You are on page 1of 20

A.

Miastenia Gravis
1. Definisi
Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara sistem saraf
(nervus) dan sistem otot (muskulus).
Penyakit miastenis gravis ditandai dengan kelemahan dan kelelahan
pada beberapa atau seluruh otot, di mana kelemahan tersebut diperburuk dengan
aktivitas terus menerus atau berulang-ulang. Miastenia gravis adalah penyakit
autoimun yang menyerang neuromuskular juction ditandai oleh suatu
kelemahan otot dan cepat lelah akibat adanya antibodi terhadap reseptor
asetilkolin (AchR) sehingga jumlah AchR di neuromuskular juction berkurang.
Potensial aksi di neuron motorik merambat cepat dari badan sel di dalam
SSP ke otot rangka di sepanjang akson bermielin besar (serat eferen) neuron.
Sewaktu mendekati otot, akson membentuk banyak cabang terminal dan
kehilangan selubung mielinnya. Masing-masing dari terminal akson ini
membentuk persambungan khusus, neuromuscular junction, dengan satu dari
banyak sel otot yang membentuk otot secara keseluruhan. Sel otot, disebut juga
serat otot, berbentuk silindris dan panjang. Terminal akson membesar
membentuk struktur mirip tombol, terminal button yang pas masuk ke cekungan
dangkal, atau groove , di serat otot dibawahnya. Sebagian ilmuwan menyebut
neuromuscular junction sebagai “motor end plate”.
Pada neuromuscular junction, sel saraf dan sel otot sebenarnya tidak
berkontak satu sama lain. Celah antara kedua struktur ini terlalu besar untuk
memungkinkan transmisi listrik suatu impuls antara keduanya. Karenanya,
seperti di sinaps saraf, terdapat suatu pembawa pesan kimiawi yang
mengangkut sinyal antara ujung saraf dan serat otot. Neurotransmitter ini
disebut sebagai asetilkolin (ACh).
Membran Pre Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan
dalam bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage
Gated Channel akan teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan
terjadinya influx Calcium. Influx ini akan mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut
untuk bergerak ke tepi membran. Vesikel ini akan mengalami docking pada tepi
membran. Karena proses docking ini, maka asetilkolin yang terkandung di
dalam vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam celah synaptic. ACh yang
dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR) yang
terdapat pada membran post-synaptic. AChR ini terdapat pada lekukan-lekukan
pada membran post-synaptic. AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha,
dan masing-masing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun
membentuk lingkaran yang siap untuk mengikat ACh. Ikatan antara ACh dan
AChR akan mengakibatkan terbukanya gerbang Natrium pada sel otot, yang
segera setelahnya akan mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini akan
mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika
depolarisasi ini mencapai nilai ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi
potensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan dipropagasikan
(dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan karakteristik sel eksitabel, dan
akhirnya akan mengakibatkan kontraksi. ACh yang masih tertempel pada AChR
kemudian akan dihidrolisis oleh enzim.
Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup
banyak pada celah synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat.
Kolin kemudian akan kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk
membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah
terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan mengakibatkan kontraksi
terus menerus. 1, 3, 6, 7
2. Gejala Klinis
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang
berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang
beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan
kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat2. Gejala klinis
miastenia gravis antara lain adalah kelemahan pada otot ekstraokular atau
ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu gejalasering menjadi keluhan utama
penderita miastenia gravis, ini disebabkan oleh kelumpuhan dari nervus
okulomotorius.Walaupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas
lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi
pada tahap lanjut kelumpuhan.
Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. In: Taut Neuromuskular. 6
th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.
2. Setiyohadi B. Miologi. In: Sudoyo AW, Setiyohadi, Bambang, Alwi, idrus,
Simadibrata K.,Marcellus, Setiati, Siti, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: InternaPublishing; 2009.
3. Conti-Fine BM, Milani,Monica ,Kaminski,Henry J. . Myasthenia gravis: past,
present, and future. The Journal of Clinical Investigation 2006;116(Number 11).
4. Ropper AH, Brown, Robert H. ,. Adam And Victor's Principles of Neurology.
In: Myasthenia Gravis And Related Disorders Of The Neuromuscular Junction
8 th ed. United State of America: McGraw-Hill Medical Publishing Division;
2005.
B. Sindrom Lobus Frontalis
Sindroma lobus frontalis adalah gejala ketidakmampuan mengatur perilaku seperti
impulsif, apati, disorganisasi, defisit memori dan atensi, disfungsi eksekutif, dan
mengatur mood.
Tanda dan Gejala :
Sindroma lobus frontalis adalah berupa gejala gejala ketidakmampuan untuk
mengatur perilaku seperti impulsive, tidak ada motivasi, apati, disorganisasi, deficit
memori dan atensi , disfungsi eksekutif, ketidakmampuan mengatur mood-nya,
mudah lupa, perkataan yang sering menyakitkan hati ataupun kotor, malas / tidak
mau mengerjakan aktivitas apapun juga , sulit diatur, selalu merasa paling benar
.(1,2,3)

