Professional Documents
Culture Documents
Alam Nusantara
Se ia Maka a Kebijakan
K
Isu Saat Ini dan Rekomendasi Kebijakan
Rizal Algamar
Country Director
Indonesia Program
Permasalahan yang terus dihadapi oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menunjukkan adanya
masalah sistemik mendasar (terbukti dalam beberapa bentuk dan ukuran yang ada di kementerian
terkait) yang membutuhkan pengambilan kebijakan antar kementerian yang canggih dan kompleks.
Pembuatan kebijakan hendaknya a) fokus pada proses sebanding dengan fokus pada hasil dan b) fokus
pada penyederhanaan dan pemotongan lintas batas-batas kementerian agar menjadi efektif. Makalah ini
memberikan latar belakang untuk memahami kebutuhan akan kebijakan tersebut dan untuk memberikan
solusi alternatif agar KPH mampu menangani tantangan-tantangan yang ada dengan baik.
Merujuk pada Dokumen Kebijakan Kementerian Kehutanan Tahun 20111, akar masalah dalam pembangu-
nan kehutanan adalah:
Isu-isu mendasar yang bertanggung jawab atas masalah yang dihadapi oleh KPH seperti:
1. Konflik dengan masyarakat atas hak komunal, akses di dalam dan sekitar hutan;
2. Terbatas dukungan sumber pendanaan dari pusat/pemerintah daerah;
3. Adanya kekurang-harmonisan kerja antara KPH dan Dinas Kehutanan Kabupaten, Provinsi dan
Kementerian Kehutanan;
4. Terbatasnya sinergi di kalangan pelaku di kawasan hutan KPH; dan
5. Ketidakefektifan penilaian kinerja di tingkat KPH pada pengelolaan hutan lestari.
Melalui berbagai studi literatur, seperti Dokumen Kebijakan Tahun 2011 dan lainnya, serta hasil diskusi
kelompok terfokus (focus group discussion) yang dihadiri staf KPH dan ahli kehutanan lainnya, makalah
kebijakan ini merekomendasikan sebagai berikut:
Pertama, kami merekomendasikan bahwa, sebelum berakhirnya kabinet presiden saat ini di tahun 2019,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus membentuk gugus tugas untuk melakukan anali-
sis antar-organisasi yang mengidentifikasi a) adanya tumpang tindih tanggung jawab organisasi, dan b)
kepentingan kunci/pokok yang menjadi titik intermediasi, untuk memulai proses reformasi sistemik dan
penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan yang telah diidentifikasi
di Kementerian Kehutanan pada tahun 2011.
Kedua, sebagai bagian khusus yang terkait dengan rekomendasi pertama di atas, kami merekomen-
dasikan bahwa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus mempercepat resolusi dari tiga masalah
sistemik utama yang diidentifikasi oleh Surat Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor B-197/01-30/01/2013
tanggal 23 Januari 2013. Yaitu (a) pertentangan kebijakan dan peraturan antar sektor; (b) pembentukan
KPH tidak optimal dilakukan; dan (c) adanya, mekanisme manajemen konflik berbasis hutan yang adil di
sektor kehutanan.
Untuk mempercepat proses penyelesaian masalah sistemik, kami merekomendasikan bahwa Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan membentuk komite independen kecil untuk memverifikasi apakah
tiga masalah sistemik utama di sektor kehutanan yang diidentifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) seperti di atas telah ditangani, dan jika tidak, alasan dan tindak lanjut untuk menyelesaikannya
dalam jangka waktu tertentu. Komite ini harus melapor kembali kepada Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan dalam waktu enam (6) bulan. Lebih lanjut, hal ini juga akan menjadi kesempatan bagi Komite
untuk menyelesaikan empat akar masalah seperti yang diidentifikasi oleh Dokumen Kebijakan 2011 di atas.
Ketiga, kami merekomendasikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan hendaknya melakukan pem-
buatan peta-jalan (roadmap) penataan organisasi dalam jangka pendek (1 tahun), menengah (5 tahun)
dan jangka panjang (minimal 10 tahun) untuk KPH yang profesional dan independen - politis dan finansi-
al – di seluruh Indonesia atau melakukan pilihan, untuk bersama-sama meningkatkan/menyempurnakan
peta-jalan dalam Dokumen Kebijakan Tahun 2011.
