You are on page 1of 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENYAKIT GINJAL KRONIK (PGK) atau CHRONIC KIDNEY


DISEASE (CKD)

2.1.1 Etiologi dan Faktor Risiko PGK

Umumnya PGK disebabkan oleh penyakit ginjal intrinsik (renal) yang

bersifat difus dan menahun. Namun PGK dapat pula disebabkan oleh penyakit di

luar ginjal atau ekstrinsik (ekstrarenal), seperti nefropati obstruktif (akibat batu

saluran kemih, keganasan,tumor, dan lain-lain) yang dapat menyebabakan

kelainan ginjal intrinsik (renal) dan berakhir dengan PGK pula.5

Menurut data Indonesian Renal Registry (IRR) 2007-2008 didapatkan urutan

etiologi terbanyak PGK yaitu glomerulonefritis (25%), diabetes melitus atau

glomerulosklerosis atau nefropati diabetik (23%), hipertensi atau nefrosklerosis

(20%), dan penyakit ginjal polikistik atau Polycystic Kidney Disease

(PKD)(10%). Kira-kira 10-15% sisanya disebabkan oleh penyakit ginjal

kongenital seperti sindrom Alport, penyakit Fabbry, dan sindrom nefrotik

kongenital, serta masih banyak lagi etiologi lain dari PGK.3

Faktor risiko PGK lainnya adalah obesitas atau perokok, berumur >50 tahun,

riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga,

serta penggunaan obat-obatan yang bersifat nefrotoksik (NSAID, antibiotik,

siklosporin, atau takrolimus), serta masih banyak lagi hal dari faktor risiko PGK.1

Klasifikasi PGK berdasarkan diagnosa etiologi, terdiri dari akibat diabetes (DM

4
tipe I atau II), non diabetes (penyakit glomerulus, vaskular, tubulointerstitial,

PGK), dan penyakit akibat transplantasi ginjal (rejeksi kronik, obat-obatan).6

2.1.2 Klasifikasi atau Derajat atau Stadium PGK

Diklasifikasikan atas dasar penurunan fungsi ginjal yaituberdasarkan nilai

LFG sesuai dengan rekomendasi NKF-KDOQIatau The Kidney Disease Outcomes

Quality Initiative of the National Kidney Foundation2012.1-7

Tabel 1. Derajat atau Stadium PGK berdasarkan Nilai LFG


Derajat Deskripsi LFG
(Stadium) (ml/menit/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal disertai LFG normal atau ≥90
meningkat
2 Kerusakan ginjal disertai penurunan 60-89
ringan/minimal LFG
3a Penurunan moderat (ringan-sedang) LFG 45-59
3b Penurunan moderat (sedang-berat) LFG 30-44
4 Penurunan berat LFG 15-29
5 Gagal ginjal atau dialisis <15

Nilai LFG dihitung denganmempergunakan rumus Kockcroft-Gault: 7

LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 – Umur (Tahun)) x Berat Badan (kg)


72 x Kreatinin Plasma (mg/dl)
pada perempuan dikalikankembali dengan 0,85

2.1.3 Patogenesis dan Patofisiologi PGK

PGK merupakan multihit process disease. Sekali mengalami gangguan

fungsi ginjal, banyak faktor yang akan memperberat perjalanan penyakit ginjal.

PGK disebabkan oleh gangguan atau kerusakan pada ginjal, terutama, pada

komponen sistem filtrasi dan sekresi ginjal, seperti membran basal glomerulus, sel

endotel, dan sel podosit. Kerusakan komponen ini bisa disebabkan secara

langsung oleh kompleks imun, mediator inflamasi, atau toksin. Selain itu, dapat

5
pula disebabkan oleh mekanisme progresif yang berlangsung dalam jangka waktu

panjang. Berbagai sitokin dan growth factor berperan dalam menyebabkan

kerusakan ginjal.7

Patofisiologi PGK pada awalnya tergantung pada penyakit yang

mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi adalah

kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal (nefron) mengakibatkan hipertrofi

struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai

upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan

growth ,factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh

peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini

berlangsung singkat, dan diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron

yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron

yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya

peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal (RAA), ikut

memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan

progresivitas tersebut.7,8

Pada stadium paling dini PGK, terjadi kehilangan daya cadang ginjal

(renal reserve), pada keadaan dimananilai LFG masih normal atau malah

meningkat. Sampai pada nilai LFG sebesar 60%, penderita masih belum

merasakan keluhan (asimtomatik), namun sudah terjadi peningkatan kadar ureum

dan kreatinin serum. Sampai pada nilai LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan

pada penderita. Pada nilai LFG di bawah 30%, penderita memperlihatkan gejala

dan tanda uremia yang nyata Penderita juga mudah terkena infeksi seperti infeksi

6
saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cema. Juga akan

terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipovolemia atau hipervolemia,

gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natriurn dan kalium. Pada nilai LFG

<15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius.8

Uremia prerenal disebabkan oleh gagalnya mekanisme sebelum fungsi

filtrasi glomerulus. Mekanisme tersebut meliputi penurunan aliran darah ke ginjal

(syok, dehidrasi, dan kehilangan darah) dan peningkatan katabolisme protein.

