You are on page 1of 21

1

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PENDERITA
1. Nama : Ny. N
2. Umur : 45 tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Suku : Jawa
5. Agama : Islam
6. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
7. Alamat : Kenongo 2/6 Lemahireng
8. Tanggal pemeriksaan : 12 September 2017
9. Tanggal masuk RS : 11 September 2017
10. No. MR : 133206
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Benjolan dileher kanan sejak 3 bulan yang lalu
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Benjolan di leher kanan sejak 3 bulan yang lalu. Benjolan tidak sakit.
Awalnya benjolan teraba kecil, selama 3 bulan akhirnya membesar seperti
sekarang. Disfagia (-), Dispneu (-). Batuk sejak 1 bulan yang lalu belum
sembuh-sembuh. Jika pasien kelelahan, pasien banyak mengeluarkan
keringat. Sering deg-degan, gelisah, dan susah tidur sejak 1 tahun terakhir.
Sering kecapaian saat bekerja terutama sejak 3 bulan terakhir, jika sudah
capai, penglihatan akan kabur. Pasien tidak tahan udara dingin, lebih
menyukai daerah panas.
3. Riwayat Penyakit dahulu : Hipertensi (-) DM (-) Alergi (-)
4. Riwayat Pengobatan :
Os mengonsumsi obat pereda nyeri untuk meredakan sakit gigi. Pasien lupa
nama obatnya.
5. Riwayat penyakit keluarga : Keluarga tidak ada yang sakit seperti ini.
6. Riwayat Sosial Ekonomi : Pasien tinggal di daerah Ungaran yang
merupakan daerah pegunungan. Ada tetangga pasien yang mengalami
2

penyakit serupa. Pasien tidak suka mengonsumsi mie, makanan asin ataupun
MSG.

STATUS PRESENT
I. KESAN UMUM
A. Keadaan Umum : Sedang
Kesan Sakit : Ringan Tinggi Badan : 158cm
Kesadaran : Compos Mentis Berat Badan : 54 kg
Lain lain : (-) Gizi : 21,68 (normorweight)
B. Keadaan Sirkulasi
Sp02 : 99
TekananDarah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
- Tipe : normal
- Isi : Penuh
- Irama : Reguler
C . Keadaan Pernafasan
Frekuensi : 18 x/menit
Corak Pernafasan : Thorakoabdominal
Bau Nafas (Foetor) : (-)
II. PEMERIKSAAN KHUSUS
A. KEPALA :
1. Tengkorak : Normocephali
2. Muka : Simetris
3. Mata :
Letak : Ortophoria Pergerakan : (+/+)
Palpebra : dbn Reaksi Cahaya : (+/+)
Kornea : Jernih Reflek kornea : (+/+)
Pupil : Isokor, RC (+) 2-3mm Reaksi Konvergen : dbn
Sclera : Ikterik (-/-)
Konjungtiva : Pucat (+/+)
3

4. Telinga : Sekret (-/-)


5. Hidung : Pernafasan cuping hidung : (-), Sekret (-/-)
6. Bibir : Sianosis (-), kering (-)
7. Gigi dan gusi : dbn
8. Lidah : Pergerakan : dbn, Permukaan : dbn Tremor : (-)
9. Rongga mulut : dbn
10.Rongga Leher : Faring : Hiperemis (-/-),granul (-/-)
Tonsil : dbn
11. Kelenjar Parotis : dbn
B. LEHER
- Inspeksi : Kelenjar Tiroid : Kanan membesar
Lokasi : Lobus Kanan
Ukuran : D = 4 cm
Jumlah Nodul :1
Konsistensi : Kenyal
Nyeri Tekan : (-)
Perlekatan : (-)
Pembesaran Vena : Tidak ditemukan
Pulsasi Vena : dbn
Refluks Hepatojugular : Tidak ditemukan
C. KETIAK : Pembesaran KGB (-)

D. THORAKS :
Inspeksi
Bentuk Umum : Simetris
Sudut Epigastrium : Tajam
Sela Iga : dbn
Frontal dan sagital : dbn
Pergerakan : Simetris
Skletal : dbn
Kulit : dbn
4