Diagnosa klinis suatu sindroma lobus frontalis cukup sulit ; karena disfungsi lobus
prefrontal sering tidak terdeksi pada pemeriksaan neurology standar, maupun
pemeriksaan status mental serta tes neuropsikologi konvensional . Ada beberapa
pemeriksaan klinis , tes status mental dan skala neurobehavior yang harus
digunakan pada keadaan ini (1)
1. Cummings JL, Miller BL . The human Frontal Lobe ; function and disorder 1st
ed.
New York : The Guilford Press : 1999.
2. Cummings JL, Vinters H, Felix J. The neuropsychiatry of Alzheimer disease and
related dementia .1st ed. United Kingdom : Martin Dunitz Press: 2003 p 217-20
3. Thimble MH. Psychopathology of frontal lobe syndrome . Seminars in
Meurology ; vol.10, No.3 Benraska : September 1990
C. Spinal Cord Injury
Dapat didefinisikan sebagai semua bentuk cedera yang mengenai medula spinalis
baik yang menimbulkan kelainan fungsi utamanya (motorik, sensorik, otonom dan
reflek) secara lengkap atau sebagian.
Holdsworth membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut :
 Cedera fleksi
Cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, dan
selanjutnya dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra
dan mengakibatkan wedge fracture (teardrop fracture). Cedera semacam ini
dikategorikan sebagai cedera yang stabil.
 Cedera fleksi-rotasi
Beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan
kadang juga prosesus artikularis, selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya
dislokasi fraktur rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture korpus
vertebra. Cedera ini merupakan cedera yang paling tidak stabil.
 Cedera ekstensi
Cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan
menimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum
vertebra dalam posisi fleksi, maka cedera ini masih tergolong stabil.
 Cedera kompresi vertikal (vertical compression)
Cedera kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan
dapat menimbulkan burst fracture.
 Cedera robek langsung (direct shearing)
Cedera robek biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan
langsung pada punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser, fraktur prosesus
artikularis serta ruptur ligamen.
1. Pemeriksaan
 Tingkat kesadaran : GCS
 Fungsi motorik ; gerakan, kekuatan, tonus, refleks fisiologis,refleks patologis
 Fungsi Sensorik
 protopatik adalah nyeri, suhu dan raba
 Propioseptif adalah gerak,getar,sikap
 Pemeriksaan kordinasi, vegetatif dan fungsi luhur
2. Penatalaksanaan ABCDE
Prinsip umum :
- pikirkan selalu kemungkinan adanya cedera mielum
- mencegah terjadinya cedera kedua
- waspada akan tanda yang menunjukkan jejas lintang
- lakukan evaluasi dan rehabilitasi
Tindakan :
- adakan imobilisasi di tempat kejadian (dasar papan)
- optimalisasi faal ABC : jalan nafas, pernafasan, dan peredaran darah
- penanganan kelainan yang lebih urgen
- pemeriksaan neurologik untuk menentukan tempat lesi
- pemeriksaan radiologik (kadang diperlukan)
- tindak bedah (dekompresi, reposisi, atau stabilisasi)
- pencegahan penyulit
* ileus paralitik → sonde lambung
* penyulit kelumpuhan kandung kemih → kateter
* pneumoni
* dekubitus
a. Dosis Metil Prednisolon
Studi NASCIS I (The National Acute Spinal Cord Injury Study)
menyarankan dosis tinggi sebesar 30 mg/kgBB sebagai pencegahan peroksidasi
lipid, diberikan sesegera mungkin setelah trauma karena distribusi
metilprednisolon akan terhalang oleh kerusakan pembuluh darah medula spinalis
pada mekanisme kerusakan sekunder.
Penelitian NASCIS II membandingkan metilprednisolon dosis 30
mg/kgBB bolus IV selama 15 menit dilanjutkan dengan 5,4mg/kgBB/jam secara
infus selama 23 jam berikutnya dengan nalokson (antireseptor opioid) 5,4
mg/kgBB bolus IV, dilanjutkan dengan 4 mg/kgBB/ jam secara infus selama 23
jam. Hasilnya, metilprednisolon lebih baik dan dapat digunakan sampai jeda 8
jam pascatrauma. Pada NASCIS III, metilprednisolon dosis yang sama diberikan
secara infus sampai 48 jam ternyata memberikan keluaran lebih baik dibanding
pemberian 24 jam.
- Dosis standar : 30mg/kgBB, bolus IV selama 15 menit, kemudian jeda 5
menit, dilanjutkan 5,4mg/kgBB/jam dengan infus selama 23 jam (jika terapi
dimulai < 3 jam onset)
- Infus methylprednisolon dilanjutkan selama 48 jam jika terapi dimulai saat
onset 3 – 8 jam.
1. Wahjoepramono EJ. Medula Spinalis dan Tulang Belakang. Fakultas
Kedokteran Universitas Pelita Harapan, Lippo Karawaci. 2007. p. 131-56
2. Randall JD. Acute spinal cord injury, part I&II: pathophysiologic
mechanisms, clinical neuropharmacology.Clin. Neuropharmacol.
2001;24:254–64.
3. 2. Perdossi. Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma
medula spinalis. Jakarta: Prikarsa Utama; 2006.
D. Klasifikasi Stroke Bamford
Berdasarkan sindroma klinis yang berhubungan dengan lokasi lesi otak, Bamford
dkk mengemukakan klasifikasi stroke menjadi 4 subtipe:
Total Anterior Circulation Infarct (TACI).
1. Adalah jenis infark serebral, kematian jaringan mempengaruhi sirkulasi anterior
seluruhnya yang memasok salah satu sisi otak.
2. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)
Jenis infark serebral, kematian jaringan yang mempengaruhi bagian dari
sirkulasi anterior menyediakan satu sisi otak
3. Posterior Circulation Infarct (POCI).
Adalah jenis infark serebral, kematian jaringan yang mempengaruhi bagian dari
sirkulasi anterior menyediakan satu sisi otak
4. Lacunar infarct (LACI)
Adalah jenis stroke yang dihasilkan dari kematian jaringan dari salah satu arteri
penetrasi yang menyediakan darah ke struktur-struktur dalam otak.

