You are on page 1of 41

LAPORAN KASUS

SEORANG ANAK PEREMPUAN USIA 3 TAHUN DENGAN KEJANG


DEMAM SIMPLEK DAN DEMAM TIFOID

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu
Kesehatan Anak

Diajukan Kepada :

Pembimbing : dr. Setya Dipayana, Sp.A


Disusun Oleh :

Saina Abas H2A012027


Devi Nendes Mita H2A013002

KEPANITERAAN KLINIK

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

RSUD Dr.ADHYATMA, MPH

2017

1
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN

ILMU KESEHATAN ANAK

LAPORAN KASUS
SEORANG ANAK PEREMPUAN USIA 3 TAHUN DENGAN KEJANG
DEMAM SIMPLEK DAN DEMAM TIFOID

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


Stase Ilmu Kesehatan Anak

RSUD Dr.ADHYATMA, MPH

Disusun Oleh:
Saina Abas H2A012027
Devi Nendes Mita H2A013002

Telah disetujui oleh Pembimbing:

Tanggal : ...........................................

Pembimbing Klinik
Ilmu Kesehatan Anak

Pembimbing : dr. Setya Dipayana, Sp.A

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga dapat
menyelesaikan Laporan Kasus ini, yang diajukan untuk memenuhi tugas dan
melengkapi syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik Stase Ilmu Kesehatan
Anak
Laporan Kasus ini berjudul “Kejang Demam Kompleks, Diare Akut Tanpa
Dehidrasi”. Dengan selesainya laporan kasus ini, perkenankanlah penulis
menyampaikan rasa terima kasih kepada :
1. Prof. dr. Rifky Muslim, Sp.B Sp.U, selaku Dekan Fakultas beserta
jajaran di Prodi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Semarang
2. dr. Setya Dipayana, Sp.A; dr. Noor Hidayati, Sp.A; dr.Galuh
Ramaningrum, Sp.A; dr. Laily Babgei, SpA; dan dr.Agus Saptanto,
Sp.A selaku koordinator sekaligus pembimbing Stase Ilmu Kesehatan
Anak
3. RSUD Dr.Adhyatma, MPH seluruh direksi dan karyawan
4. Semua pihak dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan
namanya satu persatu.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. Untuk
itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun
demi kesepurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini berguna bagi kita
semua.

Semarang, Desember 2017

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di


ruang gawat darurat. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya
pernah mengalami sekali kejang selama hidupnya.1 Kejang penting sebagai
suatu tanda adanya gangguan neurologis. Keadaan tersebut merupakan
keadaan darurat. Kejang mungkin sederhana, dapat berhenti sendiri dan sedikit
memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari penyakit
berat, atau cenderung menjadi status epileptikus.1
Kejang demam mengakibatkan kelainan neurologi terbanyak pada
anak. Insiden 10,5 % laki-laki dan 8,9 % wanita. Kejang pada anak belum
jelas dimungkinkan berhubungan dengan kematangan otak.2
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus yang
disebabkan oleh kuman Salmonella typhi.6,7 Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari. Gejala yang timbul amat bervariasi. Perbedaan
ini tidak saja antara berbagai bagian dunia, tetapi juga di daerah yang sama
dari waktu ke waktu. Selain itu, gambaran penyakit bervariasi dari penyakit
ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit khas dengan
komplikasi dan kematian. Hal ini menyebabkan bahwa seorang ahli yang
sangat berpengalaman pun dapat mengalami kesulitan untuk membuat
diagnosa klinis demam tifoid.1 Adapun gejala klinis yang umumnya terjadi
adalah demam 5 hari atau lebih, gangguan pencernaan, dan gangguan
kesadaran.6

4
BAB II

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama anak : An. NRDA


Umur : 3 tahun 3 bulan
Tempat / tanggal lahir: Semarang, 19 Agustus 2004
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
No RM : 549464
Bangsal : Melati 10.3
Tgl masuk bangsal : 18 November 2017

Nama bapak : Tn. WS


Umur : 38 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Purwoyoso RT.07/RW.XII Ngaliyan Semarang

Nama ibu : Ny. EL


Umur : 36 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Alamat : Purwoyoso RT.07/RW.XII Ngaliyan Semarang

5
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada Ibu Pasien
tanggal 18 November 2017 jam 08.30 WIB. Di Bangsal Melati
Keluhan Utama : Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang :
1 hari SMRS, pasien kejang. Kejang secara tiba-tiba seluruh tubuh
kelojotan dan mengepalkan tangan serta mata melirik ke atas. Saat kejang
mulut tidak berbusa dan bibir tidak biru. Sebelum dan sesudah kejang
pasien sadar dan langsung menangis. Sebelum kejang didahului demam
tinggi. Lama kejang ± 3 menit, terjadi satu kali, kejang berhenti sendiri,
kejang baru dialami pertama kali, tidak ada kelumpuhan setelah kejang,
tidak ada riwayat kejang sebelumnya, belum diberi obat anti kejang di
rumah. Nafsu makan berkurang dan masih mau minum. Keluhan timbul
mual, muntah, kembung dan nyeri perut BAK disangkal.
Sebelum kejang pasien juga demam 3 hari. Demam dirasakan naik
turun terus menerus. Demam turun saat minum obat penurun panas
kemudian demam naik kembali. Suhu pasien mencapai 400C saat diukur
oleh ibu pasien. Demam tidak disertai keluhan menggigil. Beberapa jam
setelah minum obat pasien mengalami muntah 4 kali. Muntahan berupa
makanan yang dimakan, tidak ada darah, warna kuning. Selama panas
pasien masih mual dan muntah, sehari muntah sampai 3 sampai 4 kali.
Pasien juga belum BAB selama 2 hari.
HMRS, pasien dibawa ke IGD RSUD Tugurejo oleh keluarga.
Pasien sudah tidak kejang, masih demam tinggi ( IGD 39,10C ) dan tidak
disertai keluhan menggigil, muntah sebanyak 3 kali. Pasien juga
mengeluhkan lemas dan pusing. Nafsu makan berkurang dan masih mau
minum. Keluhan seperti, penurunan kesadaran, mimisan, gusi berdarah,
batuk, pilek, nyeri tenggorok, dan gangguan BAK disangkal. Setelah
mendapat penanganan, disarankan untuk rawat inap di bangsal Melati
RSUD Tugurejo.

