You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG


Appendicitis merupakan penyakit yang sering dijumpai sehingga harus dicurigai
sebagai keadaan yang paling mungkin menjadi penyebab nyeri akut abdomen. Penyakit ini
sering ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Insidensi pada laki-laki lebih banyak
daripada perempuan. Insidensi tertinggi pada laki-laki pada usia 10-14 tahun, sedangkan pada
perempuan pada usia 15-19 tahun. Penyakit ini jarang ditemukan pada anak-anak usia di
bawah 2 tahun.
Diagnosis appendicitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari
kemampuan melakukan analisis pada data-data tersebut. Tak jarang kasus-kasus appendicitis
yang lolos dari diagnosis bahkan ada yang salah didiagnosis. Kadang-kadang untuk
menegakkan diagnosis appendicitis sulit karena letak appendix di abdomen sangat bervariasi.
Penatalaksanaan appendicitis dilakukan dengan appendektomi, yaitu suatu tindakan
bedah dengan mengangkat appendix. Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus
segera diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyulit yang berakibat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas, seperti dapat menyebabkan terjadinya perforasi atau
ruptur pada appendix.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. APPENDICITIS
II.1.1 Definisi
Appendicitis adalah suatu peradangan pada appendix. Peradangan ini pada umumnya
disebabkan oleh infeksi yang akan menyumbat appendix.
II.1.2 Anatomi
Appendix adalah suatu pipa tertutup yang sempit yang melekat pada secum (bagian
awal dari colon). Bentuknya seperti cacing putih.Secara anatomi appendix sering disebut juga
dengan appendix vermiformis atau umbai cacing.
Appendix terletak di bagian kanan bawah dari abdomen. Tepatnya di ileosecum dan
merupakan pertemuan ketiga taenia coli. Muara appendix berada di sebelah postero-medial
secum. Dari topografi anatomi, letak pangkal appendix berada pada titik Mc.Burney, yaitu
titik pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.
Seperti halnya pada bagian usus yang lain, appendix juga mempunyai mesenterium.
Mesenterium ini berupa selapis membran yang melekatkan appendix pada struktur lain pada
abdomen. Kedudukan ini memungkinkan appendix dapat bergerak. Selanjutnya ukuran
appendix dapat lebih panjang daripada normal. Gabungan dari luasnya mesenterium dengan
appendix yang panjang menyebabkan appendix bergerak masuk ke pelvis (antara organ-organ
pelvis pada wanita). Hal ini juga dapat menyebabkan appendix bergerak ke belakang colon
yang disebut appendix retrocolic.
Appendix dipersarafi oleh saraf parasimpatis dan simpatis. Persarafan parasimpatis
berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterica superior dan a. appendicularis.
Sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. thoracalis X. Karena itu nyeri viseral pada
appendicitis bermula disekitar umbilicus. Vaskularisasinya berasal dari a.appendicularis
cabang dari a.ileocolica, cabang dari a. mesenterica superior.
II.1.3. Fisiologi
Fungsi appendix pada manusia belum diketahui secara pasti. Diduga berhubungan
dengan sistem kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendix menghasilkan lendir. Lendir ini
secara normal dialirkan ke appendix dan secum. Hambatan aliran lendir di muara appendix
berperan pada patogenesis appendicitis.
Dinding appendix terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari sistem
imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut
Associated Lymphoid Tissue) yaitu Ig A. Immunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi.
II.1.4. Patofisiologi
Appendicitis pada umumnya disebabkan oleh obstruksi dan infeksi pada appendix.
Beberapa keadaan yang dapat berperan sebagai faktor pencetus antara lain sumbatan lumen
appendix oleh mukus yang terbentuk terus menerus atau akibat feses yang masuk ke
appendix yang berasal dari secum. Feses ini mengeras seperti batu dan disebut fecalith.
Adanya obstruksi berakibat mukus yang diproduksi tidak dapat keluar dan tertimbun
di dalam lumen appendix. Obstruksi lumen appendix disebabkan oleh penyempitan lumen
akibat hiperplasia jaringan limfoid submukosa. Proses selanjutnya invasi kuman ke dinding
appendix sehingga terjadi proses infeksi. Tubuh melakukan perlawanan dengan
meningkatkan pertahanan tubuh terhadap kuman-kuman tersebut. Proses ini dinamakan
inflamasi. Jika proses infeksi dan inflamasi ini menyebar sampai dinding appendix, appendix
dapat ruptur. Dengan ruptur, infeksi kuman tersebut akan menyebar mengenai abdomen,
sehingga akan terjadi peritonitis. Pada wanita bila invasi kuman sampai ke organ pelvis, maka
tuba fallopi dan ovarium dapat ikut terinfeksi dan mengakibatkan obstruksi pada salurannya
sehingga dapat terjadi infertilitas. Bila terjadi invasi kuman, tubuh akan membatasi proses
tersebut dengan menutup appendix dengan omentum, usus halus atau adnexsa, sehingga
terbentuk massa peri-appendicular. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses
yang dapat mengalami perforasi. Appendix yang ruptur juga dapat menyebabkan bakteri
masuk ke aliran darah sehingga terjadi septicemia.
Appendix yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika
organ ini dapat meradang lagi dan disebut mengalami eksaserbasi akut.

