You are on page 1of 13

PREVALENSI PENYAKIT YANG DIAKIBATKAN PARASIT DI

PUSKESMAS CIPTOMULYO KOTA MALANG

PROPOSAL PENELITIAN
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Parasitologi
yang dibina oleh Dr. Endang Suarsini, M.Ked dan Sofia Ery Rahayu, S.Pd, M.Si

Disusun oleh / Off GHI-K:


Awalia Siska Puji Lestari 150342605762

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
PROGRAM STUDI S1 BIOLOGI
November 2017
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Cacing sebagai hewan parasit tidak saja mengambil zat-zat gizi dalam usus
anak, tetapi juga merusak dinding usus sehingga mengganggu penyerapan zat-zat
gizi tersebut. Anak–anak yang terinfeksi cacing biasanya mengalami: lesu,
pucat/anemia, berat badan menurun, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang,
kadang disertai batuk–batuk. Meskipun penyakit cacing usus tidak mematikan,
tetapi menggerogoti kesehatan tubuh manusia sehingga berakibat menurunnya
kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. Dalam jangka panjang, hal ini akan
berakibat menurunnya kualitas sumber daya manusia (Mardiana, 2008).
Anak usia sekolah dasar merupakan salah satu sasaran yang menjadi
prioritas dalam program pengendalian kecacingan. Dalam program
pengendalian jangka pendek, salah satunya adalah dengan mengurangi prevalensi
infeksi cacing dengan membunuh cacing itu melalui pengobatan, melalui
pengobatan, intensitas infeksi (jumlah cacing perindividu) dapat ditekan,
sehingga dapat dan gangguan kecerdasan. Akan tetapi oleh karena infeksi yang
terjadi sering tanpa gejala, sehingga penyakit ini dianggap bukanlah
merupakan penyakit yang berbahaya (Chandrashekhar,2005).
Menurut Kattula (2014) tinggi rendahnya fekuensi kecacingan
berhubungan erat dengan kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan menjadi
sumber infeksi. Pencemaran tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi
telur cacing dari tanah kepada manusia melalui tangan atau kuku yang
mengandung telur cacing, lalu masuk ke mulut bersama makanan. Di Indonesia
prevalensi kecacingan masih tinggi antara 60% – 90% tergantung pada lokasi dan
kondisi sanitasi lingkungan.
Angka prevalensi dan intensitas infeksi biasanya paling tinggi pada anak
antara usia 3 sampai 9 tahun. Penyakit cacingan tersebar luas, baik di perdesaan
maupun di perkotaan. Angka infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi (jumlah
cacing dalam perut) berbeda. Hasil Survei Cacingan di Puskesmas di beberapa
Provinsi pada tahun 1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60% - 80%,
sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40%-60%. Hasil Survei Subdit Diare
pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 Puskesmas di 10 provinsi menunjukkan
prevalensi berkisar antara 2,2% - 96,3% (Walana,2014).
Penyakit kecacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan.
Angka infeksinya tinggi, tetapi intensitas infeksinya (jumlah cacing dalam perut)
berbeda. Diperkirakan lebih dari dua milyar orang terinfeksi cacing di seluruh
dunia dan 300 juta diantaranya menderita infeksi berat dengan 150 ribu kematian
terjadi setiap tahun akibat infeksi cacing usus Soil Transmitted Helmints (STH)
(DepKes RI, 2007).
Mengingat dampak yang ditimbulkan oleh infeksi cacing cukup serius,
maka perlu dilakukan pengendalian penyakit ini secara efektif dan memperbaiki
derajat kesehatan masyarakat. Program pengobatan yang dilakukan sangat
bergantung pada data prevalensi kecacingan, oleh karena itu seluruh kegiatan
harus diawali dengan mendapatkan angka prevalensi kecacingan melalui
pemeriksaan observasi data di Puskesmas mengenai penderita kecacingan.
Kota Malang merupakan salah satu kota yang ada di Jawa Timur,
sebagian besar wilayahnya berupa dataran tinggi dan terdapat hutan dengan iklim
tropis yang sangat mendukung terjadinya perkembangbiakan dan penularan
cacing usus. Dalam menanggulangi adanya penyebaran penyakit cacingan
terutama pada anak yang tinggal di perkotaan maka perlu dilakukan survei
pemeriksaan data di Puskesmas mengenai adanya infeksi cacingan di daerah
Lowokwaru atau puskesmas yang berada di Lowokwaru salah satunya yaitu
Puskesmas Ciptomulyo.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah proposal penelitian tersebut sebagai berikut:
1. Bagaimanakah prevalensi penyakit yang diakibatkan parasit di Puskesmas
Ciptomulyo Kota Malang?
2. Apakah terdapat hubungan tingkat pendidikan dengan adanya penyakit
yang diakibatkan parasit di Puskesmas Ciptomulyo Kota Malang?