6
Hari kedua pasien perawatan di bangsal pasien masih demam tetapi
sudah turun dengan suhu 37,9 C. Pasien sudah tidak muntah.
Riwayat Penyakit Dahulu :
 Riwayat Penyakit serupa : disangkal
 Riwayat Kejang : disangkal
 Riwayat Demam Tifoid : disangkal
 Riwayat DBD : disangkal
 Riwayat batuk lama : disangkal
 Riwayat pengobatan : diakui, minum paracetamol namun demam
tidak turun
 Riwayat Mondok : disangkal
 Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada riwayat kejang demam di keluarga. Tidak ada anggota
keluarga yang mempunyai riwayat diare, kejang, batuk lama, asma, dan
alergi obat.
Riwayat Pribadi Ekonomi Sosial
Pasien tinggal bersama kedua orangtua. Orang tua pasien bekerja
sebagai buruh pabrik dan IRT. Disekitar tempat tinggal pasien tidak ada
keluhan sakit serupa. Keluarga pasien tidak mengkonsumsi minuman
beralkohol dan obat-obatan. Biaya pengobatan menggunakan asuransi
BPJS.
Kesan : Keadaan sosial dan ekonomi cukup
Data Khusus
1. Riwayat Kehamilan/Pre Natal :
- Penderita adalah anak kedua dari dua bersaudara
- Kontrol kehamilan : rutin setiap bulan (ANC > 4 kali) di
bidan praktek
- Imunisasi TT : 2 kali
- Keluhan atau sakit saat hamil : disangkal
- Obat obatan : vitamin dan tablet besi, obat keras
lainnya disangkal
- Konsumsi alkohol, rokok : disangkal
- Perdarahan Antepartum : disangkal
- Asupan gizi kehamilan : cukup

7
2. Riwayat persalinan/natal :
Lahir secara spontan di bantu oleh bidan, bayi langsung
menangis kuat, dan segera dilakukan inisiasi menyusui dini. Berat
badan saat lahir 2800gram, panjang badan 48 cm.
3. Riwayat pasca persalinan/ post natal :
Perdarahan post partum disangkal, Ibu melakukan kunjungan neonatal
ke bidan.
4. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak

Kriteria Umur Perkembangan

Motorik kasar 3 th Melempar bola


Lengan keatas
Loncat jauh
Berdiri satu kaki 1 detik
Berdiri satu kaki 2 detik

Motorik halus 3 th Menara 6 kubus


Meniru garis vertikal
Menara dari kubus
Menggoyangkan ibu jari
Mencontoh lingkaran

Personal-Sosial 3 th Gosok gigi dengan bantuan


Cuci dan mengeringkan tangan
Menyebut nama teman
Memakai t-shirt
Berpakaian tanpa bantuan

Bahasa 3 th Bicara dengan dimengerti


Menyebut 4 gambar
Mengetahui 2 kegiatan
Menyebut 1 warna
Kegunaan 2 benda

Kesan : riwayat pertumbuhan dan perkembangan baik


sesuai usia

5. Riwayat Imunisasi

Macam imunisasi Frekuensi Umur Keterangan

8
Imunisasi dasar Dilakukan di Bidan
BCG 1 kali 0 bulan Lengkap
DPT 3 kali 2,3,4 bulan Lengkap
Hepatitis B 4 kali 0,2,3,4 bulan Lengkap
Polio 4 kali 1,2,3,4 bulan Lengkap
Campak 1 9 bulan Lengkap
Kesan : imunisasi dasar lengkap sesuai umur

6. Riwayat makan dan minum

Umur Makanan dan Minuman Frekuensi

0 – 6 bulan ASI Semau anak

6 – 12 bulan Sufor + Semau anak


Bubur susu 2x / hari

12-24 bulan Sufor Semau anak


Nasi tim, sayur, lauk 2x / hari

2 – 3 tahun Nasi, sayur, lauk, buah, dan 3 x / hari


susu
Kesan : ASI ekslusif

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 31 Juli 2016
1. Keadaan Umum : Lemas
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Status Gizi
BB : 11,2 kg
PB : 84 cm

9
Z Score :
 BB/Umur : 11.2 / 14.4 x 100 = 77% (< -2, SD )
 PB/Umur : 84/97.1 x 100= 86% (-3SD sampai – 2 SD)
 BB/TB : 11.2/11.1x 100% = 84,21% (Gizi Baik)
Status gizi : Gizi Kurang, perawakan normal.
4. Tanda Vital
Nadi : 98 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
Respirasi : 24 x/menit
Suhu : 39,1 ° C IGD

5. Status Internus
a) Kepala
Kesan mesocephal.
b) Mata
Mata cekung (-/-), Konjungtiva palpebra anemis (-/-), Sklera
ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek pupil direk (+/+),
reflek pupil indirek (+/+)
c) Telinga
Sekret (-/-), darah (-/-), gangguan fungsi pendengaran(-/-)
d) Hidung
Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-), septum
deviasi (-/-)
e) Mulut
Bibir kering (+), bibir sianosis (-), lidah kotor (+) (ditengah,
hiperemis diujung), gusi berdarah (-), Tonsil T1-T1, faring
hiperemis (-)
f) Leher
Simetris, trachea di tengah, pembesaran KGB (-), tiroid (Normal),
kaku kuduk (-)
g) Thorax

10
Dextra Sinistra
Depan
1. Inspeksi
Bentuk dada Ø Lateral >Antero Ø Lateral >Antero
posterior posterior
Hemitorak
Simetris Simetris
Dinamis
2. Palpasi Simetris Simetris
Stem fremitus
Pelebaran ICS Dextra = sinistra Dextra = sinistra
Arcus Costa (-) (-)
3. Perkusi Normal Normal

Sonor diseluruh Sonor di seluruh


4. Auskultasi lapang paru lapang paru
Suara dasar
Suara tambahan
Vesikuler Vesikuler
Wheezing(-), Wheezing(-),
ronki (-/-) ronki (-/-)
Belakang
1. Inspeksi
Bentuk dada Dalam batas normal Dalam batas normal
Hemitorak Simetris Simetris
2. Palpasi
Stem fremitus
Pelebaran ICS Dextra = sinistra Dextra = sinistra
(-) (-)
3. Perkusi
Suara lapang
paru Sonor di seluruh Sonor di seluruh
lapang paru lapang paru
4. Auskultasi
Suara dasar
Suara tambahan
Vesikuler Vesikuler
Wheezing(-), ronki (-) Wheezing(-), ronki (-)

