Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 LEPTOSPIROSIS
2.1.1 Definisi Leptospirosis
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
mikroorganisme berbentuk spiral dan bergerak aktif yang dinamakan leptospira.
Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti Mud fever, Slime fever
(Shlamn fieber), Swam fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever,cane
cutter dan lain-lain. Leptospirosis merupakan istilah untuk penyakit yang disebabkan
oleh semua leptospira tanpa memandang serotipe tertentu. (Depkes RI, 2005)
2.1.2 Etiologi
Genus Leptospira yang termasuk dalam ordo Spirochaeta dari famili
Trepanometaceae adalah bakteri yang berbentuk seperti benang dengan panjang 6-
12 μm. Spesies L.interrogans adalah spesies yang dapat meninfeksi manusia dan
hewan.
Gambar 1. Leptospira
Karena ukurannya yang sangat kecil, leptospira hanya dapat dilihat dengan
mikroskop medan gelap atau mikroskop elektron. Bakteri leptospira berbentuk spiral
dengan ujung-ujung seperti pengait. Bakteri ini peka terhadap asam, bersifat aerobik
obligat dengan pertumbuhan optimum pada suhu 280 - 300 0C dan pH 7,2 - 8,0. Di
dalam air tawar dapat bertahan hidup sampai sekitar satu bulan, namun dalam air
yang pekat seperti air selokan dan air laut leptospira akan cepat mati. Lingkungan
yang sesuai untuk hidup leptospira di tanah panas dan lembab seperti daerah
tropis. (Widoyono, 2008 ; Levett, 2001)
Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui beberapa cara berikut ini :
a. Kontak dengan air, tanah dan lumpur yang tercemar bakteri.
b. Kontak dengan organ, darah dan urin hewan yang terinfeksi.
c. Mengonsumsi makanan yang terkontaminasi.
Bakteri masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit yang luka atau lecet dan
selaput mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa penularan penyakit ini
dapat melalui kontak dengan kulit sehat terutama bila kontak lama dengan air. Di
Indonesia infeksi ini banyak terjadi di daerah banjir.
Terdapat tiga pola epidemiologi leptospira, yaitu :
1. Penularan melalui kontak langsung, biasanya pada daerah beriklim sedang,
sering terjadi di peternakan sapi atau babi.
2. Penularan atau penyebaran penyakit karena kontaminasi pada lingkungan,
biasanya pada musim penghujan.
3. Penularan melalui infeksi rodensia pada lingkungan perkotaan yang kumuh.
(Widoyono, 2002; Faine, 1994)
b. Pemeriksaan Serologi :
Sebagian besar kasus leptospirosis didiagnosis dengan tes serologi.
Antibodi dapat dideteksi di dalam darah 5-7 hari sesudah munculnya
gejala.
Ada banyak metode serologis yang dapat digunakan diantaranya adalah:
1. Metode MAT (Microscopic Aglutination Test)
Prinsip dari metode ini adalah antibodi dari spesimen serum yang bereaksi
dengan antigen serovar Leptospira. Keuntungan dari metode ini adalah dapat
menetukan serovar Leptospira. Sedangkan kekurangan dari metode ini
adalah rumit dan membutuhkan banyak jenis serovar.
2. Metode ELISA (Enzyme Linked Imunosorbent Assay)
Prinsip dari metode ini adalah reaksi antara antibodi IgM atau IgG dari
spesimen serum dengan antigen spesies Leptospira interogans. Antibodi Igm
dapat terdeteksi sampai bertahun tahun. Keuntungan dari metode ini sensitif,
tetapi tidak bisa menentukan jenis serovar. Pengembangan dari metode ini
adalah metode Dipstick Assay yang mempunyai sesitifitas 88% dan
specifitas 95%. (Levett, 2001;WHO, 2003; Setiawan, 2008)
3. Metode PCR (Polymerase Chain Reaction)
PCR adalah suatu teknik enzimatik in vitro yang digunakan untuk
menghasilkan gugus DNA spesifik dalam jumlah besar dan dalam waktu
singkat melalui langkah denaturation, annealing dan extension pada
temperatur yang berbeda. Metode ini sangat berguna untuk mendiagnosis
leptospirosis terutama pada fase dini sebelum titer antibodi terbentuk.
