You are on page 1of 21

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Gangguan ginjal akut (GGA) atau acute kidney injury (AKI), yang
sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut atau acute renal failure (ARF).14
Dahulu, tidak ada definisi operasional yang seragam tentang ARF sehingga
parameter dan batas parameter ARF yang digunakan berbeda-beda pada berbagai
kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan
membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan
sensitivitas kriteria untuk membuat diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk
menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat menggambarkan prognosis pasien.8
Istilah ARF diperkenalkan oleh Homer Smith pada tahun 1951. ARF mempunyai
penekanan kegagalan faal ginjal lanjut. Ini menyebabkan mortalitas masih tinggi
sehingga diperlukan pengertian yang lebih baik mengenai AKI untuk mengetahui
gangguan ginjal akut yang lebih awal.7
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang
beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat
mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney
diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan
penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan
patologi gangguan ginjal.14 Perubahan istilah GGA atau AKI menyebabkan
makna perubahan nilai serum kreatinin yang sedikit meninggi dapat menyebabkan
kondisi yang lebih berat, istilah gangguan (injury) lebih tepat dalam memberikan
pengertian patofisiologi penyakit dari pada istilah gagal (failure), serta
dipahaminya tahap-tahap GGA.7
GGA merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi yang dalam 15
tahun terakhir menunjukkan peningkatan insidens.14 Beberapa laporan dunia
menunjukkan insidens yang bervariasi antara 0,5-0,9% pada komunitas, 0,7-18%
pada pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 20% pada pasien yang dirawat di

1
2

unit perawatan intensif (ICU), dengan angka kematian yang dilaporkan dari
seluruh dunia berkisar 25% hingga 80% (Roesli, 2008).12
Laporan insiden AKI berlainan dari negara ke negara, dari klinik ke klinik,
oleh karena kausa yang berbeda-beda. Perbedaan geografis menentukan sebab
dari AKI misalnya di negara maju AKI terjadi pada orang tua terutama pada usia
lanjut, sedangkan di negara berkembang lebih kerap timbul pada usia muda dan
anak-anak misalnya karena malaria dan gastroenteritis akut.7 Peningkatan nyata
kasus AKI akibat meningkatnya populasi usia lanjut dengan penyakit komorbid
yang beragam, meningkatnya jumlah prosedur transplantasi organ selain ginjal,
intervensi diagnostik dan terapeutik yang lebih agresif.14

B. TUJUAN
Untuk mengetahui etiologi, tahap penyakit, dan komplikasi dari AKI
sehingga diharapkan dapat mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan dengan
benar dan akurat sehingga menurunkan angka mortalitas.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi
glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal
untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan atau tanpa gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit).4
AKI adalah penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam berupa kenaikan
kadar kreatinin serum ≥0,3 mg/dl (≥26,4 µmol/l), presentasi kenaikan serum
kreatinin ≥50% (1,5 x kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin
(oliguria yang tercatat ≤ 0,5 ml/kg/jam dalam waktu >6jam). 7

B. Klasifikasi
Tahun 2002 ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria
RIFLE yang terdiri dari 3 kategori yaitu berdasarkan peningkatan kadar Cr serum
atau penurunan LFG atau kriteria UO. Tahun 2005 Acute Kidney Injury Network
(AKIN), mengajukan modifikasi kategori R, I, dan F pada kriteria RIFLE. AKIN
mengupayakan peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan merekomendasikan :
1. Kenaikan kadar Cr serum sebesar >0,3 mg/dL sebagai ambang definisi AKI
karena dengan kenaikan tersebut telah didapatkan peningkatan angka
kematian 4 kali lebih besar.
2. Penetapan batasan waktu terjadinya penurunan fungsi ginjal secara akut,
disepakati selama maksimal 48 jam (bandingkan dengan 1 minggu dalam
kriteria RIFLE) untuk melakukan observasi dan mengulang pemeriksaan
kadar Cr serum.
3. Semua pasien yang menjalani terapi pengganti ginjal (TPG) diklasifikasikan
dalam AKI tahap 3.
4. Pertimbangan terhadap penggunaan LFG sebagai patokan klasifikasi karena
penggunaannya tidak mudah dilakukan pada pasien dalam keadaan kritis.

