Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Gangguan ginjal akut (GGA) atau acute kidney injury (AKI), yang
sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut atau acute renal failure (ARF).14
Dahulu, tidak ada definisi operasional yang seragam tentang ARF sehingga
parameter dan batas parameter ARF yang digunakan berbeda-beda pada berbagai
kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan
membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan
sensitivitas kriteria untuk membuat diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk
menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat menggambarkan prognosis pasien.8
Istilah ARF diperkenalkan oleh Homer Smith pada tahun 1951. ARF mempunyai
penekanan kegagalan faal ginjal lanjut. Ini menyebabkan mortalitas masih tinggi
sehingga diperlukan pengertian yang lebih baik mengenai AKI untuk mengetahui
gangguan ginjal akut yang lebih awal.7
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang
beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat
mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney
diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan
penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan
patologi gangguan ginjal.14 Perubahan istilah GGA atau AKI menyebabkan
makna perubahan nilai serum kreatinin yang sedikit meninggi dapat menyebabkan
kondisi yang lebih berat, istilah gangguan (injury) lebih tepat dalam memberikan
pengertian patofisiologi penyakit dari pada istilah gagal (failure), serta
dipahaminya tahap-tahap GGA.7
GGA merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi yang dalam 15
tahun terakhir menunjukkan peningkatan insidens.14 Beberapa laporan dunia
menunjukkan insidens yang bervariasi antara 0,5-0,9% pada komunitas, 0,7-18%
pada pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 20% pada pasien yang dirawat di
1
2
unit perawatan intensif (ICU), dengan angka kematian yang dilaporkan dari
seluruh dunia berkisar 25% hingga 80% (Roesli, 2008).12
Laporan insiden AKI berlainan dari negara ke negara, dari klinik ke klinik,
oleh karena kausa yang berbeda-beda. Perbedaan geografis menentukan sebab
dari AKI misalnya di negara maju AKI terjadi pada orang tua terutama pada usia
lanjut, sedangkan di negara berkembang lebih kerap timbul pada usia muda dan
anak-anak misalnya karena malaria dan gastroenteritis akut.7 Peningkatan nyata
kasus AKI akibat meningkatnya populasi usia lanjut dengan penyakit komorbid
yang beragam, meningkatnya jumlah prosedur transplantasi organ selain ginjal,
intervensi diagnostik dan terapeutik yang lebih agresif.14
B. TUJUAN
Untuk mengetahui etiologi, tahap penyakit, dan komplikasi dari AKI
sehingga diharapkan dapat mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan dengan
benar dan akurat sehingga menurunkan angka mortalitas.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi
glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal
untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan atau tanpa gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit).4
AKI adalah penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam berupa kenaikan
kadar kreatinin serum ≥0,3 mg/dl (≥26,4 µmol/l), presentasi kenaikan serum
kreatinin ≥50% (1,5 x kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin
(oliguria yang tercatat ≤ 0,5 ml/kg/jam dalam waktu >6jam). 7
B. Klasifikasi
Tahun 2002 ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria
RIFLE yang terdiri dari 3 kategori yaitu berdasarkan peningkatan kadar Cr serum
atau penurunan LFG atau kriteria UO. Tahun 2005 Acute Kidney Injury Network
(AKIN), mengajukan modifikasi kategori R, I, dan F pada kriteria RIFLE. AKIN
mengupayakan peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan merekomendasikan :
1. Kenaikan kadar Cr serum sebesar >0,3 mg/dL sebagai ambang definisi AKI
karena dengan kenaikan tersebut telah didapatkan peningkatan angka
kematian 4 kali lebih besar.
2. Penetapan batasan waktu terjadinya penurunan fungsi ginjal secara akut,
disepakati selama maksimal 48 jam (bandingkan dengan 1 minggu dalam
kriteria RIFLE) untuk melakukan observasi dan mengulang pemeriksaan
kadar Cr serum.
3. Semua pasien yang menjalani terapi pengganti ginjal (TPG) diklasifikasikan
dalam AKI tahap 3.
4. Pertimbangan terhadap penggunaan LFG sebagai patokan klasifikasi karena
penggunaannya tidak mudah dilakukan pada pasien dalam keadaan kritis.
