Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Pendamping:
PUSKESMAS PANEKAN
2017
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah melimpahkan taufik,
rahmat, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan mini project
dengan judul “Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kejadian Leptospirosis ”.
Ketertarikan penulis akan topik ini didasari oleh fakta bahwa terdapat
adanya KLB Leptospirosis dimana salah satu pasien nya meninggal setelah 2
hari perawatan. Serta, penanganan pasca kejadian Leptospirosis masih belum
dijalankan sepenuhnya seuai pedoman yang ada.
Dengan selesainya mini project ini, penulis mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga kepada:
Penulis menyadari mini project yang telah ditulis sangat jauh dari
sempurna, namun penulis berharap mini project ini akan dapat memberikan
manfaat. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya
kepada kita semua, Amin.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1. Tujuan umum
2.1 LEPTOSPIROSIS
2.1.1 Definisi Leptospirosis
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
mikroorganisme berbentuk spiral dan bergerak aktif yang dinamakan leptospira.
Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti Mud fever, Slime fever
(Shlamn fieber), Swam fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever,cane
cutter dan lain-lain. Leptospirosis merupakan istilah untuk penyakit yang
disebabkan oleh semua leptospira tanpa memandang serotipe tertentu. (Depkes
RI, 2005)
2.1.2 Etiologi
Genus Leptospira yang termasuk dalam ordo Spirochaeta dari famili
Trepanometaceae adalah bakteri yang berbentuk seperti benang dengan
panjang 6-12 μm. Spesies L.interrogans adalah spesies yang dapat meninfeksi
manusia dan hewan.
Gambar 1. Leptospira
Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui beberapa cara berikut ini :
a. Kontak dengan air, tanah dan lumpur yang tercemar bakteri.
b. Kontak dengan organ, darah dan urin hewan yang terinfeksi.
c. Mengonsumsi makanan yang terkontaminasi.
Bakteri masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit yang luka atau lecet
dan selaput mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa penularan
penyakit ini dapat melalui kontak dengan kulit sehat terutama bila kontak lama
dengan air. Di Indonesia infeksi ini banyak terjadi di daerah banjir.
Terdapat tiga pola epidemiologi leptospira, yaitu :
1. Penularan melalui kontak langsung, biasanya pada daerah beriklim
sedang, sering terjadi di peternakan sapi atau babi.
2. Penularan atau penyebaran penyakit karena kontaminasi pada lingkungan,
biasanya pada musim penghujan.
3. Penularan melalui infeksi rodensia pada lingkungan perkotaan yang
kumuh. (Widoyono, 2002; Faine, 1994)
2.1.4 Gambaran Klinis
Masa inkubasi leptospirosis adalah 4-19 hari, dengan rata rata 10 hari.
Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, bakteri akan masuk ke peredaran darah
dan beredar ke seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan kerusakan di mana
saja termasuk organ jantung, otak dan ginjal. Manifestasi klinis leptospirosis
terbagi menjadi tiga fase :
1. Fase pertama (leptospiremia)
Fase ini ditandai dengan demam tinggi mendadak, skin rash, conjunctival (mata
merah), nyeri otot hebat terutama di otot belakang paha dan betis sehingga
kadang- kadang penderita mengeluh sulit berjalan, ikterus, sakit kepala berat dan
nyeri perut yang disebabkan oleh gangguan hati, ginjal dan meningitis. Fase ini
berlangsung selama 4-9 hari.
2. Fase kedua (imun)
Titer antibodi IgM mulai terbentuk dan meningkat dengan cepat. Gangguan klinis
akan memuncak. Dapat terjadi leptopiura (leptospira dalam urin) selama satu
minggu sampai satu bulan. Fase ini berlangsung selama 4-30 hari.
3. Fase ketiga (konvalesen).
Fase ini ditandai dengan gejala klinis yang sudah berkurang dapat timbul kembali
dan berlangsung selama 4-30 hari (Depkes RI, 2005 ; Gasem, 2002).
b. Pemeriksaan Serologi :
Sebagian besar kasus leptospirosis didiagnosis dengan tes serologi.
