You are on page 1of 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi OMSK pada beberapa negara antara lain disebabkan, kondisi

sosial, ekonomi, suku, tempat tinggal yang padat, higiene dan nutrisi yang jelek.

Kebanyakan melaporkan prevalensi OMSK pada anak termasuk anak yang

mempunyai kolesteatom, tetapi tidak mempunyai data yang tepat, apalagi insiden

OMSK saja, tidak ada data yang tersedia. Otitis media kronis merupakan penyakit

THT yang paling banyak di negara sedang berkembang. Di negara maju seperti

Inggris sekitar 0, 9% dan di Israel hanya 0, 0039%.

Di negara berkembang dan negara maju prevalensi OMSK berkisar antara

1-46%, dengan prevalensi tertinggi terjadi pada populasi di Eskimo (12-46%),

sedangkan prevalensi terendah terdapat pada populasi di Amerika dan Inggeris

kurang dari 1% (Lasminingrum L, 2000). Menurut survei yang dilakukan pada 7

propinsi di Indonesia pada tahun 1996 ditemukan insidens Otitis Media Supuratif

Kronik (atau yang oleh awam sebagai “congek”) sebesar 3% dari penduduk

Indonesia. Dengan kata lain dari 220 juta penduduk Indonesia diperkirakan

terdapat 6, 6 juta penderita OMSK. Di Indonesia menurut Survei Kesehatan

Indera Penglihatan dan Pendengaran, Depkes tahun 1993-1996.

Prevalensi OMSK adalah 3, 1%-5, 20% populasi. Usia terbanyak penderita

infeksi telinga tengah adalah usia 7-18 tahun, dan penyakit telinga tengah

terbanyak adalah OMSK. Prevalensi OMSK di RS Dr Cipto Mangunkusumo


Jakarta pada tahun 1989 sebesar 15, 21%. Di RS Hasan Sadikin Bandung

dilaporkan prevalensi OMSK selama periode 1988 – 1990 sebesar 15,7% dan

pada tahun 1991 dilaporkan prevelensi OMSK sebesar 10,96%. Prevalensi

penderita OMSK di RS Dr Sardjito Yogyakarta pada tahun 1997 sebesar 8, 2%.

ETIOLOGI

Kejadian OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada

anak, jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari

nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah

melalui tuba Eustachius. Fungsi tuba Eustachius yang abnormal merupakan faktor

predisposisi yang dijumpai pada anak dengan cleft palate dan down’s syndrom.

Faktor host yang berkaitan dengan insiden OMSK yang relatif tinggi adalah

defisiensi immun sistemik. Penyebab OMSK antara lain:

1. Lingkungan

Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi

mempunyai hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosioekonomi,

dimana kelompok sosioekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi. Tetapi

sudah hampir dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum,

diet, tempat tinggal yang padat.

2. Genetik

Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden

OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor

genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi

belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.


3. Otitis media sebelumnya.

Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis

media akut dan atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa

yang menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi

kronis.

4. Infeksi

Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah hampir tidak

bervariasi pada otitis media kronik yang aktif menunjukkan bahwa metode kultur

yang digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah Gram-

negatif, flora tipe-usus, dan beberapa organisme lainnya. Kuman yang terdapat di

telinga tengah dapat masuk dari liang telinga luar melalui perforasi membran

timpani ataupun melalui nasofaring. Streptococcus pneumoniae merupakan

bakteri yang terbanyak dijumpai pada otitis media akut. Pada isolasi dari otitis

media kronis, kuman aerobik dan anaerobik juga terlibat pada sebagian kasus.

Kuman aerob yang sering dijumpai adalah Pseudomonas aeruginosa,

Staphylococcus aureus, basil gram negatif seperti Escherichia coli, Proteus

species, dan Klebsiella species. Kuman anaerob yang paling sering dijumpai

adalah Bacteroides spp. dan Fusobacterium spp. Jamur dapat pula dijumpai pada

otitis media kronis khususnya Aspergillus spp. dan Candida spp. Jamur mungkin

dapat tumbuh berlebihan setelah pemakaian obat tetes antibiotika.

5. Infeksi saluran nafas atas

Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas

atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan


menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada

dalam telinga tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.

6. Autoimun

Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadap

otitis media kronis.

7. Alergi

Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi

dibanding yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian

penderita yang alergi terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteria atau toksin-

toksinnya, namun hal ini belum terbukti kemungkinannya.

8. Gangguan fungsi tuba eustachius.

Pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh edema tetapi

apakah hal ini merupakan fenomen primer atau sekunder masih belum diketahui.

Pada telinga yang inaktif berbagai metode telah digunakan untuk mengevaluasi

fungsi tuba eustachius dan umumnya menyatakan bahwa tuba tidak mungkin

mengembalikan tekanan negatif menjadi normal.

KLASIFIKASI

1. Tipe aman

Penyakit tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi sentral atau pars tensa dan

gejala klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit. Beberapa faktor

lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba eustachius, infeksi

saluran nafas atas, pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal pada pasien

dengan daya tahan tubuh yang rendah, di samping itu campuran bakteri aerob dan
anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa, serta migrasi sekunder dari epitel

skuamous. Secara klinis penyakit tubotimpani terbagi atas:

1. Tipe aktif

Pada jenis ini terdapat sekret pada telinga dan tuli. Biasanya didahului oleh

perluasan infeksi saluran nafas atas melalui tuba eutachius, atau setelah berenang

di mana kuman masuk melalui liang telinga luar. Sekret bervariasi dari mukoid

sampai mukopurulen. Ukuran perforasi bervariasi dan jarang ditemukan polip

yang besar pada liang telinga luas. Perluasan infeksi ke sel-sel mastoid

mengakibatkan penyebaran yang luas dan penyakit mukosa yang menetap harus

dicurigai bila tindakan konservatif gagal untuk mengontrol infeksi.

2. Tipe Tenang

Pada pemeriksaan telinga dijumpai perforasi total yang kering dengan mukosa

telinga tengah yang pucat. Gejala yang dijumpai berupa tuli konduktif ringan.

Gejala lain yang dijumpai seperti vertigo, tinitus, and atau suatu rasa penuh dalam

telinga.

Tipe Bahaya

Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya. Penyakit atikoantral

lebih sering mengenai pars flasida dan khasnya dengan terbentuknya kantong

retraksi yang mana bertumpuknya keratin sampai menghasilkan kolesteatom.

Kolesteatom adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega, berwarna

putih, terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah nekrotis. Kolesteatom dapat

dibagi atas 2 tipe yaitu kolesteatom kongenital dan kolesteatom didapat.


a. Kolesteatom kongenital.

