You are on page 1of 33

MORBUS HANSEN

I. PENDAHULUAN
Morbus Hansen yang disebut juga Lepra adalah infeksi kronik yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang merupakan mikroorganisme
yang menyerang kulit dan saraf. Meskipun tidak fatal, lepra merupakan
salah satu penyebab paling sering neuropati perifer di seluruh dunia.
Penyakit ini telah ada di dunia sejak lama. DNA yang diambil dari mayat di
kota Jerusalem menunjukkan bahwa Ia merupakan manusia pertama yang
menderita lepra. Penyakit ini kemungkinan berasal dari Mesir dan Negara
Timur Tengah lainnya pada awal 2400 SM. Kurangnya pengetahuan di masa
itu mengenai penyakit tersebut menyebabkan penyakit tersebut menyebar ke
seluruh penjuru dunia. Mycobacterium leprae, penyebab dari lepra
ditemukan oleh G.H Armauer Hansen di Norway pada tahun 1873. Lebih
dari 20 tahun , imlementasi WHO terhadap kasus MDT (Multi Drugs
Resistance) telah membuat prevalensi infeksi lepra menurun sekitar 90 % di
Negara endemic dengan kurang dari satu kasus dalam 10.000 populasi.
Walaupun, pada Negara-negara seperti Brazil, Congo, Madagascar,
Mozambique, Nepal, dan Tanzania.1,11

II. EPIDEMIOLOGI
Kusta terdapat dimana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika latin,
daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya
rendah. Makin rendah sosial ekonomi rendah makin berat penyakitnya,
sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan.
Pada tahun 1991 World Heath Assembly membuat resolusi tentang eliminasi
kusta sebagai problem kesehatan masyarakat pada tahun 2000 dengan
menurunkan prevalensi kusta menjadi dibawah 1 kasus per 10.000
penduduk. Di indonesia dikenal dengan Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT
2000). 2
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 1
Peyakit ini masih tetep menjadi endemik di Negara seperti Afrika dan
Negara-negara Asia Tenggara.Variasi geografi pada tahun 2009
menunjukkan dari 141 negara yang melaporkan, hanya 7 negara yang
terdeteksi 85 % kasusnya adalah kasus baru. Contohnya pada tahun 2009 di
India terdapat 94 % kasus lepra baru dari 79 % populasi saat itu. Pada tahun
2005 – 2007 di Brasil 17 % dari populasi berkontribusi pada 53 % kasus
baru. Untuk Indonesia sendiri pada tahun 2007, 14 dari 33 provinsi terdapat
83 % kasus baru. Sedangkan China pada tahun 2009, 3 dari 31 provinsi
mempunyai 54, 5 % kasus baru. 3

III. ETIOLOGI
Mycobacterium leprae belum berhasil dibiakan secara in vitro.
Mycobacterium leprae berkembang biak pada suhu 30 - 33°C dalam waktu
12 hari. Mikroorganisme ini merupakan mikroorganisme yang kuat yang
dapat bertahan hidup di lingkungan selama 10 hari.4 Kuman ini ditemukan
oleh G.A Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. M. leprae merupakan
kuman Gram positif yang berbentuk basil dengan ukuran 3 – 8 Um x 0,5
Um, yang mempunyai komponen antigenik kompleks yang terdiri dari lipid,
karohidrat dan protein, sehingga kuman ini tahan asam dan alkohol.2,4

IV. PATOGENESIS
Faktor risiko untuk terjadinya lepra adalah lahir atau tinggal di area
yang diketahui sebagai daerah endemik, ada keluarga yang menderita lepra,
mempunyai genetic, terpapar dari lingkungan sekitar, dan kemiskinan.
Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui
dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang
tersering adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu
dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M. leprae terhadap kulit
bergantung pada faktor imunitas seseorang. Oleh karena itu penyakit kusta
dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya sebanding
dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.4,13

