You are on page 1of 23

Japanese Encephalitis

BAB I
PENDAHULUAN

Japanese encephalitis adalah suatu penyakit infeksi virus yang menyerang susunan
saraf pusat yang disebabkan oleh Japanese encephalitis Virus.1,2,3 Virus ini disebarkan oleh
nyamuk Culex triataeniorhynchus (mosquito-borne viral disease) dan berasal dari hewan
lain. Japanese encephalitis pertama kali ditemukan pada sebuah wabah di Jepang pada tahun
1871, dan dahulu dikenal dengan istilah Japanese B encephalitis, untuk mernbedakannya dari
ensefalitis yang disebabkan oleh virus lain yang disebut Japanese A encephalitis atau von
Economo encephalitis. Di Jepang penyakit ini juga dikenal dengan istilah summer disease,
karena pada musim panas angka kejadian Japanese encephalitis tinggi.1
Di Indonesia, pada tahun 1971 untuk pertama kalinya diisolasi virus Japanese
encephalitis dari nyamuk Culex, kemudian dari nyamuk Anopheles. Sedangkan diagnosis
Japanese encephalitis baru dapat ditegakkan pada tahun 1981 berdasarkan kriteria WHO dan
pemeriksaan IAHA (immune adherence hemaglutinatlon). Virus Japanese encephalitis
pertama kali diisolasi dari babi di Indonesia padatahun1972.Japanese encephalitis dapat
ditemukan sepanjang tahun. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi sebagian
besar kasus terjadi pada usia 2-10 tahun dengan perbandingan antara laki-laki dan perernpuan
adalah1,5:1.1

Dari hasil surveilans di Bali, yang dilakukan atas kerjasama antara Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Pengawasan Lingkungan Departemen Kesehatan
(Ditjen PPM & PL DepKes), Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan International
Vaccine Institute (IVI) Korea, dalam kurun waktu tahun 2001-2002 ditemukan 74 kasus
Japanese encephalitis, 16 (21,6%) diantaranya ditemukan pada anak usia 13-24 bulan. Angka
kematian secara keseluruhan 9,46%, sedangkan 47,30% sernbuh dengan gejala sisa mulai
dari depresi emosi sampai kelainan saraf kranial, deserebrasi, dekortikasi, dan paresis. Dari
data tersebut di atas, dapat digambarkan bahwa telah terjadi kehilangan potensi sumber daya
manusia untuk pembangunan Negara di kemudian hari. 2

1
Japanese Encephalitis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Definisi
Japanese encephalitis adalah suatu penyakit yang menyerang susunan saraf pusat
(Otak, medulla spinalis dan meningen), yang disebabkan oleh Japanese Encephalitis Virus
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. 1

2.2 Epidemiologi

Japanese encephalitis merupakan penyakit virus yang penyebarannya berkaitan erat


dengan keadaan lingkungan, Penyakit ini ditemukan hamper diseluruh wilayah Asia, dari
Asia Timur yaitu Jepang dan Korea, Asia Selatan seperti di India dan Srilangka, serta Asia
Tenggara termasuk seluruh kepulauan Indonesia, bahkan sampai ke Negara bagian Northern
Territory di Australia.1 Beberapa Negara endemis Japanese encephalitis adalah: Malaysia,
Burma, Singapura, Filipina, Indonesia, China, Taiwan, Rusia, Banglades, Laos, Kamboja,
Thailand, Vietnam, India, Nepal, Sri Lanka, Korea, Jepang, Australia, Brunei, Pakistan,
Papua Nugini.3

Dari data Subdit Zoonosis, Ditjen PPM-PL, Depkes RI dalam kurun waktu tahun
1993-2000, didapatkan spesimen positif Japanese encephalitis pada manusia di 14 propinsi
yang tersebar di seluruh Indonesia (Bali, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Nusa
Tenggara Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa
Tenggara Timur, dan Papua)2

Gambar 2.1 Peta Penyebaran penyakit Japanese encephalitis3

2
Japanese Encephalitis

2.3 Etiologi

Penyakit infeksi Japanese encephalitis virus termasuk Arbovirosis (arthropod borne


viral disease) yaitu penyakit yang disebabkan oleh virus dan ditularkan oleh Artropoda.
Dalam perjalanan penyakit Arbovirosis diperlukan reservoir dan vektor.1 Japanese
Encephalitis virus termasuk dalam family flaviviridae. Virus ini memiliki amplop (50 nm)
dengan lipoproteinkecil mengelilingi nukleokapsid yang terdiri dari protein inti dan rantai
tunggal RNA. Pada amplop bagian luar dibentuk oleh (E) protein dan merupakan antigen
protektif. Hal ini membantu dalam masuknya virus ke dalam sel. Setidaknya terdapat
lima genotipe Japanese Encephalitis virus yang terjadi di Asia. Strain Muar, pernah diisolasi
dari pasien di Malaysia pada tahun 1952, yang merupakan strain prototipe genotipe V. Untuk
Genotipe IV merupkan strain yang cukup tua dan diduga telah berevolusi di wilayah
Indonesia-Malaysia 4