Uremia renal terjadi akibat gagal ginjal (gagal ginjal kronis atau chronic renal

failure atau gagal ginjal akut atau acute renal failure apabila fungsi ginjal

menurun dengan cepat) yang menyebabkan gangguan ekskresi urea sehingga urea

akan tertahan di dalam darah, hal ini yang akan menyebabkan retensi dan

intoksikasi oleh urea dalam konsentrasi tinggi. Sedangkan uremia postrenal terjadi

oleh obstruksi saluran urinaria di bawah ureter yang dapat menghambat ekskresi

urin.7

Gangguan pembentukan hormon eritropoietin di ginjal menyebabkan

penurunan produksi hormon eritropoietin sehingga tidak terjadi proses

pembentukan eritrosit dan menimbulkan anemia. Selain itu PGK dapat

menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastropati uremikum) yang sering

menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik pada PGK akan

mempengaruhi massa paruh dari sel darah merah menjadi pendek, yaitu pada

keadaan normal 120 hari menjadi 70–80 hari, dan toksik uremik ini dapat

mempunya efek inhibisi eritropoiesis.9

7
PGK menyebabkan terjadinya pelepasan aktivitas renin dari aparatus

juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I. Lalu

oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin

II merangsang pelepasan hormon aldosteron dan ADH sehingga menyebabkan retensi

cairan dan NaCl, volume cairan ekstrasel akan meningkat (hipervolemia), ventrikel

kiri akan gagal memompa darah ke perifer (gejala gagal jantung). Jika berlangsung lama

akan terjadi peningkatan tekanan atrium kiri, peningkatan tekanan vena pulmonalis,

dan peningkatan tekanan di kapiler paru, sehingga akan berakhir dengan edema

paru, dan timbullah gejala sesak nafas. Selain itu, angiotensin II memiliki efek

vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan tekanan darah.4

Asidosis metabolik dapat terjadi akibat penurunan kemampuan ginjal untuk

mengekskresikan ion H+disertai dengan penurunan kadar bikarbonat (HCO3) dan

pH plasma. Hal ini meliputi penurunan ekskresi amonia, penurunan ekskresi

fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonat melalui urin. Derajat asidosis ditentukan

oleh penurunan pH plasma yaitu <7,35 Asidosis metabolik dapat menyebabkan

gejala saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia, dan lelah. Salah satu gejala

khas akibat asidosis metabolik adalah pernapasan kussmaul yang timbul karena

kebutuhan untuk meningkatkan ekskresi karbondioksida,guna untuk mengurangi

keparahan asidosis.7

Penurunan nilai LFG menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak

bebas oleh ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia. Terjadi pula gangguan

ekskresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam darah (hiperurisemia).6

8
Peningkatan ekskresi elektrolit natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran

hormon peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada

tubulus ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan

jumlah nefron, makan natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang disertai

dengan retensi cairan yang berlebihan akan menyebabkan dilusi natrium di dalam

cairan ekstraseluler. Keadaan hiponetremia ditandai dengan gangguan saluran

pencernaan berupa kram, diare, dan muntah.4

Jika kelarutannya terlampaui, fosfat akan bergabung dengan Ca2+ untuk

membentuk ikatan kalsium-fosfat yang kompleks dan sukar larut. Kalsium fosfat

yang terpresipitasi akan mengendap disendi dan kulit (berturut-turut menyebabkan

nyeri sendi dan pruritus).8

Hipokalsemia disebabkan oleh karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat.

Keadaan hipokalsemia akan merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid

sehingga memobilisasi kalsium-fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi

demineralisasi tulang (osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi

fosfat didalam plasma tetap rendah, dengan menghambat reabsorbsinya diginjal.

Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di plasma

akan tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH akan tetap

berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terus-menerus ini, kelenjar paratiroid

akan mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH.

Kelainan yang berkaitan dengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia,

osteodistrofi renal, dan hiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH selain

terdapat di ginjal dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain (sistem saraf,

9
lambung, sel darah, dan gonad), diduga PTH berperan dalam terjadinya berbagai

kelainan di organ-organ tersebut.8

Pembentukan hormon kalsitriol berkurang pada PGK juga berperan dalam

menyebabkan gangguan metabolisme mineral tulang. Biasanya hormon ini akan merangsang

absorbsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi penurunan hormon

kalsitriol, maka menyebabkan menurunnya absorbsi fosfat di usus.8

Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma

meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel–sel ginjal

sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan konsentrasi

ion H+dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresihidrogen, sedangkan

sekresi kalium di ginjal akan berkurang. Gambaran klinis dari kelainan kalium

iniberkaitan dengan sistem saraf dan otot jantung, otot rangka, dan otot polos

sehingga dapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon dalam,

gangguan motilitas saluran cerna, dan kelainan mental.7

Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari

kerusakanginjal pada PGK. Proteinuria glomerular berkaitan dengan sejumlah

penyakit ginjal yang melibatkan glomerulus. Beberapa mekanisme menyebabkan

kenaikan permeabilitas glomerulus dan memicu terjadinya glomerulosklerosis.

