You are on page 1of 24

Yayasan Konservasi

Alam Nusantara

Se ia Maka a Kebijakan

K
Isu Saat Ini dan Rekomendasi Kebijakan

The Nature Conservancy - Policy Paper Series A


©Nick HallConservancy - Policy Paper Series
B The Nature
Kata Pengantar

KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN


Isu aa ni an ek en a i Kebijakan

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat bergantung


pada sumber daya alam nasional. Meskipun Indonesia
adalah salah satu negara dengan tingkat keanekaraga-
man hayati di dunia; kemiskinan, tekanan demografis,
pembangunan yang tidak direncanakan dengan baik
dan tidak berkelanjutan serta dampak perubahan iklim
juga memberi tekanan pada sumber daya alamnya.
The Nature Conservancy (TNC) secara konsisten mendukung pemerintah
pemerintah Indonesia dalam mengatasi tantangan ini dengan memberikan
bukti ilmiah untuk pertimbangan reformasi peraturan dan pertimbangan
perubahan kebijakan. Studi kebijakan pertama ini - yang dilakukan melalui
rangkaian diskusi kelompok (FGD) – yaitu mengenai pengembangan Kesa-
tuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. Hal ini merupakan isu pen-
ting yang harus dibahas, terutama setelah pemerintah menerbitkan sebuah
dokumen penting, "Pengembangan KPH: Konsep, Regulasi dan Implemen-
tasi" (Dokumen Kebijakan 2011).
Secara hukum, Unit Pengelolaan Hutan (KPH) adalah bagian dari garis
depan terkecil pemerintah yang diberi mandat untuk mengelola kawasan
hutan secara efisien dan lestari. Mereka bertindak sebagai perwakilan
pemerintah pusat secara langsung di tempat yang mengatur perencanaan
hutan, pengelolaan hutan, rehabilitasi, perlindungan, dan konservasi. Selain
itu, KPH juga bertindak sebagai jembatan untuk kolaborasi antara calon
investor dan masyarakat hutan dan dukungan untuk mencapai kehutanan
yang berkelanjutan. KPH mendorong pertumbuhan bisnis lokal produktif,
yang melibatkan masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta, memastikan
pembangunan ekonomi lokal. Dengan kewenangan semacam itu, diharap-
kan dalam waktu dekat KPH bisa kuat secara finansial dan mampu meng-
hasilkan modal yang cukup.
Ukuran hutan produksi di Indonesia adalah 68,99 juta Ha, sedangkan izin
produksi hutan alam yang diberikan kepada pemegang konsesi hutan
adalah 19,20 juta Ha. Hutan produksi merupakan lahan yang sangat potensial
karena memiliki peran penting dalam isu perubahan iklim untuk mengurangi
emisi karbon dengan menerapkan praktik RIL-C di lapangan. Oleh karena
itu, Kepala KPH perlu mendorong pemegang konsesi hutan di wilayah ker-
janya untuk melakukan praktik RIL-C. Keberhasilan mengurangi emisi, se-
bagai bagian dari agenda nasional untuk menyelesaikan NDC di Indonesia,
sangat bergantung pada keefektifan KPH sebagai kekuatan pendorong.
The Conservancy berharap agar dokumen kebijakan ini dapat digunakan
untuk memperkaya pengetahuan masyarakat dan memperbaiki kualitas
peraturan lingkungan dan kehutanan di Indonesia.

Jakarta, Juni 2017

Rizal Algamar
Country Director
Indonesia Program

The Nature Conservancy - Policy Paper Series 1


Ringkasan Eksekutif

Permasalahan yang terus dihadapi oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menunjukkan adanya
masalah sistemik mendasar (terbukti dalam beberapa bentuk dan ukuran yang ada di kementerian
terkait) yang membutuhkan pengambilan kebijakan antar kementerian yang canggih dan kompleks.
Pembuatan kebijakan hendaknya a) fokus pada proses sebanding dengan fokus pada hasil dan b) fokus
pada penyederhanaan dan pemotongan lintas batas-batas kementerian agar menjadi efektif. Makalah ini
memberikan latar belakang untuk memahami kebutuhan akan kebijakan tersebut dan untuk memberikan
solusi alternatif agar KPH mampu menangani tantangan-tantangan yang ada dengan baik.

Merujuk pada Dokumen Kebijakan Kementerian Kehutanan Tahun 20111, akar masalah dalam pembangu-
nan kehutanan adalah:

1. Ketidakpastian atas hak untuk kawasan hutan;


2. Keadaan pembangunan di lembaga kehutanan
3. Isi hukum dan peraturan
4. Penentuan nilai tambah sektor kehutanan

Isu-isu mendasar yang bertanggung jawab atas masalah yang dihadapi oleh KPH seperti:

1. Konflik dengan masyarakat atas hak komunal, akses di dalam dan sekitar hutan;
2. Terbatas dukungan sumber pendanaan dari pusat/pemerintah daerah;
3. Adanya kekurang-harmonisan kerja antara KPH dan Dinas Kehutanan Kabupaten, Provinsi dan
Kementerian Kehutanan;
4. Terbatasnya sinergi di kalangan pelaku di kawasan hutan KPH; dan
5. Ketidakefektifan penilaian kinerja di tingkat KPH pada pengelolaan hutan lestari.

Melalui berbagai studi literatur, seperti Dokumen Kebijakan Tahun 2011 dan lainnya, serta hasil diskusi
kelompok terfokus (focus group discussion) yang dihadiri staf KPH dan ahli kehutanan lainnya, makalah
kebijakan ini merekomendasikan sebagai berikut:

Pertama, kami merekomendasikan bahwa, sebelum berakhirnya kabinet presiden saat ini di tahun 2019,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus membentuk gugus tugas untuk melakukan anali-
sis antar-organisasi yang mengidentifikasi a) adanya tumpang tindih tanggung jawab organisasi, dan b)
kepentingan kunci/pokok yang menjadi titik intermediasi, untuk memulai proses reformasi sistemik dan
penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan yang telah diidentifikasi
di Kementerian Kehutanan pada tahun 2011.

Kedua, sebagai bagian khusus yang terkait dengan rekomendasi pertama di atas, kami merekomen-
dasikan bahwa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus mempercepat resolusi dari tiga masalah
sistemik utama yang diidentifikasi oleh Surat Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor B-197/01-30/01/2013
tanggal 23 Januari 2013. Yaitu (a) pertentangan kebijakan dan peraturan antar sektor; (b) pembentukan
KPH tidak optimal dilakukan; dan (c) adanya, mekanisme manajemen konflik berbasis hutan yang adil di
sektor kehutanan.

Untuk mempercepat proses penyelesaian masalah sistemik, kami merekomendasikan bahwa Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan membentuk komite independen kecil untuk memverifikasi apakah
tiga masalah sistemik utama di sektor kehutanan yang diidentifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) seperti di atas telah ditangani, dan jika tidak, alasan dan tindak lanjut untuk menyelesaikannya
dalam jangka waktu tertentu. Komite ini harus melapor kembali kepada Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan dalam waktu enam (6) bulan. Lebih lanjut, hal ini juga akan menjadi kesempatan bagi Komite
untuk menyelesaikan empat akar masalah seperti yang diidentifikasi oleh Dokumen Kebijakan 2011 di atas.

Ketiga, kami merekomendasikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan hendaknya melakukan pem-
buatan peta-jalan (roadmap) penataan organisasi dalam jangka pendek (1 tahun), menengah (5 tahun)
dan jangka panjang (minimal 10 tahun) untuk KPH yang profesional dan independen - politis dan finansi-
al – di seluruh Indonesia atau melakukan pilihan, untuk bersama-sama meningkatkan/menyempurnakan
peta-jalan dalam Dokumen Kebijakan Tahun 2011.

2 The Nature Conservancy - Policy Paper Series


A. Latar Belakang
Secara hukum Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah lembaga pemerintah terkecil dan terdepan
yang diberi mandat untuk mengelola kawasan hutan di Indonesia secara efisien dan berkelanjutan. Se-
cara historis, KPH didirikan melalui pengembangan dari Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi (KPHP).
Tahun 1997-1998, laju deforestasi di Indonesia mencapai lebih dari 3 juta hektar per tahun, diikuti oleh
pendudukan ilegal dan kegiatan di dalam kawasan hutan, dan bahwa selama lebih dari 40 tahun pengelo-
laan hutan di luar Pulau Jawa lebih intensif dan eksploitatif, oleh karenanya pengembangan KPH menjadi
penting. Dengan kata lain, pembangunan KPH menjadi prioritas penting pemerintah setelah mengamati
lemahnya pengelolaan kawasan hutan di lapangan (kondisi de facto "akses terbuka"), sehingga meng-
hambat pelaksanaan program pembangunan kehutanan Indonesia secara keseluruhan2.

