You are on page 1of 15

Hukum Kesehatan

A. Pengertian
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya
penaggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan
dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan. Pendidikan kesehatan adalah proses
membantu sesorang, dengan bertindak secara sendiri-sendiri ataupun secara kolektif, untuk
membuat keputusan berdasarkan pengetahuan mengenai hal-hal yang memengaruhi kesehatan
pribadinya dan orang lain.
Definisi Hukum Kesehatan Menurut pakar ahli hukum
Van Der Mijn, pengertian dari hukum kesehatan diartikan sebagai hukum yang
berhubungan secara langsung dengan pemeliharaan kesehatan yang meliputi penerapan
perangkat hukum perdata, pidana dan tata usaha negara atau definisi hukum kesehatan adalah
sebagai keseluruhan aktifitas juridis dan peraturan hukum dalam bidang kesehatan dan juga studi
ilmiahnya.
Leenen Hukum kesehatan sebagai keseluruhan aktivitas yuridis dan peraturan hukum di
bidang kesehatan serta studi ilmiahnya.
Pasal 1 butir (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentgang kesehatan menyatakan
yang disebut sehat adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan
Indonesia (PERHUKI), adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan / pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini menyangkut hak dan kewajiban
baik dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan
maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasi,
sarana, pedoman standar pelayanan medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum serta
sumber-sumber hukum lainnya. Hukum kedokteran merupakan bagian dari hukum kesehatan,
yaitu yang menyangkut asuhan / pelayanan kedokteran (medical care / sevice)

Subjek dan Objek:


Subjek Hukum Kesehatan adalah Pasien dan tenaga kesehatan termasuk institusi
kesehatan sedangkan objek Hukum Kesehatan adalah perawatan kesehatan (Zorg voor de
gezondheid).
Tujuan Hukum Kesehatan:

Salah satu tujuan nasional adalah memajukan kesejahteraan bangssa, yang berarti
memenuhi kebutuhan dasar manusia, yaitu pangan, sandang, pangan, pendidikan,
kesehatan, lapangan kerja dan ketenteraman hidup. Tujuan pembangunan kesehatan adalah
tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk, jadi tanggung jawab untuk
terwujudnya derajat kesehatan yang optimal berada di tangan seluruh masyarakat
Indonesia, pemerintah dan swasta bersama-sama.

Tujuan hukum Kesehatan pada intinya adalah menciptakan tatanan masyarakat yang
tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban didalam
masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terpenuhi dan terlindungi (Mertokusumo,
1986). Dengan demikian jelas terlihat bahwa tujuan hukum kesehatanpun tidak akan banyak
menyimpang dari tujuan umum hukum. Hal ini dilihat dari bidang kesehatan sendiri yang
mencakup aspek sosial dan kemasyarakatan dimana banyak kepentingan harus dapat diakomodir
dengan baik.

Azas Hukum Kesehatan:


1. Asas perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti bahwa
penyelenggaraan kesehatan harus dilandasi atas perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa dengan tidak membeda-bedakan golongan, agama, dan bangsa;
2. Asas manfaat berarti memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan
perikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara;
3. Asas usaha bersama dan kekeluargaan
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan dilaksanakan melalui kegiatan yang dilakukan oleh
seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan;
4. Asas adil dan merata
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan
merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat;
5. Asas perikehidupan dalam keseimbangan
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dilaksanakan seimbang antara kepentingan
individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, antara materiel dan spiritual;
6. Asas kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus berlandaskan pada kepercayaan akan
kemampuan dan kekuatan sendiri dengan memanfaatkan potensi nasional seluas-luasnya.

Ruang lingkup hukum kesehatan:

 Hukum Medis (Medical Law);