3
4

Kategori LE pada kriteria RIFLE menggambarkan hasil klinis (outcome) sehingga


tidak dimasukkan dalam tahapan. 8
Tabel 1. Klasifikasi AKI dengan kriteria AKIN, 2005
Tahap Peningkatan kadar Cr serum Kriteria UO
1. >1,5 kali nilai dasar atau peningkatan <0,5 mL/kg/jam,
>0,3 mg/Dl >6 jam
2. >2,0 kali nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, > 12 jam
3. >3,0 kali nilai dasar atau >4 mg/Dl <0,3 mL/kg/jam,
dengan kenaikan akut > 0,5 mg/dL >24 jam atau
atau inisiasi terapi pengganti ginjal anuria >12 jam
Sebuah penelitian yang bertujuan membandingkan kemanfaatan modifikasi
yang dilakukan oleh AKIN terhadap kriteria RIFLE, gagal menunjukkan
peningkatan sensitivitas, dan kemampuan prediksi klasifikasi AKIN dibandingkan
dengan kriteria RIFLE.2,10
Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007
Kategori Peningkatan kadar Penurunan LFG Kriteria UO
Cr serum
Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>6 jam

Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>12 jam

Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam,
atau >24 jam
>4 mg/dl dengan atau
kenaikan akut > 0,5 anuria >12 jam
mg/dL

Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 minggu

End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 bulan

C. Etiologi
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis
AKI, yakni 10:
1. Penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan
gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal sebanyak 55%).
5

2. Penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal


(AKI renal/intrinsik, sebanyak 40%).
3. Penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,
sebanyak 5%).
Tabel 3. Klasifikasi Penyebab AKI (Dimodifikasi)1,4
AKI Prarenal
1. Hipovolemia
 Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular.
 Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi usus
 Kehilangan darah
 Kehilangan cairan ke luar tubuh. Melalui saluran cerna (muntah, diare,
drainase), melalui saluran kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis
osmotik), melalui kulit (luka bakar)
2. Penurunan curah jantung
 Penyebab miokard: infark, kardiomiopati
 Penyebab perikard: tamponade
 Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
 Aritmia
 Penyebab katup jantung
3. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik
 Penurunan resistensi vaskular perifer
Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan (contoh:
barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi)
 Vasokonstriksi ginjal
Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus,
amphotericin B
 Hipoperfusi ginjal lokal
Stenosis a.renalis, hipertensi maligna
4. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
 Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen
Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi kronik,
PGK (penyakit ginjal kronik), hipertensi maligna), penurunan
prostaglandin (penggunaan OAINS, COX-2 inhibitor), vasokonstriksi
arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia, sindrom hepatorenal,
siklosporin, takrolimus, radiokontras)
 Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen
 Penggunaan penyekat ACE, ARB
 Stenosis a. renali
5. Sindrom hiperviskositas
 Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia
6

AKI Renal/intrinsik
1. Obstruksi renovaskular
 Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli, diseksi
aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis, kompresi)
2. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal
 Glomerulonefritis, vaskulitis
3. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)
 Iskemia (serupa AKI prarenal)
 Toksin
 Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi,
Pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemolisis,
asam urat, oksalat, mieloma)
4. Nefritis interstitia
 Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bakteri, viral,
jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis), idiopatik
5. Obstruksi dan deposisi intratubular
 Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,
sulfonamida
6. Rejeksi alograf ginjal
AKI Pascarenal
1. Obstruksi ureter
 Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi eksternal
2. Obstruksi leher kandung kemih
 Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, keganasan, darah
3. Obstruksi uretra
 Striktur, katup kongenital, fimosis