B. Akar Masalah dalam Pembangunan Kehutanan


1. Ketidakpastian atas Hak untuk Kawasan Hutan3:
Ada konflik atau potensi konflik yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan baik di daerah
pengelolaan maupun yang tidak. Diperkirakan ada sekitar 17,6-24,4 juta hektar hutan yang berkonflik,
dalam bentuk tumpang tindih klaim antara klaim hutan negara dan klaim dari masyarakat adat (adat),
masyarakat setempat lainnya, desa/perkembangan dusun, dan kehadiran ijin sektor lainnya yang
berada di kawasan hutan.

2. Bentuk pembangunan di lembaga kehutanan4:


Meski telah diamanatkan oleh UU No. 41/1999, belum ada kebijakan yang kuat dan diarahkan
untuk membentuk sebuah organisasi pemerintah yang berfungsi untuk mengelola hutan di lapangan.
Sebagai akibatnya, tidak ada informasi yang cukup tentang pemanfaatan hutan, yang berarti
bahwa hutan secara de facto dikuasai oleh pemegang izin. Ketika izin berakhir, atau tidak aktif, hutan
itu kemudian menjadi akses terbuka, yang memungkinkan orang untuk memanfaatkan mereka tanpa
kontrol, dan mengakibatkan kerusakan berskala besar.

3. Muatan Hukum dan Peraturan5:


Baik Propinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan untuk memberikan pertim-
bangan teknis perencanaan dan perijinan di bawah kewenangannya. Pendistribusian otoritas ini pada
dasarnya merupakan "struktur" dalam menentukan distribusi dan penggunaan sumber daya ekonomi,
politik dan administrasi yang membentuk tata kelola kehutanan. Bentuk struktural seperti ini sangat
tidak efisien dan menghasilkan ekonomi biaya tinggi, orientasi jangka pendek dan konflik. Keluaran
dari tata kelola ini telah mengakibatkan degradasi hutan dan tumpang tindih alokasi manfaat hutan.

4. Penentuan nilai tambah sektor kehutanan6:


Masalah kehutanan juga dipengaruhi oleh kebingungan dalam menghitung nilai tambah. Penting-
nya sektor diukur dari nilai tambah dalam hal kinerja pembangunan. Pengukuran ini digunakan dalam
menghitung Pendapatan Domestik Bruto, yang dibatasi oleh nilai barang dan jasa di harga pasar.
Pengukuran ini tidak menguntungkan pengelolaan hutan. Ada kerugian besar karena aliran manfaat
hutan dalam bentuk jasa lingkungan tidak pernah dianggap sebagai manfaat pembangunan. Sebuah
kerugian kedua adalah penurunan kinerja kerja lembaga-lembaga pengelolaan hutan.

Bias ini dalam mengukur hasil kinerja pembangunan di kurangnya pengelolaan hutan yang intensif,
karena dianggap pusat biaya, dan hutan dapat dengan mudah dikonversi untuk penggunaan lain kare-
na mereka tidak dianggap menawarkan banyak manfaat. Dalam prakteknya, hasil ini dalam alokasi
anggaran negara rendah untuk sektor kehutanan

The Nature Conservancy - Policy Paper Series 3


C. Kesatuan Pengelolaan Hutan: Masalah Saat Ini
Berdasarkan Dokumen Kebijakan 2011, ada lima masalah yang dihadapi oleh KPH di Indonesia. Bahasan
berikut ini berusaha untuk merefleksikan masalah-masalah tersebut dengan perspektif saat ini.

Soal No 1: Konflik dengan masyarakat atas hak komunal, akses di dalam dan sekitar hutan

Dari perspektif pengelolaan hutan, ada empat jenis konflik7:

1. Konflik Tenurial Berat: Ini adalah situasi dimana bukti kuat kepemilikan hak masyaraka atas tanah dima-
salahkan dan ini terjadi pada banyak kasus. Masalah ini meningkat karena kelalaian dalam menangani
klaim tersebut dengan benar.
2. Konflik Tenurial Kecil: Ini adalah situasi dimana bukti yang lemah kepemilikan ditantang/diperma-
salahkan. Masalah ini biasanya disebabkan oleh individu miskin atau masyarakat yang mendapatkan
penguasaan atas lahan hutan untuk mempertahankan mata pencaharian mereka.
3. Akses ke Sumber Daya Hutan: Ini adalah situasi dimana bagian dari lahan hutan sedang digunakan
namun tanpa klaim kepemilikan/kontrol atas tanah tersebut. Hal ini biasanya ditoleransi karena alasan
historis yang kuat atas kegiatan tersebut.
4. Aktivitas Haram/Ilegal: Ini adalah situasi tindakan untuk memanfaatkan bagian/sebagian dari lahan
hutan dengan mengakses dan/atau mengendalikan bagian/sebagian tersebut. Pemanfaatan tersebut
tidak didasarkan pada bukti-bukti yang kuat dari hak kepemilikan atau bahkan alasan historis.

Dengan tipologi beragam seperti konflik yang dihadapi oleh KPH, tidak ada strategi generik tunggal
yang mampu menyelesaikan masalah-masalah tersebut8. Namun, KPH Rinjani Kabupaten Lombok Barat
dan Utara adalah contoh dari upaya yang bisa menginternalisasi pendekatan manajemen konflik dalam
operasi sehari-hari nya. KPH juga meminta bantuan Samdana, sebuah organisasi non-pemerintah (NGO/
LSM) untuk membantu dalam membuka jalur komunikasi, negosiasi, dan mediasi hak ekonomi penduduk
desa Rempek. Akhirnya dikombinasikan dengan kepemimpinan yang kuat dari Kepala KPH Rinjani,
kesepakatan damai tercapai. Hal ini yang juga penting untuk dicatat di sini adalah kedua belah pihak
menghindari sistem peradilan formal untuk menyelesaikan masalah9.

Kasus di atas menunjukkan contoh pentingnya KPH memiliki staf yang mampu dan memiliki kapasi-
tas dalam mengelola konflik sosial dengan penduduk atau tindakan dari pemangku kepentingan lainnya
di kawasan hutan setempat: program budidaya hutan non KPH (menggarap hutan), klaim kepemilikan
tanah, dan pembangunan rumah dan hotel di kawasan hutan KPH10. Sedangkan dalam kasus KPH Batu
Tegi (Lampung) dan KPH Tasik Besar Serkap (Riau) konflik lebih bermotif politik, karena itu diperlukan
tingkat kepercayaan yang tinggi dan kecerdasan untuk mengatasi situasi yang kompleks ini oleh kepala
KPH agar stabilitas sosial di daerah itu terjaga.

Pendapat dan pengamatan dari unsur KPH dan Ahli Kehutanan terhadap Persoalan No 111:
• Perwakilan dari KPH umumnya mengonfirmasi dan mendukung pendekatan manajemen
konflik KPH Rinjani Barat dan Utara Kabupaten Lombok tetapi mereka juga menegaskan bahwa
cara-cara lain yang efektif untuk mengelola konflik dengan masyarakat di dalam dan seki-
tar hutan juga tersedia. Misalnya, melakukan negosiasi berbasis bukti atas klaim kepemilikan,
memberdayakan masyarakat lokal untuk mengatur perlindungan diri kawasan hutan terha-
dap gangguan-gangguan, penggunaan pemetaan konflik dan analisis pemangku kepentingan
untuk mengidentifikasi pemimpin informal yang berpengaruh, mengakui dan menghormati keha-
diran budaya masyarakat setempat yang sudah lama dan penting, memprioritaskan pendekatan
informal dalam mengelola (potensi) konflik. Namun, semua upaya dalam pengelolaan
konflik, terutama dalam konflik tenurial, mungkin harus dibatasi karena untuk dukungan dana
pemerintah pusat dan daerah tidak mencukupi.
• Sementara itu, pakar kehutanan mengamati bahwa permasalahan No 1 harus lebih kontekstu-
al: (a) pendekatan yang dilakukan oleh KPH Rinjani Kabupaten Lombok Barat dan Utara unik,
keadaan sosial budaya di daerah itu dan di masa itu (keragaman) dan karena itu, tidak dapat
sepenuhnya dianggap sebagai model yang berlaku untuk semua KPH di Indonesia; dan (b)
kemampuan ini adalah unik untuk KPH Rinjani tetapi secara umum KPH masih dalam tahap
"pembangunan", sehingga peningkatan kapasitas KPH untuk dapat mengelola konflik tetap
tinggi untuk dimasukkan dalam agenda.