Sehingga molekul protein yang berukuran besar seperti albumin dan

imunoglobulin akan bebas melewati membran filtrasi ginjal.4

2.1.4 Manifestasi Klinik

10
Pada stadium awal PGK, manifestasi klinik biasanya masih bersifat

asimtomatik.Manifestasi klinis PGK tidak spesifik dan biasanya baru ditemukan

pada stadium akhir PGK, antara lain:5-8

1. Gangguan Hemopoiesis

Jenis anemia pada PGK adalah normokromik normositik. Anemia

yang terjadi sangat bervariasi, umumnya baru terjadi bila ureum darah >100

mg% atau klirens kreatinin <25 ml/menit, sehingga penderita tampak pucat

dan lemas.

2. Keluhan Saluran Cerna

Seperti mual, muntah, dan penurunan nafsu makan.

3. Kelainan Mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian

kecil. Gangguan visus cepat hilang dapat terjadi setelah beberapa hari

mendapat pengobatan PGK yang adekuat, misalnya dialisis. Kelainan saraf

mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis, dan pupil asimetris. Kelainan

retina (retinopati) mungkin disebabkan oleh hipertensi dan anemia.

4. Kelainan Kulit

Kulit biasanya tampak kering, bersisik, gatal, tidak jarang pula

dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka atau dikenal urea frost.

5. Kelainan Selaput Serosa

Seperti pleuritis dan perikarditis uremik.

6. Kelainan Neuropsikiatri

11
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia,

depresi. Kelainan mental berat seperti konfusi, dan tidak jarang disertai

dengan gejala psikosis akut.

7. Kelainan Kardiovaskular

8. Hipertensi

Patogenesis hipertensi ginjal sangat kompleks. Penurunan zat depresor

dari medulla ginjal, aktivitas sistem saraf simpatis, dan faktor hemodinamik

lainnya seperti cardiac output dan hipokalsemia. Retensi natrium dan

sekresi renin menyebabkan kenaikan volume plasma (VP) dan volume

cairan ekstraselular (VCES). Ekspansi VP akan mempertinggi tekanan

pengisiaan jantung (cardiac filling pressure) dan cardiac output pressure

(COP). Kenaikan COP akan mempertinggi tonus arteriol (capacitance) dan

pengecilan diameter arteriol, sehinga tahanan perifer akan meningkat.

Kenaikan tonus vaskuler akan menimbulkan aktivasi mekanisme umpan

balik (feed-backmechanism) sehingga terjadi penurunan COP sampai

mendekati batas normal, tetapi kenaikan tekanan darah arterial masih

dipertahankan. Sinus karotis berperan sebagai penyangga (buffer) yang

mengatur tekanan darah manusia. Setiap terjadi kenaikan tekanan darah,

selalu akan dipertahankan normal oleh sistem mekanisme penyangga

tersebut. Pada penderita azotemia renal, mekanisme penyangga dari sinus

karotikus tidak berfungsi lagi untuk mengatur tekanan darah karena telah

terjadi perubahan volume dan tonus pembuluh darah arteriol akibat kelainan

ginjal.4,7

12
9. Sindrom Uremikum

Uremikum adalah sindrom klinis yang berhubungan dengan

ketidakseimbangan cairan, elektrolit, hormon, dan kelainan metabolik, yang

berkembang secara paralel dengan penurunan fungsi ginjal. PGKsendiri

umumnya lebih sering berkembang menjadi uremia terutama pada PGK

dengan stadium lanjut, tetapi hal ini juga dapat terjadi pada penderita dengan

gangguan ginjal akut (GgGA) jika hilangnya fungsi ginjal terjadi dengan

cepat. Racun, seperti hormon paratiroid (PTH), mikroglobulin, poliamina,

produk glikosilasi akhir, diperkirakan juga berkontribusi terhadap sindrom

klinis uremia. Uremia terjadi bila kadar ureum plasma >50 mg/dl.Uremia

adalah sindrom klinis dengan penurunan nilai LFG <10-15 ml/menit.4

Uremia menunjukkan akumulasi hasil dari metabolisme protein dan

asam amino, dan kegagalan dari katabolisme ginjal, metabolisme, dan proses

endokrinologi. Gejala uremik ensefalopati (UE) termasuk kelelahan,

malaise, sakit kepala, kaki gelisah, polineuritis, perubahan status mental,

kejang otot, pingsan, dan koma. Penyebab pasti UE masih belum diketahui.