Tujuan
Tujuan proposal penelitian tersebut sebagai berikut:
1. Mengetahui prevalensi penyakit yang diakibatkan parasit di Puskesmas
Ciptomulyo Kota Malang.
3. Mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan penyakit yang
diakibatkan parasit di Puskesmas Ciptomulyo Kota Malang.

Manfaat
a. Bagi Instansi
Memberikan informasi bagi instansi terkait khususnya Puskesmas
Ciptomulyo tentang prevalensi penyakit yang diakibatkan parasit sehingga
dapat dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan dan penanggulangan
kecacingan atau penyakit akibat parasit di Puskesmas Ciptomulyo Malang.
a. Bagi institusi pendidikan
Menambah daftar kepustakaan penelitian dalam perkembangan Ilmu
Parasitologi dan Ilmu Kesehatan.
b. Bagi peneliti
Menambah pengalaman serta wawasan mengenai teori yang didapat dari
penelitian.
KAJIAN PUSTAKA

Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda


adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen dan tubuhnya
bilateral simetrik, panjang cacing ini mulai dari 2 mm sampai 1 m. Nematoda
yang ditemukan pada manusia terdapat dalam organ usus, jaringan dan sistem
peredaran darah, keberadaan cacing ini menimbulkan manifestasi klinik yang
berbeda-beda tergantung pada spesiesnya dan organ yang dihinggapi.
Nematoda merupakan salah satu jenis cacing parasit yang paling sering
ditemukan pada tubuh manusia. Nematoda yang hidup dalam usus manusia
disebut dengan nematoda usus. Nematoda usus sering disebut sebagai cacing
gilig, di antara filum yang lain , filum ini mempunyai anggota terbanyak baik jenis
maupun individunya.
Di antara nematoda usus ini yang paling sering menginfeksi manusia
adalah yang ditularkan melalui tanah atau disebut ”soil transmitted helminths ”.
Empat jenis Soil Transmitted Helminths (STH) yang paling sering menginfeksi
adalah roundworm (Ascaris lumbricoides), whipworm (Trichuris trichiura), dan
hookworm (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) sedangkan
Strongyloides stercoralis jarang ditemukan terutama pada daerah yang beriklim
dingin (Srisari G., 2006). Namun STH yang hanya dapat dibantu transmisinya
oleh pedagang makanan (food handler) melalui kontaminasi tangan adalah
Ascaris lumbricoides dan Trichiuris trichiura.
Data WHO menyebutkan lebih dari 2 milyar orang di seluruh dunia
menderita kecacingan. Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah yang
memiliki prevalensi tinggi infeksi cacing di dunia (de Silva et.al., 2003). Di
Indonesia, infeksi cacing masih merupakan masalah besar dalam kesehatan
masyarakat karena prevalensinya masih tinggi yaitu kurang lebih 45– 65%,
bahkan di wilayah-wilayah tertentu yang memiliki sanitasi lingkungan buruk,
panas, dan kelembaban tinggi prevalensi infeksi cacing bisa mencapai 80% (Ali,
2007). Faktor host dan lingkungan merupakan faktor resiko infeksi cacing pada
manusia
Faktor individu
a. Genetik Sampai saat ini belum berhasil diindentifikasi adanya gen
yang dapat mengendalikan infeksi cacing. Namun demikian, hasil
pemindain terakhir tentang genom memberikan gambaran
kemungkinan adanya kromosom 1 dan 13 untuk mengendalikan
Ascaris lumbricoides (Hotez et al., 2006).
b. Higiene Perorangan (Kebersihan diri) Menurut Entjang (2001) usaha
kesehatan pribadi (higiene perorangan) adalah upaya dari seseorang
untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya. Pedagang
dengan kebersihan diri yang buruk mempunyai kemungkinan lebih
besar untuk terinfeksi oleh semua jenis cacing (Brown, 1983).
Menurut Azwar (1993) pada prakteknya upaya higiene antara lain
mencuci tangan dengan sabun sebelum memegang makanan,
mengambil makanan dengan memakai alat seperti sendok dan menjaga
kebersihan kuku serta memotongnya apabila panjang, tangan yang
kotor dan kuku jari tangan kotor yang telah terinfeksi telur cacing akan
tertelan ketika makan (Onggowaluyo, 2002) .
c. Perilaku Perilaku manusia pada hakekatnya merupakan aktifitas dari
manusia itu sendiri. Perilaku masyarakat untuk buang air besar di
sembarang tempat dan kebiasaan tidak memakai alas kaki mempunyai
intensitas infeksi cacing yang tinggi. Selain itu, perilaku manusia yang
seringkali kurang memperhatikan pentingnya penggunaan air bersih
untuk kehidupan, juga berperan terhadap terjadinya infeksi cacing
(Hotez et al., 2006).
d. Faktor sosial Golongan penduduk yang kurang mampu, kepadatan
penduduk dan tingkat pendidikan rendah merupakan salah satu faktor
resiko terinfeksi cacing (Hotez et al., 2006).
Faktor Lingkungan
a. Iklim dan Suhu Telur dan larva cacing lebih dapat berkembang pada
daerah yang lembab yaitu di negara yang beriklim tropis dan subtropis.
Perkembangan telur Ascaris lumbricoides yang optimum terjadi pada
suhu 25°C, telur Trichuris trichiura pada suhu 30°C. Suhu optimum
Necator americanus adalah 28-32°C, sedangkan Ancylostoma duodenale
adalah 23-25°C (Sutanto, 2008).
b. Tanah
Untuk perkembangan telurnya, Ascaris lumbricoides dan Trichuris
trichiura memerlukan tanah yang lembab, tanah liat dan terlindung dari
cahaya matahari. Partikel tanah liat mempunyai ukuran 2 μm, mampu
menyerap air dan mengandung sedikit udara, sehingga pada keadaan
basah dapat saling lengket dengan telur cacing. Hal ini berbeda dengan
cacing tambang karena larva cacing ini memerlukan oksigen untuk
pertumbuhannya (Suriptiastuti, 2006).
c. Sinar matahari
Telur dapat mengalami kerusakan oleh bahan kimia dan sinar matahari
langsung. Telur cacing dapat tumbuh optimal pada tempat teduh dan
terlindung dari sinar matahari (Brown, 1979).
d. Angin
Kecepatan angin dapat mengeringkan telur sehingga dapat mematikan
telur dan larva cacing, disamping itu juga dapat membantu menyebarkan
telur cacing bersama debu (Brown, 1979).

Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga
memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini
menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus). Pada keadaan
tertentu, cacing dewasa mengembara ke saluran empedu, apendiks, atau bronkus
dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang-kadang perlu tindakan
operatif (Sutanto, 2008).
Pemeriksaan yang umumnya dilakukan dalam mendiagnosis infeksi
nematoda usus berupa mendeteksi telur cacing atau larva pada feses manusia
(Suali, 2009; Maguire, 2010; WHO, 2012). Pemeriksaan rutin feses dilakukan
secara makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis dilakukan untuk
menilai warna, konsistensi, jumlah, bentuk, bau, dan ada-tidaknya mukus. Pada
pemeriksaan ini juga dinilai ada-tidaknya gumpalan darah yang tersembunyi,
lemak, serat daging, empedu, sel darah putih, dan gula sedangkan pemeriksaan
mikroskopis bertujuan untuk memeriksa parasit dan telur cacing (Swierczynski,
2010).
Pemeriksaan mikroskop telur-telur cacing dari feses terdiri dari dua
macam cara pemeriksaan, yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan
kuantitatif dilakukan dengan metode Kato dan Metode Stoll. Pemeriksaan
kualitatif dilakukan dengan metode natif (direct slide) , Metode Apung (Flotation
method), Metode Selotif dan Metode Modifikasi Kato Katz.
Pemeriksaan kuantitatif diperlukan untuk menentukan intensitas infeksi
atau berat ringannya penyakit dengan mengetahui jumlah telur per gram tinja
(EPG) pada setiap jenis cacing. Hasil pemeriksaan tinja kualitatif berupa positif
atau negatif cacingan. Prevalensi cacingan dapat berupa prevalensi seluruh jenis
cacing atau per jenis cacing. .
Teknik Kato-Katz merupakan metode yang dipergunakan secara luas
dalam survei epidemiologi terhadap infeksi cacing yang terdapat di dalam usus
manusia (intestinal helminth) (Glinz et al., 2010; World Heatlh Organization,
2012). Teknik ini dipilih karena mudah, murah, dan mempergunakan sistem yang
dapat mengelompokkan intensitas infeksi menjadi beberapa kelas berbeda
berdasarkan perhitungan telur cacing.
Cacing yang menginfeksi manusia membutuhkan makanan untuk
hidupnya, semakin banyak cacing yang ada semakin banyak makanan yang
dibutuhkan. Dengan demikian, adanya cacing dalam perut mengakibatkan
berkurangnya zat gizi yang diserap oleh usus untuk kebutuhan hidup manusia,
sehingga mengakibatkan seseorang mengalami kekurangan gizi. Dengan
menurunnya status gizi seseorang, akan mengakibatkan menurunnya daya tahan
sehingga lebih mudah untuk terserang penyakit (Hadidjaja, 2005).
2.8.2. Dampak terhadap Intelektual dan Produktivitas Menurut penelitian
Rukwono (1972), infeksi cacing menurunkan prestasi kerja dan daya tahan tubuh.
Selain itu, infeksi cacing dapat mengganggu proses kognitif manusia sehingga
dapat menurunkan produktifitas penderita dan menurunkan sumber daya manusia
(WHO, 2010; Depkes RI, 2006).
Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya
adalah dengan pemutusan rantai penularan. Pemberian obat-obatan hanya bersifat
mengobati tetapi tidak memutuskan mata rantai penularan yang antara lain
dilakukan dengan pengobatan massal, perbaikan sanitasi di lingkungan dan
hygiene perorangan serta pendidikan kesehatan (Soedarto, 1991).
Upaya Pencegahan
Hal-hal yang perlu dibiasakan agar tercegahnya dari penyakit kecacingan
adalah sebagai berikut.
1. Memutuskan rantai daur hidup dengan menjaga kebersihan dengan cuci
tangan dan menggunting kuku secara rutin.
2. Hindari makanan yang akan dijajakan terbuka dengan dunia luar dan
kurangi intensitas memegang makanan dengan menggunakan tangan.
3. Mencuci sayuran mentah atau lalapan dengan air bersih yang mengalir
terlebih dahulu.
4. Berdefekasi di jamban dan mencuci tangan setelah defekasi dengan
menggunakan sabun.
5. Pencegahan infeksi cacing tambang dengan membiasakan masyarakat untuk
memakai alas kaki.
METODE
Tempat dan waktu
Penelitian dilakukan di Puskesmas Ciptomulyo Kota Malang yang terletak
di Jl. Kol. Sugiono VIII No. 54, Ciptomulyo, Sukun, Kota Malang, Jawa
Timur 65148. Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan November sampai
dengan bulan Desember 2017.