D. Patofisiologi
Ada beberapa kondisi yang menjadi faktor predisposisi yang dapat
menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan gangguan fungsi ginjal, yaitu
sebagai berikut 17 :
1. Obstruksi tubulus
Teori obstruksi tubulus menyatakan bahwa NTA (necrosis tubular
acute) mengakibatkan deskuamasi sel tubulus nekrotik dan bahan protein
lainnya, dan kemudian membentuk silinder-silinder dan menyumbat lumen
tubulus. Pembengkakan seluler akibat iskemia awal, juga ikut menyokong
terjadinya obstruksi dan memperberat iskemia. Tekanan intratubulus
menigkat, sehingga tekanan filtrasi glomerulus menurun. Obstruksi
tubulus dapat merupakan faktor penting pada ARF (acute renal fallure)
7

yang disebabkan oleh logam berat, etilen glikol, atau iskemia


berkepanjangan.
2. Kebocoran cairan tubulus
Hipotesis kebocoran tubulus mengatakan bahwa filtrasi glomerulus
terus berlangsung normal tetapi cairan tubulus bocor keluar dari lumen
melalui sel-sel tubulus yang rusak dan masuk ke dalam sirkulasi
peritubular. Kerusakan membrane basalis dapat terlihat pada NTA
(necrosis tubular acute) yang berat, yang merupakan dasar anatomic
mekanisme ini.
3. Penurunan permeabilitas glomerulus
Meskipun sindrom NTA (necrosis tubular acute) menyatakan adanya
abnormalitas tubulus ginjal, bukti-bukti terakhir menyatakan bahwa dalam
keadaan-keadaan tertentu sel-sel endotel kapiler glomerulus dan /atau sel-
sel membrane basalis mengalami perubahan yang mengakibatkan
menurunnya permeabilitas luas permukaan filtrasi. Hal ini mengakibatkan
penurunan ultrafiltasi glomerulus.
4. Disfungsi vasomotor
Aliran darah ginjal total (RBF) dapat berkurang sampai 30% dari
normal pada ARF oliguria. Tingkat RBF ini cocok dengan GFR
(glomerular filtration rate) yang cukup besar. Pada kenyataannya, RBF
pada gagal ginjal kronik sering sama rendahnya atau lebih rendah dari
pada bentuk akut, tetapi fungsi ginjal masih memadai atau berkurang.
Selain itu, bukti-bukti percobaan membuktikan bahwa RBF harus kurang
dari 5% sebelum terjadi kerusakan parenkim ginjal Dengan demikian
hipoperfusi ginjal saja tidak menyebabkan penurunan GFR dan lesi-lesi
tubulus yang terjadi pada ARF (acute renal fallure). Meskipun demikian,
terdapat bukti perubahan bermakna pada distribusi aliran darah intrarenal
dari korteks ke medulla selama hipotensi akut dan memanjang. Pada ginjal
normal, kira-kira 90% darah didistribusikan ke korteks (glomeruli) dan
10% menuju ke medulla. Dengan demikian ginjal dapat memekatkan urin
dan menjalankan fungsinya. Sebaliknya pada ARF perbandingan antara
8

distribusi korteks dan medulla ginjal menjadi terbalik, sehingga terjadi


iskemia relative pada korteks ginjal. Kontriksi arteriol aferen merupakan
dasar vascular dari penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR). Iskemia
ginjal akan mengaktifasi sistem renin-angiotensin dan memperberat
iskemia korteks setelah hilangnya rangsangan awal. Kadar renin tertinggi
ditemukan pada korteks luar ginjal, tempat terjadinya iskemia paling berat
selama berlangsungnya ARF (acute renal fallure) pada hewan maupun
manusia. Beberapa penulis mengajukan teori mengenai prostaglandin
dalam disfungsi vasomotor pada ARF (acute renal fallure). Dalam keadaan
normal, hipoksia ginjal merangsang sintesis prostaglandin E dan
prostaglandin A (PGE dan PGA) ginjal (vasodilator yang kuat), sehingga
aliran darah ginjal diredistribusi ke korteks yang mengakibatkan diuresis.
Agaknya, iskemia akut yang berat atau berkepanjangan dapat menghambat
sintesis prostaglandin ginjal tersebut. Penghambat prostaglandin seperti
aspirin diketahui dapat menurunkan RBF pada orang normal dan dapat
menyebabkan NTA (necrosis tubular acute).
5. Umpan balik tubulo-glomerulus
Umpan balik tubuloglomerulus merupakan suatu fenomena saat aliran
ke nefron distal diregulasi oleh reseptor dalam makula densa tubulus
distal, yang terletak berdekatan dengan ujung glomerulus. Apabila
peningkat aliran filtrate tubulus kearah distal tidak mencukupi, kapasitas
reabsorbsi tubulus distal dan duktus kolegentus dapat melimpah dan
menyebabkan terjadinya deplesi volume cairan ekstra sel. Oleh karena itu
TGF merupakan mekanisme protektif. Pada NTA (necrosis tubular acute),
kerusakan tubulus proksimal sangat menurunkan kapasitas absorbs
tubulus. TGF diyakini setidaknya berperan dalam menurunnya GFR
(glomerular filtration rate) pada keadaan NTA (necrosis tubular acute)
dengan menyebabkan konstriksi arteriol aferen atau kontriksi mesangial
atau keduanya, yang berturut-turut menurun kan permeabilitas dan tekanan
kapiler intraglomerulus. Oleh karena itu, penurunan GFR akibat TGF
dapat dipertimbangkan sebagai mekanisme adaptif pada NTA.
9
10

E. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda dan gejala klinis AKI sering tersamar dan tidak spesifik
walaupun hasil pemeriksaan biokimiawi serum selalu menunjukkan
ketidaknormalan. Gambaran klinis secara umum dapat meliputi 5:
 Perubahan volume urine (oliguria, poliuria)
 Kelainan neurologis (lemah, letih, gangguan mental)
 Gangguan pada kulit (gatal-gatal, pigmentasi, pallor)
 Tanda pada kardiopulmoner (sesak, pericarditis) dan gejala saluran cerna
(mual, nafsu makan menurun, muntah).
Gambaran klinis berdasarkan lokasi AKI sebagai berikut3 :
1. AKI Prerenal
 Rasa haus
 Hipotensi Ortostatik
 Takikardi
 Penurunan tekanan vena jugularis
 Penurunan tugor kulit
 Selaput lendir kering
 Berkurangnya keringat aksila
 Data penurunan secara progresif output urin dan baru saja mendapat
pengobatan NSAID, ACE Inhibitor, Angiotensin II reseptor blocker
Diagnosis AKI prerenal hanya dapat ditegakkan bila perbaikan perfusi
ginjal mengakibatkan resolusi ginjal.
2. AKI Renal
 Nyeri kolik tumpul yang menjalar ke paha
 Oliguri
 Oedema
 Hipertensi
 Demam, artralgia, dan ruam eritematous pruritus pada nefritis
interstitial alergik
11

3. AKI Pascarenal
Dapat asimptomatilk bila obstruksi berjalan lambat, nyeri pinggang
atau suprapubik bila ada distensi akut pada kandung kemih memberi kesan
obstruksi ureter akut. Diagosis defenitif Aki pascarenal bergantung pada
pemeriksaan radiologik dan perbaikan fungsi ginjal yang cepat bila
obstruksinya dihilangkan.

F. Diagnosis
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan AKI
prerenal, AKI renal, AKI pascarenal. Dalam menegakkan diagnosis AKI perlu
diperiksa 9:
1. Anamnesis yang baik, serta pemeriksaan jasmani yang teliti ditujukan untuk
mencari penyebab AKI. Pada AKI perlu diperhatikan asupan cairan,
kehilangan cairan melalui urin, muntah, diare, keringat dan lain-lain serta
pencataatan berat badan.
2. Pemeriksaan fisik untuk membedakan AKI dengan gangguan ginjal kronik
(GGK) misalnya anemia dan ukuran ginjal kecil menunjukkan GGK.
3. Untuk mendiagnosis AKI perlu pemeriksaan berulang fungsi ginjal yaitu :
kadar ureum, kreatinin, laju filtrasi glomerulus.
4. Penilaian pasien AKI :
 Kadar kreatinin serum
 Volume urin
Anuria akut atau oliguria merupakan indikator spesifik untuk AKI yang
dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai biokimia darah.

