Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Japanese encephalitis adalah suatu penyakit infeksi virus yang menyerang susunan
saraf pusat yang disebabkan oleh Japanese encephalitis Virus.1,2,3 Virus ini disebarkan oleh
nyamuk Culex triataeniorhynchus (mosquito-borne viral disease) dan berasal dari hewan
lain. Japanese encephalitis pertama kali ditemukan pada sebuah wabah di Jepang pada tahun
1871, dan dahulu dikenal dengan istilah Japanese B encephalitis, untuk mernbedakannya dari
ensefalitis yang disebabkan oleh virus lain yang disebut Japanese A encephalitis atau von
Economo encephalitis. Di Jepang penyakit ini juga dikenal dengan istilah summer disease,
karena pada musim panas angka kejadian Japanese encephalitis tinggi.1
Di Indonesia, pada tahun 1971 untuk pertama kalinya diisolasi virus Japanese
encephalitis dari nyamuk Culex, kemudian dari nyamuk Anopheles. Sedangkan diagnosis
Japanese encephalitis baru dapat ditegakkan pada tahun 1981 berdasarkan kriteria WHO dan
pemeriksaan IAHA (immune adherence hemaglutinatlon). Virus Japanese encephalitis
pertama kali diisolasi dari babi di Indonesia padatahun1972.Japanese encephalitis dapat
ditemukan sepanjang tahun. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi sebagian
besar kasus terjadi pada usia 2-10 tahun dengan perbandingan antara laki-laki dan perernpuan
adalah1,5:1.1
Dari hasil surveilans di Bali, yang dilakukan atas kerjasama antara Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Pengawasan Lingkungan Departemen Kesehatan
(Ditjen PPM & PL DepKes), Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan International
Vaccine Institute (IVI) Korea, dalam kurun waktu tahun 2001-2002 ditemukan 74 kasus
Japanese encephalitis, 16 (21,6%) diantaranya ditemukan pada anak usia 13-24 bulan. Angka
kematian secara keseluruhan 9,46%, sedangkan 47,30% sernbuh dengan gejala sisa mulai
dari depresi emosi sampai kelainan saraf kranial, deserebrasi, dekortikasi, dan paresis. Dari
data tersebut di atas, dapat digambarkan bahwa telah terjadi kehilangan potensi sumber daya
manusia untuk pembangunan Negara di kemudian hari. 2
1
Japanese Encephalitis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Definisi
Japanese encephalitis adalah suatu penyakit yang menyerang susunan saraf pusat
(Otak, medulla spinalis dan meningen), yang disebabkan oleh Japanese Encephalitis Virus
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. 1
2.2 Epidemiologi
Dari data Subdit Zoonosis, Ditjen PPM-PL, Depkes RI dalam kurun waktu tahun
1993-2000, didapatkan spesimen positif Japanese encephalitis pada manusia di 14 propinsi
yang tersebar di seluruh Indonesia (Bali, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Nusa
Tenggara Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa
Tenggara Timur, dan Papua)2
2
Japanese Encephalitis
2.3 Etiologi
Japanese encephalitis Virus telah diisolasi dari sejumlah spesies nyamuk dalam
berbagai penelitian, antara lain Culex tritaeniorrhynchus,Culex gelidus, Aedes curtipes, dan
berbagai spesies Anopheles dan Mansonia.1 Akan tetapi dibeberapa tempat Culex
tritaeniorrhynchus adalah yang paling kompeten dalam penyebaran virus ini.1-6 Beberapa
host lainnya adalah ternak, sapi, kambing, domba, kuda, tikus, monyet, anjing dan
kelelawar.5
Setelah Culex yang infektif menggigit manusia yang rentan, virus menuju sistem
getah bening sekitar gigitan nyamuk (kelenjar regional) dan berkembang biak, kemudian
3
Japanese Encephalitis
masuk ke peredaran darah.Hal ini menimbulkan viremia pertama yang ringan dan
berlangsung sebentar, Melalui aliran darah, virus menyebar ke susunan saraf pusat dan organ
ekstraneural. Di dalam organ ekstraneural virus berkembang biak. Virus yang dilepaskan dan
masuk ke peredaran darah menyebabkan viremia kedua yang bersamaan dengan penyebaran
infeksi ke jaringan dan menimbulkan gejala sistemik.
