You are on page 1of 33

I.

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 69 tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Alamat : Dusun Randusari 003 / 005 Banyubiru
Pekerjaan : Tukang Batu
Pendidikan : SD
Status : Menikah
No. RM : 116136-2016
Masuk RS : Minggu, 11 Desember 2016 Pukul 9.47
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien tanggal 13
Desember 2016, pukul 13:00 WIB
Keluhan utama : Pasien mengeluh nyeri di wajah sisi kanan sampai daerah
telinga.
Riwayat Penyakit Sekarang :
4 minggu SMRS pasien merasa gatal pada wajah sisi kanan. Rasa gatal
disertai rasa panas seperti disiram air cabai ,namun tidak mengganggu aktivitas
pasien. Rasa gatal pada wajah mencangkup daerah oftalmik,maksila dan
mandibula. Terjadi perubahan warna kulit menjadi kemerahan, kasar dan
kering perih saat disentuh. Pasien juga mengeluhkan demam saat dirasakan saat
timbul keluhan tersebut. Keluhan lain seperti nyeri kepala, nyeri berputar, mual
dan muntah disangkal. Keluhan nyeri otot, lemas dan nyeri sendi disangkal.
Pasien tidak mengalami kelumpuhan dan berbicara. Pada proses BAK dan
BAB pasien normal.
2 minggu SMRS pasien merasa nyeri di wajah sisi kanan, nyeri dirasakan
seperti tertusuk jarum dan disertai rasa kebas. Nyeri dirasakan terus menerus.
Intensitas rasa nyeri diukur dengan Numeric Rating Scale dengan nilai 5 yang
berarti nyeri sedang. Sedangkan kualitas nyeri diukur dengan Skor ID Pain,
pada pasien nilai Id Pain didapat 5 yang berarti nyeri neuropati (>2). Terjadi
perubahan warna kulit menjadi kehitaman serta terdapat darah yang kering dan
borok. Pada telinga pasien sebelah kanan juga keluar cairan putih kental dan
darah yang berbau busuk yang disertai penurunan pendengaran. Lalu pasien
dibawa ke mantri, kemudian diberikan obat amoksilin, paracetamol dan salep
acyclovir namun keluhan pasien juga tidak membaik.
Hari pertama masuk di Rumah Sakit pasien masih merasa nyeri tertusuk
pada wajah sebelah kanan dan disertai kebas dan mengalami penurunan
pendengaran. Pasien belum merasakan perbaikan pada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat trauma sebelumnya : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
- Riwayat batuk lama/kontak dengan penderita TBC : disangkal
- Riwayat Penyakit Serupa : disangkal
- Riwayat Penyakit Imunocompromise : disangkal
- Riwayat Penyakit Autoimun : disangkal
- Riwayat kejang : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat herpes zooster dikeluarga : disangkal
- Riwayat Penyakit Metabolik : disangkal
- Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Pribadi Sosial Ekonomi :
Pasien merupakan tukang batu. Pasien merokok sejak muda. Pasien tidak
minum alkohol. Pasien menyangkal adanya teman atau keluarga yang
mengalami penyakit seperti pasien.
Anamnesis Sistem :
1. Sistem Serebrospinal :
Nyeri kepala (-), muntah (-), pingsan (-), kelemahan anggota gerak (-),
perubahan tingkah laku (-), wajah merot (-), bicara pelo (-), kesemutan (-),
baal (+), BAB dan BAK dapat dikontrol.
2. Sistem Kardiovaskuler :
Riwayat hipertensi (+), riwayat sakit jantung (-), nyeri dada (-)
3. Sistem Respirasi :
Sesak napas (-), batuk (-), riwayat sesak napas (-)

2
4. Sistem Gastrointestinal :
Mual (-), muntah (-), BAB dapat dikontrol
5. Sistem Muskuloskeletal :
Kelemahan anggota gerak (-)
6. Sistem Integumen :
Predileksi : wajah sebelah kanan setinggi Os. Temporal sampai pipi dan
melebar sampai belakang telinga.
UKK : vesikel dan pustul bergerombol diatas dasar eritem, ukuran miliar,
bundar,dan lesi yang khas bersifat unilateral serta terdapat krusta diatasnya.
7. Sistem Urogenital :
BAK terkontrol
III. RESUME ANAMNESIS
Pasien laki - laki berusia 69 tahun merupakan pasien saraf dengan
keluhan nyeri tertusuk disertai sensasi kebas pada wajah sisi kanan . Pasien
juga mengeluhkan penurunan pendengaran pada telinga sebelah kanan sejak 2
minggu SMRS. Keluhan lain seperti demam, mual, muntah, pusing disangkal.
IV. DIAGNOSIS SEMENTARA
Diagnosis Klinis : Neuralgia, hipestesi pada wajah sisi kanan sub akut
Diagnosis Topis : N.Trigeminal (V), dan N.Vestibulocochlearis
(VIII)
Diagnosis Etiologi : Neuralgia Post Herpetikum
Diagnosis Banding :
1. Cluster headache
2. Glossopharingeal Neuralgia
3. Kelainan Temporomandibuler (Conten’s Sindrom)
4. Sinusitis
5. Migrain
6. Giant Cell Arteritis
7. Atypical Facial Pain
V. DISKUSI I
Dari anamnesa didapatkan pasien mengalami nyeri seperti tertusuk pada
wajah sisi kanan disertai rasa kebas. Keluhan pasien tersebut berlangsung

3
selama 2 minggu lebih yang menandakan bahwa perajalanan klinis penyakit
pasien adalah sub akut.
Rasa nyeri tertusuk atau Neuralgia seperti didefinisikan oleh
International Association for Study of Pain (IASP), adalah suatu pengalaman
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan,
baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan
tersebut. Dari definisi tersebut, nyeri terdiri atas dua komponen utama, yaitu
komponen sensorik (fisik) dan emosional (psikogenik). Nyeri bisa bervariasi
berdasarkan: waktu dan lamanya berlangsung (transien, intermiten, atau
persisten), intensitas (ringan, sedang dan berat), kualitas (tajam,tertusuk,
tumpul, dan terbakar), penjalarannya (superfisial, dalam, lokal atau difus).
Keluhan pada pasien disertai dengan penurunan pendengaran pada
telinga kanan. Pasien juga mengeluh cairan berwarna putih kental berbau busuk
yang keluar dari telinga kanan pasien.
Hal ini menandakan bahwa terdapat kelainan pada nervus trigeminal dan
nervus vestibulocochlearis karena penurunan impuls sensori akibat terjadinya
gangguan infamasi pada serabut saraf. Pasien juga mempunyai riwayat infeksi
sebelumnya yang mendukung terjadinya radang pada nervus trigeminal dan
vestibulocochlearis. Pada pasien tidak ditemukan parese atau kelumpuhan.
NEURALGIA POST HERPETIKUM
A. DEFINISI
Neuralgia post herpetik (PHN) merupakan komplikasi yang serius dari
herpes zooster yang sering terjadi pada orang tua. Neuralgia ini
dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri disetetik yang
bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan. Burgoon, 1957,
mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri yang menetap setelah
fase akut infeksi. Rogers, 1981, mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap
satu bulan setelah onset ruam herpes zoster. Tahun 1989, Rowbotham
mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau berulang setidaknya selama
tiga bulan setelah penyembuhan ruam herpes zoster. Dworkin, 1994,
mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri neuropatik yang
menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster).