II.2. APPENDEKTOMI LAPAROSKOPIK


II.2.1. Sejarah
Laparoskopi digunakan pertama sekali untuk memeriksa nyeri abdomen akut pada
kehamilan pada tahun 1980 oleh ahli kandungan. Dahulu banyak terdapat kontroversi seperti
pada saat ini yang disebabkan oleh komplikasi dan risiko kematian yang dapat terjadi. Pada
dekade selanjutnya, peralatan yang lebih baru dan pengetahuan mengenai fisiologi ibu hamil
dan janin yang lebih baik menjadikan laparoskopi lebih aman. Laproskopik appendektomi
pada pasien hamil pertama sekali dilakukan oleh Scheiber pada tahun 1990.
II.2.2. Appendektomi Laparoskopik Selama Kehamilan
Appendicitis adalah kedaruratan non-obstetrik yang paling sering membutuhkan
pembedahan pada saat kehamilan. Diagnosis appendicitis diperumit oleh perubahan anatomis
dan fisiologis yang terjadi selama kehamilan. Ini dapat mengakibatkan tertundanya diagnosis,
meningkatkan risiko morbiditas ibu dan janin.
Kejadian appendicitis selama kehamilan dalam rentang 0,05-0,13%; pada umumnya
terjadi pada trimester kedua atau ketiga. Appendicitis dapat terjadi pada wanita hamil dan
yang tidak hamil, tetapi pada wanita hamil mempunyai kemungkinan lebih tinggi terjadi
perforasi. Suatu studi menemukan bahwa terdapat hubungan terbalik antara kehamilan dan
appendicitis, terutama pada trimester ketiga, kehamilan mempunyai suatu efek protektif.
Operasi yang segera, bersama dengan antibiotik perioperatif, direkomendasikan untuk
mencegah perforasi. Di bawah kondisi yang sesuai, appendektomi laparoskopik dapat seaman
open appendectomy.
II.2.2.1. Diagnosis
Kesulitan dalam mendiagnosis appendicitis selama kehamilan meningkat dari fakta
bahwa gejalanya serupa dengan kehamilan: anorexia, mual, dan muntah. Lekositosis dan
kecenderungan hipotensi dan takikardia, yang secara fisiologis terjadi pada kehamilan,
menambahkan kompleksitas diagnosis. Perubahan letak appendix oleh karena letak uterus
dan menjauhnya jarak peritoneum viseral dan parietal, yang mengurangi kemampuan
melokalisir nyeri pada pemeriksaan, lebih lanjut mempersulit hasil diagnosis.
Riwayat dan pemeriksaan fisik sangat berguna. Nyeri kuadran kanan bawah, nyeri
difus pada umbilikus yang berpindah ke kuadran kanan bawah dan mual/muntah merupakan
gejala yang biasa terjadi. Tanda-tanda appendicitis yang paling sering adalah nyeri kanan
bawah dan rebound tenderness dan berusaha melindungi daerah yang sakit tersebut, yang
agak terlambat pada kehamilan oleh karena melemahnya otot dinding abdomen. Demam,
lekositosis, dan C-Reactive Protein belum membuktikan appendicitis.
Ultrasonografi sangat membantu dalam trimester pertama, tetapi menjadi kurang
bermanfaat sejalan dengan perkembangan kehamilan oleh karena perubahan letak appendix.
Namun sangat membantu untuk menyingkirkan patologi yang lain. Laparoskopi telah
diuraikan sangat berguna, terutama sekali ketika hasil diagnosis tidak meyakinkan.
II.2.2.2. Perforasi Appendix
Selama tertundanya hasil diagnosis biasanya terpikirkan akan terjadinya perforasi
appendix, beberapa studi menemukan tidak adanya hubungan antara durasi gejala dan
timbulnya perforasi dan tidak ada korelasi antara waktu pembedahan dan timbulnya perforasi.
Komplikasi appendicitis, termasuk perforasi, meningkat sejalan dengan usia kehamilan dan
appendix yang pecah menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas janin.
Kemungkinan kehilangan janin pada kejadian ruptur appendix sekitar 20 – 35%. Perforasi
juga dapat mningkatkan insidensi infeksi luka dan meningkatkan risiko peritonitis umum
karena omentum tidak dapat mengisolasi infeksi. Proses kelahiran prematur sering terjadi
pada kasus ruptur appendix pada trimester ketiga. Mortalitas maternal sekitar 4% pada
kehamilan lanjut yang disertai perforasi.
II.2.2.3. Komplikasi Lainnya
Persalinan prematur adalah komplikasi appendicitis saat kehamilan. Sebuah studi
