You are on page 1of 22

BAB 1

1.1 Latar Belakang

Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.
Gagal jantung adalah kumpulan gejala klinis akibat kelainan struktural ataupun
fungsional jantung yang menyebabkan gangguan kemampuan pengisian ventrikel
dan ejeksi darah keseluruh tubuh. Manifestasi yang khas pada gagal jantung
kongestif ialah dispnea, fatiguedan retensi cairan yang menyebabkan edema
paru dan edema perifer (AHA, 2013).
Insidensi gagal jantung meningkat seiring bertambahnya usia yaitu 20
per 1000 penduduk pada usia 65-69 dan > 80 per 1000 penduduk pada usia dia
atas 85 tahun (AHA, 2013). Diperkirakan 1-2% dari populasi dunia menderita
penyakit gagal jantung kongestif dengan prevalensi yang terus meningkat (Agus
Salim). Di Amerika Serikat, insidensi gagal jantung ditemukan sebanyak 5,1 juta
penduduk dan prevalensi akan diperkirakan akan terus meningkat. Prevalensi
gagal jantung di Indonesia sendiri pada tahun 2013 yaitu 229.696 penduduk
dengan prevalensi di Provinsi Sumatera Utara 11. 622 penduduk.
Angka mortalitas akibat gagal jantung kongestif juga cukup tinggi, kurang
lebih 300.000 jiwa setiap tahun (Agus Salim). Mortality rate pada gagal jantung
juga cukup tinggi yaitu sebesar 50% dalam kurun waktu 5 tahun setelah
diagnosa ditegakkan. Kejadian rawat inap pada pasien jantung juga cukup tinggi
yaitu sekitar 1 juta penduduk tiap tahun. Hal ini menyebabkan biaya untuk
penanganan gagal jantung meningkat, di Amerika Serikat sendiri mencapai 1,8
milyar dolar Amerika per tahunnya.
Gagal jantung merupakan penyakit yang bersifat progresif dan memiliki
angka mortalitas yang tinggi. Oleh karena itu deteksi diperlukan sehingga
manifestasi klinis dari gagal jantung dapat dikendalikan sehingga penderita gagal
jantung dapat hidup dengan normal.
1.2 Gagal Jantung
1.2.1 Definisi
Gagal jantung adalah sindroma klinis yang kompleks yang disebabkan
oleh penyakit jantung struktural atau fungsional sehingga mengganggu
kemampuan pengisian maupun ejeksi ventrikel. Menurut Perkeni, 2015 gagal
jantung adalah kumpulan gejala kompleks dimana seorang pasien harus memiliki
tampilan berupa: gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat istirahat atau
saat melakukan aktivitas disertai/ tidak kelelahan); tanda retensu cairan (kongesti
paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan struktur
atau fungsi jantung saat istirahat.

1.2.2 Etiologi:
Etiologi dari gagal jantung dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu
gangguan kontraktilitas jantung, peningtkatan afterload dan gangguan pada
pengisian ventrikel. Terdapat dua mekanisme yang menyebabkan terjadinya
gagal jantung yaitu disfungsi sitolik dan disfungsi diastolik. Disfungsi sistolik
adalah gagal jantung yang disebabkan oleh adanya gangguan dalam proses
pengosongan ventrikel baik yang disebabkan oleh gangguan kontraktilitas
ataupun peningkatan afterload. Sementara itu, disfungsi diastolik adalah gagal
jantung yang diakibatkan oleh gangguan relaksasi atau pengisian ventrikel.
Disfungsi sistolik biasanya disebabkan oleh gangguan kontraktilitas dan
peningkatan afterload. Gangguan kontraktilitas dapat disebabkan oleh penyakit
jantung koroner berupa infark pada miokard, penyakit jantung katup seperti
mitral dan aorta regurgiutasi dan juga kardiomiopati (dilated cardiomyopathy).
Peningkatan afterload biasanya disebabkan oleh hipertensi yang tidak
terkontrol dan juga penyakit jantung katup yaitu aorta stenosis. Disfungsi
diastolik biasanya disebabkan oleh hipertrofi ventrikel kiri, restrictive
cardiomyopathy, fibrosis pada miokardium dan pericard tamponade.
1.2.3 Klasifikasi
Berikut merupakan klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural
jantung atau berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional
NYHA.
Tabel 1. Klasifikasi berdasarkan kapasitas fungsional (NYHA)
Kelas Keterangan
Kelas I Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas
fisik. Aktifitas fisik sehari-hari idak menimbulkan
kelelahan, palpitasi atau sesak napas
Kelas II Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat
keluhan saat istirahat, namun aktifitas fisik sehari-
hari menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak
napas
Kelas III Terdapat batasan aktifitas fisik bermakna. Tidak
terdapat keluhan saat istirahat, tetapi aktifitas fisik
ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak
napas
Kelas IV Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa
keluhan. Terdapat gejala saat istirahat. Keluhan
meningkat pada saat melakukan aktifitas.
Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan kelainan struktural jantung
Stadium Keterangan
Stadium A Memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi
gagal jantung. Tidak terdapat gangguan struktural
atau fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau
gejala
Stadium B Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang
berhubungan dengan perkembangan gagal jantung,
tidak terdapat tanda atau gejala
Stadium C Gagal jantung yang simtomatik berhubungan
dengan penyakit struktural jantung yang mendasari
Stadium D Penyakit jantung struktural lanjut serta gejala gagal
jantung yang sangat bermakna saat istirahat
walaupun sudah mendapat terapi medis maksimal
(refrakter)