Tampak anterior paru Tampak posterior paru

11
SD : vesikuler (+/+) SD : vesikuler (+/+)
ST : ronki (-/-), wheezing (-/-) ST : ronki (-/-), wheezing (-)
Cor

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak


Palpasi : ictus cordis teraba, tidak kuat angkat
Perkusi :

 Batas atas : ICS II parasternal sinsitra


 pinggang jantung : ICS III parasternal sinsitra
 batas kanan bawah : ICS IV lin.sternalis dextra
 kiri bawah : ICS IV linea midclavicula
sinistra 1 cm kearah medial
konfigurasi jantung : dalam batas normal
Auskultasi : reguler
Suara jantung murni : SI,SII (normal) reguler.
Suara jantung tambahan gallop (-), murmur (-) SIII (-), SIV (-)
h) Abdomen
Inspeksi : Permukaan datar, warna sama seperti kulit di
sekitar
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat.
Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen.
Palpasi : Nyeri tekan seluruh regio (-), hepar, lien, ginjal
tidak teraba, turgor cukup.
i) Ekstremitas

Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Capilary refill <2”/ <2” <2”/ <2”
6. Status Neurologis
Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Normal Normal Normal Normal
Tonus Normal Normal Normal Normal

12
Trofi Normal Normal Normal Normal
Klonus - - - -
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -
Sensibilitas Normal Normal Normal Normal
Tanda meningeal - - - -
Refleks patologis : babinsky (-),chaddock (-), openheim (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium Darah Rutin 18 November 2017

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


Leukosit 15,88 H ribu/ul 5,5 -15.5
Eritrosit 4,54 juta/ul 3,6 - 5, 2
Hb 11,00 g/dl 10,8 - 12,8
Hematokrit 32,00 % 35 – 43
MCV 80,30 Fl 73 – 101
MCH 25 80 Pg 23 – 31
MCHC 32,30 g/Dl 26 – 34
Trombosit 395 10^3/ul 217-497
RDW 14,60 % 11.5-14.5
Eosinofil absolut 0,01 10^3/ul 0,045 – 0,44
Basofil absolut 0,03 10^3/ul 0 – 0,2
Netrofil absolut 8,29 10^3/ul 1,8 – 8
Limfosit absolut 1,81 10^3/ul 0,9 – 5,2
Monosit absolut 0,41 10^3/ul 0,16 – 1
Eosinofil 0,00 % 2–4
Basofil 0,10 % 0–1
Neutrofil 68,50 % 50 -70
Limfosit 22,20 % 25 - 50
Monosit 15,70 % 1 –6

Kimia Klinik

Kalium 4,08 mmol/l 3,1-5,1


Natrium 128,3 L mmol/L 135-145
Klorida 94,2 L mmol/L 96-111

Laboratorium Imunoserologis
S. Typhi Titer O Negative
S. Typhi Titer H 1/320

13
V. RESUME
Seorang anak perempuan usia 3 tahun dengan kejang. Kejang
secara tiba-tiba seluruh tubuh kelojotan dan mengepalkan tangan serta
mata melirik ke atas. Saat kejang mulut tidak berbusa dan bibir tidak biru.
Sebelum dan sesudah kejang pasien sadar dan langsung menangis.
Sebelum kejang didahului demam tinggi. Lama kejang ± 3 menit, terjadi
satu kali, kejang berhenti sendiri, kejang baru dialami pertama kali, tidak
ada kelumpuhan setelah kejang, tidak ada riwayat kejang sebelumnya,
belum diberi obat anti kejang di rumah. Nafsu makan berkurang dan masih
mau minum. Keluhan timbul bintik merah di badan, mimisan, nyeri perut,
mual muntah, batuk, pilek, gangguan BAK disangkal.
Sebelum kejang pasien juga demam. Demam dirasakan naik turun
terus menerus. Demam turun saat minum obat penurun panas kemudian
demam naik kembali. Suhu pasien mencapai 40 C saat diukur. Demam
tidak disertai keluhan menggigil. Beberapa jam setelah minum obat pasien
mengalami muntah 4 kali. Muntahan berupa makanan yang dimakan, tidak
ada darah, warna kuning. Selama panas pasien masih mual dan muntah,
sehari sampai 3 sampai 4 kali. Pasien juga belum BAB selama 2 hari.
HMRS, pasien dibawa ke IGD RSUD Tugurejo oleh keluarga.
Pasien sudah tidak kejang, masih demam tinggi ( IGD 39,10C ) dan tidak
disertai keluhan menggigil, muntah sebanyak 3 kali. Pasien juga
mengeluhkan lemas dan pusing. Nafsu makan berkurang dan masih mau
minum. Keluhan seperti, penurunan kesadaran, mimisan, gusi berdarah,
batuk, pilek, nyeri tenggorok, dan gangguan BAK disangkal.
Pemeriksaan fisik didapatkan KU lemas, Nadi: 98x/menit, RR:
24x/menit, T: 38 0 C, status gizi kurang.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil darah leukosit
meningkat, dari kimia klinik natrium dan klorida menurun dan didapatkan
titer Salmonella Typhi O negatif dan Salmonella Typhi H 1/320.