Kriteria untuk mendiagnosa kolesteatom kongenital, menurut Derlaki dan Clemis

(1965) adalah:

1. Berkembang dibelakang dari membran timpani yang masih utuh.

2. Tidak ada riwayat otitis media sebelumnya.

3. Pada mulanya dari jaringan embrional dari epitel skuamous atau dari epitel

undiferential yang berubah menjadi epitel skuamous selama perkembangan.

Kongenital kolesteatom lebih sering ditemukan pada telinga tengah atau tulang

temporal, umumnya pada apeks petrosa. Dapat menyebabkan fasialis parese, tuli

saraf berat unilateral, dan gangguan keseimbangan.

b. Kolesteatom didapat.

1. Primary acquired cholesteatoma.

Koelsteatom yang terjadi pada daerah atik atau pars flasida

2. Secondary acquired cholesteatoma.

Berkembang dari suatu kantong retraksi yang disebabkan peradangan kronis

biasanya bagian posterosuperior dari pars tensa. Khasnya perforasi marginal pada

bagian posterosuperior. Terbentuknya dari epitel kanal aurikula eksterna yang

masuk ke kavum timpani melalui perforasi membran timpani atau kantong

retraksi membran timpani pars tensa.

Oleh karena tuba tertutup terjadi retraksi dari membrane plasida, akibat pada

tempat ini terjadi deskuamasi epitel yang tidak lepas, akan tetapi bertumpuk di

sini. Lambat laun epitel ini hancur dan menjadi kista. Kista ini tambah lama
tambah besar dan tumbuh terus kedalam kavum timpani dan membentuk

kolesteatom.

Ini dinamakan “primary acquired cholesteatom” atau genuines cholesteatom”.

Mula-mula belum timbul peradangan, lambat laun dapat terjadi peradangan.

Primary dan secondary acquired cholesteatom ini dinamakan juga “pseudo

cholesteatoma, oleh karena ada pula congenital kolesteatom. Ini juga merupakan

suatu lubang dalam tenggorok terutama pada os temporal. Dalam lubang ini

terdapat lamel konsentris terdiri dari epitel yang dapat juga menekan tulang

sekitarnya. Beda kongenital kolesteatom, ini tidak berhubungan dengan telinga

dan tidak akan menimbulkan infeksi. Bentuk perforasi membran timpani adalah:

1. Perforasi sentral

Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior dan postero-superior,

kadang-kadang sub total.

2. Perforasi marginal

Terdapat pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi dari anulus fibrosus.

Perforasi marginal yang sangat besar digambarkan sebagai perforasi total.

Perforasi pada pinggir postero-superior berhubungan dengan kolesteatom

3. Perforasi atik

Terjadi pada pars flasida, berhubungan dengan primary acquired cholesteatoma

PATOGENESIS

Ada dua mekanisme perforasi kronis yang dapat menyebabkan infeksi telinga

tengah yang berlanjut atau berulang: (1) Bakteri dapat mengkontaminasi telinga
tengah secara langsung dari telinga luar karena efek proteksi barier fisikal

membran timpani telah hilang. (2) Membran timpani yang utuh secara normal

menghasilkan bantalan gas, yang menolong untuk mencegah refluks sekresi

nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius. Hilangnya

mekanisme protektif ini menyebabkan terpaparnya telinga tengah terhadap bakteri

patogen dari nasofaring.

Gambar 2.1 Patogenesis Otitis Media

OMSK ditandai dengan keadaan patologis yaitu inflamasi yang ireversibel di

telinga tengah dan mastoid. Disfungsi tuba Eustachius memegang peranan penting

pada otitis media akut dan otitis media kronis. Kontraksi muskulus veli palatini

menyebabkan tuba Eustachius membuka selama proses menelan dan pada kondisi

fisiologik tertentu, mengalirkan sekret dari telinga tengah ke nasofaring,

mencegah sekret dari nasofaring refluks ke telinga tengah dan menyeimbangkan

tekanan antara telinga tengah dengan lingkungan luar.

Bila bakteri memasuki telinga tengah melalui nasofaring atau defek membran

timpani, terjadi replikasi bakteri di dalam efusi serosa. Hal ini diikuti oleh
pelepasan mediator inflamasi ke dalam ruang telinga tengah. Hiperemia dan

leukosit polimorfonuklear yang mendominasi fase inflamasi akut memberi jalan

pada fase kronis, ditandai dengan mediator selular mononuklear (makrofag, sel

plasma dan limfosit), edema persisten dan jaringan granulasi. Selanjutnya dapat

terjadi metaplasia epitel telinga tengah, dimana terjadi perubahan epitel kuboidal

menjadi epitel kolumnar pseudostratified yang mampu meningkatkan sekret

mukoid. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrotik, kadang-kadang membentuk

adhesi terhadap struktur penting di telinga tengah. Hal ini akan mengganggu

aerasi antrum dan mastoid dengan mengurangi ruang antara osikel dan mukosa

yang memisahkan telinga tengah dari antrum. Obstruksi kronis menyebabkan

perubahan ireversibel di dalam tulang dan mukosa.

Patogenesis OMSK belum diketahui secara lengkap, tetapi dalam hal ini

merupakan stadium kronis dari otitis media akut (OMA) dengan perforasi yang

sudah terbentuk diikuti dengan keluarnya sekret yang terus menerus. Perforasi

sekunder pada OMA dapat terjadi kronis tanpa kejadian infeksi pada telinga

tengah missal perforasi kering. Beberapa penulis menyatakan keadaan ini sebagai

keadaan inaktif dari otitis media kronis. Suatu teori tentang patogenesis

dikemukan dalam buku modern yang umumnya telah diterima sebagai fakta.

Hipotesis ini menyatakan bahwa terjadinya otitis media nekrotikans, terutama

pada masa anak-anak, menimbulkan perforasi yang besar pada gendang telinga.

Setelah penyakit akut berlalu, gendang telinga tetap berlubang, atau sembuh

dengan membran yang atrofi yang kemudian dapat kolaps kedalam telinga tengah,
memberi gambaran otitis atelektasis. Hipotesis ini mengabaikan beberapa

kenyataan yang menimbulkan keraguan atas kebenarannya, antara lain:

Hampir seluruh kasus otitis media akut sembuh dengan perbaikan lengkap

membran timpani. Pembentukan jaringan parut jarang terjadi, biasanya ditandai

oleh penebalan dan bukannya atrofi.

Otitis media nekrotikans sangat jarang ditemukan sejak digunakannya antibiotik.

Penulis (DFA) hanya menemukan kurang dari selusin kasus dalam 25 tahun

terakhir. Di pihak lain, kejadian penyakit telinga kronis tidak berkurang dalam

periode tersebut.

Pasien dengan penyakit telinga kronis tidak mempunyai riwayat otitis akut pada

permulaannya, melainkan lebih sering berlangsung tanpa gejala dan bertambah

secara bertahap, sampai diperlukan pertolongan beberapa tahun kemudian setelah

pasien menyadari adanya masalah.