4 The Nature Conservancy - Policy Paper Series


Soal No 2: Terbatasnya dukungan pusat/pemerintah daerah dalam sumber pendanaan

Manajer KPH secara hukum diperlukan untuk menghasilkan aksi dan tindakan pengelolaan hutan12. Mereka
perlu untuk memimpin organisasi yang juga dapat memberikan keuntungan ekonomi, mengembangkan
investasi bisnis yang tepat dalam kawasan hutan yang ditetntukan untuk menciptakan lapangan kerja,
memiliki kompetensi dalam perencanaan dan melindungi kepentingan publik, serta efektif menanggapi isu-
isu global tentang perubahan iklim saat ini. Untuk berada pada kapasitas seperti itu, pengetahuan tentang
strategi pendanaan organisasi menjadi penting untuk memastikan bahwa KPH tetap beroperasi secara
berkesinambungan. Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 oleh Suryandari dan Sylviani me-
nguatkan pernyataan tersebut13.

Namun, berdasarkan laporan Kemenhut Tahun 201414, banyak KPH yang secara finansial masih tergantung
pada pendanaan anggaran pemerintah pusat (APBN) dan juga sampai batas tertentu, dana pemerintah
daerah (APBD). Hal ini menjadi lebih rumit karena beberapa KPH juga melaporkan bahwa dukungan dana
yang signifikan dari pemerintah daerah dapat menurun selama periode pemilihan umum tingkat daerah
atau nasional dan bahkan penggalangan dana menjadi sia-sia15. Seperti dalam kasus KPH Berau Barat di
Kalimantan Timur mereka beruntung untuk dapat meningkatkan sumber pendanaan alternatif. Untuk ta-
hun 2013 dan 2014, KPH ini menerima dana tahunan antara Rp 3-5 milyar tapi masih belum cukup untuk
KPH beroperasi secara efektif, namun beruntung karena adanya dukungan dana pelengkap yang diterima
dari kedua lembaga internasional dan nasional seperti The Nature Conservancy, GIZ FORCLIME Kerjasama
Teknis dan Keuangan, Tropical Forest Conservation Act/TFCA Kalimantan Region, dan Corporate Social
Responsibility (CSR) dari pemegang konsesi hutan di daerah itu .

Kami memahami bahwa inisiatif untuk mengatasi masalah tersebut adalah17:

1. Mendirikan Sekretariat Pengembangan KPH untuk meningkatkan koordinasi dalam dan di luar Kemen-
hut, dan Sekretariat tersebut akan mengikuti urusan operasional KPH;
2. Menyelenggarakan program sosialisasi publik tahunan di KPH di tingkat nasional, provinsi, kabupaten
dan tingkat kota. Dana tersebut diberikan oleh Kemenhut dan Pemerintah Daerah melalui dana dekon-
sentrasi;
3. KPH melakukan koordinasi langsung dengan Pemerintah Daerah;
4. Berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk memberdayakan KPH sebagaima-
na diatur oleh Peraturan Mendagri No 61 Tahun 2010 tentang tata kelola organisasi KPH (Kawasan
Perlindungan Hutan/Lindung/KPHL) dan KPH (Hutan Produksi Daerah/Produksi/KPHP).

Dokumen Kebijakan Tahun 2011 menyatakan bahwa "... Kontra-produktivitas sering muncul karena
lembaga tidak mampu memberikan solusi, peluang investasi atau pengembangan nilai tambah, dan sering
menyebabkan biaya transaksi yang tinggi ..."18. Hal yang sama juga dijumpai pada penelitian kebijakan yang
dilakukan oleh BAPPENAS19. Masalah ini juga telah disebutkan sebelumnya dan karena itu menunjukkan
keterkaitan dengan permasalahan No 1 dengan kemampuan KPH saat ini dalam mengelola konflik atau
potensi konflik.

Pendapat dan pengamatan dari unsur KPH dan Ahli Kehutanan terhadap Persoalan Nomor 220:
• Perwakilan KPH mengonfirmasi bahwa sumber daya pemerintah pusat/daerah untuk mendukung
KPH berfungsi dengan benar terbatas. Oleh karena itu, sebagai kepala unit, mereka harus tetap
efisien dalam menjalankan operasinya dan kreatif dalam mencari pelengkap, juga dukungan
pendanaan alternatif untuk melaksanakan kegiatan atau program-programnya. Kedua,
mereka menjelaskan lebih jauh dalam menggambarkan tingkat keparahan situasi keuangan KPH.
Sebagai contoh, pada Tahun Anggaran 2016/2017, anggaran yang ada hanya cukup untuk biaya
operasional, dan tidak untuk kegiatan yang terprogram. Ketiga, mereka mengonfirmasi ketidak-
pahamannya mengenai keberadaan Sekretariat Pengembangan KPH, tugas-tugas dalam
memastikan pengembangan yang tepat, termasuk menyelesaikan persoalan urusan operasional
KPH di Indonesia.
• Demikian pula, para ahli menegaskan bahwa sumber daya pemerintah pusat/daerah untuk men-
dukung KPH berfungsi dengan benar juga terbatas. Oleh karena itu, baik Kementerian Kehutanan
dan kemudian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menyusun kebijakan untuk
KPH bertransisi menjadi relatif “independen", baik dari perspektif keuangan atau politik, dalam
bentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Namun, hal ini masih merupakan proses yang

The Nature Conservancy - Policy Paper Series 5


berlangsung dan keberhasilannya juga tergantung pada dukungan penuh dari tiga kementerian
terkait: Keuangan, Aparatur Negara, dan Lingkungan Hidup & Kehutanan itu sendiri. Kedua, para
ahli juga mencatat adanya kesalahan fungsi (dysfunctionality) dari kementerian dalam mendiri-
kan Sekretariat Pengambangan KPH, yang dipertimbangkan untuk memonitor dan membantu
dalam pengembangan organisasi KPH di Indonesia. Ketiga, mekanisme perencanaan KPH saat
ini melalui Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP) perlu diubah: lebih terinte-
grasi dengan perencanaan pelayanan dan sistem penganggaran. Saat ini, ada ketidaksesuaian
perencanaan antara program kementerian dan informasi penganggaran karena tidak berdasar-
kan data RPHJP KPH.

Soal No 3: Insiden hubungan kerja yang kurang harmonis antara KPH dan Dinas Kehutanan
Kabupaten, Provinsi dan Kementerian Kehutanan

Kompleksitas hubungan antara KPH dan instansi pemerintah lainnya juga dapat disebabkan karena
faktor lain seperti (a) penerapan yang tidak konsisten dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
61 Tahun 2010 tentang Tata Kelola Organisasi KPH karena berbagai kesiapan dan rendahnya respon
Pemerintah Daerah, dukungan dana yang terbatas oleh Pemerintah Daerah, perencanaan program yang
kurang harmonis antara KPH dan kantor Dinas Kehutanan Daerah21; dan (b) apabila ada keharusan KPH
dibentuk sebagai bagian dari organisasi Pemerintah Daerah, maka keberadaannya akan tergantung pada
persetujuan politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, seperti dalam contoh 4 KPH di Kabupaten Berau,
Kalimantan Timur22.

Adanya kebijakan yang berubah juga menimbulkan efek negatif. Seperti perubahan pada UU Nomor 23
tahun 2014, terutama dilihat sebagai penghambat bagi perubahan positif dalam pembangunan KPH. Hal
ini memberikan indikasi lain pada akar permasalahan yang diidentifikasi oleh kementerian pemerintah
sendiri pada tahun 2011 dan lagi pada tahun 2014 di bawah istilah-istilah seperti: kontra-produktivitas
kelembagaan, muatan undang-undang dan peraturan yang bertentangan, pengelolaan hutan di tingkat
bawah yang tidak efektif, dan kelembaman (inersia) organisasi.

Pendapat dan pengamatan dari unsur KPH dan Ahli Kehutanan terhadap Persoalan No 323:
• Para wakil mengonfirmasi dan mendukung upaya untuk membangun dan menciptakan
hubungan kerja yang harmonis antara KPH dan Dinas Kehutanan Kabupaten, Provinsi dan
Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Namun,
masalahnya berulang, tidak hanya KPH dapat terikat kepada pemerintah (elit) politik lokal tetapi
juga ditemukan bahwa transisi ke KPH “independen” perlu dipercepat, untuk mengatasi ‘kebi-
ngungan status’ yang membatasi operasional KPH dan mobilitas pekerjaan lapangan yang
efektif. Kedua, perwakilan juga membahas efek UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, di mana perubahan drastis dari otoritas atas KPH sekarang telah "meresentralisasi" dari
Pemerintah Kabupaten/Kota ke Pemerintah Propinsi. Dalam prakteknya, efek ini bukan hanya
tentang laporan otoritas atas atau kepada siapa KPH sekarang harus melaporkan tetapi juga
realokasi/redistribusi staf Pemerintah Daerah di KPH.
• Para ahli juga menegaskan dan mendukung pentingnya membangun dan menciptakan
hubungan kerja yang harmonis antara KPH dan Dinas Kehutanan Kabupaten, Provinsi dan
selanjutnya Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan).
Namun, merkea juga berharap bahwa terlepas dari kehadiran UU No. 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, ini seharusnya tidak mencegah KPH untuk mempertahankan hubungan
baiknya dengan semua instansi pemerintah. Hal ini sangat penting karena seperti yang disebut-
kan sebelumnya, KPH merupakan posisi terbaik sebagai simpul untuk manajemen konflik dan
koordinasi antar pemangku kepentingan.