3
4
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>12 jam
Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam,
atau >24 jam
>4 mg/dl dengan atau
kenaikan akut > 0,5 anuria >12 jam
mg/dL
End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 bulan
C. Etiologi
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis
AKI, yakni 10:
1. Penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan
gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal sebanyak 55%).
5
AKI Renal/intrinsik
1. Obstruksi renovaskular
Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli, diseksi
aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis, kompresi)
2. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal
Glomerulonefritis, vaskulitis
3. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)
Iskemia (serupa AKI prarenal)
Toksin
Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi,
Pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemolisis,
asam urat, oksalat, mieloma)
4. Nefritis interstitia
Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bakteri, viral,
jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis), idiopatik
5. Obstruksi dan deposisi intratubular
Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,
sulfonamida
6. Rejeksi alograf ginjal
AKI Pascarenal
1. Obstruksi ureter
Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi eksternal
2. Obstruksi leher kandung kemih
Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, keganasan, darah
3. Obstruksi uretra
Striktur, katup kongenital, fimosis
D. Patofisiologi
Ada beberapa kondisi yang menjadi faktor predisposisi yang dapat
menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan gangguan fungsi ginjal, yaitu
sebagai berikut 17 :
1. Obstruksi tubulus
Teori obstruksi tubulus menyatakan bahwa NTA (necrosis tubular
acute) mengakibatkan deskuamasi sel tubulus nekrotik dan bahan protein
lainnya, dan kemudian membentuk silinder-silinder dan menyumbat lumen
tubulus. Pembengkakan seluler akibat iskemia awal, juga ikut menyokong
terjadinya obstruksi dan memperberat iskemia. Tekanan intratubulus
menigkat, sehingga tekanan filtrasi glomerulus menurun. Obstruksi
tubulus dapat merupakan faktor penting pada ARF (acute renal fallure)
7
E. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda dan gejala klinis AKI sering tersamar dan tidak spesifik
walaupun hasil pemeriksaan biokimiawi serum selalu menunjukkan
ketidaknormalan. Gambaran klinis secara umum dapat meliputi 5:
Perubahan volume urine (oliguria, poliuria)
Kelainan neurologis (lemah, letih, gangguan mental)
Gangguan pada kulit (gatal-gatal, pigmentasi, pallor)
Tanda pada kardiopulmoner (sesak, pericarditis) dan gejala saluran cerna
(mual, nafsu makan menurun, muntah).
Gambaran klinis berdasarkan lokasi AKI sebagai berikut3 :
1. AKI Prerenal
Rasa haus
Hipotensi Ortostatik
Takikardi
Penurunan tekanan vena jugularis
Penurunan tugor kulit
Selaput lendir kering
Berkurangnya keringat aksila
Data penurunan secara progresif output urin dan baru saja mendapat
pengobatan NSAID, ACE Inhibitor, Angiotensin II reseptor blocker
Diagnosis AKI prerenal hanya dapat ditegakkan bila perbaikan perfusi
ginjal mengakibatkan resolusi ginjal.
2. AKI Renal
Nyeri kolik tumpul yang menjalar ke paha
Oliguri
Oedema
Hipertensi
Demam, artralgia, dan ruam eritematous pruritus pada nefritis
interstitial alergik
11
3. AKI Pascarenal
Dapat asimptomatilk bila obstruksi berjalan lambat, nyeri pinggang
atau suprapubik bila ada distensi akut pada kandung kemih memberi kesan
obstruksi ureter akut. Diagosis defenitif Aki pascarenal bergantung pada
pemeriksaan radiologik dan perbaikan fungsi ginjal yang cepat bila
obstruksinya dihilangkan.
F. Diagnosis
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan AKI
prerenal, AKI renal, AKI pascarenal. Dalam menegakkan diagnosis AKI perlu
diperiksa 9:
1. Anamnesis yang baik, serta pemeriksaan jasmani yang teliti ditujukan untuk
mencari penyebab AKI. Pada AKI perlu diperhatikan asupan cairan,
kehilangan cairan melalui urin, muntah, diare, keringat dan lain-lain serta
pencataatan berat badan.