Ictus Cordis : ICS V 1 jari medial linea midklavikula sinistra


Tumor : (-)
Pembesaran vena : (-)
Palpasi : dbn
Perkusi : dbn
Auskultasi : dbn

E. ABDOMEN :
Inspeksi
Bentuk : simetris(+) Pergerakan saat bernafas : dbn
Kulit : dbn
Palpasi : distensi (-), fenomena papan catur (-) , nyeri tekan di
seluruh abdomen (-), Pembesaran hepar (-), Pembesaran
lien (-), Pembesaran ginjal (-)
Perkusi : tympani seluruh lapang abdomen
Auskultasi : Bising Usus (+) , bruit (-).

F. LIPAT PAHA
Pembesaran Kelenjar (-), tumor (-) , Pulsasi a. Femoralis (+)
G. KAKI DAN TANGAN
Inspeksi
Bentuk : simetris(+) Palmar eritem : (-)
Kulit : dbn Clubbing finger : (-)
Pergerakan : dbn Udema : (-)
Palpasi : kulit hangat (+),dbn
H. SENDI
Kelainan bentuk (-), tanda radang (-), Pergerakan dbn
I. NEUROLOGIS
Reflek fisologis : APR (+/+) KPR (+/+)
Reflek patologis : (-)
Rangsangan meningeal : (-)
5

KESIMPULAN
Benjolan di leher kanan sejak 3 bulan yang lalu. Benjolan tidak sakit.
Awalnya benjolan teraba kecil, selama 3 bulan akhirnya membesar seperti
sekarang. Disfagia (-), Dispneu (-). Batuk sejak 1 bulan yang lalu belum
sembuh-sembuh. Jika pasien kelelahan, pasien banyak mengeluarkan
keringat. Sering deg-degan, gelisah, dan susah tidur sejak 1 tahun terakhir.
Sering kecapaian saat bekerja terutama sejak 3 bulan terakhir, jika sudah
capai, penglihatan akan kabur. Pasien tidak tahan udara dingin, lebih
menyukai daerah panas.
Pasien tinggal di daerah Ungaran yang merupakan daerah pegunungan. Ada
tetangga pasien yang mengalami penyakit serupa. Pasien tidak suka
mengonsumsi mie, makanan asin ataupun MSG.
Keadaan Umum : Sedang
Kesan Sakit : Ringan Tinggi Badan : 158cm
Kesadaran : Compos Mentis Berat Badan : 54 kg
Lain lain : (-) Gizi : 21,68 (normorweight)
. LEHER
- Inspeksi : Kelenjar Tiroid : Kanan membesar
Lokasi : Lobus Kanan
Ukuran : D = 4 cm
Jumlah Nodul :1
Konsistensi : Kenyal
Nyeri Tekan : (-)
Perlekatan : (-)
Pembesaran Vena : Tidak ditemukan
Pulsasi Vena : dbn
Refluks Hepatojugular : Tidak ditemukan
6

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Darah rutin
7

D. DIAGNOSIS BANDING
- Eutiroid
- Hipotiroid
- Hipertiroid
E. DIAGNOSA KERJA
Struma Nodusa Non-Toksik
F. TERAPI
 Infus RL 20 tpm
 Cefotaxim 3x1 gr
 Op - Isthmulobektomi - Cek Lab PA
8

