You are on page 1of 34

GAMBARAN KUALITAS HIDUP DAN KEPATUHAN DIET PASIEN DIABETES

MELLITUS PADA PESERTA PROLANIS DI PUSKESMAS BRATI

Studi Observasional di Puskesmas Brati Grobogan pada Bulan Desember 2017-Januari 2018

Diajukan oleh :

dr. Taura Avensia


ABSTRAK
PRAKATA
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR SINGKATAN
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) adalah salah satu penyakit yang menyebabkan kematian bagi
empat juta orang setiap tahunnya. Dengan demikian, DM merupakan penyakit tidak menular
pertama yang dinyatakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai penyakit yang
memerlukan perhatian khusus bagi dunia (Soegondo & Sukardji, 2008). PBB membuat perkiraan
bahwa pada tahun 2000 jumlah penderita DM di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang
dan dalam kurun waktu 25 tahun kemuadian, akan terus bertambah menjadi 300 juta orang.
Orang dengan DM tipe 2 megalami resiko tinggi terhadap sejumlah masalah kesehatan yang
serius, termasuk penyakit jantung, kematian dini, kebutaan, gagal ginjal, amputasi, patah tulang,
kelemahan, dan depresi (The Action to Control Cardiovascular Risk in Diabetes Study Group,
2008).

Hidup sebagai penderita Diabetes Mellitus mengahruskan penderita melakukan diet


sebagai dasar utama pengendalian kadar gula dalam darah, penderita juga memiliki pembatasan-
pembatasan yang hanya berlaku bagi penderita DM, seperti pengaturan apa, kapan, dan seberapa
banyak makanan yang harus dimakan, pengaturan jadwal, jenis dan intensitas olah raga ataupun
kegiatan lainnya. Obat diabetik dan insulin, serta pembatasan-pembatasan tersebut diduga akan
menimbulkan stres bagi yang bersangkutan (Sri Surtini, 2012). Permasalahan psikologis juga
sering muncul dan mengiringi perkembangan penyakit DM yaitu adanya kecemasan terhadap
tuntutan penanganan DM untuk mengubah pola hidup. Perubahan pola hidup yang harus dijalani
penderita DM tipe 2 dapat menimbulkan emosi negatif serta konflik yang terjadi dalam diri
penderita. Munculnya emosi negatif berupa rasa bersalah, cemas, marah, dan sedih dapat
menyebabkan penderita mengkonsumsi jenis makanan yang tidak dianjurkan. Kondisi ini apabila
tidak ditangani secara serius akan mempengaruhi proses penyembuhan dan dapat menghambat
aktivitas kehidupan sehari-hari yang selanjutnya berdampak negatif pada harga diri, semangat
juang dan kualitas hidup (Fisher et al, dalam Anita 2010).
International Diabetes Federation (IDF) melalui studi globalnya pada tahun 2015
menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan ke 7 terbesar dalam jumlah penderita DM,
yaitu 10 juta orang, setelah China (109,6 juta), India (69,2 juta), Amerika Serikat (29,3 juta),
Brazil (14,3 juta), Rusia (12,1 juta),dan Mexico (11,5 juta). Jumlah penderita DM pada tahun
2015 mencapai 415 juta orang, jika tidak ada tindakan yang dilakukan jumlah ini diperkirakan
akan meningkat menjadi 642 juta orang pada tahun 2040. Di Puskesmas Brati …
Di Indonesia sudah ada suatu progam yang ditujukan untuk pengelolaan penyakit kronis
yang disebut prolanis. Di prolanis ini akan disediakan dokter keluarga yang bertugas sebagai gate
keeper yang tidak hanya memilih pasien untuk dirujuk ke spesialis terkait, tetapi juga dapat
memberikan pelayanan komprehensif dan terfokus dalam upaya promotif dan preventif. Melalui
Prolanis yang diusung PT Askes ini, diharapkan kualitas hidup para penyandang diabetes
mellitus akan lebih baik (Hidayat, 2010).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kualitas Hidup

2.1.1 Definisi

Kualitas hidup menunjukkan sejauh mana penilaian individu terhadap


kepuasan dan kebermaknaan hidup mereka (Sarafino dan Smith, 2011). Kualitas hidup dalam
istilah umum dianggap sebagai suatu persepsi subjektif multidimensi yang dibentuk oleh
individu terhadap fisik, emosional, maupun kemampuan social, termasuk kemampuan kognitif
(kepuasan), dan komponen emosional atau kebahagiaan (Goz, et al., 2007).

Kualitas hidup Kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan Health-related


Quality of Life (HQL) mencakup keterbatasan fungsional yang bersifat fisik maupun mental, dan
ekspresi positif kesejahtraan fisik, mental, serta spiritual. HQL dapat digunakan sebagai sebuah
ukuran integrative yang menyatukan mortalitas dan morbidilitas, serta merupakan indeks
berbagai unsur yang meliputi kematian, morbidilitas, keterbatasan fungsional, serta keadaan
sehat sejahtra (well-being) (Micheal J.Gibney, 2009).
Menurut World Health Organization Quality of Life (WHOQOL) kualitas
hidup adalah kondisi fungsional lansia yang meliputi kesehatan fisik, kesehatan psikologis,
hubungan social, kondisi lingkungan (WHOQOL, 1997).