DIAGNOSIS

Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan

fisik. Gejala klinis meliputi tuli, otorea, otalgia, obstruksi hidung, tinitus dan

vertigo. Tuli dan otorea merupakan gejala yang paling umum terjadi.

OMSK ditandai oleh otorea yang banyak dan intermiten, bila disertai

dengan kolesteatoma yang terinfeksi maka menimbulkan bau busuk. Nyeri dapat

terjadi sebagai tanda komplikasi intrakranial dari kolesteatoma. Gejala lainnya

adalah otorea yang berdarah, vertigo akibat fistula labirin, paralisis nervus fasialis

atau gejala neurologis akibat penyebaran intrakranial. Jaringan granulasi sering

yang sering dijumpai pada otitis media kronis disebabkan oleh reaksi inflamasi.
Diagnosis OMSK dan kolesteatoma telinga biasanya dilakukan dengan

pemeriksaan otomikroskopik. Perlu juga untuk mengevaluasi nasofaring karena

disfungsi tuba Eustachius sering menyebabkan OMSK pada beberapa kasus.

Pemeriksaan dengan mikroskop akan membantu untuk mengidentifikasi perforasi

membran timpani, retraction pockets, kolesteatoma, dan jaringan granulasi.

Primary acquired kolesteatoma akan terlihat pada daerah posterosuperior

membran timpani yang tampak seperti defek mutiara putih yang mengandung

debris keratin, sementara secondary acquired kolesteatoma dapat dilihat di

belakang membran timpani. Pemeriksaan pencitraan mastoid perlu untuk melihat

perluasan penyakit dan untuk mengidentifikasi kolesteatoma. Walaupun

Computed Tomography (CT) dianggap merupakan ”gold standard” untuk

mendiagnosis kolesteatoma, namun spesifitasnya kurang untuk membedakan

kolesteatoma dengan jaringan granulasi atau edema. Pada CT, kolesteatoma

terlihat sebagai lesi yang halus dan berbatas tajam, umumnya CT dilakukan tanpa

kontras.

Pada pemeriksaan dengan magnetic resonance imaging (MRI)

kolesteatoma terlihat sebagai low signal pada T1-weighted images dan high signal

pada T2-weighted images. MRI dengan gadolinium sangat berguna bila

disangkakan terjadi komplikasi intrakranial karena keunggulannya dalam

visualisasi densitas jaringan lunak. MRI juga efektif untuk mendiagnosis penyakit

yang menyebar ke apeks petrosa.


GEJALA KLINIS

1. Telinga berair (otorrhoe)

Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer)

tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas

kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan

yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi

iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi.

Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat

disebabkan infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar

setelah mandi atau berenang. Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya

sekret telinga. Sekret yang sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi

kesan kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping kecil,

berwarna putih, mengkilap. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret

telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas.

Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan

polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu

sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.

2. Gangguan pendengaran

Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya di

jumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan

pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena

daerah yang sakit ataupun kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif

ke fenestra ovalis. Bila tidak dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20
db ini ditandai bahwa rantai tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan

fiksasi dari rantai tulang pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran lebih

dari 30 db. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran

timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah.

Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya

rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak sebagai

penghantar suara sehingga ambang pendengaran yang didapat harus

diinterpretasikan secara hati-hati. Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi

perlahan-lahan dengan berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui

jendela bulat (foramen rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis

supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat, hantaran

tulang dapat menggambarkan sisa fungsi kokhlea.

3. Otalgia (nyeri telinga)

Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada merupakan suatu

tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya

drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan

pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau

ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh

adanya otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi

OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.

4. Vertigo

Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya. Keluhan

vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi
dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan

tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo

dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan

menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran

infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa

terjadi akibat komplikasi serebelum.

PEMERIKSAAN KLINIK

Untuk melengkapi pemeriksaan, dapat dilakukan pemeriksaan klinik sebagai

berikut:

i) Pemeriksaan Audiometri

Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif.

Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya ketulian tergantung

besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistim

penghantaran suara ditelinga tengah.

Paparela, Brady dan Hoel (1970) melaporkan pada penderita OMSK ditemukan

tuli sensorineural yang dihubungkan dengan difusi produk toksin ke dalam skala

timpani melalui membran fenstra rotundum, sehingga menyebabkan penurunan

ambang hantaran tulang secara temporer/permanen yang pada fase awal terbatas

pada lengkung basal kohlea tapi dapat meluas kebagian apek kohlea. Gangguan

pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan, sedang, sedang berat, dan

ketulian total, tergantung dari hasil pemeriksaan (audiometri atau test berbisik).

Derajat ketulian ditentukan dengan membandingkan rata-rata kehilangan


intensitas pendengaran pada frekuensi percakapan terhadap skala ISO 1964 yang

ekivalen dengan skala ANSI 1969. Derajat ketulian dan nilai ambang pendengaran

menurut ISO 1964 dan ANSI 1969.

Derajat ketulian Nilai ambang pendengaran:

Normal: -10 dB sampai 26 dB

Tuli ringan: 27 dB sampai 40 dB

Tuli sedang: 41 dB sampai 55 dB

Tuli sedang berat: 56 dB sampai 70 dB

Tuli berat: 71 dB sampai 90 dB

Tuli total: lebih dari 90 dB.

Evaluasi audimetri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan fungsi kohlea.

Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara dan tulang

serta penilaian tutur, biasanya kerusakan tulang-tulang pendengaran dapat

diperkirakan, dan bisa ditentukan manfaat operasi rekonstruksi telinga tengah

untuk perbaikan pendengaran. Untuk melakukan evaluasi ini, observasi berikut

bias membantu:

1. Perforasi biasa umumnya menyebabkan tuli konduktif tidak lebih dari 15-20 dB

2. Kerusakan rangkaian tulang-tulang pendengaran menyebabkan tuli konduktif

30-50 dB apabila disertai perforasi.

3. Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran di belakang membran yang masih

utuh menyebabkan tuli konduktif 55-65 dB.

4. Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tidak peduli bagaimanapun keadaan

hantaran tulang, menunjukan kerusakan kohlea parah. Pemeriksaan audiologi


pada OMSK harus dimulai oleh penilaian pendengaran dengan menggunakan

garpu tala dan test Barani. Audiometri tutur dengan masking adalah dianjurkan,

terutama pada tuli konduktif bilateral dan tuli campur.

ii) Pemeriksaan Radiologi.

Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis nilai

diagnostiknya terbatas dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan audiometri.