1.2.4 Patofisiologi
Gagal jantung dapat dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan fraksi ejeksi
ventrikel kiri (left ventricular ejection fraction) yaitu gagal jantung dengan
ejection fraction) yang menurun (disfungsi sistolik dan gagal jantung dengan
ejection fraction yang normal (disfungsi diastolik).
Pada gagal jantug dengan disfungsi sistolik, ventrikel kiri akan mengalami
penurunan kemampuan untuk mengejeksikan darah baik karena gangguan
kontraksi miokard ataupun karena peningkatan afterload. Hal ini menyebabkan
terjadinya penurunan cardiac output dan terjadinnya akumulasi darah yang tidak
terpompa (end systolic volume) pada ventrikel kiri karena proses pengosongan
ventrikel yag tidak adekuat. Akumulasi darah ini akan meningatkan end diastolic
volume. Sebagai mekanisme kompensasi ,sesuai dengan hukum Frank Starling,
peningkatan volume ventrikel kiri akan menyebabkan peningkatan tekanan pada
atrium kiri. Peningkatan tekanan atrium kiri yang bersifat persisten dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan vena pulmonalis. Tekanan vena
pulmonalis yang >20 mmHg akan menyebabkan terjadinya transudasi cairan dari
vena pulmonalis ke jaringan interstisial paru, sehingga akan muncul manifestasi
edema paru.
Gagal jantung dengan ejection fraction yang normal disebabkan oleh
adanya gangguan diastolik baik karenaganngguan relaksasi karena adanya infark
miokard ataupun kekakuan pada otot jantung karena fibrosis, restriktif
kardiomiopati ataupun hipertropi ventrikel kiri. Selain itu gangguan pada
perkardium seperti tamponade dapat menyebabkan gangguan relaksasi karena
adanya tekanan dari luar yang membatasi pengisian ventrikel. Disfungsi diastolik
ini menyebab pengisian ventrikel harus dilakukan dengan tekanan yang tinggi.
Hal ini akan menyebabkan munculnya gejala klinis berupa kongesti dikarenakan
peningkatan tekanan diastolik yang akan berlangsung secara retrograde dan
mengenai vena pulmonalis maupun vena kava inferior dan superior.
Pada gagal jantung,tubuh mengalami penurunan curah jantung sehingga
perfusi ke jaringan menjadi terganggu. Sebagai bentuk respon, tubuh melakukan
kompenasidalam bentuk 3 mekanisme yaitu Frank Starling mekanisme,perubahan
neurohormonal dan hipertrofi serta remodeling ventrikel.
Seperti yang dijelakan sebelumnya, penunuran curah jantung akibat proses
pengosongan ventrikel kiri yang tidak adekuat menyebabkan terjadinya
penumpukan darah pada ventrikel kiri. Peningkatan end diastolic volume ini
menyebabkan miokardium menjadi teregang. Sesuai dengan hukum Frank
Starling, semakin besarnya volume diastolik yang menyebabkan peregangan otot-
otot jantung, semakin besar juga kekuatan kontraksi ventrikel kiri sebagai bentuk
usaha untuk mengosongkan ventrikel kiri yang membesar dan menjaga kecukupan
dari cardiac output. Meskipun begitu, mekanisme ini bersifat terbatas sehingga
apabila peningatan tekanan pada ventrikel kiri terjadi dalam waktu yang lama,
peningkatan tekanan ini dapat ditransmisikan secara retrograde ke atrium kiri dan
vena pulmonalis yang akan menyebabkan edema paru.
Respon neurohormal yang terlibat dalam proses kompenasasi pada gagal
jantung yaitu sistem saraf adrenergik, sistem renin-angiotensin-aldosteron dan
antidiuretik hormon (ADH). Penurunan cardiac output pada gagal jantung yang
dideteksi oleh baroreseptor, menyebabkan terkativasi sistem saraf simpatis
melalui nervus kranialis ke IX dan X. Aktivasi simpatis ini menyebabkan
