You are on page 1of 27

BAB I TINJAUAN DAN LANDASAN TEORI

I. 1. Tinjauan Umum

I. 1. 1. Tinjauan Terhadap Gereja Kristen Protestan

Menurut Danang Priatmojo, kata gereja berasal dari bahasa Portugis “igreja” yang

diambil dari bahasa latin “ekklesia” yang berarti kumpulan. Selanjutnya gereja memiliki 2

arti, yaitu :

1. Perkumpulan semua orang yang dipanggil untuk percaya lepada

Tuhan Yesus Kristus.

2. Bangunan Ibadah atau wadah untuk menerima sakramen bagi Orang

Kristen.

Menurut Wikipedia (19 September 2007, 21.00), kata gereja

dalam Bahasa Indonesia memiliki beberapa arti:

1. Arti pertama ialah “umat” atau lebih tepat persekutuan orang Kristen.

Arti ini diterima sebagai arti pertama bagi orang Kristen. Jadi, gereja pertama-tama bukan

sebuah gedung.

2. Arti kedua adalah sebuah perhimpunan atau pertemuan ibadah umat Kristen. Bisa

bertempat di rumah kediaman, lapangan, ruangan di hotel, atau pun tempat rekreasi. Jadi,

tidak melulu mesti di sebuah gedung khusus ibadah.


3. Arti ketiga ialah mazhab (aliran) atau denominasi dalam agama

Kristen. Misalkan Gereja Katolik, Gereja Protestan, dll.

4. Arti keempat ialah lembaga (administratif) daripada sebuah mazhab

Kristen.

5. Arti terakhir dan juga arti umum adalah sebuah “rumah ibadah” umat

Kristen, di mana umat bisa berdoa atau bersembahyang.

Menurut Poerwadarminta, gereja adalah gedung tempat berdoa dan melakukan

upacara agama Kristen. Menurut Dictionary of Architecture, gereja merupakan wujud

fisik bangunan peribadatan dan tempat orang Kristen melakukan ritualnya.

Kristen sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah nama agama yang

disampaikan oleh Kristus (nabi Isa). Kata Kristen, atau Christian dalam bahasa Inggris

awalnya diberikan oleh para penghujat yang memusuhi para pengikut Yesus sebagai

hinaan untuk menunjuk orang-orang buronan. Kata ini menjadi resmi pada abad ke IV

setelah Kristen menjadi agama Negara Romawi pada saat itu.

Kata Protestan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) berarti penganut

Protestantisme dimana arti Protestantisme itu sendiri adalah aliran dalam agama Kristen

yang terpisah dari Gereja Katolik Roma pada zaman reformasi (abad ke 16), yang

dipelopori oleh Martin Luther.


Kata Protestan menurut Wikipedia (19 September 2007, 21.00), diartikan sebagai sebuah

Mazhab dalam agama Kristen. Mazhab atau denominasi ini muncul setelah protes Martin

Luther pada tahun 1517. Martin Luther sendiri sebelumnya adalah seorang Pastur Jerman

dan ahli teologia Kristen. Dia menjadi tokoh pendiri gereja-gereja Protestan dan juga tokoh

besar dalam reformasi Kristen.

Kata Oikumene atau Ekumenis diartikan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) sebagai

sesuatu yang bersifat mewakili seluruh dunia Kristen. Menurut Wikipedia (19

September 2007, 21.00), kata ekumenisme (kadang-kadang dieja

oikoumenisme, oikumenisme) berasal dari bahasa Yunani oikos (rumah) dan menein (tinggal),

sehingga oikoumene berarti “dunia yang ditinggali” atau “didiami”. Dalam pengertiannya

yang paling luas ekumenisme berarti inisiatif keagamaan menuju keesaan di seluruh dunia.

Tujuan yang lebih terbatas dari ekumenisme adalah peningkatan kerja sama dan saling

pemahaman yang lebih baik antara kelompok-kelompok agama atau denominasi di dalam

agama yang sama.

Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Gereja Kristen Protestan Oikumene

berarti bangunan ibadah bagi para pengikut Kristus beraliran Protestan yang

terpisah dari otoritas gereja Katolik setelah reformasi gereja yang dipelopori oleh

Martin
Luther yang bersifat mewakili seluruh denominasi dalam tubuh

Protestantisme itu sendiri.