Bagaimana virus menembus sawar otak, masih belum diketahui dengan pasti. Diduga
setelah terjadinya viremia virus menembus dan berkembang biak pada sel endotel vascular
dengan cara endositosis, sehingga dapat menembus sawar darah otak.. Setelah mencapai
jaringan susunan saraf pusat, virus berkembang biak dalam sel dengan cepat pada reticulum
endoplasma yang kasar serta badan golgi dan setelah itu menghancurkannya. Akibatnya
permeabilitas neuron, glia dan endotel meningkat, dan cairan dapat masuk ke dalam sel dan
timbul edema sitotoksik. Edema sitotoksik inilah yang menimbulkan klinis berupa ensefalitis.
Selain itu, virus juga dapat menimbulkan kerusakan jaringan saraf karena
pembentukan antibodi antivirus pada viremia kedua. Antibodi bereksi dengan antigen dan
membentuk kompleks antigen antobodi yang beredar dalam darah dan susunan saraf pusat.
Di dalam susunan saraf pusat menimbulkan proses inflamasi dengan akibat timbulnya edema,
kemudian anoksia dan akhirnya kematian saraf pusat yang luas.2
Masa inkubasi bervariasi antara 4 sampai 14 hari. Perkembangan gejala terbagi atas 4
stadium: prodromal, fase akut, fase subakut, fase konvalesen.1,2 Pada kasus fatal, pasien dapat
koma dan meninggal. Gejala biasanya datang tiba-tiba, seperti nyeri kepala, gangguan
pernapasan, penurunan nafsu makan, mual, sakit perut, muntah, kelainan saraf, termasuk
gangguan jiwa. Gejala kerusakan otak sehubungan dengan infeksi dapat berupa: kejang
dan/atau pergerakan abnormal, pergerakan bola mata yang tidak simetris, refleks kornea
negatif, pernapasan tidak teratur. Demam tidak terlalu tinggi disertai gangguan pernapasan
mungkin merupakan gejala klinis Japanese encephalitis . Kejang dialami oleh 10-24 %
penderita anak; lebih sedikit pada dewasa. Gejala peningkatan tekanan intrakranial mencakup
nyeri kepala hebat, muntah, pupil tidak reaktif terhadap cahaya, hemiplegia, bradikardia, dan
hipertensi. Pada fase ini, biasanya pemeriksaan cairan otak menunjukkan peningkatan
leukosit. Kemudian, tampak limfosit dominan. Albuminuria sering ditemukan.3,5,7
a. Stadium prodormal
Terjadinya penyakit ini agak cepat. Stadium prodormal berlangsung 2-3 hari.
Dimulai dari keluhan sampai terserang susunan saraf pusat. Gejala yang dominan
adalah demam, nyeri kepala dengan ato tanpa menggigil. Gejala lain seperti
malaise, anoreksia, keluhan traktus respiratorius seperti batuk, pilek, dan keluhan
traktus gastrointestinal seperti mual, muntah dan nyeri sekita epigastrium. Nyeri
kepala yang tidak hilang dengan obat analgesik.1,2
b. Stadium akut
Berlangsung 3-4 hari, ditandai dengan demam tinggi yang tidak turun dengan
obat antipiretik. Apabila selaput otak telah terinfeksi dan membengkak maka akan
timbul nyeri dan kekakuan pada leher. Pasien mulai merasakan dalam dari
pembengkakan jaringan otak dan peningkatan intrakranial (gangguan koordinasi
dan keseimbangan, kelemahan otot, tremor, kekauan wajah, nyeri kepala, mual,
muntah, penurunan kesadaran dari apatis dari koma). Iritasi meningen berupa
kaku kuduk.
Tanda klinis yang agak khas pada stadium ini adalah terjadinya perubahan
gejala susunan saraf pusat yang cepat, misalnya hiperrefleksi diikuti dengan
hiporefleksi. Status mental pasien dapat bervariasi dari konfusi, delirium,
5
Japanese Encephalitis
2.6 Diagnosa
Secara klinis tidak ada gejala yang khas pada JE, maka sering kali diagnosis
ditegakkan sebagai ensefalitis tanpa dicari penyebabnya, apalagi untuk melakukan
pemeriksaan lebih lanjut diperlukan lebih banyak biaya. Padabal menegakkan diagnosis JE
penting sekali, karena dapat menggambarkan data epidemiologi penyakit.
a. anamnesa
6
Japanese Encephalitis
yang berdekatan dengan petemakan pada pasien yang datang dengan gejala dan
tanda ensefalitis. Kecurigaan juga bisa timbul bila saat itu di daerah tersebut
sedang mengalarni masa tanam padi atau baru memasuki musim penghujan.