terjadinya peningkatan denyut jantung, kontraktilitas jantung dan vasokonstriksi
pembuluh darah. Peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas jantung berfungs
untuk meningkatkan cardiac output, sementara vasokonstriksi pembuluh darah
berfungsi untuk meningkatkan preload.
Sistem renin-angiotensin-aldoteron terkativasi melalui sekresi renin yang
meningkat akibat adanya penurunan perfusi pada arteri renal akibat penurunan
cardiac output, penurunan kadar Natrium dan stimulasi langsung beta-2 reseptor
akibat aktivasi sistem saraf adrenergik. Renin akan mengubah angiotensinogen
menjadi Angiotensin I yang oleh enzim Angiotensin Converting Enzim (ACE)
akan dibuah lagi menjadi Angiotensin II. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor renal (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang poten
sehingga berfungsi unuk meningkatkan resistensi perifer sehingga tekanan darah
dapat tetap dipertahankan. Angiotensin II juga erfungsid alam meingkatkan
volume intravaskular dengan menstimulasi rasa haus di hipotalamus dan
merangsang sekresi aldosteron pada adrenal korteks sehingga terjadi reabsorpsi
Natrium pada tubulus kontortus distal ginjal. Selain itu sekresi ADH melalui
rangsangan dari baroreseptor juga akan merangsang retensi air sehingga
menyebabkan peningkatan volume intravaskular. Peningkatan volume
intravaskular ini berfungsi untuk meningkatkan preload. Meskipun mekanisme ini
pada awalnya bersifat menguntungkan, aktivasi sistem neurohormonal yang terus
menerus akan menyebabkan gangguan seperti peningkatan volume intravascular
dan venous return dapat menyebabkan terjadinya kongesti. Selain itu aktivasi
sistem saraf simpatis yang terus menerus akan menyebabkan down regulation dari
beta-adrenergic reseptor sehingga menurunkan sensitivitas miokardium terhadap
katekolamin dan juga respon terhadap inotropik. Hal ini ditambah dengan
peningkatan kadar Angiotensin II yang berkepanjangan akan memicu produksi
dari sitokin, aktivasi makrofag dan stimulasi dari fibroblas yang akan berkatibat
terjadinya remodelling jantung.
Respon neurohormonal lain yang terlibat dalam kompenasi gagal jantung adalah
natriuretic peptide. Natruteic peptide inimerupakan hormon yang bersifat
menguntungkan pada gagal jantung. Atrial Natriuretic Peptida tersebut adalahh
Atrial Natriuretic Peptide (ANP) yang dihasilkan di atrium sebagai respon
terhadap peregangan atrium dan Brain Natriuretic Peptide (BNP) yang
disekeresikan sebagai respon papa agagl jantung ataupun infark miokard. Atrial
dan brain natriuretic peptide ini bekerja antagonis terhadap angiotensin II
pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus
renal. Meskiun bersifat menguntungkan, namun respon natruretic peptide ini
tidak bisa mengatasi vasokonsriksi dan retensi caiaranyang diakibatkan oleh
aktivasi hormon lain.
Kompensasi yang ketiga adalah hipertrofi dan remodelling dari ventrikel.
Tekanan yang tinggi pada ventrikel kiri yang berlangsung secara berkepanjangan
dan pengaruh dari neurohormonal serta sitokin menyebabkan terjadinya hipertrofi
miokard dan deposisi dari ekstraselualer matriks. Bertambahnya masa otot jantung
merupakan mekanisme kompensasi dalam mempertahan kontraktilitas dan
sebagai respon terhadap peningkatan tekanan pada ventrikel yang berkepanjangan
(wall stress). Pada awalnya hipertrofi fan remodelling ini bermanfaat, namun hal
ini akan menyebabkan fungsi venttrikel menjadi menurun dan menyebabkan
dilatasi dari ventrikel secara berlebihan.