II. 1. 2. Inti Ajaran Kristen

Agama Kristen pada dasarnya adalah suatu agama sejarah. Artinya, landasan utama

berdirinya agama ini bukanlah terletak pada asas- asas yang bersifat umum, tetapi didasarkan

pada kejadian-kejadian nyata, yaitu pada peristiwa-peristiwa yang sesunguhnya terjadi dalam

sejarah.

Kristen diajarkan Yesus Kristus di Palestina pada awal masehi. Penganut agama Kristen

percaya bahwa Allah mengutus putera-Nya yang tunggal, Yesus Kristus Turín ke dunia untuk

menyelamatkan manusia.

Inti pengajaran agama Kristen didasari oleh kasih. Kasih seharusnya

mendasari setiap tindakan manusia Kristen. Dalam

kehidupannya, orang Kristen seharusnya dapat menunjukan jati diri mereka sebagai umat

Kristen yang saling mengasihi dan melakukan perintah-perintah Tuhan yang diajarkan dan

diteladani dari Yesus Kristus sendiri. Kasih pula yang mendasari pengorbanan Yesus di

kayu saib, mulai dari penderitaan, kematian, hingga pada kebangkitan-Nya untuk

menyelamatkan umat manusia yang percaya kepada-Nya. Karena kasih- Nya, maka manusia

Kristen harus mempunyai visi dan misi yang jelas untuk mewartakan kasih-Nya tersebut

kepada seluruh dunia.


Dalam perkembangannya kemudian, agama Kristen terbagi menjadi 3 aliran utama,

yaitu:

1. Gereja Katolik Roma yang berpusat di Vatikan Roma dan dari sana menyebar ke

seluruh dunia, menjadi aliran yang paling menonjol secara keseluruhan, melewati Eropa

Tengah, dan Selatan, Irlandia, dan Amerika Selatan.

2. Gereja Kristen Ortodoks Timur yang mempunyai pengaruh besar di

Yunani, negara-negara berbahasa Slavia dan Uni Soviet.

3. Gereja Kristen Protestan yang menguasai Eropa, Inggris, Skotlandia dan Amerika

Utara.

I. 1. 3. Sejarah Perkembangan Arsitektur Gereja

a. Masa Pengejaran (abad 1 sampai abad 4)

Ajaran Kristen yang dilahirkan di tengah-tengah bangsa Yahudi ternyata tidak dapat

diterima oleh bangsa tersebut. Maka para rasul bergerak meninggalkan Yerusalem

dan menyebar untuk mewartakan injil ke segala penjuru. Petrus pergi ke Roma dan

menemukan banyak pengikut. akan tetapi Kaisar Roma

memerintahkan pengejaran terhadap mereka, sehingga banyak di antaranya yang gugur

sebagai martir.

Pada masa ini kebaktian dan ekaristi mereka lakukan di rumah-rumah penduduk dan

di katakombe, yaitu pemakaman di


bawah tanah. Pengaruh arsitektur rumah tingal Romawi akan terasa pada bangunan-

bangunan gereja sesudahnya, dengan adanya atrium, yaitu semacam inner court dengan bak

permandian di tengahnya.

Katakombe bagi orang Kristen sangat bersejarah, sebab para martir mereka dimakamkan di

situ. Penggunaan katakombe sebagai tempat kebaktian masih dipertentangkan, tapi dari

peninggalan serta pengaruh yang masih terasa, menunjukan bahwa orang Kristen pernah

melakukan ibadah di katakombe.

Gambar 2.1.3.1

b. Arsitektur Kristen Awal (awal abad 4 sampai akhir abad 5)

Pada tahun 313 Kaisar Konstantin mengumumkan deklarasi

Milan, yang berisi pengakuan terhadap agama Kristen. Sejak saat itu
agama Kristen dijadikan sebagai agama resmi Negara, dan dibuatkan gedung-gedung untuk

beribadah.

Bangunan gereja pada waktu itu mengambil bentuk basilica, yaitu gedung pertemuan dan

gedung pengadilan Romawi. Beberapa perubahan dilakukan untuk menyesuaikan

dengan kegiatan peribadatan mereka, misalnya pengurangan apsis dan

pemindahan pintu masuk utama, kemudian juga ditambahkan atrium dan bak permandian

yang merupakan pengaruh arsitektur rumah tinggal Romawi.