Japanese encephalitis Virus telah diisolasi dari sejumlah spesies nyamuk dalam
berbagai penelitian, antara lain Culex tritaeniorrhynchus,Culex gelidus, Aedes curtipes, dan
berbagai spesies Anopheles dan Mansonia.1 Akan tetapi dibeberapa tempat Culex
tritaeniorrhynchus adalah yang paling kompeten dalam penyebaran virus ini.1-6 Beberapa
host lainnya adalah ternak, sapi, kambing, domba, kuda, tikus, monyet, anjing dan
kelelawar.5

Gambar 2.2 Culex tritaeniorrhynchus1

2.4 Patofisiologi dan Patogenesis

Setelah Culex yang infektif menggigit manusia yang rentan, virus menuju sistem
getah bening sekitar gigitan nyamuk (kelenjar regional) dan berkembang biak, kemudian

3
Japanese Encephalitis

masuk ke peredaran darah.Hal ini menimbulkan viremia pertama yang ringan dan
berlangsung sebentar, Melalui aliran darah, virus menyebar ke susunan saraf pusat dan organ
ekstraneural. Di dalam organ ekstraneural virus berkembang biak. Virus yang dilepaskan dan
masuk ke peredaran darah menyebabkan viremia kedua yang bersamaan dengan penyebaran
infeksi ke jaringan dan menimbulkan gejala sistemik.

Bagaimana virus menembus sawar otak, masih belum diketahui dengan pasti. Diduga
setelah terjadinya viremia virus menembus dan berkembang biak pada sel endotel vascular
dengan cara endositosis, sehingga dapat menembus sawar darah otak.. Setelah mencapai
jaringan susunan saraf pusat, virus berkembang biak dalam sel dengan cepat pada reticulum
endoplasma yang kasar serta badan golgi dan setelah itu menghancurkannya. Akibatnya
permeabilitas neuron, glia dan endotel meningkat, dan cairan dapat masuk ke dalam sel dan
timbul edema sitotoksik. Edema sitotoksik inilah yang menimbulkan klinis berupa ensefalitis.

Selain itu, virus juga dapat menimbulkan kerusakan jaringan saraf karena
pembentukan antibodi antivirus pada viremia kedua. Antibodi bereksi dengan antigen dan
membentuk kompleks antigen antobodi yang beredar dalam darah dan susunan saraf pusat.
Di dalam susunan saraf pusat menimbulkan proses inflamasi dengan akibat timbulnya edema,
kemudian anoksia dan akhirnya kematian saraf pusat yang luas.2

Gambar 2.3 Patofisiologi Japanese encephalitis5


4
Japanese Encephalitis

2.5 Manifestasi klinis

Masa inkubasi bervariasi antara 4 sampai 14 hari. Perkembangan gejala terbagi atas 4
stadium: prodromal, fase akut, fase subakut, fase konvalesen.1,2 Pada kasus fatal, pasien dapat
koma dan meninggal. Gejala biasanya datang tiba-tiba, seperti nyeri kepala, gangguan
pernapasan, penurunan nafsu makan, mual, sakit perut, muntah, kelainan saraf, termasuk
gangguan jiwa. Gejala kerusakan otak sehubungan dengan infeksi dapat berupa: kejang
dan/atau pergerakan abnormal, pergerakan bola mata yang tidak simetris, refleks kornea
negatif, pernapasan tidak teratur. Demam tidak terlalu tinggi disertai gangguan pernapasan
mungkin merupakan gejala klinis Japanese encephalitis . Kejang dialami oleh 10-24 %
penderita anak; lebih sedikit pada dewasa. Gejala peningkatan tekanan intrakranial mencakup
nyeri kepala hebat, muntah, pupil tidak reaktif terhadap cahaya, hemiplegia, bradikardia, dan
hipertensi. Pada fase ini, biasanya pemeriksaan cairan otak menunjukkan peningkatan
leukosit. Kemudian, tampak limfosit dominan. Albuminuria sering ditemukan.3,5,7

a. Stadium prodormal
Terjadinya penyakit ini agak cepat. Stadium prodormal berlangsung 2-3 hari.
Dimulai dari keluhan sampai terserang susunan saraf pusat. Gejala yang dominan
adalah demam, nyeri kepala dengan ato tanpa menggigil. Gejala lain seperti
malaise, anoreksia, keluhan traktus respiratorius seperti batuk, pilek, dan keluhan
traktus gastrointestinal seperti mual, muntah dan nyeri sekita epigastrium. Nyeri
kepala yang tidak hilang dengan obat analgesik.1,2
b. Stadium akut
Berlangsung 3-4 hari, ditandai dengan demam tinggi yang tidak turun dengan
obat antipiretik. Apabila selaput otak telah terinfeksi dan membengkak maka akan
timbul nyeri dan kekakuan pada leher. Pasien mulai merasakan dalam dari
pembengkakan jaringan otak dan peningkatan intrakranial (gangguan koordinasi
dan keseimbangan, kelemahan otot, tremor, kekauan wajah, nyeri kepala, mual,
muntah, penurunan kesadaran dari apatis dari koma). Iritasi meningen berupa
kaku kuduk.
Tanda klinis yang agak khas pada stadium ini adalah terjadinya perubahan
gejala susunan saraf pusat yang cepat, misalnya hiperrefleksi diikuti dengan
hiporefleksi. Status mental pasien dapat bervariasi dari konfusi, delirium,
5
Japanese Encephalitis

