You are on page 1of 15

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN INTENSIF

1. Konsep Dasar Penyakit


a. Definisi
Penyakit jantung rematik adalah penyakit yang ditandai dengan kerusakan pada
katup jantung akibat serangan karditis rematik akut yang berulang kali (Arif
Manjoer, 2002).

Rheumatic fever adalah suatu penyakit inflamasi akut yang diakibatkan oleh
infeksi streptococcus β hemolitik grup A pada tenggorokan (faringitis), tetapi
tanpa disertai infeksi lain atau tidak ada infeksi streptokokus di tempat lain seperti
di kulit. Karakteristik rheumatic fever cenderung berulang (recurrence) (Udjianti,
2010).

Penyakit Jantung Reumatik (PJR) atau bahasa medisnya Reumatic Heart Disease
(RHD) adalah suatu proses peradangan yang mengenai jaringan – jaringan
penyokong tubuh, terutama, jatung dan pembuluh darah oleh organisme
streptococcus hemolitic-b grup A (Nurarif, 2015).
b. Anatomi fisiologi
1. Jantung
Berukuran sekitar satu kepalan tangan dan terletak didalam dada, batas
kanannya terdapat pada sternum kanan dan apeksnya pada ruang intercostalis
kelima kiri pada linea midclavicular. Jantung terletak didalam rongga
mediastinum dari rongga dada (toraks), diantara kedua paru. Selaput yang
mengitari jantung disebut perikardium, yang terdiri atas 2 lapisan:
a. Perikardium parietalis, yaitu lapisan luar yang melekat pada tulang dada
dan selaput paru
b. Perikardium viseralis, yaitu lapisan permukaan dari jantung itu sendiri,
yang juga disebutepikardium.

Diantara kedua lapisan selaput tersebut, terdapat sedikit cairan pelumas yang
berfungsi mengurangi gesekan yang timbul akibat gerak jantung saat
memompa.Cairan ini disebut cairan perikardium.
Hubungan jantung adalah:
a. Atas : pembuluh darah besar
b. Bawah : diafragma
c. Setiap sisi : paru
d. Belakang : aorta desendens, oesophagus, columna vertebralis
2. Struktur Jantung
Dinding jantung terdiri dari 3 lapisan, yaitu:
a. lapisan luar disebut epikardium atau perikardium viseralis.
b. lapisan tengah merupakan lapisan berotot disebut miokardium.
c. lapisan dalam disebut endokardium.