Bias ini dalam mengukur hasil kinerja pembangunan di kurangnya pengelolaan hutan yang intensif,
karena dianggap pusat biaya, dan hutan dapat dengan mudah dikonversi untuk penggunaan lain kare-
na mereka tidak dianggap menawarkan banyak manfaat. Dalam prakteknya, hasil ini dalam alokasi
anggaran negara rendah untuk sektor kehutanan
Soal No 1: Konflik dengan masyarakat atas hak komunal, akses di dalam dan sekitar hutan
1. Konflik Tenurial Berat: Ini adalah situasi dimana bukti kuat kepemilikan hak masyaraka atas tanah dima-
salahkan dan ini terjadi pada banyak kasus. Masalah ini meningkat karena kelalaian dalam menangani
klaim tersebut dengan benar.
2. Konflik Tenurial Kecil: Ini adalah situasi dimana bukti yang lemah kepemilikan ditantang/diperma-
salahkan. Masalah ini biasanya disebabkan oleh individu miskin atau masyarakat yang mendapatkan
penguasaan atas lahan hutan untuk mempertahankan mata pencaharian mereka.
3. Akses ke Sumber Daya Hutan: Ini adalah situasi dimana bagian dari lahan hutan sedang digunakan
namun tanpa klaim kepemilikan/kontrol atas tanah tersebut. Hal ini biasanya ditoleransi karena alasan
historis yang kuat atas kegiatan tersebut.
4. Aktivitas Haram/Ilegal: Ini adalah situasi tindakan untuk memanfaatkan bagian/sebagian dari lahan
hutan dengan mengakses dan/atau mengendalikan bagian/sebagian tersebut. Pemanfaatan tersebut
tidak didasarkan pada bukti-bukti yang kuat dari hak kepemilikan atau bahkan alasan historis.
Dengan tipologi beragam seperti konflik yang dihadapi oleh KPH, tidak ada strategi generik tunggal
yang mampu menyelesaikan masalah-masalah tersebut8. Namun, KPH Rinjani Kabupaten Lombok Barat
dan Utara adalah contoh dari upaya yang bisa menginternalisasi pendekatan manajemen konflik dalam
operasi sehari-hari nya. KPH juga meminta bantuan Samdana, sebuah organisasi non-pemerintah (NGO/
LSM) untuk membantu dalam membuka jalur komunikasi, negosiasi, dan mediasi hak ekonomi penduduk
desa Rempek. Akhirnya dikombinasikan dengan kepemimpinan yang kuat dari Kepala KPH Rinjani,
kesepakatan damai tercapai. Hal ini yang juga penting untuk dicatat di sini adalah kedua belah pihak
menghindari sistem peradilan formal untuk menyelesaikan masalah9.
Kasus di atas menunjukkan contoh pentingnya KPH memiliki staf yang mampu dan memiliki kapasi-
tas dalam mengelola konflik sosial dengan penduduk atau tindakan dari pemangku kepentingan lainnya
di kawasan hutan setempat: program budidaya hutan non KPH (menggarap hutan), klaim kepemilikan
tanah, dan pembangunan rumah dan hotel di kawasan hutan KPH10. Sedangkan dalam kasus KPH Batu
Tegi (Lampung) dan KPH Tasik Besar Serkap (Riau) konflik lebih bermotif politik, karena itu diperlukan
tingkat kepercayaan yang tinggi dan kecerdasan untuk mengatasi situasi yang kompleks ini oleh kepala
KPH agar stabilitas sosial di daerah itu terjaga.
Pendapat dan pengamatan dari unsur KPH dan Ahli Kehutanan terhadap Persoalan No 111:
• Perwakilan dari KPH umumnya mengonfirmasi dan mendukung pendekatan manajemen
konflik KPH Rinjani Barat dan Utara Kabupaten Lombok tetapi mereka juga menegaskan bahwa
cara-cara lain yang efektif untuk mengelola konflik dengan masyarakat di dalam dan seki-
tar hutan juga tersedia. Misalnya, melakukan negosiasi berbasis bukti atas klaim kepemilikan,
memberdayakan masyarakat lokal untuk mengatur perlindungan diri kawasan hutan terha-
dap gangguan-gangguan, penggunaan pemetaan konflik dan analisis pemangku kepentingan
untuk mengidentifikasi pemimpin informal yang berpengaruh, mengakui dan menghormati keha-
diran budaya masyarakat setempat yang sudah lama dan penting, memprioritaskan pendekatan
informal dalam mengelola (potensi) konflik. Namun, semua upaya dalam pengelolaan
konflik, terutama dalam konflik tenurial, mungkin harus dibatasi karena untuk dukungan dana
pemerintah pusat dan daerah tidak mencukupi.