Pemerikasaan radiologi biasanya mengungkapkan mastoid yang tampak sklerotik,

lebih kecil dengan pneumatisasi leb ih sedikit dibandingkan mastoid yang satunya

atau yang normal. Erosi tulang, terutama pada daerah atik memberi kesan

kolesteatom Proyeksi radiografi yang sekarang biasa digunakan adalah:

1. Proyeksi Schuller, yang memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari

arah lateral dan atas. Foto ini berguna untuk pembedahan karena memperlihatkan

posisi sinus lateral dan tegmen. Pada keadaan mastoid yang skleritik, gambaran

radiografi ini sangat membantu ahli bedah untuk menghindari dura atau sinus

lateral.

2. Proyeksi Mayer atau Owen, diambil dari arah dan anterior telinga tengah.

Akan tampak gambaran tulang-tulang pendengaran dan atik sehingga dapat

diketahui apakah kerusakan tulang telah mengenai struktur-struktur.

3. Proyeksi Stenver, memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosus dan

yang lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna, vestibulum dan

kanalis semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan antrum dalam potongan

melintang sehingga dapat menunjukan adanya pembesaran akibat kolesteatom.


4. Proyeksi Chause III, memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga

dapat memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik. Politomografi dan atau

CT scan dapat menggambarkan kerusakan tulang oleh karena kolesteatom, ada

atau tidak tulang-tulang pendengaran dan beberapa kasus terlihat fistula pada

kanalis semisirkularis horizontal. Keputusan untuk melakukan operasi jarang

berdasarkan hanya dengan hasil X-ray saja. Pada keadaan tertentu seperti bila

dijumpai sinus lateralis terletak lebih anterior menunjukan adanya penyakit

mastoid.

iii) Bakteriologi

Walapun perkembangan dari OMSK merupakan lanjutan dari mulainya infeksi

akut, bakteriologi yang ditemukan pada sekret yang kronis berbeda dengan yang

ditemukan pada otitis media supuratif akut. Bakteri yang sering dijumpai pada

OMSK adalah Pseudomonas aeruginosa, Stafilokokus aureus dan Proteus.

Sedangkan bakteri pada OMSA Streptokokus pneumonie, H. influensa, dan

Morexella kataralis. Bakteri lain yang dijumpai pada OMSK E. Coli, Difteroid,

Klebsiella, dan bakteri anaerob adalah Bacteriodes sp. Infeksi telinga biasanya

masuk melalui tuba dan berasal dari hidung, sinus parasanal, adenoid atau faring.

Dalam hal ini penyebab biasanya adalah pneumokokus, streptokokus, atau

hemofilius influenza. Tetapi pada OMSK keadaan ini agak berbeda. Karena

adanya perforasi membran timpani, infeksi lebih sering berasal dari luar yang

masuk melalui perforasi tadi.


PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan OMSK adalah untuk menyembuhkan gejala dan

meminimalisir risiko komplikasi penyakit. Pembedahan adalah satu-satunya

pengobatan yang efektif pada kolesteatoma. Granulasi dan inflamasi mukosa

sementara dapat diatasi dengan obat topikal dan aural toilet untuk mengurangi

otorea sambil menunggu operasi. Terdapat berbagai macam teknik operasi untuk

menangani kolesteatoma, yang secara umum dapat dibagi atas open cavity (canal

wall down) dan closed cavity (intact canal wall) mastoidektomi.

a. Canal wall down procedures

Prosedur ini mengeluarkan dan mengangkat semua kolesteatoma, termasuk

dinding posterior liang telinga, sehingga kavum mastoid berhubungan langsung

dengan liang telinga luar.

b. Intact Canal Wall Procedures

Keuntungan intact canal wall mastoidectomy adalah anatomi normal dinding

posterior liang telinga dapat dipertahankan tanpa perlu membuang dan

merekonstruksi skutum. Prosedur ini sering dilakukan pada kasus primary

acquired cholesteatoma bila kolesteatoma terdapat di atik dan antrum. Dilakukan

complete cortical mastoidectomy dan antrum mastoid dapat dilihat. Diseksi

matriks kolesteatoma harus dilakukan dengan hati-hati. Rekurensi dapat terjadi

bila fragmen kecil dari epitel berkeratinisasi tertinggal. Sering diperlukan “second

look operation” setelah 6-12 bulan kemudian disebabkan rekurensi kolesteatoma.


Kolesteatoma

Kolesteatoma adalah suatu kista epitel yang dilapisi oleh stratified squamosa

epithelium yang berisi deskuamasi epitel (keratin) yang terperangkap dalam

rongga timpanomastoid, tetapi dapat juga terperangkap di bagian manapun dari

tulang temporal yang berpneumatisasi. Istilah kolesteatoma pertama sekali

dikemukakan oleh Johannes Müller pada tahun 1838 untuk menjelaskan apa yang

kita sebut sebagai kista epidermal pada tulang temporal yang berpneumatisasi.

Friedmann pada tahun 1959 mendefinisikan kolesteatoma sebagai suatu struktur

kistik yang dilapisi oleh stratified squamous cell epithelium, terletak di atas

stroma fibrous dengan ketebalan yang bervariasi, yang dapat mengandung

beberapa elemen dari mukosa asalnya. Schuknecht (1974) seperti yang dikutip

oleh Dornelles et al. (2005) mendefinisikan kolesteatoma sebagai akumulasi

eksfoliasi keratin di dalam telinga tengah atau pada area pneumatisasi tulang

temporal, yang berasal dari keratinized squamous epithelium. Secara informal

kolesteatoma dapat dikarakteristikkan sebagai “kulit di tempat yang salah”.

Kolesteatoma telinga tengah yang acquired (didapat) pertama sekali diterangkan

oleh Curveilhier (1829) dimana karakteristiknya adalah adanya invasi keratinized

squamous epithelium ke kavum timpani, yang berbeda dari columnar

pseudostratified ciliated epithelium, dengan sel goblet yang terdapat pada tuba

auditorius atau simple, cubic atau columnar squamous cell epithelium pada telinga

tengah. Berbeda dari namanya, kolesteatoma tidak mengandung lemak atau

kolesterol di dalam matriksnya.


Berdasarkan histopatologi, kombinasi dari material keratin dan stratified

squamous epithelium merupakan diagnosis patologi untuk kolesteatoma. Adanya

epitel skuamosa di telinga tengah adalah abnormal. Pada keadaan normal telinga

tengah dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia di bagian anterior dan inferior kavum

timpani serta epitel kuboidal di bagian tengah dari kavum timpani dan di atik.

Tidak seperti yang terdapat pada epidermis kulit, epitel skuamosa ini tidak

mempunyai struktur adneksa. Hal ini mungkin karena letaknya berbatasan dengan

jaringan granulasi atau fibrosa yang mengalami inflamasi, dan juga reaksi giant

cell pada material keratin.

Secara histologis kolesteatoma dapat dibagi dua: matriks (epithelium) dan peri-

matriks (underlying connective tissue). Matriks kolesteatoma mempunyai 4

lapisan yang berbeda: basal, spinosus, granulous dan stratum korneum, seperti

yang terdapat pada kulit yang tipis. Peri-matriks ditandai oleh adanya jaringan ikat

longgar yang terbuat dari kolagen dan elastic fibers, fibroblas and sel inflamasi.