2. Pemeriksaan fisik untuk membedakan AKI dengan gangguan ginjal kronik
(GGK) misalnya anemia dan ukuran ginjal kecil menunjukkan GGK.
3. Untuk mendiagnosis AKI perlu pemeriksaan berulang fungsi ginjal yaitu :
kadar ureum, kreatinin, laju filtrasi glomerulus.
4. Penilaian pasien AKI :
Kadar kreatinin serum
Volume urin
Anuria akut atau oliguria merupakan indikator spesifik untuk AKI yang
dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai biokimia darah.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang AKI sebagai berikut 14:
1. Pemeriksaan Urin
AKI prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast
hialin yang transparan.
12
H. Tatalaksana
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan
pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi
(kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana optimal
penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya
ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah prarenal atau hipovolemia, terapi
sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan
menghindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan pengeluaran
cairan harus dilakukan secara rutin.4,11 Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan
dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup
berarti sehingga pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan
elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara
ketat dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit urin
dan serum.15
1. Terapi Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya
dan kondisi komorbid yang dijumpai 14
Tabel 5. Klasifikasi dan Kebutuhan Nutrisi Pasien AKI (Dimodifikasi)
Variabel Katabolisme
Ringan Sedang Berat
Contoh keadaan Toksik karena Pembedahan Sepsis, ARDS,
klinis obat + infeksi MODS
Dialisis Jarang Sesuai kebutuhan Sering
Rute pemberian Oral Enteral / Enteral /
nutrisi parenteral parenteral
2. Terapi Farmakologi
Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang
sudah digunakan selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan
penggunaannya bersifat kontoversial. Obat-obatan tersebut antara lain
diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat
Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel
thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan
prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan
pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi yang
berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik,
sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan
mengurangi kebutuhan dialisis. Namun, penelitian dan meta-analisis yang
ada tidak menunjukkan kegunaan diuretik untuk pengobatan AKI
(menurunkan mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah dialisis, proporsi
pasien oligouri, masa rawat inap), bahkan penggunaan dosis tinggi terkait
dengan peningkatan risiko ototoksisitas.9 Meskipun demikian, pada
keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien
AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan
pada penggunaan diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI adalah 9,11:
Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien
tidak dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan
pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan pemberian
cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila jumlah urin
bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.
Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna
pada AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna
pada AKI tahap awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika
manfaat tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat
100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari
dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan
15
iskemia mukosa saluran cerna, gangren digiti, dan lain-lain. Jika tetap
hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan
respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar
menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin
tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok,
sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi
ginjal. Obat-obatan lain seperti agonis selektif DA1 (fenoldopam) dalam
proses pembuktian lanjut dengan uji klinis multisenter untuk
penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis adenosin tidak
terbukti efektif pada tata laksana AKI.6,11
3. Tatalaksana Konservatif Komplikasi AKI
