You are on page 1of 3

ADOPSI

Agama Islam mendorong seorang muslim untuk memelihara anak orang lain yang tidak mampu, miskin,

terlantar dan lain-lain, tapi tidak boleh memutuskan hubungan dan hak-hak anak itu dengan orang tua

kandungnya (juga diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU Perlindungan Anak) dan pengangkatan (adopsi) itu

harus didasarkan atas penyantunan semata-mata, sesuai dengan anjuran Allah. Jadi pengangkatan anak

daam Hukum Islam terbatas pada perlakuan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah,

pendidikan dan pelayanan segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri.

Dengan demikian, yang bertentangan dengan ajaran Islam adalah mengangkat (adopsi) anak dengan

memberikan stastus yang sama dengan anak kandungnya sendiri.

Menurut Hukum Islam pengangkatan (adopsi) anak hanya dapat dilakukan apabila memenuhi kebutuhan

sebagai berikut:

• tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua biologis dan keluarga,

dari ketentuan ini jelas melarang untuk mengangkat anak dengan maksud menjadikan anak kandung

dalam segala hal yang akan menghilangkan atau memutuskan hubungan atau kedudukan hak orag tua

kandung dan dapat merombak ketentuan mengenai waris.

• anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat, melainkan tetap sebagai

pewaris orang tua kandungnya, demikian juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari

anak angklatnya.

• anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung kecuali sekedar

tanda pengenal/alamat

• orang tua angkat tidak dapat bertindask sebagai wali dalam pewrkawinan terhadap anak angkatnya.

Dari ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa prinsip pengangkatan anak (adopsi) dalam Hukum
Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang anak tidak sampai terlantar atau

menderita daam pertuimbuhan dan perkebangannya.

Dalam hukum adat, peristiwa pengangkatan anak sering kali terjadi. Metode pengangkatan anak
secara adat yang beranekaragam membuat perbuatan tersebut menjadi sangat menarik untuk
dipelajari. Pada dasarnya, setiap pengangkata anak secara adat mempunyai kesamaan antara lain
pengakuan anak angkat terhadap keluarga angat, timbulnya ikatan kekerabatan antara anak
angkat tersebut dengan keluarga angkatnya, putusnya segala hubungan antara anak angkat
dengan orang tua/keluarga kandungnya, dan hal-hal lainnya yang membuat anak tersebut
menjadi anak sah orang tua angkatnya.

Tentu terdapat akibat dari setiap perbuatan hukum yang telah terjadi. Termasuk dalam
pengangkatan seorang anak. Pengangkatan anak merupakan sebuah perbuatan hukum yang
mempunyai akibat hukum yang tidak bisa dihindar. Dalam hukum adat, akibat hukum dari
pengangkatan anak adalah timbulnya hak dan kewajiban anak tersebut terhadap orang tua
angkatnya dan dirinya sendiri. Anak yang telah diangkat secara adat mempunyai kewajiban
untuk menghormati dan haru menuruti orang tua atau wali angkatnya. Sedangkan hak yang anak
tersebut dapat kan antara ain adalah hak waris berupa tanah, harta kekayaan, uang, dan materi
lainnya yang dapat diwariskan. Tetapi dalam hukum adat, tidak segala hal dapat diwariskan.
Menurut beberapa putusan Mahkamah Agung, terdapat benda-benda yang dilarang untuk
diwariskan kepada anak angkat seperti benda-benda pusaka yang hanya bisa diwariskan oleh
keturunan darah, dan baran-barang dimana orang tua angkat telah dapatkan dari warisan orang
tuanya.

Kesimpulannya adala bahwa pengangkatan anak dalam hukum adat Indonesia merupakan
perbuatan hukum secara tidak tertulis yang sangat kompleks, perbuatan hukum yang harus
dilaksanakan dengan rangkaian acara seremonial tertentu dan wajib dipelajari secara lebih
mendalam. Keanekaragaman budaya dalam pengangkatan anak membuat hukum adat di
Indonesia hidup dan membuat Indonesia sangat kaya dengan pluralisme adat.

berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Nomor 907/1963/P tanggal 29


Mei 1963 juncto nomor 588/1963/G tanggal 17 Oktober 1963. Sekarang ini pengaturan
mengenai pengangkatan anak diatur sebagian dalam beberapa peraturan. Diantaranya adalah
Undang-undang tentang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 yaitu diatur dalam pasal 39,
40 dan pasal 41. Dalam pasal-pasal tersebut ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut harus
seagama dan tidak memutuskan hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya.
Dengan demikian pengaturan mengenai pengangkatan anak yang diatur dalam Staatsblad Tahun
1917 Nomor 127 dan peraturan lain yang berkaitan dengan pengangkatan anak dinyatakan tidak
berlaku apabila bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut.
Pengaturan serta syarat-syarat mengenai Pengangkatan Anak lebih lanjut diatur dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun
1989 tentang Pengangkatan anak dan Keputusan Menteri Sosial RI Nomor
41/HUK/KEP/VII/1984.1[1]

You might also like