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang AKI sebagai berikut 14:
1. Pemeriksaan Urin
 AKI prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast
hialin yang transparan.
12

 AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif,


walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi
intralumen atau penyakit prostat.
 AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan
pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown” granular
cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada
ATN, cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis
tubulointerstitial, cast leukosit dan pigmented “muddy brown”
granular cast pada nefritis interstitial.
2. Pemeriksaan Darah dan Urin
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan
urin (osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat
mengarahkan pada penentuan tipe AKI, seperti yang terlihat pada tabel 4).
Tabel 4. Kelainan Analisis Urin (Dimodifikasi)
Indeks diagnosis AKI prarenal AKI renal
Urinalisis Silinder hialin Abnormal
Gravitasi spesifik >1,020 ~1,010
Osmolalitas urin (mmol/kgH20) >500 ~300
Kadar natrium urin (mmol/L) <10 (<20) >20 (>40)
Fraksi ekskresi natrium (%) <1 >1
Fraksi ekskresi urea (%) <35 >35
Rasio Cr urin/Cr plasma >40 <20
Rasio urea urin/urea plasma >8 <3
3. Pemeriksaan pencitraan
Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan,
MRI, dan angiografi ginjal.
4. Biopsi
Biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang
belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil
disingkirkan.
13

H. Tatalaksana
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan
pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi
(kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana optimal
penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya
ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah prarenal atau hipovolemia, terapi
sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan
menghindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan pengeluaran
cairan harus dilakukan secara rutin.4,11 Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan
dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup
berarti sehingga pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan
elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara
ketat dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit urin
dan serum.15
1. Terapi Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya
dan kondisi komorbid yang dijumpai 14
Tabel 5. Klasifikasi dan Kebutuhan Nutrisi Pasien AKI (Dimodifikasi)
Variabel Katabolisme
Ringan Sedang Berat
Contoh keadaan Toksik karena Pembedahan Sepsis, ARDS,
klinis obat + infeksi MODS
Dialisis Jarang Sesuai kebutuhan Sering
Rute pemberian Oral Enteral / Enteral /
nutrisi parenteral parenteral

Rekomendasi 20-25 25-30 25-30


energi kkal/kgBB/hari kkal/kgBB/hari kkal/kgBB/hari
Sumber energi Glukosa 3-5 Glukosa 3-5 Glukosa3-5
g/kgBB/hari g/kgBB/hari g/kgBB/hari
Lemak 0,5-1 g/ Lemak 0,8-1,2
kgBB/hari kgBB/hari
Kebutuhan 0,6-1 g/kgBB/hari 0,8-1,2 1,0-1,5
protein g/kgBB/hari g/kgBB/hari
Pemberian nutrisi Makanan Formula enteral Formula enteral
Glukosa 50-70% Glukosa 50-70%
Lemak 10-20% Lemak 10-20%
AA 6,5-10% AA 6,5-10%
Mikronutrien Mikronutrien
14

2. Terapi Farmakologi
Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang
sudah digunakan selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan
penggunaannya bersifat kontoversial. Obat-obatan tersebut antara lain
diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat
Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel
thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan
prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan
pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi yang
berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik,
sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan
mengurangi kebutuhan dialisis. Namun, penelitian dan meta-analisis yang
ada tidak menunjukkan kegunaan diuretik untuk pengobatan AKI
(menurunkan mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah dialisis, proporsi
pasien oligouri, masa rawat inap), bahkan penggunaan dosis tinggi terkait
dengan peningkatan risiko ototoksisitas.9 Meskipun demikian, pada
keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien
AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan
pada penggunaan diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI adalah 9,11:
 Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien
tidak dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan
pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan pemberian
cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila jumlah urin
bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.
 Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna
pada AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna
pada AKI tahap awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika
manfaat tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat
100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari
dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan
15

bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan


translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil
(keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain.
Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat
menyebabkan toksisitas.9,11
Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke
intravaskuler sehingga dapat digunakan untuk tatalaksana AKI khususnya
pada tahap oligouria. Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan
dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat
nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan
aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih
dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat
meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki
prognosis pasien.13
Dopamin dosis rendah (0,5-3 μg/kgBB/menit) secara historis
digunakan dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor
dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis rendah dapat
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na+/K+-
ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG dan
natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan
vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan
karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap
pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis
yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga
sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status
volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi,
diabetes mellitus, aterosklerosis) sehingga beberapa ahli berpendapat
sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti
yang tertulis pada literatur. Dalam penelitian dan meta-analisis,
penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat bahkan
terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia,
16

