Professional Documents
Culture Documents
SKRIPSI
ANINDYA CARIMA
SKRIPSI
ANINDYA CARIMA
NIM: 051211131062
ii
KATA PENGANTAR
6. Arie Sulistyarini, S.Si., Apt sebagai dosen wali yang dengan tulus
ikhlas dan kesabaran memberi nasehat serta membimbing penulis
selama menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas
Airlangga.
7. Seluruh dosen dan guru yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu
pengetahuan hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan sarjana.
8. Kedua orang tua dari penulis, Drs. Idi Basuki dan Ibu Binti
Musyahadah yang selalu memberikan perhatian,motivasi serta selalu
memanjatkan doa terbaik untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik.
9. Kedua adik dari penulis, Zuazzycailma Syafa’ah dan Nazlina Salsa
Billa serta keluargabesar yang selalu meberikan semangat dan doanya
kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
10. Semua sahabat dan teman-teman terbaik yang selalu memberikan
semangat dan doanya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
11. Seluruh pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini yang
tidak dapatdisebutkan satu persatu.
Akhir kata, semoga Allah SWT selalu membalas kebaikan bapak,
ibu dan saudara-saudara sekalian dengan pahala yang berlipat ganda. Dan
semoga skripsi ini bisa bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Penulis
vi
RINGKASAN
vii
Rawat Jalan Paru RSUD Dr. Soetomo adalah Salbutamol yaitu sebesar
64,2% dengan dosis 100 mcg dan frekuensi penggunaan 3x1 karena
salbutamol mempunyai efektivitas dalam pengobatan asma dengan efek
samping yang lebih minimal dibandingkan fenoterolyang juga banyak
digunakan sebesar 31,58% dengan dosis 100 mcg 3x1. Untuk LABA yang
paling sering digunakan adalah Formoterol sebesar 90,00%, hal tersebut
karena kombinasi ini mempunyai efektivitas yang baik dan lebih cost-
effective untuk terapi asma. Dosis formoterol yang banyak digunakanadalah
4,5 mcg frekuensi 2x1 dan kemudian disusul dengan Salmeterol dengan
penggunaan sebesar 10,00% pada dosis 50 mcg frekuensi 3x1 dan 2x2
dengan porsi yang setara. Rute penggunaan yang paling banyak digunakan
dalam terapi asma dalam penelitian kali ini adalah rute inhalasi (MDI) yaitu
sebesar 77,50% karena dapat memberikan OOA yang lebih cepat dengan
efek lokal pada bronkus sehingga menurunkan efek sistemik dari obat ini.
Masalah terkait penggunaan obat golongan β2-agonis diantaranya adalah
efek samping berupa palpitasi, tremor, takikardi dan juga hipokalemia serta
interaksi obat golongan β2-agonis dengan kortikosteroid sebesar 60,49%
serta obat golongan β2-agonis dengan obat simpatomimetik lainnya sebesar
39,51%. Pemberian terapi obat β2-agonis padapasien asma sudah
sesuaidenganguideline terapi asma Global Initiative for Asthma 2015 dan
pustaka Martindale edisi 36 namun masih ada beberapa hal yang harus
diperhatikan diantaranya adalah frekuensi penggunaan SABA seharusnya
diberikan ketika terjadi eksaserbasi saja dan kombinasi obat β2-agonis
dengan antihistamin yang bermanfaat sebagai agen antiinflamasi untuk
terapi asma namun belum dirokemendasikan karena masih kurangnya
evidence.
viii
ABSTRACT
ix
DAFTAR ISI
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
II. 1 Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit .............................. 14
II. 2 Terapi farmakologi asma ............................................................ 21
II.3 Terapi asma berdasarkan tingkat keparahan asma ...................... 21
II.4 Profil singkat obat golongan β2-agonis ....................................... 24
II.5 Klasifikasi DRP menurut PCNE versi 6.2 tahun 2010 ............... 48
V.I Distribusi usia pada sampel pasien asma .................................... 59
V.2 Jenis obat golongan β2-agonis untuk pereda dan kontrol asma ... 62
V.3 Dosis Peenggunaan Obat Golongan β2-agonis ........................... 67
V.4 Kombinasi obat β2-agonis dengan obat asma lain ...................... 56
V.5 Efek samping potensial obat golongan β2-agonis ....................... 68
V.6 Interaksi potensial yang terjadi dengan obat golongan β2-agonis 68
V. 7 Masalah lain terkait obat golongan β2-agonis ............................. 69
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Anatomi dinding trakea ................................................................. 9
2.2 Anatomi paru ................................................................................. 10
2.3 Struktur kimia salbutamol ............................................................. 25
2.4 Struktur kimia fenoterol ................................................................ 30
2.5 Struktur kimia terbutalin................................................................ 33
2.6 Struktur kimia salmeterol .............................................................. 36
2.7 Struktur kimia formoterol .............................................................. 38
3.1 Skema kerangka konseptual .......................................................... 52
3.2 Skema kerangka operasional ......................................................... 53
5.1 Distribusi jenis kelamin pada sampel pasien asma ........................ 58
5.2 Distribusi tingkat keparahan asma pada sampel pasien asma ........ 60
5.3 Distribusi jenis terapi asma dengan obat golongan β2-agonis
pada sampel pasien asma ............................................................... 61
5.4 Distribusi penggunaan SABA pada sampel pasien asma .............. 63
5.5 Distribusi penggunaan LABA pada sampel pasien asma .............. 64
5.6 Distribusi rute penggunaan obat β2-agonis pada sampel pasien
asma .............................................................................................. 65
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Lembar Pengumpul Data ............................................................... 92
2. Tabel Induk Penelitian ................................................................... 94
3. Surat Kelaikan Etik........................................................................ 130
xv
DAFTAR SINGKATAN
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
dari serangan asma (Kelly et al., 2014). Kombinasi obat golongan β2-agonis
dan golongan antikolinergik seperti misalnya ipratropium bromide
memberikan peningkatan FEV1 dan memperpanjang reaksi jika
dibandingkan dengan penggunaan SABA secara reguler pada pasien dengan
moderate atau severe asma (Gelb et al., 2008). Namun, Craven et al., 2001
mengatakan bahwa penggunaan kombinasi β2-agonis dan ipratropium
bromida menghasilkan keuntungan yang tidak signifikan pada anak-anak.
Selain itu juga telah dinyatakan dalam sebuah penelitian bahwa penggunaan
salbutamol yang merupakan obat golongan β2-agonis memberikan efek
samping berupa sinus takikardi, tremor, dan hipokalemia sementara (Wills
et al., 2015).
Rute pemberian sediaan obat golongan β2-agonis terdiri dari berbagai
macam yaitu secara per oral, intravena, inhalasi dan subcutan. Penggunaan
secara inhalasi menurunkan efek samping penggunaan obat jika
dibandingkan dengan penggunaan melalui rute per oral, memberikan efek
yang lebih cepat dan memberikan efek perlindungan yang lebih besar
terhadap rangsangan yang menimbulkan bronkospasme (Depkes RI, 2007).
Suatu hasil penelitian menyebutkan bahwa didapatkan 81 dari 303
partisipan mengalami penggunaan salbutamol yang berlebihan selama
dalam masa penelitian. Dimana dalam kasus ini penggunaan reguler β 2-
agonis dengan dosis yang sangat besar dilaporkan terjadi pada asma yang
fatal (Patel et al., 2014). Penggunaan inhalasi β2-agonis secara berlebihan
diduga dapat menyebabkan penghentian fungsi jantung setelah terjadinya
krisis asma akut yang kemudian diikuti hipoksia dan menimbulkan
kematian. Kombinasi obat golongan β2-agonis dengan obat golongan
simpatomimetik lainnya tidak direkomendasikan karena dapat
menyebabkan efek kerusakan kardiovaskular sehingga, jika hal tersebut
diperlukan maka disarankan untuk mempertimbangkan terapi alternatif
2. Mengkaji Drug Related Problem yang muncul dan atau yang akan
muncul dari penggunaan obat untuk mengatasi gejala asma pada
pasien asma.