disorientasi, sedangkan kesadaran dapat menurun dari somnolen mengarah pada


koma. Bisa juga disertai oliguria, diare, dan bradikardi relative. Pada stadium ini
pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan leukositosis yang pada awalnya
didominasi sel polimorfonuklear, tetapi setelah beberapa hari kemudian menjadi
limfositosis. Sering terjadi albuminuria. Apabila pasien dapat melalui stadium ini,
maka demam akan turun pada hari sakit ke-7 dan gejala-gejala menghilang pada
hari ke-14. Namun apabila demam tetap tinggi maka gejala memburuk. Pada
kasus fatal perjalanan penyakit berlangsung cepat, Pasien mengalami koma dan
meninggal dalam waktu 10 hari. 1,2
c. Stadium sub akut
Gangguan susunan saraf pusat berkurang timbul gejala pneumonia ortostatik,
infeksi saluran kemih, dekubitus. Gangguan saraf pusat dapat menetap seperti
paralisis spastic, hipotrofi otot akibat perawatan lama dan pemasangan urin
kateter, fasikulasi, gangguan saraf cranial dan gangguan ekstrapiramidal. 1,2
d. Stadium konvalesen
Stadium ini berlangsung lama ditandai dengan kelemahan, letargi, gangguan
koordinasi, tremor, dan neurosis. Berat badan sangat menurun. Stadium ini
dimulai saat menghilangnya inflamasi yaitu saat demam mereda. Gejala
neurologic bias menetap cenderung membaik. Gejala sisa yang sering dijumpai
iyalah gangguan mental berupa emosi yang tidak stabil, paralisis upper atau lower
motor neuron. 1,2

2.6 Diagnosa

Secara klinis tidak ada gejala yang khas pada JE, maka sering kali diagnosis
ditegakkan sebagai ensefalitis tanpa dicari penyebabnya, apalagi untuk melakukan
pemeriksaan lebih lanjut diperlukan lebih banyak biaya. Padabal menegakkan diagnosis JE
penting sekali, karena dapat menggambarkan data epidemiologi penyakit.

a. anamnesa

Kecurigaan terhadap diagnosis Japanese encephalitis baru ditegakkan


berdasarkan anamnesis, yaitu dengan mengetahui ternpat tinggal dan lingkungan

6
Japanese Encephalitis

yang berdekatan dengan petemakan pada pasien yang datang dengan gejala dan
tanda ensefalitis. Kecurigaan juga bisa timbul bila saat itu di daerah tersebut
sedang mengalarni masa tanam padi atau baru memasuki musim penghujan.
Kemudian anak mengalami demam tinggi yang tidak hilang dengan pemberian
antipiretik analgesic, kadang disertai kejang.1,2

b. Pemeriksaan Fisik

Gejala klinis yang mendukung kecurigaan (suspect) Japanese encephalitis adalah:

 Keluhan awal berupa demam, nyeri kepala, kuduk kaku, kesadaran


menurun, gerakan abnormal (tremor kasar, kejang).
 Keluhan dan gejala yang timbul kernudian, yaitu sekitar hari ke-3 -5,
berupa kekakuan otot, koma pernapasan yang abnormal, dehidrasi dan
penurunan berat badan.
 Keluhan dan gejala lainnya seperti reflex tendon meningkat, paresis, suara
pelan dan parau. Pada tahun 1979, WHO menetapkan beberapa criteria
untuk menetapkan kasus tersangka (probable) ensefalitis yaitu:
- Demam lebih dari 38C
- Gejala rangsang meningeal: kaku kuduk,opistotonus, tanda Laseque,
Kemig, Brudzinsky I & II )
- Gejala rangsang korteks: kejang, gerakan involunter (korea,atetosis)
- Gangguan status mental dan kesadaran: mulai dari konfusi, disorientasi,
delirium, somnolen, sampai koma
- Gangguan saraf otak: terutama nervus IX dan X, berupa suara pelan dan
parau
- Gejala pirarnidal yaitu kelumpuhan dan ekstrapiramidal yaitu kekakuan
otot serta gerakan involunter
- Cairan otak jernih, protein positif kadar glukosa likuor <100mg/dl

Saat ini WHO sedang menyusun definisi baru untuk sindrom ensefalitis akut,
sebagai berikut:

7
Japanese Encephalitis

 Seseorang, umur berapa saja, berada dimana saja dan terjadi kapan saja
sepanjang tahun, dengan tanda-tanda:
o Demam akut,
o Perubahan status mental (seperti konfusi, disorientasi, ketidak
mampuan untuk bicara, koma), dan atau
o Serangan kejang baru, tidak termasuk kejang dernam sederhana
(yaitu Serangan kejang tunggal <15 menit dengan pemulihan
kesadaran dalam 60 menit pada usia 6 bulan sampai 5 tahun). 1,2

c. Pemeriksaan Penunjang

1.Pemeriksaan laboratorium

 Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah tepi lengkap dapat ditemukan anemia dan
leukositosis ringan dengan hitung jenis sel polimorfonuklear lebih banyak
daripada sel mononuklear, trombositopenia ringan dan laju endap darah
meningkat. Kadar natrium serum dapat menurun karena sekresi anti
diuretik hormon yang tidak adekuat.1,2
 Pemeriksaan cairan serebrospinal
Pada perneriksaan cairan serebrospinal menunjukkan jumlah sel 100
1000/ml yang pada awalnya berupa sel polimorfonuklear, tetapi akan cepat
berubah menjadi sel mononuklear. Cairan serebrospinal jarang
mengandung virus, kecuali pada kasus-kasus berat dan fatal. Kadar
glukosa normal atau menurun, sedangkan protein sedikit meningkat (50-
100 mg%).1,2
 Uji serologi
Adanya lebih dari satu flavivirus yang bersirkulasi secara bersamaan
dalam darah dengan antibodi yang dapat bereaksi silang menimbulkan
tantangan bagi uji serologi untuk dapat mendeteksi JE, dan
membedakannya dari flavivirus yang lain. Sehubungan dengan hal itu uji
serologi JE yang ideal harus mernpunyai sensitivitas dan spesifisitas
tinggi. Uji diagnostik baku adalah pemeriksaan IgM capture dengan cara