Akumulasi metabolit dari protein dan asam amino mempengaruhi seluruh

neuraxis. Beberapa akumulasi zatorganik, termasuk urea, senyawa guanidin,

asam urat, asam hipurat, berbagai asam amino, polipeptida, poliamina, fenol,

asetoin, asam glukoronat, karnitin, mioinositol, sulfat, dan fosfat. Senyawa

guanidino endogen telah diidentifikasi menjadi neurotoksik. Patogenesis UE

melibatkan banyak hormon. Hormon tersebut termasuk hormon paratiroid

(PTH), insulin, pertumbuhan, glukagon, tirotropin, prolaktin dan gastrin. UE

13
menggambarkan memburuknya fungsi ginjal. Jika tidak diobati, UE akan

berkembang menjadi koma uremikum dan kematian.10

2.1.5 Penegakkan Diagnosa

Pendekatan penegakkan diagnose PGK mempunyai sasaran berikut:6,7

1. Memastikan adanya penurunan fungsi ginjal (nilai LFG)

2. Mengetahui etiologi PGK yang mungkin dapat dikoreksi

3. Mengidentifikasi faktor-faktoryang dapat memperburuk faal ginjal

4. Menentukan strategi terapi rasional

5. Menentukan prognosis

1.Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang

berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi

PGK,perjalanan penyakit, termasuk semua faktor yang dapat memperburuk

fungsi ginjal (nilai LFG).

2. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan Fungsi Ginjal (nilai LFG)

Ureum, kreatinin, asam urat serum. Pemeriksaan klirens kreatinin (CCT)

dan radionuklida (gamma camera imaging) hampir mendekati faal ginjal

yang sebenarnya

b. Diagnosa Etiologi PGK

i. Analisis urin rutin (urinalisa)

ii. Mikrobiologi urin

iii. Kimia darah lain misal LFT

14
iv. Elektrolit

v. Imunodiagnosa

3. Pemeriksaan Penunjang Diagnosa

Pemeriksaan penunjang diagnosa harus selektif atau sesuai dengan

tujuannya atau atas indikasi, yaitu:

a. Diagnosa Etiologi PGK

Foto polos abdomen (BNO), ultrasonografi (USG) abdomen,

nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade, dan

Micturating Cysto Urography (MCU).

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan hanya pada

penderita dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana

diagnosa secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi

ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan

mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.7 Biopsi ginjal kontraindikasi

dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil

(contracted kidney), PKD, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi

perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas.10

2.1.6 Penatalaksanaan

1. Terapi Konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah untuk mencegah memburuknya

kelainan fungsi ginjal (penurunan nilai LFG) secara lebih progresif, meringankan

keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin ginjal di sirkulasi darah, memperbaiki

metabolisme tubuh secara lebih optimal, dan memelihara keseimbangan cairandan

15
elektrolit. Waktu yang paling tepat untuk terapi kausal penyakit dasar PGK adalah

sebelum terjadinya penurunan nilai LFG yang lebih lanjut, sehingga perburukan

kelainan fungsi ginjal tidak akan segera terjadi dalam waktu yang cepat.4

Pada ukuran ginjal yang masih normal baik secara ultrasonografi, biopsi dan

histopatologi ginjal,dokter dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi

kausal penyakit dasar PGK. Sebaliknya, bila nilai LFG sudah menurun 20-30%

dari nilai normal, terapi kausal terhadap penyakit dasar PGKumumnya sudah tidak

banyak bermanfaat lagi. Sehingga pengobatanpun dipersiapkan kearah

hemodialisa.1

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat progresivitas penurunan nilai

LFGpada penderitaPGK. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid

(superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan penderita atau sudah

memasuki komplikasi lanjut yang kompleks. Perencanaan tatalaksana PGK

disesuaikan dengan derajat atau stadium PGK, yang dapat dilihat di tabel berikut:7

Tabel 2. Prinsip Tatalaksana PGKberdasarkan Derajat atau Stadium


Derajat LFG Prinsip Terapi
2
(ml/menit/1,73m )
1 ≥90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi perburukan (progression) fungsi ginjal,
memperkecil risiko kelainan kardiovaskular
2 60-89 Menghambat perburukan (progression) fungsi
ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 <15 Terapi pengganti ginjal (dialisis atau
transplantasi ginjal)

a. Peranan Diet Makanan

Diet rendah protein (DRP) dilakukan untuk mencegah atau mengurangi

toksin ginjal yang telah beredar di sirkulasi darah, namun pemberian DRP

16
untuk jangka panjang dapat merugikan pula, terutama apabila terjadi

gangguan keseimbangan negatif nitrogen. Pembatasan asupan protein mulai

dilakukan pada LFG ≤60 ml/menit/1,73m2, sedangkan di atas nilai tersebut,

pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan untuk dibatasi. Protein

diberikan sebanyak 0,6-0,8g/KgBB/hari. Sedangkan jumlah kalori yang

diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, Dibutuhkan pemantauan yang teratur