melaporkan tingkat kontraksi pada kehamilan preterm dan persalinan prematur pada pasien
trimester ketiga adalah 83% dan 13%, berturut-turut. Dilaporkan juga persalinan prematur
postoperatif sekitar 13% dan 16% pada pasien trimester ketiga, dan 25% pada psien trimester
kedua. Sedangkan suatu studi lain tidak melaporkan adanya peningkatan risiko persalinan
prematur oleh pembedahan, studi yang lain melaporkan bahwa risiko persalinan pada
sepanjang minggu post operasi akan meningkat jika appendektomi dilakukan setelah
kehamilan 23 minggu. Studi lain mencatat peningkatan kemungkinan kehilangan janin
seminggu setelah appendektomi yang dilakukan sebelum kehamilan 24 minggu. Menurut
suatu studi, appendectomi selama kehamilan berhubungan dengan penurunan rata-rata berat
badan saat lahir dan meningkatkan jumlah bayi yang lahir hidup meninggal pada minggu
pertama. Studi ini tidak menemukan adanya peningkatan stillborn bayi atau kecacatan
kongenital.
II.2.3. Permasalahan yang Berhubungan dengan Laparoskopi pada Kehamilan.
II.2.3.1. Perubahan Fisiologis
Perubahan fisiologis dan anatomis menyebabkan sejumlah risiko tersendiri pada
pasien yang sedang mengandung. Risiko ini termasuk kurangnya visualisasi oleh karena
uterus yang membesar, perlukaan pada uterus pada saat menempatkan trokar, penurunan
aliran darah uterus atau persalinan prematur karena peningkatan tekanan intraabdominal dan
peningkatan fetal asidosis, atau efek lain yang tidak diketahui oleh karena pneumoperitoneum
CO2.
Penurunan aliran darah uterus oleh karena pneumoperitoneum menjadi hal yang
utama. Ini sebabnya tidak mungkin memberikan tekanan yang terus-menerus selama maternal
valsava, batuk, dan peregangan. Lebih lanjut, perawatan pada pneumoperitoneum lebih baik
dari pada peregangan pada saat Open appendektomy atau cholecystectomy.
Keabnormalan hemodinamika janin (takikardi dan hipertensi) yang terjadi disebabkan
oleh hiperkarbia. Belakangan akan dikembalikan oleh keadaan alkalosis maternal ringan.
Dalam hal ini pemantauan gas darah maternal terbukti lebih baik dari pada kapnografi
maternal. N2O sebagai gas yang digunakan untuk pneumoperitoneum tidak akan
menyebabkan fetal asidosis, namun ini sangat mudah menyala.
II.2.3.2. Posisi Pasien
Posisi pasien adalah yang paling penting pada pasien yang sedang hamil. Pada posisi
supine, penekanan pada vena dapat menyebabkan penurunan darah balik vena dan
menurunkan curah jantung. Posisi ideal adalah telentang menyamping oleh karena banyak
hal. Posisi ini menaikkan curah jantung sekitar 20% dan oleh karena peningkatan drainase
vena dari tungkai bawah risiko trombosis vena dalam lebih rendah. Hipovolemia dapat terjadi
dan dapat menurunkan curah jantung dengan penurunan perfusi plasenta. Penggantian cairan
sangant penting selama dilakukannya prosedur ini. Fungsi pulmo maternal juga harus
diperhatikan. Selama proses kehamilan, kapasitas residu fungsional dan volume residu
menurun oleh karena naiknya diafragma. Darah mengalami peningkatan kapasitas angkut
oksigen dan peningkatan konsumsi oksigen dapat mengarah ke hipoksemia. Sehingga
terdapat alkalosis respiratorik ringan yang kronis yang harus diatur selama pembedahan.
II.2.3.3. Efek Pneumoperitoneum
Efek pneumoperitoneum pada janin belum sepenuhnya diselidiki. Karena
pertimbangan yang jelas, penelitian prospektif pada manusia belum dilakukan. Didapatkan
hasil bahwa peningkatan tekanan intraabdominal yang berhubungan dengan
pneumoperitoneum dapat mengarah pada penurunan pembuluh darah balik dengan suatu
penurunan serentak curah jantung. Carbon dioksida juga dapat diserap melewati peritoneum
dan dapat menyebabkan asidosis janin. Para peneliti menyelidiki dampak fisiologis suatu
CO2 pneumoperitoneum selama prosedur klinis ini. Kesimpulan mereka adalah bahwa suatu
CO2 pneumoperitoneum menciptakan dampak minimal pada pasien dan janin ketika tekanan
intraabdominal 15 mmHg atau kurang.