8
Japanese Encephalitis

ELISA (enzyme linked immune sorbent assay) dari serum atau cairan
serebrospinal, mempunyai sensitivitas mendekati 100% bila kedua bahan
tersebut diperiksa. Tetapi bila dilakukan terlalu dini (pada minggu
pertama) dapat terjadi negatif palsu. Beberapa reaksi silang dapat tirnbul
Dari flavivirus lain (misalnya dengue, virus West Nile) dan pasca
vaksinasi Japanese encephalitis serta demam kuning (yellow fever). Untuk
diagnosis di lapangan dilakukan pemeriksaan IgM dol enzyme
immunoassay untuk cairan serebrospinal dan serum. Dibandingkan dengan
ELISA cara ini memiliki sensitivitas 98,3% dan spesifsitas 99,2%. Selain
itu ada beberapa uji serologi lain, misalnya:
- Uji immunofluorecent antibody (IFA) dengan menggunakan petanda
virus khusus dengan antibodi manusia yang telah dilabel dengan
bahan fluoresen, dapat dipakai untuk rnenegakkan diagnosis.
- ELISA. Uji netralisasi serum dilakukan pada stadium akut dan
konvalesen, diperiksa IgM anti dengue, IgG anti dengue, IgM anti
Japanese encephalitis dan IgG anti Japanese encephalitis. Hasil
dikatakan positif jika lebih besar dari 40 unit.
- Uji Immune adherence hemaglutination (IAHA) menggunakan
serum stadium akut dan konvalesen. Apabila positif dijumpai
kenaikan titer 4x
- Pemeriksaan HI (haemagiuttnation inhibition) dari serum dan cairan
serebrospinal, dilakukan pada stadium akut dan konvalesen; positif
apabila dijumpai kenaikan titer lebih dari 4x, Kelebihan dari cara
ini, adalah dapat dilakukan dengan peralatan laboratorium sederhana,
reagen mudah didapat, serta biayanya relatif murah. Kelemahan cara
ini adalah tidak dapat membedakan JE dari flavivirus lain seperti
dengue dan virus West Nile.1,2

2. Pemeriksaan konfirmasi

 Isolasi virus
Isolasi virus jarang didapat dari darah dan cairan serebrospinal, tetapi lebih
sering dari jaringan otak. Isolasi dari darah dapat dilakukan selama
9
Japanese Encephalitis

stadium akut, sedangkan dari cairan serebrospinali (CSS) dapat dilakukan


pada permulaan ensefalitis. Bila pada saat otopsi didapat jaringan otak
segar, maka Japanese encephalitis virus dapat ditemukan cukup banyak
pada kasus yang meninggal pada minggu pertama sakit. Pada penelitian
diambil spesimen jaringan otak yang diinokulasi intra serebral pada mencit
yang baru lahir, kemudian diidentifikasikan dengan uji serologi dengan
anti serum yang telah diketahui. Isolasi virus untuk kepentingan diagnostik
kurang praktis. Biasanya dikerjakan untuk kepentingan penelitian dan
pembuatan vaksin.
 Pemeriksaan RT~PCR (reverse transcriptase-polymerasechan re-action)
Deteksi RNA virus JE dapat dilakukan dengan menggunakan reverse
transcriptase- pCR. Amplification (RT·PCR). Pada metode ini terlebih
dahulu dilakukan transkripsi terbalik RNA sasaran menjadi DNA
komplemen, kemudian dilakukan amplifikasi, Dengan menggunakan
Oligonukleotida yang spesifik JE. Cara ini dapat mendeteksi RNA virus JE
dalam jumlah yang sangat sedikit, namun metode ini sangat mahal serta
memerlukan teknik dan peralatan yang rumit. Deteksi RNA virus hanya
bermanfaat bila dilakukan pada fase viremia, karena bila fase viremia telah
berakhir maka RT~PCR akan memberikan hasil negatif. Spesimen untuk
pemeriksaan ini bisa dari darah atau cairan serebro spinal dan dilakukan
pada minggu pertama masa sakit.1,2

3. Pemeriksaan lain

 Pencitraan
Pencitraan susunan saraf pusat dapat mendukung diagnosis. Pemeriksaan
Magnetic Resonance imaging (MRI) dan CT scan sering memperlihatkan
adanya lesi bilateral pada thalamus yang disertai perdarahan. Ganglia
basalis ,putamen, pons, medulla spinalis, dan serebelum juga terlihat
abnormal.
 Pemeriksaan histologi
Pada pemeriksaan histologi terdapat perubahan pada talamus, substansia
nigra ,batang otak, hipokampus, serebelum, dan medulla spinalis, termasuk
10
Japanese Encephalitis

degenerasi fokal saraf dengan proliferasi difus dan fokal microglia dan
perivascular lymphocytic cuffing.1,2