1.2.5 Manifestasi klinis:


Manifestasi klinis dari gagal jantung disebabkan oleh penurunan cardiac output
dan juga peningkatan tekanan vena.
1. Dyspnea
Manifestasi klinis dari kegagalan ventrikel kiri yang paling dominan adalah
dyspnea. Dyspnea dapat disebabkan oleh kongesti vena pulmonalis ataupun
penurunan dari cardioac outoput. Tekanan vena pulmonalis yang mencapai
20mmHg memicu terjadinya perpindahan cairan ke jaringan intersitial paru
yang menyebabkan terjadi kongesti pada paru (edema paru). hal ini
menyebabka terjadinya penurunan compliance paru sehingga tubuh
merespon dengan meningkakan laju pernapasan. Selain itu retensi cairan
pada jariangan interstisial menyebabkan terjadi kompresi pada bronkiolus
dan alveolus sehingga meningkatkan tahanan aliran udara sehingga tubuh
membutuhkan usaha yang lebih besar unuk melakukan pernapasan. pasien
gagal jantung dapat juga mengalami dyspnea tanpa adanya kongestai paru
yang disebabkan oleh penurunan curah jant dan juga akumulasi asam
laktat. Penderita gagal jantung pada awalnya akan mengalami sesak napas
pada saat beraktivitas namun pada kondisi yang berat sesak napas dapat
timbul pada saat istirahat.
2. Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
Paroxysmal Nocturnla Dyspnea adalah sesak napas berat yang timbuk
secara tiba-tiba pada saat penderita aggal jantung tidur. Hal ini disebabkan
oleh reabsopsi cairan dari extremitas bawah (edema) yang terjadi setelah
pasien berbaring sehingga terjadi peningkatan volume intravascualar dan
venous return ke jantung dan paru.
3. Orthopnea
Orthopnea adalah sesak napas yang terjadi pada saat pasien berbaring
terlentang dan akan membaik ketika pasien duduk. Hal ini terjadi karena
adanya redistribusi cairan intravascular dari bagian tubuh yang
dipengharuhi oleh gravitasi (abdomen dan extremitas bawah) ke paru
setelah pasien tidur telentang. Keparahan orthopnea biasanya dikaitkan
dengan jumah bantal yang harus digunakan pasien gagal jantung untuk
tidur tanpa adanya sesak napas.
4. Cepat lelah
Hal ini disebabkan oleh penurunan curah jantung yang menyebabkan
perfusi ke otot skeletal berkurang.
5. Edema perifer
Edema perifer yang biasa terjadi di kaki disebabkan oleh peningkatan
tekanan hidrostatik vena. Hal ini juga diperparah dengan adanya gaya
gravitasi sehingga edema akan bertambah pada saat pasien berdiri dan akan
membaik saat pasien berbaring.
6. Batuk pada malam hari
Batuik malam hari adalah manifestasi klinis lain yang disebabkan oleh
kongestasi paru. kadang batuk dapat disertai darah yang disebabkan oleh
pecahnya vena bronkhiolus akibat adanya bendungan cairan.
7. Sensasi perut yang tidak nyaman, penurunan nafsu makan dan mual
Hal ini disebabkan oleh kegagalan jantung kanan yang menyebabkan
peningkatan tekanan vena sistemik sehingga terjadi kongesti pada liver dan
juga asites.
8. Peningkatan berat badan
Disebabkan oleh akumulasi cairan pada jaringan interstisial.

Tabel 3 Manifestasi klinis gagal jantung


Gejala Tanda
Tipikal Spesifik
Dyspnea Peningkatan JVP
Orthopnea Refluks Hepatojugular
Paroxysmal Nocturnal Dyspnea S3 gallop
Mudah lelah Apex jantung bergeser ke lateral
Edema pada pergelangan kaki Bising jantung
Kurang Tipikal Kurang tipikal
Batuk pada malam hari Edema perifer
Mengi Krepitasi pulmonal
Berat badan bertambah Suara pekak di basal paru pada
>2kg/minggu perkusi
Perasaan kembung/begah Takikardi
Nafsu makan menurun Nadi iregular
Perasaan bingung Nafas cepat
Depresi Hepatomegali
Berdebar Asites
Pingsan Cahexia
1.2.6 Diagnosis
Pada pasien yang dicurigai mengalami gagal jantung dan terdapat onset akut,
direkomendasikan pemeriksaan menggunakan ekokardiografi (digunakan pada
pasien yang mengalami syok atau hemodinamik yang buruk). Jika peptida
natiuretik dapat diukur, peningkatannya dapat juga digunakan. Pada pasien yang
bukan gawat darurat dengan gejala klinis dicurigai gagal jantung, pemeriksaan
EKG dan peptida natriuretik dapat digunakan. Berikut merupakan algoritma
diagnosis gagal jantung.