Soal No 4: Sinergi Terbatas antara para pelaku dalam kawasan hutan KPH

Sistem KPH awalnya dipahami sebagai cara untuk memperbaiki pengelolaan hutan di lokasi, sementara
administrasi kehutanan (yaitu, menetapkan tujuan dan kebijakan yang relevan) adalah tanggung jawab
Kementerian Kehutanan (Kemenhut, sekarang ditata ulang sebagai Kementerian Lingkungan Hidup dan

6 The Nature Conservancy - Policy Paper Series


Kehutanan) dan instansi lain di berbagai tingkat pemerintahan (Kartodihardjo et al., 2011)24. Namun, sistem
yang dibuat terpusat ini menambah kompleksitas dalam struktur pengelolaan yang ada, terutama untuk
skema kehutanan masyarakat (community forestry). Dampak dari sistem KPH terutama pada administra-
si dan manajemen kehutanan masyarakat karena telah menjadi faktor kunci dari desentralisasi tata kelola
hutan di Indonesia sejak cepatnya reformasi desentralisasi yang dimulai pada tahun 199825.

Meskipun contoh di KPH Rinjani Kabupaten Lombok Barat dan Utara yang disebutkan di atas tidak
melibatkan masalah pada tumpang tindih kepentingan antara skema hutan masyarakat dan orang-orang
dari KPH, pendekatan yang dilakukan oleh Kepala KPH dapat dipertimbangkan untuk ditiru/direplikasi
untuk semua KPH lainnya. Melalui fasilitasi sinergi antara pelaku, KPH juga mendukung pemeliharaan
perdamaian dan ketertiban.

Pendapat dan pengamatan dari unsur KPH dan Ahli Kehutanan terhadap Persoalan Nomor 426:
• Para perwakilan mengonfirmasi dan mendukung upaya untuk membangun sinergi antar pelaku
pengelolaan hutan di daerah KPH, tetapi perwakilan juga berbagi rasa frustrasi mereka pada
peraturan-peraturan yang ada saat ini yang membatasi prospek 'independen' KPH, dan birokra-
si yang rumit dalam perijinan bisnis kehutanan menyebabkan hambatan dalam membangun
sinergi.
• Sementara itu, para ahli mengamati adanya Konferensi Kepala KPH di Indonesia yang
menyatakan KPH akan menjadi titik pusat untuk pengelolaan konflik antar pemangku
kepentingan, ini akan mendorong mereka bersinergi. Misalnya, Kepala KPH perlu menerapkan
program perhutanan sosial dengan bantuan Kelompok Kerja Kementerian pada Perhutanan
Sosial (Social Forestry).

Soal No 5: Evaluasi Kinerja yang Tidak Efektif di Tingkat KPH Pengelolaan Hutan Lestari

Selanjutnya Kementerian Kehutanan menetapkan Model KPH se-Indonesia dengan tujuan untuk (a)
untuk melayani sebagai media pembelajaran dalam mendapatkan masukan untuk menyempurnakan
konsep, kebijakan dan pelaksanaan kegiatan sebagai lembaga yang baru dibentuk; (b) sebagai titik
acuan bagi lainnya yang akan didirikan KPH; dan (c) sebagai indikator keterbukaan dan dukungan oleh
Pemerintah Daerah untuk pendirian KPH.

Pada tahun 2014, Kemenhut telah berhasil membentuk 120 KPH, yang terdiri dari 30 Kesatuan Penge-
lolaan Hutan Lindung (KPHL) dan 81 Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dengan dukungan
Pemerintah Daerah. Berdasarkan penilaian kapasitas organisasi model KPH tersebut, lebih dari 50%
dari baik KPH Produksi dan KPH Lindung dianggap dalam kondisi "baik" dan "sangat baik". Meskipun
hasilnya tampak menjanjikan, tetapi sebagai dijelaskan di tempat lain dalam makalah ini, tantangan
untuk pembangunan KPH di Indonesia selalu ada27.

Tantangan pertama, tentang bagaimana meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia
dalam mengelola KPH. Berdasarkan peraturan saat ini, semua staf dari KPH direkrut berbasiskan pega-
wai pemerintah pusat dan daerah. Namun, berdasarkan survei 2012 yang dilakukan oleh Pusat Perenca-
naan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan Kementerian Kehutanan (Pusrenbanghut)
menunjukkan bahwa hanya 56% dari pegawai yang direkrut secara teknis mampu dalam manajemen
kehutanan tingkat nasional, sedangkan di tingkat lokal hanya 44% yang direkrut secara teknis mampu.
Tidak ada data yang tersedia tentang keadaan kualitas sumber daya manusia di KPH tapi informasi di
atas dapat disimpulkan bahwa KPH juga tidak memiliki kelompok karyawan profesional yang layak28.

Kedua, dilaporkan bahwa profesionalisme proses perekrutan di tingkat pemerintah daerah bagi
karyawan KPH dipertanyakan, dan dirusak oleh intervensi eksternal. Misalnya, proses perekrutan untuk
menunjuk kepala sebuah KPH terlalu dipengaruhi oleh para pemimpin Pemerintah Daerah dan da-
lam satu kasus menciptakan hubungan kerja yang kurang harmonis dengan Kepala Dinas Kehutanan
setempat .

Ketiga dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, KPH juga masih membutuhkan kapasitas
penting dalam mengelola konflik, terutama ketika dihadapkan dan berusaha untuk menyelesaikan
perebutan hak yang tumpang tindih di daerah yang lahan atau hutan konsesi berada di lingkupnya29.

The Nature Conservancy - Policy Paper Series 7


Inisiatif untuk mengatasi masalah tersebut31:
1. Menyelenggarakan program pelatihan kepemimpinan bagi calon kepala KPH sebanyak 4 angkatan;
2. Menyelenggarakan pendidikan manajemen kehutanan setingkat SLTA (sekolah kejuruan
kehutanan); dan
3. Menyelenggarakan program magang bagi lulusan universitas untuk KPH (Program Pascasarjana
Universitas Kehutanan).

Pendapat dan pengamatan dari unsur KPH dan Ahli Kehutanan terhadap Persoalan No. 532:
• Para perwakilan mengonfirmasi dan mendukung upaya mengevaluasi kinerja KPH secara efektif.
Kedua, banyak usaha yang diperlukan agar terlaksana, terutama untuk membangun metode
evaluasi kontekstual karena tidak semua KPH memiliki karakteristik yang sama. Ketiga, metode
pelatihan ing-griya (in-house) bisa diubah melalui teknik pembelajaran orang dewasa.
• Sementara itu, para ahli berpendapat bahwa belum ada evaluasi kinerja standar untuk KPH.
Lembaga Penilai Independen (LPI) baru-baru ini mengembangkan metode ini. Dua tahun lalu
ada tiga proyek percontohan untuk mengevaluasi kinerja KPH yaitu KPH Tasik Besar, KPH Berau
Barat, dan KPH Yogyakarta. Kedua inisiatif secara terpisah sedang didanai oleh dua direktorat
jenderal di kementerian tetapi alasan mengapa terpisah tidak diketahui.

Meskipun masalah di atas teridentifikasi, Dokumen Kebijakan 2011 juga mencari beberapa analisis hipote-
sis tentang pentingnya kehadiran dan peran KPH untuk membuat hutan lestari di Indonesia. Berikut ini
adalah ringkasan dan versi adopsi, yang tampaknya menunjukkan bahwa meskipun pembangunan KPH
tetap menantang, tetapi konsep KPH juga tetap penting dalam perlindungan sehari-hari hutan Indonesia
dalam tahun-tahun mendatang.