14
VI. Daftar Masalah
Pemeriksaan
Anamnesis Pemeriksaan Fisik
Penunjang
0
1. Kejang 8. Suhu 39,1 C 10. Leukosit ; 15,88 H
2. Demam tinggi 3 9. Lidah kotor 11. Natrium ; 128,3 L
10. Klorida ; 94,2 L
hari
11. S. Typhi Titer H;
3. Muntah
1/320
4. Nafsu makan
menurun
5. Belum BAB 2
hari (konstipasi)
6. Lemas
7. Pusing

VII. ASSESMENT
Diagnosis Banding :
1) Kejang Demam
 Kejang Demam Simplek
 Kejang Demam Komplek

2) Demam Tifoid
VIII. Diagnosis Kerja :
 Diagnosis Klinis : Kejang Demam Simpleks dengan demam tifoid
 Diagnosis Tumbang : Tumbuh kembang sesuai usia

15
 Diagnosis Gizi : Gizi kurang, perawakan normal
 Diagnosis Imunisasi : Imunisasi dasar lengkap sesuai usia
IX. INITIAL PLAN
Ip Dx:
Kejang Demam Simpleks
Demam Tifoid
O : Darah Rutin, Elektrolit, GDS, IgM IgG Salmonella Thypi, kultur empedu,
pemeriksaan LCS
Ip Tx :
 Infus KAEN 3B 11 tpm
 Inj. Ceftriaxone 1x 500 mg
PO :
 Diazepam 3 x 2 mg
 Kloramphenicol syr 3 x 1 ½ cth, 10-14 hari
 Paracetamol syrup 3 x 1 cth

Ip Mx :
 Monitoring KU dan Vital Sign
 Monitoring kejang, febris,muntah,vol.urin
 Monitoring resiko kejang berulang dan komplikasi
Ip Ex :
 Jelaskan demam, kejang demam, demam tifoid dan evaluasi demam
 Menjelaskan pengobatan, dan komplikasi penyakit
 Motivasi untuk ikut memantau tanda dan gejala kegawatan pada anak.
 Motivasi anak banyak minum
 Motivasi orangtua tentang penyebab kejang,
resiko berulang, dan penanganan awal serta harus monitor suhu anak
dengan termometer bila demam.
X. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Sanam : dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam

16
XI. Folllow Up Pasien

Tanggal Catatan
18-11- S Demam (+) muntah (+) kejang (-) BAB(-) 2 hari BAK
2017 (+) baik , nafsu makan turun, pusing, lemas
O KU : Tampak lemas
HR : 120 x/menit, RR : 30 x/ menit
T: 38 0C
Kepala : mesosepal
Thorak : dbn
Abdomen : dbn
Ekstermitas : dbn
A KDS
Demam Tifoid
P  Infus KAEN 3B 11 tpm
 inj. Ceftriaxone 1x 300 mg
PO :
 Diazepam 3x 1 mg
 Paracetamol syrup 3 x 1 cth
19-11- S Batuk (+) pilek (-) Demam (-) muntah (-) kejang (-)
2017 BAB(-) 3 hari BAK (+) baik , nafsu makan turun, pusing,
lemas
O KU : Baik
HR : 124 x/menit, RR : 33 x/ menit
T: 37,3 0C
Kepala : mesosepal
Thorak : dbn
Abdomen : dbn
Ekstermitas : dbn
A KDS
Demam Tifoid
P Terapi lanjut
20-11- S Batuk (+) Demam (-) muntah (-) kejang (-) BAB(+)
2017 BAK (+) baik , nafsu makan turun, pusing, lemas
O KU : Baik

17
HR : 89 x/menit, RR : 31 x/ menit
T: 37,2 0C ,
Kepala : mesosepal
Thorak : dbn
Abdomen : dbn
Ekstermitas : dbn
A KDS
P Terapi lanjut
21-11- S batuk (+) demam (-) kejang (-)
2017
O KU : Baik
HR : 92 x/menit, RR : 30 x/ menit
T: 37,1 0C ,
Kepala : mesosepal
Thorak : dbn
Abdomen : dbn
Ekstermitas : dbn
A KDS
P BLPL
Obat Pulang :
 Diazepam 3x 1 mg. prn
 Paracetamol syrup 3 x 1 cth. prn
 Cefadroxyl syrup 2x 1 cth

18
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. Kejang Demam
1. Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. 5
2. Klasifikasi
Berdasarkan manifestasi klinis dibagi menjadi kejang demam
sederhana dan kejang demam kompleks.5
a. Kejang demam sederhana
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan
atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu
24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh
kejang demam.
b. Kejang demam kompleks
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini: 1) Kejang lama > 15
menit 2) Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum
didahului kejang parsial 3) Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24
jam
Menurut asal patologi dan neuronal, kejang dibagi 2 yaitu kejang
epileptik dan non epileptik. Kejang epileptik berasal dari saraf kortikal dan
berkaitan dengan perubahan EEG. Kejang non-epileptik berawal dari

19
subkortikal dan biasanya tidak terdapat kelainan pada EEG. Dirangsang
oleh stimuli dan dipengaruhi oleh kekangan dan perubahan posisi tubuh.6
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit
atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak
tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal
adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang
parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di
antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di
antara anak yang mengalami kejang demam. 5
3. Patofisiologi 2,7
Faktor yang berperan tercetusnya kejang:
a. Demam
b. Efek produk toksik terhadap microorganisme terhadap otak
c. Respon alergik atau keadaan imun yg abnormal oleh infeksi
d. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
e. Ensefalitis viral
f. Gabungan semua faktor tersebut diatas
Kejang dapat terjadi akibat kenaikan suhu tubuh yang tinggi atau
kenaikan suhu yang cepat. Hipertermia mengurangi influks kalsium yang
mengurangi mekanisme penghambat aksi potensial dan meningkatkan
transmisi sinap eksitori. Demam menghambat mekanisme penghambat
kejang di hipokampus akibat berkurangnya GABA. Infeksi menyebabkan
lepasnya mediator inflamasi (interleukin 1β yang dapat menyebabkan
kejang. Pada anak mempunyai predisposisi chanellopathy natrium,
sensitifitas neuraon akibat peningkatan suhu .
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau otak diperlukan
energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme
otak yang terpenting adalah glukosa dan melalui suatu proses oksidasi.
Dalam proses oksidasi tersebut diperlukan oksigen yang disediakan
melalui perantaraan paru-paru. Oksigen dari paru-paru ini diteruskan ke
otak melalui sistem kardiovaskular. Suatu sel, khususnya sel otak atau
neuron dalam hal ini, dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari
membran permukaan dalam dan membran permukaan luar. Membran
permukaan dalam bersifat lipoid, sedangkan membran permukaan luar
bersifat ionik.

