You are on page 1of 30

TEXT BOOK READING

VERTIGO

Pembimbing :
dr. Yuanita Mardastuti, Sp.S

Disusun Oleh :
Indra Jati Laksana
G4A015053

SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN

TEXT BOOK READING


VERTIGO

Disusun oleh:

Indra Jati Laksana


G4A015053

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik SMF Bedah


RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto,

Telah disetujui
Pada tanggal Januari 2017

Pembimbing:

dr. Yuanita Mardastuti, Sp.S


A. DEFINISI

Vertigo berasal dari bahasa latin “vertere” yaitu memutar. Vertigo ialah adanya

sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti rotasi (memutar) tanpa sensasi peputaran

yang sebenarnya, dapat sekelilingnya terasa berputar atau badan yang berputar. Vertigo

adalah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan sekitarnya dengan

gejala lain yang timbul, terutama dari jaringan otonomik yang disebabkan oteh gangguan

alat keseimbangan tubuh oleh berbagai keadaan atau penyakit (Dewanto et al, 2007).

Diagnosis banding vertigo meliputi penyebab perifer vestibular (berasal dari sistem

saraf perifer) dan sentral vestibular (berasal dari sistem saraf pusat) dan kondisi lain. 93%

pada primary care mengalami BPPV (Benign Paroksismal Position Vertigo), acute

vestibular neuritis atau meniere diseases (Dewanto et al, 2007).

B. EPIDEMIOLOGI

Terdapat empat tipe dizziness yaitu vertigo, lightheadness, presyncope, dan

disequiliberium. Yang paling sering adalah vertigo yaitu sekitar 54% dari keluhan dizziness

yang dilaporkan pada layanan primary care. Jenis Vertigo yang paling sering adalah Benign

Positional Paroxysmal Vertigo (BPPV). Di Amerika angka kejadian BPPV adalah 64 dari

100.000 orang dengan kecenderungan terjadi pada wanita (64%) (Dewanto et al, 2007).
C. KESEIMBANGAN TUBUH

Terdapat tiga sistem yang mengelola keseimbangan tubuh yaitu : sistem vestibular,

sistem propioseptik dan sistem optik. Sistem Vestibular meliputi labirin ( aparatus

vestibularis), nervus vestibularis dan vestibular sentral. Aparatus vestibularis merupakan

organ sensori untuk mendeteksi keseimbangan Alat ini terbungkus dalam suatu sistem

tabung tulang dan ruangan-ruangan yang terletak dalam bagian petrosus dari tulang temporal

yang disebut labirin tulang. Didalam sistem ini terdapat tabung membran dan ruangan yang

disebut labirin membranosa, yang merupakan bagian fungsional dari aparatus vestibular

(Biller, 2012).

Gambar 1. Anatomi Sistem Keseimbangan Tubuh (Hawkins, 2015)


Labirin membranosa terutama terdiri atas koklea (duktus koklearis), kanalis

semisirkularis dan dua rungan besar yag disebut dengan utrikulus dan sakulus. Koklea

merupakan organ sensorik dari organ pendengaran dan hampir tidak berhubungan dengan

sistem keseimbangan, sedangka kanalis semisirkularis, sakulus, dan utrikulus semuanya

merupakan bagian intergral dari mekanisme keseimbangan (Martini, 2007; Hawkins, 2015).

Di bagian dalam setiap utrikulus dan sakulus terdapat daerah sensorik kecil yang

disebut sebagai makula. Makula pada utrikulus terutama terletak pada bidang horizontal

permukaan inferior utrikulus dan berperan penting dalam menentukan orientasi kepala

ketika dalam posisi tegak. Sebaliknya makula pada sakulus terutama terletak dalam bidang

vertikal dan memberikan sinyal orientasi kepala saat seseorang berbaring (Martini, 2007;

Hawkins, 2015).