1. Noerjanto M. Management of acute stroke: Masalah-masalah dalam diagnosis


stroke akut. Semarang: Badan Penerbit UNDIP; 2002.
2. Misbach J, Jannis J, Kiemas LS. Stroke, aspek diagnostik, patofisiologi,
manajemen. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1999.
E. Penyebab Peningkatan Tekanan Intrakranial
1. Edema otak dengan berbagai sebab mengakibatkan peningkatan jumlah air
diparenkim otak. Ada berbagai macam penyebab edema otak bergantung pada
mekanisme patofisiologi yang mendasarinya meliputi :
a. Edema sitotoksik : swelling intraseluler, biasanya disebabkan oleh transpor
ion dan cairan di seluler terganggu sebagai akibat dari gangguan
metabolisme. Kelainan dasar terletak pada semua unsur seluler otak
(neuron, glia dan endotel kapiler). Pompa Na tidak berfungsi dengan baik,
sehingga ion Na tertimbun dalam sel,mengakibatkan kenaikan tekanan
osmotik intraseluler yang akan menarik cairan masuk ke dalam sel. Sel
makin lama makin membengkak dan akhirnya pecah. Akibat
pembengkakan endotel kapiler, lumen menjadi sempit, iskemia otak makin
hebat karena perfusi darah terganggu. Pada binatang percobaan, pemakaian
bakterisid yang luas pada kulit seperti heksaklorofen dan bahan yang
mengandung and, seperti trietil tin, dapat menimbulkan edema
sitotoksik.Edema serebri sitotoksik sering ditemukan pada hipoksia/
anoksia (cardiac arrest), iskemia otak, keracunan air dan intoksikasi zat-zat
kimia tertentu. Juga sering bersama-sama dengan edema serebri vasogenik,
misalnya pada stroke obstruktif (trombosis, emboli serebri) dan meningitis.
b. Edema vasogenik : edema ekstraseluler sekunder karena peningkatan
permeabilitas sawar darah otak.
Paling sering dijumpai di klinik. Gangguan utama pada blood brain
barrier (sawar darah-otak). Permeabilitas sel endotel kapiler meningkat.
sehingga air dan komponen yang terlarut keluar dari kapiler masuk ruangan
ekstraseluler, sehingga cairan ekstraseluler bertambah. Dugaan bahwa
serotonin memegang peranan penting pada perubahan permeabilitas sel-sel
endotel masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Jenis edema ini dijumpai
pada trauma kepala, iskemia otak, tumor otak, hipertensi maligna,
perdarahan otak dan berbagai penyakit yang merusak pembuluh darah otak
c. Edema interstisial / hidrostatik : edema jaringan karena adanya perbedaan
osmotik antara plasma dan jaringan otak
d. Edema osmotik : edema terjadi karena adanya perbedaan tekanan osmotik
antara plasma darah (intravaskuler) dan jaringan otak (ekstravaskuler).
Apabila tekanan osmotik plasma turun > 12%, akan terjadi edema serebri
dan kenaikan TIK. Hal ini dapat dibuktikan pada binatang percobaan
dengan infus air suling, yang menunjukkan kenaikan volume air. Pada
edema serebri osmotik tidak ada kelainan pada pembuluh darah dan
membran sel.