4
Tahun 1999, Browsher mendefinisikan sebagai nyeri neuropatik yang
menetap atau timbul pada daerah herpes zoster lebih atau sama dengan tiga
bulan setelah onset ruam kulit. Dari berbagai definisi yang paling tersering
digunakan adalah definisi menurut Dworkin. Sesuai dengan definisi
sebelumnya maka The International Association for Study of Pain (IASP)
menggolongkan neuralgia post herpetika sebagai nyeri kronik yaitu nyeri yang
timbul setelah penyembuhan usai atau nyeri yang berlangsung lebih dari tiga
bulan tanpa adanya malignitas. 1,2,3
Neuralgia pascaherpetik (NPH) merupakan sindrom nyeri neuropatik yang
sangat mengganggu akibat infeksi Herpes zoster. NPH biasanya terjadi pada
populasi usia pertengahan dan usia lanjut serta menetap hingga bertahun-tahun
setelah penyembuhan erupsi (cacar). Sejumlah pendekatan dilakukan untuk
mengatasi nyeri akibat zoster, menghambat progresivitasnya menuju NPH dan
mengatasi NPH. Beberapa dari pendekatan ini terbukti efektif namun NPH
masih saja merupakan sumber rasa frustrasi bagi pasien dan dokter.
NPH umumnya didefinisikan sebagai nyeri yang timbul lebih dari 30 hari
setelah onset (gejala awal) erupsi zoster terjadi. Nyeri umumnya diekspresikan
sebagai sensasi terbakar (burning) atau tertusuk-tusuk (shooting) atau gatal
(itching), bahkan yang lebih berat lagi terjadi allodinia (rabaan atau hembusan
angin dirasakan sebagai nyeri) dan hiperalgesia (sensasi nyeri yang dirasakan
berlipat ganda). Pada pasien dengan NPH, biasanya terjadi perubahan fungsi
sensorik pada area yang terkena. Pada satu penelitian, hampir seluruh penderita
memiliki area erupsi yang sangat sensitif terhadap nyeri, dengan sensasi
abnormal terhadap sentuhan ringan, nyeri atau temperature pada area kulit yang
terkena. Nyeri umumnya dipresipitasi oleh gerakan (allodinia mekanik) atau
perubahan suhu (allodinia termal). Sementara pada penelitian lainnya
dinyatakan bahwa derajat defisit sensorik berhubungan dengan beratnya nyeri.
Selain itu, pasien dengan NPH lebih cenderung mengalami perubahan sensorik
dibanding penderita dengan zoster yang sembuh tanpa neuralgia.
Nyeri yang berhubungan dengan zoster akut dan neuralgia postherpetik
merupakan tipe nyeri neuropatik akibat kerusakan pada saraf tepi dan
perubahan proses signal sistem saraf pusat. Aktivasi simpatis (sistem saraf

5
otonom) yang intens pada area kulit yang terlibat merupakan akibat dari proses
inflamasi (peradangan) akut yang menyebabkan vasokonstriksi (penciutan
pembuluh darah), trombosis intravaskuler (penyumbatan pembuluh darah) dan
iskemia (kekurangan aliran darah) dari saraf tersebut. Pasca cedera saraf,
terjadi pelepasan impuls saraf tepi secara spontan, ambang aktivasi yang
rendah dan respon berlebih terhadap rangsangan. Pertumbuhan akson (serat
saraf) baru setelah cedera tersebut membentuk saraf baru yang justru memiliki
kecenderungan memprovokasi pelepasan impuls berlebih. Aktivitas perifer
(saraf tepi) yang berlebihan tersebut diduga sebagai pencetus perubahan sifat
saraf, sebagai akibatnya, terjadi respon sistem saraf pusat yang berlebihan
terhadap segala rangsang. Perubahan yang terjadi ini sangat kompleks sehingga
mungkin tidak dapat diatasi dengan satu jenis terapi saja.
B. KlASIFIKASI NYERI
Berikut adalah rasa nyeri yang dapat digunakan sebagai penanda suatu
penyakit:
1. Nyeri Nosiseptif: nyeri timbul sebagai akibat perangsangan pada
nosiseptor (serabut A-δ dan serabut C) oleh rangsang mekanik, termal,
kimiawi
2. Nyeri Somatik: nyeri timbul pada organ non-viseral, misal nyeri pasca
bedah, nyeri metastatic, nyeri tulang, dan nyeri artritik
3. Nyeri Somatic Superfisial: menimbulkan nyeri di kulit berupa rangsang
mekanis, suhu, kimiawi, listrik. Kulit punya banyak saraf sensorik
sehingga kerusakan kulit menimbulkan sensasi lesi nyeri yang akurat
(yang terbatas dermatom)
4. Nyeri Somatic Dalam: Nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum,
tulang, sendi, dan arteri. Struktur tadi memiliki lebih sedikit reseptor
sehingga lokasi nyeri sering tidak jelas.
5. Nyeri Viseral: nyeri berasal dari organ dalam, biasanya akibat distensi
organ berongga, misal usus, kandung empedu, pancreas, jantung. Nyeri
visceral sering kali diikuti referred pain dan sensasi otonom (mual,
muntah)

6
6. Nyeri Neuropatik: nyeri yang timbul akibat iritasi atau trauma pada saraf,
seringkali persisten, walaupun penyebabnya sudah tidak ada, nyeri dirasa
seperti terbakar, tersengat listrik, alodinia, disestesi.
7. Nyeri Psikogenik: nyeri yang tidak memenuhi criteria nyeri somatic, dan
nyeri neuropatik, dan memenuhi criteria untuk depresi atau kelainan
psikosomatik.

Nyeri Nyeri Nosiseptif Nyeri Somatik Somatik Superfisial (Kulit)


Somatik Dalam
Nyeri Viseral
Nyeri Non-Nosiseptif Nyeri Neuropatik
Nyeri Psikogenik
Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Durasi
1. Nyeri Akut: nyeri yang mereda setelah penyembuhan
2. Nyeri Kronik: nyeri yang tetap berlanjut walaupun di beri pengobatan
dan nyeri tidak memiliki makna biologic. Nyeri kronik merupakan
suatu sindrom kompleks yang memerlukan pendekatan multidisiplin
untuk penanganan

Sifat Nyeri Akut Nyeri Kronik


Awitan, Durasi Awitan mendadak; durasi Awitan bertahap; menetap, >6
singkat, <6 bulan bulan
Intensitas Sedang-parah Sedang-parah
Kausa Spesifik, dapat di identifikasi Kausa mungkin jelas, mungkin
secara biologis tidak
Respon fisiologik Hiperaktivitas autonom yang Aktivitas autonom normal
dapat diperkirakan: tekanan
darah, nadi, napas meningkat;
dilatasi pupil; pucat;
perspirasi; mual dan/atau
muntah
Respon emosi/perilaku Cemas, tidak mampu Depresi, lelah, imobilitas atau
konsentrasi, gelisah, distress, inaktivitas fisik; menarik diri dari
tapi tetap optimis nyeri akan lingkungan social; tidak ada
hilang harapan akan kesembuhan;
memperkirakan nyeri akan
berlangsung lama
Respon terhadap Meredakan nyeri secara Sering kurang dapat meredakan
analgesik efektif nyeri

7
Macam Nyeri yang lain

1. Nyeri Setempat: terjadi karena iritasi pada ujung saraf penghantar impuls
nyeri. Biasanya terus menerus atau hilang timbul (intermiten). Nyeri
bertambah pada sikap tertentu atau karena gerakan. Pada penekanan nyeri
dapat bertambah hebat atau diluar masa dapat ditimbulkan nyeri tekan
2. Referred Pain (nyeri pindah): nyeri yang dirasakan ditempat lain bukan di
tempat kerusakan jaringan penyebab nyeri. Misal pada infark miokard, nyeri
dirasa di bahu kiri; pada kolesistitis, nyeri dirasa di bahu kanan
3. Nyeri Radikular: serupa referred pain, tapi nyeri radikular berbatas tegas,
terbatas pada dermatomnya, sifat nyeri lebih keras dan terasa pada permukaan
tubuh. Nyeri timbul karena perangsangan pada radiks (baik tekanan, terjepit,
sentuhan, regangan, tarikan)
4. Nyeri akibat spasmus otot (pegal): terjadi ketika otot dalam keadaan tegang
(akibat kerja berat), keadaan tegang mental juga berperan terjadinya
ketegangan pada otot