Spesimen dapat berupa urin maupun darah. Keterbatasan metode ini adalah
tidak mampu mendeteksi jenis serovar. Kelemahan dari metode ini adalah
memerlukan peralatan dan tenaga ahli yang khusus (Levett, 2001;WHO,
2003; Setiawan, 2008).
a. Lingkungan Fisik
1. Adanya Riwayat Banjir.
Keberadaan sungai yang membanjiri lingkungan sekitar rumah dapat menjadi
media untuk menularkan berbagai jenis penyakit termasuk penyakit leptospirosis.Hal
ini terjadi ketika air sungai terkontaminasi oleh urin tikus atau hewan peliharaan yang
terinfeksi bakteri leptospira sehingga cara penularannya disebut Water-Borne
Infection. Adanya riwayat banjir mempunyai risiko 2,36 kali lebih besar untuk
terjadinya leptospirosis dibanding tidak adanya riwayat banjir (Suratman, 2005).
2. Kondisi selokan yang buruk.
Selokan menjadi tempat yang sering dijadikan tempat tinggal tikus sehingga
dapat menjadi media untuk menularkan penyakit leptospirosis. Kondisi selokan yang
menggenang, sering meluap serta jarak dari rumah kurang dari 2 meter merupakan
faktor yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis (Suratman, 2005 ; Priyanto,
2008).
3. Genangan air.
Air tergenang seperti yang selalu dijumpai di negeri-negeri beriklim sedang
pada penghujung musim panas, hal ini memainkan peranan penting dalam
penularan penyakit leptospirosis. Tikus biasanya kencing digenangan air. Lewat
genangan air inilah bakteri leptospira akan masuk ke tubuh manusia ( Rejeki, 2005)
4. Sampah.
Adanya kumpulan sampah di rumah dan sekitarnya akan menjadi tempat
yang disenangi tikus. Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya kumpulan sampah
dan kehadiran tikus merupakan variabel determinan kasus leptospirosis. Adanya
kumpulan sampah dijadikan indikator dari kehadiran tikus (Barcellos, 2001).
5. Sumber Air.
Untuk keperluan sehari-hari, air dapat diperoleh dari beberapa macam
sumber diantaranya air PDAM dan air tanah. Penempatan air secara terbuka dapat
menimbulkan kontaminasi oleh berbagai macam bakteri. Dalam penelitian Mari
Okatini tahun 2005 menyebutkan bahwa responden yang mempunyai sarana air
bersih ang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 4,5 kali lebih besar dibanding
responden yang mempunyai sarana air bersih yang memenuhi syarat.
c. Lingkungan Sosial
1. Tingkat Pendidikan.
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang cukup penting dalam
penularan penyakit khususnya leptospirosis. Pendidikan masyarakat yang rendah
akan berpengaruh terhadap berbagai risiko paparan penyakit yang ada di
sekitarnya. Semakin tinggi pendidikan masyarakat,akan membawa dampak yang
cukup signifikan dalam proses pemotongan jalur transmi si penyakit leptospirosis
(Okatini dkk, 2007).
2. Jenis Pekerjaan.
Jenis pekerjaan merupakan faktor risiko penting dalam kejadian penyakit
leptospirosis. Jenis pekerjaan yang berisiko terjangkit leptospirosis antara lain:
petani, dokter hewan, pekerja pemotong hewan,pekerja pengontrol tikus, tukang
sampah, pekerja selokan, buruh tambang, tentara, pembersih septic tank dan
pekerjaan yang selalu kontak dengan binatang. Faktor risiko leptospirosis akibat
pekerjaan yang ditemukan pertama kali adalah buruh tambang. Pekerja-pekerja
selokan, parit/saluran air, petani yang bekerja di sawah, ladang-ladang tebu, pekerja
tambang, petugas survei di hutan belantara, mereka yang dalam aktivitas pekerjaan
selalu kontak dengan urin berbagai binatang seperti dokter hewan, mantri hewan,
penjagal di rumah potong, atau para pekerja laboratorium, merupakan orang-orang
yang berisiko tinggi untuk mendapat leptospirosis. (Speelman,1998; Priyanto, 2008).
c. Faktor Perilaku
Ada beberapa macam teori tentang perilaku, antara lain menurut Solita
(1993) dikatakan bahwa perilaku merupakan hasil dari segala macam pengalaman
serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk
pengetahuan, sikap dan praktik atau tindakan. Sedangkan Notoatmodjo (1993)
mengatakan perilaku manusia dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu fisik, psikis dan
sosial yang secara terinci merupakan refleksi dari berbagai gejolak seperti:
pengetahuan, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya yang ditentukan dan
dipengaruhi oleh faktor pengalaman, keyakinan sarana fisik dan sosial budaya
masyarakat. Menurut Blum dalam Notoatmodjo (1993) disebutkan bahwa perilaku
sesorang terdiri dari tiga bagian penting, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor.