Contoh bangunan gereja pada masa Kristen awal adalah Basilika Santo Petrus di Roma,

yang merupakan modifikasi atas Basilika Romawi.

Arsitektur Kristen awal mengalami kemunduran sejak

kekaisaran Romawi terpecah menjadi Romawi Barat dan Romawi Timur pada akhir abad 4.

Pada tahun 476, Romawi Barat jatuh oleh serbuan bangsa Barbar. Sejak itu sampai 4 abad

sesudahnya, Romawi Barat mengalami zaman kegelapan (dark ages), dan perkembangan

peradaban termasuk arsitektur beralih ke wilayah Romawi Timur yang berpusat di

Konstantinopel.

c. Arsitektur Byzantium (abad 4 sampai abad 15)

Pada masa pemerintahannya, Konstantin memindahkan ibukota kekaisaran ke

Byzantium, sebuah kota di wilayah Romawi


Timur. Ibukota baru ini kemudian dinamakan Konstantinopel

(sekarang Istambul).

Di wilayah Romawi Timur ini kemudian dibangun gereja- gereja dengan cirri khas :

denah memusat, dan atap kubah. Ketika Romawi Barat mengalami abad gelap, sebaliknya

Romawi Timur justru sedang dalam masa kejayaan.

Puncak keberhasilan arsitektur Byzantium terjadi dengan dibangunnya Hagia Sophia di

Konstantinopel pada tahun 532-537. bangunan ini masih berdiri megah hingga saat ini.

Gambar 2.1.3.2

Sampai berabad-abad kemudian, arsitektur Byzantium

berkembang dan membawa pengaruhnya ke bagian dunia lain. Pengaruh ini sampai

juga ke Rusia, dengan dibangunnya beberapa gereja bergaya Byzantium di Moskwa.


Pada tahun 1453, Turki merebut Konstantinopel. Kejayaan Romawi Timur telah berakhir, dan

berakhir pula dominasi arsitektur Byzantium selama lebih dari 10 abad telah memberikan

sumbangan terhadap arsitektur di Eropa dan Asia.

d. Arsitektur Romanesk (abad 8 sampai abad 12)

Setelah mengalami zaman kegelapan selama beberapa ratus tahun, maka pada sekitar abad

pertengahan arsitektur Romawi muncul lagi dan berkembang dengan corak baru, yang

disebut gaya romanesk.

Ciri khas arsitektur Romanesk adalah penggunaan busur/lengkung sebagai

penghubung kolom-kolom yang berjajar rapat. Pada masa ini diperkenalkan pula skala

shock pada bangunan gereja, yaitu ketinggian ruangan yang menyolok dibandingkan

dengan lebarnya, serta dibandingkan dengan ukuran tinggi

manusia.bentuk denah salib untuk bangunan gereja juga dimulai oleh arsitektur Romanesk.

Arsitektur Romanesk yang berpengaruh pada beberapa negara di Eropa Barat disebut

juga arsitektur pra-Gotik, karena merupakan peralihan atau perantara kea rah perkembangan

arsitektur Gotik, yang kelak akan menjadi puncak arsitektur Gereja.

Salah satu peninggalan arsitektur Romanesk yang tidak mudah dilupakan adalah

Katedral Pisa di kota Tuscany, Italia, yang dibangun pada tahun 1063-1118. bangunan ini

sangat terkenal,
karena sesaat setelah berdiri, terjadi penurunan tanah yang

mengakibatkan menaranya miring sampai sekarang.

e. Arsitektur Gotik (abad 12 sampai 16)

Gaya Gotik mulai berkembang di perancis, merupakan kelanjutan gaya Romanesk dengan

mengubah busur melengkung menjadi busur meruncing. Kalau gaya Romanesk yang

berkesan kokoh disebut “benteng Allah”, maka gaya Gotik yang ringan, runcing, tinggi,

dan cantik disebut “istana surga”.

Pengaruh Gotik ini kemudian melanda negara-negara Eropa lain seperti Spanyol, Inggris

Jerman, dan Italia Utara. Kemudian selama 400 tahun, gaya Gotik berkembang

sebagai puncak keberhasilan kesenian arsitektur gereja. Hal ini dimungkinkan

karena pada saat itu gereja sedang mendapat tempat terbaik di hati rakyat, sehingga seluruh

pekerjaan kesenian, yaitu seni pahat, lukis, arsitektur, semata-mata dipusatkan untuk

membangun rumah Allah.