• Sementara itu, pakar kehutanan mengamati bahwa permasalahan No 1 harus lebih kontekstu-
al: (a) pendekatan yang dilakukan oleh KPH Rinjani Kabupaten Lombok Barat dan Utara unik,
keadaan sosial budaya di daerah itu dan di masa itu (keragaman) dan karena itu, tidak dapat
sepenuhnya dianggap sebagai model yang berlaku untuk semua KPH di Indonesia; dan (b)
kemampuan ini adalah unik untuk KPH Rinjani tetapi secara umum KPH masih dalam tahap
"pembangunan", sehingga peningkatan kapasitas KPH untuk dapat mengelola konflik tetap
tinggi untuk dimasukkan dalam agenda.
Manajer KPH secara hukum diperlukan untuk menghasilkan aksi dan tindakan pengelolaan hutan12. Mereka
perlu untuk memimpin organisasi yang juga dapat memberikan keuntungan ekonomi, mengembangkan
investasi bisnis yang tepat dalam kawasan hutan yang ditetntukan untuk menciptakan lapangan kerja,
memiliki kompetensi dalam perencanaan dan melindungi kepentingan publik, serta efektif menanggapi isu-
isu global tentang perubahan iklim saat ini. Untuk berada pada kapasitas seperti itu, pengetahuan tentang
strategi pendanaan organisasi menjadi penting untuk memastikan bahwa KPH tetap beroperasi secara
berkesinambungan. Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 oleh Suryandari dan Sylviani me-
nguatkan pernyataan tersebut13.
Namun, berdasarkan laporan Kemenhut Tahun 201414, banyak KPH yang secara finansial masih tergantung
pada pendanaan anggaran pemerintah pusat (APBN) dan juga sampai batas tertentu, dana pemerintah
daerah (APBD). Hal ini menjadi lebih rumit karena beberapa KPH juga melaporkan bahwa dukungan dana
yang signifikan dari pemerintah daerah dapat menurun selama periode pemilihan umum tingkat daerah
atau nasional dan bahkan penggalangan dana menjadi sia-sia15. Seperti dalam kasus KPH Berau Barat di
Kalimantan Timur mereka beruntung untuk dapat meningkatkan sumber pendanaan alternatif. Untuk ta-
hun 2013 dan 2014, KPH ini menerima dana tahunan antara Rp 3-5 milyar tapi masih belum cukup untuk
KPH beroperasi secara efektif, namun beruntung karena adanya dukungan dana pelengkap yang diterima
dari kedua lembaga internasional dan nasional seperti The Nature Conservancy, GIZ FORCLIME Kerjasama
Teknis dan Keuangan, Tropical Forest Conservation Act/TFCA Kalimantan Region, dan Corporate Social
Responsibility (CSR) dari pemegang konsesi hutan di daerah itu .
1. Mendirikan Sekretariat Pengembangan KPH untuk meningkatkan koordinasi dalam dan di luar Kemen-
hut, dan Sekretariat tersebut akan mengikuti urusan operasional KPH;
2. Menyelenggarakan program sosialisasi publik tahunan di KPH di tingkat nasional, provinsi, kabupaten
dan tingkat kota. Dana tersebut diberikan oleh Kemenhut dan Pemerintah Daerah melalui dana dekon-
sentrasi;
3. KPH melakukan koordinasi langsung dengan Pemerintah Daerah;
4. Berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk memberdayakan KPH sebagaima-
na diatur oleh Peraturan Mendagri No 61 Tahun 2010 tentang tata kelola organisasi KPH (Kawasan
Perlindungan Hutan/Lindung/KPHL) dan KPH (Hutan Produksi Daerah/Produksi/KPHP).
Dokumen Kebijakan Tahun 2011 menyatakan bahwa "... Kontra-produktivitas sering muncul karena
lembaga tidak mampu memberikan solusi, peluang investasi atau pengembangan nilai tambah, dan sering
menyebabkan biaya transaksi yang tinggi ..."18. Hal yang sama juga dijumpai pada penelitian kebijakan yang
dilakukan oleh BAPPENAS19. Masalah ini juga telah disebutkan sebelumnya dan karena itu menunjukkan
keterkaitan dengan permasalahan No 1 dengan kemampuan KPH saat ini dalam mengelola konflik atau
potensi konflik.