20
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dengan mudah
dilalui ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium ( Na+ )
dan elektrolit lainnya, kecuali oleh ion Klorida (Cl-). Akibatnya
konsentrasi K+ dalam neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah,
sedangkan di luar neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan
jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar neuron, maka terdapat
perbedaan potensial yang disebut potensial membran neuron. Untuk
menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan
bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran tadi dapat berubah karena adanya :
perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler, rangsangan yang datang
mendadak seperti rangsangan mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari
sekitarnya, dan perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena
penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan
kenaikan metabolisme basal 10-15% dan meningkatnya kebutuhan
oksigen sebesar 20%. Pada seorang anak usia 3 tahun, sirkulasi otak
mencapai 65% dari seluruh sirkulasi tubuh, dibandingkan dengan orang
dewasa yang hanya 15%. Jadi kenaikan suhu tubuh pada seorang anak
dapat mengubah keseimbangan membran sel neuron dan dalam waktu
singkat terjadi difusi ion Kalium dan ion Natrium melalui membran
tersebut sehingga mengakibatkan terjadinya lepas muatan listrik. Lepasnya
muatan listrik ini demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun ke membran sel lain yang ada didekatnya dengan perantaraan
neurotransmitter sehingga terjadilah kejang.

21
Gambar 1. Patofisiologi gangguan elektrolit pada kejang demam.

Gambar 2. Patofisiologi perubahan keseimbangan ion pada kejang demam.

4. Pemeriksaan Penunjang

22
Mencari penyebab demam yaitu dengan darah rutin, gula darah,
elektrolit, kalsium serum, urinalisis, biakan darah, urin, dan feses.
Pemeriksaan EEG dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas,
misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau
kejang demam fokal.2,7-8
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan
atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 0,6%-6,7%. Bila yakin bukan meningitis secara klinis
tidak perlu dilakukan pungsi lumbal. 5
Pungsi lumbal dianjurkan pada:
a. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan.
b. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
c. Bayi > 18 bulan tidak rutin.
Foto X-ray kepala dan computed tomography scan (CT-scan) atau
magnetic resonance imaging (MRI) tidak rutin dan hanya atas indikasi
kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis); Paresis nervus VI;
Papiledema. 2,7-8
5. Penatalaksanaan kejang 2,5,7-8
Terapi fase akut
a. Penderita dimiringkan, mencegah aspirasi ludah atau lendir dari mulut
b. Jalan nafas dijaga agar tetap terbuka
c. Bila perlu berikan oksigen
d. Fungsi vital, keadaan jantung, tekanan darah, kesadaran, diikuti
seksama
e. Perhatikan kebutuhan dan keadaan cairan, kalori dan elektrolit
f. Suhu yang tinggi harus segera diturunkan:
 Kompres hangat, selimut dan pembungkus badan harus dibuka
 Pemberian obat penurun panas: asetaminofen atau antipiretik
lainnya
g. Bila masih kejang:
Diazepam IV atau per rectum
 5 mg bila BB < 10 kg, 10 mg bila > 10 kg
Fenobarbital dgn dosis awal IM
 30 mg untuk neonates
 50 mg untuk usia 1 bln – 1 thn
 75 mg untuk usia > 1 thn
h. Bila masih kejang :
 15 mnt kemudian – ulangi pemberian diazepam dgn dosis yang
sama

23
 4 jam kemudian berikan fenobarbital dengan dosis
 Hari pertama dan kedua : 8-10 mg/kgBB/hr - 2 dosis
 Hari berikutnya sampai demam reda : 4-5 mg/kgBB/hr - 2 dosis

Gambar 3. Algoritma penanganan kejang demam.


Perlu rawat inap pada pasien dengan :
 Kejang demam komplek
 Hiperpireksia
 Usia < 6 bulan
 Kejang demam pertama
 Dijumpai kelainan neurologis
6. Prognosis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal
pada pasien yang sebelumnya normal. Resiko kematian belum pernah. 5
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus adalah
80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor kemungkinan berulangnya
kejang demam hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang
demam paling besar pada tahun pertama. Faktor risiko berulangnya
kejang demam adalah : 5,7
a. Riwayat kejang demam dalam keluarga
b. Usia kurang dari 12 bulan
c. Temperatur yang rendah saat kejang

24
d. Cepatnya kejang setelah demam
The American National Collaborative Perinatal Project, Faktor risiko
menjadi epilepsi adalah:
a. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama.
b. Kejang demam kompleks
c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
7. Pencegahan kejang
Pengobatan jangka panjang dipertimbangkan pada kejang demam
komplek dengan faktor risiko dan diberikan selama 1 tahun. 2,7-8
a. Profilaksis intermiten, pada waktu demam
Obat antikonvulsan segera diberi begitu diketahui anak demam.
Diazepam oral atau rectum. (Dosis per oral 0,5 mg/kgBB/hr dibagi 3
dosis atau Dosis per rectum 5 mg pada usia < 3 tahun; 10 mg pada
usia > 3 tahun). Efek smping: ataksia, mengantuk dan hipotoni
b. Profilaksis terus menerus, dengan obat antikonvulsan tiap hari
b. Fenobarbital 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis. efek samping:
iritabel, pemarah, agresif
c. Asam valproat 15-40 mg/kgBB/hari , 1-2 dosis. efek samping :
hepatotosik.
d. Phenitoin dan karbamazepin tidak efektif.
8. Pengobatan/Penanganan
Penatalaksanaan kejang demam meliputi penanganan pada saat kejang dan
pencegahan kejang.
a. Penanganan Pada Saat Kejang :
1) Menghentikan kejang:
Diazepam dosis awal 0,3-0,5 mg/KgBB/dosis IV (perlahan-
lahan) atau 0,4-0,6mg/KgBB/dosis REKTAL SUPPOSITORIA.
Bila kejang masih belum teratasi dapat diulang dengan dosis
yang sama 20 menit kemudian
2) Turunkan demam:
Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen
5-10 mg/KgBB/dosis PO, keduanya diberikan 3-4 kali perhari
Kompres: suhu > 39C: air hangat; suhu >38C: air biasa
3) Pengobatan penyebab:
Antibiotika diberikan sesuai indikasi dengan penyakit dasarnya
b. Penanganan suportif lainnya meliputi:
1) Bebaskan jalan nafas
2) Pemberian oksigen