G. PROGNOSIS
 Quod ad vitam : dubia et bonam
 Quod ad sanam : dubia et bonam
 Quod ad fungsionam : dubia et bonam
9

BAB 1
PENDAHULUAN

Pada keadaan normal kelenjar tiroid demikian kecil, hingga tidak


mempengaruhi bentuk leher. Adakalanya terjadi pembesaran dari kelenjar tiroid
yang disebut dengan struma. Apabila pada pemeriksaan kelenjar tiroid teraba
suatu nodul maka pembesaran ini disebut struma nodosa. Struma mudah
ditemukan, karena segera terlihat dan dapat diraba (68% oleh penderita dan 90%
oleh pemeriksa), tetapi justru sulit ditetapkan penyebabnya dan tidak
bermaknanya kelainan anatomi (struma) dengan perubahan fungsi yang terjadi.
Struma nodosa merupakan pembesaran pada kelenjar tiroid yang teraba
sebagai suatu nodul. Etiologi struma nodosa multifaktorial, dimana faktor risiko
yang banyak ditemukan pada masyarakat perkotaan adalah pencemaran
lingkungan, penggunaan alat kontrasepsi hormonal dan paparan goitrogenik.
Manisfestasi klinis struma nodosa adalah adanya benjolan di leher.
Struma nodosa non toksik merupakan gangguan yang sangat sering
dijumpai dan menyerang 16 % perempuan dan 4 % laki-laki yang berusia antara
20 sampai 60 tahun seperti yang telah dibuktikan oleh suatu penyelidikan di
Tecumseh, suatu komunitas di Michigan. Biasanya tidak ada gejala-gejala lain
kecuali gangguan kosmetik, tetapi kadang-kadang timbul komplikasi-komplikasi.
Struma mungkin membesar secara difus dan atau bernodula.
Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang
menjadi multinodular pada saat dewasa. Nodul mungkin tunggal tetapi
kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi
jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering
berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di
leher.
10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Pengertian
Pembesaran pada kelenjar tiroid biasa disebut sebagai struma nodosa atau
struma. Pembesaran pada tiroid yang disebabkan akibat adanya nodul, disebut
struma nodosa (Tonacchera, Pinchera & Vitty, 2009). Biasanya dianggap
membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal. Pembesaran ini dapat
terjadi pada kelenjar yang normal (eutirodisme), pasien yang kekurangan hormon
tiroid (hipotiroidisme) atau kelebihan produksi hormon (hipertiroidisme) (Black
and Hawks, 2009). Menurut Penelitian Framingham, setiap orang berisiko 5-10%
untuk menderita struma nodosa dan perempuan berisiko 4 kali lipat dibanding
laki-laki (Incidence and Prevalence Data, 2012). Kebutuhan hormon tiroid
meningkat pada masa pertumbuhan, masa kehamilan dan menyusui. Pada
umumnya struma nodosa banyak terjadi pada remaja, wanita hamil dan ibu
menyusui. Struma nodosa terdapat dua jenis, toxic dan non toxic. Struma nodusa
non toxic merupakan struma nodusa tanpa disertai tanda- tanda hipertiroidisme
(Hermus& Huysmans, 2004). Pada penyakit struma nodusa non toxic tiroid
membesar dengan lambat. Struma nodosa toxic ialah keadaan dimana kelenjar
tiroid yang mengandung nodul tiroid yang mempunyai fungsi yang otonomik,
yang menghasilkan suatu keadaan hipertiroid. Dampak struma nodosa terhadap
tubuh dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian
posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma nodosa
dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara
sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia (Rehman, dkk 2006). Hal tersebut
akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan
elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar
dapat asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia
11

Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal yaitu (Roy,


2011):
a) Berdasarkan jumlah nodul: bila jumlah nodul hanya satu disebut struma
nodosa soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut struma
multinodosa.
b) Berdasarkan kemampuan menyerap yodium radioaktif, ada tiga bentuk
nodul tiroid yaitu nodul dingin, hangat, dan panas. Nodul dingin apabila
penangkapan yodium tidak ada atau kurang dibandingkan dengan bagian
tiroid sekitarnya. Hal ini menunjukkan aktivitas yang rendah. Nodul
hangat apabila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti
fungsi nodul sama dengan bagian tiroid lainnya. Dan nodul panas bila
penangkapan yodium lebih banyak dari sekitarnya. Keadaan ini
memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
c) Berdasarkan konsistensinya lunak, kistik, keras dan sangat keras