Arsitektur Gotik juga menjadi saksi atas persatuan umat, sebab gereja-gereja Gotik

dibangun atas hasil kerjasama seluruh lapisan masyarakat. Kerjasama ini berbentuk

sumbangan sukarela berupa uang, benda, dan tenaga kerja dari penduduk kota dan desa.

Ketika terjadi krisis kewibawaan gereja pada abad 15, perkembangan arsitektur Gotik mulai

memudar. Paham humanisme yang melanda Eropa melahirkan Renaisans, yang membawa

arah baru, yang lebih bersifat duniawi.


f. Arsitektur Renaisans (abad 15 sampai abad 19)

Gambar 2.1.3.3

Lahirnya Renaisans pada abad 15 merupakan babak baru bagi arsitektur Eropa. Khususnya

arsitektur gereja. kesenian telah memisahkan diri dari gereja, dan menempuh jalannya sendiri

berdasarkan paham humanisme. Dengan demikian tidak tampak perkembangan arsitektur

gereja, sebab perhatian arsitektur sudah beralih ke bidang lain seperti gedung kesenian, istana

bangsawan, monumen, dan sebagainya.

Bangunan gereja yang paling menonjol pada zaman ini adalah Gereja santo Petrus di

Roma, Italia. Gereja raksasa ini dibangun pada tahun 1506-1626, sebagai hasil merombak

Basilika santo Petrus, yang telah ada sejak tahun 330. pembangunan gereja tersebut dilakukan

dalam beberapa tahap yang memakan waktu lebih dari seabad, dan melibatkan beberapa

arsitek besar, yaitu Bramante, Michelangelo Buonarroti dan Bernini.


Gereja santo Petrus yang saat ini menjadi kediaman Paus, yang merupakan pusat

“pemerintahan” untuk umat Katolik di seluruh dunia, yang disebut negara Vatikan.

Akhir arsitektur Renaisans ditandai oleh gaya Barok dan Rokoko, dengan cirri khas berupa

ornamen/ukiran yang rumit dan memnuhi semua bidang yang ada.

g. Arsitektur Eklektik

Setelah jenuh oleh gaya Barok dan Rokoko, yang ruwet, maka muncul kecenderungan

baru dalam dunia arsitektur yang disebut arsitektur Eklektik

Aliran Eklektik ini merupakan pengulangan dan penyempurnaan berbagai

gaya yang telah ada sebelumnya, yaitu gaya Renaisans, Gotik, Romanesk, dan seterusnya.

Demikian juga gereja-gereja yang dibangun pada abad 19, banyak yang menganut aliran

Eklektik dengan segala variasinya. Aliran ini antara lain melahirkan gaya Neo-Gotik yang

sempat menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, pada sekitar pergantian abad 19 ke

20.

Arsitektur Eklektik tidak bisa bertahan lama, sebab segera terdesak oleh kemajuan

teknologi, yang akhirnya melahirkan aliran modern. Tidak terkecuali arsitektur gereja,

bersamaan dengan timbulnya gerakan pembaruan gereja, ikut terdorong membangun gereja-

gereja baru yang mengikuti gaya arsitektur modern.


h. Arsitektur Modern (abad 20)

Abad 20 adalah abad yang membawa pembaruan di segala bidang. Revolusi Industri telah

menampakan buah, dengan dibuatnya berbagai mesin yang dapat menghasilkan berbagai

macam barang.

Dalam bidang bangunan, telah ditemukan beraneka jenis bahan serta system konstruksi

baru, yang memungkinkan manusia membangun berbagai ragam bangunan sesuai

dengan yang dikehendaki.

Maka lahirlah arsitektur modern, yang dilandasi oleh pemikiran modern

dan ditunjang oleh kemamuan teknologi modern pula. Hasilnya berupa bangunan-bangunan

dengan konsep ruang, bahan, struktur, dan system konstruksi yang serba baru.