Setiap makula ditutupi oleh lapisan gelatinosa yang dilekati oleh banyak kristal

kalsium karbonat kecil-kecil yang disebut statokonia. Dalam makula juga didapati beribu-

ribu sel rambut. Pangkal dan sisi sel-sel rambut bersinap dengan ujung-ujung sensorik saraf

vestibular (Hawkins, 2015).

Statokonia yang mengandung kalsium memiliki gravitasi spesifik dua sampai tiga kali

lebih besar gravitasi spesifik cairan dan jaringan sekitarnya. Berat statokonia dalam

membengkokan silia dalam arah dorongan gravitasi (Martini, 2007; Hawkins, 2015).

Sel rambut memiliki 50-70 silia kecil yang disebut streosilia ditambah satu silium

besar yaitu kinosilium. Perlekatan filamentosa yang menghubungkan ujung setiap

streosilium dengan streosilium lanjutnya yang lebih panjang dan akhirnya ke kinosilium.

Apabila streosilia dan kinosilium melekuk ke arah kinosilium , perlekatan filamentosa akan

menrik streosilia berikutnya mendorong ke arah luar badan sel , keadaan ini akan membuka
ratusan saluran cairan dalam membran neuron disekeliling streosilia, dan saluran tersebut

mampu menghantarkan ion positif dalam jumlah besar. Oleh karena itu menimbulkan

depolarisasi mebran reseptor. Sebaliknya penekukan stereosilia ke arah yang berlawanan

menurunkan tegangan pada pelekatan dan keadaan ini akan menutup saluran ion sehingga

terjadi hiperpolarisasi reseptor (Martini, 2007; Hawkins, 2015).

Ketika orientasi kepala dalam hal ini berubah dan berat statokonia menyebabkan silia

melekuk, sinyal yang sesuai akan dijalarkan ke otak untuk mengatur keseimbangan. Pada

setiap makula sel rambut diarahkan ke berbagai jurusan, sehingga beberapa dari sel rambut

terangsang ketika kepala menengadah kebelakang dan yang lain lagi akan terangsang ketika

kepala membelok ke satu sisi dan seterusnya (Martini, 2007; Hawkins, 2015).

Gambar 2. Fisiologi Keseimbangan Tubuh (Hawkins, 2015)


Dalam setiap aparatus vestibularis terdapat tiga buah kanalis semisirkularis

dikenal sebagai kanalis semisirkularis anterior, posterior dan horizontal atau lateral. Yang

tersusun tegak lurus satu sama lain. Sehingga ketiga kanalis terebut terletak dalam 3

bidang (Martini, 2007).

Gambar 3. Sistem Keseimbangan Tubuh saat Berubah Posisi

Pada ujung setiap kanalis semisirkularis terdapat pembesaran yang disebut sebagai

ampula kanalis serta ampula ini terisi oleh cairan endolimfe. Aliran cairan melalui suatu

kanalis dan ampulanya mampu merangsang organ sensorik melalui cara berikut ini : Ampula

memiliki tonjolan kecil disebut krista ampularis. Pada puncak krista ini terdapat jaringan

longgar masagelatinosa yang disebut kupula. Bila kepala seseorang sudah mulai berputar ke

satu arah, hal menyebabkan cairan mengalir melalui kanali menuju ke ampula , membelokan

kupula ke satu sisi (Martini, 2007; Hawkins, 2015).


Ke dalam kupula terdapat penjuluran silia dari sel-sel rambut yang terletak pada

sepanjang krista ampularis. Kinosilia berorietasi pada arah sisi yang sama dala kupula dan

pembelokan kupula dalam arah tersebut menyebabkan depolarisasi sel-sel rambut.

Sedangkan pembelokan ke arah berlawanan menyebabkan hiperpolrisasi. Kemudian sinyal

dri sel rambut dikirim melalui nervus vestibularisuntuk memberitahu sistem saraf pusat

mengenai perubahan perputaran kepala dan kecepatan perubahan pada setiap tiga bidang

ruangan (Martini, 2007; Hawkins, 2015).