Analisis histologis dari matriks kolesteatoma memperlihatkan pola yang berbeda

yaitu atrofi, akantosis, hiperplasia lapisan basal dan dan epithelial cones.

Kolesteatoma dapat diklasifikasikan menjadi congenital dan acquired.

Kolesteatoma acquired dibagi menjadi primer dan sekunder. Primary acquired

cholesteatoma adalah kolesteatoma yang berasal dari retraksi pars flaksida,

sedangkan secondary acquired cholesteatoma adalah kolesteatoma yang terjadi

akibat perforasi membran timpani, biasanya pada kuadran posterior superior

telinga tengah.
Patogenesis kolesteatoma acquired telah diperdebatkan selama lebih dari satu

abad. Ada 4 teori dasar patogenesis kolesteatoma acquired: 1. invaginasi

membran timpani (retraction pocket cholesteatoma); 2. hiperplasia sel basal; 3.

pertumbuhan epitel melalui perforasi (the migration theory); dan 4. metaplasia

skuamosa dari epitel telinga tengah. Saat ini Sudhoff dan Tos mengemukakan

kombinasi dari teori invaginasi dan sel basal sebagai penjelasan dari pembentukan

retraction pocket kolesteatoma.

a. Teori invaginasi

Teori invaginasi pembentukan kolesteatoma secara umum diterima sebagai salah

satu mekanisme primer dalam pembentukan atik kolesteatoma. Retraction pockets

dari pars flaksida terjadi karena tekanan negatif telinga tengah dan kemungkinan

disebabkan inflamasi berulang.

Ketika retraction pocket membesar, deskuamasi keratin tidak dapat dibersihkan

dari reses sehingga terbentuk kolesteatoma. Asal dari retraction pocket

kolesteatoma disangkakan adalah disfungsi tuba Eustachius atau otitis media efusi

dengan resultante tekanan telinga tengah (ex vacuo theory). Pars flaksida, yang

kurang fibrous dan kurang tahan terhadap pergerakan, biasanya adalah sumber

kolesteatoma. Tipe kolesteatoma tersebut terlihat sebagai defek pada kuadran

posterior superior membran timpani dan erosi dari dinding liang telinga yang

berdekatan. Kegagalan migrasi epitel ini menyebabkan akumulasi keratin dalam

retraction pocket. Bakteri dapat menginfeksi matriks keratin, membentuk biofilm

yang menyebabkan infeksi kronis dan proliferasi epitel.


b. Teori invasi epitel

Teori ini menyatakan invasi epitel skuamosa dari liang telinga dan permukaan luar

dari membran timpani mempunyai kemampuan bermigrasi ke telinga tengah

melalui perforasi marginal atau perforasi atik. Epitel akan masuk sampai bertemu

dengan lapisan epitel yang lain, yang disebut dengan contact inhibition.

Jika mukosa telinga tengah terganggu karena inflamasi, infeksi atau trauma karena

perforasi membran timpani, mucocutaneus junction secara teori bergeser ke

kavum timpani. Menyokong teori ini van Blitterswijk dkk menyatakan bahwa

cytokeratin (CK) 10, yang merupakan intermediate filament protein dan marker

untuk epitel skuamosa, ditemukan pada epidermis liang telinga dan matriks

kolesteatoma tetapi tidak ada di mukosa telinga tengah. Perforasi marginal

memaparkan mukosa telinga tengah dan struktur tulang liang telinga terhadap

liang telinga luar.

Palva dan peneliti lain menunjukkan perubahan histologis ini pada tulang

temporal manusia. Kolesteatoma yang berasal dari fraktur tulang temporal dapat

terjadi dari mekanisme ini. Fraktur liang telinga menyebabkan pertumbuhan epitel

berkeratinisasi dengan mekanisme kontak.

Namun perforasi sentral membran timpani tidak bisa di katakan sebagai “safe

ears”. Analisis terbaru dari perforasi sentral membran timpani dari pasien otitis

media kronis, 38% mengalami pertumbuhan epidermal dengan mucocutaneus

junction terletak di luar permukaan dalam dari perforasi.


c. Teori hiperplasia sel basal

Pada tahun 1925, Lange mengobservasi bahwa sel epitel berkeratinisasi pada pars

flaksida dapat menginvasi ruang sub epitel normal yang akan menyebabkan

terbentuknya kolesteatoma di atik.

Sel epitel (prickle cells) dari pars flaksida dapat menginvasi jaringan subepitelial

dengan cara proliferasi kolum sel epitel. Epitel yang menginvasi lamina propria,

basal lamina (basement membrane) menjadi berubah. Huang dan Masaki meneliti

teori ini dengan memperlihatkan bahwa pertumbuhan epitel membran timpani

dapat diinduksi dengan meneteskan propylene glycol ke telinga tengah mencit.

Kerusakan lamina basalis menyebabkan invasi epitel ke dalam jaringan ikat

subepitel dan membentuk mikrokolesteatoma. Mekanisme ini dapat menerangkan

beberapa tipe kolesteatoma, termasuk yang terbentuk di belakang membran

timpani yang intak. Mikrokolesteatoma membesar dan mengadakan perforasi

secara sekunder melalui membran timpani.

Perubahan diferensiasi keratinosit dan lapisan sel basal matriks kolesteatoma telah

diteliti pada beberapa penelitian. Distribusi abnormal dari marker diferensiasi

epidermal, seperti filaggrin dan involucrin, c-jun dan p53 proteins, dan

peningkatan reseptor epidermal growth factor terlihat dalam matriks kolesteatoma

telinga tengah. Peningkatan CK 13 dan 16, marker diferensiasi dan

hiperproliferasi juga ditemukan. Kim dkk mendemonstrasikan peningkatan

ekspresi CK 13 dan 16 pada area perifer pars tensa yang diinduksi oleh

kolesteatoma oleh ligasi liang telinga dan area perifer dan sentral pars tensa yang

diinduksi kolesteatoma oleh obstruksi tuba Eustachius.Peningkatan ekspresi


human intercellular adhesion molecule-1 dan –2 memiliki peran migrasi sel ke

jaringan. Adanya heat shock protein 60 dan 70 menunjukkan proliferasi dan

diferensiasi aktif dari keratinosit basal yang berhubungan dengan kolesteatoma.

Berbagai laporan menyatakan respon imun terlibat pada hiperproliferasi epitel

kolesteatoma. Sel Langhan's dapat menyebabkan reaksi imun dan menunjang

proliferasi epitel berkeratinisasi oleh IL-1α.

d. Teori metaplasia skuamosa

Infeksi atau inflamasi jaringan yang kronis dapat mengalami transformasi

metaplasia. Epitel kuboid pada telinga tengah dapat berubah menjadi epitel

berkeratinisasi. Epitel skuamosa berkeratinisasi telah ditemukan pada biopsi

telinga tengah pada penderita otitis media pada anak. Namun progresivitas dari

kolesteatoma masih belum berhasil dipaparkan.