2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup


a. Usia
Kualitas hidup dipengaruhi oleh usia dimana menurut hasil penelitian Isa &
Baiyewu (2006) bahwa sosiodemografi (umur) mempengaruhi kualitas hidup
penderita diabetes melitus. Semakin tua usia seseorang kualitas hidup yang
dimiliki semakin berkurang. Penderita DM paling banyak dialami pada usia 40
tahun karena DM cenderung meningkat pada usia 45-65 tahun, riwayat obesitas
dan faktor keturunan (Smesltzer & Bare, 2008).
b. Jenis Kelamin
Wanita cenderung mempunyai kualitas hidup lebih rendah dibandingkan
dengan pria. Jenis kelamin dilihat secara bermakna dari fungsi perannya pria
mempunyai fungsi peran lebih tinggi dibandingkan wanita. Pria lebih banyak
memperoleh dukungan keluarga karena memegang peran penting di dalam
keluarga (Gautam et al dalam Yusra, 2011).

c. Tingkat Pendidikan
Faktor tingkat pendidikan juga sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup
karena pendidikan rendah akan mempengaruhi kebiasaan fisik yang kurang baik.
Tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi seseorang dalam menerima
informasi. Tingkat pendidikan merupakan faktor yang penting pada penderita DM
dalam mengelola penyakitnya berdasarkan pengetahuan yang di milikinya,
sehingga semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka kualitas hidup
penderita DM semakin meningkat (Gautam et al dalam Yusra, 2011).

d. Pekerjaan
Pekerjaan akan berpengaruh terhadap kualitas hidup. Pekerjaan akan membuat
seseorang mendapatkan upah atau gaji untuk biaya pengobatan. Kualitas hidup
meningkat seiiring dengan adanya pekerjaan yang dimiliki seseorang
(Murdiningsih & Ghofur dalam Tamara, 2014).

e. Status Ekonomi Sosial


Tingkat pendapatan yang rendah sangat bepengaruh terhadap kualitas hidup
pasien diabetes melitus karena pendapatan akan menentukan kemampuan dalam
pengobatannya. Kualitas hidup yang rendah akan berhubungan signifikan dengan
status ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah (Isa & Baiyewu, 2006).

f. Komplikasi
Menurut penelitian Isa dan Baiyewu (2006), Komplikasi berpengaruh terhadap
kualitas hidup penderita DM. Komplikasi DM seperti hipoglikemia dan
hiperglikemia yang merupakan keadaan darurat dari perjalanan penyakit DM.
Semakin berat komplikasi yang dimiliki seseorang, maka kualitas hidupnya
semakin berkurang.

g. Lama Menderita
Lama menderita akan mempengaruhi kualitas hidup penderita DM seperti
penderita DM yang sudah menderita DM hingga bertahun-tahun akan memiliki
efikasi diri dan pengelolaan penyakitnya dengan baik (WU et al dalam Yusra,
2011), sedangkan menurut Bernal et al dalam Yusra (2011), lama mederita disertai
komplikasi akan memiliki efikasi diri yang rendah, sehingga dapat disimpulkan
lama menderita disertai dengan komplikasi akan cenderung berpengaruh terhadap
kualitas hidup.

2.1.3 Aspek-aspek Kualitas Hidup


Secara umum terdapat 6 bidang (domain) yang dipakai untuk mengukur
kualitas hidup menurut WHO (2004). Domain penilaian kualitas hidup tersebut
adalah sebagai berikut :
1) Kesehatan fisik (physical health): kesehatan umum, nyeri, energi dan vitalitas,
aktivitas seksual, tidur dan istirahat.

2) Kesehatan psikologis (psychological health): cara berpikir, belajar, memori dan


konsentrasi.

3) Tingkat aktivitas (level of independence): mobilitas, aktivitas sehari-hari,


komunikasi, kemampuan kerja.

4) Hubungan sosial (sosial relationship): hubungan personal, dukungan sosial,


aktivitas seksual.
5) Lingkungan (environment): kebebasan, keselamatan, keamanan, lingkungan
rumah, kepuasan kerja.

6) Kepercayaan rohani atau religious (spirituality/religion beliefs): spiritual, agama


dan keyakinan personal.

2.1.4 Alat Ukur Kualitas Hidup Lansia


Bagian kesehatan mental WHO mempunyai proyek organisasi kualitas kehidupan
dunia (WHOQOL). Proyek ini bertujuan mengembangkan suatu instrumen penilaian
kualitas hidup. Instrumen WHOQOL – BREF ini telah dikembangkan secara kolaborasi
di berbagai belahan dunia. Instrumen ini terdiri dari 26 item pertanyaan dimana 2
pertanyaan tentang kualitas hidup lansia secara umum dan 24 pertanyaan lainnya
mencakup 4 domain. 4 domain tersebut adalah :
a. Kesehatan Fisik yaitu pada pertanyaan nomer 3, 4, 10, 15, 16, 17 dan 18

b. Psikologis yaitu pada pertanyaan nomer 5, 6, 7, 11, 19 dan 26

c. Hubungan sosial yaitu pada pertanyaan nomer 20, 21, dan 22

d. Lingkungan yaitu pada pertanyaan nomer 8, 9, 12, 13, 14, 23, 24 dan 25 (WHO, 2004).

World Health Organization (WHO) telah mengembangkan sebuah instrumen


untuk mengukur kualitas hidup seseorang yaitu WHO Quality of Life -BREF
(WHOQOL-BREF). Distribusi ke-26 pertanyaan dari WHOQOL-BREF adalah simetris
dan hasil penelitian menunjukkan instrumen WHOQOL-BREF valid dan reliable untuk
mengukur kualitas hidup pada lansia. Kemampuan cross-cultural dari instrumen
WHOQOL-BREF merupakan suatu keunggulan dan mendukung premis yang
menyatakan instrumen ini dapat digunakan sebagai alat screening. WHOQOL-BREF
merupakan suatu instrumen yang valid dan reliable untuk digunakan baik pada populasi
lansia maupun populasi dengan penyakit tertentu (Salim, 2007).
Instrumen WHOQOL-BREF merupakan instrumen yang sesuai untuk mengukur
kualitas hidup dari segi kesehatan terhadap lansia dengan jumlah responden yang kecil,
mendekati distribusi normal, dan mudah untuk digunakan (Hwang dkk, 2003). Pada
penelitian ini, peneliti menggunakan aspek kualitas hidup dari WHOQOL-BREF untuk
mengukur kualitas hidup pada penderita DM dengan komplikasi.