Secara kebetulan pada awal abad 20, gereja mulai

menghembuskan semangat pembaruan, sehingga lahirnya aliran baru dalam bidang arsitektur

segera pula dapat diterima gereja. maka tidaklah mengherankan apabila banyak gereja baru

yang dibangun pada abad 20 ini mempunyai gaya yang sama sekali berbeda dengan gaya-

gaya yang ada sebelumnya.


i. Perkembangan Arsitektur Gereja di Indonesia

Gereja yang mula-mula dibangun di Indonesia menggunakan gaya Eklektik, sesuai dengan

langgam yang sedang digemari di Eropa pada saat yang sama. Namun demikian, pada

daerah-daerah terpencil, pada misionaris justru berusaha mengadaptasi unsure- unsur

tradisional setempat, sehingga lahirlah bangunan-bangunan gereja yang menggunakan bentuk

arsitektur tradisional.

Gereja di kota-kota besar kebanyakan adalah gereja-gereja yang dibangun orang-orang

Kristen berkebangsaan Eropa yang pada waktu itu banyak tingal di ibukota propinsi dan kota-

kota besar lainnya, terutama di Jawa.

Gambar 2.1.3.4

Sekarang ini masih dapat kita saksikan berupa katedral- katedral yang terdapat di Jakarta,

Bogor, Bandung, Surabaya, dan lain-lain, yang dibangun antara tahun 1900-1930.

kebanyakan katedral (gereja) tersebut menggunakan gaya Neo-Gotik atau cabang gaya

Eklektik lainnya yang sedang melanda Eropa papa waktu itu.


Gambar 2.1.3.5

Gereja di daerah kebanyakan adalah gereja-gereja yang dibangun di pelosok-pelosok, di

tengah jamaah pribumi yang telah berhasil dipermandikan oleh para misionaris pada awal

abad 20. Gereja-gereja ini kebanyakan menggunakan arsitektur tradisional setempat.

Sampai sekarang jenis gereja seperti ini banyak di jumpai di wilayah-wilayah gereja di

Indonesia Timur atau di pelosok-pelosok Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Gereja-gereja baru yang dibangun saat ini mempunyai perbedaan yang cukup mencolok

dibandingkan dengan gereja-gereja yang telah ada sebelumnya. Selain menggunakan bahan

bangunan dan sistem struktur modern, juga dilakukan penyederhanaan tata ruang sesuai

dengan semangat pembaruan gereja. Gereja baru seperti ini jumlahnya belum begitu

banyak, hanya terdapat di kota-kota besar, yang dibangun pada tahun 70-an.
BAB II. PENINJAUAN GPIB JEMAAT ZEBULON

1. LOKASI TAPAK

Gereja protestan GPIB JEMAAT ZEBULON beralamat di Jl. Tiban V, Patam Lestari, Sekupang,
Kota Batam, Kepulauan Riau 29426, Indonesia. Gereja ini berseberangan dengan Gereja
Katolik Kerahiman Ilahi.
2. RUANG DALAM GEREJA GPIB JEMAAT ZEBULON

Dalam lingkungan GPIB JEMAAT ZEBULON terdapat ruang-ruang sebagai berikut :

1. Ruang Ibadah Utama

2. Ruang Ibadah Anak

3. Ruang Konseling

4. Ruang Sound system

5. Ruang Ibu dan Anak

6. Ruang Pemusik

7. Ruang Tidur Pengerja

8. Ruang Kantor / Persiapan Pendeta

9. Parkiran
1. Ruang Berkumpul (Gathering space)
Ruang berkumpul adalah merupakan satu ruang liturgis utama yang dibutuhkan,
karena komunitas Kristen perlu berkumpul untuk beribadah sebagai sebuah kegiatan
jemaat yang paling penting. Hal ini tebukti dari gereja mula-mula yang cukup bergairah
beribadah, dan itu menumbuhkan semangat bersaksi bahkan martir demi Kristus.
Ruang ini adalah ruang jemaat yang memiliki ukuran yang besar. Ruang berkumpul
-menurut James White- merupakan tanda dikhususkannya persekutuan itu dari dunia
luar yang di dalamnya individu-individu menjadi suatu persekutuan.