Tabel II.1 Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit (Depkes RI, 2007)
Derajat
Gejala Fungsi Paru
Asma
Intermiten Siang hari ≤ 2 kali per minggu Variabilitas PEFR <
Malam hari ≤ 2 kali per bulan 20%
Serangan singkat FEV1≥ 80% nilai
Tidak ada gejala antar prediksi
serangan PEFR ≥ 80% nilai
Intenitas serangan bervariasi terbaik
Persisten Siang hari> 2 kali per minggu Variabilitas PEFR 20-
ringan tetapi < 1 kali per hari 30 %
Malam hari> 2 kali per bulan FEV1≥ 80% nilai
Serangan dapat mempengaruhi prediksi
aktifitas PEFR ≥ 80% nilai
terbaik
Persisten Siang hari ada gejala Variabilitas PEFR >
sedang Malam hari> 1 kali per 30%
minggu FEV160-80% nilai
Serangan mempengaruhi prediksi
aktifitas PEFR 60-80% nilai
Serangan≥ 2 kali per minggu terbaik
Serangan berlangsung berhari-
hari
Seharai-hari menggunakan
inhalasi SABA
Persisten Siang hari terus menerus ada Variabilitas PEFR >
berat gejala 30%
Setiap malam hari sering FEV1≤ 60% nilai
timbul gejala prediksi
Aktifitas fisik terbatas PEFR ≤ 60% nilai
Sering timbul serangan terbaik
fase akhir terjadi setalah 6-9 jam terjadinya paparan dan meperlihatkan
aktivasi eosinofil, sel T CD4+, basofil, neutrofil dan makrofag. Aktivasi sel
T menyebabkan pelepasan sitokin TH2 yang menjadi kunci terjadinya reaksi
fase akhir. Peningkatan dari nonspesifik BHR biasanya terlihat setelah
terjadinya reaksi fase akhir tetapi tidak terjadi setelah reaksi fase awal
karena alergen (Kelly et al., 2008).
Pada penyakit asma semua sel akan teraktivasi termasuk eosinofil,
sel T, sel mast, makrofag, sel epitel, fibrolas dan sel otot polos bronkus. Sel-
sel tersebut juga mengatur terjadinya inflamasi dan mengawali proses
remodelling oleh karena adanya sitokin dan faktor pertumbuhan. Sel epitel
teraktivasi melalui mekanisme reaksi IgE virus, polutan atau histamin.
Kemudian sel epitel melepaskan eikosanoid, peptida, matriks protein,
sitokin dan nitrit oksid yang berperan dalam proses inflamasi. Sel epitel
juga sangat berperan dalam pengaturan remodelling saluran nafas dan
fibrosis. Pada asma, eosinofil juga memberikan kontribusinya dengan
melepaskan mediator proinflamasi. Mediator sitotoksik dan sitokin pada
proses aktivasi juga akan melepaskan mediator inflamasi serperti leukotrien
dan granula protein yang dapat melukai jaringan saluran pernafasan. Biopsi
mukosa pada pasien asma mengandung dua tipe limfosit yaitu TH 1 dan TH2
yang menjadi marker adanya inflamasi namun, TH1 bekerja menghambat
aktivitas TH2 yang melepaskan sitokin sebgai mediator inflamasi. Jadi asma
dapat disebabkan ketidaksetimbangan jenis limfosit TH1 dan TH2.
Degranulasi sel mast mempunyai respon yang cepat dalam mengawali
terjadinya reaksi alergi akibat paparan alergen yang terjadi. Sel mast
ditemukan lebih banyak pada jalur nafas pada pasien asma akibat alergi.
Alergen berikatan dengan IgE dan kemudian terjadi pelepasan histamin,
eosinofil dan faktor kemotaktik neutrofil. Sensitifitas sel mast juga dapat
diaktivasi oleh stimuli yang menyebabkan bronkospasme akibat dari
minggu untuk durasi yang dapat bervariasi dari minggu ke bulan (Silva et
al., 2013; Turner et al., 2011; Weiner et al., 2000). ET dirancang secara
individual untuk setiap pasien sesuai dengan kapasitas latihan mereka,
ditentukan melalui tes latihan klinis seperti tambahan shuttle walk test, six
minute walk test (6MWT) atau tes tekanan inspirasi maksimal (untuk
menilai kapasitas otot pernafasan). Intensitas pelatihan dapat berkisar dari
rendah ke beban intensitas tinggi namun terstruktur. Program latihan
individual menggunakan aerobik intensitas sedang hingga tinggi dan
kekuatan latihan telah terbukti dapat meningkatkan kapasitas latihan pada
penderita asma (Bruurs et al., 2013; Carson et al., 2013). Program latihan
dapat dilaksanakan di rumah sakit atau rawat jalan, dengan frekuensi dua
kali untuk tiga kali per minggu. Durasi program dapat berkisar 6 minggu
(program pendek) untuk 20 bulan (program panjang) pada frekuensi 1-7 sesi
per minggu (Santos et al., 2015).
1. Salbutamol
3. Bentuk bubuk kering (Rotacaps 200 mcg per kapsul, Accuhaler 200
mcg, Turbuhaler 100 atau 200 mcg, Ventodisk 200 atau 400 mcg)
(Cathomas et al., 2006).
4. Nebulisasi (nebula) yang berisi 2,5 ml dengan 1 atau 2 mg/ml
salbutamol dan diberikan setiap 4 atau 8 jam sesuai kebutuhan.
Penggunaan pada ekaserbasi asma 2.5-5 mg setiap 20 menit untuk 3
dosis, kemudian 2.5-10 mg setiap 1 sampai 4 jam sesuai yang
dibutuhkan, atau 10 sampai 15 mg/jam dengan nebulisasi selanjutnya
(Cathomas et al., 2006; Lacy et al., 2007).
5. Bentuk sediaan vial berupa larutan dosis ganda yang mengandung 30
ml (konsentrasi 5 mg/ml) (Cathomas et al., 2006).
6. Formulasi untuk injeksi, 50 mcg/ml (5 ml) dan 50 mcg/ml (1 ml), dan
infus intravena 1 mg/ml (5 ml) dengan dosis pada bronkospasme berat
dan serangan asma dosis awal 5 mcg/menit kemudian dapat dinaikkan
sampai 10-20 mcg/menit pada interval 15 sampai 30 menit sesuai yang
dibutuhkan (Cathomas et al., 2006; Lacy et al., 2007).
Efek samping
Salbutamol memiliki efek seperti agonis beta lainnya, dapat
menyebabkan tremor otot rangka (terutama tangan), palpitasi, takikardia,
ketegangan saraf, sakit kepala, vasodilatasi perifer, dan jarang terjadi kram
otot. Inhalasi menyebabkan efek samping yang lebih sedikit daripada dosis
sistemik, dan β2-agonis lebih selektif menyebabkan efek merugikan
berkurang jika dibandingkan dengan β-agonis kurang selektif. Setelah
pemberian dosis besar akan berpotensi terjadi hipokalemia serius. Iskemik
miokard juga telah dilaporkan. Selain itu, juga terjadi reaksi
hipersensitivitas, termasuk bronkospasme paradoks, angioedema, urtikaria,
hipotensi, dan collapse. Dosis tinggi dari salbutamol digunakan secara
Interaksi obat
Berkaitan dengan penggunaan obat simpatomimetik sebagai
vasopresor banyak terjadi interaksi sehingga diperlukan pertimbangan saat
menggunakan bronkodilator simpatomimetik. Beberapa obat yang
berinteraksi adalah antihistamin, beta bloker glikosida jantung, diuretik,
alkaloid ergotamin, furazolidon, anestesi umum, guanetidin, levotiroksin,
metildopa, inhibitor monoamin, nitrat, obat oksitosik, fenotiazin, alkaloid
rauwolfia, antidepresan trisiklik, digoksin, teofilin, insulin atau obat
hipoglikemi oral (Depkes RI, 2007)
1. β-bloker: kerja salbutamol berlawanan dengan kerja β-bloker
(Cathomas et al., 2006).
2. Kortikosteroid: kombinasi kedua obat ini dapat menyebabkan
hipokalemi dan hiperglikemi (Cathomas et al., 2006).
3. Diuretik: interaksi dengan diuretik terjadi ketika salbutamol inhalasi
diberikan dalam jumlah besar yang menyebabkan hipokalemi dan efek
elektrokardiograf (Cathomas et al., 2006).
4. Formoterol dan salmeterol: pengobatan sebelumnya dengan formoterol
dan salmeterol dapat berlawanan dengan efek perlindungan dari
salbutamol terhadap bronkokonstriksi (Cathomas et al., 2006).
5. Teofilin: Menggabungkan teofilin dengan salbutamol secara infus
meningkatkan takikardia. Salbutamol infus menyebabkan penurunan
diastolik dan peningkatan tekanan darah sistolik, yang tidak diubah
2. Fenoterol
Efek Samping
Fenoterol mempunyai efek samping yang hampir sama dengan
salbutamol yaitu dapat menyebabkan tremor otot rangka (terutama tangan),
palpitasi, takikardia, ketegangan saraf, sakit kepala, vasodilatasi perifer, dan
jarang terjadi kram otot. Inhalasi menyebabkan efek samping yang lebih
sedikit daripada dosis sistemik, dan β2-agonis lebih selektif menyebabkan
efek merugikan kurang dari β-agonis kurang selektif. Berpotensi terjadi
hipokalemia serius setelah pemberian dosis besar dan juga terjadi iskemik
Interaksi Obat
Penggunaan fenoterol dan agonis β2 lainnya dengan kortikosteroid,
diuretik, atau xantin meningkatkan resiko hipokalemia, dan pemantauan
konsentrasi kalium dianjurkan pada asma yang parah. Penggunaan bersama
dengan kortikosteroid juga dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa
dalam darah. Sedangkan penambahan diuretik memberikan potensi
aritmogenik yang secara klinis penting pada pasien dengan penyakit jantung
iskemik. β-bloker menghambat efek bronkodilator dari β-agonis dan
kontraindikasi pada pasien asma karena dapat menyebabkan
bronkokonstriksi serius, bahkan jika diberikan sebagai tetes mata. Tidak ada
interaksi yang merugikan biasanya terjadi antara bronkodilator β-agonis dan
kardioselektif β-bloker namun, kadang-kadang bronkospasme dapat terjadi
pada pasien asma, terutama jika dosis tinggi digunakan (Sweetman, 2009).