Struma nodosa memiliki beberapa stadium, yaitu (Lewinski, 2002) :


a) Derajat 0 : tidak teraba pada pemeriksaan
b) Derajat I : teraba pada pemeriksaan, terlihat jika kepala ditegakkan
c) Derajat II : mudah terlihat pada posisi kepala normal
d) Derajat III : terlihat pada jarak jauh.
12

Berdasakan fisiologisnya struma nodosa dapat diklasifikasikan sebagai


berikut (Rehman, dkk, 2006) :
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang
disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal
sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang
meningkat. Struma nodosa atau struma semacam ini biasanya tidak
menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi secara
berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid
sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari
kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon.
Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi
atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop
atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi.
Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap
udara dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi,
kulit kasar, rambut rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu
dan penurunan kemampuan bicara.
c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoxicosis atau Graves yang dapat didefenisikan
sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik
hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau
adanya sejenis antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid,
sehingga tidak hanya produksi hormone yang berlebihan tetapi ukuran
kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa berat badan
menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, lebih
suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung
berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot
(eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot.
13

Secara klinis pemeriksaan klinis struma nodosa dapat dibedakan menjadi


(Tonacchera, dkk, 2009):
a. Struma nodosa toxic Struma nodosa toxic dapat dibedakan atas dua yaitu
struma nodosa diffusa toxic dan struma nodosa nodusa toxic. Istilah
diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk anatomi
dimana struma nodosa diffusa toxic akan menyebar luas ke jaringan lain.
Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan
memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih
benjolan (struma nodosa multinodular toxic). Struma nodosa diffusa toxic
(tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena jaringan tubuh
dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab
tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic struma
nodosa), bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara
hipertiroidisme lainnya. Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien
meskipun telah diiidap selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk
reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor
tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.
b. Struma nodosa non toxic Struma nodosa non toxic sama halnya dengan
struma nodosa toxic yang dibagi menjadi struma nodosa diffusa non toxic
dan struma nodosa nodusa non toxic. Struma nodosa non toxic disebabkan
oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma nodosa ini disebut sebagai
simpel struma nodosa, struma nodosa endemik, atau struma nodosa koloid
yang sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang sekali
mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon
oleh zat kimia.

II.2. Etiologi
Penyebab utama struma nodosa ialah karena kekurangan yodium (Black and
Hawks, 2009). Defisiensi yodium dapat menghambat pembentukan hormon tiroid
oleh kelenjar. Hal tersebut memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam
jumlah yang berlebihan. TSH kemudian menyebabkan sel-sel tiroid
14

mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah yang besar ke dalam folikel, dan


kelenjar menjadi bertambah besar. Penyebab lainnya karena adanya cacat genetik
yang merusak metabolisme yodium, konsumsi goitrogen yang tinggi (yang
terdapat pada obat, agen lingkungan, makanan, sayuran), kerusakan hormon
kelenjar tiroid, gangguan hormonal dan riwayat radiasi pada kepala dan leher
(Rehman dkk, 2006).

II.3. Patofisiologi
Yodium merupakan bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk
pembentukan hormon tiroid. Bahan yang mengandung yodium diserap usus,
masuk kedalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tiroid.
Dalam kelenjar, yodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimulasikan
oleh Tiroid Stimulating Hormon (TSH) kemudian disatukan menjadi molekul
tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul
diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul triiodotironin (T3). Tiroksin
(T4) menunjukan pengaturan umpan balik negatif dari seksesi TSH dan bekerja
langsung pada tirotropihypofisis, sedangkan T3 merupakan hormon metabolik
yang tidak aktif. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan
pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid
dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram. Beberapa obat dan keadaan dapat
mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tiroid sekaligus menghambat
sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan
pelepasan TSH oleh kelenjar hipofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran
kelenjar tiroid. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan berkembang
menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya berangsur-
angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher.
Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya
tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan
karena menonjol kebagian depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan
trakea bila pembesarannya bilateral.
15