2.1.5 Kegunaan Kualitas Hidup


Kualitas hidup diukur dengan menggunakan instrumen DQOL (Diabetes Quality
of Life) dari Burroughs (2004). Intrumen DQOL ini digunakan dalam bidang medis untuk
menilai kualitas hidup DM tipe 1 dan 2 (Burroughs, 2004). Kualitas hidup penderita
diabetes melitus sangat penting karena dengan kualitas hidup menggambarkan persepsi
penderita dalam kepuasan dalam derajat kesehatan dan keterbatasan yang perlu evaluasi
untuk meningkatkan pengobatan (WHO, 2004).

2.2 Pola Makan

2.2.1 Defini Diet Pola Makan Pasien DM


Diet diabetes mellitus merupakan pengaturan pola makan bagi penderita diabetes
melitus berdasarkan jumlah, jenis, dan jadwal pemberian makanan (Sulistyowati, 2009).
Prinsip diet bagi penderita DM adalah mengurangi dan mengatur konsumsi karbohidrat
sehingga tidak menjadi beban bagi mekanisme pengaturan gula darah.
Pengaturan makan (diet) merupakan komponen utama keberhasilan pengelolaan
diabetes mellitus, akan tetapi mempunyai kendala yang sangat besar yaitu kepatuhan
seseorang untuk menjalaninya. Prinsip pengaturan makan pada penderita diabetes hampir
sama dengan anjuran makan untuk orang sehat masyarakat umum, yaitu makanan yang
beragam bergizi dan berimbang yang sesuai dengan kebutuhan kalori dan kebutuhan gizi
masing-masing individu. Hal yang harus diperhatikan dalam perncanaan kebutuhan
makanan adalah kebutuhan energy/kalori yang ditentukan berdasarkan umur, jenis
kelamin, berat badan, aktifitas fisik, kehamilan atau menyusui. Konsensus pengelolaan
dan pencegahan DM di Indonesia menetapkan empat pilar utama dalam pengelolaan DM,
yaitu edukasi, terapi nutrisi medis (diet), latihan jasmani, dan intervensi farmakologi.
2.2.2 Terapi Nutrisi Medis (Diet)
Perkeni 2011 menjelaskan bahwa penatalaksanaan diet pada penderita DM tipe 2
merupakan bagian dari penatalaksanaan DM tipe 2 secara total yang ditekankan pada
keteraturan jumlah energi, jenis makanan dan jadwal makan. Yang dimaksut adalah tepat
jumlah energy yang dikonsumsi dalam satu hari, tepat jadwal sesuai 3 kali kakan utama
dan 3 kali makan selingan dengan interval waktu 3 jam, dan tepat jenis yaitu menghindari
makanan tinggi kalori.
Penatalaksanaan diet yang harus dilakukan pada penderita DM adalah sebagai
berikut :
1) Tujuan
a. Mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah dalam keadaan normal
dan aman
b. Menjaga dan mempertahankan kadar lipid dan profil lipid dalam keadaan
normal untuk mencegah resiko penyakit kardiovaskuler
c. Menjaga tekanan darah tetap normal
d. Mencegah dan meperlambat komplikasi kronik pada DM
e. Untuk menjaga kenikmatan makan yaitu dengan membatasi makanan pilihan

2) Kebutuhan Kalori
Cara untuk memperhitungkan kebutuhan kalori pada penderita DM yaitu dengan
memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30kalori/kgBB.
Kebutuhan kalori ini dipengaruhi oleh beberapa faktor (Perkeni, 2011) antara lain :
a. Jenis kelamin
Kebutuhan kalori wanita 25 kal/kgBB dan untuk pria 30 kal.kgBB
b. Usia
Penderita DM usia diatas 40 tahun kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk
dekade antara 40 dan 59 tahun, dan 10% untuk dekade antara 60 dan 69 tahun,
dan 20% untuk usia diatas 60 tahun.
c. Berat badan
Kebutuhan kalori pada penderita yang mengalami kegemukan dikurangi
sekitar 20–30% (tergantung tingkat kegemukan), sedangkan pada penderita
yang kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan berat badan.

Makanan sejumlah kalori dengan komposisi tersebut dibagi dalam 3 porsi


besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi
makanan ringan (10-15%).

3) Pemilihan Jenis Makanan

Makanan yang dainjurkan adalah makanan yang mengandung sumber karbohidrat


kompleks (seperti nasi, roti, mie, kentang, singkong, ubi dan sagu), mengandung
protein rendah lemak (seperti ikan, ayam tanpa kulit,tempe, tahu dan kacang-
kacangan) dan sumber lemak dalam jumlah terbatas yaitu bentuk makanan yang
diolah dengan cara dipanggang, dikukus, direbus dan dibakar.
Makanan yang perlu dihindari yaitu makanan yang mengandung karbohidrat
sederhana (seperti gula pasir, gula jawa, susu kental manis, minuman botol manis, es
krim, kue-kue manis, dodol), mengandung banyak kolesterol, lemak trans, dan
lemakjenuh (seperti cake, makanan siap saji, goreng-gorengan) serta tinggi natrium
(seperti ikan asin, telur asin dan makanan yang diawetkan (Almatsier, 2008).
Makanan untuk diet DM biasanya kurang bervariasi, sehingga banyak penderita
DM yang merasa bosan, sehingga variasi diperlukan agar penderita tidak merasa
bosan. Hal itu diperbolehkan asalkan penggunaan makanan penukar memiliki
kandungan gizi yang sama dengan makanan yang digantikan (Suyono, 2011).