Mekanisme Nyeri

Proses nyeri terjadi saat simuli nosiseptor oleh stimulus noxious (nyeri)
sampai terjadinya pengalaman subyektif nyeri adalah suatu seri kejadian elektrik
dan kimia. Selama proses tersebut terdapat 4 proses

 Transduksi: aktivasi reseptor, adanya stimulus nyeri yang mengakibatkan


stimulasi nosiseptor, disini stimulus noxious dirubah menjadi potensial aksi

 Transmisi: potensial aksi ditransmisikan menuju neuron susunan saraf pusat


yang berhubungan dengan nyeri. Tahap dimulai dari konduksi impuls dari
neuron aferen primer ke kornu dorsalis medulla spinalis, kemudian akan
bersinaps pada neuron susunan saraf pusat, lalu naik keatas menuju batang otak
dan thalamus. Selanjutnya terjadi hubungan timbal balik antara thalamus antara
pusat yang lebih tinggi di otak yang mengurusi respon persepsi dan afektif yang
berhubungan dengan nyeri. Tapi rangsangan nosiseptif tidak selalu
menimbulkan persepsi nyeri dan sebaliknya persepsi nyeri bisa terjadi tanpa
stimulasi nosiseptif

8
 Modulasi: sinyal yang mampu mempengaruhi proses nyeri tersebut, tempat
modulasi sinyal yaitu kornu dorsalis medulla spinalis

 Persepsi: pesan nyeri di relay menuju ke otak dan menghasilkan pengalaman yang
tidak menyenangkan

Skala Nyeri

a. Numeric Rating Scale (NRS)

NRS adalah skala sederhana yang digunakan secara linier dan umumnya
digunakan untuk mengukur intensitas nyeri dalam praktek klinis. NRS khas
menggunakan skala 11 point dimana titik akhirnya mewakili nyeri yang paling
ekstrim. NRS ditandai dengan garis angka nol sampai sepuluh dengan interval
yang sama dimana 0 menunjukkan tidak ada nyeri, 5 menunjukkan nyeri sedang,
dan 10 menunjukkan nyeri berat. (3,14)

NRS biasanya dijelaskan kepada pasien secara verbal, namun dapat disajikan
secara visual. Ketika disajikan secara visual, NRS dapat ditampilkan dalam
orientasi horizontal atau vertikal. Alat ini telah menunjukkan sensitivitas terhadap
pengobatan dalam intensitas nyeri dan berguna untuk membedakan intensitas
nyeri saat istirahat dan selama beraktivitas. NRS dapat digunakan untuk penelitian
analgesik yang sesuai untuk penilaian nyeri secara klinis. Bukti mendukung
validitas dan kemampuan dari alat NRS dapat digunakan pada pasien dewasa dan
tua. Penilaian nyeri terhadap pasien dengan gangguan kognitif ringan dan pada
lansia mungkin lebih baik menggunakan NRS yang mencakup angka yang lebih
besar dan kata isyarat. (1,11)
b. Skala Visual analog / Visual Analog Scale (VAS)
VAS adalah alat pengukuran intensitas nyeri efisien yang telah digunakan
secara luas dalam penelitian dan pengaturan klinis. Umumnya VAS merupakan
alat dengan garis 10 cm, orientasi biasanya disajikan secara horizontal, tapi
mungkin bisa disajikan secara vertikal, pada akhir poin dengan kata tidak nyeri
sampai pada nyeri paling hebat yang tidak terbayangkan. Pasien diinstruksikan
untuk menandai baris dengan pensil bergaris miring pada titik yang sesuai dengan
tingkat intensitas nyeri yang dirasakannya sekarang. Beberapa VAS yang
diproduksi seperti slide mistar, dimana gerakan garis tersebut diposisikan oleh

9
pasien sepanjang garis 100 ml itu. Pasien memberi tanda sepanjang dari garis
akhir diidentifikasi sebagai tidak nyeri kemudian diukur oleh pemeriksa dan
dicatat pada lembar penilaian dalam millimeter.(1,3)

c. Skor ID PAIN
Apakah nyei terasa seperti kesemutan?
• Ya (+1 poin)
• Tidak (0 poin)
2. Apakah nyeri terasa panas/membakar?
• Ya (+1 poin)
• Tidak (0 poin)
3. Apakah terasa baal/kebal?
• Ya (+1 poin)
• Tidak (0 poin)
4. Apakah nyeri bertambah hebat saat tersentuh?
• Ya (+1 poin)
• Tidak (0 poin)
5. Apakah nyeri hanya terasa di persendian/otot/geligi/lainnya?
• Ya (-1 poin)
• Tidak (0 poin)

10
Total Skor
Skor total minimum : -1
Skor total maksimum : 5
Jika skor anda >2, tanyakan pada dokter tentang kemungkinan anda menderita
nyeri neuropatik.
C. ETIOLOGI
Neuralgia post herpetik disebabkan oleh infeksi virus herpes zooster. Virus
varisella zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang
menginfeksi manusia. Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur
virus terdiri dari sebuah icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh
selubung lipid. Ditengahnya terdapat DNA untai ganda. Virus varisella zoster
memiliki diameter sekitar 180-200 nm. Herpes Zooster adalah infeksi virus
yang terjadi senantiasa pada anak-anak yang biasa disebut dengan varicella
(chicken pox). Tipe Virus yang bersifat patogen pada manusia adalah herpes
virus-3 (HHV-3), biasa juga disebut dengan varisella zoster virus (VZV). Virus
ini berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis
terutama nervus kranialis V(trigeminus) pada ganglion gasseri cabang oftalmik
dan vervus kranialis VII (fasialis) pada ganglion genikulatum. 4,5,6,7,8
Herpes zoster merupakan infeksi virus (yang sifatnya terlokalisir) dari
reaktivasi infeksi virus varicella-zoster endogen (telah ada sebelumnya dalam
tubuh seseorang). Virus ini bersifat laten pada saraf sensorik atau pada saraf-
saraf wajah dan kepala (saraf kranialis) setelah serangan varicella (cacar air)
sebelumnya. Reaktivasi virus sering terjadi setelah infeksi primer, namun bila
sistem kekebalan tubuh mampu meredamnya maka tidak nampak gejala klinis.
Sekitar 90% orang dewasa di Amerika Serikat pada pemeriksaan laboratorium
serologik (diambil dari darah) ditemukan bukti adanya infeksi varicella-zoster
sehingga menempatkan mereka pada kelompok resiko tinggi herpes zoster.
Angka insidens zoster dalam komunitas diperkirakan mencapai 1.2 hingga
3.4 per-1000 orang tiap tahunnya. Dari angka tersebut, diperkirakan insidennya
bisa mencapai lebih dari 500,000 kasus tiap tahun dan sekitar 9-24% pasien-
pasien ini akan mengalami NPH. Peningkatan usia nampaknya menjadi kunci
faktor resiko perkembangan herpes zoster, insidensnya pada lanjut usia (diatas

11
60-70 tahun) mencapai 10 kasus per-1000 orang pertahun, sementara NPH juga
mencapai 50% pada pasien-pasien ini dan mengalami nyeri yang
berkepanjangan (dalam hitungan bulan bahkan tahun). NPH sendiri
menimbulkan masalah baru akibat disability, depresi dan terisolasi secara
sosial serta menurunkan kualitas hidup.
D. PATOGENESIS
Infeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varisella atau cacar
air. Virus ini masuk ke tubuh melalui system respiratorik. Pada nasofaring,
virus varisella zoster bereplikasi dan menyebar melalui aliran darah sehingga
terjadi viremia dengan manifestasi lesi kulit yang tersebar di seluruh tubuh.
Periode inkubasi sekitar 14-16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer
dilalui, virus ini bersarang di ganglia akar dorsal, hidup secara dorman selama
bertahun-tahun. Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh
reaktivasi dari virus varisella zoster yang hidup secara dorman di ganglion.
Imunitas seluler berperan dalam pencegahan pemunculan klinis berulang virus
varicella zoster dengan mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler
terhadap virus dengan bertambahnya usia atau status imunokompromis
dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan di
sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan dan
telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini
bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga
hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama ‘Lipschutz
inclusion body’. Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses peradangan,
nekrosis hemoragik, dan hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer
dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat
menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis. Proses
perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.
Beberapa perubahan patologi yang dapat ditemukan pada infeksi virus
varisella zoster:
1. Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion sensorik di saraf
spinal atau saraf kranial sehingga terjadi nekrosis dengan atau tanpa tanda
perdarahan.