Antibodi dapat dideteksi di dalam darah 5-7 hari sesudah munculnya
gejala.
Ada banyak metode serologis yang dapat digunakan diantaranya adalah:
1. Metode MAT (Microscopic Aglutination Test)
Prinsip dari metode ini adalah antibodi dari spesimen serum yang
bereaksi dengan antigen serovar Leptospira. Keuntungan dari metode ini
adalah dapat menetukan serovar Leptospira. Sedangkan kekurangan dari
metode ini adalah rumit dan membutuhkan banyak jenis serovar.
2. Metode ELISA (Enzyme Linked Imunosorbent Assay)
Prinsip dari metode ini adalah reaksi antara antibodi IgM atau IgG dari
spesimen serum dengan antigen spesies Leptospira interogans. Antibodi
Igm dapat terdeteksi sampai bertahun tahun. Keuntungan dari metode ini
sensitif, tetapi tidak bisa menentukan jenis serovar. Pengembangan dari
metode ini adalah metode Dipstick Assay yang mempunyai sesitifitas
88% dan specifitas 95%. (Levett, 2001;WHO, 2003; Setiawan, 2008)
3. Metode PCR (Polymerase Chain Reaction)
PCR adalah suatu teknik enzimatik in vitro yang digunakan untuk
menghasilkan gugus DNA spesifik dalam jumlah besar dan dalam waktu
singkat melalui langkah denaturation, annealing dan extension pada
temperatur yang berbeda. Metode ini sangat berguna untuk mendiagnosis
leptospirosis terutama pada fase dini sebelum titer antibodi terbentuk.
Spesimen dapat berupa urin maupun darah. Keterbatasan metode ini
adalah tidak mampu mendeteksi jenis serovar. Kelemahan dari metode ini
adalah memerlukan peralatan dan tenaga ahli yang khusus (Levett,
2001;WHO, 2003; Setiawan, 2008).
2.2 Faktor Risiko Leptospirosis
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia.
Lingkungan di sekitar manusia dapat dikategorikan menjadi lingkungan fisik,
biologi, kimia, sosial budaya.
a. Lingkungan Fisik
1. Adanya Riwayat Banjir.
Keberadaan sungai yang membanjiri lingkungan sekitar rumah dapat
menjadi media untuk menularkan berbagai jenis penyakit termasuk penyakit
leptospirosis.Hal ini terjadi ketika air sungai terkontaminasi oleh urin tikus atau
hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri leptospira sehingga cara penularannya
disebut Water-Borne Infection. Adanya riwayat banjir mempunyai risiko 2,36 kali
lebih besar untuk terjadinya leptospirosis dibanding tidak adanya riwayat banjir
(Suratman, 2005).
4. Sampah.
Adanya kumpulan sampah di rumah dan sekitarnya akan menjadi tempat
yang disenangi tikus. Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya kumpulan
sampah dan kehadiran tikus merupakan variabel determinan kasus leptospirosis.
Adanya kumpulan sampah dijadikan indikator dari kehadiran tikus (Barcellos,
2001).
5. Sumber Air.
Untuk keperluan sehari-hari, air dapat diperoleh dari beberapa macam
sumber diantaranya air PDAM dan air tanah. Penempatan air secara terbuka
dapat menimbulkan kontaminasi oleh berbagai macam bakteri. Dalam penelitian
Mari Okatini tahun 2005 menyebutkan bahwa responden yang mempunyai
sarana air bersih ang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 4,5 kali lebih
besar dibanding responden yang mempunyai sarana air bersih yang memenuhi
syarat.
b. Lingkungan Biologik.
1. Populasi tikus di dalam dan sekitar rumah.
Bakteri leptospira khususnya spesies L. ichterrohaemorrhagiae banyak
menyerang tikus besar seperti tikus wirok (Rattus norvegicus dan tikus rumah
(Rattus diardii). Sedangkan L.ballum menyerang tikus kecil (mus musculus).