Tabel 1. Peranan KPH dalam Pengelolaan Hutan Lestasi33

Tidak adanya KPH: Adanya Kehadiran KPH:


Peran
Konsekuensi (Hipotesis) Konsekuensi (Hipotesis)

• Lemahnya pengakuan lemah dari


• Peningkatan kapasitas penjaminan
Perencanaan Hutan pihak lain, mengakibatkan konflik
kawasan
dan Tata Guna • Lemahnya kontrol, karena peme-
• Kapasitas pengontrolan pelaksanaan
Hutan gang izin bertindak sebagai
dapat ditingkatkan
pengelola

• Rencana Pusat - Propinsi - Kabupa-


ten/Kota tidak terkonsolidasi pada • Rencana dan investasi kehutanan
level tapak dapat terintegrasi pada level tapak
Perencanaan
• Evaluasi Rencana Kehutanan Kerja • Akurasi informasi sumber daya hutan
Pengelolaan Hutan
Usaha (RKU) dan Rencana Kerja dapat ditingkatkan
Tahunan (RKT) pemegang ijin sulit
dilakukan

• Kontrol atas pemanfaatan hutan • Prakondisi penyiapan ijin dapat


dan dan hasil hutan lemah ditangani oleh KPH
• Investasi yang membutuhkan • Jika KPH diperkuat dengan
kepastian kawasan (bebas konflik) kewenang-an untuk mengevaluasi
Pemanfaatan ditanggung oleh pemohon ijin kinerja IUPHHK, maka KPH dapat
• Evaluasi pelaksanaan Ijin Usaha mengintegrasikan evaluasi atas
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu ber-bagai kegiatan
(IUPHHK) dilakukan secara parsial; • Biaya transaksi dapat diminimalkan
biaya transaksi menjadi tinggi

8 The Nature Conservancy - Policy Paper Series


Tidak adanya KPH: Adanya Kehadiran KPH:
Peran
Konsekuensi (Hipotesis) Konsekuensi (Hipotesis)

• Hasil Rehabilitasi Hutan dan Lahan • Kejelasan terhadap pengelolaan hasil


(RHL) tidak terkelola setelah umur RHL dan investasi kehutanan lainnya
Rehabilitasi Hutan
3 tahun • Peningkatan kapasitas dalam meng-
dan Lahan
• Kurangnya koordinasi dalam pene- koordinasikan penetapan lokasi
tapan lokasi

• Kegiatan ilegal dan gangguan


sumber daya hutan (misalnya, • Deteksi dini dan upaya pencegahan/
Perlindungan hutan
kebakaran, hama, dll) tidak segera pemberantasan dapat diintensifkan
terdeteksi

• Jika unit pelayanan teknis (UPT),


• Hingga kini, kegiatan perlindungan yang telah mengelola hutan lindung
dan konservasi telah ditentukan, dan hutan konservasi hingga seka-
dan belum ada perkembangan rang menjadi KPH, dan pengintegra-
yang signifikan dalam pemanfaatan sian hutan produksi diakomodasi di
hutan. Hal ini, antara lain, karena ti- kawasan ini, maka KPH sebagai "fo-
Konservasi
dak adanya hubungan antara hutan rum" pengelola hutan memiliki peran
produksi dan dua jenis kawasan yang lebih besar untuk bermain. Se-
yang dikelola untuk tujuan perlin- jauh ini, terkesan bahwa pengelolaan
dungan dan konservasi34. kawasan konservasi hanya dilakukan
oleh Pemerintah pada tingkat mini-
mal35.

D. Implikasi Kebijakan

Ada dua implikasi kebijakan dalam mengembangkan KPH. Pertama, mengakui dan mengatasi
masalah sistemik. Kedua, menciptakan lingkungan yang memungkinkan KPH untuk berkembang secara
profesional.

Mengakui dan Mengatasi Masalah sistemik


Jenis-jenis masalah yang dihadapi oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan di atas dapat digambarkan
sebagai masalah sistemik36. UNDP dalam laporan Hasil Indeks Tata Kelola Hutan 2014 di Indonesia meng-
amati bahwa "... transparansi dan integritas dalam pengelolaan hutan sangat penting untuk perbaikan
keseluruhan upaya tata kelola sumber daya alam yang lebih luas dan pengelolaan hutan. Hasil Indeks Tata
Kelola Hutan untuk 2014 menyoroti bahwa transparansi adalah aspek yang memperoleh skor terendah di
semua skala geografis, dengan nilai 34 dari 100. Hal ini memperkuat dukungan pada gagasan diperlukan-
nya perbaikan sistemik untuk mencegah kerusakan yang berlanjut pada praktek pengelolaan hutan yang
berjalan baik dan untuk dimasukkan kedalam upaya dan mekanisme untuk mengontrol laju deforestasi
dan degradasi hutan yang terkait dengan praktek korupsi"37.

Berdasarkan laporan kebijakan tahun 2014 yang dilakukan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan
Nasional (BAPPENAS), usaha-usaha sebelumnya untuk perbaikan sistemik telah dilakukan dalam be-
berapa waktu yang lalu38. Sejak 2010, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi menilai Sistem
Perencanaan dan Pengelolaan Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan.
Banyak masalah dasar yang ditemukan, antara lain: (a) Ketidakharmonisan kebijakan dan peraturan antar
sektor; (b) Pembentukan KPH yang tidak optimal dilakukan; dan (c) Tidak adanya, mekanisme manaje-
men konflik berbasis hutan yang adil. Selanjutnya, laporan tersebut juga menjelaskan kekhawatiran resmi
Komisi melalui surat No. B-197/01-30/01/2013 tanggal 23 Januari 2013, pada tidak adanya upaya bersa-

The Nature Conservancy - Policy Paper Series 9


©Nick
10 HallConservancy - Policy Paper Series
The Nature
ma antara instansi pemerintah terkait untuk mengatasi masalah sistemik di sektor kehutanan Indonesia
dengan cara yang terintegrasi dan bersinergi. Dalam hal ini, Nota Kesepakatan Bersama tentang "Perce-
patan Pengukuhan Kawasan Hutan di Indonesia" yang diatur dan diajukan oleh KPK dan ditandatangani
oleh duabelas Menteri dan Lembaga Kuasi-pemerintah, termasuk Menteri Kehutanan39.

Setahun kemudian, KPK mengadakan pertemuan tentang kemajuan pelaksanaan komitmen bersama.
Kemajuan dianggap telah mencapai "50%" namun tantangan yang dihadapi tetap sama, antara lain:
koordinasi antar lembaga yang lemah, implementasi pelaksanaan pada pemenuhan isi dokumen lebih
mengemuka daripada dampak substantif untuk reformasi, keterlibatan publik tidak dioptimalkan, dan
rencana aksi yang tidak terfokus pada hal-hal strategis40.

Tidak ada perkembangan yang berarti sejak pertemuan November 2014 menunjukkan perlunya
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini untuk menciptakan 'lingkungan yang mendukung'
KPH untuk berkembang secara profesional41. Upaya tersebut mungkin tidak perlu besar, namun pendeka-
tan kecil tapi cepat untuk membangun atas komitmen bersama dapat menjadi awal untuk menciptakan
lingkungan itu. Berikut ini adalah kerangka umum dan panduan praktis, dalam konteks administrasi publik
yang merangkum bagaimana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat berkontribusi untuk
merealisasikan lingkungan yang lebih baik.

Tabel 2. Aspek Kunci Lingkungan Yang Kondusif42

Ilustrasi Aksi Kondusif Peme-


Kategori Faktor
Aspek Kondusif rintah (Kementerian Lingkungan
Lingkungan
Hidup & Kehutanan) untuk KPH

• Kerangka kebijakan yang tidak • Mengurangi rentang birokrasi &


terdistorsi regulasi-regulasi yang tidak perlu43
• Kebijakan investasi yang men- • Mengurangi tarif, hambatan investasi
Ekonomis dukung (termasuk keamanan ("tingkat arena yang adil")
fisik)
• Biaya transaksi yang rendah
rendah, komitmen yang kredibel

• Sistem demokratis yang men- • Menyediakan informasi tersedia


dukung akuntabilitas, transparansi secara luas, mempromosikan
& tanggap kebebasan media
• Proses yang mendorong partisi- • Melimpahkan kekuasaan & sumber
pasi publik, menghormati kontrak daya ke tingkat subnasional
Politik
sosial & legitimasi negara pemerintah (daerah)
• Penegakan hokum (Rule of Law), • Membatasi kekuasaan & pengaruh
penegakan kontrak, menghormati kepentingan
hak asasi manusia & hak kepemi- • Mendukung masyarakat sipil44
likan • Menjamin independensi peradilan

• Kapasitas pelayanan yang efisien • Membatasi penyalahgunaan &


• Tingkat korupsi yang rendah korupsi45
• Adanya cek & balances kelem- • Menciptakan insentif kinerja
bagaan • Memisahkan ketentuan layanan
• Desentralisasi ketentuan pembiayaan
Administratif • Meritokrasi layanan publik. • Membangun kemitraan lintas
sektoral
• Menetapkan sistem monitor &
evaluasi
• Meningkatkan koordinasi lintas
instansi & sektor46