iskemia mukosa saluran cerna, gangren digiti, dan lain-lain. Jika tetap
hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan
respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar
menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin
tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok,
sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi
ginjal. Obat-obatan lain seperti agonis selektif DA1 (fenoldopam) dalam
proses pembuktian lanjut dengan uji klinis multisenter untuk
penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis adenosin tidak
terbukti efektif pada tata laksana AKI.6,11
3. Tatalaksana Konservatif Komplikasi AKI
Pengelolaan komplikasi dapat dilakukan secara konservatif.
Tabel 6. Tata Laksana Konservatif Komplikasi AKI7
Komplikasi Tata laksana
Kelebihan cairan  Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (<1 L/hari)
intravaskular  Penggunaan diuretik
Hiponatremia  Batasi cairan (<1 L/hari)
 Hindari pemberian infus cairan hipotonik
Hiperkalemia  Batasi asupan K(<40 mmol/hari)
 Hindari suplemen K dan diuretik hemat K
 Beri resin potassium-binding ion exchange
 Beri Dekstrosa 50% 50 cc + insulin 10 unit
 Beri Natrium bikarbonat 50-100 mmol
 Beri salbutamol 10-20 mg inhaler atau 0,5-1
 mg iv
 Kalsium glukonat 10% (10 cc dalam 2-5 menit
Asidosis  Batasi asupan protein (0,8-1 g/KgBB/hari)
metabolik  Beri natrium bikarbonat (usahakan kadar serum
 bikarbonat plasma >15 mmol/L dan pH
 arteri >7,2)
Hiperfosfatemia  Batasi asupan fosfat (800 mg/hari)
 Beri pengikat fosfat (kalsium asetat, kalsium karbonat)
Hipokalsemia  Beri kalsium karbonat atau kalsium glukonat 10% (10-
20 cc)
Hiperurisemia  Terapi jika kadar asam urat >15 mg/dL
17

Pengelolaan komplikasi juga dapat dilakukan dengan terapi


pengganti ginjal yang diindikasikan pada keadaan berikut 7 :
 Oliguria : produksi urin < 2000 ml dalam 12 jam
 Anuria : produksi urin < 50 ml dalam 12 jam
 Hiperkalemia : kdar potasium > 6.5 mmol/L
 Asidemia (keracunan asam yang berat : pH < 7.0
 Azotemia : kadar urea > 30 mmol/L
 Ensefalopati uremikum
 Perikarditis uremikum
 Natrium abnormalitas plasma : konsentrasi > 155 mmol/L atau
<120 mmol/L
 Hipernatremia
 Keracunan obat

Prioritas Tatalaksana Pasien AKI7 :


1. Cari dan perbaiki faktor pre dan pasca renal
2. Evaluasi obat-obatan yang telah diberikan
3. Optimalkan curah jantung dan aliran darah ke ginjal
4. Monitor asupan cairan dan pengeluaran cairan, timbang berat badan tiap
hari
5. Cari dan obati komplikasi akut (hiperkalemia, hipernatremia, asidosis,
hiperfosfatemia, oedema paru)
6. Asupan nutrisi adekuat sejak dini
7. Cari fokus infeksi dan atasi infeksi secara agresif
8. Perawatan menyeluruh yang baik (kateter, kulit, psikologis)
9. Segera memulai terapi dialisis sebelum timbul komplikasi
10. Berikan obat dengan dosis tepat sesuai kapasitas bersihan ginjal
18

I. Pencegahan
Mengingat terapi AKI yang belum sepenuhnya memuaskan maka pencegahan
sangat penting untuk dilakukan. Sampai saat ini, tidak ada pencegahan umum
yang dapat diberikan pada seorang dengan penyakit dasar yang dapat
menyebabkan AKI. Pencegahan AKI terbaik adalah dengan memperhatikan status
hemodinamik seorang pasien, mempertahankan keseimbangan cairan dan
mencegah penggunaan zat nefrotoksik maupun obat yang dapat mengganggu
kompensasi ginjal pada seseorang dengan gangguan fungsi ginjal.16
19