Pendapat dan pengamatan dari unsur KPH dan Ahli Kehutanan terhadap Persoalan Nomor 220:
• Perwakilan KPH mengonfirmasi bahwa sumber daya pemerintah pusat/daerah untuk mendukung
KPH berfungsi dengan benar terbatas. Oleh karena itu, sebagai kepala unit, mereka harus tetap
efisien dalam menjalankan operasinya dan kreatif dalam mencari pelengkap, juga dukungan
pendanaan alternatif untuk melaksanakan kegiatan atau program-programnya. Kedua,
mereka menjelaskan lebih jauh dalam menggambarkan tingkat keparahan situasi keuangan KPH.
Sebagai contoh, pada Tahun Anggaran 2016/2017, anggaran yang ada hanya cukup untuk biaya
operasional, dan tidak untuk kegiatan yang terprogram. Ketiga, mereka mengonfirmasi ketidak-
pahamannya mengenai keberadaan Sekretariat Pengembangan KPH, tugas-tugas dalam
memastikan pengembangan yang tepat, termasuk menyelesaikan persoalan urusan operasional
KPH di Indonesia.
• Demikian pula, para ahli menegaskan bahwa sumber daya pemerintah pusat/daerah untuk men-
dukung KPH berfungsi dengan benar juga terbatas. Oleh karena itu, baik Kementerian Kehutanan
dan kemudian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menyusun kebijakan untuk
KPH bertransisi menjadi relatif “independen", baik dari perspektif keuangan atau politik, dalam
bentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Namun, hal ini masih merupakan proses yang
Soal No 3: Insiden hubungan kerja yang kurang harmonis antara KPH dan Dinas Kehutanan
Kabupaten, Provinsi dan Kementerian Kehutanan
Kompleksitas hubungan antara KPH dan instansi pemerintah lainnya juga dapat disebabkan karena
faktor lain seperti (a) penerapan yang tidak konsisten dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
61 Tahun 2010 tentang Tata Kelola Organisasi KPH karena berbagai kesiapan dan rendahnya respon
Pemerintah Daerah, dukungan dana yang terbatas oleh Pemerintah Daerah, perencanaan program yang
kurang harmonis antara KPH dan kantor Dinas Kehutanan Daerah21; dan (b) apabila ada keharusan KPH
dibentuk sebagai bagian dari organisasi Pemerintah Daerah, maka keberadaannya akan tergantung pada
persetujuan politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, seperti dalam contoh 4 KPH di Kabupaten Berau,
Kalimantan Timur22.
Adanya kebijakan yang berubah juga menimbulkan efek negatif. Seperti perubahan pada UU Nomor 23
tahun 2014, terutama dilihat sebagai penghambat bagi perubahan positif dalam pembangunan KPH. Hal
ini memberikan indikasi lain pada akar permasalahan yang diidentifikasi oleh kementerian pemerintah
sendiri pada tahun 2011 dan lagi pada tahun 2014 di bawah istilah-istilah seperti: kontra-produktivitas
kelembagaan, muatan undang-undang dan peraturan yang bertentangan, pengelolaan hutan di tingkat
bawah yang tidak efektif, dan kelembaman (inersia) organisasi.
Pendapat dan pengamatan dari unsur KPH dan Ahli Kehutanan terhadap Persoalan No 323:
• Para wakil mengonfirmasi dan mendukung upaya untuk membangun dan menciptakan
hubungan kerja yang harmonis antara KPH dan Dinas Kehutanan Kabupaten, Provinsi dan
Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Namun,
masalahnya berulang, tidak hanya KPH dapat terikat kepada pemerintah (elit) politik lokal tetapi
juga ditemukan bahwa transisi ke KPH “independen” perlu dipercepat, untuk mengatasi ‘kebi-
ngungan status’ yang membatasi operasional KPH dan mobilitas pekerjaan lapangan yang
efektif. Kedua, perwakilan juga membahas efek UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, di mana perubahan drastis dari otoritas atas KPH sekarang telah "meresentralisasi" dari
Pemerintah Kabupaten/Kota ke Pemerintah Propinsi. Dalam prakteknya, efek ini bukan hanya
tentang laporan otoritas atas atau kepada siapa KPH sekarang harus melaporkan tetapi juga
realokasi/redistribusi staf Pemerintah Daerah di KPH.