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 2
Sebagai proteksi awal sebelum bakteri masuk ke dalam kulit, terutama
kompartemen imunologik bakteri tersebut harus melewati beberapa sawar,
salah satunya adalah berbagai mekanisme non-spesifik seperti sistem
fagositosis yang diperankan terutama oleh sel makrofag. Bakteri yang
ditangkap akan melalui beberapa proses yang bertujuan untuk
mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95% individu yang terinfeksi oleh M.
leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau minimal hanya subklinis saja.
Setelah berbagai sawar nonspesifik tersebut gagal, maka barulah akan
bekerja mekanisme imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel
imunokompeten oleh stimulasi antigen M. leprae.5
Bila basil M. leprae masuk ke dalan tubuh seseorang, dapat timbul
gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis
bergantung kepada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. SIS yang baik
akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah
memberikan gambaran lepromatosa. Makrofag dalam jaringan yang berasal
dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama lain sel Kupffer di
hati, sel alveolar di paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut
histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau
ada kuman masuk, akibatnya akan bergantung pada SIS. Apabila SIS-nya
tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke
tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor
kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus
difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang
berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel. Apabila SIS
rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang
sudah ada di dalamanya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan
disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagi alat pengangkut
penyebarluasan.5,6
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular,
dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 3
kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak
jaringan. Kelainan kulit yang terjadi lebih ekstensif. Lesi kulit terdiri dari
nodus yang infiltratif dan plak. Kelainan saraf dapat simetris. 5,6,7

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 4
Gambar 1. Imunitas terhadap bakteri
Sumber : Playfair JHL, Chain BM. Immunity to bacteria.
Immunology at a Glance

Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi,


sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah
semua kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid
yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia
Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan
dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan
sekitarnya. Tipe ini biasanya menyerang kulit dan saraf perifer. Jumlah lesi
kulit terbatas dengan kulit kering dan hipoanestesia. Kelainan saraf biasanya
asimetris. 7
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae
sehingga menyebabkan cedera pada saraf, demielinasi, dan akibatnya, cacat.
Pengikatan M. leprae ke sel Schwann menyebabkan demielinisasi dan
hilangnya konduktansi aksonal. M. leprae memiliki bagian G domain of
extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan dengan sel
schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC kelas
II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2
dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal
memakan M. leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya
di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia
bekerja terus menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih
banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenai bagian self atau nonself
sehingga akan merusak saraf dan saraf yag rusak akan diganti dengan
jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi.7

V. GAMBARAN KLINIS

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 5
Sebelum membahas mengenai gambaran klinis akan dibahas
mengenai klasifikasi terlebih dahulu. Ridley dan Jopling memperkenalkan
istilah spectrum determinate pada penyakit lepra yang terdiri atas berbagai
tipe, yaitu:
IL : Indeterminate leprosy
TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
BT : Borderline tuberculoid
BB : Mid borderline
BL : Borderline lepromatous bentuk yang labil
LLs : Lepromatous subpolar
LLp : lepromatosa polar, bentuk yang stabil
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang
stabil. Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LLp adalah tipe
lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara BT dan
LLs disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara
tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid
dan 50% lepromatosa. BT lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan LLs
lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil,
berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LLp.7 Indeterminate
leprosy tidak termasuk dalam spektrum.2
Tabel 1. Klasifikasi Ridley-Jopling

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 6
Sumber : Ridley DS, Jopling WH. Classification of leprosy
according to immunity: a five-group system. Int J Leprosy 1966; 54 :
255-73

Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan


pausibasilar (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan
indeks biposi (IB), ditemukan bakteri lebih dari +2, yaitu tipe LLp, BL, dan
BB pada klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil
dengan IB kurang dari +2, yaitu tipe TT, BT, dan I klasifikasi Ridley-
Joping.2 Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi
perubahan. Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA
negatif pada pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe I, BT dan TT menurut
klasifikasi Ridley-Jopling. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita
kusta tipe BB, BL, LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif,
harus diobati dengan rejimen MDT-MB.2,14

Zona spectrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat dibawah:2


Klasifikasi Zona spectrum kusta
Ridley&Jopling TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)
Puskesmas PB MB

Masa inkubasinya 2 – 40 tahun (rata-rata 5 – 7 tahun). Onset


terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai
sistem saraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren
tanpa terlihat adanya gejala klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi
kulit berupa macula dan bula yang bersifat sementara. Keterlibatan sistem
saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik yang berat,
dan kontraktur tangan dan kaki. Gejala prodromal yang dapat timbul kadang
tidak dikenali sampai lesi erupsi ke kutan terjadi. 90% pasien biasanya
mengalami keluhan pada pertama kalinya adalah rasa baal, hilangnya
sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas dengan dingin.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 7
Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan dan kaki,
sehingga dapat terjadi komplikasi ulkus atau terbakar pada ekstremitas yang
baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah daerah
yang dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuping hidung, daun telinga,
dan lutut.2 Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa (1) Pembesaran
saraf tepi yang asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia posterior, radial
kutaneus, (2) Kerusakan sensorik pada lesi kulit (3) Kelumpuhan nervus
trunkus tanpa tanda inflamasi berupa neuropati, kerusakan sensorik dan
motorik, serta kontraktur (4) Kerusakan sensorik dengan pola Stocking-
glove (4) Acral distal symmethric anesthesia (hilangnya sensasi panas dan
dingin, serta nyeri dan raba).4
1. Indeterminate Leprosy (IL)
IL merupakan bentuk lepra yang sering sekali tidak didagnosis
sebagai lepra. Gambaran klinis berupa dua atau tiga patch yang
datar dan hipopigmentasi. Gejala saraf perifer ringan atau bahkan
tidak ada. Karakteristik khas yang biasa didapatkan pada biopsi
kulit lepra tidak didapatkan pada IL.9 Biasanya muncul pada
wajah, bagian ekstensor dari ekstremitas, pantat atau dada.