Kemudian anak mengalami demam tinggi yang tidak hilang dengan pemberian
antipiretik analgesic, kadang disertai kejang.1,2
b. Pemeriksaan Fisik
Saat ini WHO sedang menyusun definisi baru untuk sindrom ensefalitis akut,
sebagai berikut:
7
Japanese Encephalitis
Seseorang, umur berapa saja, berada dimana saja dan terjadi kapan saja
sepanjang tahun, dengan tanda-tanda:
o Demam akut,
o Perubahan status mental (seperti konfusi, disorientasi, ketidak
mampuan untuk bicara, koma), dan atau
o Serangan kejang baru, tidak termasuk kejang dernam sederhana
(yaitu Serangan kejang tunggal <15 menit dengan pemulihan
kesadaran dalam 60 menit pada usia 6 bulan sampai 5 tahun). 1,2
c. Pemeriksaan Penunjang
1.Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah tepi lengkap dapat ditemukan anemia dan
leukositosis ringan dengan hitung jenis sel polimorfonuklear lebih banyak
daripada sel mononuklear, trombositopenia ringan dan laju endap darah
meningkat. Kadar natrium serum dapat menurun karena sekresi anti
diuretik hormon yang tidak adekuat.1,2
Pemeriksaan cairan serebrospinal
Pada perneriksaan cairan serebrospinal menunjukkan jumlah sel 100
1000/ml yang pada awalnya berupa sel polimorfonuklear, tetapi akan cepat
berubah menjadi sel mononuklear. Cairan serebrospinal jarang
mengandung virus, kecuali pada kasus-kasus berat dan fatal. Kadar
glukosa normal atau menurun, sedangkan protein sedikit meningkat (50-
100 mg%).1,2
Uji serologi
Adanya lebih dari satu flavivirus yang bersirkulasi secara bersamaan
dalam darah dengan antibodi yang dapat bereaksi silang menimbulkan
tantangan bagi uji serologi untuk dapat mendeteksi JE, dan
membedakannya dari flavivirus yang lain. Sehubungan dengan hal itu uji
serologi JE yang ideal harus mernpunyai sensitivitas dan spesifisitas
tinggi. Uji diagnostik baku adalah pemeriksaan IgM capture dengan cara
8
Japanese Encephalitis
ELISA (enzyme linked immune sorbent assay) dari serum atau cairan
serebrospinal, mempunyai sensitivitas mendekati 100% bila kedua bahan
tersebut diperiksa. Tetapi bila dilakukan terlalu dini (pada minggu
pertama) dapat terjadi negatif palsu. Beberapa reaksi silang dapat tirnbul
Dari flavivirus lain (misalnya dengue, virus West Nile) dan pasca
vaksinasi Japanese encephalitis serta demam kuning (yellow fever). Untuk
diagnosis di lapangan dilakukan pemeriksaan IgM dol enzyme
immunoassay untuk cairan serebrospinal dan serum. Dibandingkan dengan
ELISA cara ini memiliki sensitivitas 98,3% dan spesifsitas 99,2%. Selain
itu ada beberapa uji serologi lain, misalnya:
- Uji immunofluorecent antibody (IFA) dengan menggunakan petanda
virus khusus dengan antibodi manusia yang telah dilabel dengan
bahan fluoresen, dapat dipakai untuk rnenegakkan diagnosis.
- ELISA. Uji netralisasi serum dilakukan pada stadium akut dan
konvalesen, diperiksa IgM anti dengue, IgG anti dengue, IgM anti
Japanese encephalitis dan IgG anti Japanese encephalitis. Hasil
dikatakan positif jika lebih besar dari 40 unit.
- Uji Immune adherence hemaglutination (IAHA) menggunakan
serum stadium akut dan konvalesen. Apabila positif dijumpai
kenaikan titer 4x
- Pemeriksaan HI (haemagiuttnation inhibition) dari serum dan cairan
serebrospinal, dilakukan pada stadium akut dan konvalesen; positif
apabila dijumpai kenaikan titer lebih dari 4x, Kelebihan dari cara
ini, adalah dapat dilakukan dengan peralatan laboratorium sederhana,
reagen mudah didapat, serta biayanya relatif murah. Kelemahan cara
ini adalah tidak dapat membedakan JE dari flavivirus lain seperti
dengue dan virus West Nile.1,2
2. Pemeriksaan konfirmasi
Isolasi virus
Isolasi virus jarang didapat dari darah dan cairan serebrospinal, tetapi lebih
sering dari jaringan otak. Isolasi dari darah dapat dilakukan selama
9
Japanese Encephalitis
3. Pemeriksaan lain
Pencitraan
Pencitraan susunan saraf pusat dapat mendukung diagnosis. Pemeriksaan
Magnetic Resonance imaging (MRI) dan CT scan sering memperlihatkan
adanya lesi bilateral pada thalamus yang disertai perdarahan. Ganglia
basalis ,putamen, pons, medulla spinalis, dan serebelum juga terlihat
abnormal.