*kondisi akut, MR-pro ANP dapat digunakan (batas nilai 120 pmol/L, i.e < 120 pmol/L =
gagal jantung unlikely
BNP = B-type natriuretic pepetide, EKG = elektrokardiografi, MR-pro ANP = mid regional
pro atrial natriuretic peptide, NT-pro BNP = N-terminal pro B-type natriuretic peptide
a. Eksklusi batas nilai natriuretic peptid dipilih untuk meminimalkan laju negatif palsu
b. Penyebab lain peningkatan level natriuretic peptide pada kondisi akut adalah ACS, atrial
atau ventricular aritmia, emboli paru, sepsis. Kondisi non-akut adalah usia tua ( > 75
tahun), aritmia atrial, LVH

Gambar 1. Algoritma diagnosis gagal jantung


1.2.7 Penatalaksanaan
Tatalaksana non-farmakologi
Manajemen perawatan mandiri
Manajemen perawatan mandiri berperan dalam keberhasilan pengobatan gagal
jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan gejala gagal jantung,
kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbidotas dan prognosis. Manajemen
perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan
untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk
kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.
- Ketaatan pasien berobat dapat menurunkan morbiditas, mortalitas dan
kualitas hidup pasein.
- Pemantauan berat badan mandiri sebaiknya dilakukan pasien dengan rutin
setiap hari. Jika terjadi kenaikan berat badan pasien > 2 kg dalam 3 hari,
maka perlu dinaikkan dosis diuretik atas pertimbangan dokter.
- Asupan cairan dengan restriksi cairan 1,5-2 L/hari dipertimbangkan
terutama pada pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia.
- Pengurangan berat badan pasien obesitas ( IMT > 30 kg/m2) dengan gagal
jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung,
mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup.
- Penurunan berat badan tanpa rencana umumnya terjadi pada pasien dengan
gagal jantung berat. Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan
prediktor penurunan angka kelangsungan hidup. Jika selama 6 bulan
terakhir berat badan > 6% dari berat badan stabil sebelumnya tanpa
disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia.
- Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik
stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan
di rumah sakit atau di rumah.