II.3. Keuntungan dan Kelayakan Pembedahan Laparoskopik Selama Kehamilan


Hasil laparoskopi pada pasien hamil harus terbukti bermanfaat seperti pada pasien
yang tidak hamil: berkurangnya rasa sakit, sistem gastrointestinal kembali berfungsi lebih
cepat, dapat berjalan lebih awal, menurunkan lama menginap di rumah sakit, dan lebih cepat
kembali ke aktivitas rutin. Sebagai tambahan, penurunan tingkat persalinan prematur oleh
karena pengurangan manipulasi uterus, menurunkan depresi pada janin sebagai efek
penggunaan narkotika, dan kemungkinan terjadi hernia insisional yang lebih rendah pada
pasien yang hamil.
Dua studi sudah membandingkan secara retrospektif pasien hamil yang menjalani
open laparotomy dan pasien hamil yang menjalani pembedahan laparoskopik dan
menemukan bahwa yang menjalani pembedahan laparoskopik memulai diet biasa lebih cepat,
diperlukan lebih sedikit pengobatan rasa sakit, dan dirawat di rumah sakit dalam waktu yang
lebih singkat. Perbedaan ini yang sangat penting.
Terdapat 15 laporan yang merincikan terdapat 77 pasien yang menjalani
appendektomi laparoskopik. Rata-rata waktu di dalam ruang operasi adalah 56 menit (30-85
menit), dengan rata-rata lama dirawat 3,7 hari (1-11 hari). Terdapat 4 kematian janin yang
dilaporkan: 2 secara sekunder oleh karena infeksi yang salah didiagnosa sebelum operasi
sebagai appendicitis, dan satu dengan pneumoamnion setelah kebocoran uterus oleh karena
Veress Neddle. Empat pasien melahirkan prematur, sementara 58 pasien melahirkan bayi
yang sehat aterm. Empat dari pasien yang melahirkan preterm ini, diobati dengan tokolitik.