terhadap status nutrisi penderita. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori

dan protein dapat ditingkatkan dari sebelumnya. Berbeda dengan lemak dan

karbohidrat, kelebihan protein tidak akan disimpan dalam tubuh, tetapi justru

dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lainnya, yang terutama

diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi proteinbiasanya juga

mengandung ion hidrogen, fosfat, sulfat, dan ion anorganik lain yang juga

akandiekskresikan melalui ginjal, sehingga dapat memperberat kerja ginjal.7,11

Pembatasan diet protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom

uremikum. Pembatasan fosfat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya

kejadian hiperfosfatemia.11

b. Kebutuhan Jumlah Kalori dan Cairan

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk PGK harus adekuat

dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,

dan memelihara status nutrisipenderita. Harus dibatasi pula jumlah air minum

pasien sesuai dengan jumlah produksi urin.11

d. Kebutuhan Elektrolit dan Mineral

17
Kebutuhan jumlah elektrolit dan mineral bersifat individual tergantung

dari derajat nilai LFG dan penyakit dasar ginjal.11

2. Terapi Simtomatik

a. Asidosis Metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi secepatnya berdasarkan dari hasil

pemeriksaan AGD karena dapat meningkatkan kalium serum (hiperkalemia).

Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen

alkali. Terapi suplementasi alkali (sodium bicarbonat) atau Bicnat harus

segera diberikan secara intravena bila nilai pH darah arteri ≤7,35 atau

bikarbonat serum ≤20 mEq/L.12

b. Anemia Renal

Pemberian eritropoietin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam

pemberian EPO, status besi harus selalu diperhatikan, karena EPO

memerlukan zat besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi darah

PRC pada PGK harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang

tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah PRC yang tidak cermat

dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan

fungsi ginjal. Sasaran nilai hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah

11-12 g/dl.13

c. Kelainan Gastrointestinal

Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan

obat-obatan simtomatik, seperti pemberian antagonis H2 bloker atau obat-

obatan golongan PPI (proton pump inhibitor).12

18
d. Kelainan Kulit

Tindakan yang akan diberikan tergantung pada jenis keluhan kulit. Dapat

dikonsulkan ke departemen kulit dan kelamin.4

e. Kelainan Neuromuskular

Beberapa pilihan terapi yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisa

reguler yang adekuat, dan medikamentosa untuk psikosis akut.4

f. Hipertensi

Pemberian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk memperkecil

risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat perburukan

kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi

glomerulus.4

g. Kelainan Sistem Kardiovaskular

Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang

diderita. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi terhadap

penyakit kardiovaskular adalah, pengendalian penyakit diabetes, pengendalian

hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian

hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan, dan gangguan

keseimbangan elektrolit.4

3. Terapi Pengganti Ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada PGK stadium 5, yaitu pada nilai

LFG <15 ml/menit/1,73m2.

a. Hemodialisa

19
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala

toksik azotemia. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pula pada

penderita PGK yang belum tahap akhir, yangjustru akan memperburuk

fungsi ginjal. Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan

indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu

perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemia, bendungan paru,dan kelebihan

cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah

persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN)>120 mg% dan kreatinin

serum>10 mg%. Sedangkan indikasi elektif,yaitu LFG 5-8

mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan asthenia berat.7

Hemodialisa adalah terapi pengganti ginjal dengan tujuan untuk

mengeluarkan (eliminasi) sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi

gangguan keseimbangan air dan elektrolit antara kompartemen darah

penderita dengan kompartemen larutan dialisat (konsentrat) melalui selaput

(membran) semi permeabel, yang bertindak sebagai ginjal buatan (artificial

atau dializer).7

Indikasi dilakukan hemodialisa pada penderita PGK terbagi 2 kategori:

1. Hemodialisa segera atau emergency, yaitu:7

a. Uremia ( BUN >150mg/dL) f. Ensefalopati uremikum

b. Oliguria (<200ml/12jam) g. Neuropati Uremikum

c. Anuria (urin <50ml/ 12jam) h. Hipertermia

d. Asidosis Berat (pH <7.1) i. Disnatremia (Natrium >160

e. Hiperkalemia atau <115 mmol/L)

20
2. Hemodialisa kronik, yaitu hemodialisa yang dilakukan seumur hidup.

K/DOQI dalam mengatakan bahwa dialisis dimulai bila nilai LFG <15

ml/menit tetapi karena gejala klinis setiap orang berbeda maka dialisis

dimulai apabila dijumpai salah satu gejala yaitu :4

a. LFG <15 ml/menit, tergantung gejala klinis penderita

b. Malnutrisi atau hilangnya massa otot

c. Gejala uremia antara lain anoreksia, mual, muntah, lethargy

d. Hipertensi yang susah dikontrol

e. Kelebihan cairan

Hemodialisa harus dimulai lebih awal pada penderita dengan :

1. Diabetes : lebih banyak mengalami komplikasi, lebih sulit untuk

mengatur diet ginjal dan diabetes.