25
3) Menjaga keseimbangan air dan elektrolit
4) Pertahankan keseimbangan tekanan darah
c. Pencegahan Kejang
1) Pencegahan berkala (intermiten)
Untuk kejang demam sederhana dengan Diazepam 0,3
mg/KgBB/dosis PO dan antipiretika pada saat anak menderita
penyakit yang disertai demam
2) Pencegahan kontinu
Untuk kejang demam komplikata dengan Asam Valproat 15-40
mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 2-3 dosis
9. Komplikasi Kejang
Gangguan-gangguan yang dapat terjadi akibat dari kejang demam anak
antara lain :
a. Kejang Demam Berulang
Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih
dari satu episode demam. Beberapa hal yang merupakan faktor risiko
berulangnya kejang demam yaitu :
 Usia anak < 15 bulan pada saat kejang demam pertama
 Riwayat kejang demam dalam keluarga
 Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam
 Riwayat demam yang sering
 Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
b. Kerusakan Neuron Otak.
Kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan
apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi
otot yang akhirnya menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, asidosis
laktat karena metabolisme anaerobik, hipotensi arterial, denyut jantung
yang tak teratur, serta suhu tubuh yang makin meningkat sejalan
dengan meningkatnya aktivitas otot sehingga meningkatkan
metabolisme otak. Proses di atas merupakan faktor penyebab
terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsung kejang lama.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang
mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler
dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan neuron otak.

c. Retardasi Mental

26
Terjadi akibat kerusakan otak yang parah dan tidak mendapatkan
pengobatan yang adekuat.
d. Epilepsi
Terjadi karena kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah
mendapat serangan kejang yang berlangsung lama. Ada 3 faktor risiko
yang menyebabkan kejang demam menjadi epilepsi dikemudian hari,
yaitu :
 Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
 Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama.
 Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
 Menurut American National Collaborative Perinatal Project, 1,6%
dari semua anak yang menderita kejang demam akan berkembang
menjadi epilepsi, 10% dari semua anak yang menderita kejang
demam yang mempunyai dua atau tiga faktor risiko di atas akan
berkembang menjadi epilepsi
e. Hemiparese
Yaitu kelumpuhan atau kelemahan otot-otot lengan, tungkai serta
wajah pada salah satu sisi tubuh. Biasanya terjadi pada penderita yang
mengalami kejang lama (kejang demam kompleks). Mula-mula
kelumpuhan bersifat flaksid, setelah 2 minggu timbul spasitas.
10. Edukasi Pada Orang Tua
a. Menerangkan tentang penyakit kejangnya kepada orang tua.
b. Memberikan dan menerangkan cara penanganan kejang kepada orang
tua.
c. Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali.
d. Menerangkan beberapa hal yang bisa dlakukan orang tua bila dirumah
anak kejang:
 Tetap tenang dan tidak panik
 Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
 Bila tidak sadar posisikan anak terlentang dengan posisi miring,
agar bisa membersihkan muntahan atau lendir di mulut dan hidung.
 Ukur suhu, catat lama kejang dan suhunya
 Berikan diazepam rektal selama kejang dan jangan berikan jika
kejang telah berhenti
 Bawa ke dokter jika kejang telah berulang/ terjadi lebih dari lima
menit.

27
II. Demam Tifoid
1. Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid
fever. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat
pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu
atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau
tanpa gangguan kesadaran.1
2. Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain
adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O)
yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari
protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai
makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar
dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat
memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap
multipel antibiotik. 1,2
3. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang
mengikuti ingesti organisme, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel
pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam
makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial, 3) bakteri bertahan hidup di
dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar
cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membran
usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen
intestinal. 1,2
Masuknya kuman Salmonella typhi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2)
banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah

28
kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah
105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung
yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat-
obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor. 1,2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di
jejnum dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA)
kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M
merupakan sel epitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan
port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di
lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit
terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan
kemudian kelenjar getah bening mesenterika. 1,2
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ- organ RES
ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak
di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi
sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda-
tanda dan gejala infeksi sistemik. 1,2
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu,
berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara
“intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama
feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai
gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak

29
gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut. 1,2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasi jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat
akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus. 1,2
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin
dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi,
dan gangguan organ lainnya. 1,2
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal
tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi
penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari
Salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel
usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan
zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan
kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil,
demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis. 1,2

30
Gambar 4. Patogenesis Demam Tifoid
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih
bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya
berpegang pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama pada penderita
yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.
1,2,3

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa


inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa
inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan,
keadaan umum/status gizi serta status imunologis penderita. 1,2,3

31
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara
garis besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
a. Demam satu minggu atau lebih.
b. Gangguan saluran pencernaan
c. Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit
infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia,
mual, muntah, diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya
didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua, gejala/
tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid,
pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan
kesadaran dari yang ringan sampai berat. 1,2,3
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti
pada orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa
stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C)
serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital. 1,2,3
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas
meningkat dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi
selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan
tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen. 1,2,3
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal
minggu kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan
diameter 2 – 4 mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan.
Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya mengandung
kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada,
kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas. 1,2,3
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir
minggu pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria.
Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi
lebih lunak. 1,2,3
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah
dengan ukuran 1 – 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen,

32
toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah
dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari
ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari. 1,2,3
5. Pemeriksaan Penunjang
Sampai saat ini, baku emas diagnosis demam tifoid adalah
pemeriksaan biakan empedu walaupun hanya 40%-60% kasus biakan
positif, terutama pada awal perjalanan penyakit. Biakan spesimen tinja
dan urin menjadi positif setelah akhir minggu pertama infeksi, namun
sensitivitasnya lebih rendah. Di negara berkembang, ketersediaan dan
penggunaan antibiotik secara luas, menyebabkan sensitivitas biakan darah
menjadi rendah. Biakan sumsum tulang lebih sensitif, namun sulit
dilakukan dalam praktek, invasif, dan kurang digunakan untuk kesehatan
masyarakat.
a. Pemeriksaan Hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Hitung
leukosit yang rendah sering berhubungan dengan demam dan
toksisitas penyakit, namun kisaran jumlah leukosit bisa lebar. Pada
anak yang lebih muda leukositosis bisa mencapai 20.000-
25.000/mm3. Trombositopenia dapat merupakan marker penyakit
berat dan disertai dengan koagulasi intravaskular diseminata.
Pemeriksaan fungsi hati dapat berubah, namun gangguan hati yang
bermakna jarang ditemukan. 4

b. Pemeriksaan Widal
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O
dan H S. typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun.
Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah
dan penggunaannya sebagai satusatunya pemeriksaan penunjang di
daerah endemis dapat mengakibatkan overdiagnosis. Kadar aglutinin
tersebut diukur dengan menggunakan pengenceran serum berulang.
Pada umumnya antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H
hari ke 10-12 sejak awal penyakit. 5
Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati
karena beberapa faktor mempengaruhi hasilnya, antara lain stadium