 Hukum Keperawatan (Nurse Law);
 Hukum Rumah Sakit (Hospital Law);
 Hukum Pencemaran Lingkungan (Environmental Law);
 Hukum Limbah (dari industri, rumah tangga, dsb);
 Hukum peralatan yang memakai X-ray (Cobalt, nuclear);
 Hukum Keselamatan Kerja;
 dan Peraturan-peraturan lainnya yang ada kaitan langsung yang dapat mempengaruhi
kesehatan manusia.
Menurut Leenen, masalah kesehatan dikelompokkan dalam 15 kelompok: (Pasal 11 UUK)
1. kesehatan keluarga
2. perbaikan gizi
3. pengemanan makanan dan minuman
4. kesehatan lingkungan
5. kesehatan kerja
6. kesehatan jiwa
7. pemberantasan penyakit
8. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
9. penyuluhan kesehatan
10. pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
11. pengamanan zat adiktif
12. kesehatan sekolah
13. kesehatan olah raga
14. pengobatan tradisional
15. kesehatan matra
Latar Belakang disusunnya peraturan perundang-undnagan di bidang pelayanan
kesehatan, adalah: karena adanya kebutuhan
1. pengaturan pemberian jasa keahlian
2. tingkat kualitas keahlian tenaga kesehatan
3. keterarahan
4. pengendalian biaya
5. kebebasan warga masyarakat untuk menentukan kepentingannya serta identifikasi kewajiban
pemerintah
6. perlindungan hukum pasien
7. perlindungan hukum tenaga kesehatan
8. perlindungan hukum pihak ketiga
9. perlindungan hukum bagi kepentingan umum
Sumber Hukum Kesehatan
Hukum Kesehatan tidak hanya bersumber pada hukum tertulis saja tetapi juga
yurisprudensi, traktat, Konvensi, doktrin, konsensus dan pendapat para ahli hukum maupun
kedokteran. Hukum tertulis, traktat, Konvensi atau yurisprudensi, mempunyai kekuatan
mengikat (the binding authority), tetapi doktrin, konsensus atau pendapat para ahli tidak
mempunyai kekuatan mengikat, tetapi dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam
melaksanakan kewenangannya, yaitu menemukan hukum baru.
Zevenbergen mengartikan sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum; sumber yang
menimbulkan hukum. Sedangkan Achmad Ali, sumber hukum adalah tempat di mana kita dapat
menemukan hukum.

Sumber hukum dapat dibedakan ke dalam :


a. Sumber hukum materiil adalah faktor-faktor yang turut menentukan isi hukum. Misalnya,
hubungan sosial/kemasyarakatan, kondisi atau struktur ekonomi, hubungan kekuatan politik,
pandangan keagamaan, kesusilaan dsb.
b. Sumber hukum formal merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh
kekuatan hukum; melihat sumber hukum dari segi bentuknya.
Yang termasuk sumber hukum formal, adalah :
1. Undang-undang (UU);
2. Kebiasaan;
3. Yurisprudensi;
4. Traktat (Perjanjian antar negara);
5. Perjanjian;
6. Doktrin.
1. Undang-undang.
Undang-undang ialah peraturan negara yang dibentuk oleh alat perlengkapan negara yang
berwenang, dan mengikat masyarakat. UU di sini identik dengan hukum tertulis (Ius scripta)
sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis. (Ius non scripta). Istilah tertulis tidak bisa
diaertikan secara harafiah, tetapi dirumuskan secara tertulis oleh pembentuk hukum khusus
(speciali rechtsvormende organen).
UU dapat dibedakan dalam arti :
a. UU dalam arti formal, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya,
sehingga disebut UU. Jadi merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan UU karena
cara pembentukannya. Di Indonesia UU dalam arti formal dibentuk oleh Presiden dengan
persetujuan DPR (pasal 5 ayat 1 UUD’45).
b. UU dalam arti materiil, yaitu keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya
dinamai UU dan mengikat semua orang secara umum.

2. Kebiasaan (custom).
Kebiasaan adalah perbuatan manusia mengenai hal tertentu yang dilakukan berulang-
ulang. Kebiasaan ini kemudian mempunyai kekuatan normatif, kekuatan mengikat. Kebiasaan
biasa disebut dengan istilah adat, yang berasal dari bahasa Arab yang maksudnya kebiasaan.
Adat istiadat merupakan kaidah sosial yang sudah sejak lama ada dan merupakan tradisi yang
mengatur tata kehidupan masyarakat tertentu. Dari adat kebiasaan itu dapat menimbulkan adanya
hukum adat.

3. Yurisprudensi.
Adalah keputusan hakim/ pengadilan terhadap persoalan tertentu, yang menjadi dasar
bagi hakim-hakim yang lain dalam memutuskan perkara, sehingga keputusan hakim itu menjadi
keputusan hakim yang tetap.