Sistem utrikulus dan sakulus tersebut berfungsi sangat efektif dalam menjaga

keseimbangan sewaktu kepala pada posisi hampir vertikal. Memang seseorang dpat

menentukan ketidk seimbangan sebesar setengah derajat bila kepala dimiringkan dari posisi

tegak (Martini, 2007; Hawkins, 2015).

Kanalis semisirkularis dapat meramalkan bahwa akan terjadi ketidakseimbangan

sehingga menyebabkan pusat keseimbangan mengadakan tindakan pencegahan yang sesuai.

Dengan cara ini orang tak perlu jatuh secara tak terduga sama sekali karena sebelum terjadi

keseimbangan, orang itu mulai mangadakan koreksi keadaan tubuhnya (Martini, 2007;

Hawkins, 2015).
Gambar 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan tubuh

Propioseptor leher. Aparatus vestibular hanya mendeteksi orientasi dan gerakan

kepala. Oleh karena itu sistem saraf menerima informasi mengenai orientasi kepala sesuai

dengan keadaan tubuh. Informasi yang dijalarkan dari propioseptor langsung berjalan ke

nuklei vestibular dan nuklei retikular dan secara tak langsung ke serebelum (Martini, 2007;

Hawkins, 2015).

Bila kepala condong ke salah satu sisi akibat menekukya leher maka impuls yang

berasal dari propioseptor dapat mencegah terbentuknya sinyal dari aparatus vestibularis yang

mencetuskan rasa ketidakseimbangan pada seseorang. Namun bila seluruh tubuh condong ke

depan atau ke salah satu sisi impuls yang berasal dari aparatus vestibular sinyal tak ditentang

oleh propioseptor leher, sehingga pada keadaan ini orang tersebut akan merasakan adanya

ketidakseimbangan pada tubuhnya (Martini, 2007; Hawkins, 2015).


D. ETIOLOGI

Sebagian kasus vertigo dianggap adalah ketidakseimbangan impuls sensorik yang

berhubungan dengan pergerakan yang mencapai otak melalui tiga sistem persepsi visual,

vestibuler dan somatosensorik (propioseptif) (Dewanto et al, 2007).

Vertigo merupakan suatu gejala, sederet penyebabnya antara lain akibat kecelakaan,

stress, gangguan pada telinga bagian dalam, obat-obatan, terlalu sedikit atau terlalu banyak

aliran darah pada telinga bagian dalam, obat-obatan, gangguan pada telinga dan lainnya.

Penyebab umum vertigo antara lain :

1. Keadaan lingkungan : mabuk darat, mabuk laut.

2. Obat-obatan : alkohol

3. Kelainan telinga endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis didalam telinga

bagian dalam yang menyebabkan benign paroxysmal positional vertigo

4. Vertigo karena infeksi telinga bagian dalam, labirintis

5. Penyakit meniere

(Dewanto et al, 2007)


Berikut adalah beberapa penyakit yang paling banyak terjadi dengan keluhan vertigo:

1). Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)

BPPV merupakan penyakit dengan timbulnya gejala vertigo perifer karena

kelainannya terletak pada telinga dalam. Penyebab BPPV pada usia dibawah 50 tahun

adalah cedera kepala. Pada usia lanjut penyebab paling umum adalah degenerasi

sistem vestibular dalam telinga. Banyak BPPV yang timbul secara spontan, yang

disebabkan oleh kelainan di otokonial berupa deposit yang berada di kupula bejana

semisrkular posterior. Deposit ini menyebabkan bejana semisirkular jadi sensitif

terhadap perubahan gravitasi yang menyertai keadaan posisi kepala yang berubah.

Penyebab lainnya dapat berupa infeks, obat ototoxic seperti Gentamisin (Timothy,

2009).

Manifestasi klinis yang biasa terjadi pada pasien BPPV biasanya berupa perasaan

berputar atau merasa sekelilingnya berputar pada saat berguling dari satu sisi ke sisi

lainnya, bangkit dari tempat tidurnya, menggerakan kepala ke belakag atau

membungkung. Biasanya vertigo berlangsung dalam hitungan detik (10-20 detik).