The Nature Conservancy - Policy Paper Series 11


©Nick
12 HallConservancy - Policy Paper Series
The Nature
Ilustrasi Aksi Kondusif Peme-
Kategori Faktor
Aspek Kondusif rintah (Kementerian Lingkungan
Lingkungan
Hidup & Kehutanan) untuk KPH

• Hadirnya modal sosial & keper- • Mendukung kelompok masyarakat


cayaan yang terpinggirkan & kurang
• Toleransi pada keanekaragaman beruntung, menegaskan aksi pro-
• Norma-norma yang inklusif, kemiskinan, berdasarkan kebutuhan
ekuitas & keadilan subsidi, jaring pengaman, dll
• Percaya pada nilai & kekuatan • Mendorong dialog publik, pengua-
Sosial Budaya upaya individu tan ikatan sosial & membangun
konsensus47
• Mengecilkan politik & kebijakan
berbasis etnis
• Mengontrol kekerasan (misalnya
hati-hati dalam menanggapi konflik
tenure berat)

• Kebijakan & investasi di bidang • Menetapkan kebijakan & insentif


kesehatan, pendidikan, pengem- yang mendorong investasi swasta &
bangan tenaga kerja, informasi tanggung jawab sosial perusahaan
Sumber Daya
• Kecukupan pendanaan & kapasi- • Menempatkan sumber daya publik
tas kelembagaan untuk menjamin maksimalisasi po-
tensi sosial & ekonomi

E. Kesimpulan dan Rekomendasi


Pertama, UU Nomor 41 Tahun 1999 dan terutama Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2007 membuka jalan
bagi kepentingan dan peran strategis Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) untuk melindungi hutan kita
di tingkat bawah, tetapi perlu banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk perbaikan sistemik. Seperti
yang ditunjukkan dalam makalah ini, memang dalam mengatasi akar masalah pembangunan kehutan-
an belum memiliki dampak yang cukup besar, dan lima masalah yang teridentifikasi dalam Dokument
Kebijakan 2011 kembali menjadi apa yang mungkin disebut sebagai "masalah-masalah laten (nagging
problems)".

Dalam hal ini sebelum berakhirnya kabinet presiden saat ini di 2019, kami merekomendasikan bahwa
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terdepan dalam perbaikan tersebut, dimulai dengan menge-
luarkan kebijakan-kebijakan yang disesuaikan dalam rangka mempercepat reformasi sistemik dan
penegakan kebijakan tersebut melalui sektor kehutanan dan sektor lain yang terkait erat, baik di tingkat
pemerintah pusat maupun daerah.

Kedua, posisi strategis Kesatuan Pengelolaan Hutan di garis depan adalah hal yang penting, sebagai
entitas pengelolaan hutan sehari-hari di tingkat dasar (tingkat tapak), kami merekomendasikan bahwa
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan memimpin dalam menanggapi Surat Komisi Pemberantasan
Korupsi Nomor B-197/01-30/01/2013 tanggal 23 Januari 2013 tentang mengatasi masalah sistemik di sek-
tor kehutanan Indonesia sebagai bagian dari memprofesionalkan KPH.

Oleh karenanya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan hendaknya membentuk komite inde-
penden kecil, melaporkan langsung kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam waktu
enam (6) bulan, untuk memverifikasi dan mensintesis kemajuan/pencapaian kepemimpinannya oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mewakilik sebelas (11) kementerian lainnya/instan-
si pemerintah terhadap tiga masalah sistemik utama di sektor kehutanan yang diidentifikasi oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK):
(A) Ketidakharmonisan kebijakan dan peraturan antar sektor;
(B) Pembentukan KPH yang tidak optimal; dan
(C) Tidak adanya mekanisme manajemen konflik berbasis hutan yang adil di sektor kehutanan;

The Nature Conservancy - Policy Paper Series 13


Nick Hall
14 The Nature Conservancy - Policy Paper Series
telah ditangani atau tidak, alasan dan tindak lanjut untuk menyelesaikan masalah ini dalam jangka
waktu tertentu. Selanjutnya, hal ini juga akan menjadi kesempatan bagi Komite untuk menyelesaikan
empat akar masalah seperti yang diidentifikasi oleh Dokumen Kebijakan Dokumen 2011 di atas.

Komite ini akan terdiri dari para pejabat senior dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
minimal mewakili Direktorat Jenderal Planologi Kawasan Kehutanan, Direktorat Jenderal Pengelolaan
Hutan dan Produk Ramah Lingkungan, Sekretariat Pengembangan KPH dan Dewan Kehutanan. Pada
prinsipnya, semua dokumentasi dan laporan yang dihasilkan oleh komite ini ditujukan pada Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan yang kemudian dapat dengan mudah diakses oleh umum dengan menempatkan-
nya di situs resmi kementerian.

Ketiga, sekali lagi dengan posisi strategis Kesatuan Pengelolaan Hutan di tingkat dasar, kami merekomen-
dasikan bahwa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan hendaknya membangun kerjasama seperti
dengan Komisi Pemberantasan Kontra dengan dalam jangka pendek (1 tahun), jangka menengah (5 ta-
hun) dan jangka panjang (minimal 10 tahun) sebagai peta jalan untuk KPH yang profesional independen
-politis dan finansial- se-Indonesia atau pilihan lain, untuk bersama-sama meningkatkan dan menyempur-
nakan peta-jalan pada Dokumen Kebijakan 201148.

The Nature Conservancy - Policy Paper Series 15


16 The Nature Conservancy - Policy Paper Series
TERIMA KASIH
The Nature Conservancy Indonesia Program mengucapkan terima kasih kepada tim Pengembangan Kebijakan dan
pakar yang terlibat dalam membentuk diskusi kebijakan dan pengembangan dokumen kebijakan.

Tim Pengembangan Kebijakan: Dr. Ahmad Derry Habir (Direktur IPMI Case Center), Agus Loekman (Senior Fellow,
IPMI), Dr. Asnan Furinto (Doktor Penelitian Dosen Manajemen Binus), Rizal Bukhari (Manager Senior Kebijakan Ke-
hutanan Nasional, TNC Indonesia), Wahjudi Wardojo (Penasihat Senior, TNC Indonesia)

Pakar Materi Materi: Dr. Agus Setyarso (Pakar Praktisi dan Kehutanan UPH), Dr. Bramasto Nugroho
(Akademisi di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor), Drasoslopino (Direktur KPH-P di
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Haryanto Putro (Ahli Ekologi, Keanekaragaman Hayati, Kebijakan,
dan Sertifikasi Hutan) Herlina Hartanto, Ph.D. (Direktur Terestrial, TNC Indonesia), dan Dr. Soetrisno (Ketua Sekretar-
iat Nasional Pengembangan UPH untuk Indonesia).

BIBLIOGRAFI
Dokumen kebijakan
1. Djajono, Ali, Lilit Siswanty, Eds, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan. Forest Management Development Unit
(KPH): Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi, Direktorat Pengelolaan Kawasan dan Preparasi dari
Kawasan Hutan Utiliz asi, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Oktober 2011.
2. Sugiharto, Ed., Strategi Pengembangan KPH Dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia, Direktorat Wilayah
Pengelolaan Dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan,Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan,
Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan, Des bara 2014.

Studi
1. Shaxon, Louise, Josephine Tsui, Synthesising and Presenting Complex Evidence for Policy Making: Experience
with Annual Report Cards, April 2016.
2. Shaxon. Louise, Investing in Evidence: Lessons from the UK Department for Environment, Food and Rural Affairs,
November 2014.
3. Sahide, Muhammad Alif K., Lukas Giessena, The Fragmented Land Use Administration in Indonesia-Analysing
Bureaucratic Responsibilities Influencing Tropical Rainforest Transformation Systems, Land Use Policy, 10 No-
vember 2014.
4. Siswanto, Wandojo, et al, Background Study RPJMN Kehutanan 2015-2019: Laporan Akhir, Kementerian Peren-
canaan Pembangunan Nasional / Bappenas, Maret 2014
5. Kim, Yeon-Su, et.al, Indonesia's Forest Management Units: Effective intermediaries in REDD+ Implementation?
Forest Policy and Economics, September 2015.

Hukum yang relevan dan Peraturan KPH


1. UU No 41/1999 tentang Kehutanan.
2. UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah .
3. Peraturan Pemerintah Nomor 44/2004 tentang Perencanaan Hutan.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 6/2007 dalam hubungannya dengan PP No. 3/2008 tentang Tata Hutan, dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 38/2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provin-
si dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
7. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Kawasan KPH.
8. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.6/Menhut-II/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK)
Pengelolaan Hutan di KPH Lindung (KPHL) dan KPH Produksi (KPHP).
9. Menteri Dalam Negeri Peraturan Nomor 61/2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPH Lindung dan
KPH Produksi di Daerah.