• Para ahli juga menegaskan dan mendukung pentingnya membangun dan menciptakan
hubungan kerja yang harmonis antara KPH dan Dinas Kehutanan Kabupaten, Provinsi dan
selanjutnya Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan).
Namun, merkea juga berharap bahwa terlepas dari kehadiran UU No. 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, ini seharusnya tidak mencegah KPH untuk mempertahankan hubungan
baiknya dengan semua instansi pemerintah. Hal ini sangat penting karena seperti yang disebut-
kan sebelumnya, KPH merupakan posisi terbaik sebagai simpul untuk manajemen konflik dan
koordinasi antar pemangku kepentingan.
Soal No 4: Sinergi Terbatas antara para pelaku dalam kawasan hutan KPH
Sistem KPH awalnya dipahami sebagai cara untuk memperbaiki pengelolaan hutan di lokasi, sementara
administrasi kehutanan (yaitu, menetapkan tujuan dan kebijakan yang relevan) adalah tanggung jawab
Kementerian Kehutanan (Kemenhut, sekarang ditata ulang sebagai Kementerian Lingkungan Hidup dan
Meskipun contoh di KPH Rinjani Kabupaten Lombok Barat dan Utara yang disebutkan di atas tidak
melibatkan masalah pada tumpang tindih kepentingan antara skema hutan masyarakat dan orang-orang
dari KPH, pendekatan yang dilakukan oleh Kepala KPH dapat dipertimbangkan untuk ditiru/direplikasi
untuk semua KPH lainnya. Melalui fasilitasi sinergi antara pelaku, KPH juga mendukung pemeliharaan
perdamaian dan ketertiban.
Pendapat dan pengamatan dari unsur KPH dan Ahli Kehutanan terhadap Persoalan Nomor 426:
• Para perwakilan mengonfirmasi dan mendukung upaya untuk membangun sinergi antar pelaku
pengelolaan hutan di daerah KPH, tetapi perwakilan juga berbagi rasa frustrasi mereka pada
peraturan-peraturan yang ada saat ini yang membatasi prospek 'independen' KPH, dan birokra-
si yang rumit dalam perijinan bisnis kehutanan menyebabkan hambatan dalam membangun
sinergi.
• Sementara itu, para ahli mengamati adanya Konferensi Kepala KPH di Indonesia yang
menyatakan KPH akan menjadi titik pusat untuk pengelolaan konflik antar pemangku
kepentingan, ini akan mendorong mereka bersinergi. Misalnya, Kepala KPH perlu menerapkan
program perhutanan sosial dengan bantuan Kelompok Kerja Kementerian pada Perhutanan
Sosial (Social Forestry).
Soal No 5: Evaluasi Kinerja yang Tidak Efektif di Tingkat KPH Pengelolaan Hutan Lestari
Selanjutnya Kementerian Kehutanan menetapkan Model KPH se-Indonesia dengan tujuan untuk (a)
untuk melayani sebagai media pembelajaran dalam mendapatkan masukan untuk menyempurnakan
konsep, kebijakan dan pelaksanaan kegiatan sebagai lembaga yang baru dibentuk; (b) sebagai titik
acuan bagi lainnya yang akan didirikan KPH; dan (c) sebagai indikator keterbukaan dan dukungan oleh
Pemerintah Daerah untuk pendirian KPH.
Pada tahun 2014, Kemenhut telah berhasil membentuk 120 KPH, yang terdiri dari 30 Kesatuan Penge-
lolaan Hutan Lindung (KPHL) dan 81 Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dengan dukungan
Pemerintah Daerah. Berdasarkan penilaian kapasitas organisasi model KPH tersebut, lebih dari 50%
dari baik KPH Produksi dan KPH Lindung dianggap dalam kondisi "baik" dan "sangat baik". Meskipun
hasilnya tampak menjanjikan, tetapi sebagai dijelaskan di tempat lain dalam makalah ini, tantangan
untuk pembangunan KPH di Indonesia selalu ada27.