Pemberian obat ini bersamaan dengan kanabinoid dapat meperparah efek
samping takikardi. Betahistin juga dapat mengurangi efek bronkodilator
dari obat golongan β2-agonis (Lacy et al., 2007).
3. Terbutalin
Kedua terapi tersebut dapat digunakan namun, 44% pasien lebih memilih
terbutalin, 16% pasien lebih memilih salbutamol dan 40% tidak memilih
keduanya (Gioulekas et al., 1996).
Efek Samping
Terbutalin mempunyai efek samping yang hampir sama dengan
salbutamol yaitu dapat menyebabkan tremor otot rangka (terutama tangan),
palpitasi, takikardia, ketegangan saraf, sakit kepala, vasodilatasi perifer, dan
jarang terjadi kram otot. Inhalasi menyebabkan efek samping yang lebih
sedikit daripada dosis sistemik, dan β2-agonis lebih selektif menyebabkan
efek merugikan kurang dari β-agonis kurang selektif. Berpotensi
menyebabakan hipokalemia serius telah dilaporkan setelah pemberian dosis
besar dan juga terjadi iskemik miokard. Reaksi hipersensitivitas juga terjadi,
termasuk bronkospasme paradoks, angioedema, urtikaria, hipotensi, dan
collapse. Dosis tinggi dikaitkan dengan mual dan muntah, dan dengan efek
jantung dan metabolisme yang merugikan serta edema paru (Sweetman,
2009).
Interaksi Obat
Penggunaan terbutalin dengan antidepresan trisiklik atau MAO
inhibitors datap menyebabkan potensiasi efek vaskular. Ketika digunakan
dengan β-bloker, maka β-bloker akan bekerja antagonis dengan β-agonis
dalam memberikan efek terapi pada bronkospasme saluran nafas yang parah
pada pasien asma. Pemberian yang bersamaan dengan diuretik juga dapat
menyebabkan hipokalemia. Penggunaan terbutalin dengan fenilefrin atau
4. Salmeterol
Farmakokinetikdan Farmakodinamik
Salmeterol ketika digunakan secara inhalasi mempunyai OAA
dalam 20 menit dan DOA selama 12 jam (Depkes, 2007; Lacy et al., 2009).
Konsentrasi plasma dari salmeterol tidak berarti setelah pemberian pada
dosis terapi secara inhalasi (Sweetman, 2009). Obat ini terikat pada protein
96%, dimetabolisme di hati dan hidroksilasi via CYP3A4 yang kemudian
diekskresikan 60% melalui feses dan 25% melalui urin (Lacy et al., 2009).
Oleh karena sifatnya yang lebih lipofil dan mempunyai kelarutan dalam air
yang lebih rendah dibandingkan dengan formoterol maka OOA yang
diberikan juga lebih pendek dibandingkan dengan formoterol. Berdasarkan
studi secara ex vivo menunjukkan DOA salmeterol lebih panjang daripada
formoterol namun, uji klinis meyatakan keduanya tidak memiliki perbedaan
DOA. Oleh karena sifat dari salmeterol yang lipofil, membuat senyawa obat
ini mudah dalam memasuki mebran dan membuat efek depo sehingga
mempunyai efek diperpanjang (Santus et al., 2015).
Efek Samping
Salmeterol mempunyai efek samping sakit pada sendi atau
punggung, kram otot, mialgia, sakit pada otot (1-3)%, infeksi saluran
pernapasan atas, nasofaringitis (14%), penyakit pada rongga hidung atau
sinus (6%), infeksi saluran pernapasan bawah (4%), alergi rinitis (lebih dari
3%), rinitis, laringitis, trakeitis/bronkitis (1-3)%, rasa lemas, influenza
(lebih dari 3%), gastroenteritis, urtikaria, sakit gigi, malaise/rasa lelah,
erupsi kulit dan dismenorea (1-3)% (Depkes RI, 2007).
Interaksi Obat
- α/β-bloker dan betahistin dapat mengurangi efek terapi obat ini
(Lacy et al., 2009).
5. Formoterol
1-2 minggu tidak terjadi kontrol asma yang baik, maka dilakukan
peningkatan dosis pada budesonid.
Efek Samping
Formoterol memiliki efek samping yang hampir sama dengan
salbutamol memiliki efek seperti agonis beta lainnya, dapat menyebabkan
tremor otot rangka (terutama tangan), palpitasi, takikardia, ketegangan
saraf, sakit kepala, vasodilatasi perifer, dan jarang kram otot. Inhalasi
menyebabkan efek samping yang lebih sedikit daripada dosis sistemik, dan
agonis β2 lebih selektif menyebabkan efek merugikan kurang dari agonis
beta kurang selektif. Berpotensi hipokalemia serius telah dilaporkan setelah
dosis besar. Iskemik miokard juga telah dilaporkan. Reaksi hipersensitivitas
terjadi, termasuk bronkospasme paradoks, angioedema, urtikaria, hipotensi,
dan collapse. Dosis tinggi dikaitkan dengan mual dan muntah, dan dengan
efek jantung dan metabolisme yang merugikan serta edema paru
(Sweetman, 2009).
Interaksi Obat
1. Terjadi interaksi farmakodinamik formoterol dengan
antidepresan trisiklik (McEvoy et al., 2011).
2. Interaksi dengan obat golongan β-bloker karena mempunyai
kerja yang berlawanan (McEvoy et al., 2011).
3. Interaksi dengan kortikosteroid dapat meningkatkan resiko
hipokalemia (McEvoy et al., 2011).
4. Penggunaan dengan diuretik juga dapat menyebabkan
peningkatan resiko hipokalemia (McEvoy et al., 2011).
5. Interaksi dengan MAO inhibitors dapat meningkatkan aritmia
ventrikuler (McEvoy et al., 2011).
b. Prospektif
Mengevaluasi terapi obat yang direncanakan pasien sebelum
obat diberikan.
c. Concurrent
Penelitian dilakukan selama terapi berjalan serta dilakukan
pemantauan terhadap terapi tersebut. Penelitian ini
melibatkan penggunaan hasil tes laboratorium dan data
pemantauan lainnya jika diperlukan.
d. Retrospektif
Meninjau terapi obat setelah pasien menyelesaikan rangkaian
terapi.
Tabel II.9 Klasifikasi DRP menurut PCNE versi 6.2 tahun 2010
Klasifikasi DRPs Kode 6.2 Domain primer
Efektivitas Terapi
P-1 Timbulnya masalah yang potensial
terkait terapi obat
Efek samping
Klasifikasi Pasien menderita atau mungkin
P-2
Permasalahan akan menderita efek obat yang
Terkait Obat (DRPs) merugikan
Biaya pengobatan
P-3 Terapi obat lebih mahal daripada
yang diperlukan
P-4 Lain-lain
Pemilihan obat
C-1 Penyebab DRPs berkaitan dengan
pemilihan obat
Bentuk sediaan obat
C-2 Penyebab DRPs berkaitan dengan
pemilihan bentuk sediaan obat
Pemilihan dosis
C-3 Penyebab DRP berkaitan dengan
dosis dan jadwal penggunaan obat
Durasi terapi
C-4 Penyebab DRPs berkaitan dengan
Klasifikasi Penyebab durasi terapi
Permasalahan
Terkait Obat (DRPs) Proses Penggunaan Obat
Penyebab DRPs berkaitan dengan
C-5 cara pasien menggunakan obat di
luar instruksi penggunaan pada
etiket
Persediaan/Logistik
C-6 Penyebab DRPs berkaitan dengan
ketersediaan obat saat dispensing
Pasien
C-7 Penyebab DRPs berkaitan dengan
kepribadian atau perilaku pasien
C-8 Lain-lain
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
Digunakan
pada semua Obat Terapi farmakologis asma
step terapi golongan golongan lain:
asma β2-agonis 1. Obat golongan kortikosteroid
2. Obat golongan antikolinergik
3. Obat golongan xantin
Dapat 4. Kromolin sodium dan
menyebabkan nedokromil
eksaserbasi 5. Obat golongan antagonis
asma reseptor
leukotrien
6. Anti IgE
Data diagnosis
Data klinis & data laboratorium
Profil terapi
Analisis data
BAB IV
METODE PENELITIAN
54
Identitas pasien:
Merupakan data diri pasien yang berisi nama, umur, jenis kelamin,
dan lain-lain yang diambil dari Data Rekam Medis pasien.
