You are on page 1of 10

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien Ny. H dirawat di ruang Tulip PDW III bed nomor 6 selama kurang

lebih 8 hari, dengan diagnosa PGK stadium V dengan Leukositosis Ringan pro

Hemodialisa Rutin 2x seminggu, riwayat Ensefalopati Uremikum, disertai dengan

Gastropati Uremikum, Heart Failure (HF) Stage C FC II NYHA, Hipertensi Stage

I, Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik (PGK), Ascites Volume Ringan,

Hipoalbuminemia Ringan, dan Hepatitis B Kronik, serta dengan status gizi pasien

adalah Overweight (IMT 25-30 Kg/m2). Diagnosa tersebut didukung dari hasil

pemeriksaan penunjang berupa EKG (Sinus Takikardi dan LVH), Laboratorium

(Anemia, Leukositosis, Trombositopenia, Peningkatan RFT, Hipoalbuminemia,

dan HbsAg positif), CXR (Kardiomegali, LVH, Efusi Pleura Sinistra Minimal),

dan USG Abdomen (Chronic Kidney Disease), tanpa pemeriksaan pasti untuk

mengetahui etiologi berupa biopsi ginjal yang dinilai bersifat invasif sehingga

jarang dilakukan, dan pemeriksaan urinalisa rutin. Pasien mendapat resep pulang

berupa Bicnat 3x500 mg, CaCO3 3x1 tab oral, Asam Folat 1x3 tab oral, Adalat

Oros (Nifedipin) 3x30 mg oral, Candesartan 1x8 mg oral malam, dan rencana cuci

darah rutin 2x seminggu, yaitu setiap hari Selasa dan Jumat. Kontrol poli

subspesialis ginjal dan hipertensi pada 5 hari berikutnya.

Pasien dirujuk dengan diagnosa penyakit ginjal dan ditemukan keadaan

uremia dan azotemia renal, dimana nilai ureum >200 mg/dl yaitu 210 mg/dl,

sehingga diagnosa banding awal pasien tersebut berupa GgGA, Acute on CKD,

dan PGK. Pasien telah membawa data berupa laboratorium kimia darah, CXR, dan

54
USG Abdomen dari RS sebelumnya. Namun, diagnosa PGK stadium V baru dapat

ditegakkan setelah melihat hasil USG Abdomen terbaru di RSUD Ulin

Banjarmasin dan penurunan nilai eGFR (<15ml/menit/1,73m2) menurut rumus

Kockcroft–Gault yaitu 9,89 ml/menit/1,73m2 dan semakin menurun pada keesokan

harinya yaitu 8,6 ml/menit/1,73m2. Diagnosa PGK stadium V biasanya baru bisa

dipastikan jika pemeriksaan penunjang telah dilakukan beberapa kali selama 3

bulan berturut-turut dan menunjukkan hasil konsisten masih di bawah normal.

Berdasarkan data status pasien, saat terjadi penurunan kesadaran diruangan,

namun pasien tidak melakukan pemeriksaan AGD, dikarenakan nilai kalium

serum pasien masih dalam rentang normal, dan tidak ada tanda-tanda hipoksia

seperti sesak napas dan sianosis. Pasien ini mengalami riwayat ensefalopati

uremikum selama kurang lebih 10 jam sebelum hemodialisa, dimana didapatkan

peningkatan kadar RFT dan penurunan nilai eGFR, sedangkan nilai GDS pasien

normal (sehingga menyingkirkan diagnosa penurunan kesadaran akibat

hipoglikemia), kadar kalium normal (sehingga menyingkirkan kemungkinan

terjadinya asidosis metabolik sebagai komplikasi PGK stadium V) dan setelah

dilakukan hemodialisa cito yang pertama kali, terjadi perbaikan keadaan umum

yang signifikan. Kesadaran os kembali normal secara berangsur-angsur, rasa mual

berkurang, dan nafsu makan os mulai meningkat. Nilai eGFRpun meningkat

sedikit walau masih dalam rentang stadium V <15ml/menit/1,73m2 yaitu 14,3

ml/menit/1,73m2. Hal ini didukung pula oleh adanya jenis sindrom uremikum

yang lain diwaktu yang bersamaan, yaitu gastropati uremikum. Dimana riwayat

maag pada pasien disangkal, Penurunan kesadaran mulai timbul saat pasien tidak

55
lagi memproduksi kencing sama sekali selama >12 jam walau telah diberikan

selang kencing dan obat diuretic dari RS sebelumnya.