4. Perjanjian.
Perjanjian merupakan salah satu sumber hukum karena perjanjian yang telah dibuat oleh
kedua belah pihak (para pihak) mengikat para pihak itu sebagai undang-undang. Hal ini diatur
dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.
Ada 3 asas yang berlaku dalam perjanjian, yaitu :
1. Asas konsensualisme (kesepakatan), yaitu perjanjian itu telah terjadi (sah dan mengikat)
apabila telah terjadi kesepakatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian.
2. Asas kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebas
menentukan bentuk perjanjian, bebas menentukan isi perjanjian dan dengan siapa (subyek
hukum) mana ia mengadakan perjanjian, asal tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban
umum dan undang-undang.
3. Asas Pacta Sunt Servanda, adalah perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak (telah
disepakati) berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

5. Traktat (Perjanjian Antarnegara)


Dalam pasal 11 UUD 1945, menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR
menyatakan perang, membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan negara lain.
Perjanjian antaranegara yang sudah disahkan berlaku dan mengikat negara peserta, termasuk
warga negaranya masing-masing.

6. Doktrin.
Adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang besar pengaruhnya bagi pengadilan
(hakim) dalam mengambil keputusannya. Doktrin untuk dapat menjadi salah satu sumber hukum
(formal) harus telah menjelma menjadi keputusan hakim.

Fungsi Hukum Kesehatan


a. Menjaga ketertiban di dalam masyarakat. Meskipun hanya mengatur tata kehidupan di dalam
sub sektor yang kecil tetapi keberadaannya dapat memberi sumbangan yang besar bagi ketertiban
masyarakat secara keseluruhan.
b. Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat (khususnya di bidang kesehatan).
Benturan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat.
c. Merekayasa masyarakat (social engineering). Jika masyarakat menghalang-halangi dokter untuk
melakukan pertolongan terhadap penjahat yang luka-luka karena tembakan, maka tindakan
tersebut sebenarnya keliru dan perlu diluruskan.
Contoh lain: mengenai pandangan masyarakat yang menganggap doktrer sebagai dewa yang
tidak dapat berbuat salah. Pandangan ini juga salah, mengingat dokter adalah manusia biasa yang
dapat melakukan kesalahan di dalam menjalankan profesinya, sehingga ia perlu dihukum jika
perbuatannya memang pantas untuk dihukum.
Keberadaan Hukum Kesehatan di sini tidak saja perlu untuk meluruskan sikap dan pandangan
masyarakat, tetapi juga sikap dan pandangan kelompok dokter yang sering merasa tidak senang
jika berhadapan dengan proses peradilan.
Sedangkan Menurut bredemeier Fungsi Hukum Kesehatan yaitu menertibkan pemecahan
konflik -konflik misalnya kelalaian penyelenggaraan pelayanan bersumber dari kelalaian tenaga
kesehatan dalam menjalankan tugasnya