Ii.4. Manifestasi klinik


Beberapa penderita struma nodosa non toxic tidak memiliki gejala sama
sekali. Jika struma cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat
mengakibatkan gangguan pada respirasi dan juga esofhagus tertekan sehingga
terjadi gangguan menelan. Peningkatan seperti ini jantung menjadi berdebar-
debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, dan kelelahan. Beberapa
diantaranya mengeluh adanya gangguan menelan, gangguan pernapasan, rasa
tidak nyaman di area leher, dan suara yang serak. Pemeriksaan fisik struma
nodosa non toxic berfokus pada inspeksi dan palpasi leher untuk menentukan
ukuran dan bentuk nodular. Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di
depan penderita yang berada pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau
leher sedikit terbuka. Jika terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan
beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus atau
noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk menelan dan pulpasi pada
permukaan pembengkakan. Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien
diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang
pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan ibu jari kedua tangan pada
tengkuk penderita. Struma nodosa tidak termasuk kanker tiroid, tapi tujuan utama
dari evaluasi klinis adalah untuk meminimalkan risiko terhadap kanker tiroid.
16

Ii.5. Pemeriksaan
Pemeriksaan penunjang untuk struma nodosa antara lain (Tonacchera, dkk, 2009):
2.5.1 Pemeriksaan laboratorium.
 Pemeriksaan tes fungsi hormon : T4 atau T3, dan TSH
2.5.2 Pemeriksaan radiologi.
 Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea, atau pembesaran
struma yang pada umumnya secara klinis sudah bias diduga, foto rontgen
pada leher lateral diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas.
 Pemeriksaan ultrasonografi (USG). Manfaat USG dalam pemeriksaan
tiroid :
- Untuk menentukan jumlah nodul.
- Dapat membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik.
- Dapat mengukur volume dari nodul tiroid.
- Dapat mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak
menangkap yodium, dan tidak terlihat dengan sidik tiroid.
17

- Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan


dilakukan biopsi terarah.
- Pemeriksaan sidik tiroid. Hasil pemeriksaan dengan radioisotope
adalah tentang ukuran, bentuk, lokasi dan yang utama adalah fungsi
bagian-bagian tiroid.

2.5.3 Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration Biopsy). Biopsi ini
dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.

II.6. Penatalaksaan
Penatalaksanaan struma dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
2.6.1 Penatalaksanaan konservatif
 Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid. Tiroksin digunakan untuk
menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini bahwa pertumbuhan sel
kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk menekan
TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga diberikan
untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan
kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah
propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol.
 Terapi Yodium Radioaktif . Yodium radioaktif memberikan radiasi
dengan dosis yang tinggi pada kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi
jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi maka pemberian yodium
radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50 %. Yodium radioaktif
tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga memperkecil penyinaran
terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan resiko
kanker, leukimia, atau kelainan genetik. Yodium radioaktif diberikan dalam
bentuk kapsul atau cairan yang harus diminum di rumah sakit, obat ini ini
biasanya diberikan empat minggu setelah operasi, sebelum pemberian obat
tiroksin.
18

Gambar. Diagram penatalaksanaan Struma Nodusa Nontoksik

2.3.5.2 Penatalaksanaan operatif


 Tiroidektomi Tindakan pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat
kelenjar tiroid adalah tiroidektomi, meliputi subtotal ataupun total.
Tiroidektomi subtotal akan menyisakan jaringan atau pengangkatan 5/6
kelenjar tiroid, sedangkan tiroidektomi total, yaitu pengangkatan jaringan
seluruh lobus termasuk istmus (Sudoyo, A., dkk., 2009). Tiroidektomi
merupakan prosedur bedah yang relative aman dengan morbiditas kurang
dari 5 %. Menurut Lang (2010), terdapat 6 jenis tiroidektomi, yaitu :
- Lobektomi tiroid parsial, yaitu pengangkatan bagian atas atau bawah
satu lobus.
- Lobektomi tiroid, yaitu pengangkatan seluruh lobus
19