Pemeriksaan histologi
Pada pemeriksaan histologi terdapat perubahan pada talamus, substansia
nigra ,batang otak, hipokampus, serebelum, dan medulla spinalis, termasuk
10
Japanese Encephalitis
degenerasi fokal saraf dengan proliferasi difus dan fokal microglia dan
perivascular lymphocytic cuffing.1,2
Diagnosis banding termasuk ensefalitis dan meningitis akibat berbagai penyebab lain,
bakterial rnaupun non-bakterial, seperti leptospirosis, sindrom syok dengue, sindrom Reye,
dan rabies.2 Sebagai bantuan langkah-langkah penegakan diagnosis Japanese encephalitis
dapat dijadikan pedoman:
11
Japanese Encephalitis
2.8 Tatalaksana
Tidak ada pengobatan yang dapat menghentikan atau memperlambat perjalanan
penyakit JE. Pengobatan dilakukan secara simtomatik dan suportif. Cairan diberikan untuk
mengatasi dehidrasi dan menjaga keseimbangan elektrolit, Sementara untuk mengatasi
demam dan nyeri diberikan analgetik dan antipiretik.
12
Japanese Encephalitis
2. Mengatasi kejang
Mengatasi kejang pada anak diberikan diazepam rektal (supositoria) segera saat
kejang berlangsung dengan dosis:
0,5-0,75mg/kgBB/kali atau
5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun dan 7,5 mg untuk diatas usia 3 tahun,
5 mg untuk berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih
dari 10kg.
Diazepam rektal maksimum diberikan 2 kali perhari. Hati-hati dalam pernberian
obat anti kejang, karena dapat terjadi depresi pernapasan. Diazepam juga dapat
diberikan dengan suntikan intravena sebanyak 0,3-0,5mg/kgBB dengan kecepatan
13
Japanese Encephalitis
0,5-1 mg/menit. Bila kejang berhenti sebelum dosis habis, hentikan penyuntikan.
Pemberian diazepam dapat diberikan 2 kali dengan jarak 5 menit bila anak masih
kejang.
Bila setelah 2 kali pemberian anak masih kejang, berikan fenitoin intravena
sebanyak 15mg/kgBB dilarutkan dalam 50cc NaCl 0,9%, perlahan-lahan selarna 20-
30 menit. Bila masih kejang anak harus dirawat di Ruang Rawat Intensif. Berikan
fenobarbital dan pasang ventilator bila perlu. Bila kejang telah teratasi, selama fase
akut pasien diberi fenitoin 3-5mg/kgBB dibagi 2-3dosis secara intravena.
Pernberian diazepam oral sebanyak 0,5mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis pada saat
demam,dapat menurunkan risiko berulangnya kejang. Sedangkan fenobarbital,
karbamazepin dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang
bila diberikan secara intermiten.1,8
Kadar Natrium plasma perlu diperiksa karena hiponatremia dapat menjadi
penyebab timbulnya kejang, bila kadar Natrium mencapai < 125 mEq/1. Keadaan
ini harus dikoreksi dengan pemberian NaCI 3% (514mEq) secara intravena dengan
dosis 5ml/kgBB selama 60 menit, atau menggunakan rurnus:
Kebutuhan NaCI 3% (ml)= (125-kadar Na plasma) x 0,6 x BB : 0,514mEq Na/ml
NaCI 3%
Kadar natrium plasma dipantau setiap 2 jam hingga keadaan pasien stabil. Bila
perlu kecepatan infuse disesuaikan agar tujuan koreksi tercapai, yaitu hilangnya
kejang dan tercapainya kadar Natrium plasma 120-125 mEq/l dalam 24-48 jam.
Pemberian Natirum dihentikan bila:
kejang telah berhenti,atau
kadar natrium plasma meningkat 20-25 mEq/l, atau
kadar natrium plasma telah mencapai 120-125 mEq/1. 1
Terutama pada saat serangan kejang, pasien diletakkan pada posisi miring ke arah
kanan dengan kepala yang lebih rendah 20° dari badan untuk menghindari
terjadinya aspirasi lender atau muntahan. Bebaskan jalan napas, pakaian
dilonggarkan, bila perlu dilepaskan. Hisap lendir atau bersihkan mulut dari lendir.