Pada pasien ini tidak dikonsulkan secara lebih spesifik ke psikiatri

sebelumnya saat terjadi keadaan agitasi atau gelisah, mengingat gangguan mental

yang terjadi adalah akibat Gangguan Mental Organik (GMO) yang akan hilang

dengan terapi penyebab gangguan organiknya. Hal ini tentu setelah

menyingkirkan kemungkinan adanya gejala psikotik akut, berdasarkan dari hasil

anamnesis, dimana agitasi ini terjadi secara mendadak. Akibat ada riwayat

ensefalopati uremikum pasien juga memperoleh laksansia untuk mengurangi

ammonia dalam usus pasien yang berisiko berulangnya akumulasi ammonia

dalam otak.

Pasien juga mengeluhkan adanya bengkak, awalnya muncul pada bagian

kedua kaki kemudian menyebar ke bagian perut, disertai dengan adanya keluhan

kencing dalam jumlah yang sangat sedikit bahkan tidak ada sama sekali dalama 1

hari, berwarna kuning jernih. Gejala ini mendukung adanya gangguan pada fungsi

ginjal yaitu pada sistem filtrasi dan sekresi. Jumlah produksi urin pasien PGK

dapat berbeda-beda, naik atau turun dari waktu ke waktu, namun umumnya

diperlukan jumlah urin yang banyak, agar tidak kembali terjadi retensi urea yang

bersifat toksik dan berisiko berulangnya ensefalopati uremikum. Sehingga pada

pasien ini diberikan inj. Furosemid 20 mg 1-1-0 untuk dihari-hari awal perawatan.

Kemuadian dosis inj. Furosemid diturunkan hanya 1-0-0.

Hingga saat hari akhir perawatan masih belum diketahui etiologi jelas pada

pasien ini. Pemeriksaan yang baru dikerjakan berupa laboratoium, EKG, dan USG

56
Abdomen. Pada pasien ini sayangnya tidak pula dilakukan pemeriksaan urinalisa

rutin. Tidak juga dilakukan pemeriksaan elektrolit serum berupa kalsium,

magnesium, asam urat, dan fosfat, dimana biasanya terjadi hipokalsemia,

hipermagnesemia, dan hiperfosfatemia yang umumnya terjadi pada kebanyakan

pasien PGK. Namun umumnya pemeriksaan diatas dilakukan bila ada indikasi

atau untuk memonitoring pengobatan PGK.

Os juga mengaku sempat mengalami sesak napas, namun sesak napas ini

hanya berlangsung sebentar, membaik kemudian dengan pemberian oksigen

kurang lebih 1 hari saja. Sesak napas tidak timbul segera walau os telah

melakukan aktivitas sehari-hari. Os juga tidak mendapat tatalaksana berupa

evakuasi cairan pleura, mengingat cairan pleura pada pasien masih tergolong efusi

pleura sinistra minimal saat pasien dirawat di rumah sakit sebelumnya. Selain itu,

suara napas rhonki berangsur-angsur berkurang dan menghilang, dan tidak

dilakukan pemeriksaan CXR evaluasi.

Pasien ini mengeluh adanya sesak napas atau keadaan lelah setelah hanya

dengan beraktivitas berat, sehingga menambah diagnosa tambahan sebagai

komorbid PGK stadium V seperti Heart Failure, yang merupakan komorbid

kebanyakan pada pasien dengan PGK stadium V lainnya, dengan kemungkinan

mekanisme berupa renocardiac syndrome.

Berdasarkan data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

didapatkan 2 kriteria mayor Framingham berupa kardiomegali dan ronki dengan

CTR >50% pada chest x-ray, atau pembesaran batas jantung dan bunyi nafas

tambahan berupa ronki di bagian basal lobus kiri bawah yang didapatkan dari

57
pemeriksaan fisik. Adapun kriteria minor Framingham yang didapatkan antara

lain edema tungkai bilateral yang telah membaik pada hari perawatan ke 5 dan

efusi pleura. Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan bila ditemukan minimal 2

kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.