The Nature Conservancy - Policy Paper Series 17


Dokumen lainnya
1. The Nature Conservancy, Summary of Observations and Responses from Members to The Nature Conservancy
(TNC) Focused Group Discussions on “Forest Management Units: Current Issues and Policy Recommendation
for the Ministry of Environment and Forestry” by Heads of Forest Management Units at Hotel Atlet Century,
November 23, 2016 and Subject Matter Experts at TNC Office, November 25, 2016.
2. Setyarso, Agus, Kesatuan Pengelolaan Hutan di Indonesia: Menuju Organisasi Yang Profesional Dan Berkelanju-
tan, Januari 2017. (Presentasi Powerpoint)
3. Putra, Haryanto, Sinergi Dukungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Pasca Undang-undang No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Januari 2017. (Presentasi Powerpoint).
4. Drasospolino, Kebijakan Pembangunan KPH di Indonesia: Kondisi Terkini Dan Agenda 5 Tahun Mendatang,
Januari 2017. (Presentasi Powerpoint)
5. Loekman, Agus, Kesatuan Pengelolaan Hutan di Indonesia: Persoalan Utama Terkini Dan Usulan Penyelesiannya,
The Nature Conservancy, Januari 2017. (Presentasi Powerpoint).

18 The Nature Conservancy - Policy Paper Series


NOTES
1
Kesatuan Pengelolaan Kehutanan: Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi" Dokumen Kebijakan Tahun 2011, p. 4.
2
Djajono, Ali dan Siswanty, Lilit, Eds, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan: Konsep, Peratur-
an Perundangan dan Implementasi, Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, Direktur Jenderal
Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Oktober 2011, hlm. 3.
3
Ibid., P. 18. Selanjutnya, "... dari 120.300.000 hektar hutan negara, hampir setengah (46,5% atau 55.930.000 hektar) tidak dikelola secara
intensif. Tiga puluh juta hektar kawasan hutan ini merupakan kewenangan dari Pemerintah Daerah. Hanya 64.370.000 hektar (53,5%) dari
hutan yang dikelola cukup intensif. Sebagian besar kawasan hutan yang dikelola secara intensif terdiri dari hutan produksi dengan Ijin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), seluas 36.170.000 hektar, dimana 26,2 juta hektar dikelola oleh 324 unit bisnis berdasarkan
sistem hutan alam dan 9.970.000 hektar dikelola oleh 229 unit usaha menggunakan sistem hutan tanaman. Dan kelompok hutan konservasi
meliputi 28.200.000 hektar di 534 lokasi ".
4
Ibid., P. 19. Selanjutnya, "... Counter-produktivitas sering muncul karena lembaga tidak mampu memberikan solusi, peluang investasi atau
pengembangan nilai tambah, dan sering menyebabkan biaya transaksi yang tinggi. Selain itu, kebijakan dan produk peraturan sering tidak
sejalan dengan keadaan di lapangan. (p. 19), (b) kelemahan lembaga kehutanan ini juga melemahkan sistem pemerintah untuk melindungi
aset sumber daya hutan. Pemerintah Pusat (dan Pemerintah Daerah) cenderung untuk menangani administrasi ijin pemanfaatan hutan ... ".
5
Ibid., P. 20. Selanjutnya, "... Pihak berwenang di sektor kehutanan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 38/2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam PP ini, beberapa Pemerintah
Daerah dapat memutuskan apakah menyertakan kehutanan sebagai pilihan administrasi atau tidak (Gambar 3). Peraturan ini membagi
sektor kehutanan menjadi 59 sub-sektor ... ".
6
Ibid., P. 20. Selanjutnya, "... Nilai tambah pengolahan hasil hutan dimasukkan sebagai nilai tambah dari industri terkait. Untuk produk
dalam bentuk komoditas pertanian, misalnya, dari agroforestry, nilai tambah mereka dihitung untuk sektor pertanian bukan sektor kehutan-
an. Sebagian besar manfaat dari hasil hutan non-kayu dan dampak ganda dari konsesi hutan juga tidak sepenuhnya diinventarisasi, dan tidak
dihitung ... ".
7
Djajono, Ali dan Siswanty, Lilit, Eds, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan: Konsep,
Peraturan Perundangan dan Implementasi, Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, Direktur
Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Oktober 2011, hlm. 82.
8
Ibid., P. 84..
9
Sugiharto, Ed., Strategi Pengembangan KPH Dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia, Direktorat Wilayah Pengelolaan Dan Penyiapan
Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan, Desember
2014, hlm. 83.
10
Ibid., P. 82.
The Nature Conservancy, Ringkasan Pengamatan dan Tanggapan Anggota Focused Group Discussion The Nature Conservancy (TNC) di
11

"Kesatuan Pengelolaan Hutan: Isu Saat Ini dan Rekomendasi Kebijakan untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan" oleh Kepala
Kesatuan Pengelolaan Hutan di Hotel Atlet Century, 23 November, 2016 dan Subject Matter Experts di TNC Office, 25 November 2016.
12
Pasal 8 ayat 1 Peraturan Pemerintah No 3 tahun 2008.
13
Sugiharto., Ed., Op.cit., H. 66.
14
Ibid.
15
Ibid., P. 66.
16
Ibid., P. 66.
17
Ibid., P. 57.
18
Djajono, Ali dan Siswanty, Lilit, Eds, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan: Konsep,
Peraturan Perundangan dan Implementasi, Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, Direktur
Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Oktober 2011, hlm. 19
Siswanto, Wandojo, et al, Background Study RPJMN Kehutanan 2015-2019: Laporan Akhir, Kementerian Perencanaan Pembangunan
19

Nasional/Bappenas, Maret 2014, hal. 3.


20
The Nature Conservancy, Ringkasan Pengamatan dan Tanggapan Anggota Focused Group Discussion The Nature Conservancy (TNC) di
"Kesatuan Pengelolaan Hutan: Isu Saat Ini dan Rekomendasi Kebijakan untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan" oleh Kepala
Kesatuan Pengelolaan Hutan di Hotel Atlet Century, 23 November, 2016 dan Subject Matter Experts di TNC Office, 25 November 2016
21
Sugiharto., Ed., Op.cit., H. 67.
22
Ibid., P. 68.
23
The Nature Conservancy, Ringkasan Pengamatan dan Tanggapan Anggota Focused Group Discussion The Nature Conservancy (TNC) di
"Kesatuan Pengelolaan Hutan: Isu Saat Ini dan Rekomendasi Kebijakan untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan" oleh Kepala
Kesatuan Pengelolaan Hutan di Hotel Atlet Century, 23 November, 2016 dan Subject Matter Experts di TNC Office, 25 November 2016.
24
Kim, Yeon-Su, et.al, Indonesia's Forest Management Units: Effective intermediaries in REDD+ Implementation? Forest Policy and
Economics, September 2015, p. 3.
25
Sahide, Muhammad Alif K., et.al., Kebijakan Desentralisasi sebagai resentralisasi Strategi: Kesatuan Pengelolaan Hutan dan Kehutanan
Masyarakat di Indonesia, Internasional Ulasan Kehutanan, Maret 2016, p. 79. Baru-baru ini, telah ada upaya untuk mengenali hutan adat
sebagai terpisah dari hutan negara berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi 35/2012. Hal ini akan membuka pintu baru untuk pengakuan
hukum kehutanan masyarakat, tidak hanya hak guna tetapi juga kepemilikan tanah.
26
The Nature Conservancy, Ringkasan Pengamatan dan Tanggapan Anggota Focused Group Discussion The Nature Conservancy (TNC) di
"Kesatuan Pengelolaan Hutan: Isu Saat Ini dan Rekomendasi Kebijakan untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan" oleh Kepala
Kesatuan Pengelolaan Hutan di Hotel Atlet Century, 23 November, 2016 dan Subject Matter Experts di TNC Office, 25 November 2016.
27
Sugiharto., Ed., Op.cit., H. 60.
28
Ibid., P. 65.
29
Ibid., P. 64.
30
Ibid., P. 64.
31
Ibid., P. 64.
32
The Nature Conservancy, Ringkasan Pengamatan dan Tanggapan Anggota Focused Group Discussion The Nature Conservancy (TNC) di
"Kesatuan Pengelolaan Hutan: Isu Saat Ini dan Rekomendasi Kebijakan untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan" oleh Kepala
Kesatuan Pengelolaan Hutan di Hotel Atlet Century, 23 November, 2016 dan Subject Matter Experts di TNC Office, 25 November 2016