2. Neuropati perifer : indikasi efek uremia pada sistem saraf perifer.

3. Ensefalopati uremikum : indikasi efek yang berat pada sistem

saraf pusat.

4. Hipertensi maligna : mungkin dapat membaik dengan

pengeluaran cairan pada dialisis.

Contoh dari kondisi akut dimana hemodialisa dilakukan yaitu : asidosis

metabolik (perubahan pH darah menjadi asam). Kondisi ini dapat diobati

dengan menetralisir darah yang asam dengan natrium bikarbonat. Namun,

dialisis mungkin diperlukan dalam kasus-kasus dimana hal ini tidak

praktis atau jika ada risiko kelebihan cairan, ketidakseimbangan elektrolit

seperti hiperkalemia berat dimana jumlah potassium dalam darah

21
meningkat, kelebihan cairan yang tidak bisa berkurang dengan diuretik,

keracunan akut dimana zat berbahaya dapat dihilangkan dengan dialisis.7

b. Dialisis Peritoneal (DP)

c. Transplantasi Ginjal

2.1.7 Komplikasi

Komplikasi PGK seperti gangguan mineral tulang dan gangguan mineral

terkait PGK lainnya, kejadian kardiovaskular (penyakit jantung koroner atau gagal

jantung), komplikasi neurologis, infeksi, komplikasi nutrisi,saluran cerna,anemia.

Penyakit kardiovaskular dapat menjadi penyebab kematian terbanyak penderita

PGK.7

2.1.8 Pencegahan

Upaya pencegahan terhadap PGK sebaiknya sudahmulai dilakukan pada

stadium dini PGK. Berbagai upaya pencegahan yaitu pengobatan hipertensi,

pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok,

peningkatan aktivitas fisik. dan pengendalian berat badan, menghindari obat

nefrotoksik, menghindari makanan dan minuman yang membuat kerusakan ginjal

seperti jamu, dan lain sebegainya.4

2.1.9 Prognosis

Prognosis PGK adalah dubia ad malam, mengingat kebanyakan penderita

PGK justru baru berobat ketika sudah berada dalam stadium lanjut yang sudah

memiliki gejala dan tanda klinis berat. Penderita PGK harus menjalani rutin

hemodialisa diseumur hidupnya. Keadaan ini dapat mempengaruhi aktivitas dan

22
kualitas hidup penderita.PGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka

panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal yang umumnya masih

jarang dilakukan.4

B. HUBUNGAN PENYAKIT GAGAL JANTUNG atau HEART FAILURE


(HF) dengan PENYAKIT GINJAL KRONIK (PGK) atau CHRONIC
KIDNEY DISEASE(CKD)

Sejak tahun 1998, National Kidney Foundation (NKF) di Amerika Serikat

melaporkan tingginya angka kejadian Penyakit Kardiovaskuler (PKV) yang

terjadi pada penderitaPGK. Dalam kurun waktu 2 dekade terakhir, telah banyak

dilaporkan penelitian tentang interaksi diantara kedua macam organ ini.Pada

tahun 2008, Sarnak dkk. melaporkan bahwa bila dibandingkan dengan populasi

umum, maka kematian akibat PKV pada penderita PGK stadium V (yang sudah

menjalani dialisis) adalah 10-30x lipat. Gagal jantung atau HF adalah keadaan

dimana darah yang dipompakan dari jantung ke seluruh tubuhtidak mampu

mencukupi kebutuhan metabolisme tubuh.14

Tabel 3. Perbandingan Klasifikasi HF Berdasarkan ACCF/AHA dengan


NYHA5
ACCF/AHA Stages of HF NYHA Functional Classification
A Risiko tinggi untuk terjadi None
HF namun tanpa adanya
kelainan struktural
jantung dan tanpa gejala
HF
B Kelainan struktural I Tidak ada keterbatasan aktivitas fisik.
jantung ada, namun tanpa Aktivitas biasa tidak sampai
ada tanda dan gejala HF menyebabkan gejala nyata HF

C Kelainan struktural I Tidak ada keterbatasan aktivitas fisik,


jantung disertai dengan Aktivitas biasa tidak menyebabkan
adanyariwayat atau gejala munculnya gejala HF
HFpada saat ini II Keterbatasan ringan aktivitas fisik,
Membaik saat istirahat, namun

23
aktivitas biasa dapat menghasilkan
gejala HF
III Keterbatasan lebih pada aktivitas fisik,
Membaik saat istirahat, namun (lebih
sedikit) aktivitas yang biasa sudah
mampu menyebabkan HF
IV Tidak dapat melakukan aktivitas fisik
antpa gejalaHF, atau gejalaHFsudah
muncul walau pada saat istirahat.
D Penyakit jantung IV Tidak dapat melakukan aktivitas fisik
struktural lebih lanjut, tanpa gejalaHF, atau gejala HFsudah
serta gejalaHF yang muncul walau pada saat istirahat.
sangat bermakna pada
saat istirahat, walaupun
penderitasudah mendapat
terapi medis maksimal
(refrakter)
Sumber: 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart Failure