12
2. Reaksi inflamatorik pada akar spinal dan saraf perifer beserta ganglionnya.
3. Gambaran poliomielitis yang mirip dengan akut anterior poliomielitis, yang
dapat dibedakan dengan lokalisasi segmental, unilateral dan keterlibatan
‘dorsal horn’, akar dan ganglion.
4. Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada segmen spinal, kranial
dan akar saraf yang terlibat.
Virus herpes zooster kebanyakan memusnahkan sel-sel ganglion
yang berukuran besar. Yang tersisa adalah sel-sel berukuran kecil. Mereka
tergolong dalam serabut halus yang mengahantarkan impuls nyeri, yaitu
serabut A-delta dan C. Sehingga semua impuls yang masuk diterima oleh
serabut penghantar nyeri. Selain itu pada saraf perifer terjadi perlukaan
mengakibatkan saraf perifer tersebut memiliki ambang aktivasi yang lebih
rendah sehingga menimbulkan hyperesthesia yaitu respon sensitifitas yang
berlebihan terhadap stimulus. Hal ini menunjukkan adanya kelainan pada
proses transduksi. 1,2,4,11,17
Penghantaran nyeri pada proses transmisi juga mengalami
gangguan. Hal ini diakibatkan oleh hilangnya impuls yang disalurkan oleh
serabut tebal maka semua impuls yang masih bisa disalurkan kebanyakan
oleh serabut halus. Akibatnya sumasi temporal tidak terjadi, karena impuls
yang seharusnya dihantarkan melalui serabut tebal dihantarkan oleh serabut
halus. Karena sebagian besar dari serabut tebal sudah musnah, maka
mayoritas dari serabut terdiri dari serabut halus. Karena itu sumasi temporal
yang wajar hilang. 1,2,4,11,17
Dengan hilangnya sumasi temporal maka proses modulasi yang
terjadi pada kornu posterior tidak berjalan secara normal akibatnya tidak
terjadi proses antara sistem analgesilk endogen dengan asupan nyeri yang
masuk ke kornu posterior. Kornu posterior adalah pintu gerbang untuk
membuka dan menutup jalur penghantaran nyeri. Hal ini dapat
mengakibatkan munculnya gejala hyperalgesia.1,2,4,11,17
Maka dari itu impuls yang dipancarkan ke inti thalamus semuanya
tiba kira-kira pada waktu yang sama dan hampir semuanya telah dihantarkan
oleh serabut halus yang merupakan serabut penghantar impuls nyeri.

13
Kedatangan impuls yang serentak dalam jumlah yang besar dipersepsikan
sebagai nyeri hebat yang sesuai dengan sifat neuralgia. Sesuai dengan tipe
pada penghantaran serabut saraf masing-masing, yaitu serabut saraf tipe A
membawa nyeri tajam, tusuk dan selintas sedangkan serabut saraf tipe C
membawa nyeri lambat dengan rasa terbakar dan berkepanjangan. Hal ini
mengakibatkan timbulnya allodinia, yaitu nyeri yang disebabkan oleh
stimulus normal (secara normal semestinya tidak menimbulkan
nyeri).1,2,4,11,17
Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan
neuralgia paska herpetika ditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan pada
pasien yang mengalami herpes zoster tetapi tidak mengalami neuralgia
paska herpetika tidak ditemukan atrofi kornu dorsalis.
E. EPIDEMIOLOGI
Kebanyakan data insidensi herpes zoster dan neuralgia paska herpertika
didapatkan dari data Eropa dan Amerika Serikat. Insedensi dari herpes zoster
pada negara-negara tersebut bervariasi dari 1.3 sampai 4.8/1000 pasien/tahun,
dan data ini meningkat dua sampai empat kali lebih banyak pada individu
dengan usia lebih dari 60 tahun. Data lain menyatakan pada penderita
imunokompeten yang berusia dibawah 20 tahun dilaporkan 0.4-1.6 kasus per
1000; sedangkan untuk usia di atas 80 tahun dilaporkan 4.5-11 kasus per 1000.
Pada penderita imunidefisiensi (HIV) atau anak-anak dengan leukimia
dilaporkan 50-100 kali lebih banyak dibandingkan kelompok sehat usia sama.
Penelitian Choo 1997 melaporkan prevalensi terjadinya neuralgia paska
herpetika setelah onset ruam herpes zoster sejumlah 8 kasus/100 pasien dan 60
hari setelah onset sekitar 4.5 kasus/100 pasien. Sehingga berdasarkan penelitia
Choo, diperkirakan angka terjadi neuralgia paska herpetika sekitar 80.000
kasus pada 30 hari dan 45.000 kasus pada 60 hari per 1 juta kasus herpes zoster
di Amerika Serikat per tahunnya.
Sedangkan belum didapatkan angka insidensi Asia Australia dan Amerika
Selatan, tetapi presentasi klinis dan epidemiologi herpes zoster di Asia,
Australia dan Amerika Selatan mempunyai pola yang sama dengan data dari
Eropa dan Amerika Serikat. Pada herpes zoster akut hampir 100% pasien

14
mengalami nyeri, dan pada 10-70%nya mengalamia neuralgia paska herpetika.
Nyeri lebih dari 1 tahun pada penderita berusia lebih dari 70 tahun dilaporkan
mencapai 48%.
Beberapa faktor resiko terjadinya neuralgia paska herpetika adalah
meningkatnya usia, nyeri yang hebat pada fase akut herpes zoster dan beratnya
ruam HZ. Dikatakan bahwa ruam berat yang terjadi dalam 3 hari setelah onset
herpes zoster, 72% penderitanya mengalami neuralgia paska herpetika. Faktor
resiko lain yang mempunyai peranan pula dalam menimbulkan neuralgia paska
herpetika adalah gangguan sistem kekebalan tubuh, pasien dengan penyakit
keganasan (leukimia, limfoma), lama terjadinya ruam.
F. FAKTOR RESIKO
Beberapa faktor resiko terjadinya neuralgia paska herpetika adalah
meningkatnya usia, nyeri yang hebat pada fase akut herpes zoster dan beratnya
ruam HZ. Dikatakan bahwa ruam berat yang terjadi dalam 3 hari setelah onset
herpes zoster, 72% penderitanya mengalami neuralgia paska herpetika. Faktor
resiko lain yang mempunyai peranan pula dalam menimbulkan neuralgia paska
herpetika adalah gangguan sistem kekebalan tubuh, pasien dengan penyakit
keganasan (leukimia, limfoma), lama terjadinya ruam.
G. MANIFESTASI KLINIS
Tanda khas dari herpes zooster pada fase prodromal adalah nyeri dan
parasthesia pada daerah dermatom yang terkena. Dworkin membagi neuralgia
post herpetik ke dalam tiga fase: 1. Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/
menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung < 4 minggu, 2. Fase subakut: fase
nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan, 3. Neuralgia
post herpetik: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau 3
bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster. 1,3
Pada umumnya penderita dengan herpes zoster berkunjung ke dokter ahli
penyakit kulit oleh karena terdapatnya gelembung – gelembung herpesnya.
Keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah
tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi
makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan
cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai

15
intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan saja
menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari
dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit
biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan
waktu sampai berminggu-minggu.1,6
Penyakit ini dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik
yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil
hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat
mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri
ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang
pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum
timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri
seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi),
hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau
nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara
lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak
tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang
berulang. 1
Pada masa gelembung – gelembung herpes menjadi kering, orang sakit
mulai menderita karena nyeri hebat yang yang dirasakan pada daerah kulit yang
terkena. Nyeri hebat itu bersifat neuralgik. Di mana nyeri ini sangat panas dan
tajam, sifat nyeri neuralgik ini menyerupai nyeri neuralgik idiopatik, terutama
dalam hal serangannya yaitu tiap serangan muncul secara tiba – tiba dan tiap
serangan terdiri dari sekelompok serangan – serangan kecil dan besar. Orang
sakit dengan keluhan sakit kepala di belakang atau di atas telinga dan tidak
enak badan. Tetapi bila penderita datang sebelum gelembung – gelembung
herpes timbul, untuk meramalkan bahwa nanti akan muncul herpes adalah sulit
sekali. Bedanya dengan neuralgia trigeminus idiopatik ialah adanya gejala
defisit sensorik. Dan fenomena paradoksal inilah yang menjadi ciri khas dari
neuralgia post herpatik, yaitu anestesia pada tempat – tempat bekas herpes
tetapi pada timbulnya serangan neuralgia, justru tempat –tempat bekas herpes
yang anestetik itu yang dirasakan sebagai tempat yang paling nyeri. Neuralgia

16
post herpatik sering terjadi di wajah dan kepala. Jika terdapat di dahi
dinamakan neuralgia postherpatikum oftalmikum dan yang di daun telinga
neuralgia postherpatikum otikum. 6,28
Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala
prodromal rasa terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit
sesuai dengan dermatom yang terkena. Biasanya keluhan penderita disertai
dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian,
setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral
mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi
vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan
sampai berat sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu
mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi
akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya
untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu.
Intensitas dan durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat
dikurangi dengan pemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan
famciclovir atau valacyclovir. Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika
adalah penyakit yang dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan
sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil
hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat
mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri
ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang
pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum
timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri
seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi),
hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau
nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara
lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak
tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang
berulang.

17
H. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dari gejala lesi N. Trigeminal (terdapat defisit
sensorik ) disertai dari gejala infeksi (yang mendahului atau menyertai berupa
demam, kelainan kulit berupa kelainan kulit bergelembung dan terdapat cairan
didalamnya, bergerombol diatas dasar ukuran kecil dan terdapat keropeng yang
khas terdapat diatasnya ) ditambah dengan penurunan pendengaran yang
berarti menunjukkan gangguan N. Vestibulocochlearis.
Diagnosis Banding :Ramsey Hunt Syndrome
RAMSEY HUNT SYNDROME
A. DEFINISI
Menurut James Ramsay Hunt (1907) yang dikutip dari Colemon,1 SRH
adalah suatu sindrom yang terdiri dari otalgia, vesikel pada aurikula dan parese
nervus fasialis perifer.1 Definisi lain dari SRH adalah suatu parese nervus VII
perifer yang disertai dengan eritem vesikuler pada telinga dan mulut.2
B. ETIOLOGI
Penyebab SRH adalah virus varisela zoster yang merupakan jenis virus
neurotropik. Virus ini termasuk dalam anggota family dari Herpesviridae dan
penyebab utama dari penyakit cacar air. Penyakit cacar air biasanya dapat
sembuh sempurna tanpa sequele, namun virus tetap dapat mengalami masa
dormansi di neuron. SRH terjadi akibat reaktivasi dari infeksi virus varisela
zoster sebelumnya.6,7 Pada tahap awal virus varisela zoster masuk ke dalam
tubuh melalui saluran nafas atas dan mukosa konjungtiva, kemudian bereplikasi
pada kelenjar limfe regional dan tonsil. Virus kemudian menyebar melalui
aliran darah dan berkembang biak di organ dalam. 8

C. PATOFISIOLOGI
Fokus replikasi virus terdapat pada sistem retikuloendotelial hati, limpa dan
organ lain. Pada saat titer tinggi, virus dilepaskan kembali ke aliran darah
(viremia kedua) dan membentuk vesikel pada kulit dan mukosa saluran nafas
atas. Kemudian berkembang dan menyebar melalui saraf sensoris dari jaringan
kutaneus, menetap pada ganglion serebrospinalis dan ganglion saraf kranial.

18
Parese nervus VII timbul akibat reaktivasi virus varisela zoster yang menetap
pada ganglion genikulatum dan proses ini disebut dengan ganglionitis.
Ganglionitis menekan selubung jaringan saraf, sehingga menimbulkan
gejala pada nervus VII. Peradangan dapat meluas sampai ke foramen
stilomastoid.7 Gejala kelainan nervus VIII yang juga dapat timbul akibat infeksi
pada ganglion yang terdapat di telinga dalam atau penyebaran proses
peradangan dari nervus VII. 7,8
D. GEJALA
Penyakit ini didahului dengan gejala prodormal berupa nyeri kepala, nyeri
telinga, lesu, demam, sakit kepala, mual dan muntah. Lesi terdapat di telinga
luar dan sekitarnya, kelainan berupa vesikel berkelompok di atas daerah yang
eritema, edema dan disertai rasa nyeri seperti terbakar pada telinga dan kulit
sekitarnya (nyeri radikuler). 9
E. DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang THT-KL. Pemeriksaan
fungsi nervus VII diperlukan untuk menentukan letak lesi, beratnya
kelumpuhan dan evaluasi pengobatan. Pemeriksaan meliputi fungsi motorik
otot wajah, tonus otot wajah, ada tidaknya sinkinesis atau hemispasme,
gustatometri dan tes Schimer.5
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan audiometri nada murni,
timpanometri, Brainsteam Evoked Response Audiometry (BERA) dan tes
elektronistagmografi (ENG). Diagnosis pasti ditegakkan dengan mengisolasi
virus, deteksi antigen spesifik untuk virus varisela zoster atau dengan hibridasi
DNA virus.5
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan SRH dapat dilakukan dengan konservatif dan operatif.
Obat yang biasa diberikan adalah kortikosteroid dan anti virus. Bila parese
menetap lebih dari 60 hari tanpa tanda-tanda perbaikan, tindakan dekompresi
harus dilakukan. Dekompresi dilakukan pada segmen horizontal dan ganglion
genikulatum.4,10 Prognosis SRH tergantung derajat kerusakan. Jika kerusakan
saraf ringan maka diharapkan penyembuhan terjadi beberapa minggu. Jika
kerusakan saraf berat maka terjadi penyembuhan dalam beberapa bulan.9,11

19
VI. PEMERIKSAAN FISIK
1. Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 13 Desember 2016, pukul 13:30 WIB.
a. Keadaan Umum : Tampak Baik
b. Kesadaran : Compos mentis
c. GCS : E4M6V5
d. Vital sign
 TD : 150/89 mmHg
 Nadi : 78 x /menit, irama regular, isi dan tegangan cukup
 RR : 21 x/menit
 Suhu : 360 C secara aksiler
e. Status Internus
 Kepala : Mesocephal
 Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor (3mm/3mm), reflek pupil direk (+/+), reflek pupil indirek (+/+)
 Telinga : Sekret (-/-), ulkus (+/-) pada tragus, nyeri tekan tragus (+/+)
Tes Rine (+/+)
Tes Weber (+/+)
Tes Swabach (-/+)
 Hidung : Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), septum
deviasi (-/-)
 Mulut : Bibir sianosis (-), karies dentis (-)
 Leher : Simetris, pembesaran KGB (-), tiroid (Normal)
 Thorax :
Cor :
Inspeksi : Tampak ictus cordis
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC IV LMCS
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I & II (+) normal, bising (-), gallop
(-)