Kadang disertai rasa mual. Penderita biasanya mengenal keadaan ini dan berusaha

menghindari dengan tidak melakukan gerakan yang dapat menimbulkan vertigo.

Pasien BPPV bisanya memiliki pendengaran yang normal, tidak ada nistagmus

spontan dan pada evaluasi neurologis dalam batas normal. Pemeriksaan fisik standar

untuk BPPV adalah Dix-Hallpike dan Maneuver side lying (Timothy, 2009).
2). Meniere Diseases

Penyakit Meniere adalah suatu sindrom yang terdiri dari serangan vertigo, tinitus,

berkurangnya pendengaran yang bersifat fluktuatif dan perasaan penuh di telinga.

Penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan manusia tidak mempu

mempertahankan posisi dalam berdiri tegak. Penyebab pasti meniere belum diketahui,

namun terdapat beberapa teori termasuk pengaruh neurokimia dan hormonal abnormal

pada aliran darah menuju labirin dan terjadi gangguan elektrolit dalam cairan labirin,

reaksi alergi dan autoimun (Haybach, 2012).

Penyakit Meniere dimulai dengan satu gejala lalu secara progresif gejala lain

bertambah. Gejala klinis dari penyakit meniere yang khas sering disebut trias meniere

yaitu vertigo, tinitus dan tuli saraf sensorineural fluktuatif. Serangan pertama

dirasakan sangat berat, yaitu vertigo disertai rasa mual dan muntah, keadaan ini akan

berlangsung selama beberapa hari samapai beberapa minggu, kemudian keadaan akan

berlangsung membaik.. Penyakit ini bisa sembuh tanpa obat dan gejala penyakit ini

dapat hilang sama sekali. Pada serangan kedua dirasakan lebih ringan tidak seperti

serangan pertama. Meniere merupakan vertigo yang periodik dan makin mereda pada

seranan-serangan selanjutnya. Dari keluhan vertigonya dapat dibedakan dengan

penyakit lannya seperti tumor N.VIII. sklerosis multiple, neuritis vestibular, atau

BPPV/ Pada tumor N. VIII serangan vertigo periodik, mula – mula lemah dan semakin

lama semakin kuat. Pada sklerosis multiple vertigo periodik dengan intensitas sama

pada setiap serangan. Pada neuritis vestibular serangan vertigo tidak periodik dan

makin lama makin menghilang (Haybach, 2012).


3). Neuritis Vestibularis

Neuritis Vestibularis adalah suatu bentuk penyakit organik yang terbatas pada

aparatus vestibular dan terlokalisir pada perjalanan saraf ke atas mencakup nuklei

vestibular pada batang otak. Pada pasien ini muncul Vertigo dengan spectrum luas

disertai sakit kepala yang bermula dari pandangan gelap sasaat sampi

ketidakseimbangan yang kronis, disertai dengan kelainan tes kalori unilateral maupun

bilateral (Shupert, 2012).

Tabel 1. Diagnosis Banding Vertigo


E. PATOFISIOLOGI

Vertigo timbul jika terdapat gangguan alat keseimbangan tubuh yang mengakibatkan

ketidakcocokan antara posisi tubuh (informasi aferen) yang sebenarnya dengan apa yang

dipersepsi oleh susunan saraf pusat (pusat kesadaran). Sistem ini adalah susunan vetibuler

atau keseimbangan yang secara terus menerus menyampaikan impulsnya ke pusat

keseimbangan. Informasi aferen yang diperlukan yang lain adalah sistem optik dan

propioseptik. Informasi yang berguna untuk sistem keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh

reseptor vestibuler, visual, dan propioseptik. Reseptor vestibuler memberikan kontribusi

paling besar yaitu 50% disusul kemudian reseptor visual dan propioseptif (Brandt et al,

2013).

Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di sentral dan di perifer dalam kondisi tidak

nomal atau ada gerakan rangsang aneh atau berlebihan, maka proses pengolahan informasi

akan terganggu, akibatnya akan muncul gejala vertigo dan gejala otonom. Disamping itu,

respon penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga muncul gerakan abnormal yang

dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia saat berdiri/ berjalan dan gerakan

lainnya.Berikut ada beberapa teori yang menjelaskan tentang terjadinya vertigo :

1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation).

Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan

hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya terganggu, akibatnya akan

timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.


2. Teori konflik sensorik.

Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari

berbagai reseptor sensorik perifer yaitu mata/visus, vestibulum dan proprioceptif,

atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik yang berasal dari sisi kiri dan

kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan sensorik di sentral

sehingga timbul respons yang dapat berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata),

ataksia atau sulit berjalan (gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang,

berputar (berasal dari sensasi kortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan,

teori ini lebih menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab.

3. Teori neural mismatch

Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik, menurut teori ini otak

mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu, sehingga jika pada suatu

saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola 3 gerakan yang telah

tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru

tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga

berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.

4. Teori otonomik Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom

sebagai usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim

simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan.

5. Teori neurohumoral Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl)

dan teori serotonin (Lucat) yang masing-masing menekankan peranan

neurotransmiter tertentu dalam pengaruhi sistim saraf otonom yang menyebabkan

timbulnya gejala vertigo. Keseimbangan Sistim Simpatis dan Parasimpatis


Keterangan : STM (Sympathic Nervous System), PAR (Parasympathic Nervous

System)

6. Teori Sinap

Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjai peranan neurotransmisi

dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses adaptasi, belajar

dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan stres yang akan memicu sekresi

CRF (corticotropin releasing factor), peningkatan kadar CRF selanjutnya akan

mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme

adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat

menerangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal

serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual,

muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan

saraf parasimpatis.
F. KLASIFIKASI VERTIGO

Vertigo dapat berasal dari kelainan di sentral ( batang otak dan serebelum) atau

dibagian perifer (labirin dan nervus vestibularis). Vertigo Perifer adalah nyeri hebat,

episodik, memberat oleh gerakan kepala dan sering disertai nausea, vomitus, diaforesis dan

nistagmus (Dewanto et al, 2007).

Tabel 2. PerbedaanVertigo Perifer dan Vertigo Sentral

Ciri-ciri Vertigo perifer Vertigo sentral


Lesi Sistem vestibuler (telinga dalam, saraf Sistem vertebrobasiler dan
perifer) gangguan vaskular (otak, batang
otak, serebelum)
Penyebab Vertigo posisional paroksismal jinak iskemik batang otak, vertebrobasiler
(BPPV), penyakit maniere, neuronitis insufisiensi, neoplasma, migren
vestibuler, labirintis, neuroma basiler
akustik, trauma

Gejala gangguan Tidak ada Diantaranya :diplopia, parestesi,


SSP gangguan sensibilitas dan fungsi
motorik, disartria, gangguan
serebelar
Masa laten 3-40 detik Tidak ada
Habituasi Ya Tidak

Jadi cape Ya Tidak

Intensitas vertigo Berat Ringan

Telinga berdenging Kadang-kadang Tidak ada


dan atau tuli

Nistagmus spontan + -
G. MANIFESTASI KLINIS

Vertigo merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala subjektif (symptoms) dan

objektif (signs) dari gangguan alat keseimbangan tubuh (Dewanto et al, 2007).

1. Gejala subjektif

• Pusing, rasa kepala ringan

• Rasa terapung, terayun

• Mual

 Tinitus/penurunan pendengaran/ telinga seperti tersumbat.

2. Gejala objektif

• Keringat dingin

• Pucat

• Muntah

• Sempoyongan waktu berdiri atau berjalan

• Nistagmus

Gejala tersebut di atas dapat diperhebat / diprovokasi perubahan posisi kepala.


H. DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Langkah anamnesis yang dilakukan adalah menanyakan keluhan vertigo pasien,

berupa persaan seperti melayang, berputar dimana pasien merasa benda disekitarnya

berputar atau merasa dirinya berputar terhadap lingkungan (Dewanto et al, 2007).

b. Jika pasien mengeluh adanya gejala vertigo, kita harus bisa membedakan vertigo

berasal dari sentral atau dari perifer (Dewanto et al, 2007).

c. Onset dan Durasi (profil waktu) serangan vertigo perlu ditanyakan untuk keperluan

penegakan diagnosis. Apabila onset serangan vertigo terjadi secara tiba-tiba saat

terjadinya perubahan posisi kepala dan durasi serangan hanya selama beberapa detik

maka dapat merujuk kepada diagnosis BPPV. Apabila onset serangan episodik dan

berlangsung selama beberapa menit diagnosis yang mendekati yaitu migraine atau

iskemia vertebro basilar (Dewanto et al, 2007).

d. Perlu ditanyakan adanya keluhan lain yang menyertai vertigo seperti, mual, muntah,

nyeri kepala, tinitus, penurunan pendengaran dan lainnya (Dewanto et al, 2007).

e. Perlu juga ditanyakan mengenai obat-obatan yang sedang dikonsumsi. Antibiotik

golongan aminoglikosida bersifat ototoksik sehingga dapat memicu serangan vertigo

perifer (Dewanto et al, 2007).

f. Tanyakan adanya penyakit sistemik seperti anemia, penyakit jantung, hipertensi,

hipotensi, penyakit paru (Dewanto et al, 2007).

g. Tanyakan mengenai adanya kelemahan anggota gerak yang menyertai (Dewanto et

al, 2007).
2. Pemeriksaan Fisik
a. Uji Romberg. Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan

kedua mata terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30

detik. Harus dipastikan bahwa penderita tidak dapat menentukan posisinya (misalnya

dengan bantuan titik cahaya atau suara tertentu). Pada kelainan vestibuler hanya pada

mata tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah kemudian

kembali lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap tegak. Sedangkan pada

kelainan serebeler badan penderita akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun

pada mata tertutup (Weber, 2008; Dewanto et al, 2007).

Gambar 5. Romberg Test

b. Tandem walking test. Penderita berjalan dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan

pada ujung jari kaki kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan vestibuler,

perjalanannya akan menyimpang dan pada kelainan serebeler penderita akan

cenderung jatuh (Weber, 2008; Dewanto et al, 2007).


Gambar 6. Tandem Walking Test

c. Uji Unterberger . Berdiri dengan kedua lengan lurus horizontal ke depan dan jalan di

tempat dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada kelainan

vestibuler posisi penderita akan menyimpang/berputar ke arah lesi dengan gerakan

seperti orang melempar cakram; kepala dan badan berputar ke arah lesi, kedua

lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya

naik. Keadaan ini disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi (Weber, 2008).
Gambar 7. Unterberger Test

d. Past-ponting test (Uji Tunjuk Barany). Dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus

ke depan penderita disuruh mengangkat lengannya ke atas, kemudian diturunkan

sampai menyentuh telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang- ulang

dengan mata terbuka dan tertutup. Pada kelainan vestibuler akan terlihat

penyimpangan lengan penderita ke arah lesi (Weber, 2008).


e. Uji Babinsky-Weil . Pasien dengan mata tertutup berulang kali berjalan lima langkah

ke depan dan lima langkah ke belakang selama setengan menit; jika ada gangguan

vestibuler unilateral, pasien akan berjalan dengan arah berbentuk bintang (Weber,

2008).

Gambar 8. Babinsky-Weil Test

f. Uji Dix Hallpike. Perhatikan adanya nistagmus, lakukan uji ini ke kanan dan kiri. 9

Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaringkan ke belakang dengan

cepat, sehingga kepalanya menggantung 45° di bawah garis horizontal, kemudian

kepalanya dimiringkan 45° ke kanan lalu ke kiri (Weber, 2008).