Pemeriksaan fisik pasien ini juga tidak ada karakteristik hiperglikemia,

kecuali hipertensi, walau didapatkan berat badan os melebihi berat badan ideal

yaitu 70 kg, dan lingkar pinggang denganascites yaitu 82 cm. Sehingga

kemungkinan dari penyebab PGK pada pasien ini adalah akibat hipertensi tak

terkontrol. Candesartan merupakan obat golongan ARB dan nifedipin merupakan

golongan penghambat kanal kalsium (CCB). Sebagaimana guideline AHA 2015

disebutkan kombinasi terapi pada pasien dengan gagal jantung ditujukan untuk

mendapatkan efek terapeutik maksimal dan meminimalisir efek samping obat

akibat penggunaan dosis maksimal pada setiap obat. Berdasarkan pedoman tata

laksana gagal jantung di Indonesia disebutkan ARB drekomendasikan untuk

mengurangi resiko hospitalisasi atau pada pasien intoleran terhadap ACE-I. Selain

itu ARB tidak menyebabkan batuk seperti ACE-I dimana pada pasien gejala batuk

bisa ditemukan karena adanya edema paru.

Pasien memiliki riwayat hipertensi yang tidak diketahui pasien. Pasien

sempat dibawa ke puskesmas dan didapatkan tekanan darah pasien sempat lebih

dari 140 mmHg. Namun pasien tidak rutin minum obat karena pasien merasa

tidak ada keluhan. Riwayat hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan

gagal jantung dimana jantung tidak mampu lagi melakukan kompensasi. Gagal

jantung merupakan komplikasi yang sering terjadi pada jenis hipertensi kronis.

58
Pasien dengan hipertensi kronis dapat menunjukkan gejala-gejala gagal jantung

namun dapat juga bersifat asimtomatis sementara. Prevalensi gagal jantung berupa

disfungsi diastolik asimtomatis pada pasien hipertensi tanpa disertai dengan

hipertrofi ventrikel kiri adalah sebanyak 33%. Peningkatan tekanan afterload

kronik dan hipertrofi ventrikel kiri dapat mempengaruhi fase relaksasi dan

pengisian fase diastolik ventrikel.

Disfungsi diastolik sering terjadi pada penderita hipertensi, dan terkadang

disertai hipertrofi ventrikel kiri (LVH). Hal ini disebabkan oleh peningkatan

tekanan afterload, penyakit arteri koroner, penuaan, disfungsi sistolik dan fibrosis.

Disfungsi sistolik asimtomatis biasanya mengikuti disfungsi diastolik. Setelah

beberapa lama, hipertrofi ventrikel kiri gagal mengkompensasi peningkatan

tekanan darah sehingga lumen ventrikel kiri berdilatasi untuk mempertahankan

cardiac output. Lama-kelamaan fungsi sistolik ventrikel kiri akan menurun.

Penurunan ini mengaktifkan sistem neurohormonal dan reninangiontensin,

sehingga meretensi garam dan air dan meningkatkan vasokonstriksi perifer, yang

akhirnya malah memperburuk keadaan dan menyebabkan disfungsi sistolik.

Terdapat hubungan antara gagal jantung dengan PGK pada pasien yang

disebut sebagai cardiorenal syndrome (CRS). Berdasarkan klasifikasi oleh Ronco

yang tercantum pada tinjauan pustaka sebelumnya. Pasien dengan gagal jantung

kronis dapat menyebabkan gagal ginjal kronis yang diklasifikasikan sebagai CRS

tipe II ataupun sebaliknya. Pada keadaan normal regulasi hemodinamik dilakukan

oleh jantung sedang regulasi cairan tubuh dan elektrolit dilakukan oleh ginjal.