Inflamasi dan hiperproliferasi

Epitel kolesteatoma walaupun tidak bersifat neoplastik tetapi bersifat

hiperproliferatif. Involucrin adalah prekursor pembentukan lapisan teratas dari

epidermis, ditemukan hanya pada high suprabasal layer pada kulit yang normal.

Pada kolesteatoma, involucrin ditemukan di semua lapisan suprabasal, yang

mengakibatkan peningkatan akumulasi dari keratin di dalam epidermis. Beberapa

studi juga menunjukkan peningkatan ekspresi dari marker proliferasi pada lapisan

basal dan supra basal dari epidermis, yaitu CK4, CK5/6, CK 10, CK13/16,

epidermal growth factor receptor (EGFR), keratinocyte growth factor (KGF), dan

Ki-67. Distribusi yang abnormal dari p-53, c-jun dan ekspresi c-myc juga terlibat

dalam proses hiperproliferatif. Studi terbaru menggunakan teknologi cDNA array


juga mengidentifikasi ada gen-gen lain yang memegang peranan dalam

pembentukan kolesteatoma seperti calgranulin A/B, thymosin dan extracellular

matrix protein-1.

Faktor penting lain yang berperan dalam proses hiperproliferatif adalah

inflamasi kronis. Pada stroma dari kolesteatoma terdapat fibroblas, sel-sel

Langerhans, sel-sel mast, limfosit yang teraktivasi, makrofag dan keratinosit.

Keratinosit memproduksi keratin dalam jumlah yang besar. Inflamasi dengan atau

tanpa infeksi merekrut sel-sel tersebut untuk membentuk suatu lingkungan dengan

peningkatan konsentrasi dari sitokin proinflamasi. Lingkungan dapat

menstimulasi keratinosit basal untuk berproliferasi aktif dan memicu pertumbuhan

kolesteatoma.

Pada penyakit otitis media kronis dengan kolesteatoma, erosi dari tulang

hampir selalu ada dan merupakan penyebab utama dari morbiditas penyakit ini.

Tulang merupakan organ dinamis yang secara konstan melakukan remodeling

untuk mendapatkan kondisi homeostasis kalsium dan integritas struktural. Sintesa

dari matriks dilakukan oleh osteoblas sementara proses resorpsi diatur oleh

osteoklas.

Terdapat konsep yang bertentangan antara nekrosis akibat tekanan atau

sekresi enzim proteolitik oleh matriks kolesteatoma. Saat ini diketahui aktifitas

osteoklas pada inflamasi akan menyebabkan resorpsi tulang. Pembentukan

osteoklas dari sel-sel prekursor dikontrol oleh 2 sitokin esensial yaitu Receptor

Activator of Nuclear Factor κB Ligand (RANKL) dan Macrophage Colony

Stimulating Factor (M-CSF). Pada keadaan normal, osteoblas memproduksi M-


CSF dan RANKL untuk memulai pembentukan osteoklas dengan menarik

reseptor- reseptor c-fms dan Receptor Activator of Nuclear Factor κB (RANK).

Pada kondisi patologis, banyak sel yang terlibat untuk menghasilkan sitokin-

sitokin tersebut. Inhibitor yang penting pada proses tersebut yaitu osteoprotegrin

(OPG) yang berkompetisi dengan RANK untuk RANKL.

Jeong et al. (2006) seperti yang dikutip oleh Chole & Nason (2009)

menemukan peningkatan jumlah RANKL pada kolesteatoma dibandingkan dengan

kulit postaurikular yang normal. Hasil ini menyatakan jaringan kolesteatoma

meningkatkan rasio RANKL/OPG pada proses inflamasi dan berpotensi untuk

proses osteoklastogenesis. Sitokin inflamasi seperti TNF-α, IL-1 dan IL-6

prostaglandin juga diketahui meningkatkan osteoklastogenesis. Kolesteatoma

yang terinfeksi diketahui lebih cepat mendestruksi tulang. Peningkatan level dari

virulensi bakteri sepertinya memegang peranan penting terhadap fenomena ini.

Komplikasi OMSK dengan kolesteatoma

Karena kapasitasnya untuk menyebabkan erosi tulang, yang terdapat pada

80% kasus, kolesteatoma bertanggung jawab terhadap komplikasi ekstrakranial

dan intrakranial. Bila komplikasi ini muncul, menyebabkan morbiditas dan

mortalitas yang tinggi.

Komplikasi OMSK dengan kolesteatoma dapat berupa:

1. Intratemporal

a. Mastoiditis

b. Petrositis

c. Paralisis nervus fasialis


d. Labirinitis

e. Abses subperiosteal

f. Fistel retroaurikular

2. Intrakranial

a. Abses ekstradural

b. Abses subdural

c. Meningitis

d. Abses otak

e. Tromboflebitis sinus lateralis

f. Hidrosefalus otikus.

Stadium dan derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma

Belum ada sistem stadium untuk kolesteatoma yang secara luas digunakan.

Pada tahun 1986, Meyerhoff et al. seperti dikutip oleh Telmesani, Sayed &

Bahrani (2009) telah mengajukan klasifikasi kolesteatoma berdasaran

patofisiologi, lokasi, fungsi tuba Eustachius, defek pada tulang, dan ada tidaknya

komplikasi. Namun hasil tersebut belum secara luas diadopsi disebabkan

kurangnya relevansi klinis yang didapatkan dan beberapa faktor sangat sulit untuk

dievaluasi saat preoperatif

Beberapa klasifikasi stadium kolesteatoma yang sudah dipublikasikan adalah:

Berdasarkan lokasi kolesteatoma:

S1 : Bila kolesteatoma terbatas pada lokasi asal

S2 : Bila telah terjadi perluasan lokal

S3 : Bila mengenai tiga lokasi


S4 : Bila mengenai 4 lokasi

S5 : Bila mengenai lebih dari 4 lokasi

Berdasarkan komplikasi sebelum dilakukannya tindakan operasi:

C1 : Bila tidak terdapat komplikasi

C2 : Bila terdapat komplikasi

C3 : Bila terdapat dua komplikasi atau lebih

PENATALAKSANAAN

Penyebab penyakit telinga kronis yang efektif harus didasarkan pada

faktor-faktor penyebabnya dan pada stadium penyakitnya. Bila didiagnosis

kolesteatom, maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat -obatan dapat

digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum operasi. Prinsip pengobatan

tergantung dari jenis penyakit dan luasnya infeksi, di mana pengobatan dapat

dibagi atas:

1. Konservatif

2. Operasi

OMSK BENIGNA TENANG

Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan dinasehatkan untuk jangan

mengorek telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang

dan segera berobat bila menderita infeksi saluran nafas atas. Bila fasilitas

memungkinkan sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi (Miringoplasti,

timpanoplasti) untuk mencegah infeksi berulang serta gangguan pendengaran.