33
penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, endemisitas
penyakit tifoid, gambaran imunologi masyarakat setempat, dan
riwayat imunisasi demam tifoid. Sensitivitas dan spesifisitas rendah
tergantung kualitas antigen yang digunakan bahkan dapat
memberikan hasil negatif pada 30% sampel biakan positif demam
tifoid. 5
Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%,
dan nilai prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu
dapat terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal
Salmonella, enterobacteriaceae, pemeriksaan dilakukan di daerah
endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan
preparat antigen komersial yang bervariasi serta standardisasi yang
kurang baik. Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2 minggu
kemudian sehingga kenaikan 4 kali, terutama agglutinin O memiliki
nilai diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O
yang positif dapat berbeda dari >1/806 sampai >1/320 antar
laboratorium tergantung endemisitas demam tifoid di masyarakat
setempat dengan catatan 8 bulan terakhir tidak mendapat vaksinasi
atau baru sembuh dari demam tifoid. 5
Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak
mempunyai arti penting dan sebaiknya dihindari oleh karena beberapa
alasan, yaitu variablitas alat pemeriksaan, kesulitan memperoleh titer
dasar dengan kondisi stabil, paparan berulang S.typhi di daerah
endemis, reaksi silang terhadap nonSalmonella lain, dan kurangnya
kemampuan reprodusibilitas hasil pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan
serologi untuk aglutinin Salmonella seperti pemeriksaan Widal bahkan
tidak dianjurkan. 5
a. Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan diagnostik baru saat ini tersedia, seperti
Typhidot atau Tubex yang mendeteksi antibodi IgM antigen
spesifik O9 lipopolisakarida S. typhi. Dalam dua dekade ini,
pemeriksaan antibodi IgM dan IgG spesifik terhadap antigen S.

34
typhi berdasarkan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
berkembang. 5
Antigen dipisahkan dari berbagai struktur subselular
organisme antara lain: liposakarida (LPS), outer membrane protein
(OMP), flagella (d-H), dan kapsul (virulence [Vi] antigen). Telah
banyak penelitian yang membuktikan bahwa pemeriksaan ini
memiliki sensitivitas dan spesifisitas hampir 100% pada pasien
demam tifoid dengan biakan darah positif S. typhi. Pemeriksaan
antibodi IgM terhadap antigen O9 lipopolisakarida S.typhi (Tubex)
dan IgM terhadap S.typhi (Typhidot) memiliki sensitivitas dan
spesifitas berkisar 70% dan 80%. 5
Pemeriksaan serologi tersebut dapat dibaca secara visual
dalam waktu 10 menit dengan membandingkan warna akhir reaksi
terhadap skala warna dan nilai > 6 dianggap sebagai positif kuat.
Namun interpretasi hasil serologi yang positif harus dilakukan
secara hati-hati pada kasus tersangka demam tifoid di daerah
endemis karena IgM dapat bertahan sampai 3 bulan, sedangkan
IgG sampai 6 bulan. 5
b. Pemeriksaan Serologi dari Spesimen Urin
Pemeriksaan ELISA terhadap antibodi monoklonal spesifik
antigen 9 grup D Salmonella dari spesimen urin pada satu kali
pemeriksaan memiliki sensitivitas 65%, namun pemeriksaan urin
secara serial menunjukkan sensitivitas 95%. Pemeriksaan ELISA
menggunakan antibodi monoklonal terhadap antigen 9 somatik
(O9), antigen d flagella (d-H), dan antigen virulensi kapsul (Vi)
pada spesimen urin memiliki sensitivitas tertinggi pada akhir
minggu pertama, yaitu terhadap ketiga antigen Vi terdeteksi pada 9
kasus (100%), O9 pada 4 kasus (44%) dan d-H pada 4kasus (44%).
Spesifisitas untuk Vi lebih dari 90% sehingga deteksi antigen Vi
pada urin menjanjikan untuk menunjang diagnosis demam tifoid,
terutama dalam minggu pertama sejak timbulnya demam. 5
6. Tatalaksana

35
Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam
menangani demam tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian
antibiotik. Pemberian rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan
antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah bila ada
indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup
seorang anak penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak
lebih ringan dibanding orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam
tifoid anak tanpa komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah sakit dan
dengan pengobatan oral serta istirahat baring di rumah sudah cukup untuk
mengembalikan kondisi anak menjadi sehat dari penyakit tersebut. 5
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid
pada anak di negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi,
ketersediaan dan biaya. Berdasarkan ketiga faktor tersebut, kloramfenikol
masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan demam tifoid pada anak,
terutama di negara berkembang. 5
Kloramfenikol mempunyai beberapa kelebihan sebagai obat
demam tifoid yaitu efikasinya yang baik (demam turun rata-rata hari ke 4-
5 setelah pengobatan dimulai), mudah didapat dan harganya yang murah.
Dibandingkan dengan antibiotik yang lain, kloramfenikol dapat
menurunkan demam lebih cepat bila digunakan untuk pengobatan demam
tifoid. 5
Namun Kloramfenikol mempunyai kekurangan, yaitu
menyebabkan efek samping berupa anemia aplastik akibat supresi
sumsum tulang, menyebabkan agranulositosis, menginduksi terjadinya
leukemia. Kelemahan lain obat ini adalah tingginya angka relaps bila
diberikan sebagai terapi demam tifoid dan tidak bisa digunakan untuk
mengobati karier S. typhi. 5