Pulmo :

20
Depan Dextra Sinistra
Inspeksi Pergerakan simetris, Pergerakan simetris,
retraksi (-) retraksi (-)
Palpasi Vokal fremitus normal Vokal fremitus normal
kanan = kiri kanan = kiri
Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
SD paru vesikuler (+),
Auskultasi SD paru vesikuler (+), suara tambahan paru:
suara tambahan paru: wheezing (-), ronki basah
wheezing (-), ronki basah (+)
(+)

 Abdomen :
Inspeksi : Dinding abdomen datar, spider naevi (-), warna kulit
sama dengan warna kulit sekitar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen, ascites (-)
Palpasi : Hepar & lien tak teraba
 Ekstremitas :
Atas : Oedem (-/-), CRT (<2 dtk), Akral dingin (-/-)
Bawah : Oedem (-/-), CRT(< 2 dtk), Akral dingin (-/-)
f. Status Neurologis
 Sikap Tubuh : Simetris
 Gerakan Abnormal :
Tremor : (-)
Athehose : (-)
Mioklonik : (-)
Chorea : (-)
 Koordinasi, gait dan keseimbangan
Cara berjalan : Normal
Tes Romberg : (-)
Tes Tandem Walking : (-)

21
Tes Kalori : (-)
Manuver Hallpick : (-)
Past Pointing test : (-)
Disdiadokinesia : Normal
Ataksia : tidak dilakukan
Finger to nose test : Normal
Finger to finger test : Normal
 Rangsang Meningeal :
Kaku kuduk : (-)
Kernig sign : (-)
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (-)
Brudzinsky III : (-)
Brudzinsky IV : (-)
 Pemeriksaan Saraf Kranial
Nervus Pemeriksaan Kanan Kiri
N. I. Olfaktorius Daya penghidu N N
N. II. Optikus Daya penglihatan N N
Pengenalan warna N N
Lapang pandang N N
N. III. Ptosis - -
Okulomotor Gerakan mata ke medial N N
Gerakan mata ke atas N N
Gerakan mata ke bawah N N
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil Bulat Bulat
Refleks cahaya langsung + +
Refleks cahaya konsensual + +
N. IV. Troklearis Strabismus divergen - -
Gerakan mata ke lat-bawah - -
Strabismus konvergen - -

22
N. V. Trigeminus Menggigit - -
Membuka mulut - -
Sensibilitas muka
Nyeri
 Ophtalmica N N
 Maksila N N
 Mandibula N N
Raba
 Opthtalmica Menurun N

 Maksila Menurun N

 Mandibula Menurun N

Refleks kornea N N
Trismus - -
N. VI. Abdusen Gerakan mata ke lateral N N
Strabismus konvergen - -
N. VII. Fasialis Kedipan mata N N
Lipatan nasolabial Simetris Simetris
Sudut mulut Simetris Simetris
Mengerutkan dahi Simetris Simetris
Menutup mata N N
Meringis N N
Menggembungkan pipi N N
Daya kecap lidah 2/3 ant + +
N. VIII. Mendengar suara bisik Menurun +
Vestibulokoklearis Mendengar bunyi gesekan - +
Tes Rinne (AC&BC) N N
Tes Schwabach (BC&BC) Menurun N
Tes Weber (Lateralisasi) N N
N. IX. Arkus faring Simetris Simetris
Glosofaringeus Daya kecap lidah 1/3 post N
Refleks muntah N

23
Sengau -
Tersedak -
N. X. Vagus Denyut nadi 78 x/menit
Arkus faring Simetris Simetris
Bersuara N
Menelan N
N. XI. Aksesorius Memalingkan kepala N N
Sikap bahu N N
Mengangkat bahu N N
Trofi otot bahu Eutrofi Eutrofi
N. XII. Sikap lidah N
Hipoglossus Artikulasi N
Tremor lidah -
Menjulurkan lidah Simetris
Trofi otot lidah -
Fasikulasi lidah -

 Pemeriksaan Motorik

B B 5555 5555 N N Eu Eu
G K Tn Tr
B B 5555 5555 N N Eu Eu
+ + - - +
RF RP Cl
+ + - - +

 Pemeriksaan Sensibilitas
Ditemukan parahipestesi pada wajah sisi kanan (meliputi bagian N.
Trigeminal, dan N. Vestibulocochlearis).

24
 Pemeriksaan Fungsi Vegetatif :
Miksi : inkontinentia urine (-), retensio urine (-), anuria (-)
Defekasi : inkontinentia alvi (-), retensio alvi (-)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboraturium 13 Desember 2016
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan
Hemoglobin 15,0 11,7 - 16,5 g/dl
Leukosit 8,7 3,6-11,0 Ribu
Eritrosit 4,88 4,5-5,8 Juta
Hematokrit 44,2 37-47 %
Trombosit 297 150-400 Ribu
MCV 91,8 82-95 fL
MCH 30,7 >27 Pg
MCHC 33,4 32-37 g/dl
RDW 12,8 10-16 %

25
MPV 7,8 7-11 mikro m3
Limfosit 0,8 1,0-4,5 103/mikro m3
Monosit 0,1 L 0,2-1,0 103/mikro m3
%
Monosit % 0,6 L 2-8
Eosinofil 0,2 H 0,04-0,8 103/mikro m3
SGOT 21 L 0 – 50 U/L
SGPT 15 0 – 50 IU/L
Glukosa Puasa 87 82-115 mg/dL
Glukosa 2 jam PP 115 <120 mg/dL
Kreatinin
HDL 1.03 0,62-1,1 mg/dL
LDL 158 H <150 mg/dL
Asam Urat 6,70 2-7 mg/dL
Cholesterol 217 <200 mg/dL

VI. RESUME
Pasien laki – laki 69 tahun, dengan keluhan nyeri pada wajah sisi kanan
pasien yang diawali dengan timbulnya herpes zoster. Nyeri dirasakan seperti
tertusuk dengan sensasi yang terbakar . Sebelumnya pasien mengalami herpes
zoster sejak 4 minggu SMRS. Pada saat terkena herpes mulanya pasien hanya
mengeluhkan gatal demam saat malam hari selama dua hari sejak timbulnya
herpes.
Sejak 2 minggu SMRS pasien baru mulai merasakan nyeri pada wajah
sebelah kanan dari daerah ophtalmik sampai dengan mandibula. Keluhan lain
yang timbul yaitu gangguan penurunan pendengaran telinga kanan disertai
dengan keluarnya cairan putih dari telinga yang berbau busuk. Pada pasien
gejala penyerta seperti pusing mual dan muntah disangkal.
Dari pemeriksaan fisik pada hari ke-3 pasien dirawat didapatkan
kesadaran pasien E4 M6 V5 yang menunjukkan bahwa pasien compos mentis.
Tekanan darah pasien 150/89 mmHg. Nadi 78x/menit, irama regular, isi dan
tegangan cukup , laju napas 21 x/menit, suhu 360C secara aksiler.