Tatalakasana Farmakologi
1. Diuretik
Diuretik bekerja dengan mengeliminasi natrium dan air melalui ginjal,
diuretik menurukan volume intravaskular dan sehingga menyebabkan aliran darah
kembali ke jantung. Hasilnya, preload dari ventrikel kiri berkurang dan tekanan
diastolik menurun. Hal ini agar terjadi penurunan tekanan end-diastolik tanpa
menurunkan stroke volume. Penggunaan diuretik kuat dapat menyebabkan
penurunan tekanan pengisian ventrikel kiri sehingga terjadi penurunan cardiac
output. Oleh karena itu, pemberian diuretik harus memiliki indikasi seperti
kongesti pulmonal atau akumulasi cairan pada interstisial perifer.
Diuretik yang bekerja pada lengkung Henle di ginjal (seperti furosemid,
torsemide dan bumetanide) merupakan diuretik yang paling berpoten pada gagal
ginjal.
2. Vasodilator
Vasodilator yang paling banyak digunakan pada pasien gagal jantung
adalah golongan ACE-inhibitor. Pada awal gagal jantung, mekanisme kompensasi
dari neurohormonal berupa vasokontriksi secara berlebihan, retensi cairan, dan
remodeling ventrikel dengan perburukan fungsi jantung. Vasodilator vena
(contohnya nitrat) meningkatkan kapasitas vena dengan menurunkan venous
return ke jantung dan preload ventrikel kiri. Sehingga terjadi penurunan tekanan
diastolik ventrikel kiri dan penurunan tekanan hidrostatik kapiler pulmonal, hal ini
hampir sama dengan efek dari terapi diuretik.
Vasodilator arteri murni (contohnya hidralazine) menurunkan resistensi
pembuluh sistemik sehingga menyebabkan penurunan afterload ventrikel kiri
yang menyebabkan peningkatan pemendekan otot rangka selama sistol. Walaupun
vasodilator arteri menyebabkan penurunan tekanan darah (efek yang tidak
diharapkan terjadi pada pasien dengan gagal jantung yang mengalami hipotensi),
tetapi tidak terjadi secara umum. Untuk melawan penurunan akibat vasodilator
arteri, terjadi peningkatan cardiac output secara bersamaan sehingga tekanan
darah tetap atau menurun hanya sedikit.
Golongan obat penghambat renin-angiotensin-aldosteron merupakan
golongan obat yang memiliki hasil seimbang berupa vasodilatasi pada arteri dan
vena. Terapi ACE-inhibitor menyebabkan eliminasi natrium menyebabkan
penurunan volume intravaskular dan perbaikan dari kongesti pembuluh paru dan
sistemik. ACE-inhibitor juga meningkatkan jumlah bradikinin dalam sirkulasi
sehingga menyebabkan vasodilatasi pada gagal jantung. Efek dari hal ini, ACE-
inhibitor membatasi remodeling ventrikel pada pasien dengan gagal jantung
kronik dan dikuti oleh infark miokard akut. Keuntungan yang diperoleh dari ACE-
inhibitor terhadap hemodinamik dan neurohormonal, menyebabkan perbaikan
gejala gagal jantung, meningkatkan daya tahan, menurunkan angka rawat inap,
dan menguntungkan bagi pasien yang mengalami penurunan EF.
Sistem renin-angiotensin-aldosteron juga dapat dihambat oleh golongan
angiotensin II receptor blocker (ARBs). Efek dan kerja dari ARB pada pasien
gagal jantung hampir sama, tetapi ARB tidak merangsang pelepasan bradikinin.
3. Obat Inotropik
Golongan obat inotropik termasuk agonis -adrenergik, glikosida digitalis
dan phosphodiesterase inhibitor. Dengan meningkatkan kadar calcium dalam
aliran darah menyebabkan peningkatan kontraksi ventrikel sehingga terjadi
pergeseran kurva Frank-Starling ke atas. Sehingga menyebabkan peningkatan
stroke volume dan cardiac output dihasilkan dari ventricular end diastolic volume.
Golongan obat ini baik digunakan pada pasien dengan disfungsi sistolik.
Agonis -adrenergik (contohnya dobutamin dan dopamin) diberikan
secara intravena untuk memperbaiki hemodinamik pasien. Pemberian obat secara
oral tidak dianjurkan karena menyebabkan toleransi obat secara cepat. Pada akhir
penggunaan akan menyebabkan downregulasi dari reseptor adrenergik miokardial.
Terapi inotropik lain yang dapat digunakan adalah golongan digitalis yang
dapat diberikan secara intravena atau oral. Digitalis dapat meningkatkan
kontraktilitas, menurunkan pembesaran jantung, memperbaiki gejala, dan
meningkatkan cardiac output pada pasien dengan gagal jantung sistolik. Digitalis
juga menyebabkan sensitivitas baroreseptor sehingga tidak terjadi kompensasi
simpatis pada gagal jantung. Dengan menurunkan konduksi nodus AV sehingga
menyebabkan penurunan kecepatan kontraksi ventrikel, digitalis juga dapat
diberikan pada pasien gagal jantung yang mengalami atrial fibrilasi. Digitalis
tidak digunakan pada pasien gagal jantung dengan EF yang tetap karena tidak
menyebabkan relaksasi pada ventrikel.
4. -bloker
Penggunaan -bloker merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
disfungsi sistolik karena efek negatif inotropik dari obat akan menyebabkan
perburukan gejala. Secara bertentangan, beberapa penelitian menyatakan bahwa
-bloker memiliki efek penting pada gagal jantung, seperti meningkatkan cardiac
output, mengurangi perburukan hemodinamik dan meningkatkan harapan hidup.
5. Terapi antagonis aldosteron
Kelebihan aldosteron secara kronik dapat menyebabkan fibrosis jantung
dan terjadi remodeling ventrikel yang merugikan. Antagonis terhadap hormon ini
memiliki efek yang baik terhadap gagal jantung. Walaupun antagonis aldosteron
memiliki efek yang menguntungkan pada pasien dengan gagal jantung, kalium
serum harus dimonitor secara ketat untuk mencegah hiperkalemia.