Tikus yang diduga mempunyai peranan penting pada waktu terjadi Kejadian Luar
Biasa di DKI Jakarta dan Bekasi adalah: R.norvegicus, R.diardii, Suncus murinus
dan R.exulat.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara
keberadaan tikus dengan kejadian leptospirosis. (Johnson, 2004 ; Suratman,
2005 ; Priyanto, 2008).
c. Lingkungan Sosial
1. Tingkat Pendidikan.
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang cukup penting dalam
penularan penyakit khususnya leptospirosis. Pendidikan masyarakat yang
rendah akan berpengaruh terhadap berbagai risiko paparan penyakit yang ada di
sekitarnya. Semakin tinggi pendidikan masyarakat,akan membawa dampak yang
cukup signifikan dalam proses pemotongan jalur transmisi penyakit leptospirosis
(Okatini dkk, 2007).
2. Jenis Pekerjaan.
Jenis pekerjaan merupakan faktor risiko penting dalam kejadian penyakit
leptospirosis. Jenis pekerjaan yang berisiko terjangkit leptospirosis antara lain:
petani, dokter hewan, pekerja pemotong hewan,pekerja pengontrol tikus, tukang
sampah, pekerja selokan, buruh tambang, tentara, pembersih septic tank dan
pekerjaan yang selalu kontak dengan binatang. Faktor risiko leptospirosis akibat
pekerjaan yang ditemukan pertama kali adalah buruh tambang. Pekerja-pekerja
selokan, parit/saluran air, petani yang bekerja di sawah, ladang-ladang tebu,
pekerja tambang, petugas survei di hutan belantara, mereka yang dalam aktivitas
pekerjaan selalu kontak dengan urin berbagai binatang seperti dokter hewan,
mantri hewan, penjagal di rumah potong, atau para pekerja laboratorium,
merupakan orang-orang yang berisiko tinggi untuk mendapat leptospirosis.
(Speelman,1998; Priyanto, 2008).
c. Faktor Perilaku
Ada beberapa macam teori tentang perilaku, antara lain menurut Solita
(1993) dikatakan bahwa perilaku merupakan hasil dari segala macam
pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam
bentuk pengetahuan, sikap dan praktik atau tindakan. Sedangkan Notoatmodjo
(1993) mengatakan perilaku manusia dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu fisik,
psikis dan sosial yang secara terinci merupakan refleksi dari berbagai gejolak
seperti: pengetahuan, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya yang ditentukan
dan dipengaruhi oleh faktor pengalaman, keyakinan sarana fisik dan sosial
budaya masyarakat. Menurut Blum dalam Notoatmodjo (1993) disebutkan bahwa
perilaku sesorang terdiri dari tiga bagian penting, yaitu kognitif, afektif dan
psikomotor. Kognitif dapat diukur dari pengetahuan, afektif dari sikap atau
tanggapan dan psikomotor diukur melalui tindakan (praktik) yang dilakukan.
Dalam proses pembentukan dan perubahan perilaku dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang berasal dari dalam dan luar individu. Faktor dari dalam
individu mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, sikap, emosi dan
motivasi yang berfungsi untuk pengolahan rangsangan dari luar. Faktor dari luar
individu meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non-fisik seperti iklim,
manusia, sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya.
Aspek perilaku yang berkaitan dengan proses penularan penyakit
leptospirosis adalah sebagai berikut:
1. Kebiasaan mandi di sungai.
Penularan bakteri leptospira pada manusia adalah kontak langsung
dengan bakteri leptospira melalui pori-pori kulit yang menjadi lunak karena
terkena air, kulit terluka, selaput mukosa maupun selaput lendir. Kegiatan
mencuci dan mandi di sungai atau danau akan berisiko terpapar bakteri
leptospira karena kemungkinan terjadi kontak dengan urin binatang yang
mengandung leptospira akan lebih besar. Penelanan air yang tercemar selama
menyelam berhubungan dengan angka serangan yang tinggi. Kebiasaan mandi
dan mencuci di sungai mempunyai risiko 2,5 kali lebih tinggi terkena leptospirosis
(Sejvar, 2000 ; David dkk, 2000).