Gambar 2. Indeterminate Leprosy

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 8
Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rook’s Textbook of
Dermatology

2. Tuberculoid Leprosy (TT)


TT merupakan bentuk lepra yang paling ringan. Imunitas host
biasanya masih baik, dapat sembuh spontan dan masih mampu
melokalisir sehingga didapatkan gambaran batas yang tegas.
Mengenai kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa,
dapat berupa makula atau plak, dan pada bagian tengah dapat
ditemukan lesi yang regresi atau central clearing. Permukaan lesi
dapat bersisik, dengan tepi yang meninggi. Dapat disertai
penebalan saraf tepi yang biasanya teraba. Kuman BTA negatif
merupakan tanda terdapatnya respon imun yang adekuat terhadap
kuman kusta. Pada BT, tidak dapat sembuh spontan, Lesi
menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi satelit di tepinya.
Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas TT.
Gangguan saraf tidak berat dan asimetris. 9

Gambar 3.
Tuberculoid
Leprosy
Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rook’s Textbook of
Dermatology

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 9
3. Lepromatous Leprosy (LL)
Manifestasi klinis awal yang muncul biasanya di kulit (karena
gejala saraf biasanya masih asimptomatik pada awal penyakit),
namun biasanya tidak terlalu diperhatikan oleh pasien, mereka
lebih sering mengeluhkan keluhan seperti keluhan hidung
tersumbat disertai adanya sekret dan epistaksis. Untuk daerah kulit
sendiri jumlah lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm,
simetris, permukaan halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas
tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan
anhidrosis. Ditemukan juga lesi Dematofibroma-like multipel,
batas tegas, nodul eritem. Distribusi lesi khas pada wajah,
mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Lesi pada mukosa
oral berupa papul pada bibir dan nodul pada palatum, uvula, lidah
dan gusi. Mukosa nasal juga menjadi hiperemis dan ulserasi
sehingga gampang terjadi epistaksis. Pada stadium lanjut tampak
penebalan kulit yang progresif membentuk facies leonine.
Kerusakan saraf menyebabkan gejalan stocking and glove
anesthesia.9

Gambar 4. Lepromatous
Leprosy
Sumber : Lockwood DNJ.
Leprosy. Rook’s Textbook of
Dermatology

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 10
Gambar 5. Fasies
Leonine
Sumber :
Gawkrodger DJ. Tropical
Infections & Infestations.
Dermatology Illustrated Colour Text

Gambar 6. Hidung pelana


dan infiltrasi pada lidah
Sumber : Lockwood
DNJ. Leprosy. Rook’s Textbook of Dermatology

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 11
Gambar 7. Nodul pada septum nasi dan perdarahan
Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rook’s Textbook of
Dermatology

Gambar 8. Multiple
dermatofibroma-like pada LL
Sumber : Lee DJ, Rea TH, Modlin
RL. Leprosy. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine

4. Borderline Leprosy (BT, BB, BL)


Pada tipe borderline, merupakan tipe yang paling tidak stabil,
disebut juga bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara
tuberculoid dan lepromatous. Terdiri dari macula infiltratif,
mengkilap, batas lesi kurang tegas, jumlah banyak melebihi tipe
BT dan cenderung simetris. Lesi bervariasi, dapat perbentuk
punch out yang khas pada tipe ini. Pada tipe ini terjadi anestesia
dan berkurangnya keringat. Pada BT lesi biasanya lebih sedikit
dan lebih kering, kerontokan rambut, anhidrosis, dan jumlah bacil
yang ditemukan dalam smear dan biopsy lebih sedikit.
Dibandingkan dengan BL dimana tingkatannya mendekati LL
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 12
sehingga lesi kulitnya juga lebih mengarah pada tipe LL.
Borderline leprosy adalah tipe yang paling sering terjadi dan
karena tipe ini bersifat tidak stabil maka sewaktu-waktu dapat
mengalami down-grades menjadi LL (apalagi bila tidak diobati),
atau mengalami upgrades menjadi TT.4