BAB III
KESIMPULAN

Acute kidney injury (AKI) merupakan salah satu sindrom dalam bidang
nefrologi dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Istilah AKI sebaiknya
menggantikan istilah ARF karena istilah AKI memberikan gambaran yang lebih
jelas mengenai proses AKI dengan dibuatnya kriteria RIFLE/AKIN sehingga
diagnosis AKI ditegakkan berdasarkan klasifikasi RIFLE/AKIN, yang selain
menggambarkan berat penyakit juga dapat menggambarkan prognosis kematian
dan prognosis kebutuhan terapi pengganti ginjal. Kriteria RIFLE dan AKIN
memberikan cara berpikir baru dalam memahami AKI, pentahapan AKI,
standardisasi dalam definisi sehingga ada keseragaman dalam mendeskripsikan
AKI. Keseragaman ini mendorong upaya pencegahan, pengobatan, dan penelitian
yang seragam.
Diagnosis dini yang meliputi diagnosis etiologi, tahap penyakit, dan
komplikasi AKI mutlak diperlukan. Tata laksana AKI mencakup upaya tata
laksana etiologi, pencegahan penurunan fungsi ginjal lebih jauh, terapi cairan dan
nutrisi, serta tata laksana komplikasi. Hasil akhir yang diharapkan adalah
penanganan AKI yang baik

19
20

DAFTAR PUSTAKA

1. Abuelo, J.G., 2007. Normotensive ischemic acute renal failure. N Engl J


Med. 357:797-805.

2. Bagshaw, S.M., George, C., Bellomo, R., 2008. A comparison of the RIFLE
and AKIN criteria for acute kidney injury in critically ill patients. Nephrol
Dial Transplant. 23:1569-74.

3. Brady, H.R., Brenner, B.M., 2003. Acute Renal Failure. Harrison’s Principal
Medicine 15 th edition. Vol II. Chapter 269.

4. Brady, H.R., Brenner, B.M., 2005. Harrison’s Principal Medicine. pp.1644-


53.

5. Kenward, R.L., Tan, C.K. 2003. Penggunaan Obat pada Gagal Ginjal.
Farmasi Klinis Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan
Pasien.

6. Loekman, J.S., 2008. Vasoactive drugs and the kidney. PERNEFRI pp.13-17.

7. Markum, H.M.S., 2009. Gangguan Ginjal Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. V: 1041-1049.

8. Metha, R.L., Kellum, J.A., Shah, S.V., Molitoris, B.A., Ronco, C., Warnock,
D.G., 2007. Acute kidney injury network: report of an initiative to improve
outcomes in acute kidney injury. Critical Care. 11:R31.

9. Mohani, C.I., 2008. Diuretika pada kasus dengan oligouria. PERNEFRI.


pp.9-10.

10. Roesli, R., 2007. Kriteria “RIFLE” cara yang mudah dan terpercaya untuk
menegakkan diagnosis dan memprediksi prognosis gagal ginjal akut. Ginjal
Hipertensi. 7(1):18-24.

11. Roesli, R.M.A., 2008. Diagnosis Dan Etiologi Gangguan Ginjal Akut.
Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK
UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin pp.41-66.

12. Roesli, R.M.A., 2008. Epidemiologi Gangguan Ginjal Akut. Bandung: Pusat
Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan
Sadikin. pp.27-40.
21

13. Sja’bani, M., 2008. Penggunaan manitol: dampaknya pada ginjal.


PERNEFRI. pp.21-22.

14. Sinto, R., Nainggolan, G., 2010. Acute kidney injury: pendekatan klinis dan
tata laksana. Majalah Kedokteran Indonesia. 60(2): 81-88.
20
15. Sutarjo, B,. 2008. Poliuria pada gagal ginjal akut. PERNEFRI. pp.53-9.

16. Waikar, S.S., 2006. Declining mortality in patients with acute renal
failure,1988 to 2002. J Am Soc Nephrol.17:1143-50.

17. Wilson, L.M., 2005. Gagal ginjal akut. Fatofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Ed.6. Vol.2 :992-1003.

You might also like