26
Pemeriksaan nervus cranialis pada N.Trigeminal didapatkan hipestesi
pada wajah sisi kanan dari temporal sampai mandibula. Pemeriksaan pada
N.Vestibulocochlearis didapatkan tes swabach ( - / + ) menurun pada
pemeriksaan telinga kanan. Pemeriksaan pada telinga bgian luar juga
ditemukan ulkus, erosi kulit,dan krusta.
DIAGNOSIS AKHIR
Diagnosis Klinis : Hemifacial Allodenia Dextra
Diagnosis Topis : N.V, dan N.VIII
Diagnosis Etiologi : Neuropati et causa Neuralgia Post Herpetikum
DISKUSI II
Pasien didiagnosa dengan Neuralgia Post Herpetikum berdasarkan
anamnesa dan pemeriksaan fisik yang telah dikemukakan sebelumnya. Pada
anamnesa pasien didapat onset dari keluhan pasien mengalami herpes zooster
sejak 4 minggu SMRS. 2 minggu SMRS mengalami nyeri pada wajah bagian
kanan gangguan sensibilitas. Pasien juga mengeluhkan penurunan
pendengaran pada telinga sebelah kanan disertai keluar cairan putih kental
berbau busuk. Kurun waktu 2 minggu merupakan tanda bahwa penyakit
tersebut subakut.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hipestesi pada wajah bagian oftalmik,
mandibula, dan maksila yang berarti terdapat lesi pada N. Trigeminal. Pada
pemeriksaan pendengaran juga didapat hasil tes swabach memendek yang
berrti terjadi tuli sensorineural akibat lesi pada N. Vestibulocochlearis.
Adanya gangguan sensoris pada N. Trigeminal dan
N.Vestibulocochlearis dapat menunjukkan kecurigaan inflamasi pada serabut
saraf tersebut. Diperkuat dengan adanya infeksi herpes 4 minggu sebelum
masuk rumah sakit.
VII. PENATALAKSANAAN
Farmakologi
 Injeksi Ketorolac 2 x1 amp
 Injeksi Ranitidin 2x1
 Injeksi Meticobalamin 1 x 1
 Captopril 12,5mg x 3

27
 Amitripilin 2x 1/2
 Carbamazepin 2x 1/2
Non Farmakologi
 Rawat Inap
 Bedrest
VIII. PROGNOSIS
1. Death : dubia ad bonam
2. Disease : dubia ad bonam
3. Disability : dubia ad bonam
4. Discomfort : dubia ad bonam
5. Dissatisfaction : dubia ad bonam
6. Distitution : dubia ad bonam
IX. DISKUSI III
Injeksi Ketorolac 2 x1 amp
Ketorolac termasuk golongan obat antiinflamasi non steroid
(NSAID), obat ini untuk penggunaan jangka pendek (tidak lebih dari 5 hari).
Ketorolac adalah derivat dari pyrrolo-pyrole pada kelompok NSAID dengan
nama kimianya (+)– 5–benzoyl-2,3-dihydro-1H-pyrrolizine-1-carboxylic
acid, yang merupakan gabungan dari 2-amino-2-(hydroxymethyl)-1,3-
propanediol.
Absorbsinya terjadi di usus dengan bioavalaibilitasnya pada
pemberian oral, intramuskular dan intravena bolus 100%. Konsentrasi
puncak pemberian oral akan tercapai dalam waktu 45 menit, pemberian
intramuskular 30–45 menit dan intravena bolus 1–3 menit. Obat ini 99%
berikatan dengan protein plasma.
Konsentrasi di plasma akan berkurang setelah 6 jam11,12,80,81.
Ketorolac mengalami metabolisme di hepar dan metabolitnya diekskresikan
melalui urin (91,4%) dan feses (6,1%). Ketorolac tidak mempengaruhi
hemodinamik pasien. Ketorolac tidak menstimulasi reseptor
opioid sehingga tidak menimbulkan efek depresi pernafasan, sedatif dan
euforia
Injeksi Ranitidin 2 × 1 ampul

28
Ranitidin adalah anatagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi
asam lambung. Pada pemberian i.m./i.v. kadar dalam serum yang diperlukan
untuk menghambat 50% perangsangan sekresi asam lambung adalah 36–94
mg/mL. Kadar tersebut bertahan selama 6–8jam . Ranitidine diabsorpsi 50%
setelah pemberian oral. Konsentrasi puncak plasma dicapai 2–3 jam setelah
pemberian dosis 150 mg. Absorpsi tidak dipengaruhi secara nyata oleh
makanan dan antasida. Waktu paruh 2 ½–3 jam pada pemberian oral,
Ranitidine diekskresi melalui urin.
Injeksi Metilkobalamin 1 x 1
Mecobalamin merupakan bentuk vitamin B12 dengan gugus metil
aktif yang berperan dalam reaksi transmetilasi dan merupakan bentuk paling
aktif dibandingkan dengan homolog vitamin B12 lainnya dalam tubuh,
dalam hal kaitannya dengan metabolisme asam nukleat, protein dan lemak.
Mecobalamin/methylcobalamin meningkatkan metabolisme asam
nukleat, protein dan lemak. Mecobalamin bekerja sebagai koenzim dalam
sintesa metionin. Mecobalamin terlibat dalam sintesis timidin pada
deoksiuridin dan mempercepat sintesis DNA dan RNA. Pada penelitian lain
ditemukan mecobalamin mempercepat sintesis lesitin, suatu komponen
utama dari selubung mielin. Mecobalamin diperlukan untuk kerja normal
sel saraf. Bersama asam folat dan vitamin B6, mecobalamin bekerja
menurunkan kadar homosistein dalam darah. Homosistein adalah suatu
senyawa dalam darah yang diperkirakan berperan dalam penyakit jantung.
Captopril 12,5mg x 3
Captopril merupakan obat antihipertensi dan efekif dalam
penanganan gagal jantung dan merupakan golongan Angiotensin
Converting Enzyme" (ACE) Inhibitor. Captopril memiliki efek samping bila
dikonsumsi dalam jangka waktu yang terlalu lama ataupun dikonsumsi oleh
penderita dengan gangguan penyakit lainnya yaitu captopril menimbulkan
proteinuria lebih dari 1 g sehari pada 0,5% penderita dan pada 1,2%
penderita dengan penyakit ginjal. Efek samping ini terutama terjadi pada
penderita dengan gangguan fungsi ginjal. Captopril tersedia dalam kemasan
tablet 12,5 mg, 25 mg, dan 50 mg. Captopril tersedia sebagai obat generik

29
maupun paten. Untuk pengobatan hipertensi, captopril diberikan dalam
dosis 25 mg sebanyak 2-3 kali per hari. Dosis dapat ditingkatkan sesuai
dengan respon pengobatan. Dosis untuk hipertensi grade I biasanya 2-3 kali
25-50 mg, sendangkan untuk hipertensi grade II ialah 2-3 kali 50-100 mg.
Captopril juga biasa dikombinasikan dengna obat hipertensi lainnya untuk
mencapai goal terapi. Dosis maksimum yang masih diperbolehkan ialah 450
mg per hari.
Amitripilin 2 x ½
Amitriptilin merupakan derivate dibenzosikloheptadin yang
merupakan antidepresi trisiklik karena struktur kimianya. Golongan obat ini
bekerja dengan menghambat ambilan kembalineurotransmitter di otak.
Antidepresan trisiklik lebih baik dibanding senyawa penghambat
monoaminoksidase dan menimbulkan efek samping yang lebih rendah. Efek
samping tersebut antara lain adalahmulut kering, mata kabur, konstipasi,
takikardia dan hipotensi. Amitriptilin diabsorpsi secara cepat di saluran
cerna walau tidak sempurna (50%). Kadar plasma puncak terjadi pada 0,5-
1 jam setelah pemberian per oral. Dengan waktu paruh 16 jam. Pemberian
dosisadalah 100-200 mg/hari
Carbamazepin 2 x ½
Carbamazepine (CBZ) adalah antikonvulsan digunakan terutama
dalam pengobatan epilepsi dan gangguan bipolar, serta neuralgia trigeminal.
Tiap pasien bisa membutuhkan carbamazepine dengan takaran yang
berbeda-beda. Penambahan atau pengurangan dosis umumnya akan
dilakukan secara perlahan-lahan oleh dokter sesuai dengan respons tubuh
pasien terhadap obat.
Mekanisme Obat
Mekanisme kerja carbamazepine tampaknya mirip dengan
phenytoin. Seperti phenytoin, carbamazepine menunjukan aktivitas
terhadap seizure MES. Studi-studi permeabilitas membran menunjukan
bahwa carbamazepine, seperti halnya phenytoin, menyakat kanal ion
natrium teraupetik dan menyakat aktifitas berulang dengan frekuensi tinggi
pada kultur neuron. Obat ini juga bekerja secara prasinaptik. Efek-efek ini