Dengan demikian ruang berkumpul bagi jemaat memiliki makna yang sangat
mendalam dan teologis. Tetapi harus diwaspadai agar jangan terjadi pengkultusan
ruang berkumpul tersebut, yang akhirnya menimbulkan sikap eksklusif dari jemaat, dan
memisahkan ibadah dalam ruang berkumpul dengan aktifitas hidup sehari-hari.
Jemaat sebagai Tubuh Kristus memang dikhususkan mengabdi kepada Kristus, tetapi
dalam pengabdian itu justru jemaat diutus ke dalam dunia untuk mengemban misi
Allah untuk menjaga dan memelihara kehidupan yang telah Dia berikan.
2. Ruang Untuk Bergerak (Movement Space )
Ruang untuk bergerak penting, sebab ibadah Kristen bukanlah ibadah yang statis
tetapi menuntut gerak. Seluruh aktivitas dalam ibadah seperti berdoa, bernyanyi,
prosesi, baptisan, ekaristi, persembahan, semuanya melibatkan gerakan yang
berlanjut dari awal hingga akhir ibadah dan untuk itu membutuhkan penataan bangku-
bangku, lorong-lorong di antara bangku serta persimpangan jalan.
Penataan bangku dan lorong di antara bangku-bangku penting, karena hal ini banyak
mempengaruhi suasana ibadah. Apabila jemaat duduk dengan penataan bangku yang
baik maka kemungkinan besar mereka akan mengikuti alur liturgi dengan tenang dan
baik.

3. Ruang Paduan Suara (Choir space).


Ruang paduan suara merupakan ruang liturgis tersulit bagi arsitektur gereja,

khususnya jika ada ketidakpastian tentang peran paduan suara dalam ibadah. Apabila
paduan suara berperan hanya sesekali untuk menggantikan nyanyian jemaat pada
bagian liturgi, ada yang berpendapat sebaiknya ruang khusus untuk paduan suara
tidak perlu ditata khusus, sebab mereka bukanlah untuk menunjukkan suatu konser
melalui nyanyian mereka. Tempat duduk mereka dapat bergabung dengan anggota
jemaat. Tetapi apabila paduan suara berperan bersama-sama dengan pemain musik
untuk memandu nyanyian jemaat, memang dibutuhkan ruang khusus bagi mereka dan
ditempatkan bersama-sama dengan pemain musik.
Dengan kata lain, peran utama atau peran-peran yang diembankan kepada paduan
suara akan menentukan lokasi dan rancang bangun tipe ruang ini.

4. Ruang Pembaptisan ( Baptismal space )


Tempat pembaptisan sering dipahami sebagai sebuah bak air atau kolam baptisan.
Karena dalam ibadah baptisan telah menjadi upacara pribadi yang dilayankan di suatu
sudut gereja. Ini menyebabkan jemaat kurang berfikir tentang arti ruang pembaptisan.
Baptisan pada dasarnya adalah tindakan seluruh persekutuan, bukan hanya karena
tindakan itu
memperbanyak
jumlah anggota
jemaat, tetapi
karena baptisan
menjadi saksi atas
fakta bahwa orang
yang dibaptis
(bersama-sama
dengan anggota
jemaat yang lain
sebagai bagian dari
satu tubuh Kristus)
telah masuk ke dalam persekutuan dalam kematian dan kebangkitan Kristus ( Rm 6: 3-
10 ).
Jadi baptisan melibatkan saluruh komunitas jemaat dan lingkungan keluarga yang
lebih dekat serta para pendukung yang berkumpul sebagai sentral cinta kasih khusus
di sekitar seseorang yang dibaptiskan. Dalam pengertian ruang, hal ini membutuhkan
ruang untuk para calon dan peserta baptisan tanpa menghalangi partisipasi seluruh
jemaat. Ada gereja yang menyediakan kamar khusus untuk menerima baptisan yang
disebut kapel, tetapi bertolak dari pemahaman tentang baptisan sebagaimana
diungkapkan di atas, pemisahan calon baptisan dari persekutuan jemaat secara
keseluruhan tidak memiliki dasar teologis yang benar.

