dengan appendectomy
elektif. Hal ini dikarenakan untuk mencegah komplikasi post operasi dan risiko dari
prosedur pembedahan yang besar (extensive).
Pada anak-anak, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang
menjadi abscess, dianjurkan untuk operasi secepatnya. Pada penderita dewasa,
appendectomy direncanakan pada Appendicular infiltrat tanpa pus yang telah
ditenangkan. Sebelumnya pasien diberikan antibiotik kombinasi yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8
minggu kemudian dilakukan Appendectomy.
Akhir-akhir ini terdapat manajement terapi yang terbaru yaitu dengan PLD
(Primary Laparoscopic Drainage) yang dapat diikuti dengan LA (Laparoscopic
Appendectomy). PLD ini rata-rata memakan waktu operasi sekitar 80-100 menit,
makanan oral dapat diberikan 2-3 hari setelah PLD, penurunan panas badan pasien
menjadi afebril pada 4-7 hari setelah PLD, antibiotik intravena dapat dilepas 4-5
hari setelahnya, perawatan di rumah sakit antara 7-15 hari. PLD ini tidak terbukti
terdapat komplikasi selama intra maupun post operasi, sedangkan bila dilanjutkan
dengan LA, komplikasi yang dapat terjadi adalah adhesi obstruksi usus.
Bila sudah terjadi abscess, dianjurkan untuk drainase saja dan Appendectomy
dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ditemukan keluhan
atau gejala apapun, dan pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak menunjukkan
tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.

2.8 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pasien Appendicitis acuta yaitu
1. Pemasangan infus dan pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala
klinis dehidrasi atau septikemia.
2. Puasakan pasien, jangan berikan apapun per oral
3. Pemberian obat-obatan analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah.
4. Pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang menjalani laparotomi.
5. Pertimbangkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita usia subur dan
didapatkan beta-hCG positif secara kualitatif.
Bila dilakukan pembedahan, terapi pada pembedahan meliputi; antibiotika
profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai pada kasus akut, digunakan
single dose dipilih antibiotika yang bisa melawan bakteri anaerob.
Teknik operasi Appendectomy
a. Open Appendectomy
1. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik.
2. Dibuat sayatan kulit:
Horizontal Oblique

3. Dibuat sayatan otot, ada dua cara:


a. Pararectal/ Paramedian
Sayatan/ incisi pada vaginae tendinae M. rectus abdominis lalu otot
disisihkan ke medial. Fascia diklem sampai saat penutupan vagina M.
rectus abdominis karena fascianya ada 2 agar tidak tertinggal pada
waktu penjahitan. Bila yang terjahit hanya satu lapis fascia saja, dapat
terjadi hernia cicatricalis.

sayatan
M.rectus abd. M.rectus abd.

ditarik ke medial
2 lapis

b. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting


Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot.
1) Incisi apponeurosis M. Obliquus abdominis externus dari lateral
atas ke medial bawah.

Keterangan gambar:
Satu incisi kulit yang rapi dibuat dengan perut mata pisau. Incisi
kedua mengenai jaringan subkutan sampai ke fascia M. Obliquus
abdominis externus.
2) Splitting M. Obliquus abdominis internus dari medial atas ke lateral
bawah.

Keterangan gambar:
Dari tepi sarung rektus, fascia tipis M. obliquus internus diincisi
searah dengan seratnya ke arah lateral.
3) Splitting M. transversus abdominis arah horizontal.
Keterangan gambar:
Pada saat menarik M. obliquus internus hendaklah berhati-hati agar
tak terjadi trauma jaringan. Dapat ditambahkan, bahwa N.
iliohipogastricus dan pembuluh yang memperdarahinya terletak di
sebelah lateral di antara M. obliquus externus dan internus. Tarikan
yang terlalu keras akan merobek pembuluh dan membahayakan
saraf.
4. Peritoneum dibuka.

Keterangan gambar:
Kasa Laparatomi dipasang pada semua jaringan subkutan yang terpapar.
Peritoneum sering nampak meradang, menggambarkan proses yang ada di
bawahnya. Secuil peritoneum angkat dengan pinset. Yang nampak di sini
ialah pinset jaringan De Bakey. Asisten juga mengangkat dengan cara yang
sama pada sisi di sebelah dokter bedah. Dokter bedah melepaskan pinset,
memasang lagi sampai dia yakin bahwa hanya peritoneum yang diangkat.
5. Caecum dicari kemudian dikeluarkan kemudian taenia libera ditelusuri
untuk mencari Appendix. Setelah Appendix ditemukan, Appendix diklem
dengan klem Babcock dengan arah selalu ke atas (untuk mencegah
kontaminasi ke jaringan sekitarnya).
Appendix dibebaskan dari mesoappendix dengan cara:
Mesoappenddix ditembus dengan sonde kocher dan pada kedua sisinya,
diklem, kemudian dipotong di antara 2 ikatan.