2. Peningkatan CBV disebabkan karena inflow dan outflow tidak sebanding,


seperti :
a. Menurunnya outflow vena : obstruksi mekanis pada struktur vena
intrakranial atau ekstrakranial, posisi kepala dibawah (head-down), obtruksi
ventilasi, collar neck yang ketat.
b. Peningkatan CBF (hilangnya autoregulasi vaskular pada CPP rendah atau
tinggi, peningkatan PaCO2, hipoksia)
3. Peningkatan volume cairan serebrospinal intrakranial (hidrosefalus). Penyebab
umum peningkatan volume cairan serebrospinal adalah :
a. Menurunnya absorbsi cairan serebrospinal di villi arakhnoidalis, dikenal
dengan hidrosefalus komunikan (perdarahan subarakhnoid, infeksi)
b. Obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal, dikenal dengan hidrosefalus
obstruktif (neoplasma, perdarahan spontan dan trauma, infeksi)
c. Peningkatan jumlah produksi (meningitis, tumor pleksus khoroid)
4. Massa intra dan ekstra aksial menyebabkan peningkatan TIK karena langsung
meningkatkan volume intrakranial. Beberapa penyebab umum meliputi :
a. Neoplasma
b. Perdarahan
c. Trauma (hematom intraserebral, epidural, dan subdural, kontusio, higroma)
d. Infeksi (abses, empiema subdural)
5. Penatalaksanaan peningkatan TIK
a. Mengurangi efek massa1,2,3
Pada kasus tertentu seperti hematom epidural, subdural maupun perdarahan
intraserebral spontan maupun traumatik serta tumor maupun abses
intrakranial tentunya akan menyebabkan peninggian TIK dengan segala
konsekuensinya. Sebagian dari kondisi tersebut memerlukan tindakan
pembedahan untuk mengurangi efek massa.
Kraniektomi dekompresi dapat dilakukan untuk peningkatan yang refrakter
terhadap terapi konservatif dan menunjukkan penurunan TIK mencapai
70%.
b. Sedasi dan/atau paralisis bila diperlukan, misalnya pada pasien agitasi, atau
terjadinya peningkatan TIK karena manuver tertentu seperti memindahkan
pasien ke meja CT scan. Paralitik dapat digunakan untuk menurunkan TIK
refrakter, tetapi beresiko terjadinya myopati/neuropati dan dapat
mengaburkan kejang2,3,4.
c. Mengurangi volume cairan serebrospinal2,3,13
Mengurangi cairan serebrospinal biasanya dilakukan apabila didapatkan
hidrosefalus sebagai penyebab peningkatan TIK seperti halnya pada infeksi
meningitis atau kriptokokkus. Ada tiga cara yang dapat dilakukan dalam hal
ini yaitu : memasang kateter intraventrikel, lumbal punksi, atau memasang
kateter lumbal. Pemilihan metode yang dipakai tergantung dari penyebab
hidrosefalus atau ada/tidaknya massa intrakranial.
Pengaliran cairan serebrospinal dengan kateter lumbal dapat dikerjakan
apabila diyakini pada pemeriksaan imaging tidak didapatkan massa
intrakranial atau hidrosefalus obstruktif. Biasanya dipakai kateter silastik 16
G pada intradura daerah lumbal. Dengan kateter ini disamping dapat
mengeluarkan cairan serebrospinal, dapat juga dipakai untuk mengukur
TIK. Keuntungan lainnya adalah teknik ini tidak terlalu sulit dan perawatan
dapat dilakukan di luar ICU.
d. Mengoptimalkan CPP (cerebral perfusion pressure) dengan menambahkan
vasopressor dan /atau cairan isotonik jika CPP < 60 mmHg. (CPP = MAP-
TIK)1,2
e. Mengurangi volume darah intravaskular1,2
Hiperventilasi akan menyebabkan alkalosis respiratorik akut, dan perubahan
pH sekitar pembuluh darah ini akan menyebabkan vasokonstriksi dan
tentunya akan mengurangi CBF sehingga akan menurunkan TIK. Efek
hiperventilasi akan terjadi sangat cepat dalam beberapa menit. Tindakan
hiperventilasi merupakan tindakan yang efektif dalam menangani krisis
peningkatan TIK namun akan menyebabkan iskemik serebral. Sehingga hal
ini hanya dilakukan dalam keadaan emergensi saja. Hiperventilasi
dilakukan dalam jangka pendek hingga mencapai PaCO2 25-30 mmHg.
Penurunan PaCO2 1 mmHg akan menurunkan CBF 3%. Efek hiperventilasi
dapat menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan resiko iskemik jaringan
sehingga tindakan ini hanya dilakukan untuk waktu yang singkat.
Indikasi hiperventilasi2
 Untuk periode singkat (beberapa menit) pada waktu berikut :
Sebelum insersi monitor TIK : jika ada tanda klinis hipertensi
intrakranial. Setelah insersi monitor : jika ada peningkatan TIK tiba-tiba
dan/atau akut kemunduran neurologis.
 Untuk periode yang lebih panjang jika hipertensi intrakranial tidak
responsif terhadap sedasi, paralitik, drainase CSF dan diuretik osmotik.
Hindari ventilasi bila2 :
 Jangan digunakan untuk profilaksis
 Hindari hiperventilasi yang panjang
Jika hiperventilasi diperpanjang pada pCO2=25-30 mmHg dianggap
perlu, pertimbangkan untuk monitor SjvO2, AVdO2, atau CBF untuk
menghindari iskemik serebri
 Hipertensi intrakranial yang tidak responsif dengan terapi lain, lakukan
hiperventilasi jika pCO2 =30-35 mmHg
 Jangan pernah turunkan pCO2 < 25 mmHg
Hemodilusi dan anemia mempunyai efek yang menguntungkan terhadap
CBF dan penyampaian oksigen serebral. Hematokrit sekitar 30%
(viskositas darah yang rendah) akan lebih berefek terhadap diameter
vaskuler dibanding terhadap kapasitas oksigen, sehingga akan terjadi
vasokonstriksi dan akan mengurangi CBV dan TIK. Namun, bila
hematokrit turun dibawah 30% akan berakibat menurunnya kapasitas
oksigen. Hal ini justru akan mengakibatkan vasodilatasi sehingga TIK
akan meningkat. Dengan demikian strategi yang sangat penting dalam
menjaga TIK adalah mencegah hematokrit jangan sampai turun dibawah
30%1.
f. Terapi osmotik
Terapi osmotik menarik air ke ruang intravaskuler. Baik mannitol maupun
salin hipertonik memiliki manfaat rheologik tambahan dalam menurunkan
viskositas darah dan menurunkan volume dan rigiditas sel darah merah.
 Salin hipertonik2,3 : loading dose 30 ml salin 23% diberikan dalam 10-
20 menit melalui CVC, dosis pemeliharaan adalah salin 3% 1 mg/kg/jam
dengan kadar Na serum 150-155 mEq/jam. Na harus diperiksa tiap 6
jam. Pemasukan salin hipertonik ini berkaitan dengan edema. Salin
hipertonik dihentikan setelah 72 jam untuk mencegah terjadinya
edema rebound.
 Mannitol 20% (dosis 0,25-1 gr/kg)2,3,4 : Loading dose 1gr/kg BB, diikuti
dengan dosis pemeliharaan 0,5 gr/kg BB tiap 4-6 jam dengan kadar
osmolaritas serum 300-320 mOsm. Osmolalitas serum diperiksa tiap 6
jam. Waktu paruh mannitol adalah 0,16 jam. Efikasi terlihat dalam 15-
30 menit, dan durasi efek adalah 90 menit hingga 6 jam.
Mekanisme mannitol memberikan efek yang menguntungkan dalam
terapi ini masih kontroversial, tetapi mungkin meliputi kombinasi berikut2 :
Menurunkan TIK :
- Ekspansi plasma segera : menurunkan hematokrit dan viskositas darah
dimana akan meningkatkan CBF dan O2 delivery. Ini akan menurunkan
TIK dalam beberapa menit.
- Efek osmotik : meningkatkan tonisitas serum menggambarkan edema