5. Ruang Meja Altar ( Altar Table Space )


Biasanya ruang ini merupakan ruang paling mencolok di dalam gedung gereja, yang
sering mengaburkan jemaat akan perannya adalah untuk melayani, bukan
mendominasi. Altar bukanlah merupakan sentral arsitektur bangunan gereja atau
dipahami se
bagai simbol Kristus. Bahkan ruang ini menjadi tempat di gereja yang tidak pernah
didekati umat, mungkin dianggap memiliki makna magis. Ruang itu tetap lebih tinggi
dan jauh dari tempat duduk anggota jemaat.
Karena peran ruang meja altar adalah untuk melayani maka perlu menghindari
penghalang-penghalang seperti ketinggian yang berlebihan, kesilauan karena sinar
langsung, perabotan yang terlalu besar ukurannya, pagar atau semacam pembatas
yang membuat ruangan ini sebagai tempat suci yang terpencil dan terpisah. Ruang
meja altar, memiliki fungsi bukan hanya sebagai tempat altar yang di atasnya
diletakkan Alkitab, buku nyanyian ataupun perlengkapan sakramen, tetapi juga
sebagai tempat untuk memimpin ibadah sehingga kelihatan dengan jelas kepada
jemaat.

6. Ruang Konsistori
Hampir semua gereja menyediakan tempat seperti ini. Di Jerman tempat ini disebutkan
dengan “Sakritei” (berasal dari kata Sacretarium atau tempat yang tersembunyi).
Tempat ini digunakan untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan
dengan pelaksanaan ibadah, juga sebagai tempat penggembalaan bagi orang-orang
yang membutuhkannya setelah ibadah selesai atau pada waktu-waktu tertentu.
Umumnya ruang ini ditempatkan di bagian sudut belakang gedung gereja.
Dari komponen-komponen ruang ibadah yang telah diuraikan di atas terlihat hal yang
mendasar dalam ibadah Kristen adalah persekutuan (perkumpulan) jemaat yang
menggambarkan kesatuan di dalam Tubuh Kristus sebagai pusat ibadah Kristen.
Karena itu tata ruang bangunan, yang ditata sebagai ruang berkumpul (pertemuan)
mesti mempertimbangkan hal-hal yang memungkinkan orang yang beribadah terlibat
aktif dalam kegiatan ibadah.

Tata Ruang Ibadah Yang Bermutu Dan Serasi


Ibadah adalah suatu tindakan yang melibatkan seluruh pribadi manusia : tubuh,
perasaan, imajinasi, emosi, ingatan, hati, dengan kata lain totalitas manusia. Karena
ibadah dilakukan dalam ruang tertentu, tidak bisa disangkal bahwa mutu dan
keserasian ruang liturgis turut mempengaruhi pribadi seseorang berpartisipasi di
dalam ibadah. Untuk itu sangat penting diperhatikan mutu dan keserasian ruang
liturgis.
Mutu yang dimaksudkan di sini bukan hanya menyangkut kwalitas atau mahal tidaknya
bahan yang dipergunakan untuk membuat komponen-komponen ruang liturgis yang
ada, tetapi sejauh mana ruang itu “berbicara” kepada umat dan membangkitkan
semangat gairah untuk senantiasa semakin menghayati makna persekutuan dalam
ibadah itu di tengah kehidupannya sebagai pribadi maupun komunitas.
Itu berarti bahwa jemaat hadir dalam ruang ibadah bukan hanya untuk saling
mengatakan sesuatu, atau apa arti dari sesuatu dalam persekutuan itu, tetapi melalui
semua komponen ruang ibadah tersebut mereka belajar memahami pesan yang
ditimbulkan oleh bentuk ruang ibadah itu bagi pertumbuhan spiritualitas mereka.
Gedung gereja atau ruang ibadah bukan sekedar tempat ibadah, tetapi juga
mengandung kesan kehadiran Allah dan sebagai tempat berkumpul.
Sedangkan keserasian adalah komponen ruang ibadah dan yang ada di dalamnya
mampu melayani liturgi. Apakah ruang ibadah serasi melayani doa jemaat? Apakah
tata cahaya diatur sedemikian rupa sehingga menunjang kekhusukan beribadah?
Apakah ruang ibadah menarik, ramah, manusiawi? Ruangan yang serasi dengan
bahan-bahan liturgis yang ada di dalamnya mengangkat semangat insani.
Bertolak dari pemahaman di atas penulis menawarkan tata ruang ibadah yang
menurut pertimbangan penulis dapat memenuhi kriteria di atas.