Jenis obat:
Jenis obat yang dimaksud adalah golongan obat golongan β2-
agonis yang diberikan kepada pasien asma bertujuan untuk
memberikan pertolongan pada eksaserbasi maupun kontrol asma.
BAB V
HASIL PENELITIAN
80
70
60
Prosentase (%)
50
40
67,65% Perempuan
30
20 Laki-laki
32,35%
10
0
Perempuan Laki-laki
Jenis Kelamin
58
28-32 tahun yaitu sebesar 32,35% (11 pasien) yang disajikan melalui tabel
sebagai berikut:
80
70,60%
70
60 Persisten berat
Prosentase
50
40
Persisten sedang
30 11,76%
20 11,76% 5,88%
10 Persisten ringan
0
Intermiten
Tidak dapat
dideskripsikan
Tingkat Keparahan Asma
Gambar 5.2 Distribusi tingkat keparahan asma pada sampel pasien asma
Gambar 5.3 Distribusi jenis terapi asma dengan obat golongan β2-agonis
pada sampel pasien asma
5.2.2 Jenis Obat Golongan β2-agonis untuk Pereda dan Kontrol Asma
Dari penelitian yang dilakukan, didapatkan beberapa golongan obat
β2-agonis yang digunakan untuk terapi asma diantaranya adalah salbutamol,
fenoterol, formoterol dan juga salmeterol. Selain penggunaan obat β 2-agonis
agonis yang bertujuan untuk pereda asma (SABA) juga diberikan kombinasi
dengan obat β2-agonis untuk kontrol asma (LABA). Berikut adalah Tabel
V.2 yang menyajikan obat golongan β2-agonis yang diberikan pada pasien.
Beberapa pemberian kombinasi obat pereda dan kontrol asma yang
diberikan pada tabel diberikan secara tidak bersamaan namun, diberikan
ketika pasien menjalankan kontrol pada waktu yang berbeda. Sebanyak
47,05% (16 pasien) mendapatkan terapi SABA dan LABA, kemudian
44,11% (15 pasien) hanya mendapatkan terapi SABA dan sebanyak 8,84%
(3 pasien) hanya mendapatkan terapi LABA.
Tabel V.2 Jenis obat golongan β2-agonis untuk pereda dan kontrol asma
Obat β2-agonis Jumlah Prosentase Total
Kontrol Prosentase
Pereda Pasien (%)
(%)
Salbutamol - 10 29,41
Salbutamol, -
4 11,76 44,11
Fenoterol
Fenoterol - 1 2,94
Salbutamol, Formoterol +
Budesonid* 9 26,47
Formoterol
Salbutamol, Formoterol +
Fenoterol, Budesonid* 1 2,94
Formoterol
Salbutamol, Formoterol +
Fenoterol, Budesonid*,
Formoterol Salmetrol + 1 2,94 47,05
Flutikason
propionat**
Fenoterol, Formoterol +
4 11,76
Formoterol Budesonid*
Fenoterol Salmetrol +
Flutikason 1 2,94
propionat**
Formoterol Formoterol + 3 8,84 8,84
Budesonid*
Total 34 100,00 100,00
Keterangan:
* Fixed Dose Combination (FDC) Formoterol-Budesonid: Symbicort®
** Fixed Dose Combination (FDC) Salmeterol-Flutikason propionat:
Seretide®
31,58%
Salbutamol
68,42% Fenoterol
10,00%
Formoterol
Salmeterol
90,00%
7,50%
15,00%
Inhalasi*
77,50% Oral
Nebulisasi
Gambar 5.6 Distribusi rute penggunaan obat β2-agonis pada sampel pasien
asma.
Keterangan:
* rute pemberian secara inhalasi yang dimaksud adalah berupa sedian MDI
(Metered Dose Inhaler) atau DPI (Dry Powdered Inhaler)
Keterangan:
1)
diberikan dalam bentuk sediaan Fixed Dose Combination Formoterol-
Budesonid
2)
diberikan dalam bentuk Fixed Dose Combination Salmeterol-Flutikason
Propionat
3)
1 pasien bisa mendapatkan lebih dari 1 dosis obat dari golongan yang
sama sehingga dapat dihitung lebih dari satu kali.
4)
Sweetman, 2009
5)
Lacy et al., 2009
Tabel V.6 Interaksi potensial yang terjadi dengan obat golongan β2-agonis
Jumlah
Obat
Berinteraksi Efek yang Prosentase
Golongan
dengan* Interaksi Potensial (%)
β2-agonis
Terjadi
Meningkatkan
Kortikosteroid resiko 49 60,49
hipokalemia
Salbutamol,
Meningkatkan
fenoterol,
efek samping
formoterol,
Obat oleh karena
salmeterol 32 39,51
simpatomimetik obat golongan
β2-agonis
tersebut
Total 81 100,00
Keterangan:
* Baxter, 2010
BAB VI
PEMBAHASAN
efek samping yang lebih besar yaitu dapat meningkatkan keparahan asma
dan efek toksisitas kardio yang lebih tinggi (Patel et al., 2013).
Sementara untuk LABA yang paling banyak digunakan adalah
formoterol yaitu sebanyak 18 pemakaian (90,00%) dan salmeterol sebanyak
2 pemakaian (10,00%). Pemberian kedua LABA tersebut tidak secara
reguler namun dengan kombinasi berbentuk Fixed Dose Combination
dengan kortikosteroid dimana kombinasinya adalah formoterol-budesonid
serta salmeterol-flutikason propionat. Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa kedua kombinasi LABA dengan kortikosteroid tersebut mempunyai
kemampuan yang sama dalam memberikan kontrol gejala yang baik dan
juga aman (Cates et al., 2014). Formoterol-budesonid lebih efektif untuk
mengendalikan gejala asma dengan menekan peradangan saluran napas dan
meningkatkan gangguan saluran napas kecil dibandingkan dengan dosis
tetap salmeterol-flutikason propionat (Hozawa et al., 2014). Kombinasi
formoterol-budesonid lebih dipilih untuk terapi pada pasien asma karena
dianggap lebih cost-effective (Bousquet et al., 2007). Formoterol yang
dikenal mempunyai DOA panjang juga mempunyai OOA yang pendek
yaitu 3 menit sehingga selain sebagai terapi kontrol asma juga dapat
digunakan sebagai terapi pereda asma (Kelly and Sorkness, 2014; Bousquet
et al., 2007). Oleh karena beberapa hal tersebut terapi asma dengan
menggunakan kombinasi formoterol-budesonid merupakan manajemen
terapi asma yang paling efektif untuk pasien asma sedang hingga berat
(Bousquet et al., 2007).
Berdasarkan rute penggunaan, pemberian terapi asma terbanyak
diberikan secara inhalasi yaitu sebesar 77,5% (31 pemakaian), oral 15,00%
(6 pemakaian) dan nebulasi sebesar 7,50% (3 pemakaian). Inhalasi dalam
bentuk MDI dan DPI lebih terpilih karena dianggap dapat menurunkan efek
membutuhkan saja dengan batasan maksimal 4-6 kali sehari sebanyak 1 puff
untuk salbutamol dan 8 puff per hari untuk fenoterol. Hal tersebut
dikarenakan dengan pemberian obat β2-agonis yang berlebihan dapat
meningkatkan potensi terjadinya efek samping dan toksisitasnya sehingga
terapi yang diberikan kurang aman. Sedangkan jika dosis yang diberikan
kurang maka akan menyebabkan kegagalan terapi asma (Global Initiative
for Asthma, 2015; Sweetman 2007; Lacy et al., 2009).
Selain obat golongan β2-agonis juga diberikan pemberian obat asma
golongan lain seperti kortikosteroid dan antihistamin. Pemberian bersamaan
dengan kortikosteroid bertujuan untuk memberikan terapi kontrol asma
yang memberikan efek yaitu meredakan inflamasi, meningkatkan tes fungsi
paru dan menurunkan gejala seperti batuk, wheezing, dan dispnea (Strauss,
2013). Obat golongan β2-agonis yang biasanya diberikan untuk terapi
kontrol asma berupa sediaan Fixed Dose Combination LABAdengan
kortikosteroid karena penggunaan LABA secara reguler untuk kontrol asma
dapat menigkatkan resiko kematian akibat asma (Salpeter et al., 2010).