Gambar 9. Dix Hallpike Test

Perhatikan saat timbul dan hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat

dibedakan apakah lesinya perifer atau sentral. 10 Perifer, vertigo dan nistagmus

timbul setelah periode laten 2-10 detik, hilang dalam waktu kurang dari 1 menit,

akan berkurang atau menghilang bila tes diulang-ulang beberapa kali (fatigue).

Sentral, tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo berlangsung lebih dari 1

menit, bila diulang-ulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue) (Weber, 2008).

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium : darah rutin, kimia darah, urin, dan pemeriksaan lain

sesuai indikasi.

b. Pemeriksaan Radiologi : Foto tulang tengkorak leher, Stenvers (pada neurinoma

akustik).

c. Pemeriksaan Neurofisiologi : elektroensefalografi (EEG), elektromiografi (EMG).

d. Pemeriksaan Neuro-imaging : CT Scan kepala, MRI (Dewanto et al, 2007).


I. PENATALAKSANAAN

Karea penyebab Vertigo beragam, sementara penderita seringkali merasa sangat

terganggu dengan keluhan vertigo tersebut seringkali menggunakan pengobatan

simptomatik. Lamanya pengobatan bervariasi. Kabanyakan kasus terapi dapat dihentikan

setelah beberapa minggu (Weber, 2008).

1. Terapi Kausal : Sesuai dengan penyebab terjadinya vertigo

2. Farmakoterapi simptomatis

Beberapa golongan yang sering digunakan :

a. Antihistamin

Tidak semua oban anti histamin mempunyai sifat anti vertigo, anti histamin yang

dapat meredakan vertigo seperti dimenhidrinat, difenhidramin, mesksilin, siklisin.

Antihistamin yang memiliki anti vertigo juga memeiliki aktivitas anti kolinergik di

susunan saraf pusat. Contoh : Cinnarizine 3 x 25 mg/hr, Dimenhidrinat (Dramamine) 3 x

50 mg/hr (Weber, 2008).

b. Antagonis Kalsium

Dapat juga berkhasiat mengobati vertigo. Obat antagonis kalsium cinnarizine dan

flunarizine sering digunakan. Merupakan obat supresan vestibular karena sel rambut

vestibular mengandung terowongan kalsium. Contoh : Flunarisin (Sibelium) 3x 5-10

mg/hr (Weber, 2008).

c. Fenotiazine. ( Bekerja pada kemoreseptor trigger zone dan pusat muntah di M.

oblongata). Contoh Chlorpromazine (largaktil) : 3 x 25 mg/hr (Weber, 2008).

d. Histaminik (inhibisi neuron potisinaptik pada n. vestibularis lateralis). Contoh

Betahistine (Merislon) 3 x 8 mg (Weber, 2008).


e. Pengobatan simptomatik otonom (mis. muntah) : • Metoclopramide (Primperan,

Raclonid) 3 x 10 mg/hr (Weber, 2008).

3. Non-Farmakoterapi

h. Canalith Reposisi Treatment (CRP)/ Epley Manuever. CRP adalah pengobatan non-

invasif untuk penyebab paling umum dari vertigo. CRP membimbing pasien melalui

serangkaian posisi yang menyebabkan pergerakan kanalith dari daerah dimana dapat

menyebabkan gejala (Weber, 2008).


Gambar 10.Epley Manuver

i. Dietary Change (Pengaturan Pola Makan/Perubahan Pola makan) : Mengurangi

makanan seperti coklat, alkohol dan kafein. Pemakaian nikotin juga perlu dihentikan.

Kafein dan Nikotin juga merupakan stimulan vasoaktif dan menyebabkan terjadinya

vasokontriksi dan penurunan darah arteri kecil yang memberi nutrisi saraf dari

telinga tengah. Dengan menghindari kedua zat-zat tersebut dapat mengurangi gejala.

j. Lifestyle Change (Pengaturan Gaya Hidup) : Exercise, menghindari pemicu faktor

stress, mempebaiki pola tidur.

k. Selama serangan akut dianjurkan untuk berbaring ditempat yang keras, berusaha

untuk tidak bergerak, pandangan mata di fiksasi pada satu objek tidak bergerak.