2.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding termasuk ensefalitis dan meningitis akibat berbagai penyebab lain,
bakterial rnaupun non-bakterial, seperti leptospirosis, sindrom syok dengue, sindrom Reye,
dan rabies.2 Sebagai bantuan langkah-langkah penegakan diagnosis Japanese encephalitis
dapat dijadikan pedoman:

1. suspect (Tersangka) Japanese encephalitis


Adalah pasien yang secara klinis memenuhi definisi sindrom ensefalitis akut, yaitu
demam disertai gangguan status mental dan atau dengan serangan kejang tunggal, dan
timbulnya penyakit dalam masa kemugkinan terjadi transmisi arbovirus.
2. Probable (kemungkinan) Japanese encephalitis
Adalah pasien tersangka Japanese encephalitis dan terdapat kenaikan titer antibodi
atau ditemukan antibodi spesifik dalam serum.
3. Confirmed (pasti ) Japanese encephalitis
Adalah pasien yang memenuhi definisi probable Japanese encephalitis dan terdapat
peningkatan titer antibodi serum 4x lipat atau telah dilakukan isolasi virus, atau
terdapat antibodi spesifik dalam cairan serebrospinal

11
Japanese Encephalitis

Gambar 2.4 Alur Diagnosa Japanese encephalitis,1,2

2.8 Tatalaksana
Tidak ada pengobatan yang dapat menghentikan atau memperlambat perjalanan
penyakit JE. Pengobatan dilakukan secara simtomatik dan suportif. Cairan diberikan untuk
mengatasi dehidrasi dan menjaga keseimbangan elektrolit, Sementara untuk mengatasi
demam dan nyeri diberikan analgetik dan antipiretik.

12
Japanese Encephalitis

Perlu diperhatikan pemberian makanan (kalori), Pengawasan jalan napas dan


pengendalian kejang dengan antikonvulsan. Sampai saat ini belum ada antiviral yang efektif.
Bila perlu pasien dirawat diunit perawatan intensif.
1.Awasi tanda-tanda vital
Secara rutin dan seksama diperiksa frekuensi nadi, volume nadi, tekanan darah,
frekuensi napas, dan keadaan kulit terutama ekstremitas atas dan bawah. Bila
terdapat tanda-tanda syok
Perlu secepatnya diatasi, Tanda-tanda syok adalah:
• Nadi lemah dan cepat atau tidak teraba
• Turunnya tekanan darah
• Akral dingin
• Pengisian kembali pembuluh darah kapiler lambat > 3detik)
Pada keadaan demikian maka pasien harus segera diberi cairan intravena
larutan Ringer's lactate atau NaCl 0,9% 20ml / kgBB secepat mungkin. Bila
keadaan pasien belum membaik maka pemberian dapat diulangi dan bila setelah 2x
pemberian cairan isotonic tetap belum ada perbaikan maka pasien diberi
10mg/kgBB darah plasma atau cairan koloid.
Bila terjadi gagal napas,minimal kita harus melakukan pernapasan buatan dan
kalau memungkinkan dilakukan intubasi endotrakeal kemudian pernapasan dibantu
dengan ventilator mekanik. Selama melakukan perawatan jalan napas dan
perawatan pernapasan pernberian oksigen sangat mutlak diperlukan. 1

2. Mengatasi kejang
Mengatasi kejang pada anak diberikan diazepam rektal (supositoria) segera saat
kejang berlangsung dengan dosis:
 0,5-0,75mg/kgBB/kali atau
 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun dan 7,5 mg untuk diatas usia 3 tahun,
 5 mg untuk berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih
dari 10kg.
Diazepam rektal maksimum diberikan 2 kali perhari. Hati-hati dalam pernberian
obat anti kejang, karena dapat terjadi depresi pernapasan. Diazepam juga dapat
diberikan dengan suntikan intravena sebanyak 0,3-0,5mg/kgBB dengan kecepatan
13
Japanese Encephalitis