cairan dari parenkim otak.
- Mendukung mikrosirkulasi dengan memperbaiki reologi darah.
Namun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemakaian
mannitol yaitu sebagai berikut2 :
- Mannitol membuka sawar darah otak, dan mannitol yang melintasi
sawar darah otak ke sistem saraf pusat dapat memperburuk edema otak.
Jadi penggunaan mannitol harus diturunkan perlahan (tapering) untuk
mencegah rebound TIK.
- Pemberian bolus yang berlebihan dapat menyebabkan hipertensi dan
jika autoregulasi terganggu maka akan meningkatkan CBF dimana dapat
mencetuskan herniasi daripada mencegahnya.
- Mannitol dosis tinggi beresiko untuk terjadinya gagal ginjal akut
khususnya pada osmolaritas serum > 320 mOsm/L, penggunaan obat-
obatan nefrotoksik lainnya, sepsis, adanya penyakit ginjal sebelumnya.
Tabel 3. Terapi osmotik3
Pemberian Efek samping Digunakan Hindari bila
Salin Dapat diberikan dg infus Overload volume, edem Ingin CHF
hipertonik berlanjut, memperbaiki pulmonal, hipernatremia meningkatkan dekompensata,
CPP, meningkatkan ekstrim, rebound edema
volume, efektif dlm serebri saat tapering,
volume atau hati-hati jika
menurunkan TIK pada insufisiensi renal, memperbaiki hiponatremia
pasien yg refrakter dg CPM (central pontine CPP baseline > 24
mannitol myenolysis) jam.
Mannitol Dapat digunakan melalui Deplesi volume, harus Ingin untuk Gagal ginjal,
jalur perifer, bolus penuh urine output dengan diuresis hipotensi
salin, khususnya pada TBI
dan SAH, hipotensi,
rebound edema serebral,
hipernatremia, insufisiensi
renal
Pilihan lainnya :
 Totilac ®14,15 : merupakan cairan hipertonik sodium laktat dengan konsentrasi
fisiologis potasium klorida dan kalsium klorida. Cairan ini memiliki osmolaritas
1020 mOsm/L dengan pH 7.0. Cairan ini netral dan ketika laktat dimetabolisme,
ia tidak menyebabkan asidosis. Dosis penggunaan 10 cc/kg BB selama 12 jam
intravena. Totilac ® mengandung ion yang akan berdisosiasi menjadi anion
(laktat dan klorida) dan kation (sodium, potasium, kalsium). Sodium, kation di
ekstraseluler, jika konsentrasinya tinggi akan menjaga hipertonisitas sehingga
memperbaiki hemodinamik. Laktat, metabolik fisiologis dimana akan
dioksidasi di mitokondria, dimana oksidasinya akan menghasilkan energi yang
sama dengan glukosa. Kalsium, memegang peranan pada kontraktilitas jantung.
Potasium, mencegah hipokalemia, dimana dapat disebabkan infus sodium
laktat.
 Barbiturat2,3,7 : bolus penobarbital 5-20 mg/kg diikuti 1-4 mg/kg/jam. Barbiturat
menurunkan metabolic demand dan selanjutnya CBF, CBV dan TIK jika rantai
metabolisme masih intak. Resiko penggunaan meliputi hipotensi, kesulitan
menilai pasien karena efek sedatifnya, supresi jantung.
 Induksi hipotermia hingga 32-34ºC dapat menurunkan CBF dan TIK dengan
menurunkan metabolic demand. Tiap penurunan temperatur 1ºC akan
menurunkan metabolisme oksigen otak (CMRO2) 7%. Efek samping hipotermi
meliputi infeksi sistemik, bakteremia, koagulopati, pneumonia, hipokalemia,
dan aritmia1.
 Steroid : seperti deksametason tidak efektif digunakan pada pasien trauma
kapitis. Biasanya berguna untuk edema yang berhubungan dengan tumor dan
infeksi. Dosis awal yang biasa digunakan adalah 10 mg deksametason intravena
diikuti 4 mg tiap 6 jam.
Tabel 4. Langkah untuk terapi krisis peningkatan TIK akut2
Langkah Rasional
Periksa jalan nafas, posisi dll (lihat langkah tatalaksana umum)
Pastikan pasien disedasi dan paralisis Menurunkan peningkatan respon simpatis dan
hipertensi karena gerakan, tensing abdominal
musculature
Drainase 3-5 ml cairan serebrospinal jika ada IVC Menurunkan volume intrakranial
(intraventricular catheter)
Mannitol* 1 gr/kg iv bolus atau 10-20 ml salin 23% ↑ volumeplasma  ↑ CBF  ↓ TIK,
↑ osmolalitas serum → ↓ air di otak
Hiperventilasi dengan ambu bag (jaga pCO2 > 25 Menurunkan pCO2  ↓ CBF → ↓ TIK
mmHg)
Penobarbital 100 mg iv pelan atau tiopental 2,5 mg/kg Sedatif, ↓ TIK, terapi kejang, kemungkinan
iv 10 menit neuroprotektif
*lewati langkah ini dan langsung ke hiperventilasi jika hipotensi, deplesi volume, atau jika
osmolalitas serum > 320 mOsm/L.
F. Demensia
Merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan penurunan fungsional yang
seringkali disebabkan oleh kelainan yang terjadi pada otak.1 Demensia adalah
kumpulan penyakit dengan gejala-gejala yang mana mengakibatkan perubahan
pada pasien dalam cara berpikir dan berinteraksi dengan orang lain. Seringkali,
memori jangka pendek, pikiran, kemampuan berbicara dan kemampuan motorik
terpengaruh. Intinya gangguan kognitif dan ativity daily living.
1. Stuart, Gw. and Sundeen S.J (1995). Perbandingan Delirium, Depresi dan
Demensia.St.louis: Mosby year book
G. CTS
Carpal Tunnel Syndrome merupakan kompleks gejala yang disebabkan oleh
penekanan nervus medianus diterowongan karpal, dengan nyeri dan rasa terbakar
atau paraestesia yang menggelitik di jari-jari dan tangan, terkadang meluas ke siku
(Dorland, 2002).
Pemeriksaan Fisik :
1. Derajat nyeri dengan Visual Analogue Scale(VAS)
Pasien diminta menunjukkan derajat nyeri pada garis sepanjang 10cm, dimana
titik ujung 0 menunjukkan tidak nyeri dan titik ujung100 menunjukkan nyeri
tak tertahankan, jarak antara titik ujung 0 dengan titik yang ditunjuk pasien
merupakan gambaran derajat nyeri yang dirasakan pasien
2. Tes Traksi dan Distraksi Cervical
Dilakukan tes traksi dan distraksi/kompresi pada cervical selama 5 detik pada
posisi rotasi, lateral fleksi dan ekstensi.
3. Tes Phalen’s
Tangan pasien pada posisi palmar fleksi full ROM dipertahankan selama
kirakira 30detik. Jika muncul keluhan nyeri dalam waktu tersebut
mengindikasikan bahwa hasil tes positif.
4. Tes Prayer’s
Tangan pasien pada posisi dorsi fleksi full ROM dipertahankan kirakira 30
detik. Jika muncul keluhan nyeri dalam waktu tersebut mengindikasikan bahwa
tes positif.
5. Tes Tinel
Tes ini mendukung diagnosa jika timbul parestesia atau nyeri pada daerah
ditribusi nervus medianus kalau dilakukan perkusi pada carpal tunnel dengan
posisi tangan sedikit dorsi fleksi. Jika muncul keluhan nyeri yang menjalar
sepanjang distribusi saraf medianus mengindikasikan bahwa hasil tes positif.
6. Median Nerve Test (ULTT 1)
Depresi bahu dengan fleksi siku 90, abduksi bahu dengan fleksi siku hingga 90,
eksorotasi bahu, siku dan jari ekstensi dengan lengan bawah supinasi dan siku
ekstensi. Setiap gerakan dilakukan sampai titik uncomfortable melalui feedback
dari pasien
7. Radial Nerve Test (ULTT 2)
Depresi bahu dengan siku difleksikan hingga 90 diikuti pronasi lengan bawah,
ekstensi siku, fleksi siku dan jari lalu absuksi bahu. (Ekstrom dan Holden,2002).