Setelah vertigo hilang pasien diminta untuk bangun secara perlahan karena biasanya

setelah serangan akan terjadi kelelahan.


J. PROGNOSIS

Pada kasus vertigo spesifik seperti BPPV Prognosis setelah dilakukan CRP

(Canalith Repositioning Procedure) biasanya bagus. Remisi daat terjadi spontan dalam 6

minggu, meskipun dalam beberapa kasus tidak terjadi. Dengan sekali pengobatan tingkat

rekurensi sekitar 10-25%. CRP/Epley manuver terbukti efektif dalam mengontrol gejala

BPPV dalam waktu lama. Pada beberapa kasus dapat terjadi remisi dan rekurensi yang tidak

dapat diprediksi dan rata-rata rekurensi ± 10-15% per tahun.

Penyakit Meniere belum dapat disembuhkan dan bersifat progresif, tapi tidak fatal dan

banyak pilihan terapi untuk mngobati gejalanya. Beberapa pasien mengalami remisi spontan

dalam jangka waktu hingga tahun.


KESIMPULAN

1. Vertigo ialah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti rotasi (memutar)

tanpa sensasi peputaran yang sebenarnya, dapat sekelilingnya terasa berputar atau badan

yang berputar.

2. Terdapat empat tipe dizziness yaitu vertigo, lightheadness, presyncope, dan

disequiliberium.

3. Terdapat tiga sistem yang mengelola keseimbangan tubuh yaitu : sistem vestibular, sistem

propioseptik dan sistem optik.

4. Penyebab umum vertigo antara lain keadaan lingkungan, obat-obatan, kelainan telinga,

infeksi telinga, dan penyakit meniere.

5. Tiga kelainan paling sering dengan gejala vertigo adalah BPPV, penyakit meniere, dan

neuritis vestibularis.

6. Berbagai macam teori dikemukakan dalam patofisiologi vertigo.

7. Berdasarkan letak kelainannya, vertigo terbai menjadi vertigo sentral dan vertigo perifer.

8. Diagnosis vertigo ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang.

9. Penatalaksaan vertigo secara farmakologi yaitu terapi kausal dan symptomatic

10. Penatalaksaan vertigo secara non farmakologi yaitu dengan Canalith Reposisi Treatment

(CRP)/ Epley Manuever, Dietary Change (Pengaturan Pola Makan/Perubahan Pola

makan), Lifestyle Change (Pengaturan Gaya Hidup), dan selama serangan pasien diminta

tidur dan minimal dalam melakukan gerakan.


DAFTAR PUSTKA

Biller, J. 2012. Practical Neurology. Philadelpia : Lippincott Williams & Wilkins

Brandt, T., Dieterich, M., Strupp, M. 2013. Vertigo and Dizziness Second Edition. New York :
Springer

Cunha, J. P. Vertigo Prognosis, 2016, [Online], diakses pada :


http://www.emedicinehealth.com/vertigo/page10_em.htm, [18 Januari 2017]

Dewanto, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., Turana, Y. 2007. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit
Saraf. Jakarta : EGC

Hawkins, J. E. The Physiology of Balance: Vestibular Function, 2015, [Online], diakses pada :
https://www.britannica.com/science/ear/The-physiology-of-balance-vestibular-
function, [18 Januari 2017]

Haybach, P. J. 2012. Meniere's Disease. Portland : Vestibular Disorder Association

Martini, F. H. 2007. Anatomy & Physiology. Singapore : Pearson Education South Asia Pte. Ltd

Shupert, C. L. 2012. Vestibular Neuritis and Labyrinthitis. Portland : Vestibular Disorder


Association

Timothy, C. H. 2009. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV). Portland : Vestibular


Disorder Association

Weber, P. C. 2008. Vertigo and Disequilibrium A Practical Guide to Diagnosis and


Management. New York : Thieme

You might also like