Gambar 9.
Borderline
Tuberculoid (BT)
Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rook’s Textbook of
Dermatology

Gambar 10.
Borderline Leprosy
(BL)
Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rook’s Textbook of
Dermatology

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 13
Gambar 11. Borderline (BB)
Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rook’s Textbook of
Dermatology

Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai dengan


patofisiologinya ada dua yaitu primer dan sekunder. Deformitas primer
sebagai akibat langsung granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap
M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan sekitarnya, yaitu kulit,
mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas
sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas
diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.4,7,9
Gejala kerusakan saraf pada N.ulnaris adalah anestesia pada ujung
jari anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis,
dan atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.
Pada N. Medianus adalah anestesi pada ujung jari bagian anterior ibu jari,
telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari,
telunjuk dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan
kedua otot lumbrikalis lateral. Pada N. Radialis adalah anestesi dorsum
manus, serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop) dan
tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan. Pada N. Poplitea
lateralis adalah anestesi tungkai bawah, bagian lateral, dan dorsum pedis,

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 14
kaki gantung (foot drop) dan kelemahan otot peroneus. Pada N. Tibialis
posterior adalah anestesi telapak kaki, claw toes dan paralisis otot intrinsik
kaki dan kolaps arkus pedis. Pada N. Fasialis adalah cabang temporal dan
zigomatik menyebabkan lagoftallmus dan cabang bukal, mandibular serta
servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan
mengatupkan bibir. Pada N. Trigeminus adalah anestesi kulit wajah, kornea
dan konjungtiva mata. Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan
sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata
(madarosis), juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder
disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis yang menyebabkan paralisis
orbikularis okuli sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus
yang selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian-bagian mat alainnya.
Secara sendirian atau bersama-sama menyebabkan kebutaan. Infiltrasi
granuloma ke dalam adneksa kulit yang teriri atas jaringan keringat, kelenjar
palit, dan folikel rambut dapat menyebabkan kulit kering dan alopesia. Pada
tipe lepromatous dapat timbul ginekomastia akibat ganggguan
keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltasi granuloma pada tubulus
semineferus testis.2,9

Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi imun dapat
menguntungkan, tetapi dapat pula merugikan yang disebut reaksi imun
patologik, dan reaksi kusta ini tergolong di dalamnya.

Reaksi reversal atau reaksi upgrading / type 1


Reaksi ini dapat terjadi pada tipe borderline (LLs, BL, BB, BT) sehingga
disebut juga sebagai reaksi borderline. Yang memegang peran utama dalam
terjadi hal ini adalah SIS. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat
basil M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 15
pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan
saraf secara mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang
memadai. Tipe lepra yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas ke
arah TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap
perubahan tipe selalu disertai perubahan SIS pula. Begitu pula reaksi
reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai peningkatan
SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat. Gejala klinis reaksi
reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah
aktif atau timbul lesi baru dalam waktu relatif singkat. Artinya lesi
hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih eritematosa, lesi
makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat menjadi makin infiltratif dan lesi lama
menjadi bertambah luas. Adanya gejala neuritis akut penting diperhatikan,
karena sangat menentukan pemberian pengobatan kortikosteroid. 4,10,12

Gambar 12. Reaksi tipe 1


Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rook’s Textbook of
Dermatology

Eritema nodosum leprosum (E.N.L.) / type 2


ENL timbul terutama pada tipe LL dan BL. Secara imunopatologis,
ENL termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun
akibat reaksi antara antigen M. leprae + antibodi (IgM, IgG) + komplemen
 kompleks imun. Hal ini terjadi karena pada tipe lepromatosa jumlah basil
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 16
jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid. ENL lebih banyak terjadi pada
tahun kedua pengobatan karena banyak basil lepra yang mati dan hancur,
berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi,
mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar
dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ. 2,12
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema dan
nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ
lain dapat menyebabkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut,
limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis akut dengan adanya proteinuria.
ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat.2,4,10

Gambar 13.
ENL
Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rook’s Textbook of
Dermatology

Fenomena Lucio
Fenomena Lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang
terjadi pada kusta tipe lepromatosa non-nodular difus. Kusta tipe ini
terutama ditemukan di Meksiko dan Amerika Tengah, namun dapat juga
dijumpai di negeri lain dengan prevalensi rendah. Gambaran klinis dapat
berupa plak atau infiltrate difus, berwarna merah muda, bentuk tak teratur