DiagnosaHFberdasarkan pada kriteria Framingham, dimanaharus

mendapatkan minimal 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dengan 2 kriteria

minor.5

Tabel 4. KriteriaFramingham dalam Penegakkan DiagnosaHF


Mayor Minor
Paroxysmal Nocturnal Dyspnea(PND) Edema ektremitas
Distensi vena-vena leher Batuk malam hari
Peningkatan vena jugularis Sesak pada saat aktivitas
Ronki Hepatomegali
Kardiomegali Efusi pleura
Edema paru akut Kapasitas vital paru berkurang 1/3
Gallop - bunyi jantung III dari normal
Refluks hepatojugular positif Takikardia (>120 denyut per menit)
Penurunan berat badan >4,5 kg dalam 5
hari terapi

Pada tahun 2004, NHLBI mengajukan definisi sederhana terbaru tentang

istilah Cardiorenal Syndrome (CRS) yaitu penurunan fungsi ginjal yang

disebabkan oleh penurunan fungsi jantung. Mengingat fungsi ginjal antara lain

untuk mengatur garam (NaCl) dan cairan, maka penurunan fungsi ginjal akan

24
menyebabkan pengobatan terhadap penyakit gagal jantung juga akan

terganggu.15,16

Ronco dkk. (2008) mengusulkan perbaikan definisi sederhana CRS, yaitu:

Tabel 5. Definisi CRS menurut Ronco dkk. (2008)

Sampai saat ini masih belum ada lagi kesepakatan pasti mengenai definisi

CRS.15,16

Liang dkk. (2008) membuat definisi CRS berdasarkan gambaran kliniknya.

Menurut mereka apakah penyebab awalnya organ ginjal atau jantung, gambaran

kliniknya masih dapat berupa gagal jantung yang disertai dengan penurunan

fungsi ginjal, memburuknya fungsi ginjal saat dilakukan pengobatan pada Acute

Decompensated Heart Failure (ADHF), atau resistensi terhadap terapi diuretik

akibat penurunan fungsi ginjal. Mereka membuat klasifikasi definisi CRS terbaru

seperti dalam tabel berikut:

25
Tabel 6. Definisi CRS menurut Liang dkk. (2008)

2.1.1 Sindroma Kardiorenal Akut (Tipe I)

Sindrom kardiorenal tipe I ditandai oleh perburukan akut fungsi jantung

yang menyebabkan jejas ginjal akut (Acute Kidney Injury =AKI).13,14Sindrom

kardiorenal tipe I sering terjadi. Sebagian besar penderita gagal jantung yang

dirawat di rumah sakit akibat gagal jantung seringkali mempunyai kondisi pre-

morbid disfungsi ginjal yang menjadi predisposisi terjadinya AKI.16

CRS tipe 4 ditandai oleh kondisi PGK primer (penyakit glomerulus kronik)

yang berperan dalam menurunnya fungsi jantung, hipertrofi ventrikel, disfungsi

diastolik, dan/atau peningkatan risiko kejadian kardiovaskular.Pada penderita

PGK terdapat peningkatan kadar plasma biomarker spesifik seperti troponin,

dimetilarginin asimetrik, inhibitor aktivator plasminogen tipe 1, homosistein,

peptida natriuretik, protein reaktif C, protein serum amiloid A, dan ischemia-

modified albumin. Hal ini menggambarkan hubungan mekanistik antara inflamasi

kronik, infeksi subklinik, percepatan aterosklerosis, interaksi jantung-ginjal, dan

outcome kardiovaskular dan ginjal.17,18

Secara patofisiologik interaksi kardiorenal kronik dipengaruhi oleh

denominator yang sama yaitu inflamasi, keseimbangan antara nitric oxide/reactive

oxygen species, dan sistem saraf simpatik. Konektor-konektor kardiorenal tersebut

bersama-sama dengan interaksi hemodinamik antara jantung dan ginjal

bertanggung-jawab terhadap progresifitas penyakit melalui mekanisme umpan-

balik, sehingga urutan kejadian pada kondisi sindrom kardiorenal kronik (tipe II

dan tipe IV) menjadi tidak penting.17,18

26
Belum ada laporan yang khusus yang mempelajari insidensi CRS, tetapi dari

hasil penelitian Candesartan in Heart Failure Assessment in Mortality and

Morbidity (CHARM) yang dilaporkan oleh Hillege dkk (2006) terbukti bahwa

penurunan laju filtrasi glomeruli terhitung (eGFR) merupakan penanda

meningkatnya angka kejadian dan kematian akibat gagal jantung (heart failure).20

The Acute Decompensated Heart Failure National Registry (ADHERE) suatu

penelitian populasi besar yang menyangkut 105.388 penderita gagal jantung yang

dirawat di Amerika , melaporkan terdapat 30% kasus diantaranya menderita juga

PGK.21 Dari hasil review kepustakaan yang dilakukan oleh Liang dkk (2008)