0,5-1 mg/menit. Bila kejang berhenti sebelum dosis habis, hentikan penyuntikan.
Pemberian diazepam dapat diberikan 2 kali dengan jarak 5 menit bila anak masih
kejang.
Bila setelah 2 kali pemberian anak masih kejang, berikan fenitoin intravena
sebanyak 15mg/kgBB dilarutkan dalam 50cc NaCl 0,9%, perlahan-lahan selarna 20-
30 menit. Bila masih kejang anak harus dirawat di Ruang Rawat Intensif. Berikan
fenobarbital dan pasang ventilator bila perlu. Bila kejang telah teratasi, selama fase
akut pasien diberi fenitoin 3-5mg/kgBB dibagi 2-3dosis secara intravena.
Pernberian diazepam oral sebanyak 0,5mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis pada saat
demam,dapat menurunkan risiko berulangnya kejang. Sedangkan fenobarbital,
karbamazepin dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang
bila diberikan secara intermiten.1,8
Kadar Natrium plasma perlu diperiksa karena hiponatremia dapat menjadi
penyebab timbulnya kejang, bila kadar Natrium mencapai < 125 mEq/1. Keadaan
ini harus dikoreksi dengan pemberian NaCI 3% (514mEq) secara intravena dengan
dosis 5ml/kgBB selama 60 menit, atau menggunakan rurnus:
Kebutuhan NaCI 3% (ml)= (125-kadar Na plasma) x 0,6 x BB : 0,514mEq Na/ml
NaCI 3%
Kadar natrium plasma dipantau setiap 2 jam hingga keadaan pasien stabil. Bila
perlu kecepatan infuse disesuaikan agar tujuan koreksi tercapai, yaitu hilangnya
kejang dan tercapainya kadar Natrium plasma 120-125 mEq/l dalam 24-48 jam.
Pemberian Natirum dihentikan bila:
 kejang telah berhenti,atau
 kadar natrium plasma meningkat 20-25 mEq/l, atau
 kadar natrium plasma telah mencapai 120-125 mEq/1. 1
Terutama pada saat serangan kejang, pasien diletakkan pada posisi miring ke arah
kanan dengan kepala yang lebih rendah 20° dari badan untuk menghindari
terjadinya aspirasi lender atau muntahan. Bebaskan jalan napas, pakaian
dilonggarkan, bila perlu dilepaskan. Hisap lendir atau bersihkan mulut dari lendir.
Hindari gigitan lidah dengan cara menaruh spatel lidah di antara gigi.1,2
Demam harus segera dihentikan karena dapat menyulitkan pengobatan
kejang,yaitu dengan:
14
Japanese Encephalitis

a.Pemberian obat antipiretik seperti:


• parasetamol atau asetaminofen dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4
kali/hari
• ibuprofen dengan dosis 10 mg/kgBB/kali, diberikan 3kali/hari. Penggunaan
asetosal pada anak harus dihindari karena dapat menyebabkan sindrom Reye.
b.Suportif, yaitu istirahat dan kompres hangat.
Aktivitas otot akan meningkatkan metabolism dan selanjutnya akan menambah
tinggi suhu tubuh, sehingga tinggi rendahnya suhu tubuh antara lain sangat
ditentukan oleh aktivitas otot. Dengan demikian perlu istirahat untuk mengurangi
peningkatan suhu. Kompres hangat untuk membantu pengeluaran panas terutama
rnelalui paru dan kulit. Konveksi dan penguapan air melalui kelenjar keringat.1,2

Gambar 2.5 Tatalaksana Kejang 1

15
Japanese Encephalitis

3. Menurunkan tekanan intrakranial


Untuk menurunkan tekanan intrakranial diberikan manitol. Obat ini dapat
menarik cairan ekstravaskular ke dalam pembuluh darah otak. Manitol diberikan
bila pasien mengalami penurunan kesadaran yang cepat atau koma. Status
kesadaran juga harus dipantau selama pemberian manitol. Cara pemberian manitol
adalah sebagai berikut:
• Dosis awal diberikan untuk mendapatkan fungsi ginjal yang adekuat, yaitu
200 mg/kgBB intravena selama 3-5 menit, pada anak akan menghasilkan
produksi urin 1 ml/lkgBB/jam setelah 1-3 jam.
• Setelah fungsi ginjal adekuat lanjutkan dengan:
-Anak < 12tahun:0,25-1mg/kgBB intravena (larutan20.%) selama 10-30 menit
dapat diulang tiap 4-6jam
-Anak > 12 tahun:1,5-2mg/kgBB intravena (larutan 15%, 20.%, 25%) selama 1
jam 1,3
Kondisi kardiovaskular harus dievaluasi secara cermat sebelum pernberian
manitol, karena peningkatan cairan ekstra selular secara tiba-tiba dapat
menyebabkan gagal jantung. Terjadinya pseudoaglutinasi dicegah dengan
menambahkan 20 mEq NaCI pada setiap liter larutan manitol bila pada saat yang
bersamaan dilakukan transfusi darah. Pemberian steroid masih kontroversial. Pada
pasien yang dalam keadaan koma steroid tidak terbukti bermanfaat, tapi bila
penurunan kesadaran masih ringan maka pemberian steroid menunjukkan hasil yang
cukup baik. Dosis deksametason 1 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis. Diberikan
dalam beberapa har i.

4. Mempertahankan fungsi metabolisme otak


Mernpertahankan fungsi metabolisme otak dilakukan dengan pemberian
cairan yang mengandung glukosa 10%, sehingga kadar gula darah menjadi normal,
yaitu 100-150 mg/dl. Sebagai rumatan diberikan cairan glukosa 5% dalam NaCl
0,45%. Bila kadar Natrium plasma <135mEq/1 dipakai NaCI 0,9%. Hindari
peningkatan metabolism otak dengan jalan mencegah, sehingga tidak sampai terjadi
hipertermia dan serangan kejang.1,2

16
Japanese Encephalitis

5. Pernberian antibiotik
Antibiotik harus diberikan bila terdapat infeksi sekunder, seperti pneumonia, infeksi
saluran kemih, dan dekubitus Pemilihan antibiotik sebaiknya berdasarkan hasil
biakan dan uji resistensi, karena infeksi sekunder merupakan infeksi nosokomial
yang sering kali kuman penyebabnya sudah resisten terhadap antibiotic yang biasa
digunakan. Maka pada umumnya dipakai golongan sefalosporin. Untuk infeksi
saluran kemih umunnya sefalosporin generasi pertama masih cukup ampuh, akan
tetapi untuk pneumonia ortostatik diperlukan sefalosporin generasi ketiga. 1