4) Pengaturan Jadwal Makan

Penderita DM makan sesuai jadwal, yaitu 3 kali makan utama dan 3 kali makan
selingan dengan interval waktu 3 jam. Jadwal makan standar untuk penderita DM
yaitu:
Tabel 2.1 Jadwal Makan Penderita DM
Jenis Makanan Waktu Total Kalori
Makan pagi 07.00 20%
Selingan 10.00 10%
Makan siang 13.00 30%
Selingan 16.00 10%
Makan sore/malam 19.00 20%
Selingan 21.00 10%
Sumber : Waspadji (2008)

5) Standard dan Prinsip Diet

Secara standar diet untuk penderita DM yang gemuk adalah 1100-1600 kalori,
penderita dengan berat badan normal 1700-1900 kalori dan 2100-2500 kalori untuk
penderita DM yang kurus (Waspadji, 2008).
Prinsip diet bagi penderita DM (Perkeni, 2011) yaitu:
a) Energi disesuaikan dengan kebutuhan dan faktor koreksi umur, jenis kelamin,
aktivitas dan berat badan
b) Karbohidrat 45-65% dari energi total
c) Protein 10-20% dari energi total
d) Lemak 20-25% dari energi total, penggunaan lemak jenuh <7%; lemak tidak jenuh
ganda <10%; selebihnya lemak tidak jenuh tunggal; dan kolesterol <300 mg/hari
e) Makanan yang perlu dihindari adalah makanan yang banyak mengandung
kolesterol, lemak trans, lemak jenuh serta makanan yang banyak mengandung
natrium.
f) Makanan yang dianjurkan adalah sumber karbohidrat kompleks, makanan tinggi
serat dan makanan yang diolah dengan sedikit minyak.
g) Gula untuk bumbu diperbolehkan dengan ketentuan <5% dari kebutuhan energi.
6) Jenis Diet dan Indikasi Pemberian
Diet yang digunakan sebagai bahan penatalaksanaan DM dikontrol berdasarkan
kandungan energi, protein, lemak dan karbohidrat. Sebagai pedoman dipakai 8 jenis
diet DM sebagaimana dapat dilihat dalam tabel 2.2. Penerapan diet ditentukan oleh
keadaan pasien, jenis DM, dan program pengobatan secara keseluruhan.

Tabel 2.3 Jenis Diet Diabetes Mellitus berdasarkan kandungan energi, protein,
lemak dan karbohidrat
Jenis Diet Energi (kkal) Protein (gr) Lemak (gr) Karbohidrat
(gr)
I 1100 43 30 172
II 1300 45 35 192
III 1500 51,5 36,5 235
IV 1700 55,5 36,5 235
V 1900 60 48 299
VI 2100 62 53 319
VII 2300 73 59 369
VIII 2500 80 62 396
Sumber : Penuntun Diet, Instalasi Gizi Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo

7) Bahan Makanan yang Dianjurkan


Bahan makanan yang dianjurkan untuk Diet DM adalah sebagai berikut :
a)Sumber karbohidrat kompleks, seperti nasi, roti, mie, kentang, singkong, ubi, dan
sagu.
b)Sumber protein rendah lemak, seperti ikan, ayam tanpa kulit, susu skim, tempe,
tahu, dan kacang-kacangan.
c)Sumber lemak dalam jumlah terbatas yaitu bentuk makanan yang mudah di cerna.
Makanan terutama diolah dengan cara dipanggang, dikukus, disetup, direbus, dan
dibakar.
8) Bahan Makanan yang Tidak Dianjurkan (dibatasi/dihindari)
Bahan makanan yang tidak dianjurkan, dibatasi, atau dihindari untuk Diet DM,
adalah:
a) Mengandung banyak gula sederhana, seperti :
(1)Gula pasir, gula jawa
(2)Sirop, jam, jeli, buah-buahan yang diawetkan dengan gula, susu kental manis,
minuman botol ringan, es krim
(3)Kue-kue manis, dodol, cake, dan tarcis.
b) Mengandung banyak lemak, seperti : cake, makanan siap saji (fast food), goreng-
gorengan.
c) Mengandung banyak natrium, seperti : ikan asin, telur asin, makanan yang
diawetkan.

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Diet


1) Usia
Usia berpengaruh terhadap kepatuhan dalam menerapkan terapi non
farmakologis, salah satunya diet (Isnariani, 2006). Usia lebih dari 35 tahun
cenderung tidak mudah untuk menerima informasi baru yang menunjang
derajat kesehatannya, karena mereka mengalami penurunan dalam mengingat
dan menerima sesuatu hal yang baru (Anggina, 2010). Hal ini didukung oleh
penelitian Lestari (2012) yang menunjukkan bahwa kepatuhan diet pada
responden usia dewasa lebih tinggi (63,5%) dibandingkan lansia (47,9%).

2) Jenis Kelamin

Sattar et al.(2003) mengatakan laki-laki memiliki risiko lebih besar


terkena DM tipe 2 dibandingkan perempuan, hal ini karena pada laki-laki
terjadi penumpukan lemak yang terkonsentrasi di sekitar perut sehingga
memicu obesitas sentral yang lebih beresiko memicu gangguan metabolisme
sehingga laki-laki lebih rentan terhadap DM tipe 2. Laki-laki biasanya bersifat
lebih aktif dalam hal pengobatan dibandingkan perempuan, karena mereka
memiliki tanggung jawab terhadap keluarga sehingga mereka lebih
patuh.Namun pada penelitian Lestari (2012) menunjukkan tidak ada hubungan
yang bermakna antara jenis kelamin dengan kepatuhan diet pada penderita
DM.