Gambar 1. Jantung

Jantung terdiri atas 4 ruang, yaitu 2 ruang yang berdinding tipis disebut atrium
(serambi), dan 2 ruang yang berdinding tebal disebut ventrikel (bilik).
a. Atrium
Atrium kanan berfungsi sebagai penampung (reservoir) darah yang rendah
oksigen dari seluruh tubuh. Darah tersebut mengalir melalui vena kava
superior, vena kava inferior, serta sinus koronariusyang berasal dari
jantung sendiri. Kemudian darah dipompakan ke ventrikel kanan dan
selanjutnya ke paru. Atrium kiri menerima darah yang kaya oksigen dari
kedua paru melalui 4 buah vena pulmonalis.Kemudian darah mengalir ke
ventrikel kiri dan selanjutnya ke seluruh tubuh melalui aorta.
b. Ventrikel
Ventrikel kanan menerima darah dari atrium dan dipompakan ke paru-pary
melalui arteri pulmonalis. Ventrikel kiri menerima darah dari atrium kiri
dan dipompakan ke seluruh tubuh melalui aorta.
Kedua ventrikel ini dipisahkan oleh sekat yang disebut septum
ventrikel.Permukaan dalam ventrikel memperlihatkan alur-alur otot yang
disebut trabekula.Beberapa alur tampak menonjol yang disebut muskulus
papilaris.Ujung muskulus papilaris dihubungkan dengan tepi daun katup
atrioventrikuler oleh serat-serat yang disebut korda tendinae.
3. Katup - katup Jantung
a. Katup atrioventrikuler
Oleh karena letaknya antara atrium dan ventrikel, maka disebut katup
atrioventrikuler.Katup yang terletak diantara atrium kanan dan ventrikel
kanan mempunyai tiga buah daun katup, disebut katup
trikuspid.Sedangkan katup yang letaknya diantara atrium kiri dan
ventrikel kiri mempunyai dua buah daun katup, disebut katup
bikuspid/mitral. Katup atrioventrikuler memungkinkan darah mengalir
dari masing-masing atrium ke ventrikel pada fase diastole ventrikel, dan
mencegah aliran balik pada saat sistole ventrikel (kontraksi).
b. Katup semilunar
Katup pulmonal terletak pada arteri pulmonalis, memisahkan pembuluh
ini dari ventrikel kanan.Katup aorta terletak antara ventrikel kiri dan
aorta. Kedua katup semilunar ini mempunyai bentuk yang sama, terdiri
dari 3 daun katup yang simetris disertai penonjolan menyerupai corong
yang dikaitkan dengan sebuah cincin serabut. adanya katup semilunar
memungkinkan darah mengalir dari masing-masing ventrikel ke arteri
pulmonalis atau aorta selama sistole ventrikel, dan mencegah aliran
balik waktu diastole ventrikel.
Pembukaan katup terjadi pada waktu masing-masing ventrikel
berkontraksi, dimana tekanan ventrikel lebih tinggi daripada tekanan di
dalam pembuluh – pembuluh arteri. Di sebelah atas daun katup terdapat
tiga buah penonjolan dinding aorta, yang disebut sinus valsava. Muara
arteri koronaria terletak pada tonjolan-tonjolan ini.Sinus-sinus tersebut
berfungsi melindungi muara koroner dari penyumbatan oleh daun katup
pada waktu aorta terbuka.
c. Etiologi
Penyebab terjadinya penyakit jantung rematik diperkirakan adalah reaksi autoimun
(kekebalan tubuh) yang disebabkan oleh demam rematik. Infeksi streptococcus β
hemolitikus grup A pada faring selalu mendahului terjadinya demam rematik baik
demam rematik serangan pertama maupun demam rematik serangan ulang.
Telah diketahui bahwa dalam hal terjadi demam rematik terdapat beberapa
predisposisi antara lain:
1. Faktor genetik
Adanya antigen limfosit manusia (HLA) yang tinggi. HLA terhadap demam
rematik menunjukkan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal
dengan antibody monoclonal dengan status reumatikus.
2. Umur
Demam rematik sering terjadi antara umur 5-15 tahun, dengan puncak sekitar
umur 8 tahun dan jarang pada umur kurang dari 2 tahun atau setelah 20 tahun.
3. Keadaan sosial
Sering terjadi pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi kurang dengan
penghuni yang padat serta udara yang lembab dan gizi serta kesehatan yang
kurang baik.
4. Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian
dindingsel streptococcus β hemolitikus grup A dengan glikoprotein dalam
katub mungkin ini mendukung terjadinya miokarditis dan valvulitis pada
reumatik fever.
5. Iklim dan geografi
Demam rematik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak
didapatkan di daerah yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini
menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai insiden yang tinggi. Di
daerah yang letaknya agak tinggi insiden demam rematik lebih tinggi daripada
di dataran rendah.
6. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan infeksi saluran napas
bagian atas meningkat, sehingga insiden demam rematik juga meningkat
(Nurarif, 2015).
d. Manifestasi klinis
1) Kriteria mayor
a) Poliatrhritis : Pasien dengan keluhan sakit pada sendi yang berpindah –
pindah, radang sendi – sendi besar, lutut, pergelangan kaki, pergelangan
tangan, siku (poliatritis migran).
b) Karditis : Peradangan pada jantung (miokarditis, endokarditis).
c) Eritema Marginatum : Tanda kemerahan pada batang tubuh dan telapak
tangan yang tidak gatal.
d) Nodul subkutan : Teletak pada permukaan ekstensor sendi terutama siku,
ruas jari, lutut, persendian kaki; tidak nyeri dan dapat bebas bergerak.
e) Khorea Syndendham : Gerak yang tidak disengaja / gerak abnormal,
sebagai manifestasi peradangan pada sistem saraf pusat.
2) Kriteria minor
a) mempunyai riwayat mederita demam reumatik atau penyakit jantung
reumatik.
b) Demam tidak melebihi dari 39ºC
c) Leukositosis
d) Artraliga atau nyeri sendi tanpa adanya tanda objektif pada sendi; pasien
kadang – kadang sulit menggerakkan tungkainya
e) Peningkatan laju endapan darah (LED)
f) C-Reaktif Protein (CRP) positif
g) P-R interval memanjang
h) Peningkatan pulse atau denyut jantung saat tidur
i) Peningkatan Anti Streptolisin O (ASTO) (Nurarif, 2015).
e. Patofisiologi
Terjadinya jantung rematik disebabkan langsung oleh demam rematik, suatu
penyakit sistemikyang disebabkan oleh infeksi streptococcus β grup A. demam
rematik mempengaruhi semua persendian, menyebabkan poliartritis. Jantung
merupakan organ sasaran dan merupakan bagian yang kerusakannya paling keras.
Kerusakan jantung dan lesi sendi bukan disebabkan akibat infeksi, artinya jaringan
tersebut tidak mengalami infeksi atau secara langsung dirusak oleh organisme
tersebut, namun hal ini merupakan fenomena sensitivitas atau reaksi yang terjadi
sebagai respon terhadap streptokokus hemolitikus. Leukosit darah akan tertimbun
pada jaringan yang terkena dan membentuk nodul, yang kemudian akan diganti
dengan jaringan parut. Terjadinya proses inflamasi pada miokardium dan
pericardium dapat menyebabkan miokarditis rematik dan pericarditis rematik
tanpa meninggalkan gejala sisa yang serius. Namun sebaliknya endocarditis
rematik mengakibatkan efek samping kecacatan permanen.