Dosis awal (mg) Dosis target (mg)


ACEI
Captopril 6,25 (3 x/hari) 50-100 (3 x/hari)
Enalapril 2,5 (2 x/hari) 10 – 20 (2 x/hari)
Lisinopril 2,5 – 5 (1 x/hari) 20 – 40 (1 x/hari)
Ramipril 2,5 (1 x/hari) 5 (2 x/hari)
Perindopril 2 (1 x/hari) 8 (1 x/hari)
ARB
Candesartan 4 / 8 (1 x/hari) 32 (1 x/hari)
Valsartan 40 (2 x/hari) 160 (2 x/hari)
Antagonis aldosteron
Eplerenon 25 (1 x/hari) 50 (1 x/hari)
Spironolakton 25 (1 x/hari) 25 – 50 (1 x/hari)
Penyekat 
Bisoprolol 1,25 (1 x/hari) 10 (1 x/hari)
Carvedilol 3,125 (2 x/hari) 25 – 50 (2 x/hari)
Metoprolol 12,5 (1 x/hari) 200 (1 x/hari)
Tabel 3. Dosis obat yang umum digunakan pada gagal jantung

ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACEI)


Indikasi pemberian ACEI
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri  40% dengan atau tanpa gejala
Kontraindikasi pemberian ACEI
 Riwayat angioedema
 Stenosis renal bilateral
 Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
 Stenosis aorta berat

Cara pemberian ACEI pada gagal jantung


Inisiasi pemberian ACEI
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
 Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 – 2 minggu setelah
terapi ACEI
Naikkan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikkan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu
 Jangan naikkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia. Dosis titrasi dapat dinaikkan lebih cepat saat dirawat di
rumah sakit.
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis titrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat di toleransi.
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai
dosis target atau yang dapat ditoleransi atau selanjutnya tiap 6 bulan.
PENYEKAT 
Indikasi pemberian penyekat 
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri  40%
 Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II – IV NYHA)
 ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
 Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada
kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat 
 Asma
 Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa
pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit)

Cara pemberian penyekat  pada gagal jantung


 Inisiasi pemberian penyekat 
 Penyekat  dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien
dekompensasi secara hati-hati.
Naikkan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikkan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu.
Jangan naikkan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi
simtomatik atau bradikardia (nadi < 50 x/menit)
 Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat  sampai dosis
target atau dosis maksimal yang dapat ditoleransi
Efek tidak menguntungkan yang dapat timbul akibat pemberian penyekat :
 Hipotensi simtomatik
 Perburukan gagal jantung
 Bradikardia

ANTAGONIS ALDOSTERON
Indikasi pemberian antagonis aldosteron
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri  40%
 Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III – IV NYHA)
 Dosis optimal penyekat  dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan
ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron
 Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
 Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
 Kombinasi ACEI dan ARB

Cara pemberian spironolakton pada gagal jantung


Inisiasi pemberian spironolakton
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
 Naikkan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikkan dosis secara titrasi setalah 4 – 8 minggu.
Jangan naikkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia.
 Periksa kembali funsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu setelah
menaikkan dosis.
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis titrasi dinaikkan sampai dosis target
atau dosis maksimal yang dpat ditoleransi.
Efek tidak menguntungkan yang dapat timbul akibat pemberian spironolakton:
 Hiperkalemia
 Perburukan fungsi ginjal
 Nyeri dan/atau pembesaran payudara

ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)


Indikasi pemberian ARB
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri  40%
 Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat
(kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI
 ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia dan
hipotensi simtomatik sama seperti ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan
batuk
Kontraindikasi pemberian ARB
 Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
 Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis eldosteron bersamaan
 Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan
bersama ACEI

Cara pemberian ARB pada gagal jantung


Inisiasi pemberian ARB
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
Naikkan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikkan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu.
Jangan naikkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia.
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat ditoleransi
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai
dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutkan tiap 6 bulan sekali
Efek tidak menguntungkan yang dapat timbul akibat pemberian ARB
 Sama seperti ACEI, kecuali ARB tidak menyebabkan batuk

HIDRALAZINE DAN ISOSORBIDE DINITRATE (H-ISDN)


Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN
 Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
 Sebagi terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak
dapat ditoleransi
 Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI,
penyekat  dan ARB atau antagonis aldosteron
Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN
 Hipotensi simtomatik
 Sindroma lupus
 Gagal ginjal berat