OMSK BENIGNA AKTIF


Prinsip pengobatan OMSK adalah pembersihan liang telinga dan kavum timpani

serta pemberian antibiotika.

1. Pembersihan liang telinga dan kavum timpan (toilet telinga)

Tujuan toilet telinga adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk

perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media yang baik

bagi perkembangan mikroorganisme.

2. Pemberian antibiotik topikal

Pengobatan antibiotik topikal dapat digunakan secara luas untuk OMSK

aktif yang dikombinasi dengan pembersihan telinga, baik pada anak maupun

dewasa. Neomisin dapat melawan kuman Proteus dan Stafilokokus aureus tetapi

tidak aktif melawan gram negatif anaerob dan mempunyai kerja yang terbatas

melawan Pseudomonas karena meningkatnya resistensi. Polimiksin efektif

melawan Pseudomonas aeruginosa dan beberapa gram negatif tetapi tidak efektif

melawan organisme gram positif. Biasanya tetes telinga mengandung kombinasi

neomisin, polimiksin dan hidrokortison, bila sensitif dengan obat ini dapat

digunakan sulfanilaid-steroid tetes mata. Kloramfenikol tetes telinga tersedia

dalam acid carrier dan telinga akan sakit bila diteteskan. Kloramfenikol aktif

melawan basil gram positif dan gram negatif kecuali Pseudomonas aeruginosa,

tetapi juga efektif melawan kuman anaerob, khususnya B. fragilis. Pemakaian

jangka panjang lama obat tetes telinga yang mengandung aminoglikosida akan

merusak foramen rotundum, yang akan menyebabkan ototoksik.


Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada otitis media kronik adalah

Polimiksin B atau polimiksin E, Neomisin dan Kloramfenikol. Polimiksin B atau

polimiksin E bersifat bakterisid terhadap kuman gram negatif, Pseudomonas, E.

Koli Klebeilla, Enterobakter, tetapi resisten terhadap gram positif, Proteus

dan.B.fragilis. Ia bersifat toksik terhadap ginjal dan susunan saraf. Neomisin

merupakan obat bakterisid pada kuman gram positif dan negatif serta

menyebabkan toksik terhadap ginjal dan telinga.

3. Pemberian antibiotik sistemik

Pemilihan antibiotik sistemik untuk OMSK juga sebaiknya berdasarkan

kultur kuman penyebab. Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan

harus disertai pembersihan sekret profus. Bila terjadi kegagalan pengobatan, perlu

diperhatikan faktor penyebab kegagalan yang ada pada penderita tersebut. Dalam

pengunaan antimikroba, sedikitnya perlu diketahui daya bunuhnya terhadap

masing- masing jenis kuman penyebab, kadar hambat minimal terhadap masing-

masing kuman penyebab, daya penetrasi antimikroba di masing jaringan tubuh,

toksisitas obat terhadap kondisi tubuhnya. Peninggian dosis tidak menambah daya

bunuh antimikroba golongan ini, misalnya golongan beta laktam.

OMSK MALIGNA

Pengobatan yang tepat untuk OMSK maligna adalah operasi. Pengobatan

konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara

sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal, maka insisi

abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi.

Ada beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dapat dilakukan pada
OMSK dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara lain

mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy), mastoidektomi radikal,

mastoidektomi radikal dengan modifikasi, miringoplasti, timpanoplasti dan

pendekatan ganda timpanoplasti (Combined approach tympanoplasty).

Tujuan operasi adalah menghentikan infeksi secara permanen,

memperbaiki membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi

atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran.

KOMPLIKASI

Otitis media supuratif mempunyai potensi untuk menjadi serius karena

komplikasinya yang sangat mengancam kesehatan dan dapat menyebabkan

kematian. Tendensi otitis media mendapat komplikasi tergantung pada kelainan

patologik yang menyebabkan otorea. Biasanya komplikasi didapatkan pada pasien

OMSK tipe maligna, tetapi suatu otitis media akut atau suatu eksaserbasi akut

oleh kuman yang virulen pada OMSK tipe benigna pun dapat menyebabkan

komplikasi. Komplikasi intra kranial yang serius lebih sering terlihat pada

eksaserbasi akut dari OMSK berhubungan dengan kolesteatom. Adam dkk

mengemukakan klasifikasi sebagai berikut:

i. Komplikasi di telinga tengah yaitu perforasi persisten, erosi tulang

pendengaran dan paralisis nervus fasial.

ii. Komplikasi telinga dalam yaitu fistel labirin, labirinitis supuratif dan tuli saraf

(sensorineural).

iii. Komplikasi ekstradural yaitu abses ekstradural, trombosis sinus lateralis dan

petrositis.
iv. Komplikasi ke susunan saraf pusat yaitu meningitis, abses otak dan

hidrosefalus otitis.

Nervus facialis sebenarnya terdiri dari serabut motorik, tetapi dalam

perjalananya ke tepi nervuls intermedius menggabungkan padanya. Nervus

intermedius tersusun oleh serabut sekretomotorik untuk glandula salivatorius dan

serabut yang menghantarkan impuls pengecap dari 2/3 bagian deran lidah.

Nervus facialis merupakan saraf cranial yang mempersarafi otot ekspressi

wajah dan menerima sensorik dari lidah, dalam perjalanannya bekerja sama

dengan nervus karnialis yang lain, karena itu dimasukkan ke dalam mix cranial

nerve.

Anatomi Nervus Facialis mempunyai empat buah inti yaitu :

• Nukleus Facialis untuk saraf Somatomotoris

• Nukleus Salivatorius Superior untuk saraf Viseromotoris

• Nukleus Solitarius Untuk saraf Viserosensoris

• NukleuS Sensoris Trigeminus untuk saraf Somatosensoris

Inti moturik Nervus Facialis terletak pada bagian ventolateral tegmentum

Pons bagian bawah. Dari sini berjalan kebelakang dan mengelilingi inti N VI dan

membentuk genu internal nervus facialis, kemudian berjalan ke bagian-lateral

batas kaudal pons pada sudut ponto serebelar.

Saraf Inter Medius terletak pada bagian diantara N VII dan N VIII.

Serabut motorik saraf Facialis bersama-sama dengan saraf intermedius dan saraf
vestibulokoklearis memasuki meatus akustikus internus untuk meneruskan

perjalanannya didalam os petrosus (kanalis facialis).

Nernus Facialis keluar dari os petrosus kembali dan tiba dikavum timpani.