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 17
dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh
tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematosa, disertai purpura, dan bula
kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi
lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.2
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik
dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi
endothelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M. leprae
di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrate PMN seperti pada
ENL, namun dengan imunofuorosensi tampak deposit immunoglobulin dan
komplemen di dalam dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang
beredar dan krioglobulin sangat tinggi pada semua penderita. 2

Gambar 14. Fenomena Lucio


Sumber : Lockwood DNJ. Leprosy. Rook’s Textbook of
Dermatology

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung
yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSEN.
Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan
paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah
tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 18
untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping
telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti
yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping
telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat
tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M.
leprae.2

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada


sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan
nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100
lapangan pandang (LP).2
1+ Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan
dengan jumlah solid dan non solid.
IM= Jumlah solid x 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi
100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan
100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan,
mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan. 2
2. Pemeriksaan Histopatologi
Gambaran histopatologi tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya
sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi
subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah
langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik.
Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe
borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut. Sel virchow
adalah histiosit yang dijadikan M. leprae sebagai tempat
berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. 2
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 19
3. Pemeriksaan Serologik
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan
ML dipstick, PCR. 2
4. Tes Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan
prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk
menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml
lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan
intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2 hari (reaksi
Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez
positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau
penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe
lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberculosis.2,15
Reaksi Mitsuda bernilai :
0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+ 1 Papul berdiameter 4 – 6 mm
+ 2 Papul berdiameter 7 – 10 mm
+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan
ulsera

VII. DIAGNOSIS
Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest imitator karena
memberikan gejala yang hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis
penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (cardinal sign),
yaitu :8

1. Bercak kulit yang mati rasa


Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan lesi di
bagian tubuh yang lain, biasanya lesi dengan bercak
hipopigmentasi atau eritematous, mendatar (makula) atau

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 20
meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau
sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu dan rasa nyeri. 8
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau
tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu : 8
 Gangguan fungsi sensoris : hipostesi atau anestesi
 Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis
 Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema,
pertumbuhan rambut yang terganggu.
3. Ditemukan kuman tahan asam
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus
ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat
ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta
dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3 – 6 bulan
sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan. 8

VIII. DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding pada kusta tergantung dari bentuk efloresensinya.
Pada lesi berbentuk makula maka diagnosis bandingnya adalah : 8
 Vitiligo
Lesi pada vitiligo mengalami depigmentasi, pada lepra
depigmentasi yang terjadi tidak pernah total atau komplit seperti
pada vitiligo.

 Pityriasis alba
Pada pityriasis alba terdapat hipopigmentasi yang seringkali sulit
dibedakan dengan lepra, namun pada pityriasis alba
permukaannya biasanya bersisik dan tidak ada AFB (Acid Fast
Bacillus).
 Pityriasis versikolor
Pada pityriasis versikolor tidak selalu bersisik, dan daerah
distribusinya pada punggung dan dada serta gambaran makulanya
berbeda dengan pada lepra.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 21
 Tinea Korporis
Pada tinea korporis lesi dirasakan sangan gatal dan bisa terdapat
vesikel pada pinggirannya dan pada kerok kulit didapatkan jamur.

Pada lesi berbentuk plak dan annular, diagnosis bandingnya adalah


granuloma multiform, sarkoidosis, dan kutaneus tuberkulosis yang mungkin
mirip dengan lepra tipe TT. Namun, pada penyakit-penyakit diatas tidak
ditemukan adanya kelaianan saraf perifer seperti anestesi pada lesi.
Pada lesi berbentuk nodul, diagnosis bandingnya adalah kutaneus
leishmaniasis dimana pada penyakit tersebut teradapat nodul juga, disertai
krusta dan ulserasi setelah beberapa minggu atau bulan. Di daerah Afrika
Timur penyakit ini sulit dibedakan dengan lepra tipe LL karena lesinya yang
mirip. Dibedakan dari dilakukannya slit-skin smears dan leishmanin test
yang positive pada kutaneus leishmaniasis. 4
Untuk lesi pada Nerves nya perlu dipikirkan pula beberapa diagnosis
banding seperti diabetes melitus, amyloidosis, infeksi HIV dan keracunan
logam berat.4