Pada bentuk yang sangat ringan bahkan oleh penderita seperti sakit flu
biasa. Pada golongan ini tidak perlu dirawat. Demam merupakan gejala dan
tanda yang menyebabkan penderita mencari pengobatan. Ikterus kalaupun
ada masih belum tampak nyata. Sehingga penatalaksanaan cukup secara
konservatif.
Penatalaksanaan konservatif
Antipiretik
Nutrisi dan cairan.
Pemberian nutrisi perlu diperhatikan karena nafsu makan penderita
biasanya menurun maka intake menjadi kurang. Harus diberikan nutrisi
yang seimbang dengan kebutuhan kalori dan keadaan fungsi hati dan
ginjal yang berkurang. Diberikan protein essensial dalam jumlah cukup.
Karena kemungkinan sudah terjadi hiperkalemia maka masukan kalium
dibatasi sampai hanya 40mEq/hari. Kadar Na tidak boleh terlalu tinggi.
Pada fase oligurik maksimal 0,5gram/hari. Pada fase ologurik
pemberian cairan harus dibatasi. Hindari pemberian cairan yang terlalu
banyak atau cairan yang justru membebani kerja hati maupun ginjal.
Infus ringer laktat misalnya, justru akan membebani kerja hati yang
sudah terganggu. Pemberian cairan yang berlebihan akan menambah
beban ginjal. Untuk dapat memberikan cairan dalam jumlah yang cukup
atau tidak berlebihan secara sederhana dapat dikerjakan monitoring /
balance cairan secara cermat.
Pada penderita yang muntah hebat atau tidak mau makan diberikan
makan secara parenteral. Sekarang tersedia cairan infus yang praktis
dan cukup kandungan nutrisinya.
Pemberian antibiotik
Pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai
12 juta unit (sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian penisilin
bervariasi, bahkan ada yang memberikan selama 10 hari. Penelitian
terakhir : AB gol. fluoroquinolone dan beta laktam (sefalosporin,
ceftriaxone) > baik dibanding antibiotik konvensional tersebut di atas,
meskipun masih perlu dibuktikan keunggulannya secara in vivo.
Penanganan kegagalan ginjal.
Gagak ginjal mendadak adalah salah sati komplikasi berat dari
leptospirosis. Kelainan ada ginjal berupa akut tubular nekrosis (ATN).
Terjadinya ATN dapat diketahui dengan melihat ratio osmolaritas urine
dan plasma (normal bila ratio <1). Juga dengan melihat
perbandingankreatinin urine dan plasma, ”renal failire index” dll.
Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus,
angka kematian 5 % pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut menjadi
30-40 %
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Rekam Medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang
identitas pasien, pemeriksaa, pengobatan tindakan dan pelayanan lain
yang diberikan pada pasien oleh sarana pelayanan kesehatan.