Kemudian turun dan sedikit membelok kebelakang dan keluar dari tulang

tengkorak melalui foramen stilomatoideus. Pada waktu ia turun ke bawah dan

membelok ke belakang kavum timpani di situ ia tergabung dengan ganglion

genikulatum. Ganglion tersebut merupakan set induk dari serabut penghantar

impuls pengecap, yang dinamakan korda timpani. juluran sel-sel tersebut yang

menuju ke batang otak adalah nervus intennedius, disamping itu ganglion tersebut

memberikan cabang-cabang kepada ganglion lain yang menghantarkan impuls

sekretomotorik. Os petrosus yang mengandung nervus fasialis dinamakan

akuaduktus fallopii atau kanalis facialis. Disitu nervus facialis memberikan.

Cabang untuk muskulus stapedius dan lebih jauh sedikit ia menerima serabut-

serabut korda timpani. Melalui kanaliskulus anterior ia keluar dari tulang

tengkorak dan tiba di bawah muskulus pterigoideus eksternus, korda timpani

menggabungkan diri pada nervus lingualis yang merupakan cabang dari nevus

mandibularis. Sebagai saraf motorik nervus facialis keluar dari foramen

stilomastoideus memberikan Cabang yakni nervus auricularis posterior dan

kemudian memberikan cabang ke otot stilomastoideus sebelum masuk ke

glandula Parotis. Di dalam glatldula parotis nervus facialis dibagi atas lima jalur

percabangannya yakni temporal, servical, bukal, zygomatic dan marginal

mandibularis. Jaras parasimpatis (General Viceral Efferant) dari intinya di nucleus


salivatorius superior setelah mengikuti jaras N VII berjalan melalui Greater

petrosal nerve dan chorda Tympatni.

• Greater petrosal nerve berjalan ke ganglion pterygopalatina berganti neuron

lalu mempersarafi glandula lakrimal, nasal dan palatal.

• Chorda tympani berjalan melalui nervus lingualis berganti neuron

mempersarafi glandula sublingual dan glatldula submandibular.

Jaras Special Afferent ( Taste) : dari intinya nukeus solitarius berjalan melalui

nervus intennedius ke :

• Greater petrosal Nerve melalui nervus palatina mempersarafi taste dari

palatum.

• Chorda Tympani melalui nervus lingualis mempersarafi taste 2/3 bagian

depan lidah.

Jaras General Somatik different :

Nukleus spinalis traktus trigeminal menerima impuls melalui nervus intermedius

dari MAE dan kulit sekitar telinga. Korteks serebri akan memberikan persaratan

bilateral pada nucleus N VII yang mengontrol otot dahi, tetapi hanya mernberi

persarafan kontra lateral pada otot wajah bagian bawah. Sehingga pada lesi LMN

akan menimbulkan paralysis otot wajah ipsilateral bagian atas bawah, sedangkan

pada lesi LMN akan menimbulkan kelemahan otot wajah sisi kontta lateral.

Pada kerusakan sebab apapun di jaras kortikobulbar atau bagian bawah korteks

motorik primer, otot wajah muka sisi kontralateral akan memperlihatkan

kelumpuhan jenis UMN. Ini berarti otot wajah bagian bawah lebih jelas lumpuh

dari pada bagian atasnya, sudut mulut sisi yang lumpuh tampak lebih rendah. Jika
kedua sudut mulut disuruh diangkat maka sudut mulut yang sehat saja yang dapat

terangkat.

Lesi LMN : bisa terletak di pons, disudut serebelo pontin, di os petrusus, cavum

tympani di foramen stilemastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus facialis.

Lesi di pon yang terletak disekitar ini nervus abducens bisa merusak akar nevus

facialis, inti nervus abducens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu

paralysis facialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan rektus lateris atau

gerakan melirik ke arah lesi, Proses patologi di sekitar meatus akuatikus intemus

akan melibatkan nervus facialis dan akustikus sehingga paralysis facialis LMN

akan timbul berbarengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia ( tidak bisa

rnengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).

You might also like

  • Rise
    Rise
    Document15 pages
    Rise
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Peranan Progesteron Sebagai Penunjang Fase Luteal
    Peranan Progesteron Sebagai Penunjang Fase Luteal
    Document23 pages
    Peranan Progesteron Sebagai Penunjang Fase Luteal
    fujimeister
    No ratings yet
  • Sistem Akuisisi Data Jantung
    Sistem Akuisisi Data Jantung
    Document7 pages
    Sistem Akuisisi Data Jantung
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab I
    Bab I
    Document2 pages
    Bab I
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Ganja
    Ganja
    Document2 pages
    Ganja
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab V
    Bab V
    Document1 page
    Bab V
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Cover
    Cover
    Document5 pages
    Cover
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Hipo
    Hipo
    Document17 pages
    Hipo
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Daun Salam
    Daun Salam
    Document35 pages
    Daun Salam
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Infudasi Dan Glikosida
    Infudasi Dan Glikosida
    Document16 pages
    Infudasi Dan Glikosida
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Document17 pages
    Bab Iii
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • ARti Bimekanik 1
    ARti Bimekanik 1
    Document10 pages
    ARti Bimekanik 1
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Document14 pages
    Bab Ii
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Document1 page
    Daftar Isi
    ThieFeezae
    No ratings yet
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Document2 pages
    Daftar Pustaka
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab V
    Bab V
    Document1 page
    Bab V
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Document2 pages
    Daftar Pustaka
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Document14 pages
    Bab Ii
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Masalah Dan Data Pendukung
    Masalah Dan Data Pendukung
    Document5 pages
    Masalah Dan Data Pendukung
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Document1 page
    Daftar Isi
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab II Tinjauan Pustaka
    Bab II Tinjauan Pustaka
    Document25 pages
    Bab II Tinjauan Pustaka
    Hayati Rizki Putri
    100% (1)
  • Bab V Penutup
    Bab V Penutup
    Document1 page
    Bab V Penutup
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Keluhan Utama Lapsus
    Keluhan Utama Lapsus
    Document31 pages
    Keluhan Utama Lapsus
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Bab IV Pembahasan
    Bab IV Pembahasan
    Document10 pages
    Bab IV Pembahasan
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Refer Et
    Refer Et
    Document12 pages
    Refer Et
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Chapter II
    Chapter II
    Document27 pages
    Chapter II
    Chacha Ntu Ya Melyza
    No ratings yet
  • Bab III Laporan Kasus
    Bab III Laporan Kasus
    Document18 pages
    Bab III Laporan Kasus
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Hipo
    Hipo
    Document17 pages
    Hipo
    Hayati Rizki Putri
    No ratings yet
  • Diagnosis Epilepsi
    Diagnosis Epilepsi
    Document12 pages
    Diagnosis Epilepsi
    Fihmi Amy
    No ratings yet