Distribusi n medianus
Nervus medianus memersarafi otot – otot fleksor di lengan bawah, kecuali m.
Flexor carpi ulnaris, bagian ulnar m. Flexor digitorum dan lima otot tangan.
Nervus medianus memasuki fossa cubitalis medial dari arteri brachialis,
melintas antara caput m. Pronator tere, turun antara m. Flexor digitorum
superficialis dan m. Flexor digitorum profundus dan terletak di dekat
retinaculum flexorum sewaktu melalui canalis carpi untuk sampai di tangan
Canalis carpi berukuran hampir sebesar ruas jari jempol dan terletak di bagian
distal lekukan dalam pergelangan tangan dan berlanjut ke lengan bawah di regio
cubiti sekitar 3cm. Sembilan ruas tendon fleksor dan n.medianus berjalan di
dalam canalis carpi yang dikelilingi dan dibentuk oleh tiga sisi dari tulang –
tulang carpal. Di bagian proksimal tulang karpal bersendi dengan bagian distal
tulang radius dan tulang ulna, sedangkan bagian distal bersendi dengan
metacarpal
Pada canalis carpi, N. Medianus mungkin bercabang menjadi komponen radial
dan ulnar. Komponen radial dari N. Medianus akan menjadi cabang sensorik
pada permukaan palmar jari-jari pertama dan kedua dan cabang motorik m.
abductor pollicis brevis, m. opponens pollicis, dan bagian atas dari m. flexor
pollicis brevis Komponen ulnaris dari N. Medianus memberikan cabang
sensorik ke permukaan jari kedua, ketiga dan sisi radial jari keempat. Selain itu,
saraf median dapat memersarafi permukaan dorsal jari kedua, ketiga, dan
keempat bagian distal sendi interphalangeal proksimal.
1. Ginsber,Lionel.2007.Lecture Notes Neurologi edisi 8.Jakarta.Penerbit Erlangga
2. Rambe,aldi.2004.Sindroma Terowongan Karpal.Bagian Neurologi FK
USU.http://Library.USU.ac.id
H. Bells palcy