IX. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk
menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita,
mencegah timbulnya penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, strategi
pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.3
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu
mengahalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan
antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah
penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 22
dapson adlah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit
kepala, dan vertigo.3
Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat
menekan reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel
dan transpor dari NA/K ATPase. Efek sampingnya adalah warna kulit bisa
menjadi berwarna ungu kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila
obat tersebut dihentikan, diare, nyeri lambung.3
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja
dengan cara menghambat DNA-dependent RNA polymerase pada sel bakteri
dengan berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik,
dan nefrotoksik.3
Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas
Ferrosus untuk penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita
kusta dgn kekeringan kulit dan bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan
Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I.3
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang
direkomendasikan oleh WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi
kusta disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT (Multi Drug Treatment).
Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin
meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat,
menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan
dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI), PB dengan lesi
tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian
obat sekali saja langsung RFT (Release From Treatment). Obat diminum di
depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di berikan ROM.3

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 23
Tabel 2. Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM)
menurut WHO/DEPKES RI

Rifampicin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa 600 mg 400 mg 100 mg

(50-70 kg)
Anak 300 mg 200 mg 50 mg

(5-14 th)
P

B dengan lesi 2 – 5. Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan


selama (6-9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release
From Treatment) yaitu berhenti minum obat. 3

Rifampicin Dapson

Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hr diminum di


rumah
Diminum di depan petugas
kesehatan
Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari diminum di
rumah
(10-14 th) Diminum di depan petugas
kesehatan
Tabel 3. Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 24
MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5. Lama pengobatan 12 dosis ini bisa
diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini,
dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum obat. Masa
pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuk tipe PB selama 2
tahun dan tipe MB selama 5 tahun. 3

Tabel 4. Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)


Rifampicin Dapson Lamprene

Dewasa 600 mg/bulan100 mg/hari300 mg/bulan diminum


diminum di depandiminum di rumah di depan petugas
petugas kesehatan kesehatan dilanjutkan
dgn 50 mg/hari
diminum di rumah

Anak-anak 450 mg/bulan50 mg/hari150 mg/bulan diminum


diminum di depandiminum di rumah di depan petugas
(10-14 th)
petugas kesehatan dilanjutkan
dg 50 mg selang sehari
diminum di rumah

Obat Kusta Baru


Pada penatalaksanaan program MDT-WHO masalah-masalah yang
timbul yaitu adanya resistensi kuman terhadap rifampisin dan lamanya
pengobatan terutama pada kusta MB.11 Pada penderita kusta PB timbul
masalah yaitu masih menetapnya lesi kulit setelah 6 bulan pengobatan dan
Late Reversal Reaction (LVR) yang timbul justru setelah selesai MDT. 3,11
Maka diperlukan obat-obat baru yang memenuhi syarat antara lain : bersifat
bakterisidal kuat terhadap M. leprae, tidak antagonis terhadap obat yang
sudah ada, aman, dan akseptabilitas penderita baik, dapat diberikan per oral,

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 25
dan sebaiknya diberikan tidak lebih dari sehari sekali. Obat-obat yang sudah
terbukti efektif tersebut adalah : ofloksasin, minosiklin, dan klaritromisin. 3
a. Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif
terhadap M. leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg.
Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna
lainnya, berbagai gangguan SSP termasuk insomnia, nyeri kepala,
dizziness. Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan
menyusui harus hati-hati. Selain ofloksasin dapat pula digunakan
levofloksasin dengan dosis 500 mg sehari. Obat tersebut lebih
baru, jadi lebih efektif.
b. Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih
tinggi daripada klarirotmisin, tetapi lebih rendah daripada
rifampisin. Dosis standar harian 100 mg. Efek sampingnya adalah
pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang dapat menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai simtom
saluran cerna dan SSP termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh
sebab itu tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan.
c. Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotic makrolid dan mempunyai aktivitas
bakterisidal terhadap M. leprae. Pada penderita kusta lepromatosa,
dosis harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28
hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah
nausea, vomitus, dan diare yang terbukti sering ditemukan bila
obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.

Pengobatan Pada Situasi Khusus


a. Penderita yang tidak dapat makan rifampisin
Situasi ini mungkin disebabkan karena alergi, hepatitis kronis atau
resisten terhadap obat ini.

Tabel 5. Regimen untuk penderita yang tidak dapat makan rifampisin


Lama pengobatan Jenis obat Dosis

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 26
6 bulan Klofazimin 50 mg/hari
Ofloksasin 400 mg/hari
Minosiklin 100 mg/hari
Diikuti dengan 18 Klofazimin dengan 50 mg/hari
bulan ofloksasin atau 400 mg/hari
minosiklin 100 mg/hari

b. Penderita yang menolak klofazimin


Situasi ini disebabkan pasien yang khawatir akan pewarnaan kulit.
Pengibatan diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan
atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan.