2.9 .Prognosis
Prognosis Japanese encephalitis, bergantung pada beberapa faktor, antara lain:
1.Umur, pada anak kecil akan lebih sering didapatkan gejala sisa dan lebih banyak
ragamnya, dibandingkan pada anak yang lebih besar
2. Berat ringannya gejala klinis pada stadium akut akan mempengaruhi gejala sisa yang
timbul kemudian. Demam tiuggi yang berlangsung lama, kejang yang hebat dan sering,
depresi pernapasan yang timbul dini akan mengakibatkan buruknya prognosis.
Manifestasi gejala sisa dapat berupa gangguan mental, emosi yang labil, koreoatetosis,
parkinson, tremor, gangguan bicara, paresis, posisi deserebrasi, skizoprenia, paralisis,
dan retardasi mental.
3. Hasil perneriksaan cairan serebrospinal. Kadar protein yang tinggi mernberi prognosis
yang kurang baik.
Prognosis yang buruk dapat diprediksi dengan adanya stadium prodromal yang singkat, koma
yang dalam, gangguan pernapasan, dan posisi tubuh deserebrasi. Antibodi spesifik Japanese
encephalitis, yang dihasilkan oleh infeksi diduga akan bertahan seumur hidup.1,2

2.10 Upaya Pencegahan


Berbagai upaya pencegahan dapat dilakukan, yaitu:
1. Penyuluhan masyarakat tentang cara penyebaran penyakit, jenis vector serta
habitatnya dan cara melakukan pengendalian vektor
2. Pengendalian vektor dalam hal ini adalah pemberantasan nyarnuk.

17
Japanese Encephalitis

a. Membasmi nyamuk dengan cara konvensional, yaitu melakukan


penyernprotan dengan insektisida yang mempunyai efek residu seperti
fenitrotion perlu dipertimbangkan
b. Dengan penyemprotan ruangan (spaces praying) meliputi pelaksanaan fogging
dan ULV (ultra low volume}. Insektisida yang dipakai pada umumnya jenis
organofosfat supaya betul-betul dipilih yang suseptibel terhadap populasi
nyamuk berdasarkan penelitian. Pelaksanaan fogging maupun ULV dikerjakan
pada saat aktivitas vector dalam keadaan puncaknya yaitu malam hari. Lrigasi
untuk penanaman padi atau tanaman lainnya akan meningkatkan perkembang
biakan nyamuk sehingga kepadatan nyamuk akan bertarnbah. Penggunaan
larvasida seperti fenitrotion 1% dengan dosis 30 kg/ha dan fention 0,01-0,04
kg/ha masih sangat efektif membunuh larva.
c. Menghindari gigitan nyamuk, dapat dilakukan dengan menggunakan kelambu,
kawat kasa, atau bahan-bahan pencegah gigitan nyamuk.
d. Menjauhkan kandang hewan dari tempat tinggal penduduk, bila memang tidak
mungkin untuk meniadakannya. Untuk dapat melaksanakan hal ini perlu
didukung dengan peraturan daerah (Perda) dimasing-masing daerah.1,2
3. Vaksinasi
Dapat diberikan terutama bagi wisatawan yang akan berkunjung ke daerah
endemis, terutama yang berencana untuk tinggal di daerah pedesaan selarna lebih dari
2 minggu. Pernilihan vaksin, terutama untuk permakaian secara luas, harus dilakukan
dengan penuh perhitungan, yaitu dengan memperhatikan efek samping, keamanan,
dan perlindungan yang dihasilkan
Ada dua jenis vaksin JE yang sudah dikembangkan:
a. Vaksin hidup yang dilemahkan (live attenuated vaccine)
Di buat antara lain dari biakan sel ginjal hamster. Dari hasil uji coba
klinis pada manusia vaksin ini cukup aman dan efektif. Pemberian vaksin pada
anak umur kurang dari satu tahun, pertama kali diberikan dua dosis vaksin
yang diinaktifkan. Satu tahun kemudian diberikan vaksin hidup yang
dilemahkan dan satu tahun berikutnya diberi imunisasi ulangan dengan vaksin
hidup yang dilemahkan, selanjutnya tiap tiga tahun diberikan vaksin hidup

18
Japanese Encephalitis

yang dilemahkan, Vaksin ini telah dipergunakan secara rutin di Jepang dan
Cina.
Efek samping vaksin jenis live attenuated jauh lebih rendah resikonya
untuk menimbulkan efek samping local maupun sistemik. Angka kejadian
ensefalitis pasca vaksinasi juga lebih kecil dibandingkan pada pernberian
vaksin jenis inactivated mouse brain.

b. Vaksin yang terdiri dari virus mati (inactivated vaccine)