Pengelolaan komplikasi dapat dilakukan secara konservatif.
Tabel 6. Tata Laksana Konservatif Komplikasi AKI7
Komplikasi Tata laksana
Kelebihan cairan Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (<1 L/hari)
intravaskular Penggunaan diuretik
Hiponatremia Batasi cairan (<1 L/hari)
Hindari pemberian infus cairan hipotonik
Hiperkalemia Batasi asupan K(<40 mmol/hari)
Hindari suplemen K dan diuretik hemat K
Beri resin potassium-binding ion exchange
Beri Dekstrosa 50% 50 cc + insulin 10 unit
Beri Natrium bikarbonat 50-100 mmol
Beri salbutamol 10-20 mg inhaler atau 0,5-1
mg iv
Kalsium glukonat 10% (10 cc dalam 2-5 menit
Asidosis Batasi asupan protein (0,8-1 g/KgBB/hari)
metabolik Beri natrium bikarbonat (usahakan kadar serum
bikarbonat plasma >15 mmol/L dan pH
arteri >7,2)
Hiperfosfatemia Batasi asupan fosfat (800 mg/hari)
Beri pengikat fosfat (kalsium asetat, kalsium karbonat)
Hipokalsemia Beri kalsium karbonat atau kalsium glukonat 10% (10-
20 cc)
Hiperurisemia Terapi jika kadar asam urat >15 mg/dL
17
I. Pencegahan
Mengingat terapi AKI yang belum sepenuhnya memuaskan maka pencegahan
sangat penting untuk dilakukan. Sampai saat ini, tidak ada pencegahan umum
yang dapat diberikan pada seorang dengan penyakit dasar yang dapat
menyebabkan AKI. Pencegahan AKI terbaik adalah dengan memperhatikan status
hemodinamik seorang pasien, mempertahankan keseimbangan cairan dan
mencegah penggunaan zat nefrotoksik maupun obat yang dapat mengganggu
kompensasi ginjal pada seseorang dengan gangguan fungsi ginjal.16
19
BAB III
KESIMPULAN
Acute kidney injury (AKI) merupakan salah satu sindrom dalam bidang
nefrologi dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Istilah AKI sebaiknya
menggantikan istilah ARF karena istilah AKI memberikan gambaran yang lebih
jelas mengenai proses AKI dengan dibuatnya kriteria RIFLE/AKIN sehingga
diagnosis AKI ditegakkan berdasarkan klasifikasi RIFLE/AKIN, yang selain
menggambarkan berat penyakit juga dapat menggambarkan prognosis kematian
dan prognosis kebutuhan terapi pengganti ginjal. Kriteria RIFLE dan AKIN
memberikan cara berpikir baru dalam memahami AKI, pentahapan AKI,
standardisasi dalam definisi sehingga ada keseragaman dalam mendeskripsikan
AKI. Keseragaman ini mendorong upaya pencegahan, pengobatan, dan penelitian
yang seragam.
Diagnosis dini yang meliputi diagnosis etiologi, tahap penyakit, dan
komplikasi AKI mutlak diperlukan. Tata laksana AKI mencakup upaya tata
laksana etiologi, pencegahan penurunan fungsi ginjal lebih jauh, terapi cairan dan
nutrisi, serta tata laksana komplikasi. Hasil akhir yang diharapkan adalah
penanganan AKI yang baik
19
20
DAFTAR PUSTAKA
2. Bagshaw, S.M., George, C., Bellomo, R., 2008. A comparison of the RIFLE
and AKIN criteria for acute kidney injury in critically ill patients. Nephrol
Dial Transplant. 23:1569-74.
3. Brady, H.R., Brenner, B.M., 2003. Acute Renal Failure. Harrison’s Principal
Medicine 15 th edition. Vol II. Chapter 269.
5. Kenward, R.L., Tan, C.K. 2003. Penggunaan Obat pada Gagal Ginjal.
Farmasi Klinis Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan
Pasien.
6. Loekman, J.S., 2008. Vasoactive drugs and the kidney. PERNEFRI pp.13-17.
7. Markum, H.M.S., 2009. Gangguan Ginjal Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. V: 1041-1049.
8. Metha, R.L., Kellum, J.A., Shah, S.V., Molitoris, B.A., Ronco, C., Warnock,
D.G., 2007. Acute kidney injury network: report of an initiative to improve
outcomes in acute kidney injury. Critical Care. 11:R31.
10. Roesli, R., 2007. Kriteria “RIFLE” cara yang mudah dan terpercaya untuk
menegakkan diagnosis dan memprediksi prognosis gagal ginjal akut. Ginjal
Hipertensi. 7(1):18-24.
11. Roesli, R.M.A., 2008. Diagnosis Dan Etiologi Gangguan Ginjal Akut.
Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK
UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin pp.41-66.
12. Roesli, R.M.A., 2008. Epidemiologi Gangguan Ginjal Akut. Bandung: Pusat
Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan
Sadikin. pp.27-40.
21
14. Sinto, R., Nainggolan, G., 2010. Acute kidney injury: pendekatan klinis dan
tata laksana. Majalah Kedokteran Indonesia. 60(2): 81-88.
20
15. Sutarjo, B,. 2008. Poliuria pada gagal ginjal akut. PERNEFRI. pp.53-9.
16. Waikar, S.S., 2006. Declining mortality in patients with acute renal
failure,1988 to 2002. J Am Soc Nephrol.17:1143-50.
17. Wilson, L.M., 2005. Gagal ginjal akut. Fatofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Ed.6. Vol.2 :992-1003.