II.4. Kerugian dan yang Perlu Diperhatikan Mengenai Pembedahan Laparoskopik Selama
Kehamilan
Yang perlu diperhatikan mengenai operasi laparoskopik pada pasien yang hamil
meliputi 3 area:
1. Peningkatan tekanan intra-abdominal penurunan pengembalian darah dari vena cava inferior
yang menyebabkan penurunan cardiac output. Janin sangat bergantung pada stabilitas
hemodinamik maternal. Penyebab utama dari kematian hal-hal janin adalah maternal
hypotension atau hypoxia, maka penurunan cardiac output maternal dapat mengakibatkan
fetal distress.
2. Peningkatan tekanan intra-abdominal dengan pneumoperitoneum dapat mengarah pada
penurunan aliran darah uterus dan meningkatkan tekanan intra-uterus, dimana keduanya
dapat menyebabkan hipoksia janin.
3. Carbon dioksida diserap melewati peritoneum dan dapat menjadi asidosis respiratorik pada
ibu dan janin. Asidosis janin dapat disebabkan oleh penurunan aliran balik vena cava.

II.5. Indikasi Pembedahan Laparoskopik Selama Kehamilan


Ruang bagi pembedahan umum menggunakan laparoskopi telah meluas sejak
cholecystectomy laparoskopik pertama pada akhir 1980an. Pada awalnya, kehamilan
dianggap merupakan kontraindikasi absolut bagi operasi laparoskopi. Laporan klinis terbaru
telah menunjukkan kelayakan, keuntungan, dan potensi keamanan dari cholecystectomy
laparoskopik pada pasien yang hamil. Bagaimanapun, perhatian pada efek
pneumoperitoneum Carbon dioksida (CO2) pada ibu dan janin tetap ada, yang menghasilkan
kontroversi dan kewaspadaan.
Operasi non-ginekologi diperlukan pada 0,2% dari seluruh kehamilan.
1. Waktu yang paling aman untuk melakukan operasi pada pasien yang hamil adalah selama
trimester kedua dimana risiko teratogenik dan persalinan prematur lebih rendah. Insidensi
spontan paling tinggi pada trimester pertama (12%), dan menurun hingga 0% pada trimester
ketiga. Selama trimester kedua terdapat 5 – 8% insidensi persalinan prematur yang meningkat
hingga 30% pada trimester ketiga. Sebagai tambahan, risiko teratogenik yang tampak pada
trimester pertama tidak ditemukan lagi pada trimester kedua.
2. Indikasi terbanyak untuk melakukan operasi pada pasien hamil adalah appendicitis akut dan
penyakit saluran empedu.
Appendicitis akut terjadi pada setiap 1500 kehamilan. Diagnosis yang akurat akan semakin
sulit sejalan dengan perkembangan kehamilan : diagnosis preoperatif yang tepat sekitar 85%
dari pasien yang dievaluasi pada trimester pertama kehamilan, tetapi ketepatannya hanya 30 –
50% pada trimester ketiga. Tanda-tanda umum pada appendicitis akut seperti nyeri abdomen,
yang disertai gejala gastrointestinal dan leukositosis, mungkin sudah muncul pada kehamilan
trimester ketiga yang normal, dapat mengaburkan diagnosis yang sebenarnya. Sebagai
tambahan diskripsi dan lokasi nyeri dapat berubah secara signifikan sejalan dengan
pemeriksaan uterus. Morbiditas dan mortalitas meningkat pada pasien hamil dengan
appendicitis akut yang diagnosis dan penatalaksanaannya tertunda. Penundaan ini
meningkatkan risiko perforasi 10-15%.

II.6. Langkah-Langkah Appendektomi Laparoskopik


Gambar 1. Posisi Operasi Appendektomi Laparoskopik
Langkah 1: Menemukan appendix
Pneumoperitoneum dibuat. Trokar dimasukkan. Grasper (penjepit) atraumatik (Endo
Babcock atau Dolphin Nose Grasper) dimasukkan melalui trokar kuadran kanan atas. Cecum
ditarik ke atas ke arah hepar. Pada banyak kasus, manuver ini akan mengangkat appendix ke
lapang pandang teleskop. Appendix dijepit menggunakan claw-type grasper 5 mm yang
dimasukkan melalui trokar suprapubik.

Langkah 2: Membuat jendela mesenterium


Sebuah dolphin nose grasper digunakan untuk membuat jendela mesenterium pada
dasar appendix. Jendela harus dibuat sedekat mungkin dengan dasar appendix dan kurang
lebih berukuran 1 cm.
Langkah 3: Memisahkan Meso-appendix dan Appendix.
Appendix dipisahkan dengan memasukkan instrument MULTIFIRE ENDOGIA 30™
melalui trokar RUQ (biru), mengitari dasar appendix dan mengikatnya.