Pengobatan Kusta selama Kehamilan dan Menyusui


Kusta sering eksaserbasi pada saat hamil oleh sebab itu obat MDT
harus tetap diberikan. WHO menyatakan obat MDT standar aman dipakai
selama kehamilan dan menyusui, bagi ibu dan bayinya, sehingga tidak
perlu mengubah dosis. Obat dapat keluar melalui ASI dalam jumlah kecil
tetapi tidak ada laporan efek samping obat pada bayi kecuali pewarnaan
kulit akibat klofazimin. Obat dosis tunggal bagi bercak tunggal ditunggu
pemakaiannya sampai bayinya lahir. 3
Pengobatan Reaksi Kusta
Prinsip penanganan reaksi kusta: 3
1. Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan
menjadi paralisis atau kontraktur.
2. Secepatnya dilakukan tindakan agar tidak terjadi kebutaan.
3. Membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas.
4. Mengatasi rasa nyeri.

Pengobatan ENL:

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 27
Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain
prednisone, Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya
prednisone 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih, sesuai dengan
perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti
sama sekali. Obat lain dianggap sebagai pilihan utama adalah thalidomide,
tetapi harus berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik jadi tidak
boleh diberikan kepada ibu hamil atau masa subur. Di Indonesia sudah
tidak diproduksi lagi. 3
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai
anti-reaksi ENL tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung
pada berat ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya
antara 200-300 mg sehari. Keuntungan klofazimin dapat dipakai sebagai
usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek
samping yang tidak diinginkan adalah kulit menjadi berwarna merah
kecoklatan terutama pada pemberian dosis tinggi. 3

Pengobatan reaksi reversal:


Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab
kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau
ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya
disesuaikan dengab berat ringannya neuritis. Biasanya diberikan
prednisone 40-60 mg sehari lalu diturunkan secara perlahan. Anggota
gerak yang terkena neuritis harus diistirahatkan. Analgetik dan sedative
kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang
efektif, oleh karena itu jarang dipakai, atau tidak pernah dipakai. 3

Rehabilitasi Medik
Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai pengelolaan
yang baik dan benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan rehabilitasi
medik secara terpadu, mulai dari pengobatan, psikoterapi, fisioterapi,

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 28
perawatan luka, bedah rekonstruksi, pemberian alas kaki, protese atau alat
bantu lainnya, serta terapi okupasi. Penting pula diperhatikan rehabilitasi
selanjutnya, yaitu rehabilitasi sosial agar mantan pasien kusta dapat siap
kembali ke masyarakat, kembali berkarya membangun negara, dan tidak
menjadi beban pemerintah. Kegiatan terpadu pengelolaan pasien kusta
dilakukan sejak diagnosis ditegakkan. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial merupakan kesatuan kegiatan yang dikenal sebagai rehabilitasi
paripurna.
Bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat pencegahan
kecacatan. Bila kasus lanjut, upaya rehabilitasi difokuskan pada
pencegahan handicap dan mempertahankan kemampuan fungsi yang
tersisa. 3
Beberapa hal yang harus dilakukan oleh pasien adalah:
a. Pemeliharaan kulit harian
 Cuci tangan dan kaki setiap malam sesudah bekerja dengan
sedikit sabun (jangan detergen).
 Rendam kaki sekitar 20 menit dengan air dingin.
 Kalau kulit sudah lembut, gosok kaki dengan karet busa
agar kulit kering terlepas.
 Kulit digosok dengan minyak.
 Secara teratur kulit diperiksa (adakah kemerahan, hot spot,
nyeri, luka, dan lain-lain).
b. Proteksi tangan dan kaki
1. Tangan:
 Pakai sarung tangan waktu bekerja.
 Stop merokok.
 Jangan sentuh gelas/barang panas secara langsung.
 Lapisi gagang alat-alat rumah tangga dengan bahan lembut.
2. Kaki
 Selalu pakai alas kaki.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 29
 Batasi jalan kaki, sedapatnya jarak dekat dan perlahan.
 Meninggikan kaki bila berbaring.
c. Latihan fisioterapi
Tujuannya adalah : cegah kontraktur, peningkatan fungsi gerak,
peningkatan kekuatan otot, peningkatan daya tahan (endurance). 3

1. Latihan lingkup gerak sendi : secara pasif meluruskan jari-jari


menggunakan tangan yang sehat atau dengan bantuan orang
lain. Pertahankan 10 detik, lakukan 5-10 kali per hari untuk
mencegah kekakuan. Frekuensi dapat ditingkatkan untuk
mencegah kontraktur. Latihan lingkup gerak sendi juga
dikerjakan pada jari-jari ke seluruh arah gerak.
2. Latihan aktif meluruskan jari-jari tangan dengan tenaga otot
sendiri.
3. Untuk tungkai lakukan peregangan otot-otot tungkai bagian
belakang dengan cara berdiri menghadap tembok, ayunkan
tubuh mendekati tembok, sementara kaki tetap berpijak.
4. Program latihan dapat ditingkatkan secara umum untuk
mempertahankan elastisitas otot, mobilitas, kekuatan otot, dan
daya tahan.