Kedua sistem ini saling membantu dalam autoregulasi tekanan darah. Bila oleh

59
suatu sebab curah jantung meningkat atau menurun, maka volume cairan tubuh

akan meningkat atau menurun pula. Peningkatan atau penurunan volume cairan

tubuh akan merangsang baroreceptor yang selanjutnya melalui suatu sistem

neurohormonal dapat merangsang ginjal untuk mengeluarkan atau menahan cairan

dan natrium, serta akan merangsang pembuluh darah untuk melakukan

vasodilatasi/vasokonstriksi. Melalui mekanisme regulasi semacam ini tekanan

darah dan volume cairan tubuh serta sistim hemodinamik dipertahankan dalam

batas normal.

Pada CRS, pompa jantung menjadi lebih lemah (pump failure) dan stroke

volume menurun, akibatnya terjadi kelebihan cairan dalam pembuluh darah

(volume overload). Bila fungsi ginjal masih baik, maka ginjal akan membantu

dengan meningkatkan diuresis dan ekskresi natrium. Tetapi pada kondisi klinik ini

telah terjadi juga gangguan fungsi ginjal sehingga mekanisme normal tidak

berjalan sebagai mana mestinya yang diharapkan. Akibat proses inflamasi,

atherosklerosis atau mikroangiopati terjadi gangguan keseimbangan

neurohormonal dengan akibat gangguan ekskresi cairan dan elektrolit dengan

konsekuensi volume cairan tubuh bertambah, sehinga gejala berupa bengkak

seperti yang dikeluhkan pasien. Inilah yang disebut CRS yaitu kondisi klinik

pasien dengan sesak nafas yang bertambah berat dan resisten terhadap pengobatan

diuretik.

Pemeriksaan ini dikonfirmasi dengan hasil laboratorium Ny.H pada tanggal

16 November 2016 saat pertama kali MRS didapatkan Hb 10,5 mg/dl disertai

jumlah eritrosit yang rendah 4,80 juta/uL. Adapun kadar MCV 81,5 fl, MCH 28,5

60
pg dan MCHC 33,7%. Dari data tersebut dapat diperkirakan bahwa pasien

mengalami anemia normositik normokromik. Anemia yang ditemukan pada

pasien dapat merupakan komplikasi pada pasien dengan PGK. Faktor-faktor yang

berkaitan dengan kejadian anemia pada PGK, termasuk defisiensi eritropoetin,

kehilangan darah, pemendekan masa hidup sel darah merah, defisiensi vitamin,

“uremic milieu”, defisiensi besi dan inflamasi. Dikarenakan Hb pasien masih >10

g/dl tidak perlu sampai transfusi PRC selama HD cito. Namun masih tetap

diperlukan pemeriksaan monitoring lebih lanjut. Nilai Hb yang rendah ini juga

membedakan antara AKI dan PGK.

Pasien-pasien dengan PGK memiliki risiko kehilangan darah oleh karena

terjadinya disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan darah pada pasien-

pasien ini adalah dari dialisis, terutama hemodialisis dan nantinya menyebabkan

defisiensi besi juga. Pasien-pasien hemodialisis dapat kehilangan 3-5 gr besi per

tahun. Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per hari, sehingga kehilangan besi

pada pasien-pasien dialisis 10-20 kali lebih banyak. Massa hidup eritrosit

berkurang sekitar sepertiga pasien-pasien hemodialisis. Oleh karena itu, dalam

kasus ini pasien diberikan preparat yang berperan dalam eritropoiesis berupa asam

folat 3 kali sehari selain sebagai terapi hiperhomosisteinemia.

Selain anemia, didapatkan kadar leukosit 15.100/uL. Hasil ini menunjukkan

adanya leukositosis ringan. Pada pasien dengan penyakit ginjal memiliki risiko

61
terjadinya infeksi yang disebabkan depresi imun dan anemia. Pada hitung jenis

didapatkan jumlah granulosit# yang meningkat. Granulosit sendiri berfungsi

sebagai fagosit yaitu menghancurkan benda asing, mikroorganisme atau jaringan

rusak melalui fagositosis. Peningkatan jumlah granulosit pada kasus ini dapat

disebabkan adanya intoksikasi metabolik uremia ataupun akibat hemolisis.

Leukositosis juga menunjukkan kemungkinan terjadinya infeksi pada pasien

sehingga pada kasus ini diberikan antibiotik tambahan berupa inj. Seftriakson

sejak hari pertama perawatan selama 7 hari hingga kadar leukosit kembali normal.