B. Sejarah Hukum Kesehatan

Pada awalnya masyarakat menganggap penyakit sebagai misteri, sehingga tidak ada
seorangpun yang dapat menjelaskan secara benar tentang mengapa suatu penyakit menyerang
seseorang dan tidak menyerang lainnya. Pemahaman yang berkembang selalu dikaitkan dengan
kekuatan yang bersifat supranatural. Penyakit dianggap sebagai hukuman Tuhan atas orang-
orang yang yang melanggar hukumNya atau disebabkan oleh perbuatan roh-roh jahat yang
berperang melawan dewa pelindung manusia. Pengobatannya hanya bisa dilakukan oleh para
pendeta atau pemuka agama melalui do’a atau upacara pengorbanan. Pada masa itu profesi
kedokteran menjadi monopoli kaum pendeta, oleh karena itu mereka merupakan kelompok yang
tertutup, yang mengajarkan ilmu kesehatan hanya di kalangan mereka sendiri serta merekrtu
muridnya dari kalangan atas. Memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang, karena
dipercayai sebagai wakil Tuhan untuk membuat undang-undang di muka bumi.
Uundang-undang yang mereka buat memberi ancaman hukuman yang berat, misalnya
hukuman potong tangan bagi seseorang yang melakukan pekerjaan dokter dengan menggunakan
metode yang menyimpang dari buku yang ditulis sebelumnya, sehingga orang enggan memasuki
profesi ini. Di Mesir pada tahun 2000 SM tidak hanya maju di bidang kedokteran tetapi juga
memiliki hukum kesehatan. konsep pelayanan kesehatan sudah mulai dikembangkan dimana
penderita/psien tidak ditarik biaya oleh petugas kesehatan yang dibiayai oleh masyarakat.
peraturan ketat diberlakukan bagi pengobatan yang bersifat eksperimen. tidak ada hukuman bagi
dokter atas kegagalannya selama buku standar diikuti. profesi kedokteran masih di dominasi
kaum kasta pendeta dan bau mistik tetap saja mewarnai kedokteran. sebenarnya ilmu kedokteran
sudah maju di Babylonia (Raja Hammurabi 2200 SM) dimana praktek pembedahan sudah mulai
dikembangkan oleh para dokter, dan sudah diatur tentang sistem imbalan jasa dokter, status
pasien, besar bayarannya. (dari sini lah Hukum Kesehatan berasal, bukan dari Mesir)
Dalam Kode Hammurabi diatur ketentuan tentang kelalaian dokter beserta daftar
hukumannya, mulai dari hukuman denda sampai hukuman yang mengerikan. Dan pula
ketentuan yang mengharuskan dokter mengganti budak yang mati akibat kelalian dokter ketika
menangani budak tersebut. Salah satu filosof yunani HIPPOCRATES (bapak ilmu kedokteran
modern) telah berhasil menyusun landasan bagi sumpah dokter serta etika kedokteran, yaitu:
a. adanya pemikiran untuk melindungi masyarakat dari penipuan dan praktek kedokteran yang
bersifat coba-coba
b. adanya keharusan dokter untuk berusaha semaksimal mungkin bagi kesembuhan pasien serta
adanya larangan untuk melakukan hal-hal yang dapat merugikannya.
c. Adanya penghormatan terhadap makhluk insani melalui pelarangan terhadap euthanasia dan
aborsi
d. Menekankan hubungan terapetik sebagai hubungan di mana dokter dilarang mengambil
keuntungan.
e. Adanya keharusan memegang teguh rahasia kedokteran bagi setiap dokter.
Abad 20 an telah terjadi perubahan sosial yang sangat besar, pintu pendidikan bagi
profesi kedokteran telah terbuka lebar dan dibuka di mana-mana, kemajuan di bidang kedokteran
menjadi sangat pesat, sehingga perlu dibatasi dan dikendalikan oleh perangkat hukum untuk
mengontrol profesi kedokteran. Hukum dan etika berfungsi sebagai alat untuk menilai perilaku
manusia, obyek hukum lebih menitik beratkan pada perbuatan lahir, sedang etika batin, tujuan
hukum adalah untuk kedamaian lahiriah, etika untuk kesempurnaan manusia, sanksi hukum
bersifat memaksa, etika berupa pengucilan dari masyarakat.
C. Hubungan Pasien Dengan Rumah Sakit
Saat ini pasien menyadari bahwa dia harus tahu tentang kondisi penyakitnya serta apa
yang akan dilakukan dokter atau Rumah Sakit terhadap dirinya, bahkan sering kali pasien merasa
perlu berdiskusi dengan dokter yang merawatnya. Dengan demikian hubungan pasien-dokter
atau pasien-Rumah Sakit sudah bergeser menjadi lebih bersifat”partnership” atau kemitraan.
Hak Dan Kewajiban Pasien
Dalam Surat edaran DirJen Yan Medik No: YM.02.04.3.5.2504 Tentang Pedoman Hak
dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit, th.1997; UU.Republik Indonesia No. 29 Tahun
2004 Tentang Praktek Kedokteran dan Pernyataan/SK PB. IDI, menyebutkan beberapak Hak dan
Kewajiban Pasien serta kewajiban dari Rumah Sakit, diantaranya:

o Hak pasien :
1. Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit. Hak
atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.
2. Hak untuk mendapatkan pelayanan medis yang bermutu sesuai dengan standar profesi
kedokteran/kedokteran gigi dan tanpa diskriminasi
3. Hak memperoleh asuhan keperawatan sesuai dengan standar profesi keperawatan
4. Hak untuk memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan
peraturan yang berlaku di rumah sakit
5. Hak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat klinik dan pendapat etisnya
tanpa campur tangan dari pihak luar
6. Hak atas 'second opinion' / meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
7. Hak atas ”privacy” dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya kecuali
apabila ditentukan berbeda menurut peraturan yang berlaku
8. Hak untuk memperoleh informasi /penjelasan secara lengkap tentang tindakan medik yg akan
dilakukan thd dirinya.
9. Hak untuk memberikan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan
dengan penyakit yang dideritanya
10. Hak untuk menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri
pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang
jelas tentang penyakitnya.
"Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">
11. Hak didampingi keluarga dan atau penasehatnya dalam beribad dan atau masalah lainya (dalam
keadaan kritis atau menjelang kematian).
12. Hak beribadat menurut agama dan kepercayaannya selama tidak mengganggu ketertiban &
ketenangan umum/pasien lainya.
13. Hak atas keamanan dan keselamatan selama dalam perawatan di rumah sakit
14. Hak untuk mengajukan usul, saran, perbaikan atas pelayanan rumah sakit terhadap dirinya
15. Hak menerima atau menolak bimbingan moril maupun spiritual
16. Hak transparansi biaya pengobatan/tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya
(memeriksa dan mendapatkan penjelasan pembayaran).
17. Hak akses /'inzage' kepada rekam medis/ hak atas kandungan ISI rekam medis miliknya.