3) Pekerjaan

Beberapa penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa pekerjaan dapat


menyebabkan penderita tidak patuh karena sibuk bekerja sehingga tidak bisa
memperhatikan diet sesuai dengan yang dianjurkan. Responden yang bekerja
akan cenderung menghabiskan waktu untuk aktivitas pekerjaannya sehingga
akan mengurangi waktunya untuk melakukan kunjungan ke pusat layanan
kesehatan untuk mendapatkan informasi mengenai kesehatannya (BPOM RI,
2006).

4) Pendidikan
Semakin rendah pendidikan seseorang maka akan semakin rendah pula
kemampuannya dalam menyikapi suatu permasalahan. Penelitian yang
dilakukan Bangun (2009) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan diet pada penderita DM.

5) Lama Menderita DM
Sukamadinata (2009) dalam Phitri (2013) menyatakan, bahwa seseorang
yang lama menderita penyakit akan mampu merespon penyakit dengan rajin
melakukan pengobatan. Semakin lama seseorang menderita DM maka ia akan
memiliki pengetahuan dan pengalaman yang baik dalam hal diet sehingga akan
patuh terhadap diet yang dianjurkan.
Namun pendapat lain menyatakan bahwa lama penyakit memberikan efek
negatif terhadap kepatuhan pasien. Makin lamaseseorang menderita penyakit
DM, makin kecil tingkat kepatuhannya (BPOM RI, 2006). Hasil penelitian
yang dilakukan pada 60 penderita DM di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit
Hasan Sadikin Bandung menunjukkan bahwa lama menderita penyakit
iniberpengaruh 0,091 kali terhadap kepatuhan, semakin singkat durasi
seseorang menderita DM, maka akan semakin patuh terhadap rekomendasi
terapi (Bangun, 2009). Penelitian Fisher dalam Yusra (2011) mengatakan
bahwa pasien yang menderita DM selama 4 bulan sudah menunjukkan
keyakinan diri yang baik. Wu et al., (2006) menemukan bahwa pasien yang
telah menderita DM ≥ 11 tahun memiliki keyakinan diri yang lebih baik
daripada pasien yang menderita DM < 10 tahun.

6) Pengetahuan
Sikap penderita DM sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, dalam hal ini
pengetahuan tentang penyakit DM sangatlah penting karena pengetahuan ini
akan membawa penderita untuk menentukan sikap, berusaha, berpikir dan
berusaha untuk tidak terkena penyakit atau dapat mengurangi kondisi
penyakitnya. Jika seseorang pengetahuannya baik maka sikap yang yang
dimiliki terhadap diet DM semestinya dapat mendukung terhadap kepatuhan
diet DM itu sendiri (Effendi dikutip dalam Phitri 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2012) menunjukkan bahwa


kepatuhan diet pada penderita DM dengan tingkat pengetahuan baik lebih
tinggi (78,3%) dibandingkan dengan tingkat pengetahuan kurang (22,5%). Ada
hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kepatuhan diet DM.

7) Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga pada pasien DM bertujuan untuk memberikan


pemahaman mengenai perjalanan penyakit pencegahan, penyulit dan
penatalaksanaan. Penelitian yang dilakukan Susanti dan Sulistyarini (2013)
menunjukkan bahwa dukungan keluarga dapat meningkatkan kepatuhan diet
pada pasien DM di Ruang Rawat Inap RS Baptis Kediri.
8) Status Sosial Ekonomi
Pearlin dalam Bangun (2009) mengatakan bahwa individu yang menderita
penyakit kronis cenderung untuk memanfaatkan sumber ekonominya untuk
memodifikasi lingkungan sehingga dapat mengurangi dampak perubahan dari
fungsi fisik yang dialaminya. Begitu pula halnya dengan pasien DM tipe 2
cenderung untuk melakukan kontrol/ cek gula darah di pusat pelayanan
kesehatan yang terjangkau. Dalam menjalani aktivitas fisik maupun diet,
pasien DM tipe 2 lebih mudah mematuhi rekomendasi terapi yang bersifat
ekonomis dan tidak memberatkan secara finansial.
2.3 Diabetes Mellitus

2.3.1 Definisi

DM merupakan gangguan metabolism karbohidrat, lemak, dan protein yang

ditandai dengan kadar glukosa yang melebihi normal (hiperglikemia) akibat

gangguan aktivitas atau sekresi insulin. Gejala penderita DM antara lain banyak

minum (polidipsi), banyak makan (polifagi), banyak kencing (poliuri), lemas, dan

ditandai dengan kadar glukosa darah puasa >126 mg/dL dan kadar glukosa darah

sewaktunya >200 mg/dL (Soegondo, 2006).

2.3.2 Etiologi
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya
kekurangan insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi
melalui 3 jalan, yaitu:
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia, gangguan
autoimun, dll) yang menjadi penyebab dari diabetes tipe 1.
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas yang menjadi
penyebab dari diabetes tipe 2.
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer yang menjadi
penyebab dari diabetes tipe 2 (Fatimah, 2015; Eisenbarth & Buse, 2011; Greenstein
& Wood, 2010).