Keterangan gambar:
Appendix dengan hati-hati diangkat agar mesenteriumnya teregang. Klem
Babcock melingkari appenddix dan satu klem dimasukkan lewat
mesenterium seperti pada gambar. Cara lainnya ialah dengan mengklem
ujung bebas mesenterium di bawah ujung appenddix. Appendix tak boleh
terlalu banyak diraba dan dipegang agar tidak menyebarkan kontaminasi.

6. Appendix di klem pada basis (supaya terbentuk alur sehingga ikatan jadi
lebih kuat karena mukosa terputus sambil membuang fecalith ke arah
Caecum). Klem dipindahkan sedikit ke distal, lalu bekas klem yang pertama
diikat dengan benang yang diabsorbsi (supaya bisa lepas sehingga tidak
terbentuk rongga dan bila terbentuk pus akan masuk ke dalam Caecum).
7. Appendix dipotong di antara ikatan dan klem, puntung diberi betadine.

8. Perawatan puntung Appendix dapat dilakukan dengan cara:


a. Dibuat jahitan tabak sak pada Caecum, puntung Appendix diinversikan
ke dalam Caecum. Tabak sak dapat ditambah dengan jahitan Z.
b. Puntung dijahit saja dengan benang yang tidak diabsorbsi. Resiko
kontaminasi dan adhesi.
c. Bila prosedur a+b tidak dapat dilaksanakan, misalnya bila puntung
rapuh, dapat dilakukan penjahitan 2 lapis seperti pada perforasi usus.
9. Bila no.7 tidak dapat dilakukan, maka Appendix dipotong dulu, baru
dilepaskan dan mesenteriolumnya (retrograde).
10. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.

b. Laparoscopic Appendectomy
Laparoscopy dapat dipakai sebagai sarana diagnosis dan terapeutik untuk
pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopy
sangat berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah.
Dengan menggunakan laparoscope akan mudah membedakan penyakit akut
ginekologi dari Appendicitis acuta.

Gambar 3.10. Posisi operasi Laparoscopic Appendectomy

Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed:
Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson
RW. New York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62
Mengapa nyeri perut bila mengejan BAB
Penderita Appendicitis umumnya lebih menyukai sikap jongkok pada paha kanan,
karena pada sikap itu Caecum tertekan sehingga isi Caecum berkurang. Hal
tersebut akan mengurangi tekanan ke arah Appendix sehingga nyeri perut
berkurang.

Gambar 4. Posisi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri perut

Appendix umumnya terletak di sekitar McBurney. Namun perlu diingat bahwa


letak anatomis Appendix sebenarnya dapat pada semua titik, 360o mengelilingi
pangkal Caecum. Appendicitis letak retrocaecal dapat diketahui dari adanya nyeri
di antara costa 12 dan spina iliaca posterior superior. Appendicitis letak pelvis dapat
menyebabkan nyeri rectal.
Secara teori, peradangan akut Appendix dapat dicurigai dengan adanya nyeri
pada pemeriksaan rektum (Rectal toucher). Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik
untuk Appendicitis. Jika tanda-tanda Appendicitis lain telah positif, maka
pemeriksaan rectal toucher tidak diperlukan lagi.
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:
 Rovsing’s sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi
peritoneum. Sering positif pada Appendicitis namun tidak spesifik.
 Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut pasien
dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien
digerakkan dalam arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini
menggambarkan kekakuan musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi
langsung yang berasal dari peradangan Appendix. Manuver ini tidak
bermanfaat bila telah terjadi rigiditas abdomen.

Gambar 5. Dasar anatomis terjadinya Psoas sign


 Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki
kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa
memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam
posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri
di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya
perforasi Appendix, abscess lokal, iritasi M. Obturatorius oleh Appendicitis
letak retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.

Gambar 6. Cara melakukan Obturator sign


Gambar 7. Dasar anatomis Obturator sign

Owen TD, Williams H, Stiff G, Jenkinson LR, Rees BI. Evaluation of the Alvarado
score in acute Appendicitis. Retrieved at January 10th 2018. From:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?artid=1294889&blobtype=pdf

You might also like