You are on page 1of 7

Hambatan Perdagangan Luar Negeri Indonesia

1. Hambatan Promosi Ekspor Hasil Pertanian


Setidaknya ada lima faktor yang menghambat kecepatan pengembangan produk hasil pertanian
di Indonesia untuk diekspor ke pasar Eropa (pasar utama hasil-hasil perkebunan Indonesia)
diantaranya:
a. Elastisitas permintaan terhadap tingkat pendapatan (dampak perubahan terhadap
permintaan) untuk bahan-bahan pangan hasil pertanian dan bahan mentah yang
relatif rendah.
Sebagai contoh, elastisitas permintaan terhadap pendapatan untuk komoditas
gula,teh,cokelat, dan kopi diperkirakan kurang dari satu (artinya, kenaikan pendapatan
sebesar satu unit akan menaikan permintaan terhadap komoditas kurang dari satu unit). Hal
ini akan menimbulkan tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita yang tinggi dan
berkesinambungan di negara-negara maju yang akan meningkatkan impor komoditi
tersebut dari Indonesia dan negara berkembang lainnya secara amat terbatas.
b. Rendahnya (bahkan mendekati nol) tingkat pertumbuhan penduduk di negara-
negara maju, sehingga sedikit saja kenaikan permintaan bahan pertanian yang bisa
diharapkan oleh negara-negara berkembang dari faktor ini.
c. Elastisitas permintaan sebagain besar komoditi primer terhadap perubahan harga
juga relatif amat rendah.
Harga – harga relatif atas produk pertanian cendrung merosot. Dengan elastisitas yang
begitu rendah, maka penurunan harga tersebut dapat diartikan sebagai kemorosotan
pendapatan yang sangat tajam bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya.
d. Faktor keempat dan kelima yang menyebabkan terhambatnya peningkatan
pendapatan ekspor komoditi primer adalah kian pesatnya penemuan dan
pengembangan barang-barang substitusi sintesis serta semakin tingginya tembok
proteksi bagi pertanian di negara-negara maju.
Contoh barang-barang substitusi sintesis: kapas, karet, sisal, jute, kulit, dan tembaga yang
jauh lebih murah, sangat menghambat terciptanya harga komoditi yang lebih tinggi dan
merupakan saingan berat produk asli di pasar ekspor dunia.
Proteksi terhadap produk pertanian di negara-negara maju dalam bentuk tarif, kuota, dan
hambatan-hambatan nontarif lainnya seperti aturan kebersihan atau syarat teknis yang
berlebihan. Misalnya, Uni Eropa kebijaksanaan pertaniannya lebih diskriminatif
dibandingkan negara-negara anggota lainnya.

Di sisi penawaran, Indonesia sendiri juga terdapat sejumlah faktor yang menghambat
pengembangan ekspor komoditi primer. Salah satu diantarannya yang terpenting adalah
kekakuan struktural di banyak sistem produksi di pedesaan. Seperti terbatasnya sumber daya,
iklim yang tidak menguntungkan, tanah yang sangat gersang, struktur kelembagaan, sosial –
ekonomi yang kolot, dan pola penguasaan tanah yang tidak produktif dan tidak seimbang.
Bahkan setinggi apa pun tingkat permintaan internasional terhadap komoditi primer tertentu
(jelas akan berbeda untuk masing-masing komoditi), pengembangan ekspor tetap sangat
terbatas apabila struktur-struktur ekonomi dan sosial di daerah pedesaaan yang selama ini
terbukti menghambat peningkatan penawaran tidak diperbaiki secepatnya.

Hal terakhir yang perlu kita catat di sini adalah banyaknya kebijakan-kebijakan luar
negeri (bersifat politik) dair negara-negara maju yang secara lansung maupun tidak langsung
ikut memukul ekspor komodiit primer. Contoh yang sangat memprihatinkan adalah
kebijaksanaan Uni Eropa untuk menjual daging sapi murah (karena subsidi) dengan kedok
“bantuan ekonomi”.

2. Hambatan Promosi Ekspor Hasil Industri


Sejak masa Orde Baru sudah melaksanakan kebijaksanaan promosi ekspor untuk produk
manufaktur seperti industri tekstil, sepatu, alat-alat olahraga, tas tangan, elektronik dan
sebagainya. Persolan yang palig fundamental bagi prospek ekspor produk-produk manufaktur
ini adalah adanya hambatan-hambatan perdagangan yang sengaja dibuat oleh pemerintah
negara maju untuk membatasi masuknya barang-barang ke dalam pasar domestik mereka. Tarif
kuota dan bentuk-bentuk hambatan perdagangan lainnya di pasar negara-negara kaya itulah
yang merupakan batu sandungan utama bagi perkembangan ekspor industri Indonesia pada
umumnya.
3. Hambatan Kebijakan Subtitusi Impor
Industrialisasi substitusi impor adalah serangkaian usaha untuk mencoba mengganti komoditi-
komoditi yang semula selalu diimpor. Tahapan pelakasanan strategi ini sebagai berikut:
a. Pemberlakuan hambatan tarif atau kuota terhadap impor produk-produk tertentu.
b. Disusul dengan membangun industri-industri domestik atau pabrik-pabrik untuk
memproduksi barang tersebut. Hal tersebut biasanya dilaksanakan melalui kinerja sama
dengan perusahaan asing.
c. Pemberian insentif-insentif seperti keringan pajak, serta berbagai macam fasilitas dan
rangsangan investasi lainnya. Fasilitas dengan kemudahan-kemudahan disebut juga indutri
bayi (infant industry) yang dalam perkembangannya diselewengkan oleh para pelakunya
dengan terus saja meminta proteksi dari pemerintah.