o Kewajiban Pasien
1. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya kepada dokter
yang merawat
2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi dan perawat dalam pengobatanya.
3. Mematuhi ketentuan/peraturan dan tata-tertib yang berlaku di rumah sakit
4. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Berkewajiban memenuhi hal-hal yang
telah disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya

Hubungan Pasien Dengan Rumah Sakit


o Hak Rumah Sakit
1. Membuat peraturan-peraturan yang berlaku di RS.nya sesuai dengan kondisi/keadaan yang ada
di RS tersebut.
2. Memasyarakatkan bahwa pasien harus mentaati segala peraturan RS
3. Memasyarakatkan bahwa pasien harus mentaati segala instruksi yang diberikan dokter
kepadanya
4. Memilih tenaga dokter yang akan bekerja di RS. melalui panitia kredential
5. Menuntut pihak-pihak yang telah melakukan wanprestasi (termasuk pasien, pihak ketiga, dll)
6. Mendapat jaminan dan perlindungan hukum
7. Hak untuk mendapatkan imbalan jasa pelayanan yang telah diberikan kepada pasien

o Kewajiban Rumah Sakit


1. Mematuhi peraturan dan perundangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah.
2. Memberikan pelayanan pada pasien tanpa membedakan golongan dan status pasien
3. Merawat pasien sebaik-baiknya dengan tidak memebedakan kelas perawatan (Duty of Care)
4. Menjaga mutu perawatan tanpa membedakan kelas perawatan (Quality of Care)
5. Memberikan pertolongan pengobatan di Unit Gawat Darurat tanpa meminta jaminan materi
terlebih dahulu
6. Menyediakan sarana dan peralatan umum yang dibutuhkan
7. Menyediakan sarana dan peralatan medik sesuai dengan standar yang berlaku
8. Merujuk pasien ke RS lain apabila tidak memiliki sarana, prasarana, peralatan dan tenaga yang
diperlukan
9. Mengusahakan adanya sistem, sarana dan prasarana pencegahan kecelakaan dan
penanggulangan bencana
10. Melindungi dokter dan memberikan bantuan administrasi dan hukum bilamana dalam
melaksanakan tugas dokter tersebut mendapatkan perlakuan tidak wajar atau tuntutan hukum
dari pasien atau keluarganya
11. Mengadakan perjanjian tertulis dengan para dokter yang bekerja di rumah sakit tersebut
12. Membuat standar dan prosedur tetap untuk pelayanan medik, penunjang medik, maupun non
medik.
13. Mematuhi Kode Etik Rumah Sakit (KODERSI)

D. Penerapan Hukum Kesehatan dengan Hukum Lain

1. Hukum Perdata
Yaitu : hubungan antara dokter dengan pasien bias merupaka relasi medis, relasi hukum
yang biasa disebut dengan perjanjian medis dalam hal penyembuhan pasien disebut dengan
Kontrak Terapeutis.
Pasal-pasal yang dapat diterapkan:
 Pasal 1320 BW (KUH PERDATA) tentang syarat-syarat sahnya perjanjian.
 Pasal 1365 BW (KUH PERDATA).
Perlu diketahui bahwa kontrak medis bisa tertulis dan bias juga tidak tertulis. Dan bila salah satu
pihak tidak memenuhi kewajibannya bias disebut dengan wan-prestasi.