1. Tempat duduk
Ruang ibadah harus dibedakan dengan teater. Dalam teater yang penting hanyalah
bahwa orang dapat melihat ke satu titik (panggung). Lain halnya dengan ibadah.
Dalam ibadah penting diperhatikan bahwa umat juga dapat melihat satu sama lain,
bukan hanya melihat tengkuk salah seorang yang berada di depannya. Masing-masing
anggota jemaat tidak merasa terlalu jauh dari apa yang sedang berlangsung dalam
ibadah, sebab yang sedang berlangsung itu dilakukan secara bersama-sama; dalam
ruangan tersebut orang dapat bergerak dengan leluasa.
Karena itu tempat duduk ditata sedemikian rupa sehingga umat sungguh merasa
dirinya sebagai bagian satu jemaat dan dapat dengan mudah melibatkan diri dalam
ibadah. Untuk itu bentuk dan susunan tempat duduk jemaat sebaiknya melingkar,
sehingga mereka dapat saling memandang dan mengenal satu sama lain. Jika
anggota jemaat jumlahnya sedikit dapat difikirkan ibadah tanpa kursi yaitu duduk di
tikar seperti biasa dilakukan dalam kebaktian rumah tangga. Dalam kaitan itu, tempat
duduk bagi para pelayan dirancang dan diatur sedemikian rupa, sehingga nampak
bahwa merupakan bagian utuh dari jemaat yang berhimpun. Penempatannya juga
haruslah sedemikian rupa, sehingga dapat dilihat dengan mudah oleh umat.
Konkritnya, karena bentuk tempat duduk jemaat melingkar, baiklah tempat duduk
pelayan ditempatkan di antara tempat duduk jemaat. Tidak perlu mempersiapkan jenis
tempat duduk yang khusus bagi pelayan yang berbeda dari tempat duduk jemaat,
sebab hal itu juga menimbulkan kesan bahwa pelayan tersebut memiliki kelas atau
tingkat derajat kemanusiaan yang lebih tinggi dari jemaat.

2. Tempat Pemberitaan Firman (Homili)


Bagi gereja-gereja Lutheran, ada yang unik mengenai letak atau tempat untuk
memberitakan Firman. Tempat itu sedikit agak ditinggikan dan tersendiri jauh dari
tempat duduk jemaat. A.A. Sitompul mengatakan bahwa makna penempatan
sedemikian menandakan bahwa pusat dari ibadah itu adalah pemberitaan Firman
Tuhan dan bahwa Firman Tuhan yang memiliki posisi yang tertinggi dalam kehidupan
jemaat. Memang sentralitas Firman Tuhan diakui dalam ibadah, tetapi membuat
tempat menyampaikan Firman lebih tinggi dan jaraknya jauh ( 4-5 meter) dari jemaat
justru mengganggu efektifitas penerimaan jemaat atas homili yang disampaikan.
Jemaat akan merasa ada jarak antara pelayan dengan mereka, ditambah lagi
perhatian bisa terganggu karena harus mengarahkan mata ke atas di mana pelayan
menyampaikan Firman Tuhan.
Bila bentuk tempat duduk jemaat sudah dibuat melingkar, sebaiknya tempat pelayan
menyampaikan Firman berada di pusat lingkaran, dan bentuk podiumnya dirancang
sedemikian rupa sehingga pelayan bisa leluasa bergerak menyapa anggota jemaat.

3. Altar
Altar dirancang dan dibuat seanggun dan seindah mungkin. Di meja altar inilah
diletakkan roti, anggur, buku-buku yang dipakai dalam ibadah umum ataupun khusus.
Ukurannya hendaknya tidak terlalu panjang/besar, tetapi harus menarik, anggun,
berwibawa. Kain yang digunakan untuk menutup altar disesuaikan dengan tahun
gerejawi dan tata warna liturgi.

Tiga hal yang telah dipaparkan di atas merupakan bagian yang penting diperhatikan
dalam merancang dan membangun sebuah gedung gereja. Hal-hal tersebut di atas
tidak mengharuskan gedung gereja yang megah dan menakjubkan, tetapi yang paling
penting adalah bagaimana arsitektur gereja dirancang untuk fungsi pelayanan. Dan
satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah gereja berfungsi bukan hanya pada hari
Minggu, tetapi juga pada hari-hari biasa. Karena itu ruang gereja perlu dibuka, untuk
melayani setiap orang setiap hari.

You might also like