Bells palsy didefinisikan sebagai parese nervus fasialis tipe perifer idiopatik,
yang meliputi wajah bagian atas dan bawah dengan atau tanpa hilangnya rasa pada
lidah ipsilateral.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar
sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius
atau pars intermedius. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada
lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan
lidah dihantar melalui saraf lingual korda timpani dan kemudian ke ganglion
genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi eksteroseptif mempunyai badan
selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti akar
desenden dari saraf trigeminus (N.V). Hubungan sentralnya identik dengan saraf
trigeminus. Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI
dan keluar di bagian lateral pons. Nervus intermedius keluar dipermukaan lateral
pons, diantara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius
dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis bersatu
dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan dengan
kanalis fasialis dan kemudian masuk kedalam os mastoid, keluar dari tulang
tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mensarafi otot-otot
wajah.
Nernus Facialis keluar dari os petrosus kembali dan tiba dikavum timpani.
Kemudian turun dan sedikit membelok kebelakang dan keluar dari tulang tengkorak
melalui foramen stilomatoideus.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis
yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai
foramen mental.
Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi
atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang
dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear
dan inflanuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik
primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan
dengan daerah somatopropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya suatu
proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, ac, atau mengemudi dengan kaca
jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya bell’s palsy.
Karena itu nervus fasialis bisa bengkak sehingga terjepit didalam foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan
fasialis LMN.
I. BPPV
Benigna Paroxysmal Positional Vertigo
(BPPV) merupakan gangguan vestibular yang sering terjadi yang menimbulkan
episode-episode singkat vertigo pada perubahan posisi kepala yang menstimulasi
kanalis semisirkularis posterior di telinga bagian dalam.
Diagnosis BPPV dapat ditegakkan berdasarkan :
a. Anamnesis
Pasien biasanya mengeluh vertigo dengan onset akut kurang dari 10-20 detik
akibat perubahan posisi kepala. Posisi yang memicu adalah berbalik di tempat
tidur pada posisi lateral, bangun dari tempat tidur, melihat ke atas dan belakang,
dan membungkuk. Vertigo bisa diikuti dengan mual.
b. Pemeriksaan fisik
Pasien memiliki pendengaran yang normal, tidak ada nistagmus spontan, dan
pada evaluasi neurologis normal. Pemeriksaan fisik standar untuk BPPV adalah
: Dix-Hallpike dan Tes kalori.
- Dix-Hallpike Test
Tes ini tidak boleh dilakukan pada pasien yang memiliki masalah dengan
leher dan punggung. Tujuannya adalah untuk memprovokasi serangan
vertigo dan untuk melihat adanya nistagmus. Cara melakukannya sebagai
berikut :
1. Pertama-tama jelaskan pada penderita mengenai prosedur pemeriksaan,
dan vertigo mungkin akan timbul namun menghilang setelah beberapa detik.
2. Penderita didudukkan dekat bagian ujung tempat periksa, sehingga ketika
posisi terlentang kepala ekstensi ke belakang 300-400, penderita diminta
tetap membuka mata untuk melihat nistagmus yang muncul.
3. Kepala diputar menengok ke kanan 450 (kalau kanalis semisirkularis
posterior yang terlibat). Ini akan menghasilkan kemungkinan bagi otolith
untuk bergerak, kalau ia memang sedang berada di kanalis semisirkularis
posterior.
4. Dengan tangan pemeriksa pada kedua sisi kepala penderita, penderita
direbahkan sampai kepala tergantung pada ujung tempat periksa.
5. Perhatikan munculnya nistagmus dan keluhan vertigo, posisi tersebut
dipertahankan selama 10-15 detik.
6. Komponen cepat nistagmus harusnya „up-bet‟ (ke arah dahi) dan
ipsilateral.
7. Kembalikan ke posisi duduk, nistagmus bisa terlihat dalam arahyang
berlawanan dan penderita mengeluhkan kamar berputar kearah berlawanan.
8. Berikutnya manuver tersebut diulang dengan kepala menoleh ke sisi kiri
45 derajat dan seterusnya.
- Tes kalori
Tes kalori ini dianjurkan oleh Dix dan Hallpike. Pada cara ini dipakai 2
macam air, dingin dan panas. Suhu air dingin adalah 300C, sedangkan suhu
air panas adalah 440C. Volume air yang dialirkan ke dalam liang telinga
masing-masing 250 ml, dalam waktu 40 detik. Setelah air dialirkan, dicatat
lama nistagmus yang timbul. Setelah telinga kiri diperiksa dengan air dingin,
diperiksa telinga kanan dengan air dingin juga. Kemudian telinga kiri
dialirkan air panas, lalu telinga dalam. Pada tiap-tiap selesai pemeriksaan
(telinga kiri atau kanan atau air dingin atau air panas) pasien diistirahatkan
selama 5 menit (untuk menghilangkan pusingnya).4
1. Fife D.T. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. Semin Neurol Journal.
2009;29:500-508
J. Nyeri
Neuralgia atau nyeri seperti didefinisikan oleh International Association for Study
of Pain (IASP), adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang
digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.
Klasifikasi
Nyeri Nyeri Nosiseptif Nyeri Somatik Somatik Superfisial (Kulit)