Selain itu, menurut Global Initiative for Asthma 2015, lini pertama untuk
kontrol asma adalah kortikosteroid sedangkan penggunaan kombinasi obat
golongan β2-agonis (LABA) dan kortikosteroid untuk kontrol asma
diberikan ketika terapi kontrol asma dengan kortikosteroid saja dinyatakan
gagal. Kombinasi kedua obat tersebut juga memberikan keuntungan lain
seperti dapat mengurangi gejala, meningkatkan fungsi paru dan
menurunkan eksaserbasi asma lebih cepat pada beberapa pasien jika
dibandingkan dengan pemberian kortikosteroid reguler dalam dosis dua kali
lipatnya ataupun dosis rendah (Nabil et al., 2014). Metilprednisolon dosis 4
mg mempunyai aktivitas sebagai obat antiinflamasi yang juga dapat
digunakan untuk terapi asma yang merupakan penyakit akibat adanya
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
1. SABA yang diberikan yaitu Salbutamol 100 mcg dengan frekuensi 3x1,
fenoterol 100 mcg dengan frekuensi 3x1. LABA yang diberikan yaitu
Formoterol 4,5 mcg dengan frekuensi 2x1 serta Salmeterol 50 mcg
dengan frekuensi 3x1 dan 2x2.
2. Pemilihan obat golongan β2-agonis yang digunakan untuk terapi
penyakit asma telah sesuai dengan rekomendasi Global Initiative for
Asthma 2015.
3. Dosis pemberian obat golongan β2-agonis pada pasien asma telah sesuai
dengan Global Initiative for Asthma 2015 dan Martindale 36.
4. Rute penggunaan obat yang banyak digunakan yaitu rute inhalasi dalam
MDI atau DPI.
5. Tidak terdapat masalah terkait obat yang aktual namun, beberapa
masalah terkait obat β2-agonis yang potensial terjadi selama pemberian
terapi pada pasien asma adalah efek samping yaitu tremor otot rangka
(terutama tangan), palpitasi, takikardia, ketegangan saraf, sakit kepala
dan hipokalemi serta adanya interaksi obat β2-agonis dengan
kortikosteroid dan interaksi obat β2-agonis dengan obat simpatomimetik
lainnya.
80
7.2 Saran
1. Pencatatan dalam EMR (Electronic Medical Record) sebaiknya
dilakukan dengan lengkap seperti data demografi dan beberapa data
pemerikasan fungsi paru maupun masalah terkait obat yang aktual
sehingga dapat memberikan infromasi yang tepat dan bermanfaat dalam
pengunaan obat golongan β2-agonis.
2. Pemberian macam obat dan bentuk sediaan yang beragam maka
diperlukan peran apoteker untuk mengawasi mulai dari pengadaan,
penyimpanan, pemilihan terapi, penyerahan sampai dengan monitoring
terkait obat.
DAFTAR PUSTAKA
Boiselle, P.M., 2008. Imaging of the large airways. Clin Chest Med., 29,
pp. 181–193.
Borade, P.S., Ballary, C.C., Currie, G.P., and Lee, D.K.C., 2006. Modersn
H1-antihistamine in asthma. Drug Discovery Today: Therapeutic
Strategies, vol. 3 No. 3.
Boushey, H.A., 2012. Drug Used in Asthma. In: Katzung., B.G., Masters,
S.B., and Trevor, A.J. Basic & Clinical Pharmacology, 12th Ed.
United States: The McGraw-Hill Companies, Inc., pp. 339-358.
Bousquet, J., Boulet, L., Peters, M.J., Magnussen, H., Quiralte, J., Matinez-
Aguilar, N.E., and Carlsheimer, A., 2007. Budesonid/formoterol
for maintenance and relief in uncontrolled asthma vs. High-dose
salmeterol/fluticason. Respiratory Medicine, 101, pp. 2437-2446.
Bruurs, M.L.J., van der Giessen, L.J., Moed, H., 2013. The effectiveness of
physiotherapy in patients with asthma: a systematicreview of the
literature. Respiratory Medicine, 107(4), pp. 483–94.
Buyuckam, F., Calik, M., Erkuran, M.K., and Akay, H., 2011. Hypokalemia
and muscle paralysis after low-dose methylprednisolone.
American Journal of Emergency Medicine, 29, pp. 573.e1-
573.e2.
Cates, C.J., Wieland, L.S., Oleszczuk, M., and Kew, K.M., 2014. Safety of
regular formoterol or salmeterol in adults with asthma: an
82
Cathomas, R., Hartmann, K., Havryk, A., Joerger, M., Kuhn, M., Paterson,
J.W., Robinson, T.D., and Seale, J.P., 2005. In: Aronson, J.K.
Meyler’s Side Effect of Drugs: The International
Encyclopedia of Adverse Drug Reaction an Interaction, Ed.
15th, Oxford: Elsevier., pp. 1344, 1443, 3093, 3099.
Chung, J.H., Kanne, J.P., and Gilman, M.D., 2011. CT of diffuse tracheal
diseases. AJR., 196: W240–W246.
Cipolle, R.J., Strand, L.M., and Moley, P.C., 2007. Pharmaceutical Care
Practice: The Clinician’s Guide, 2nd Ed. New York: McGraw- Hill
Companies Inc.
Craven, D., Kercsmar, C.M., Myers T.R., O’Riordan M.A., Golonka, G.,
and Moore, S., 2001. Ipratropium bromide plus nebulized
albuterol for the treatment of hospitalized children with acute
asthma. J Pediatr., 138 pp. 51-8.
Dhuper, S., Chandra, A., Ahmed, A., Bista., S., Moghekar, A., Verma, R.,
Chong, C., Shim, C. Cohen, H., and Choksi, S., 2011. Efficacy and
cost comparisons of bronchodilator administration between
metered dose inhalers with disposable spacers and nebulizer for
acute asthma treatment. The Journal of Emergency Medcine, Vol.
40 No. 3, pp: 247-255.
Gelb, A.F., Karpel, J., Wise, R.A., Cassino, C., Johnson, P., and
Conoscenti, C.S., 2007. Bronchodilator efficacy of the fixed
combination of ipratropium and albuterol compared to albuterol alone in
moderate to severe persistent asthma. Pulmonary
Pharmacology & Therapeutics, 21, pp. 630-636.
Gioulekas, D., Papakosta, D., Vordoyianni, P., Baloti H., and Vamvalis C.,
1996. A comparison of the clinical efficacy and patient acceptability
of terbutaline turbuhaler and salbutamol rotahaler, in adult
patient with asthma. Respiratory Medcine, 90 pp. 205-209.
Goto, T., Tsugawa, Y., and Camargo, C.A., 2016. Sex difference in the risk
of hospitalization among patients presenting to US emergency
departments with asthma exacerbation, 2010-2012. J Allergy Clin
Immunol Pract, January/February 2016.
Gross, N.J., Kerwin, E., Levine, B., Kim, K.T., Denis-Mize, K., Hamzavi,
M., Carpenter, M., and Rinehart, M., 2008. Nebulized formterol
fumarate: Dose selection and pharmacokinetics. Pulmonary
Pharmacology &Therapeutics, 21 pp. 818–823.
House, S.L., Matsuda, K., O’Brien, G., Makhay, M., Iwaki, Y., Ferguson, I.,
Lovato, L.M., and Lewis, L.M., 2015. Efficacy of a new
intravenous β2-adrenergic agonist (bedoradrine, MN-221) for
patient with an acute exacerbation of asthma. Respiratory
Medicine, xxx, pp. 1-6.
Hozawa, S., Terada, M., and Hozawa, M., 2014. Comparison of the effect
of budesonide/formoterol maintenance and reliever therapy with
fluticasone/salmeterol fixed-dose treatment on airway inflammation
and small airway impairment in paitients who need to step-up
from inhaled corticosteroid monotherapy. Pulmonary
Pharmacology & Therapeutics, 27, pp. 190-196.
Kelly, H.W., and Sorkness, C.A., 2008. Asthma. In: Dipiro, J.T., Talbert,
R.L., Yee, G.C., Matske G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M.
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, Ed. 7th,
New York: The McGrawHill Companies, Inc., pp. 463-493.
Kelly, H.W., and Sorkness, C.A., 2014. Asthma. In: Dipiro, J.T., Talbert,
R.L., Yee, G.C., Matske G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M.
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, Ed. 9th,
New York: The McGrawHill Companies, Inc.
Knoppert, D., Reed, M., Benavides, S., Totton J., Hoff, D., Moffet, B.,
Norris, K., Vaillancourt, R., Aucoin, R., and Worthington, M.,
2007. Pediatric age categories to be used in differentiting
between listing on a model essential medicines list for children.
Kynyk, J.A., Mastronarde, J.G., and McCallister, J.W., 2011. Asthma, the
sex difference. Current Opinion in Pulmonary Medicines, 17,
pp. 6-11.
Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., and Lance, L.L., 2009. Drug
Information Handbook: A Comprehensive Resource for all
Lawrence D.A., Branson, B., Oliva, I., and Rubinowitz, A., 2015. The
wonderful world of the windpipe: A review of central airway
anatomy and pathology. Canadian Association of Radiologist
Journal, 66, pp. 30-43.