Hindari gigitan lidah dengan cara menaruh spatel lidah di antara gigi.1,2
Demam harus segera dihentikan karena dapat menyulitkan pengobatan
kejang,yaitu dengan:
14
Japanese Encephalitis
15
Japanese Encephalitis
16
Japanese Encephalitis
5. Pernberian antibiotik
Antibiotik harus diberikan bila terdapat infeksi sekunder, seperti pneumonia, infeksi
saluran kemih, dan dekubitus Pemilihan antibiotik sebaiknya berdasarkan hasil
biakan dan uji resistensi, karena infeksi sekunder merupakan infeksi nosokomial
yang sering kali kuman penyebabnya sudah resisten terhadap antibiotic yang biasa
digunakan. Maka pada umumnya dipakai golongan sefalosporin. Untuk infeksi
saluran kemih umunnya sefalosporin generasi pertama masih cukup ampuh, akan
tetapi untuk pneumonia ortostatik diperlukan sefalosporin generasi ketiga. 1
2.9 .Prognosis
Prognosis Japanese encephalitis, bergantung pada beberapa faktor, antara lain:
1.Umur, pada anak kecil akan lebih sering didapatkan gejala sisa dan lebih banyak
ragamnya, dibandingkan pada anak yang lebih besar
2. Berat ringannya gejala klinis pada stadium akut akan mempengaruhi gejala sisa yang
timbul kemudian. Demam tiuggi yang berlangsung lama, kejang yang hebat dan sering,
depresi pernapasan yang timbul dini akan mengakibatkan buruknya prognosis.
Manifestasi gejala sisa dapat berupa gangguan mental, emosi yang labil, koreoatetosis,
parkinson, tremor, gangguan bicara, paresis, posisi deserebrasi, skizoprenia, paralisis,
dan retardasi mental.
3. Hasil perneriksaan cairan serebrospinal. Kadar protein yang tinggi mernberi prognosis
yang kurang baik.
Prognosis yang buruk dapat diprediksi dengan adanya stadium prodromal yang singkat, koma
yang dalam, gangguan pernapasan, dan posisi tubuh deserebrasi. Antibodi spesifik Japanese
encephalitis, yang dihasilkan oleh infeksi diduga akan bertahan seumur hidup.1,2
17
Japanese Encephalitis
18
Japanese Encephalitis
yang dilemahkan, Vaksin ini telah dipergunakan secara rutin di Jepang dan
Cina.
Efek samping vaksin jenis live attenuated jauh lebih rendah resikonya
untuk menimbulkan efek samping local maupun sistemik. Angka kejadian
ensefalitis pasca vaksinasi juga lebih kecil dibandingkan pada pernberian
vaksin jenis inactivated mouse brain.
20
Japanese Encephalitis
BAB III
PENUTUP
21
Japanese Encephalitis
DAFTAR PUSTAKA
2. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis. Edisi Ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2015
3. Jani AA. Japanese Encephalitis. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/233802-overview. Update: Jul 01, 2013
4. Sing A, editor. Zoonoses - Infections Affecting Humans and Animals: Focus on
Public Health Aspects. London: Springer; 2014 available from:
https://books.google.co.id/books?id=JmPEBQAAQBAJ&pg=PA1125&dq=4.%09Zo
onoses+-
+Infections+Affecting+Humans+and+Animals:+Focus+on+Public+Health+Aspects&
hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjXjvOMwaTJAhWnL6YKHVgZD5cQ6AEIHjAA#v=o
nepage&q=4.%09Zoonoses%20-
%20Infections%20Affecting%20Humans%20and%20Animals%3A%20Focus%20on
%20Public%20Health%20Aspects&f=false .
5. Tiwari S, Chitti SVP, Mathur A , Saxena SK. Japanese Encephalitis Virus: An
Emerging Pathogen. American Journal of Virology 1 (1): 1-8, 2012 ISSN: 1949-0097
©2012 Science Publication doi:10.3844/ajvsp.2012.1-8 Published Online 1 (1) 2012
(http://www.thescipub.com/ajv.toc). Available from
http://thescipub.com/PDF/ajvsp.2012.1.8.pdf Update 2012-08-02
6. CDC. Japanese Encephalitis. available from
http://www.cdc.gov/japaneseencephalitis/transmission/index.html updated: August 5,
2015
7. Maha MS. Japanese Encephalitis. Jakarta: Bagian Biomedis dan Farmasi, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI; 2012. Available
from: http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_193Japanese%20Encephalitis.pdf
updated 6/5/2012
8. IDAI. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta : Badan Penerbit IDAI;
2006.
22
Japanese Encephalitis
23