Endocarditis rematik secara anatomis dimanifestasikan dengan adanya tumbuhan


kecil yang transparan, yang menyerupai manik dengan ukuran sebebsar kepala
jarum pentul, tersusun dalam deretan sepanjang tepi bilah katup. Akibatnya terjadi
proses yang secara bertahap menebalkan bilah-bilah katup, menyebabkan menjadi
memendek dan menebal disbanding yang normal, sehingga tidak dapat menutup
dengan sempurna. Terjadilah kebocoran, suatu keadaan yang disebut regurgitasi
katup. Tempat yang paling sering mengalami regurgitasi katup adalah katup
mitral.
f. Pathway
Terlampir
g. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada Penyakit Jantung Reumatik (PJR) diantaranya
adalah gagal jantung, pankarditis (infeksi dan peradangan di seluruh bagian
jantung), pneumonitis reumatik (infeksi paru), emboli atau sumbatan pada paru,
kelainan katup jantung, dan infark (kematian sel jantung).
1) Dekompensasi Cordis
Peristiwa dekompensasi cordis pada bayi dan anak menggambarkan
terdapatnya sindroma klinik akibat myocardium tidak mampu memenuhi
keperluan metabolic termasuk pertumbuhan. Keadaan ini timbul karena kerja
otot jantung yang berlebihan, biasanya karena kelainan struktur jantung,
kelainan otot jantung sendiri seperti proses inflamasi atau gabungan kedua
faktor tersebut. Pada umumnya payah jantung pada anak diobati secara klasik
yaitu dengan digitalis dan obat-obat diuretika. Tujuan pengobatan ialah
menghilangkan gejala (simptomatik) dan yang paling penting mengobati
penyakit primer.
2) Pericarditis
Peradangan pada pericard visceralis dan parietalis yang bervariasi dari reaksi
radang yang ringan sampai tertimbunnnya cairan dalam cavum pericard
(Udjianti, 2010).
h. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Dari pemeriksaan laboratorium darah didapatkan peningkatan ASTO,
peningkatan LED (Laju Endap Darah), terjadi leukositosis dan penurunan
hemoglobin.
2. Radiologi
Pada pemeriksaan foto thoraks menunjukkan terjadinya pembesaran jantung.
3. Pemeriksaan echocardiogram
Menunjukkan pembesaran pada jantung dan terdapat lesi.
4. Pemeriksaan elektrokardiogram
Menunjukkan interval P-R memanjang.
5. Hapusan tenggorokan ditemukan streptococcus β hemolitikus grup A (Nurarif,
2015).
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan demam rematik aktif atau reaktivasi kembali diantaranya adalah:
1. Tirah baring dan mobilisasi secara bertahap
2. Pemberantasan terhadap kuman streptokokus dengan pemberian antibiotik
penisilin atau eritromisin. Untuk profilaksis atau pencegahan dapat diberikan
antibiotic penisilin benzatin atau sulfadiazine
3. Antiinflamasi seperti salisilat dapat dipakai pada demam rematik tanpa
karditis
Karena demam rematik berhubungan erat dengan radang streptococcus β
hemolitikus grup A, maka pemberantasan dan pencegahan ditujukan pada radang
tersebut dapat berupa:
1. Eradiksi kuman streptococcus β hemolitikus grup A
Pengobatan adekuat harus dimulai secepatnya pada demam rematik dan
dilanjutkan dengan pencegahan. Eritromocin diberikan kepada mereka yang
alergi terhadap penisilin
2. Obat anti rematik
Baik kortikosteroid maupun salisilat diketahui sebagai obat yang berguna
untuk mengurangi atau menghilangkan gejala-gejala radang akut pada demam
rematik
3. Diet
Makanan yang cukup kalori, protein, dan vitamin
4. Istirahat
Dianjurkan sampai tanda-tanda inflamasi hilang dan bentuk jantung mengecil
pada kasus kardiomegali. Pada kasus plus karditis, lama istirahat rata-rata 3
minggu-3 bulan tergantung pada berat ringannya kelainan yang ada serta
kemajuan perjalanan penyakit.
5. Obat-obat lain
Diberikan sesuai dengan kebutuhan. Pada kasus dengan dekompensasi kordis
diberikan digitalis, diuretic, dan sedative. Bila ada khorea diberikan largactil
dan lain-lain (Sudarta, 2008).
2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Intensif
a. Pengkajian
1) B 1 : Breathing (Pernafasan/Respirasi)
a. Pola napas : Dinilai kecepatan, irama, dan kualitas.
b. Bunyi napas: Bunyi napas normal; Vesikuler, broncho vesikuler.
c. Penurunan atau hilangnya bunyi napas dapat menunjukan adanya
atelektasis, pnemotorak atau fibrosis pada pleura.
d. Rales (merupakan tanda awal adanya CHF. emphysema) merupakan
bunyi yang dihasilkan oleh aliran udara yang melalui sekresi di dalam
trakeobronkial dan alveoli.
e. Ronchi (dapat terjadi akibat penurunan diameter saluran napas dan
peningkatan usaha napas)
f. Bentuk dada : Perubahan diameter anterior – posterior (AP) menunjukan
adanya COPD
g. Ekspansi dada : Dinilai penuh / tidak penuh, dan kesimetrisannya.
h. Ketidaksimetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi pada
paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pnemotoraks, atau
penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang tepat.
i. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : Retraksi dari otot-otot
interkostal, substrernal, pernapasan abdomen, dan respirasi paradoks
(retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-
otot interkostal tidak mampu menggerakan dinding dada.
j. Sputum.
Sputum yang keluar harus dinilai warnanya, jumlah dan konsistensinya.
Mukoid sputum biasa terjadi pada bronkitis kronik dan astma bronkiale;
sputum yang purulen (kuning hijau) biasa terjadi pada pnemonia,