Lucas, S.R., and Platts-Mills, T.A.E., 2005. Physical activity and exercise in
asthma: Relevance to etiology and treatment. J Allergy Clin
Immunol, Vol. 115 No. 5, pp. 928-933.
Maier, G., Rubino, C., Hsu, R., Grasela, T., and Baurngartner, R.A., 2007.
Population pharmacokinetics of (R)-albuterol and (S)-albuterol in
pediatric patients aged 4-11 years with asthma. Pulmonary
Pharmacology &Therapeutics, 20, pp. 534–542.
Magnussen, H., and Rabe, K.F., 1992. The protective effect of low-dose
inhaled fenoterol against methacholine and exercise-induced
bronchoconstriction in asthma: A dose-response study. J
Allergy Clin Immunol, 90, pp. 846-851.
Matsumoto, K., Aizawa, H., Fukuyama, S., Yoshida, M., Komori, M.,
Takata, S., Koto, H., and Inoue, H., 2013. Low-dose salbutamol
suppresses airway responsiveness to histamine but not methacholine
in subjects ith asthma. Respiratory Investigation, 5, pp. 158-165.
Nabil, N.M., Elessawy, A.F., Hosny, K.M., and Ramadan, S.M., 2014. The
effect of adding long acting beta 2 agonists ti inhaled
corticosteroid versus incresing dose of inhaled corticosteroid in
improving asthma control. Egyptian Journal of Chest Disease
Tuberculosis, 63, pp. 761-764.
Novelli, F., Latorre, M., Vergura, L., Caiaffa, M.F., Camiciottoli, G.,
Guarnieri, G., Matucci, A., Macchia, L., Vianello, A., Vultaggio,
A., Celi, A., Cazzola, M., Paggiaro, P., 2014. Asthma control in
severe ashtmatics under treatment ith omalizumab: A cross-
sectional observational study in Italy. Pulmonary Pharmacology
& Therapeutics, xxx, pp. 1-7.
Patel, M., Philippa S., and Beasley R., 2013. The β-2 agonist debate: is
there still a problem? Current Opinion Allergy Clin Immunol, 1,
pp. 58-62.
Patel, M., Pilcher, J., Reddel, H.K., Qi, V., Mackey, B., Tranquilino, T.,
Shaw, D., Black, P., Weatherall, M., and Beasley R., 2014.
Predictors of severe exacerbations, poor asthma control, and β-
agonist overuse for patient with asthma. American Academy of
Allergy Asthma & Immunology.
Qureshi, F., Zaritsky, A., Wetch, C., Meadows, T., and Burke B.L., 2005.
Clinical efficacy of racemic albuterol versus levalbuterol for the
treatment of acute pediatric asthma.Annals of Emergency
Medicine, Vol. 46 No. 1.
Ricciardolo, F.L.M., Blasi, F., Centanni, S., and Rogliani, P., 2015.
Therapeutic novelties of inhaled corticosteroid and bronchodilators
in asthma. Pulmonary Pharmacology & Therapeutics, xxx, pp.
1-10.
Rigat, R.V., Valls, R.P., Huet, E.H., Maristany J.S., Prat, X.B., Ortiz, L.M.,
Monserrat, P.T., and Santacana, V.R., 2015. Prevalence of work-
Ryan-Ibarra, S., Millet M. Lutxker, M., Rodriguez, D., Induni, M., and
Kreutzer, R., 2016. Age, period, and cohort effects in adult
lifetime asthma prevalence in California: an application of
hierarchial age-period-cohort analysis. Annals of
Epidemiology, 26, pp. 87-92.
Salpeter, S.R., Wall, A.J., and Buckley N.S., 2010. Long-acting beta-
agonist with and without inhaled cosrticosteroid and catastrophic
asthma events. The American Journal of Medicine,123, pp. 322-
328.
Santus, P., Radovavonic, D., Paggiaro, P., Papi, A., Sanduzzi, A.,
Scichilone, N., and Braido, F., 2015. Why use long acting
bronchodilators in chronic obstructive lung diseases? An extensive
review on formoterol and salmeterol. European Journal of
Internal Medicine, xxx (2015) xxx–xxx.
Sachdeva P.D., and Patel., B.G. 2010. Drug Utilization Studies-Scope and
Future Perspectives. International Journal on Pharmaceutical
and Biological Research, 1, pp. 11-7.
Sears, M.R., and Lotvall, J., 2005. Past, present and future-β2-adrenoceptor
agonist in asthma management. Respiratory Medicine, 99,
pp.152-170.
Shapiro, G.S., Yagen, U., Xiang, J., Kottakis, J., and Cioppa., G.D., 2002. A
randomized, double-blind, single-dose, crossover clinical trial of
the onset and duration of protection from excercise-induced
bronchoconstriction by formoterol adn albuterol. Clinical
Therapeutics, vol. 24 No. 12.
Sigurs, N., Aljassim, F., Kjellman, B., Robinson, P.D., Sigurbergsson, F.,
Bjarnason, R., and Gustafsson, P.M., 2010. Asthma and allergy
patterns over 18 years after severe RSVbronchiolitis in the first
year of life. Thorax, 65, pp. 1045–52.
Silva, I.S., Fregonezi, G.A., Dias, F.A., Ribeiro, C.T., Guerra, R.O., and
Ferreira, G.M., 2013 Inspiratory muscle training for asthma.
Cochrane Database of Systematic Reviews, Issue 9.
Tiro, J.J.L., Contreras, E.A.C., del Pozo, M.E.R., Vera, J.G., and
Linnemann, D.L., 2013. Real life study of three years omalizumab
in patients ith difficult-to-control asthma.Allergol
Immunopathol (Madr), xxx(xx):xxx---xxx.
Vatrella, A., Pelaia, G., Parrella, R., Lembo, L.M., Grembiale, R.D., Sofia,
M., and Marsico, S.A., 2002. A single-blind, partial crossover
clinical trial of the effect of inhaled fluticasone propionate and
Weiner, P., Berar-Yanay, N., Davidovich, A., Magadle, R., Weiner, M.,
2000. Specific inspiratory muscle training in patients with mild
asthma with high consumption of inhaled beta2-agonists. Chest,
117(3) pp. 722–7.
Wills B.K., Kwan, C., Bailey, M., Johnson L., and Allan, N., 2015.
Recalcitrant supraventricular tachycardia: occult albuterol
toxicity due to a factitious disorder. The Journal of Emergency
Medicine, Vol. 9 No. 4, pp. 436-438.
Zomer-Kooijker, K., van der Ent, C.K., Ermers, M.J., Uiterwaal, C.S.,
Rovers, M.M., Bont, L.J., 2014. Increased risk of wheeze and
decreasedlung function after respiratory syncytial virus
infection. PLoS One;9(1):e87162.
Lampiran 1
LEMBAR PENGUMPULAN DATA
NO. EMR:
91
Lampiran 2
TABEL INDUK
93
RR: 20/menit
GCS: 15
PASIEN 10 Keluhan Symbicort 160/4,5 mcg 2x1 -
NoEMR: 10618xxx kontrol, obat habis, tidak
Inisial Pasien: DAA sesak, tidak demam, aktifitas
Umur/BB/TB: 34 tahun/50 normal, tidak pernah serangan
kg/158 kg dari 1 tahun yang lalu.
Jeni Kelamin: Perempuan Data Lab
MRS: 27 Mei 2015 PEFR: 350
Diagnosa: Asma Data Klinik
Penyakit Penyerta: - TD: 120/80 mmHg
Riwayat Alergi: - N: 80/menit
Riwayat Obat: - T: 36,5
Status Pembiayaan: JKN RR: 20/menit
Askes
PASIEN 11 Keluhan Ventolin Inhaler 100 -
No EMR: 12464xxx pasien datang untuk kontrol mcg/puff 3x1
Inisial Pasien: THM dan membawa hasil BTA, lab Symbicort 80/4,5 mcg 2x1
Umur/BB/TB: 36 tahun/-/- dan CXR, keluhan sesak sudah Metilprednisolon tablet 4
Jeni Kelamin: Laki-laki membaik tetapi terkadang mg 3x1
MRS: 17 Desember 2015 masih kumat, batuk berkurang,
Diagnosa: Unspesified asma tidak batuk darah, tidak
Penyakit Penyerta: - demam, riwayat asma
Riwayat Alergi: antalgin, bronkial. Gejala lebih dari 3
ampicilin, udang, bau dan minggu, sesak nafas, dahak
aktifitas berat. putih kental, alergi.