Tantangan pertama, tentang bagaimana meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia
dalam mengelola KPH. Berdasarkan peraturan saat ini, semua staf dari KPH direkrut berbasiskan pega-
wai pemerintah pusat dan daerah. Namun, berdasarkan survei 2012 yang dilakukan oleh Pusat Perenca-
naan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan Kementerian Kehutanan (Pusrenbanghut)
menunjukkan bahwa hanya 56% dari pegawai yang direkrut secara teknis mampu dalam manajemen
kehutanan tingkat nasional, sedangkan di tingkat lokal hanya 44% yang direkrut secara teknis mampu.
Tidak ada data yang tersedia tentang keadaan kualitas sumber daya manusia di KPH tapi informasi di
atas dapat disimpulkan bahwa KPH juga tidak memiliki kelompok karyawan profesional yang layak28.
Kedua, dilaporkan bahwa profesionalisme proses perekrutan di tingkat pemerintah daerah bagi
karyawan KPH dipertanyakan, dan dirusak oleh intervensi eksternal. Misalnya, proses perekrutan untuk
menunjuk kepala sebuah KPH terlalu dipengaruhi oleh para pemimpin Pemerintah Daerah dan da-
lam satu kasus menciptakan hubungan kerja yang kurang harmonis dengan Kepala Dinas Kehutanan
setempat .
Ketiga dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, KPH juga masih membutuhkan kapasitas
penting dalam mengelola konflik, terutama ketika dihadapkan dan berusaha untuk menyelesaikan
perebutan hak yang tumpang tindih di daerah yang lahan atau hutan konsesi berada di lingkupnya29.
Pendapat dan pengamatan dari unsur KPH dan Ahli Kehutanan terhadap Persoalan No. 532:
• Para perwakilan mengonfirmasi dan mendukung upaya mengevaluasi kinerja KPH secara efektif.
Kedua, banyak usaha yang diperlukan agar terlaksana, terutama untuk membangun metode
evaluasi kontekstual karena tidak semua KPH memiliki karakteristik yang sama. Ketiga, metode
pelatihan ing-griya (in-house) bisa diubah melalui teknik pembelajaran orang dewasa.
• Sementara itu, para ahli berpendapat bahwa belum ada evaluasi kinerja standar untuk KPH.
Lembaga Penilai Independen (LPI) baru-baru ini mengembangkan metode ini. Dua tahun lalu
ada tiga proyek percontohan untuk mengevaluasi kinerja KPH yaitu KPH Tasik Besar, KPH Berau
Barat, dan KPH Yogyakarta. Kedua inisiatif secara terpisah sedang didanai oleh dua direktorat
jenderal di kementerian tetapi alasan mengapa terpisah tidak diketahui.
Meskipun masalah di atas teridentifikasi, Dokumen Kebijakan 2011 juga mencari beberapa analisis hipote-
sis tentang pentingnya kehadiran dan peran KPH untuk membuat hutan lestari di Indonesia. Berikut ini
adalah ringkasan dan versi adopsi, yang tampaknya menunjukkan bahwa meskipun pembangunan KPH
tetap menantang, tetapi konsep KPH juga tetap penting dalam perlindungan sehari-hari hutan Indonesia
dalam tahun-tahun mendatang.
D. Implikasi Kebijakan
Ada dua implikasi kebijakan dalam mengembangkan KPH. Pertama, mengakui dan mengatasi
masalah sistemik. Kedua, menciptakan lingkungan yang memungkinkan KPH untuk berkembang secara
profesional.
Berdasarkan laporan kebijakan tahun 2014 yang dilakukan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan
Nasional (BAPPENAS), usaha-usaha sebelumnya untuk perbaikan sistemik telah dilakukan dalam be-
berapa waktu yang lalu38. Sejak 2010, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi menilai Sistem
Perencanaan dan Pengelolaan Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan.
Banyak masalah dasar yang ditemukan, antara lain: (a) Ketidakharmonisan kebijakan dan peraturan antar
sektor; (b) Pembentukan KPH yang tidak optimal dilakukan; dan (c) Tidak adanya, mekanisme manaje-
men konflik berbasis hutan yang adil. Selanjutnya, laporan tersebut juga menjelaskan kekhawatiran resmi
Komisi melalui surat No. B-197/01-30/01/2013 tanggal 23 Januari 2013, pada tidak adanya upaya bersa-
Setahun kemudian, KPK mengadakan pertemuan tentang kemajuan pelaksanaan komitmen bersama.