Kinerja Perdagangan Luar Negeri Indonesia

Pada masa penjajahan Belanda dan pemerintahan Orde Lama ekspor Indonesia berupa hasil-hasil
pertanian, terutama hasil-hasil perkebunan perusahaan perkebunan swasta milik Belanda yang
kemudian dinasionalisasi pada akhir pemerintahan Orde Lama, dan hasil pertenakan berupa sapi dan
babi. Impor pada waktu itu terutama beras, sarana produksi untuk perkebunan swata Belanda, konsumsi
tahan lama seperti mobil, dan bahan modal untuk pembangunan ekonomi. Karena sulitnya menaikan
ekspor hasil pertanian dan perkebunan yang dihadapkan pada kebutuhan impor yang selalu meningkat
maka pada masa stabilisasi ekonomi dan politik (tahun 1966-68) dan beberapa tahun setelah itu impor
selalu lebih besar daripada ekpor (neraca perdagangan yang defisit) sampai pada tahun 1971.

Nilai Ekspor dan Impor Indonesia, 1966-1977 ($juta)

Tahun Ekspor Impor


1966 714 671
1967 771 891
1968 872 926
1969 995 1.125
1970 1.173 1.263
1971 1.311 1.390
1972 1.793 1.633
1973 3.215 3.002
1974 7.265 5.290
1975 6.888 6.278
1976 8.613 7.723
1977 10.763 8.450

Setelah Undang-Undang Penanaman Modal (UUPMA) pada tahun 1967 dan Undang-Undang
Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN) pada tahun 1968 diundangkan, terjadi aliran modal asing
yang sangat besar masuk Indonesia, terutama pada sektor minyak (minyak tanah dan gas alam) dan
sektor ekstraktif lain. Kredit perbankan tumbuh dengan pesat sehingga mampu menunjang sektor
swasta untuk bangkit kembali. Pertamina memulai program raksasanya dengan sumber biaua dari
penerimaan minyak dan (beberapa tahun kemudian) dari pinjaman luar negeri dalam jumlah yang besar.

Mulai tahun 1972 dan terutama tahun 1973 dan 1974 produksi minyak dalam negeri sudah memberikan
buah yang besar ditambah lagi kenaikan harga minyak bumi di pasar internasional, ekspor Indonesia
melonjak dengan angka yang dramatis. Melonjaknya aliran modal asing (bantuan) dan naiknya harga
minyak bumi di pasaran internasional tidak diimbangi dengan proporsi yang sama dengan kenaikan
impor yang mengakibatkan neraca perdagangan menjadi surplus (1972-1977). Sejak saat itu, kenaikan
harga minyak bumi di pasar internasional menyebabkan ekspor Indonesia dari minyak bumi
mendominasi jumlah ekspor seluruhnya. Indonesia menjadi anggota OPEC (organization of Petroleum
Exporting Countries).

Begitu selajutnya untuk tahun-tahun berikutnya pangsa pasar ekspor migas (minyak bumi dan gas alam)
selalu lebih besar daripada ekspor non migas (lihat Tabel 11.2) berkisar dari di atas 80% dari jumlah
ekspor. Pangsa ini dalam persentase selalu menurun sehingga menjadi sekitar 50% pada tahun mana
perkembangan industri dalam negeri sudah demikian maju sehingga panga pasar ekspor nonmigas bisa
mengimbangi pangsa pasar untuk migas, yakni sekitar 50% pada tahun 1987.

Setelah tahun itu keadaanya menjadi terbalik. Pangsa ekspor migas yang selalu mengalami penurunan
(dari sekitar 49% pada tahun 1987 menjadi 23% pada tahun 1995), diimbangi oleh pangsa pasar ekspor
nonmigas yang selalu meningkat (dari sekitar 50% pada tahun 1987 menjadi sekitar 77% pada tahun
1995)

Struktur Ekspor Migas dan Nonmigas Indonesia, 1982-1995 ($juta)

Migas Non Migas


Tahun Juta US$ Persen Juta US$ Persen Jumlah
1982 18.399,1 82,40 3.929,2 17,60 22.328,3
1983 16.140,6 76,33 5.005,3 23,67 21.145,9
1984 16.018,1 73,18 5.869,7 26,82 21.887,8
1985 12.711,8 68,41 5.868,9 31,59 18.580,7
1986 8.276,6 55,90 6.528,4 44,10 14.805,0
1987 8.556,1 49,93 8.579,5 50,07 17.135,6
1988 7.681,6 39,97 11.536,9 60,03 19.218,5
1989 8.678,8 39,17 13.480,1 60,83 22.158,9
1990 11.071,1 43,12 14.604,2 56,88 25.675,3
1991 10.894,9 37,39 18.247,5 62,61 29.142,4
1992 10.670,9 31,42 23.296,0 68,58 33.966,9
1994 9.693,6 24,20 30.359,8 75,80 40.053,4
1995 10.464,4 23,04 34.953,6 76,96 45.418,0