2. Hukum Pidana
Pasal – pasal yang dapat diterapkan adalah:
 Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang mengakibatkan kematian
 Pasal 360 KUHP kelalaian yang mengakibatkan luka berat atau cacat.
3. Hukum Administrasi Negara
 Izin yang dikeluarkan oleh pihak Depkes harus dimiliki oleh dokter
 Perizinan Rumah sakit dan Apotek harus melalui Depkes.
E. Rahasia Medik

Rahasia Medik adalah adalah segala sesuatu yang dianggap rahasia oleh pasien yang
terungkap dalam hubungan medis dokter-pasien baik yang diungkapkan secara langsung oleh
pasien (subjektif ) maupun yang diketahui oleh dokter ketika melakukan pemeriksaan fisik dan
penunjang ( objektif). Perlindungan terhadap hak rahasia medis ini dapat di lihat dalam peraturan
perundang-undangan antara lain:
 Pasal 57 UU No.36/ 2009 tentang Kesehatan mengatakan bahwa setiap orang berhak atas
kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan
kesehatan
 Pasal 48 UU No. 29/2004 tentang Praktek kedokteran mengatakan bahwa setiap dokter atau
dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokterannya wajib menyimpan rahasia
kedokteran
 Pasal 32 (i) UU No,44 Tentang Rumah Sakit mengatakan bahwa hak pasien untuk
mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya
Pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan tersebut diancam pidana kurungan
badan sebagai mana yang diatur dalam pasal 322KUHP yang mengatakan : " barang siapa yang
dengan sengaja membuka rahasia yang wajib ia simpan karena jabatannya atau karena
pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ribu rupiah.

Rahasia medis ini hanya dapat dibukan oleh rumah sakit, dokter dan tenaga kesehatan
lainnya dalam hal telah mendapatkan persetujuan dari pasien yang bersangkutan, demi untuk
kepentingan orang banyak atau untuk kepentingan penegakan hukum.
F. Informed Consent
“ Informed Consent “ adalah sebuah istilah yang sering dipakai untuk terjemahan dari
persetujuan tindakan medik. Informed Consent terdiri dari dua kata
yaituInformed dan. Informed diartikan telah di beritahukan, telah disampaikan atau telah di
informasikan dan Consent yang berarti persetujuan yang diberikan oleh seseorang untuk berbuat
sesuatu. Dengan demikian pengertian bebas dari informed Consent adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien kepada dokter untuk berbuat sesuatu setelah mendapatkan penjelasan atau
informasi. lebih lanjut diatur dalam Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2009 Tentang Praktek
Kedokteran yang menegaskan sebagai berikut :
1) Setiap Tindakan Kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter
gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien diberikan penjelasan
lengkap
3) Penjelasan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
 Diagnosis dan tatacara tindakan medis
 Tujuan tindakan medis dilakukan
 Alternatif tindakan lain dan resikonya
 Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan
 Prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan.

Dengan lahirnya UU No. 29 Tahun 2004 ini, maka semakin terbuka luas peluang bagi
pasien untuk mendapatkan informasi medis yang sejelas-jelasnya tentang penyakitnya dan
sekaligus mempertegas kewajiban dokter untuk memberikan informasi medis yang benar, akurat
dan berimbang tentang rencana sebuah tindakan medik yang akan dilakukan, pengobatan mapun
perawatan yang akan di terima oleh pasien. Karena pasien yang paling berkepentingan terhadap
apa yang akan dilakukan terhadap dirinya dengan segala resikonya, maka Informed
Consent merupakan syarat subjektif terjadinya transaksi terapeutik dan merupakan hak pasien
yang harus dipenuhi sebelum dirinya menjalani suatu upaya medis yang akan dilakukan oleh
dokter terhadap dirinya .

Sehubungan dengan hal tersebut , Komalawati ( 2002: 111) mengungkapkan


bahwa informed conset dapat dilakukan ,antara lain :
a. Dengan bahasa yang sempurna dan tertulis
b. Dengan bahasa yang sempurna secara lisan
c. Dengan bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima pihak lawan
d. Dengan bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan.
e. Dengan diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima oleh pihak lawan

Jika setelah proses informed yang dilakukan oleh dokter pada pasien dan ternyata pasien
gagal memberikan consent sebagaimana yang di harapkan , tidaklah berari bahwa upaya
memperoleh persetujuan tersebut menjadi gagal total tetapi dokter harus tetap memberikan ruang
yang seluas-luasnya untuk pasien berfikir kembali setiap keuntungan dan kerugian jika tindakan
medis tersebut dilakukan atau tidak dilakukan. Selain itu dokter tetap berusaha melakukan
pendekatan-pendekatan yang lebih efektif dan efisien yang memungkinkan untuk memperoleh
persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan jika memang tindakan tersebut adalah tindakan
yang utama dan satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk menolong menyembuhkan atau
meringankan sakit pasien.

Rujukan
Wikipedia bahasa Indonesia
Dewi,A.I,2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher :Yogyakarta
Hukum Medik (Medical Law) karangan J. Guwandi. Balai Penerbit Fakultas kedokteran
Universitas Indonesia.

You might also like