The Nature Conservancy - Policy Paper Series 19


33
Diadopsi dari Djajono, Ali dan Siswanty, Lilit, Eds, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan:
Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi, Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan,
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Oktober 2011, p. 47.
34
Ibid., P. 44.
35
Ibid., P. 44
36
“A systemic problem is one where some deficiency in the agency’s administrative processes (it ‘system’) is causing or contributing to
complaints”, a definition by the Queensland Ombudsman (2004) in Stuhcke, Anita, An Empirical Study on the Systemic Investigations
Function of the Commonwealth Ombudsman for 1997-2005, Thesis, The Australian National University, July 2009, p.6.
37
Solvberg, Tina, Kristin Devalue, Eds., The 2014 Indonesia Forest Governance Index: Executive Summary, UNDP Indonesia, p. 18.
38
Siswanto, Wandojo, et al, Background Study RPJMN Kehutanan 2015-2019: Final Report, Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/BAPPENAS, Maret 2014.
39
Menteri Dalam Negeri; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; Menteri Keuangan; Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; Menteri
Pertanian; Menteri Kehutanan; Menteri Pekerjaan Umum; Menteri Lingkungan Hidup; Menteri Perencanaan Nasional/Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional; Kepala Badan Pertanahan Nasional; Kepala Pusat Informasi Geospasial; dan Ketua Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia.
40
Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK Evaluasi Setahun Perkembangan NKB Kehutanan, http://www.kpk.go.id/id/berita/si-
aran-pers/2310-kpk-evaluasi-setahun-perkembangan-nkb-kehutanan), accessed December 6, 2016.
41
“An enabling environment is a set of interrelated conditions – such as legal, bureaucratic, fiscal, informational, political and cultural – that
impacts on the capacity of…development actors to engage in development processes in a sustained and effective manner...” (Thindwa,
2001:3 in Brinkerhoff, Derick W., The Enabling Environment for Implementing the Millennium Development Goals: Government Actions to
Support NGOs, May 2004, p. 3.)
42
Diadaptasi dari Brinkerhoff, Derick W., The Enabling Environment for Implementing the Millennium Development Goals: Government Ac-
tions to Support NGOs, May 2004, p. 4.
43
Sebagai contoh awal, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memimpin dan mengeluarkan dua jenis peraturan yang mengatur
(a) pencegahan dan pengurangan peraturan yang dikeluarkan (prinsip "untuk setiap 1 peraturan baru, 3 peraturan yang lama harus dicabut")
dan (b) pemberdayaan dan memberikan banyak kebebasan bagi pengelola KPH untuk bertindak dalam kepentingan terbaik bagi negara
dalam mengelola urusan sehari-hari kawasan hutan yang ditunjuk. Mendorong keputusan cepat tetapi masih menghormati prinsip-prinsip
pemerintahan yang baik: transparansi dan akuntabilitas.
44
Sebagai contoh, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memimpin serangkaian acara dialog rutin tingkat nasional dan subnasi-
onal (daerah) dengan organisasi masyarakat sipil berbasis nasional dan local tentang isu-isu kontemporer yang dihadapi sektor kehutanan
dan lingkungan Indonesia. Tujuan utama dari dialog public ini untuk (a) membuat forum perdebatan yang sehat untuk perbaikan dan
implementasi kebijakan oleh aparat pelayanan dan (b) memetakan siapa sedang melakukan apa, bagaimana dan kapan untuk mendukung
menyelesaikan isu-isu kontemporer. Dalam hal ini, semua hasil dialog akan dilaporkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
segera, karena laporan tersebut juga akan dapat diakses publik di situs kementerian dan disebarkan secara luas sehingga semua staf KPH
mengerti dengan jelas perkembangan saat ini.
45
Sebagai contoh awal, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memimpin dan membentuk sebuah sistem komunikasi berbasis
elektronik terpadu, pertukaran data antar lembaga negara diakses untuk pemantauan publik untuk kemajuan kegiatan/program; untuk
mendukung proses administrasi publik internal dan eksternal sehari-hari seperti: lisensi/ijin kehutanan dan penanganan kejahatan di sektor
kehutanan. Pembangunan sistem transparansi dan akuntabilitas bukan suatu hal baru di Indonesia. Silakan juga mengamati sistem manaje-
men e-kasus (e-case management system) di Mahkamah Konstitusi yang meliputi e-kasus sistem pelacakan bagi masyarakat untuk dapat
memantau perkembangan kasusnya sebelum dibawa ke mahkamah pengadilan, dan yang paling baru, kasus pertukaran e-data antara
Mahkamah Agung dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) untuk mencegah terjadinya
pelanggaran penahanan-lebih individu di bawah sistem peradilan pidana di Indonesia. Dalam hal ini, kolaborasi yang erat dengan dan
pendampingan teknis dari awal oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi adalah paling dianjurkan untuk mencegah upaya pembangunan
yang sia-sia.
46
Sebagai contoh awal dan membangun saran yang ada pada catatan kaki sebelumnya di atas, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan memimpin dan mengatur kombinasi (a) dialog rutin informal dan formal, diskusi, pertemuan, retret , dan (b) di tingkat nasional
dan tingkat subnasional (daerah), dimana bisa secara sehat melakukan debat terbuka antara aparat antar-kementerian untuk mengatasi
masalah strategis saat ini di sektor kehutanan dan lingkungan hidup dan terus melaporkannya kepada menteri senior/koordinator dan/atau
Presiden tentang kemajuan atau kegagalannya. Penting untuk dicatat bahwa upaya ini tidak terbatas hanya melayani kehutanan dan sektor
lingkungan. Kemajuan atau kegagalan akan mempengaruhi prioritas dari pemerintahan saat ini untuk menciptakan lingkungan yang kondu-
sif dalam kemudahan berbisnis di Indonesia.
47
Sebagai contoh awal, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pertama-tama dapat meningkatkan budaya organisasi, dengan
mengkonsolidasikan dokumentasi secara sistematis pengalaman nyata pengelola KPH dalam rangka membangun konsensus dengan
masyarakat lokal (mengelola konflik) sebagai bagian dari rutinitas dan wajib mengikuti lokakarya kepemimpinan ing-griya di Kementerian.
Tujuan pembaruan lokakarya ini adalah bahwa dengan pemahaman yang lebih mendalam terhadap pendekatan kasus yang sebenarnya,
akan membantu untuk menyadarkan semua tingkatan pejabat Kementerian (muda, menengah, senior/atas) pada tantangan yang dihadapi
oleh pengelola KPH dan bagaimana pejabat dapat memfasilitasi pengelolanya untuk mengelola hutan yang ditunjuk dan lingkungan di
Indonesia secara lebih baik.
48
Djajono, Ali dan Siswanty, Lilit, Eds, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan: Konsep,
Peraturan Perundangan dan Implementasi, Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, Direktur
Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Oktober 2011, p. 96. Lihat juga perspektif saat ini pada profesionalisasi KPH di
Setyarso, Agus, Kesatuan Pengelolaan Hutan di Indonesia: Menuju Organisasi Yang Profesional Dan Berkelanjutan, Januari 2017. (Presentasi
power-point).

20 The Nature Conservancy - Policy Paper Series


The Nature Conservancy - Policy Paper Series 21
Yayasan Konservasi
Alam Nusantara

Yayasan Konservasi Alam Nusantara adalah Didirikan pada 1951, The Nature Conservancy
afiliasi lokal The Nature Conservancy yang merupakan organisasi konservasi terkemuka di
memiliki izin untuk menggunakan tanda dan dunia yang beroperasi di 72 negara. Misi dari
logo The Nature Conservancy di Indonesia. The Nature Conservancy adalah melestarikan
Misi Yayasan Konservasi Alam Nusantara ada- tanah dan air yang menjadi sumber kehidupan
lah melestarikan tanah dan air yang menjadi seluruh makhluk hidup. Kekuatan kami melipu-
sumber kehidupan seluruh makhluk hidup. ti, antara lain:
• Rekam jejak keberhasilan berbagai proyek
konservasi laut dan darat skala besar di
seluruh Indonesia.
• Pengalaman lebih dari 25 tahun bekerja di
lapangan bersama dan melalui kemitraan.
• Kemitraan kuat dengan pemerintah, sek-
tor swasta, masyarakat, dan organisasi sipil
mulai dari tingkat nasional hingga desa.

Graha Iskandarsyah Lantai 3

Program Jalan Iskandarsyah Raya 66C


Kebayoran Baru, Jakarta 12160
Nature.org/Indonesia
id_nature

Indonesia
Telp : +6221 7279 2043 @ID_Nature
Fax : +6221 7279 2044 The Nature Conservancy
Email : Indonesia@tnc.org in Indonesia
22 The Nature Conservancy - Policy Paper Series

You might also like