X. KOMPLIKASI
Lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan
infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun
ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. fenomena lucio
yang ditandai dengan artritis, terbatas pada pasien lepromatosus difus,
infiltrative dan non noduler. kasus klinik yang berat lainnya adalah
vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya mortalitas.
amyloidosis sekunder merupakan penyulit pada penyakit leprosa berat
terutama pada ENL kronik.4,15

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 30
XI. PROGNOSIS
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit.
Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan.
Terkadang pasien dapat mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta
kualitas hidup pasien menurun.2,4,7
XII. KESIMPULAN
Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya
Mycobacterium leprae, yang bersifat intraselular obligats. Insidensi
puncak pada usia 10-20 tahun dan 30-50 tahun. Kusta terdapat dimana-
mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah tropis dan subtropis,
serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Berdasarkan Ridley
aand Jopling kusta dibagai menjadi TT, BT, BB, BL ,LL, dan menurut
WHO dibagi menjadi Multibasiler dan Pausibasiler. Diagnosis Kusta
dilakukan berdasarkan pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan
histopatologis. Penatalaksanaan kusta dengan terapi regimen Multi Drug
Treatment mulai diterapkan untuk mencegah kemungkinan timbul
resistensi. Dengan pelaksanaan MDT, kusta sekarang jauh lebih mudah
untuk dikontrol. Deteksi dini dan pengobatan penyakit, reaksi, dan
kekambuhan merupakan kunci untuk mencegah kecacatan dan
memungkinkan pasien untuk menjalani kehidupan yang relatif normal.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 31
DAFTAR PUSTAKA

1. Bhat RM, Prakash C. Leprosy : An Overview of Pathophysiology. India :


Hindawi Publishing Corporation. Published July 25th , 2012.
2. Kosasih A, Wisnu IM, Daili ES, Menaldi SL. Kusta. In : Djuanda A,
Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p.73-88.
3. Al-Qubati YA, de Oliveira MLW, Caldas MDP, et al. WHO Expert
Committee on Leprosy. Geneva : World Health Organization; 2012.p. 1-3,
17-28.
4. Lockwood DNJ. Leprosy. In : Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,
editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. UK : Wiley-Blackwell;
2010. p. 32.1 – 32. 20.
5. Abbas AK, Lichtman AH. Basic Immunology. 2nd ed. Philadelphia :
Elsevier ; 2004.p.21-33.
6. Playfair JHL, Chain BM. Immunology at a Glance. 10 th ed. UK : Wiley-
Blackwell; 2013.p.10-1, 66-7.
7. Lee DJ, Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology
In General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2012. p.
2253-62.
8. WHO, editor. Diagnosis of Leprosy. Available at :
http://www.who.int/lep/diagnosis/en/. Accessed on January 11th, 2018.
9. Vital RT, Illaramendi X, Nascimento O, et al. Progression of Leprosy
Neuropathy. Brazil : Departement of Neurology. Published January 6 th ,
2012.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 32
10. Nascimento O, de Freitas MRG, Escada T. Leprosy Late-onset Neuropathy
: an Uncommon Presentation of leprosy. Brazil : Department on
Neurology. Published January 1st, 2012.
11. Girao RJS, Soares NLR, Pinheiro JV, et al. Leprosy Treatment Dropout : a
Systematic Review. Brazil : International Archives of Medicine. Published
August 30th, 2013.
12. Cardoso FDM, De Freitas MRG, Escada TM, et al. Late Onset Neuropathy
in Leprosy Patients Released from Treatment : not all due to reactions ?
Brazil : Neuromuscular Disease Service. Published May 31st , 2013.
13. CDC, editor. Hansen’s Disease : Risk of Exsposure. Available at :
http://www.cdc.gov/leprosy/exposure/index.html. Accessed on June 11th,
2014.
14. Doerr S, Davis CP, editor. Leprosy Symptoms and Signs. Available at :
http://www.emedicinehealth.com/leprosy/page3_em.htm. Accessed on
January 14th, 2018.
15. Donohue M, Krucik G, editor. Leprosy. Available at :
http://www.healthline.com/health/leprosy#Overview1. Accessed on
January 15th, 2018.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA. Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 8 Januari – 10 Februari 2018 33

You might also like