30
kemungkinan besar menentukan kerja antikonvulsan dari carbamazepine.
Studi peningkatan menunjukan bahwa carbamazepine mengadakan
interaksi dengan reseptor adenosine, tetapi makna fungsional dari
pengamatan ini belum diketahui. Carbamazepine juga menghambat dan rilis
norepnephrine dari sinaptosom otak tetapi tidak mempengaruhi ambilan
GABA dalam potong-potongan otak (brain slices). Bukti terbaru
menunjukkan bahwa kerja pascaasinaptik dari GABA dapat diperkuat oleh
carbamazepine (Bertram, 2002).
Untuk mengatasi nyeri neuralgia trigeminal, dosis carbamazepine
yang dianjurkan untuk dewasa adalah 200-800 mg per hari hingga rasa sakit
hilang. Dosis maksimal per hari untuk obat ini adalah 1200 mg.
Karbamazepin merupakan antikonvulsan kuat yang berkhasiat sebagai
antiepileptik, psikotropik dan analgesik spesifik. Disamping itu senyawa ini
juga menunjukkan efek analgesik selektif, misalnya pada tabes dorsalis dan
neuropati lainnya yang sukar diatasi oleh analgesik biasa. Carbamazepine
oral hampir sepenuhnya diserap dari saluran pencernaan.
Gentamisin salep 0,1 2 x 1 pemakaian luar
Gentamisin salep digunakan untuk pengobatan infeksi kulit primer
maupun sekunder seperti impetigo kontagiosa, ektima, furunkulosis.
pioderma, psoriasis dan macam-macam dermatitis lainnya.
Gentamisina merupakan suatu antibiotika golongan aminoglikosida
yang efektif untuk menghambat kuman-kuman penyebab infeksi kulit
primer maupun sekunder seperti Staphylococcus yang menghasilkan
penisilinase, Pseudomonas aeruginosa dan lain-lain.

31
X. FOLLOW UP
Hari S O A P
11/12/2016 Nyeri pada KU : Baik Neuralgia Injeksi ketorolac 2 x1 amp
Hari – 1 wajah sisi GCS : E4V5M6 Post Injeksi ranitidin 2 x 1,
kanan TD : 150/92 mmHg Herpetikum Injeksi metilkobalamin 1 x 1
disertai rasa N : 88X/ menit Captopril 12,5mg x 3 peroral
kebas RR: 18 x/menit Amitripilin 2 x ½ peroral
T : 36,5oC Carbamazepin 2 x ½ peroral
Hipestesi wajah sisi kanan Lab :
(ophtalmica,maksila,mandibu - Darah Lengkap
la) - Kimia Klinik
- Serologi HbsAg
12/12/2016 Nyeri pada KU : Baik Neuralgia Injeksi ketorolac 2 x1 amp
Hari – 2 wajah sisi GCS : E4V5M6 Post Injeksi ranitidin 2 x 1,
kanan TD : 139/88 mmHg Herpetikum Injeksi metilkobalamin 1 x 1
disertai rasa N : 84X/ menit Captopril 12,5mg x 3 peroral
kebas RR: 19 x/menit Amitripilin 2 x ½ peroral
T : 36,5oC Carbamazepin 2 x ½ peroral
Hipestesi wajah sisi kanan
(ophtalmica,maksila,mandibu
la)
13/12/2016 Nyeri pada KU : Baik Neuralgia Injeksi ketorolac 2 x1 amp
Hari – 3 wajah sisi GCS : E4V5M6 Post Injeksi ranitidin 2 x 1,
kanan TD : 130/70 mmHg Herpetikum Injeksi metilkobalamin 1 x 1
disertai rasa N : 77 X/ menit Captopril 12,5mg x 3 peroral
kebas RR: 19 x/menit Amitripilin 2 x ½ peroral
T : 36,6oC Carbamazepin 2 x ½ peroral
Hipestesi wajah sisi kanan Lab :
(ophtalmica,maksila,mandibu - Darah Lengkap
la) - Kimia Klinik
Lab :
- Darah Lengkap
- Kimia Klinik
- LDL = 158 H
- Serologi HbsAg Reaktif

14/12/2016 Nyeri pada KU : Baik Neuralgia Injeksi ketorolac 2 x1 amp


Hari – 3 wajah sisi GCS : E4V5M6 Post Injeksi ranitidin 2 x 1,
kanan TD : 130/70 mmHg Herpetikum Injeksi metilkobalamin 1 x 1
disertai rasa N : 77 X/ menit Captopril 12,5mg x 3 peroral
kebas RR: 19 x/menit Amitripilin 2 x ½ peroral
T : 36,6oC Carbamazepin 2 x ½ peroral
Hipestesi wajah sisi kanan Pasien BLPL
(ophtalmica,maksila,mandibu
la)

32
DAFTAR PUSTAKA
1. Martin. Ilmiah : NEURALGIA PASKA HERPETIKA. 2008. [on line]
http://www.perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?option=com_content&view=secti
on&id=7 layout=blog&Itemid=63 – 92k –
2. Tanra, H. SUPLEMENT : NYERI SUATU RAHMAT SEKALIGUS SEBAGAI
TANTANGAN. Bidang Ilmu Kedokteran Umum Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin. Makassar 2005; 26 (3) 75-83
3. K. K. Sra, MD and S. K. Tyring, MD, PhD, MBA. TREATMENT OF POSTHERPETIC
NEURALGIA. USA : 2008; (29) [on line] http:// Skin Therapy Letter .com
4. McElveen, W. A., dkk. EMEDICINE : POSTHERPETIC NEURALGIA. 2008. [on line]
http//: 1143066 overview.html
5. Djuanda, A dkk. ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN : PENYAKIT VIRUS. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1993; (3): 94-95
6. Sidharta, P. NEUROLOGI KLINIS DALAM PRAKTEKU UMUM . Jakarta : Dian
Rakyat.2004
7. Mayo Foundation For Medical Education And Research. POST HERPETIC NEURALGIA.
2009 [online].http://www.mayoclinic.com/health/postherpetic-neuralgia/DS00277
8. U. S. National library of Medicine and The National Institute of health. MEDICAL
ENCYCLOPEDIA : NEURALGIA.2009. [on line]. http://medlineplus.com
9. Ropper, A. H. PRINCIPLES OF NEUROLOGY : VIRAL INFECTION OF THE NERVOUS
SYSTEM, CHRONIC MENINGITIS, PRION DISEASE. New York : McGraw-Hill.
2005 (8) : 643-644
10. Harsono .KAPITA SELEKTA NEUROLOGI. Yogyakarta : Gadjah Mada University. 2005.
11. Pappagallo, M. THE NEUROLOGICAL BASIS OF PAIN : NEUROFISIOLOGI OF
NOCICEPTION. New York: McGraw-Hill.2005; (1) : 3-4
12. Snell, R. NEURO ANATOMI KLINIK UNTUK MAHASISWA KEDOKTERAN :
PENDAHULUAN DAN ORGANISASI SUSUNAN SARAF. Jakarta : EGC
2006;(1):378
13. Qittun. ARTIKEL KESEHATAN : KONSEP DASAR NYERI. 2008;(1).[on line]
http://journal.lib.unair.ac.id/index.php/bipkk/article/view/217/217

33

You might also like