36
BAB V

PEMBAHASAN

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam sederhana Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari
15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan
atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Kejang demam bisa disebabkan karena menurunnya kadar elektrolit darah,
glukosa, dan pada pasien ini elektrolit menurun dikarenakan muntahan yang
berulang dan tidak adanya asupan nutrisi yang masuk sehingga terjadilah kejang
demam. Gangguan kekurangan elektrolit yaitu hiponatremia dapat menjadikan
faktor timbulnya kejang demam pada kasus ini.Gangguan elekrolit disebabkan
karena muntahan yang berulang pada pasien yang terinfeksi salmonella typhii.
Muntahan timbul sebagai respon tubuh untuk menandakan adanya infeksi di
sistem saluran cerna.
Bahaya utama dari hiponatremia akut adalah pembengkakan sel otak dan
herniasi. Gejala neurologis yang serius, dapat menjadi jelas ketika hiponatremia
mencapai 120 mM. Mekanisme adaptif otak untuk mengubah osmolalitas
membantu menjelaskan kejadian ini. Ketika natrium serum menurun, akan terjadi

37
aksi yang melawan oedema cerebri oleh suatu proses adaptif yang dikenal dengan
”regulasi penurunan volume/ regulatory volume decrease”, dengan perpindahan
cairan dari interstisial ke cairan cerebrospinal dan kemudian ke sirkulasi sistemik.
Proses ini dijalankan oleh suatu tekanan hidrostatik. Setelah itu, untuk mencegah
terjadinya pembengkakan otak, elektrolit-elektrolit dalam sel otak dikeluarkan.
Restorasi parsial volume otak terjadi dalam ~ 3 jam (adaptasi cepat), dengan
ekstrusi elektrolit dari sel-sel otak berupa: natrium, kalium, dan klorida. Sebuah
mekanisme adaptasi selular kedua untuk perubahan osmolalitas merupakan jalan
keluar bagi zat osmolit organik (agen osmotik aktif) dari sel-sel otak, terutama
asam amino, yang hampir sepenuhnya tercapai setelah 48 jam (adaptasi lambat).
Osmolit organik ini, yang sebelumnya dikenal sebagai "idiogenic osmoles",
memainkan peranan penting dalam adaptasi seluler terhadap perubahan
osmolalitas kronis. Jika penurunan natrium serum lambat dan bertahap (≥ 48 jam),
pembengkakan otak dan gejala neurologis diminimalkan oleh proses adaptif ini,
bahkan jika pengurangan absolut natrium serum cukup besar. Pada hiponatremia
akut, penurunan natrium serum yang cepat dapat mengalahkan mekanisme
proteksi ini, dan menyebabkan pembengkakan otak dan berkembangnya gejala
neurologis.3
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah riwayat kejang demam
dalam keluarga, usia kurang dari 12 bulan, temperatur yang rendah saat kejang,
cepatnya kejang setelah demam. Pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab
dan komplikasi kejang demam yaitu dengan darah rutin, gula darah, elektrolit,
kalsium serum, urinalisis, biakan darah, urin, dan feses. Pemeriksaan EEG, LCS,
dan pencitraan (X-ray, MRI, CT Scan).
Terapi fase akut ;
1) Penderita dimiringkan, mencegah aspirasi ludah atau lendir dari mulut
2) Jalan nafas dijaga agar tetap terbuka
3) Bila perlu berikan oksigen
4) Fungsi vital, keadaan jantung, tekanan darah, kesadaran, diikuti seksama
5) Perhatikan kebutuhan dan keadaan cairan, kalori dan elektrolit
6) Suhu yang tinggi harus segera diturunkan:
 Kompres hangat, selimut dan pembungkus badan harus dibuka
 Pemberian obat penurun panas: asetaminofen atau antipiretik lainnya

38
Perlu rawat inap pada pasien dengan:
 Kejang demam komplek
 Hiperpireksia
 Usia < 6 bulan
 Kejang demam pertama
 Dijumpai kelainan neurologis.
Profilaksis intermiten, pada waktu demam. Obat rumatan intermiten
Diazepam oral atau rectum. (Dosis per oral 0,5 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis atau
Dosis per rectum 5 mg pada usia < 3 tahun; 10 mg pada usia > 3 tahun). Efek
samping: ataksia, mengantuk dan hipotoni.
Pada pasien mengalami kejang demam sederhana kejang karena
didapatkan demam tinggi sebelumnya, lamanya ± 30 detik , 1 kali dan tidak
berulang dalam 24 jam, seluruh tubuh kelojotan, selama kejang tidak sadar,
sebelum dan sesudah kejang langsung menangis, dan tidak memiliki riwayat
kejang demam.
Pada pasien belum dilakukan pemeriksaan elektrolit, GDS, imunologi
serum sehingga penyebab kejang belum diketahui. Pemeriksaan EEG, LCS, dan
pencitraan (X-ray, MRI, CT Scan) tidak diperlukan.
Penanganan awal yaitu pasien indikasi rawat inap. Penanganan dengan
koreksi keadaan cairan dan elektrolit Infus Ringer Laktat 15 tpm, , maintenence
kejang resiko berulang Diazepam 3 x 2 mg, simtomatis dan pencegahan berulang

39
kejang dengan Paracetamol syrup 3 x 1 cth. Edukasi tentang kejang, kemungkinan
kejang kembali, bila anak kejang dirumah sebaiknya : Tetap tenang dan tidak
panik Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher Bila tidak sadar
posisikan anak terlentang dengan posisi miring, agar bisa membersihkan
muntahan atau lendir di mulut dan hidung.  Ukur suhu, catat lama kejang dan
suhunya Berikan diazepam rektal selama kejang dan jangan berikan jika kejang
telah berhenti Bawa ke dokter jika kejang telah berulang/ terjadi lebih dari lima
menit.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Kania, N. Kejang Pada Anak. Disampaikan pada acara Siang Klinik

Penanganan Kejang Pada Anak di AMC Hospital Bandung, 12 Februari

2007.
2. Pusonegoro, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta:

Badan Penerbit IDAI. 2004.


3. Kemenkes RI. C-Change. Panduan sosialisasi tatalaksana diare balita.

AED. Jakarta: 2011


4. Unit Kerja Koordinasi Neurologi. Konsensus penatalaksanaan kejang

demam. Jakarta. 2006; IDAI


5. Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak.

Semarang: FK UNDIP. 2011


6. Staf Pengajar ilmu kesehatan anak FK UI. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan

Anak. Jakarta: Infomedika. 2007


7. Sudrajat. Gastroenterologi Anak. Jakarta: 2007. Sagung Seto
8. Depkes RI. Buku Saku. Pelayanan kesehatan anak di Rumah Sakit.

Pedoman bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten /

Kota. Jakarta : WHO Indonesia. 2008.

41

You might also like