PEFR: 200
3. 19 Juni 2015
PEFR: 150
4. 14 Juli 2015
PEFR: 200
ACT: 15
Data Klinik
1. 15 januari 2015
TD: 110/76 mmHg
N: 72/menit
RR: 20/menit
GCS: 15
2. 15 Mei 2015
TD: 114/72 mmHg
N: 80/menit
T: 36,5
RR: 20/menit
GCS: 15
3. 19 Juni 2015
TD: 111/77 mmHg
N: 77/menit
RR: 20/menit
GCS: 15
4. 14 Juli 2015
TD: 96/57 mmHg
N: 82/menit
T: 36,5
RR: 18/menit
GCS: 15
PASIEN 13 Keluhan 1. 13 Februari 2105 17 Februari 2015
No EMR: 10819xxx 1. 13 Februari 2015 Salbutamol inhaler 100 Sefadroksil
Inisial Pasien: NI Keluhan: sesak, sudah berobat mcg/puff 3x1 kapsul/tablet 500
Umur/BB/TB: ke IRD namun masih sesak 2. 16 Februari 2015 mg 2x1
1. 30 tahun/39 kg/150 dan batuk berdahak selama 1 Budesonid-formoterol
cm minggu, badan panas, dalam 80/4,5 mcg 3x1
2. 30 tahun/39 kg/150 satu minggu terjadi serangan 3. 17 Februari 2015
cm lebih dari 3 kali pada malam Symbicort 80/4,5 mcg 1x1
3. 30 tahun/40 kg/150 hari, riwayat penyakit asma. 4. 6 April 2015
cm Kondisi fisik: inspeksi Budesonid-formoterol
4. 30 tahun/43 kg/150 simetris, ves/ves, rh -/- wh-/- 80/4,5 mcg 1x1
cm palpasi.
Jeni Kelamin: Perempuan 2. 16 Februari 2015
MRS: Keluhan: sesak dalam 1
1. 13 Februari 2015 minggu setiap malam hari dan
2. 16 Februari 2015 juga batuk berdahak, riwayat
3. 17 Februari 2015 asma mulai sesak sejak hamil
4. 6 April 2015 3 bulan anak pertama, dahak
Diagnosa: kental dan mengi.
1. Asma Kondisi fisik: inspeksi
2. Asma simetris, rh-/- wh -/-, abdomen
3. Asma dbn, jantung normal,
4. Asma ekstremitas normal.
MBC: 102,7
FVC: 3500
4. 6 April 2015
PEFR: 410
ACT: 21
Data Klinik
1. 13 Februari 2015
TD: 94/62 mmHg
N: 120/menit
T: 36,5
RR: 20/ menit
GCS: 15
2. 16 Februari 2015
TD: 97/62 mmHg
N: 102/menit
T: 36
RR: 24/menit
GCS: 15
3. 17 Februari 2015
TD: 110/70 mmHg
N: 80/menit
RR: 20/menit
GCS: 15
4. 6 April 2015
TD: 109/56 mmHg
N: 88/menit
T: 36,6
RR: 20/menit
GCS: 15
PASIEN 14 Keluhan Budesonid formoterol -
No EMR:12402xxx pasien datang membawa foto 160/4,5 mcg 2x1
Inisial Pasien: DAL thorax dan sputum SPS, tidak Salbutamol inhaler 100
Umur/BB/TB: 21 tahun/41 sesak, tidak batuk, tidak ada mcg/puff 1x1
kg/- penurunan BB, tidak ada
Jeni Kelamin: Perempuan gejala keringat malam. Gejala
MRS: 17 Maret 2015 biasanya 3 minggu. Riwayat
Diagnosa: Asma penyakit asma.
Penyakit Penyerta: - Kondisi fisik: inspeksi
Riwayat Alergi: alergi debu simetris, ICS (sim), fremitus
dan dingin suara normal, perkusi (sonor
Riwayat Obat: - kanan-kiri), normal, suara
Status Pembiayaan: umum nafas # gerak nafas (sim)
Data Lab
FEV1: 113
VC: 130
MBC: 132
Obstruksi normal, restriksi
normal, foto thorax cor dan
pulmo normal
Data Klinik
TD: 110/70 mmHg
N: 88/menit
RR: 18/menit
GCS: 15
PASIEN 15 Keluhan 1. 7 April 2015 16 Juni 2015
No EMR: 10821xxx 1. 7 April 2015 Fenoterol HBr inhaler 100 Azitromisin tablet
Inisial Pasien: AZP Keluhan: pasien kontrol, tidak mcg/puff 3x1 500 mg 1x1
Umur/BB/TB: batuk, tidak demam, tidak Budesonid-formoterol Ambroxol tablet 30
1. 38 tahun/-/160 cm sesak, riwayat penyakit asma 160/4,5 mcg 2x1 mg 3x1
2. 38 tahun/60 kg/160 bronkial. 2. 30 April 2015
cm Kondisi fisik: inspeksi Fenoterol HBr inhaler 100
3. 39 tahun/-/- simetris, ICS simetris, fremitus mcg/puff 3x1
4. 39 tahun/-/- normal (sim), gerak nafas Budesonid-formoterol
Jeni Kelamin: Perempuan (sim), perkusi # 160/4,5 mcg 2x1
MRS: 2. 30 April 2015 3. 15 Mei 2015
1. 7 April 2015 Keluhan: sesak berkurang, Fenoterol HBr inhaler 100
2. 30 April 2015 batuk berkurang, tidak demam, mcg/puff 3x1
3. 15 Mei 2015 riwayat asma sejak muda. Budesonid-formoterol
4. 16 Juni 2015 Kondisi fisik: i/p sim, perkusi 160/4,5 mcg 2x1
Diagnosa: so/so auskultasi v/v rh -/- wh - 4. 16 Juni 2015
1. Asma kronik /-, palpasi v/v rh-/- wh -/- Symbicort 160/4,5 mcg 2x1
(obstruksi) 3. 15 Mei 2015 Berotec 200 mcg 3x1
2. Asma kronik Pasien kontrol, obat habis,
3. Asma kronik tidak sesak, tidak batuk, pilek,
4. Predeominantly riwayat asma
allergic asthma 4. 16 Juni 2015
Penyakit Penyerta: - Keluhan: pasien kontrol,
Riwayat Alergi: - batuk, tidak sesak, gejala 2
GCS: 15
3. 15 Mei 2015
TD: 114/75
N: 94/menit
T:36,5
RR: 20/menit
GCS: 15
4. 16 Juni 2015
TD: 114/82 mmHg
N: 80/menit
RR: 20/menit
GCS: 15
PASIEN 16 Keluhan Flutikason propionat cairan -
No EMR: 10214xxx tidak batuk, demam, tidak 50 mcg/dosis 2x1
Inisial Pasien: YLA sesak, nafsu makan menurun, Fenoterol HBr inhaler 3x1
Umur/BB/TB: 37 tahun/- tidak terjadi penurunan BB,
/155 cm riwayat asma sejak kecil.
Jeni Kelamin: Perempuan Kondisi fisik: I/P
MRS: 3 Maret 2015 simetris,perkusi so/so,
Diagnosa: Asma auskultaasi v/v, rh -/- wh -/-.
Penyakit Penyerta: - Data Lab
Riwayat Alergi: - PEFR: 260
Riwayat Obat: - Data Klinik
Status Pembiayaan: IKS TD: 109/77 mmHg
KLS 2 Nayaka Era Husada N: 76/menit
(ASO) PT T: 36
RR: 18/menit
GCS: 15
PASIEN 17 Keluhan Salbutamol inhaler 100 Sefadrokil
No EMR: 10735xxx kontrol, sesak tadi malam dan mcg/puff kapsul/tablet 500
Inisial Pasien: ZLK timbul serangan, batuk tidak mg 2x1
Umur/BB/TB: 38 tahun/49 berdahak, 3 hari, panas, Kodein tablet 10
kg/155 cm nggreges dan mual, tidak mg 3x1
Jeni Kelamin: Perempuan muntah, nyeri ulu hati, riwayat Ranitidin tablet 150
MRS: 5 Februari 2015 asma, dispepsia. mg 2x1
Diagnosa: Asma Kondisi fisik: inspeksi Antasida tablet
Penyakit Penyerta: - simetris, - ves/ves, rh -/- wh kunyah 3x1
Riwayat Alergi: - +/+ palpasi
Riwayat Obat: - Data Lab
Status Pembiayaan: Nayaka PEFR: 150
IKS KLS 2 Data Klinik
TD: 113/91 mmHg
N: 90/menit
T: 36,8
RR: 20/menit
GCS: 15
PASIEN 18 Keluhan Fenoterol HBr inhaler 100 -
No EMR: 12460xxx Kontrol, obat habis, saat ini mcg/puff 1x1
Inisial Pasien: MYS tidak ada keluhan, penyebab Budesonid-formoterol
Umur/BB/TB: 32 tahun/54 alergen 80/4,5 mcg 1x1
kg/160 cm Kondisi fisik: rh -/- wh -/-
Jeni Kelamin: laki-laki Data Lab
TD:160/106 mmHg
N: 110/menit
T: 36,5
RR: 20/menit
GCS: 15
3. 7 April 2015
TD: 165/119
N: 88/menit
T: 36,6
RR: 20/menit
GCS: 15
PASIEN 20 Keluhan 1. 3 Juli 2015 3 Juli 2015
No EMR: 10359xxx 1. 3 Juli 2015 Salbutamol tablet 2 mg Amoksisilin tablet
Inisial Pasien: SRA Keluhan: batuk sejak 3 hari, Metilperdnisolon tablet 4 500 mg
Umur/BB/TB: 26 dahak berwarna kuning, sesak, mg 3x1 Paracetamol tablet
tahun/50kg/150 cm seak sejak tadi malam. 2. 1 Desember 2015 500 mg
Jeni Kelamin: Perempuan Kondisi fisik: palpasi suara Fenoterol HBr inhaler 100
MRS: nafas (ves/ves), suara mcg/puff 3x1
1. 3 Juli 2015 tambahan (rh-/-, wh -/-), vocal Metilprednisolon 4 mg 3x1
2. 1 Desember 2015 sound normal, ICS (sim),
Diagnosa: fremitus suara normal, gerak
1. Asma nafas (sim, perkusi#)
2. Asma 2. 1 Desember 2015
Penyakit Penyerta: - Keluhan: mengambil obat,
Riwayat Alergi: dingin asma kumat 6 bulan yang lalu.