Cara pemberian kombinasi H-ISDN pada gagal jantung


Inisiasi pemberian kombinasi H-ISDN
 Dosis awal: hydralazine 12,5 mg dan ISDN 10 mg, 2 - 3 x/hari
 Naikkan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikkan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu
 Jangan naikkan dosis jika terjadi hipotensi simtomatik
 Jika toleransi baik, dosis dititrasi naik sampai dosis target (hydralazine 50
mg dan ISDN 20 mg, 3 - 4 x/hari)
Efek tidak menguntungkan yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi H-
ISDN:
 Hipotensi simtomatik
 Nyeri sendi atau nyeri otot

DIGOKSIN
Indikasi pemberian digoksin
 Fibrilasi atrial dengan irama ventrikular saat istirahat > 80 x/menit atau
saat aktifitas > 110 – 120 x/menit
 Irama sinus
o Fraksi ejeksi ventrikel kiri  40%
o Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA)
o Dosis optimal ACEI dan/atau ARB, penyekat  dan antagonis
aldosteron jika ada indikasi
Kontraindikasi pemberian digoksin
 Blok AV derajat 2 atau 3 (tanpa pacu jantung tetap); hati-hati jika pasien
diduga sindroma sinus sakit
 Sindroma pre-eksitasi
 Riwayat intoleransi digoksin

Cara pemberian digoksin


Inisiasi pemberian digoksin
 Dosis awal: 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal.
Pada pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan
menjadi 0,125 atau 0,0625 mg, 1 x/hari
 Periksa kadar digoksin dalam plasma segera saat terapi kronik. Kadar
terapi digoksin harus antara 0,6 – 1,2 ng/mL
 Beberapa obat dapat menaikkan kadar digoksin dalam darah (amiodaron,
diltiazem, verapamil, kuinidin)
Efek tidak menguntungkan yang dapat timbul akibat pemberian digoksin:
 Blok sinoatrial dan blok AV
 Artimia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien hipokalemia
 Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan gangguan melihat
warna

DIURETIK
Cara pemberian diuretik pada gagal jantung
 Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum
elektrolit
 Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong
 Sebagian besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid
karena efisiensi diuresis dan natriuersis lebih tinggi pada diuretik loop.
Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema
resisten.
Diuretik Dosis Awal (mg) Dosis harian (mg)
Diuretik loop
Furosemide 20 – 40 40 -240
Bumetanide 0,5 – 1,0 1–5
Torasemide 5 – 10 10 – 20
Tiazide
Hidrochlortiazide 25 12,5 – 100
Metolazone 2,5 2,5 – 10
Indapamide 2,5 2,5 – 5
Diuretik hemat kalium
Spironolakton (+ACEI/ARB) 12,5 – 25 (+ACEI/ARB) 50
(-ACEI/ARB) 50 (-ACEI/ARB) 100 - 200
Tabel 4. Dosis diuretik yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung

Dosis diuretik
 Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan gejala dan
mulai tanda kongesti
 Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan kering
(tanpa retensi cairan), untuk mencegah risiko gangguan ginjal dan
dehidrasi. Tujuan terapi adalah mempertahankan berat badan kering
dengan dosis siuretik minimal.
 Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat mengatur
dosis diuretik sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran berat badan
harian dan tanda-tanda klinis dari retensi cairan
 Pengelolaan pasien resistensi diuretik

TATALAKSANA AWAL PADA PASIEN GAGAL JANTUNG AKUT


Gambar 2. Algoritma terapi farmakologis pada pasien yang telah didiagnosis
sebagai gagal jantung akut.

1.2.9 Prognosis
Prognosis gagal jantung buruk apabila tidak dilakukan terapi secara tepat.
Mortality rate dalam 5 tahun mencapai 45% - 60% dimana pria lebih buruk
dibandingkan wanita. Pasien dengan gejala yang buruk (kelas III – IV NYHA)
survival rate dalam 1 tahun hanya sekitar 40%. Kematian terbanyak terjadi akibat
gagal jantung refrakter, tetapi banyak pasien yang meninggal mendadak karena
aritmia ventrikel. Disfungsi ventrikel menyebabkan proses progresif berupa
maladatasi dari aktifasi neurohormon, sitokin dan remodeling ventrikel secara
terus-menerus.

You might also like