Kadar natrium pada pasien 124 mmol/L. Kadar ini diklasifikasikan sebagai

hiponatremi sedang-berat dimana kadar natrium <125 mmol/L. Pada pasien

dengan penyakit ginjal, keadaan fungsi ginjal yang terganggu berperan terhadap

hiponatremia, kemampuan ginjal untuk mengatur osmolalitas urin dan natrium

urin biasanya sudah berkurang, seperti pada penggunaan diuretik. Karena

osmolalitas dan kadar natrium urin sudah tidak lagi menggambarkan pengaruh

aksis hormonal.

Pasien tersebut diketahui memiliki penyakit hepatitis B kronik akibat hasil

laboratorium HbsAg (+), namun tidak mendapat pemeriksaan laboratorium lebih

lanjut seperti pemeriksaan HBV-DNA maupun terapi hepatitis B. Obat

hepatoprotektor juga tidak diberikan. Kemungkinan terdapat hubungan antara

penyakit hepatitis B dengan PGK yang diderita pasien, seperti pengaruh penyakit

infeksi terhadap keadaan intrinsik parenkim ginjal yang menyebabkan terjadinya

62
penyakit glomerulonefritis, diluar dari kebiasaan mengonsumsi jamu dan minum

minuman berenergi pada pasien tersebut.

63

You might also like

  • Hipo
    Hipo
    Document17 pages
    Hipo
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Peranan Progesteron Sebagai Penunjang Fase Luteal
    Peranan Progesteron Sebagai Penunjang Fase Luteal
    Document23 pages
    Peranan Progesteron Sebagai Penunjang Fase Luteal
    fujimeister
    No ratings yet
  • Ganja
    Ganja
    Document2 pages
    Ganja
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Rise
    Rise
    Document15 pages
    Rise
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Cover
    Cover
    Document5 pages
    Cover
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab I
    Bab I
    Document2 pages
    Bab I
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Sistem Akuisisi Data Jantung
    Sistem Akuisisi Data Jantung
    Document7 pages
    Sistem Akuisisi Data Jantung
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Infudasi Dan Glikosida
    Infudasi Dan Glikosida
    Document16 pages
    Infudasi Dan Glikosida
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab V
    Bab V
    Document1 page
    Bab V
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Daun Salam
    Daun Salam
    Document35 pages
    Daun Salam
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Document17 pages
    Bab Iii
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • ARti Bimekanik 1
    ARti Bimekanik 1
    Document10 pages
    ARti Bimekanik 1
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Document1 page
    Daftar Isi
    ThieFeezae
    No ratings yet
  • Bab V
    Bab V
    Document1 page
    Bab V
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Document14 pages
    Bab Ii
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Document35 pages
    Bab Ii
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Keluhan Utama Lapsus
    Keluhan Utama Lapsus
    Document31 pages
    Keluhan Utama Lapsus
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Document14 pages
    Bab Ii
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Document1 page
    Daftar Isi
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Document2 pages
    Daftar Pustaka
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Document2 pages
    Daftar Pustaka
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Refer Et
    Refer Et
    Document12 pages
    Refer Et
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Hipo
    Hipo
    Document17 pages
    Hipo
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Masalah Dan Data Pendukung
    Masalah Dan Data Pendukung
    Document5 pages
    Masalah Dan Data Pendukung
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab V Penutup
    Bab V Penutup
    Document1 page
    Bab V Penutup
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab II Tinjauan Pustaka
    Bab II Tinjauan Pustaka
    Document25 pages
    Bab II Tinjauan Pustaka
    Hayati Rizki Putri
    100% (1)
  • Bab III Laporan Kasus
    Bab III Laporan Kasus
    Document18 pages
    Bab III Laporan Kasus
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Diagnosis Epilepsi
    Diagnosis Epilepsi
    Document12 pages
    Diagnosis Epilepsi
    Fihmi Amy
    No ratings yet
  • Chapter II
    Chapter II
    Document27 pages
    Chapter II
    Chacha Ntu Ya Melyza
    No ratings yet