Kemajuan dianggap telah mencapai "50%" namun tantangan yang dihadapi tetap sama, antara lain:
koordinasi antar lembaga yang lemah, implementasi pelaksanaan pada pemenuhan isi dokumen lebih
mengemuka daripada dampak substantif untuk reformasi, keterlibatan publik tidak dioptimalkan, dan
rencana aksi yang tidak terfokus pada hal-hal strategis40.
Tidak ada perkembangan yang berarti sejak pertemuan November 2014 menunjukkan perlunya
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini untuk menciptakan 'lingkungan yang mendukung'
KPH untuk berkembang secara profesional41. Upaya tersebut mungkin tidak perlu besar, namun pendeka-
tan kecil tapi cepat untuk membangun atas komitmen bersama dapat menjadi awal untuk menciptakan
lingkungan itu. Berikut ini adalah kerangka umum dan panduan praktis, dalam konteks administrasi publik
yang merangkum bagaimana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat berkontribusi untuk
merealisasikan lingkungan yang lebih baik.
Dalam hal ini sebelum berakhirnya kabinet presiden saat ini di 2019, kami merekomendasikan bahwa
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terdepan dalam perbaikan tersebut, dimulai dengan menge-
luarkan kebijakan-kebijakan yang disesuaikan dalam rangka mempercepat reformasi sistemik dan
penegakan kebijakan tersebut melalui sektor kehutanan dan sektor lain yang terkait erat, baik di tingkat
pemerintah pusat maupun daerah.
Kedua, posisi strategis Kesatuan Pengelolaan Hutan di garis depan adalah hal yang penting, sebagai
entitas pengelolaan hutan sehari-hari di tingkat dasar (tingkat tapak), kami merekomendasikan bahwa
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan memimpin dalam menanggapi Surat Komisi Pemberantasan
Korupsi Nomor B-197/01-30/01/2013 tanggal 23 Januari 2013 tentang mengatasi masalah sistemik di sek-
tor kehutanan Indonesia sebagai bagian dari memprofesionalkan KPH.
Oleh karenanya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan hendaknya membentuk komite inde-
penden kecil, melaporkan langsung kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam waktu
enam (6) bulan, untuk memverifikasi dan mensintesis kemajuan/pencapaian kepemimpinannya oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mewakilik sebelas (11) kementerian lainnya/instan-
si pemerintah terhadap tiga masalah sistemik utama di sektor kehutanan yang diidentifikasi oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK):
(A) Ketidakharmonisan kebijakan dan peraturan antar sektor;
(B) Pembentukan KPH yang tidak optimal; dan
(C) Tidak adanya mekanisme manajemen konflik berbasis hutan yang adil di sektor kehutanan;
Komite ini akan terdiri dari para pejabat senior dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
minimal mewakili Direktorat Jenderal Planologi Kawasan Kehutanan, Direktorat Jenderal Pengelolaan
Hutan dan Produk Ramah Lingkungan, Sekretariat Pengembangan KPH dan Dewan Kehutanan. Pada
prinsipnya, semua dokumentasi dan laporan yang dihasilkan oleh komite ini ditujukan pada Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan yang kemudian dapat dengan mudah diakses oleh umum dengan menempatkan-
nya di situs resmi kementerian.
Ketiga, sekali lagi dengan posisi strategis Kesatuan Pengelolaan Hutan di tingkat dasar, kami merekomen-
dasikan bahwa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan hendaknya membangun kerjasama seperti
dengan Komisi Pemberantasan Kontra dengan dalam jangka pendek (1 tahun), jangka menengah (5 ta-
hun) dan jangka panjang (minimal 10 tahun) sebagai peta jalan untuk KPH yang profesional independen
-politis dan finansial- se-Indonesia atau pilihan lain, untuk bersama-sama meningkatkan dan menyempur-
nakan peta-jalan pada Dokumen Kebijakan 201148.