Riwayat Obat: - Kondisi fisk: rh -/- wh-/-
RR: 18/menit
GCS: 15
PASIEN 23 Keluhan 1. 27 Februari 2015 -
No EMR: 12126xxx 1. 27 Februari 2015 Fenoterol HBr inhaler 100
Inisial Pasien: ALW Tidak batuk, tidak sesak dan mcg/puff 3x2
Umur/BB/TB: tidak demam. Salbutamol vial 2,5 mg/ml
1. 38 tahun/-/- Kondisi Fisik: auskultasi v/v 1x1
2. 38 tahun/60 kg/160 rh -/- wh -/-,abdomen dbn, Budesonid 25 mg/ml
cm akral hangat -/-, edema -/-. 2. 27 Maret 2015
3. 39 tahun/56 kg/160 2. 27 Maret 2015 Salbutamol inhaler 100
cm Kontrol, tidak batuk, tidak eak, mcg/puff 3x1
Jeni Kelamin: Perempuan tidak demam. Salbutamol vial 2,5 mg/ml
MRS: Kondisi fisik: suara nafas 1x1
1. 27 Februari 2015 (ves/ves), suara tambahan (rh - 3. 31 Juli 2015
2. 27 Maret 2015 /- wh-/-), ICS (sim). Fremitus Fenoterol HBr 100 mcg/puff
3. 31 juli 2015 suara normal (sim), gerak 3x1
Diagnosa: nafas (sim), perkusi #. Budesonid 200 mcg/dois
1. Asma 3. 31 juli 2015 2x1
2. Asma Keluhan: pasien kontrol, ambil Salbutamol vial 2,5 mg/ml
3. Asma obat, tidak sesak, tidak 3x1
Penyakit Penyerta: - demam, nafsu makan tidak Flutikason propionat cairan
Riwayat Alergi: debu berkurang, tidak ada 0,5 mg/dosis 1x1
Riwayat Obat: - penurunan BB, tidak terjadi
Status Pembiayaan: keringat malam.
1. JKN Askes Kondisi fisk: suara nafas
Golongan 1 ()ves/ves), suara tambahan (rh-
TD: 121/77
N: 88/menit
T: 36,5
RR: 18/menit
GCS: 15
PASIEN 24 Keluhan 1. 19 Januari 2015 -
No EMR: 107996xxx 1. 19 Januari 2015 Salbutamol serbuk +
Inisial Pasien: BMS sesak sejak 4 hari yang rotahaler 200 mcg/kapsul
Umur/BB/TB: lalu, riwayat asma sejak 1x1
1. 20 tahun/50 kg/160 kelas 5 SD, tidak pernah 2. 1 Juni 2015
cm kumat sama sekali, Fenoterol HBr inhaler 100
2. 20 tahun/50 kg/160 terkadang demam. Kondisi mcg/puff 3x1
cm fisik: palpasi sim rh -/- wh- Metilprednisolon tablet 4
Jeni Kelamin: Perempuan /- mg 3x1
MRS: 2. 1 Juni 2015 Cetrizin tablet 10 mg 1x1
1. 19 Januari 2015 pasien kontrol, obat habis,
2. 1 Juni 2015 tidak seak, batuk, tidak
Diagnosa: demam, aktifitas fisik
1. Predominantly terbatas, riwayat asma
allergic asthma bronkial. Kondisi fisik:
2. Asma inspeksi simetris son/son,
Penyakit Penyerta: - ves/ves, rh -/- wh -/-, ku
Riwayat Alergi: - baik
Riwayat Obat: - Data Lab
Status Pembiayaan: 1. 19 Januari 2015
1,2. Umum PEFR: 140
2. 1 Juni 2015
PEFR: 260
Data Klinik
1. 19 Januari 2015
TD: 107/79 mmHg
N: 88/menit
RR: 18/menit
GCS: 15
2. 1 Juni 2015
TD: 114/82 mmHg
N: 83/menit
T: 36,5
RR: 20/menit
GCS: 15
PASIEN 25 Keluhan: datang pertama, Salbutamol inhaler 100 -
No EMR: 12179xxx sesak saat malam dan mcg/puff 3x2
Inisial Pasien: YAT terbangun karena sesak sejak 2 Metilprednisolon tablet 4
Umur/BB/TB: 27 tahun/60 minggu yang lalu, 3 tahun mg 3x1
kg/- yang lalu riwayat uap di IRD,
Jeni Kelamin: Perempuan aktifitas biasa, serangan
MRS: 22 Meri 2015 terakhir dalam minggu ini,
Diagnosa: Asma riwayat asma bronkial.
Penyakit Penyerta: - Kondisi fisik: inspeksi
Riwayat Alergi: debu simetris# son/son, ves/ves, rh -
Riwayat Obat: - /- wh -/-
Status Pembiayaan: umum Data Lab
PEFR: 250
ACT: 12
Data Klinik
TD: 133/84 mmHg
N: 108/menit
T: 36,5
RR: 20/menit
GCS: 15
PASIEN 26 Keluhan: sesak nafas 3 hari Metilprednisolon tablet 4 Codein tablet 10
No EMR: 12398xxx terutama saat capek, batuk mg 3x1 mg 3x1
Inisial Pasien: NFZ hilang dan timbul, dalam 1 Salbutamol tablet 2 mg 3x1
Umur/BB/TB: 18 tahun/-/- tahun 2-3 kali kambuh, riwayat Cetrizin tablet 10 mg 2x1
Jeni Kelamin: Perempuan asma bronkial.
MRS: 27 Februari 2015 Kondisi fisik: inspeksi
Diagnosa: Asma simetris, palpasi normal
Penyakit Penyerta: - Data Lab
Riwayat Alergi: - FEV1: 1830 (56%)
Riwayat Obat: - FVC: 2840 (56%)
Status Pembiayaan: Umum VC: 2820 (88%)
MBC: 62,9 (65%)
Obstruksi ringan dan tidak ada
restriksi.
Data Klinik
TD: 120/80 mmHg
N: 80/menit
RR: 20/menit
GCS: 15
PASIEN 27 Keluhan: pasien datang Salbutamol tablet 2 mg 3x1 Amoxicillin tablet
No EMR: 12398xxx dengan keluhan sesak nafas Metilprednisolon tablet 4 500 mg 3x1
Inisial Pasien: MRN (tadi malam kambuh), batuk mg 3x1 Ranitidine tablet
Umur/BB/TB: 18 tahun/ 55 disertai dahak sejak sehari 150 mg 2x1
kg/ 170 cm yang lalu, tidak demam, tidka
Jeni Kelamin: Laki-laki pilek, riwayat asma bronkial.
MRS: 24 Februari 2015 Kondisi fisik: inspeksi
Diagnosa: Asma tidak simetris, ICS (N), fremitus
terkontrol suara normal, gerak nafas
Penyakit Penyerta: - (sim), perkusi normal, suara
Riwayat Alergi: dingin nafas#
(pilek) Data Lab
Riwayat Obat:- ACT: 15 (tidak terkontrol)
Status Pembiayaan: umum Data Klinik
TD: 120/80 mmHg
N: 88/menit
T: 37
RR: 16/menit
GCS: 15
PASIEN 28 Keluhan: pasien datang Salbutamol inhalaer100 -
No EMR: 10509xxx dengan keluhan tidak sesak, mcg/puff 3x1
Inisial Pasien: DM tidak demam, terakhir sesak 1 Budesonid-formoterol
Umur/BB/TB: 28 tahun/-/- mingggu yang lalu, riwayat 160/4,5 mcg 2x1
Jeni Kelamin: perempuan asma bronkial.
MRS: 24 April 2015 Kondisi fisk: inspeksi simetris