Somatik Dalam

Nyeri Viseral
Nyeri Non-Nosiseptif Nyeri Neuropatik

Nyeri Psikogenik

1. Nyeri Nosiseptif: nyeri timbul sebagai akibat perangsangan pada nosiseptor


(serabut A-δ dan serabut C) oleh rangsang mekanik, termal, kimiawi.
a. Nyeri Somatik: nyeri timbul pada organ non-viseral, misal nyeri pasca
bedah, nyeri metastatic, nyeri tulang, dan nyeri artritik
- Nyeri Somatic Superfisial: menimbulkan nyeri di kulit berupa rangsang
mekanis, suhu, kimiawi, listrik. Kulit punya banyak saraf sensorik
sehingga kerusakan kulit menimbulkan sensasi lesi nyeri yang akurat
(yang terbatas dermatom)
- Nyeri Somatic Dalam: Nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum,
tulang, sendi, dan arteri. Struktur tadi memiliki lebih sedikit reseptor
sehingga lokasi nyeri sering tidak jelas.
b. Nyeri Viseral: nyeri berasal dari organ dalam, biasanya akibat distensi organ
berongga, misal usus, kandung empedu, pancreas, jantung. Nyeri visceral
sering kali diikuti referred pain dan sensasi otonom (mual, muntah)
2. Nyeri Non Nosiseptif
a. Nyeri Neuropatik: nyeri yang timbul akibat iritasi atau trauma pada saraf,
seringkali persisten, walaupun penyebabnya sudah tidak ada, nyeri dirasa
seperti terbakar, tersengat listrik, alodinia, disestesi.
b. Nyeri Psikogenik: nyeri yang tidak memenuhi criteria nyeri somatic, dan
nyeri neuropatik, dan memenuhi criteria untuk depresi atau kelainan
psikosomatik.
1. Marjono, Mahar and Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian
Rakyat; 1988.p.149-59

You might also like