brokhiektasis, brokhitis akut; sputum yang mengandung darah dapat
menunjukan adanya edema paru, TBC, dan kanker paru
k. Selang oksigen
Endotrakeal tube, Nasopharingeal tube, diperhatikan panjangnya tube
yang berada di luar.
l. Parameter pada ventilator
a. Volume Tidal
b. Normal : 10 – 15 cc/kg BB.
c. Perubahan pada uduma fidal menunjukan adanya perubahan status
ventilasi penurunanvolume tidal secara mendadak menunjukan
adanya penurunan ventilasi alveolar, yang akan meningkat PCO2.
Sedangkan peningkatan volume tidal secara mendadak menunjukan
adanya peningkatan ventilasi alveolar yang akan menurunkan PCO2.
d. Kapasitas Vital : Normal 50 – 60 cc / kg BB
e. Minute Ventilasi
f. Forced expiratory volume
g. Peak inspiratory pressure
2) B 2 : Bleeding (Kardiovaskuler / Sirkulasi)
a. Irama jantung : Frekuensi ..x/m, reguler atau irreguler
b. Distensi Vena Jugularis
c. Tekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat dari penggunaan ventilator
d. Bunyi jantung : Dihasilkan oleh aktifitas katup jantung
a) S1 : Terdengar saat kontraksi jantung / sistol ventrikel. Terjadi akibat
penutupan katup mitral dan trikuspid.
b) S2 : Terdengar saat akhir kotraksi ventrikel. Terjadi akibat penutupan
katup pulmonal dan katup aorta.
c) S3 : Dikenal dengan ventrikuler gallop, manandakan adanya dilatasi
ventrikel.
e. Murmur : terdengar akibat adanya arus turbulansi darah. Biasanya
terdengar pada pasien gangguan katup atau CHF.
f. Pengisian kapiler : normal kurang dari 3 detik
g. Nadi perifer : ada / tidak dan kualitasnya harus diperiksa. Aritmia dapat
terjadi akibat adanya hipoksia miokardial.
h. PMI (Point of Maximal Impuls): Diameter normal 2 cm, pada interkostal
ke lima kiri pada garis midklavikula. Pergeseran lokasi menunjukan
adanya pembesaran ventrikel pasien hipoksemia kronis.
i. Edema : Dikaji lokasi dan derajatnya.
3) B 3 : Brain (Persyarafan/Neurologik)
Tingkat kesadaran
a. Penurunan tingkat kesadaran pada pasien dengan respirator dapat terjadi
akibat penurunan PCO2 yang menyebabkan vasokontriksi cerebral.
Akibatnya akan menurunkan sirkulasi cerebral.
b. Untuk menilai tingkat kesadaran dapat digunakan suatu skala pengkuran
yang disebut dengan Glasgow Coma Scale (GCS).
c. GCS memungkinkan untuk menilai secara obyektif respon pasien
terhadap lingkungan. Komponen yang dinilai adalah : Respon terbaik
buka mata, respon motorik, dan respon verbal. Nilai kesadaran pasien
adalah jumlah nilai-nilai dari ketiga komponen tersebut.
d. Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang
terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan
menjadi :
e. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
f. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
g. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
h. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih
bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal.
i. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri.
j. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
k. Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor,
termasuk perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan,
kekurangan oksigen karena berkurangnya aliran darah ke otak, dan
tekanan berlebihan di dalam rongga tulang kepala.
l. Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese
serebral atau sistem aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan
tingkat kesadaran berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas
(kecacatan) dan mortalitas (kematian).
m. Jadi sangat penting dalam mengukur status neurologikal dan medis
pasien. Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital
sign.
n. GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai
tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak)
dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.
o. Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi
membuka mata , bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam
derajat (score) dengan rentang angka 1 – 6 tergantung responnya.
p. Eye (respon membuka mata) :
1. (4) : spontan
2. (3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
3. (2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya
menekan kuku jari)
4. (1): tidak ada respon
q. Verbal (respon verbal) :
1. (5) : orientasi baik
2. (4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang )
disorientasi tempat dan waktu.
3. (3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas,
namun tidak dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)
4. (2) : suara tanpa arti (mengerang)
5. (1): tidak ada respon
r. Motor (respon motorik) :
1. (6) : mengikuti perintah
2. (5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi
rangsang nyeri)
3. (4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi
stimulus saat diberi rangsang nyeri)
4. (3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada
& kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
5. (2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh,
dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
6. (1): tidak ada respon
s. Hasil pemeriksaan kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol
E…V…M…
t. Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15
yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.
u. Refleks pupil
v. Reaksi terhadap cahaya (kanan dan kiri)
w. Ukuran pupil (kanan dan kiri; 2-6mm)
x. Dilatasi pupil dapat disebabkan oleh : stress/takut, cedera neurologis
penggunaan atropta, adrenalin, dan kokain. Dilatasi pupil pada pasien
yang menggunakan respirator dapat terjadi akibat hipoksia cerebral.
a. Kontraksi pupil dapat disebabkan oleh kerusakan batang otak,
penggunaan narkotik, heroin.
4) B 4 : Bladder (Perkemihan – Eliminasi Uri/Genitourinaria)
a. Kateter urin
b. Urine : warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine.
c. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi
akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
d. Distesi kandung kemih
5) B 5 : Bowel (Pencernaan – Eliminasi Alvi/Gastrointestinal)
a. Rongga mulut
b. Penilaian pada mulut adalah ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan
pada lidah dapat menunjukan adanya dehidarsi.
c. Bising usus
d. Ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum
melakukan palpasi abdomen. Bising usus dapat terjadi pada paralitik ileus
dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit.
Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya udara yang
berasal dari sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal.
e. Distensi abdomen
f. Dapat disebabkan oleh penumpukan cairan. Asites dapat diketahui
dengan memeriksa adanya gelombang air pada abdomen. Distensi
abdomen dapat juga terjadi akibat perdarahan yang disebabkan karena
penggunaan IPPV. Penyebab lain perdarahan saluran cerna pada pasien
dengan respirator adalah stres, hipersekresi gaster, penggunaan steroid
yang berlebihan, kurangnya terapi antasid, dan kurangnya pemasukan
makanan.
g. Nyeri
h. Dapat menunjukan adanya perdarahan gastriintestinal
i. Pengeluaran dari NGT : jumlah dan warnanya
j. Mual dan muntah.
6) B 6 : Bone (Tulang – Otot – Integumen)
a. Warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit.
b. Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruan menunjukan adanya
sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran
mukosa). Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan
dengan rendahnya kadar haemoglobin atau shok. Pucat, sianosis pada
pasien yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya
hipoksemia. Jaundice (warna kuning) pada pasien yang menggunakan
respirator dapat terjadi akibatpenurunan aliran darah portal akibat dari
penggunaan FRC dalam jangka waktu lama.
c. Pada pasien dengan kulit gelap, perubahan warna tersebut tidak begitu
jelas terlihat,. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya
demam, infeksi. Pada pasien yang menggunkan ventilator, infeksi dapat
terjadi akibat gangguan pembersihan jalan napas dan suktion yang tidak
steril.
d. Integritas kulit
Perlu dikaji adanya lesi, dan decubitus
b. Diagnosa keperawatan
1. Penurunan curah jantung b/d adanya gangguan pada penutupan pada katup
mitral ( stenosis katup )
2. Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan
metabolisme terutama perifer akibat vasokonstriksi pembuluh darah
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi secret,
penurunan refleks batuk
4. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penumpukan darah di paru
akibat pengisian atrium yang meningkat
5. Nyeri akut berhubungan dengan peradangan pada membran sinovial
6. Hipertermia berhubungan dengan Peradangan pada membran sinovial dan
peradangan katup jantung
7. Ketidakseimbangan nutrisi; kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peningkatan asam lambung akibat kompensasi sistem saraf simpatis.
8. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot, tirah baring atau
imobilisas
9. Defisit perawatan diri berhubungan Gangguan muskuloskeletal;
Poltarthritis/arthalgia dan therapi bed rest .
10. Kerusakan integritas kulit behubungan dengan peradangan pada kulit dan
jaringan subcutan.
11. Resiko cidera berhubungan dengan Gerakan involunter,irrigulaer, cepat dan
kelemahan otot/khorea.
c. Intervensi
Terlampir
d. Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
perawat maupun tenaga medis lain untuk membantu pasien dalam proses
penyembuhan dan perawatan serta masalah kesehatan yang dihadapi pasien yang
sebelumnya disusun dalam rencana keperawatan (Nursallam, 2011).
e. Evaluasi
Menurut Nursalam, 2011 , evaluasi keperawatan terdiri dari dua jenis yaitu:
1) Evaluasi formatif
Evaluasi ini disebut juga evaluasi berjalan dimana evaluasi dilakukan sampai
dengan tujuan tercapai.
2) Evaluasi somatif
Merupakan evaluasi akhir dimana dalam metode evaluasi ini menggunakan
SOAP.
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif AH, Hardhi K. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis &

NANDA NIC-NOC edisi revisi jilid 1. Yogyakarta: Mediaction Publishing, 2013.

Udjianti, Wajan Juni. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika

Herdman, T. Heather. 2015. Nanda Internasional Inc. Keperawatan : Definisi & Klasifikasi

2015-2017. Jakarta EGC.

Dewanto, George et al. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. 2009. Jakarta : EGC.

Esther, Chang. 2010. Patofisiologi Aplikasi pada Praktek Keperawatan.Jakarta : EGC.

You might also like