Kognitif dapat diukur dari pengetahuan, afektif dari sikap atau tanggapan dan
psikomotor diukur melalui tindakan (praktik) yang dilakukan.
Dalam proses pembentukan dan perubahan perilaku dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang berasal dari dalam dan luar individu. Faktor dari dalam individu
mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, sikap, emosi dan motivasi yang
berfungsi untuk pengolahan rangsangan dari luar. Faktor dari luar individu meliputi
lingkungan sekitar, baik fisik maupun non-fisik seperti iklim, manusia, sosial,
ekonomi, budaya dan sebagainya.
Aspek perilaku yang berkaitan dengan proses penularan penyakit
leptospirosis adalah sebagai berikut:
1. Kebiasaan mandi di sungai.
Penularan bakteri leptospira pada manusia adalah kontak langsung dengan
bakteri leptospira melalui pori-pori kulit yang menjadi lunak karena terkena air, kulit
terluka, selaput mukosa maupun selaput lendir. Kegiatan mencuci dan mandi di
sungai atau danau akan berisiko terpapar bakteri leptospira karena kemungkinan
terjadi kontak dengan urin binatang yang mengandung leptospira akan lebih besar.
Penelanan air yang tercemar selama menyelam berhubungan dengan angka
serangan yang tinggi. Kebiasaan mandi dan mencuci di sungai mempunyai risiko 2,5
kali lebih tinggi terkena leptospirosis (Sejvar, 2000 ; David dkk, 2000).
Pada bentuk yang sangat ringan bahkan oleh penderita seperti sakit flu biasa.
Pada golongan ini tidak perlu dirawat. Demam merupakan gejala dan tanda
yang menyebabkan penderita mencari pengobatan. Ikterus kalaupun ada
masih belum tampak nyata. Sehingga penatalaksanaan cukup secara
konservatif.
Penatalaksanaan konservatif
Terapi suportif supaya tidak jatuh ke kondisi yang lebih berat. Pengawasan
terhadap fungsi ginjal sangat perlu.
Terapi pilihan (DOC) untuk leptospirosis sedang dan berat adalah Penicillin G,
dosis dewasa 4 x 1,5 juta unit /i.m, biasanya diberikan 2 x 2,4 unit/i.m, selama 7
hari.
Antipiretik
Nutrisi dan cairan.
Pemberian nutrisi perlu diperhatikan karena nafsu makan penderita
biasanya menurun maka intake menjadi kurang. Harus diberikan nutrisi
yang seimbang dengan kebutuhan kalori dan keadaan fungsi hati dan ginjal
yang berkurang. Diberikan protein essensial dalam jumlah cukup. Karena
kemungkinan sudah terjadi hiperkalemia maka masukan kalium dibatasi
sampai hanya 40mEq/hari. Kadar Na tidak boleh terlalu tinggi. Pada fase
oligurik maksimal 0,5gram/hari. Pada fase ologurik pemberian cairan harus
dibatasi. Hindari pemberian cairan yang terlalu banyak atau cairan yang
justru membebani kerja hati maupun ginjal. Infus ringer laktat misalnya,
justru akan membebani kerja hati yang sudah terganggu. Pemberian cairan
yang berlebihan akan menambah beban ginjal. Untuk dapat memberikan
cairan dalam jumlah yang cukup atau tidak berlebihan secara sederhana
dapat dikerjakan monitoring / balance cairan secara cermat.
Pada penderita yang muntah hebat atau tidak mau makan diberikan makan
secara parenteral. Sekarang tersedia cairan infus yang praktis dan cukup
kandungan nutrisinya.
Pemberian antibiotik
Pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai 12
juta unit (sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian penisilin bervariasi,
bahkan ada yang memberikan selama 10 hari. Penelitian terakhir : AB gol.
fluoroquinolone dan beta laktam (sefalosporin, ceftriaxone) > baik
dibanding antibiotik konvensional tersebut di atas, meskipun masih perlu
dibuktikan keunggulannya secara in vivo.
Penanganan kegagalan ginjal.
Gagak ginjal mendadak adalah salah sati komplikasi berat dari
leptospirosis. Kelainan ada ginjal berupa akut tubular nekrosis (ATN).
Terjadinya ATN dapat diketahui dengan melihat ratio osmolaritas urine dan
plasma (normal bila ratio <1). Juga dengan melihat perbandingankreatinin
urine dan plasma, ”renal failire index” dll.
Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka
kematian 5 % pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut menjadi 30-40 %