Inactivated mouse brain vaccine Suspensi virus dibuat dari jaringan
otak tikus yang diinokulasi dengan JE galur Nakayama. Vaksin ini secara luas
telah dipakai di Jepang, Thailand, Taiwan dan India. Sebagai irnuuisasi dasar,
dosis dan cara pemberiannya pada anak adalah sebagai berikut:
 Umur kurang dari tiga tahun imunisasi pertama diberikan 0,5ml secara
subkutan, imunisasi kedua diberikan dosis dan cara yang sama dengan
imunisasi pertama dengan interval 1-2 minggu dari imunisasi pertama
dan imunisasi ketiga dosis dan cara sama dengan imunisasi pertama
dengan interval satu tahun dari imunisasi pertama.
 Pada anak berumur lebih dari tiga tahun, cara dan interval
pemberiannya sama dengan anak yang berumur kurang dari tiga tahun,
hanya dosisnya berbeda yaitu satu ml untuk masing-masing imunisasi.
Imunisasi ulangan diberikan pada anak yang berumur kurang dari tiga
tahun dengan dosis 0,5 ml secara subkutan, sedangkan anak yang
berumur lebih dari tiga tahun dosisnya satu ml subkutan. Imunisasi
booster diberikan tiap 3-4 tahun
Beberapa efek samping yang dapat timbul :
• Nyeri, kemerahan, dan pembengkakan pada ternpat suntikan
• Gejala sistemik ringan, terutama sakit kepala, demam ringan, mialgia,
malaise, dan gejala gastrointestinal
• Gangguan neurologis seperti neuropati perifer, kejang, ensefalopati,
mielitis, ensefalitis, dan meningitis.
• Reaksi alergi berupa urtikaria dan atau angioedema terutama di muka,
orofaring, dan ekstremitas,
19
Japanese Encephalitis

c. Vaksin dibuat dari biakan sel ginjal hamster.


Produksi vaksin ini terbatas karena jumlah hamster yang terbatas dan sampai
saat ini belum direkomendasikan oleh WHO.
Efek samping yang dapat timbul:
o Reaksi local
o Gejala sistemik ringan seperti pusing, sakit kepala, dan demam
o Urtikaria

d. Selain itu beberapa jenis vaksin masih dalam penelitian, yaitu:


• Vaksin DNA
• JE·Yellow fever chimeric vaccine1,2

20
Japanese Encephalitis

BAB III
PENUTUP

Japanese encephalitis adalah suatu penyakit yang menyerang susunan saraf


pusat yang disebabkan oleh Japanese Encephalitis Virus yang ditularkan terutama
melalui gigitan nyamuk Culex tritaeniorrhynchus dan babi. Masa inkubasi bervariasi
antara 4 sampai 14 hari. Perkembangan gejala terbagi atas 4 stadium: prodromal, fase
akut, fase subakut, fase konvalesen dengan gejala seperti nyeri kepala, demam,
gangguan pernapasan, penurunan nafsu makan, mual, sakit perut, muntah, kelainan
saraf, termasuk gangguan jiwa. Gejala kerusakan otak sehubungan dengan infeksi
dapat berupa: kejang dan/atau pergerakan abnormal, pergerakan bola mata yang tidak
simetris, refleks kornea negatif, pernapasan tidak teratur.
Diagnosis pasti Japanese encephalitis adalah pemeriksaan IgM capture
dengan cara ELISA. Tidak ada pengobatan yang dapat menghentikan atau
memperlambat perjalanan penyakit JE. Pengobatan dilakukan secara simtomatik dan
suportif. Cairan diberikan untuk mengatasi dehidrasi dan menjaga keseimbangan
elektrolit, Sementara untuk mengatasi demam dan nyeri diberikan analgetik dan
antipiretik. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan penyuluhan
masyarakat tentang cara penyebaran penyakit, jenis vector serta habitatnya dan cara
melakukan pengendalian vektor , pemberantasan nyarnuk dan vaksinasi.

21
Japanese Encephalitis

DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen


Kesehatan R.I. Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Japanese
Encephalitis di Rumah Sakit. Jakarta: RSPI Sulianti Saroso; 2007

2. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis. Edisi Ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2015
3. Jani AA. Japanese Encephalitis. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/233802-overview. Update: Jul 01, 2013
4. Sing A, editor. Zoonoses - Infections Affecting Humans and Animals: Focus on
Public Health Aspects. London: Springer; 2014 available from:
https://books.google.co.id/books?id=JmPEBQAAQBAJ&pg=PA1125&dq=4.%09Zo
onoses+-
+Infections+Affecting+Humans+and+Animals:+Focus+on+Public+Health+Aspects&
hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjXjvOMwaTJAhWnL6YKHVgZD5cQ6AEIHjAA#v=o
nepage&q=4.%09Zoonoses%20-
%20Infections%20Affecting%20Humans%20and%20Animals%3A%20Focus%20on
%20Public%20Health%20Aspects&f=false .
5. Tiwari S, Chitti SVP, Mathur A , Saxena SK. Japanese Encephalitis Virus: An
Emerging Pathogen. American Journal of Virology 1 (1): 1-8, 2012 ISSN: 1949-0097
©2012 Science Publication doi:10.3844/ajvsp.2012.1-8 Published Online 1 (1) 2012
(http://www.thescipub.com/ajv.toc). Available from
http://thescipub.com/PDF/ajvsp.2012.1.8.pdf Update 2012-08-02
6. CDC. Japanese Encephalitis. available from
http://www.cdc.gov/japaneseencephalitis/transmission/index.html updated: August 5,
2015
7. Maha MS. Japanese Encephalitis. Jakarta: Bagian Biomedis dan Farmasi, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI; 2012. Available
from: http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_193Japanese%20Encephalitis.pdf
updated 6/5/2012
8. IDAI. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta : Badan Penerbit IDAI;
2006.

22
Japanese Encephalitis

23

You might also like