2.3.3 Faktor Resiko


a. Genetik
Faktor genetik merupakan faktor penting pada DM yang dapat mempengaruhi sel
beta dan mengubah kemampuannya untuk mengenali sekretoris insulin. Keadaan
ini meningkatkan kerentanan individu tersebut terhadap faktor-faktor lingkungan
yang dapat mengubah integritas dan fungsi sel beta pankreas (Price and Wilson,
2006).
b. Usia
Diabetes mellitus tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin
sering terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia lanjut.
Kejadian usia lanjut dengan gangguan toleransi glukosa mencapai 50-92%
(Rochman dalam Sudoyo, 2006). Sekitar 6% individu berusia 45-64 tahun dan
11% individu berusia lebih dari 65 tahun menderita DM tipe II (Ignativicius &
Workman, 2006). Rochman W dalam Sudoyo (2006) menyatakan bahwa usia
sangat erat kaitannya dengan terjadinya kenaikan kadar glukosa darah, sehingga
semakin meningkat usia maka prevalensi DM dan gangguan toleransi glukosa
semakin tinggi. Proses menua yang berlangsung setelah usia 30 tahun
mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia. Perubahan dimulai
dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ,
yang dapat mempengaruhi fungsi homeostasis (Price and Wilson, 2006).

c. Jenis Kelamin
Penyakit DM ini sebagian besar dijumpai pada perempuan dibandingkan laki-
laki karena terdapat perbedaan dalam melakukan semua aktivitas dan gaya hidup
sehari-hari yang sangat mempengaruhi kejadian suatu penyakit, dan hal tersebut
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit DM (Soegondo, 2007).
Jumlah lemak pada laki-laki dewasa rata-rata berkisar antara 15-20% dari berat
badan total, dan pada perempuan sekitar 20-25%. Jadi peningkatan kadar lemak
pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, sehingga faktor risiko
terjadinya DM pada perempuan 3-7 kali lipat lebih tinggi dibandingkan pada
laki-laki yaitu 2-3 kali lipat (Soegondo, 2007).

d. Obesitas
Obesitas adalah berat badan yang berlebih minimal 20% dari BB idaman atau
indeks massa tubuh lebih dari 25 kg/m2. Soegondo (2007) menyatakan bahwa
obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap peningkatan glukosa
darah berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel di seluruh tubuh termasuk di
otot berkurang jumlahnya dan kurang sensitive

e. Aktifitas Fisik
Kurangnya aktifitas merupakan salah satu faktor yang ikut berperan dalam
menyebabkan resistensi insulin pada DM tipe II (Soegondo, 2007). Kriska
(2007) menyatakan mekanisme aktifitas fisik dapat mencegah atau menghambat
perkembangan DM tipe II yaitu : 1) resistensi insulin; 2) peningkatan toleransi
glukosa; 3) Penurunan lemak adipose; 4) Pengurangan lemak sentral; perubahan
jaringan otot. Aktivitas fisik yang semakin jarang maka gula yang dikonsumsi
juga akan semakin lama terpakai, akibatnya prevalensi peningkatan kadar gula
dalam darah juga akan semakin tinggi.

f. Pola Makan
Penurunan kalori berupa karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan,
merupakan faktor eksternal yang dapat merubah integritas dan fungsi sel beta
individu yang rentan (Prince & Wilson, 2006). Individu yang kelebihan berat
badan harus melakukan diet untuk mengurangi kebutuhan kalori sampai berat
badannya turun mencapai batas ideal. Penurunan kalori yang moderat (500-1000
Kkal/hari) akan menghasilkan penurunan berat badan yang perlahan tapi
progresif (0,5-1 kg/minggu). Penurunan berat badan 2,5-7 kg/bulan akan
memperbaiki kadar glukosa darah (ADA, 2010).

g. Stress
Respon stress menyebabkan terjadinya sekresi sistem saraf simpatis yang diikuti
oleh sekresi simpatis-medular, dan bila stress menetap maka sistem hipotalamus-
pituitari akan diaktifkan dan akan mensekresi corticotropin releasing factor yang
menstimulasi pituitary anterior untuk memproduksi adenocorticotropic factor
(ACTH). Adenocorticotropic menstimulasi produksi kortisol, kortisol adalah
hormon yang dapat menaikkan kadar gula darah (Guyton, 2008).
2.3.4 Klasifikasi

DM dibagi menjadi DM tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe 1 diperkirakan 5% dari

seluruh populasi penderita DM dan sering terjadi pada usia<40 tahun. DM tipe 1

disebabkan karena kerusakan sel beta pankreas karena reaksi autoimun. DM tipe 2

lebih sering terjadi, sekitar 95% dari seluruh kasus. DM tipe 2 lebih sering terjadi

pada usia>40 tahun. Pada DM tipe 2 produksi insulin tetap berjalan namun jumlah

reseptor insulin pada sel target menurun sehingga glukosa yang masuk ke sel akan

menurun dan glukosa dalam pembuluh darah akan meningkat. Keadaan ini disebut

resistensi insulin. DM tipe 2 biasanya terjadi pada orang yang obesitas yang

menyebabkan gangguan kerja insulin.

2.3.4 Patofisiologi

Bahan makanan dari mulut dibawa ke lambung lalu ke usus untuk dicerna.
Dalam saluran cerna, karbohidrat diubah menjadi glukosa, protein menjadi asam
amino, dan lemak menjadi asam lemak. Zat makanan tersebut dimetabolisme dalam
sel. Insulin memegang peranan penting dalam proses metabolisme. Insulin
mentranspor glukosa ke dalam sel untuk dimetabolisme menjadi energi. Bila terjadi
disfungsi insulin, glukosa tetap berada dalam pembuluh darah dan menyebabkan
kadarnya meningkat. Keadaan tersebut menyebabkan tubuh lemah karena tidak ada
sumber energi dalam sel. Disfungsi insulin terjadi karena penurunan sekresinya
maupun karena resistensi jaringan terhadap insulin Pada resistensi insulin, produksi
insulin tetap berjalan namun jumlah reseptor insulin pada sel target menurun
sehingga glukosa yang masuk ke sel akan menurun dan glukosa dalam pembuluh
darah akan meningkat (Guyton dan Hall, 2008).
2.3.5 Penatalaksanaan
Tujuan terapeutik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar glukosa darah
normal (euglikemia) tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola
aktivitas pasien. Menurut Konsensus Perkeni 2011, ada empat pilar
penatalaksanaan DM.
1. Edukasi