Tim Pengembangan Kebijakan: Dr. Ahmad Derry Habir (Direktur IPMI Case Center), Agus Loekman (Senior Fellow,
IPMI), Dr. Asnan Furinto (Doktor Penelitian Dosen Manajemen Binus), Rizal Bukhari (Manager Senior Kebijakan Ke-
hutanan Nasional, TNC Indonesia), Wahjudi Wardojo (Penasihat Senior, TNC Indonesia)
Pakar Materi Materi: Dr. Agus Setyarso (Pakar Praktisi dan Kehutanan UPH), Dr. Bramasto Nugroho
(Akademisi di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor), Drasoslopino (Direktur KPH-P di
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Haryanto Putro (Ahli Ekologi, Keanekaragaman Hayati, Kebijakan,
dan Sertifikasi Hutan) Herlina Hartanto, Ph.D. (Direktur Terestrial, TNC Indonesia), dan Dr. Soetrisno (Ketua Sekretar-
iat Nasional Pengembangan UPH untuk Indonesia).
BIBLIOGRAFI
Dokumen kebijakan
1. Djajono, Ali, Lilit Siswanty, Eds, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan. Forest Management Development Unit
(KPH): Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi, Direktorat Pengelolaan Kawasan dan Preparasi dari
Kawasan Hutan Utiliz asi, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Oktober 2011.
2. Sugiharto, Ed., Strategi Pengembangan KPH Dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia, Direktorat Wilayah
Pengelolaan Dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan,Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan,
Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan, Des bara 2014.
Studi
1. Shaxon, Louise, Josephine Tsui, Synthesising and Presenting Complex Evidence for Policy Making: Experience
with Annual Report Cards, April 2016.
2. Shaxon. Louise, Investing in Evidence: Lessons from the UK Department for Environment, Food and Rural Affairs,
November 2014.
3. Sahide, Muhammad Alif K., Lukas Giessena, The Fragmented Land Use Administration in Indonesia-Analysing
Bureaucratic Responsibilities Influencing Tropical Rainforest Transformation Systems, Land Use Policy, 10 No-
vember 2014.
4. Siswanto, Wandojo, et al, Background Study RPJMN Kehutanan 2015-2019: Laporan Akhir, Kementerian Peren-
canaan Pembangunan Nasional / Bappenas, Maret 2014
5. Kim, Yeon-Su, et.al, Indonesia's Forest Management Units: Effective intermediaries in REDD+ Implementation?
Forest Policy and Economics, September 2015.
"Kesatuan Pengelolaan Hutan: Isu Saat Ini dan Rekomendasi Kebijakan untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan" oleh Kepala
Kesatuan Pengelolaan Hutan di Hotel Atlet Century, 23 November, 2016 dan Subject Matter Experts di TNC Office, 25 November 2016.
12
Pasal 8 ayat 1 Peraturan Pemerintah No 3 tahun 2008.
13
Sugiharto., Ed., Op.cit., H. 66.
14
Ibid.
15
Ibid., P. 66.
16
Ibid., P. 66.
17
Ibid., P. 57.
18
Djajono, Ali dan Siswanty, Lilit, Eds, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan: Konsep,
Peraturan Perundangan dan Implementasi, Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, Direktur
Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Oktober 2011, hlm. 19
Siswanto, Wandojo, et al, Background Study RPJMN Kehutanan 2015-2019: Laporan Akhir, Kementerian Perencanaan Pembangunan
19
Yayasan Konservasi Alam Nusantara adalah Didirikan pada 1951, The Nature Conservancy
afiliasi lokal The Nature Conservancy yang merupakan organisasi konservasi terkemuka di
memiliki izin untuk menggunakan tanda dan dunia yang beroperasi di 72 negara. Misi dari
logo The Nature Conservancy di Indonesia. The Nature Conservancy adalah melestarikan
Misi Yayasan Konservasi Alam Nusantara ada- tanah dan air yang menjadi sumber kehidupan
lah melestarikan tanah dan air yang menjadi seluruh makhluk hidup. Kekuatan kami melipu-
sumber kehidupan seluruh makhluk hidup. ti, antara lain:
• Rekam jejak keberhasilan berbagai proyek
konservasi laut dan darat skala besar di
seluruh Indonesia.
• Pengalaman lebih dari 25 tahun bekerja di
lapangan bersama dan melalui kemitraan.
• Kemitraan kuat dengan pemerintah, sek-
tor swasta, masyarakat, dan organisasi sipil
mulai dari tingkat nasional hingga desa.
Indonesia
Telp : +6221 7279 2043 @ID_Nature
Fax : +6221 7279 2044 The Nature Conservancy
Email : Indonesia@tnc.org in Indonesia
22 The Nature Conservancy - Policy Paper Series