Dasar appendix diperiksa untuk melihat hemostasis. Operator harus menunggu


beberapa menit sebelum memulai langkah menghentikan tempat perdarahan pada staple line
dimana biasanya berhenti secarra spontan. MULTIFIRE ENDOGIA 30™ cartridge dirubah
menjadi vascular cartridge (putih) dan meso-appendix dipisahkan dengan cara yang sama.

Langkah 4: Melepaskan Appendix


Appendix dipotong dari traktus gastrointestinal. Instrumen ENDOCATCH™ 10mm
dimasukkan melalui trokar RUQ dan dikembangkan di dalam cavum abdomen. Appendix
dipegang oleh grasper (melalui trokar suprapubik), lalu ditempatkan pada kantong spesimen.
Kantong ditutup dan ENDOCATCH™ diangkat menggunakan trokar. ENDOCATCH™
dilepaskan dari trokar dan kemudian trokar dimasukkan kembali.
Rongga intra-abdominal diirigasi menggunakan NaCl fisiologis. Untuk appendicitis
yang telah perforasi dengan atau tanpa abses intra-abdominal, sebuah Blake Drain™
kemudian ditempatkan pada kuadran kanan bawah dan pelvis.
BAB III
KESIMPULAN

1. Appendicitis adalah kedaruratan non-obstetrik yang paling sering membutuhkan pembedahan


pada saat kehamilan
2. Tanda-tanda appendicitis yang paling sering adalah nyeri kanan bawah dan rebound
tenderness dan berusaha melindungi daerah yang sakit tersebut, yang agak terlambat pada
kehamilan oleh karena melemahnya otot dinding abdomen.
3. Beberapa studi menemukan tidak adanya hubungan antara durasi gejala dan timbulnya
perforasi dan tidak ada korelasi antara waktu pembedahan dan timbulnya perforasi.
4. Posisi ideal appendektomi laparoskopik adalah telentang menyamping oleh karena posisi ini
menaikkan curah jantung sekitar 20% dan oleh karena peningkatan drainase vena dari tungkai
bawah risiko trombosis vena dalam lebih rendah.
5. Suatu CO2 pneumoperitoneum menciptakan dampak minimal pada pasien dan janin ketika
tekanan intraabdominal 15 mmHg atau kurang.
6. Keuntungan menjalani pembedahan laparoskopik memulai diet biasa lebih cepat, diperlukan
lebih sedikit pengobatan rasa sakit, dan dirawat di rumah sakit dalam waktu yang lebih
singkat.
7. Peningkatan tekanan intra-abdominal penurunan pengembalian darah dari vena cava inferior
yang menyebabkan penurunan cardiac output.
8. Peningkatan tekanan intra-abdominal dengan pneumoperitoneum dapat mengarah pada
penurunan aliran darah uterus dan meningkatkan tekanan intra-uterus yang dapat
menyebabkan hipoksia janin.
9. Carbon dioksida diserap melewati peritoneum dan dapat menjadi asidosis respiratorik pada
ibu dan janin.
10. Waktu yang paling aman untuk melakukan operasi pada pasien yang hamil adalah selama
trimester kedua dimana risiko teratogenik dan persalinan prematur lebih rendah.
11. Indikasi terbanyak untuk melakukan operasi pada pasien hamil adalah appendicitis akut dan
penyakit saluran empedu.
DAFTAR PUSTAKA

Curet, M.J. The SAGES Manual: Fundamentals of Laparoscopy, Thoracoscopy, and GI Endoscopy,
2nd edition. Laparoscopy during pregnancy. Springer. London. 2007; 85-89.
Hamami, AH, dkk, Usus Halus Appendiks, Kolon, dan Anorektum, dalam Sjamsuhidajat, R, De
jong. W, Buku Ajar Ilmu bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1997, hal 865-75.
Palanivelu, C. Art of Laparoscopic Surgery Textbook and Atlas. Laproscopy in Pregnancy. Jaypee
Brothers. New Delhi. 2007; 141-152

Palanivelu, C. Laparoscopic Appendectomy in Pregnancy: a Case Series of Seven Patients. JSLS.


2006; 321-325.

You might also like