- Lobektomi tiroid dengan isthmusectomy, yaitu pengangkatan satu lobus


dan istmus
- Subtotal tiroidektomi, yaitu pengangkatan satu lobus, istmus dan
sebagian besar lobus lainnya.
- Total tiroidektomi, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar.
- Tiroidektomi total radikal, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar dan
kelenjar limfatik servikal.
Setiap pembedahan dapat menimbulkan komplikasi, termasuk tiroidektomi.
Komplikasi pasca operasi utama yang berhubungan dengan cedera berulang pada
saraf laring superior dan kelenjar paratiroid. Devaskularisasi, trauma, dan eksisi
sengaja dari satu atau lebih kelenjar paratiroid dapat menyebabkan
hipoparatiroidisme dan hipokalsemia, yang dapat bersifat sementara atau
permanen. Pemeriksaan yang teliti tentang anatomi dan suplai darah ke kelenjar
paratiroid yang adekuat sangat penting untuk menghindari komplikasi ini. Namun,
prosedur ini umumnya dapat ditoleransi dengan baik dan dapat dilakukan dengan
cacat minimal (Bliss et al, 2000). Komplikasi lain yang dapat timbul pasca
tiroidektomi adalah perdarahan, thyrotoxic strom, edema pada laring,
pneumothoraks, hipokalsemia, hematoma, kelumpuhan syaraf laringeus reccurens,
dan hipotiroidisme (Grace & Borley, 2007).
Tindakan tiroidektomi dapat menyebabkan keadaan hipotiroidisme, yaitu
suatu keadaan terjadinya kegagalan kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon
dalam jumlah adekuat, keadaan ini ditandai dengan adanya lesu, cepat lelah, kulit
kering dan kasar, produksi keringat berkurang, serta kulit terlihat pucat. Tanda-
tanda yang harus diobservasi pasca tiroidektomi adalah hipokalsemia yang
ditandai dengan adanya rasa kebas, kesemutan pada bibir, jari-jari tangan dan
kaki, dan kedutan otot pada area wajah (Urbano, FL, 2000). Keadaan
hipolakalsemia menunjukkan perlunya penggantian kalsium dalam tubuh.
Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah kelumpuhan nervus laringeus
reccurens yang menyebabkan suara serak. Jika dilakukan tiroidektomi total,
pasien perlu diberikan informasi mengenai obat pengganti hormon tiroid, seperti
20

natrium levotiroksin (Synthroid), natrium liotironin (Cytomel) dan obat-obatan ini


harus diminum selamanya.

II.7 Diagnosis Banding


a) Struma nodosa yang terjadi pada peningkatan kebutuhan terhadap tiroksin
saat masa pertumbuhan ,pubertas laktasi,menstruasi,kehamilan
menopause,infeksi,stes lain .
b) Tiroiditis akut
c) Tiroiditis subakut
d) Tiroiditis kronis,limpositik (hashimoto),fibrous-invasif ( riedel )
e) Simple goiter
f) Struma endemic
g) Kista tiroid,kista degenerasi
h) Adenoma
i) Karsinoma tiroid primer,metastatik
j) Limfoma

Ii.8. Komplikasi
Komplikasi umumnya tidak ada ,kecuali ada infeksi seperti pada tiroiditis
akut /subakut

Ii.9. Prognosis
Ad bonam.
21

DAFTAR PUSTAKA

 Anonim, . Ilmu Bedah dan Teknik Operasi. Bratajaya Fakultas


Kedokteran UNAIR. Surabaya.
 Jong, Wim de dan R. Sjamsuhidayat. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi
Revisi. EGC : Jakarta.
 Kumar. Et.al. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Volume 2 Edisi 7.
EGC: Jakarta.
 Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid
Kedua. Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
 Price, Sylvia. 2006. Patofisiologi Edisi 6. EGC : Jakarta.
 Reksoprodjo, S dkk. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Binarupa
Aksara : Jakarta.
 Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent
edition. Mc-Graw Hill a Division of The McGraw-Hill Companies.
Enigma an Enigma Electronic Publication.
 Silbernagl, Stefan. 2007. Atlas Berwarna Patofisiologi. EGC : Jakarta.

You might also like