You are on page 1of 3

SINOPSIS NOVEL GADIS PAKARENA

Setelah lama merantau, Laduka, yang selalu enggan pulang, memutuskan untuk kembali
ke kampung halaman demi menghadiri acara khitanan anaknya.
Seorang remaja pria asli Makassar jatuh cinta pada gadis keturunan Tionghoa yang pandai
menari Pakarena. Karena dia belum tahu nama gadis tersebut, dia menjuluki gadis itu Gadis
Pakarena.
Dalam Arajang, seorang ayah sangat bahagia ketika akhirnya mendapatkan seorang putra,
tapi setelah putra itu beranjak dewasa sikap sang ayah mulai berubah.
Seorang remaja yang marah pada ayahnya, membalaskan dendamnya dengan Mengawini
Ibu.
Seorang pemuda menjanjikan membangunkan Rumah Panggung di Kaki Bukit pada
gadis yang dicintainya setelah dia berhasil memenuhi prasyarat adat. Prasyarat yang mana
membolehkan si pemuda menikahi si gadis.
Orang-orang mengenalnya sebagai Haji Baso, dia dipuja, dielu-elukan, dicap sebagai
orang baik yang suka memberikan sumbangan hadiah tapi sekaligus dicela karena caranya dalam
mencari nafkah.
Karena tak segera mendapat restu dari orangtua, seorang pemuda mengajak kekasihnya
untuk melakukan Silariang.
Ulu Badik Ulu Hati, badik mencabik gara-gara hati sakit tak terperi, anak terkasih seorang
jawara ditemukan tak bernyawa di pagi hari.
Seorang pemuda menunggu calon istrinya kembali di Selasar rumah si gadis. Tak peduli
hujan, tak peduli badai, dia tetap bergeming di tempatnya.
Walau fisik dan pikiran tertawan, seorang wanita bernama Lebang dan Hatinya akan
tetap merindu sosok pemuda yang harusnya menjadi suaminya.
Bila dendamnya pada Pembunuh Parakang adalah sebuah pedang yang tajam, mungkin
orang yang dibenci itu akan binasa seketika. Namun bertahun-tahun mengasah dan belajar,
kemampuannya tetap belum setebal dan sebesar dendamnya, dia tak bisa mengalahkan dia-yang-
dibenci, hingga pada suatu titik dia menyerang satu titik lemah sang pembunuh: hatinya.
Hati Perempuan Sunyi berisikan nestapa dan gundah tak berkesudahan. Dia merindu, dia
mengharap, dia ingin lari tapi langkahnya selalu terhenti oleh tembok yang mengkungkungnya.
Lagipula, bila dia lari, apakah dia akan sanggup menemukan jalan pulang?
Riwayat Tiga Layar
Berkisah mengenai bahtera seorang pria, dari dia kecil hingga dewasa, yang dibantu
berlayar mengarungi lautan kehidupan oleh tiga layar.