Gambar 1. Peta Lokasi Puskesmas Ciptomulyo.


Sumber: https://www.google.co.id/maps/

Gambar 2. Foto Lokasi Puskesmas Ciptomulyo


Lokasi : di Jl. Kol. Sugiono VIII No. 54, Ciptomulyo, Sukun, Kota Malang
Sumber: https://www.google.co.id/maps/
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Deskriptif. Dengan
menggunakan desain penelitian Case Control, karena desain ini bersifat
retrospektif, yaitu menelusuri ke belakang penyebab yang dapat menimbulkan
suatu penyakit di masyarakat.

Populasi dan teknik sampling


Populasi penelitian ini adalah semua pasien yang terinfeksi penyakit oleh
parasit di Puskesmas Ciptomulyo Kota Malang yang tercatat di rekam medic.
Teknik Pengumpulan sampel menggunakan total populasi berjumlah 60 data
rekam medis.

Prosedur Penelitian
Teknik pengambilan data dalam penelitian ini adalah:
1) Pedoman Observasi.
Pedoman observasi atau sering disebut pengamatan terstuktur. Penelitian
dilakukan dengan menentukan terlebih dahulu lokasi, waktu, tempat dan
sampel yang digunakan kemudian dilakukan penelitian sesuai dengan
pedoman observasi.
2) Wawancara
Pedoman wawancara dilakukan melalui tanya jawab dengan narasumber
puskesmas dengan panduan kuesioner.

Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data menggunakan rekam medis sampel penelitian. Data
hasil kuisioner akan dianalisis dengan frequencies.
DAFTAR RUJUKAN

Direktorat Jenderal PP & PL. Pedoman pengendalian kecacingan. Jakarta:


Departemen Kesehatan RI; 2007.

Chandrashekhar, TS.,et al. 2005. Prevalence and distribution of intestinal


parasitic infestations among school children in Kaski District, Western
Nepal. CMS UNIBEN JMBR; 4(1): 78-82.

Kattula, D. et al. 2014. Prevalence & risk factors for soil transmitted helminth
infection among school children in south India. Indian J Med Res 139: 6-82.

Mardiana dan Djarismawati. 2008. Prevalensi Cacing Usus Pada Murid Sekolah
Dasar Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan
Kemiskinan Daerah Kumuh Di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi
Kesehatan Vol. 7 No. 2 : 769 – 774.

Walana, W. et al. 2014. Prevalence of hookworm infection: A retrospective study


in Kumasi, Ghana. Science Journal of Public Health; 2(3): 196-199.

You might also like