Tujuan adanya penyuluhan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan


diabetisi (penderita diabetes) tentang penyakit dan pengelolaannya sehingga dapat
merawat sendiri agar mampu mempertahankan hidup dan mencegah komlikasi
lebih lanjut (Hasdianah, 2012).
Keberhasilan pengelolaan diabetes membutuhkan partisipasi aktif dari
pasien, keluarga dan masyarakat. Untuk mencapai keberhasilan perilaku,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif yang meliputi pemahaman tentang :
a. Penyakit DM
b. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
c. Penyulit DM
d. Intervensi farmakologis dan non farmakologis
e. Hipoglikemia
f. Masalah khusus yang dihadapi
g. Perawatan kaki pada diabetes
h. Cara pengembangan sistem pendukung dan pengajaran keterampilan
i. Cara menggunakan fasilitas perawatan kesehatan (Misnadiarly, 2006)
Edukasi secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian
masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Adapun perilaku yang
diinginkan antara lain adalah:
a. Mengikuti pola makan sehat
b. Meningkatkan kegiatan jasmani
c. Menggunakan obat diabetes dan obat obat-obat pada keadaan khusus secara
aman dan teratur.
d. Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan
data yang ada (Utomo, 2011)
2. Perencanaan Makanan (Diet)

Pengaturan gizi merupakan komponen penting dalam pengelolaan


diabetes. Seorang penderita diabetes akan meningkat kesehatannya dengan
mengontrol berat badan, kadar glukosa darah, kadar lemak darah, dan penggunaan
insulin sebagai sebagai hormon pengatur kadar glukosa darah. Pengaturan gizi ini
meliputi modifikasi diet untuk asupan gizi yang normal untuk mengontrol kadar
glukosa darah dan lemak darah (Ramayulis, 2009). Tujuan diet diabetes melitus
adalah mempertahankan atau mencapai berat badan ideal, mempertahankan kadar
glukosa darah mendekati normal, mencegah komplikasi akut dan kronik serta
meningkatkan kualitas hidup penderita (Hasdianah, 2012). Komposisi makanan
yang dianjurkan oleh PERKENI terdiri dari:
a. Karbohidrat

1) Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 4565% total asupan energi.


2) Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.
3) Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
4) Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain.
5) Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
6) Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)
7) Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan
lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

b. Lemak

1) Asupan lemak dianjurkan sekitar 2025% kebutuhan kalori.


2) Tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
3) Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
4) Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
5) Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak
jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole
milk).
6) Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.

c. Protein

1) Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.


2) Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang cumi,dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacangkacangan,
tahu, dan tempe.
3) Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai
biologik tinggi.

d. Serat

1) Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan


mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral,
serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan
2) Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari

e. Natrium

1) Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran


untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7
gram (1 sendok teh) garam dapur.
2) Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
3) Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
3. Latihan Jasmani

Latihan merupakan bagian yang penting dalam pengobatan diabetes, dengan


latihan jasmani akan membantu penderita diabetes untuk meningkatkan
kesensitifan insulin, menurunkan risiko terkena gangguan jantung, mengontrol
berat badan, dan meningkatkan kesehatannya (Ramayulis, 2009).
Olah raga meliputi 4 prinsip, yaitu :
a. Frekuensi
Frekuensi latihan jasmani yang baik adalah 3 – 5 kali dalam seminggu secara
teratur.
b. Intensitas olah raga
Takaran latihan sampai 72 – 87% denyut nadi maksimal (Hasdianah, 2012).
c. Tempo olah raga
Lama latihan adalah sekitar 30 sampai 60 menit (Lany Sustrani, dkk, 2004)
d. Jenis olah raga
Jenis olah raga bersifat kontinyu (dilakukan secara berkesinambungan dan terus
menerus), ritmis (latihan olah raga bersifat berirama yaitu otot – otot
berkontraksi dan relaksasi secara teratur), interval (latihan dilakukan selang –
seling antara gerak cepat dan gerak lambat), dan daya tahan (meningkatkan
kemampuan kardiorespirasi) (Hasdianah,2012).
Latihan jasmani yang dilakukan secara teratur akan memberikan berbagai
manfaat, diantaranya :
a. Mengotrol gula darah, terutama pada penderita diabetes melitus tipe 2
b. Menghambat dan memperbaiki faktor risiko terkena penyakit kardiovaskuler.
Olahraga yang teratur dapat membnatu memperbaiki profil lemak darah,
menurunkan kolesterol total, LDL (Low Density Lypoprotein), Trigliserida,
menaikkan HDL (High Density Lypoprotein) kolesterol, serta memperbaiki
sistem hemostatik dan tekanan darah.
c. Menurunkan berat badan. Penurunan berat badan dapat memperbaiki insulin
resisten dan mengontrol gula darah.
d. Memperbaiki gejala muskuloskeletal (Ramayulis, 2009)
4. Terapi Farmakokinetik
a. Insulin

Insulin merupakan hormon anabolik dan antikatabolik. Efek anabolic


meliputi stimulasi, penggunaan, dan penyimpangan glukosa, asam amino, asam
lemak, sedangkan proses katabolik (pemecahan glikogen, lemak dan protein)
dihambat. Insulin pada umunya disuntikkan secara subkutan pada lemak
abdomen, lengan atas posterior, dan paha sebelah luar. Pada keadaan tertentu
insulin dapat diberikan secara intramuscular atau intravena. Insulin merupakan
obatt utama pada DM tipe 1, ketoasidosis dan hiperosmolar non ketotik dan
DM tipe 2 pada kondisi tertentu. Pemberian dosis sangat bervariasi tergantung
resistensi insulin yang mendasaripenggunaan obat oral bersamaan (BPOM,
2009).