dilaporkan bahwa lebih dari 70% kasus menunjukan kenaikan kadar kreatinin

serum selama dirawat oleh karena gagal jantung. Tingkat penurunan fungsi ginjal

selama perawatan gagal jantung berkorelasi dengan angka kematian, komplikasi

dan lamanya perawatan.16

Penelitian VALIANT (Valsartan in Acute Myocardial Infarction Trial) yang

dilaporkan oleh Anavekar dkk (2004) membuktikan bahwa penurunan nilai LFG

merupakan faktor risiko bebas untuk terjadinya infark miokard akut atau PKV

lainnya. Setiap penurunan nilai LFG sebesar 10 cc/menit berasosiasi dengan

hazard ratio sebesar 1.10 untuk angka kematian dan komplikasi lainnya. Pada

penderita dengan ADHF selalu terjadi kelebihan volume tubuh (volume overload)

dan biasanya diberikan pengobatan diuretik.7 Penurunan fungsi ginjal

mengganggu efektifitas diuretik atau disebut sebagai diuretic resistant. Belum ada

suatu penelitianpun dilakukan terhadap insidensi diuretic resistant pada ADHF

walaupun kejadian ini jelas meningkatkan angka kematian.17

27
Patofisiologi terjadinya CRS belum dapat diterangkan dengan jelas. Sebuah

teori menggambarkan dengan baik dan sederhana hubungan kausal dan patologi

interaksi antar organ jantung dan ginjal. Suatu keadaan patologi yang mengenai

salah satu organ dapat menimbulkan kelainan pada organ yang lain. Reaksi dari

organ dapat terjadi secara akut maupun kronis. Sebagai terlihat bahwa proses

patologis yang terjadi pada jantung dapat menimbulkan penyakit ginjal kronis

atau gagal ginjal akut. Sebaliknya proses patologis pada ginjal dapat menimbulkan

infark miokard, gagal jantung, gangguan katup, atau kematian akibat gangguan

jantung lain.18

28

You might also like

  • Rise
    Rise
    Document15 pages
    Rise
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Peranan Progesteron Sebagai Penunjang Fase Luteal
    Peranan Progesteron Sebagai Penunjang Fase Luteal
    Document23 pages
    Peranan Progesteron Sebagai Penunjang Fase Luteal
    fujimeister
    No ratings yet
  • Sistem Akuisisi Data Jantung
    Sistem Akuisisi Data Jantung
    Document7 pages
    Sistem Akuisisi Data Jantung
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab I
    Bab I
    Document2 pages
    Bab I
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Ganja
    Ganja
    Document2 pages
    Ganja
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab V
    Bab V
    Document1 page
    Bab V
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Cover
    Cover
    Document5 pages
    Cover
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Hipo
    Hipo
    Document17 pages
    Hipo
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Daun Salam
    Daun Salam
    Document35 pages
    Daun Salam
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Infudasi Dan Glikosida
    Infudasi Dan Glikosida
    Document16 pages
    Infudasi Dan Glikosida
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Document17 pages
    Bab Iii
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • ARti Bimekanik 1
    ARti Bimekanik 1
    Document10 pages
    ARti Bimekanik 1
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Document14 pages
    Bab Ii
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Document1 page
    Daftar Isi
    ThieFeezae
    No ratings yet
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Document35 pages
    Bab Ii
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab V
    Bab V
    Document1 page
    Bab V
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Document2 pages
    Daftar Pustaka
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Document14 pages
    Bab Ii
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Document2 pages
    Daftar Pustaka
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Masalah Dan Data Pendukung
    Masalah Dan Data Pendukung
    Document5 pages
    Masalah Dan Data Pendukung
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab III Laporan Kasus
    Bab III Laporan Kasus
    Document18 pages
    Bab III Laporan Kasus
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Document1 page
    Daftar Isi
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Keluhan Utama Lapsus
    Keluhan Utama Lapsus
    Document31 pages
    Keluhan Utama Lapsus
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab V Penutup
    Bab V Penutup
    Document1 page
    Bab V Penutup
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Refer Et
    Refer Et
    Document12 pages
    Refer Et
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Chapter II
    Chapter II
    Document27 pages
    Chapter II
    Chacha Ntu Ya Melyza
    No ratings yet
  • Bab IV Pembahasan
    Bab IV Pembahasan
    Document10 pages
    Bab IV Pembahasan
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Hipo
    Hipo
    Document17 pages
    Hipo
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Diagnosis Epilepsi
    Diagnosis Epilepsi
    Document12 pages
    Diagnosis Epilepsi
    Fihmi Amy
    No ratings yet