Apa jadinya bila seorang yang sangat cinta sekali pada dunia karang-mengarang Dilarang
Mengarang Cerita di Hari Minggu?
Mungkinkah dia akan menuruti larangan itu, atau justru mendobrak larangan dan
menciptakan aturan sendiri?
14 cerita pendek dalam satu buku bersampul merah dengan gambar gadis cantik menarikan
tari Pakarena di tengahnya.
Citarasa Gadis Pakarena
Biasanya, saat membaca kumpulan cerita pendek, sebagian orang mencari benang merah
cerpen-cerpen yang mereka baca. Terkadang ada kumcer yang tidak memiliki benang merah
antar cerpennya kecuali bahwa cerpen itu ditulis oleh oleh penulis yang sama. Tapi Gadis
Pakarena bukan kumcer seperti itu. Gadis Pakarena memiliki benang merah yang jelas: rasa
Makassar yang kental.
Dari cerpen pertama saja, pembaca disuguhi bahasa Makassar melalui nama sang tokoh
utama, Laduka. Lalu beberapa cerpen yang lain juga diberi judul berciri khas Makassar: Gadis
Pakarena, Arajang, Silariang, dan seterusanya.
Ditaruhnya Laduka di awal menurutku sudah cukup pas. Rasa Makassarnya dapet.
Ceritanya sederhana, plotnya, bagiku biasa saja dan mudah ditebak, tapi dikisahnya dengan
bahasa yang enak dinikmati. Membuat pembaca ingin lanjut ke hidangan penulis yang
selanjutnya.
Aku suka Gadis Pakarena, terutama pesan kemanusiaan yang coba dimasukkan oleh
penulisnya, tapi tak terlalu suka endingnya. Walau aku tak bisa memikirkan ending yang lebih
oke dari itu. Gadis Pakarena diceritakan dengan gabungan dua sudut pandang: sudut pandang
orang pertama dan kedua.
Arajang merupakan kisah terunik di kumcer ini. Letak uniknya berada pada tokoh
utamanya. Mengingatkanku soal Contraire dari novel dwilogi karya Alison Goodman.
Mengawini Ibu. Judulnya sungguh panas, ya? Dan memang kisahnya sendiri cukup panas,
bagiku. Tapi tenang, tidak sampai eksplisit sekali kok.
Rumah Panggung di Kaki Bukit adalah cerpen dari kumcer yang berpotensi menjadi
favoritku dari keseluruhan cerpen di buku Gadis Pakarena ini. Sudah gitu aja.
Haji Baso, Silariang cerpen yang oke.
Ulu Badik Ulu Hati, pesannya oke, tapi aku agak kurang suka dengan cara penceritaannya.
Selasar, Lebang dan Hatinya, Pembunuh Parakang, dan Hati Perempuan Sunyi merupakan
kisah-kisah dengan tiga tokoh utama yang sama. Dari keempat cerpen itu, aku suku yang
Pembunuh Parakang dan Lebang dan Hatinya. Selasar agak bertele-tele, dengan ending yang
sangat menggantung sekali. Hati Perempuan Sunyi menggunakan setting kota yang agak repot
dibaca namanya. Kisah ini, menurutku, kalau penulis mau bisa dijadikan novel sekalian.
Riwayat Tiga Layar dan Dilarang Mengarang Cerita di Hari Minggu ditulis dengan gaya
bercerita yang sama. Kisah dengan diselingi kalimat-kalimat manis, atau petuah, atau nasihat,
atau apapun namanya. Jelas bukan favoritku. Keduanya, err, jujur, agak membosankan. Tapi
Riwayat Tiga Layar masih mending, aku masih cukup menikmati. Berbeda dengan Dilarang
Mengarang Cerita di Hari Minggu yang butuh waktu tiga kali istirahat sebelum aku tuntas
membacanya. Yang cukup bikin aku gemas, kenapa alasan larangan itu tidak dibuka sejak awal
saja? Kenapa butuh waktu yang lama dan panjang untuk sampai ke bagian itu?
Secara keseluruhan, Gadis Pakarena karya yang oke. Diceritakan dengan gaya bahasa yang
enak dan renyah untuk dilahap, kecuali dua yang terakhir. Kembali ke selera saja sih, ya. Di
biografi penulis, yang tercetak di perpanjangan (?) sampul belakang yang ditekuk ke dalam,
disebutkan kumcer ini dulunya pernah diterbitkan sebelumnya. Versi terbit ulang ini memuat dua
cerpen baru. Aku rasa yang baru itu yang dua terakhir itu. Entahlah, aku merasa "nyawa" yang
mengisi dua cerpen yang terakhir itu sedikit berbeda dengan para pendahulunya.

Amanat : Dengan membaca Novel ini kita akan mengenal lebih dekat kebudayaan Bugis-
Makassar sekaligus problematika yang biasa muncul di dalamnya.

You might also like