b. Obat Hipoglikemik Oral

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 3 golongan :


1) Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfnilurea dan glinid
a) Sulfonilurea
Obat golongan Sulfonilurea mempunyai efek utama untuk
meningkatkan sekresi insulinoleh sel beta pankreas, dan merupakan
pilihan utama untuk pasien dengan baerat badan normal dan kurang
serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya, namun masih
boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih (Misnadiarly,
2006)
b) Glinid
Cara kerja glinid sama dengan sulfonilurea, dengan meningkatkan
sekresi insulin fase pertama. Glinid terdiri dari dua macam obat yaitu :
Repraglinid dan Nateglinid (Misnadiarly, 2006)

2) Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion.


a) Metformin
Golongan metformin berbeda dengna golongan Sulfonilurea karena
tidak meningkatkan sekresi insulin sehingga tidak dapat menyebabkan
hipoglikemia, tidak menaikkan berat badan. Metformin menurunkan
kadar glukosa puasa sebanyak 60 mg/dl dengan cara memperbaiki
transport glukosa kedalam sel otot yang dirangsang oleh insulin
(Misnadiarly, 2006).

3) Penghambat absorbs glukosa : penghambat glukosidase alfa (Utomo, 2011).


Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di
dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan
menurunkan hipoglikemia postprandial (Misnadiarly, 2006).

Hal – hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan obat antidiabetika oral
menurut BPOM tahun 2010 antara lain:
1. Obat antidiabetika oral merupakan obat yang harus digunakan dibawah
pengawasan dokter.
2. Antidiabetika oral sebaiknya diminum pada saat menjelang makan atau
setengah jam sebelum makan untuk mencegah timbulnya reaksi hipoglikemia.
3. Minumlah dosis yang terlupa segera setelah mengingatnya, akan tetapi jika
hampir mendekati dosis berikutnya, jangan diminum dosis tersebut dan
kembali ke jadwal yang seharusnya.
4. Jangan menduakalikan dosis
5. Jangan minum antasida selama 1 setelah minum obat antidiabetika
6. Konsultasikan dengan dokter dalam melakukan penyesuaian dosis, jika anda
sedang dalam diet atau mengalami perubahan dalam pola berolahraga.
7. Jangan minum obat lain kecuali atas petunjuk dokter, apoteker, atau tenaga
kesehatan lainnya terutama untuk obat penghilang rasa nyeri (asetosal), obat
asma, obat pilek dan obat batuk.
8. Jangan minum alkohol selama minum obat antidiabetika oral, karena alkohol
dapat menurunkan kadr gula darah sehingga meningkatkan risiko
hipoglikemia.
2.4 Prolanis
Prolanis adalah suatu sistem pelayanan kesehatan dan pendekatan proaktif yang
dilaksanakan secara terintegrasi yang melibatkan Peserta, Fasilitas Kesehatan dan BPJS
Kesehatan dalam rangka pemeliharaan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan yang menderita
penyakit kronis untuk mencapai kualitas hidup yang optimal dengan biaya pelayanan kesehatan
yang efektif dan efisien (PROLANIS, 2010).

Prolanis adalah sebuah program manajemen penyakit kronis yang merupakan bagian dari
Askes. Program dimulai pada 2010 dan berfokus pada manajemen mandiri diabetes. Ini
merupakan bagian dari layanan konsultasi dan pemeriksaan bulanan dari rumah sakit ke Pusat
Kesehatan yang memberikan manfaat kepada pasien dari segi waktu tunggu yang lebih rendah
secara signifikan dan lebih banyak waktu untuk berkonsultasi dan memberikan pendidikan
kepada pasien. Ini adalah perubahan positif bagi mereka yang diasuransikan oleh Askes tetapi
menimbulkan pertanyaan adanya ketidakadilan akses terhadap informasi dan pendidikan bagi
mereka tidak diasuransikan oleh Askes (Soewondo, Ferrario and Tahapary, 2013).
Pelayanan yang diberikan oleh Prolanis seperti pelayanan obat untuk penyakit diabetes
pasien selama satu bulan, mengingatkan jadwalkonsultasi dan pengambilan obat, memberi
informasi dan pengetahuan tentang penyakit diabetes secara teratur dan terstruktur pemantauan
status kesehatan secara intensif serta adanya kegiatan kunjungan rumah (home visit) bagi peserta
(PROLANIS, 2010).

Kunjungan rumah diberlakukan untuk pemberian informasi/edukasi kesehatan diri dan


lingkungan bagi peserta PROLANIS dan keluarga. Sehingga pengobatan terhadap pasien dapat
terus dijalankan jika pasien tidak dapat hadir pada waktu yang telah ditentukan untuk
penanganan penyakitnya.

Dokter akan memantau kepatuhan pasien terhadap program pengelolaan penyakit kronis
ini untuk mengetahui apakah pasien benar- benar melakukan apa yang direncanakan. Komitmen
peserta dalam mengikuti Prolanis juga merupakan hal yang sangat penting. Peserta diharapkan
mengikuti segala ketentuan pengobatan yang telah direncanakan, karena jika tidak ada komitme
dari pasien maka program ini akan gagal.
Dengan adanya Prolanis, target peningkatan status kesehatan,pengetahuan, kemampuan,
dan kesadaran peserta dalam rangka pemeliharaan kesehatan secara mandiri dapat terwujud
secara maksimal. Target ini juga didasarkan pada panduan klinis yang berlaku. Indikator
keberhasilan program ini adalah terwujudnya Profil Kesehatan Peserta melalui pemantauan
berkesinambungan terhadap peserta.

You might also like