Puskesmas Induk
3
Dokter
1
Dokter gigi
27
Bidan
32
Perawat Kesehatan
1
Perawat Gigi
2
Sanitarian
1
Analis Kesehatan
1
AA
-
RO
-
Ahli Gizi
3
Juru Rawat
-
Tenaga Umum
1
Tenaga Teknisi Alkes
4
Pekarya Halaman
1
Sopir
2
Jurumasak
Sukowidi - - - 3
Bedagung - - - 3
Ngiliran - 1 - 3
Jabung - - - 5
Rejomulyo - - 1 5
Turi - - - 7
Sidowayah - - - 5
Banjarrejo - 1 - 5
Jumlah 1 5 3 72
pH 5,0 Hb 13,2 mg
BJ 1,020 Leu 2580
Warna Kuning PLT 175.000
kemerahan Hct 36,3
Bau khas OT/PT 61,99/53,62
Kejernihan keruh Widal 1/80
Protein +2 HbsAg -
Nitrit +1
Leukosit 4-5
Eri 6-8
epitel 2-14
PP test -
Hb 13
Leu 14.700
PLT 30.000
Hct 41
OT/PT 46/21
Widal -
Albumin 2,8
Demam akut dengan atau tanpa sakit kepala, disertai nyeri otot, lemah
(malaise), conjungtival suffision, dan ada riwayat terpapar dengan lingkungan
yang
terkontaminasi atau aktifitas yang merupakan faktor risiko Leptospirosis dalam
kurun waktu 2 minggu.
Faktor risiko tersebut antara lain:
a) kontak dengan air yang terkontaminasi kuman leptospira atau urine
tikus saat terjadi banjir;
b) kontak dengan sungai atau danau dalam aktifitas mandi, mencuci atau
bekerja di tempat tersebut;
c) kontak dengan persawahan ataupun perkebunan (berkaitan dengan
pekerjaan) yang tidak menggunakan alas kaki;
d) kontak erat dengan binatang, seperti babi, sapi, kambing, anjing yang
dinyatakan terinfeksi Leptospira;
e) Terpapar atau bersentuhan dengan bangkai hewan, cairan infeksius
hewan seperti cairan kemih, placenta, cairan amnion, dan lain-lain;
f) memegang atau menangani specimen hewan/manusia yang diduga
terinfeksi Leptospirosis dalam suatu laboratorium atau tempat lainnya;
g) Pekerjaan atau melakukan kegiatan yang berisiko kontak dengan
sumber infeksi, seperti dokter, dokter hewan, perawat, tim penyelamat
atau SAR, tentara, pemburu, dan para pekerja di rumah potong hewan,
toko hewan peliharaan, perkebunan, pertanian, tambang, serta pendaki
gunung, dan lain-lain.
2. Kasus Probable
3. Kasus Konfirmasi
6.1 Kesimpulan
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang
manusia maupun hewan yang disebabkan kuman leptospira pathogen dan
digolongkan sebagi zoonosis yaitu penyakit hewan yang bisa menjangkiti
manusia. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa faktor dominan terhadap
kejadian leptospirosis adalah perilaku penderita yang kurang baik, pengetahuan
penderita tentang kesehatan diri, sarana air bersih, keadaan dan penataan
rumah yang belum memadai.
6.2. Saran
1. Memberikan penjelasan kepada keluarga penderita dan
masyarakat sekitar untuk lebih memperhatikan kesehatan diri.
2. Memberikan pengetahuan tentang perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS)
DAFTAR PUSTAKA
Barcellos, C. and Sabroza, P.C. (2001) The Place behind the Case: Leptospirosis
Risks and Associated Environmental Conditions in a Flood-Related Outbreak in
Rio de Janeiro
Faine, S., Adler, B., Bolin, C. & Perolat, P. (1994). Leptospira and Leptospirosis,
2nd edn. Melbourne: MedSci.
Gonsalez CR, Casseb J, Monteiro FG, Paula-Neto JB, Fernandez RB, Silva MV,
Camargo ED, Mairinque JM, Tavares LC. Use of doxycycline for leptospirosis
after high-risk exposure in Sao Paulo, Brazil. Rev Inst Med Trop Sao Paulo.
1998;40:59–61.
Leptospiros is :Kenali dan Waspadai 2017. diakses 15 Mei 2017 pukul 09.00 dari
depkes.go.id
Takafuji ET, Kirkpatrick JW, Miller RN, Karwacki JJ, Kelley PW, Gray MR,
McNeill KM, Timboe HL, Kane RE, Sanchez JL. An efficacy trial of doxycycline
chemoprophylaxis against leptospirosis. N Engl J Med. 1984;310:497–500.