Kemajuan industri dalam negeri ditunjukan oleh besarnya impor untuk keperluan bahan baku industri
dan kebutuhan akan modal. Yang termasuk dalam bahan baku adalah bahan makanan dan minuman
(untuk industri), makanan dan minuman (industri ½ jadi), bahan baku mentah untuk industri, bahan
baku ½ jadi untuk industri, bahan bakar dan pelumas (mentah), bahan bakar dan pelumas (½ jadi), suku
cadang dan pelengkapan barang modal, suku cadang dan perlengkapan alat angkutan. Sedangkan yang
termasuk bahan modal adalah barang modal (selain alat angkutan), mobil penumpang, alat transportasi
untuk industri. Impor bahan konsumsi tidak lebih dari 10% dari jumlah impor. Yang termasuk barang
konsumsi adalah bahan makaanan dan minuman (rumah tangga), mobil penumpang, alat angkutan
(bukan untuk industri), barang konsumsi tahan lama, barang konsumsi setengah tahan lama, barang
konsumsi tidak tahan lama, dan lainnya.

Nilai Impor (C&F) Menurut Kelompok Barang, 2010-2015, ($juta)


Bahan Baku
Barang
Tahun dan Barang Barang Modal Jumlah
Konsumsi
Penolong
20101 5 604,50 101 817,60 3 278,90 110 701,00
20111 8 110,50 116 101,80 4 009,30 128 221,60
20121 6 966,70 124 955,50 4 361,40 136 283,60
20131 5 285,70 132 395,70 3 428,20 141 109,60
20141 5 599,10 138 827,90 3 307,30 147 734,30
2015 4 929,20 139 139,60 3 024,50 147 093,30

Catatan: 1 Termasuk Kawasan Berikat


[Diolah dari dokumen kepabeanan Ditjen Bea dan Cukai (PEB dan PIB)]
data dikutip dari Publikasi Statistik Indonesia
Sumber: BPS.go.id

Nilai impor bahan baku dan bahan modan untuk tahun 2010 – 2015 terutama diimpor dari Amerika
(Amerika Serikat, Amerika Latin, Kanada), Eropa (terutama MEE), dan Asia (terutama ASEAN) dan
juga australia ditunjukan oleh tabel dibawah

Nilai Impor (C&F) Menurut Negara Asal, 2010-2015 ($Juta)

Negara Asal 2010 2011 2012 2013 2014 2015


ASIA

ASEAN 38.912,20 51.108,90 53.662,20 53.851,40 50.726,00 38.794,90

AFRIKA 2.455,40 4.029,90 5.703,40 5.549,60 5.465,60 3.739,20


AUSTRALIA
& OCEANIA

Australia 4.099,00 5.177,10 5.297,60 5.038,20 5.647,50 4.815,80

Selandia Baru 726,90 729,20 696,30 806,00 836,00 637,00


Oceania
Lainnya 54,30 37,60 62,40 23,40 38,50 27,40
AMERIKA

NAFTA 10.720,50 13.241,70 13.981,80 11.648,90 10.217,80 9.400,10


Amerika
Serikat 9.399,20 10.813,20 11.602,60 9.065,70 8.170,10 7.593,20

Kanada 1.108,40 2.015,80 1.810,70 2.067,40 1.860,20 1.609,30

Meksiko 212,90 412,70 568,40 515,40 187,50 197,60


Amerika
Lainnya 3.212,90 4.231,10 4.457,00 4.768,40 4.562,30 4.136,60
EROPA

Uni Eropa 9.862,50 12.499,70 14.132,20 13.708,10 12.691,40 11.282,80


Sumber: BPS.go.id

Dengan jumlah impor yang didonimasi oleh bahan dan alat untuk keperluan pembangunan industri,
maka industri manufaktur telah menunjukan kemajuan pembangunan industri. Perkembangan industri
dalam negeri ini ditunjukan oleh pangsa sektor industri manufaktur terhadap nilai ekspor untuk tahun
2002-2007 meliputi 80% sampai 85% dari total ekspor. Sektor pertanian yang terlebih dahulu pada
masa pemerintahan Orde Baru merupakan komoditi ekspor utama, kini hanya mempunyai pangsa 5%.
Sedangkan komoditi ekspor mineral, yang mencakup sekitar 10% dari total ekspor nonmigas.

Nilai Ekspor Non Migas Menurut Komoditas, 2002-2007

Rincian 2002 2003 2004 2005 2006 2007


Pertanian 2.640 2.750 2.430 2.870 3.465 4.543
Mineral 3.840 4.145 4.636 8.010 11.361 9.575
Industri 39.819 47.981 47.416 55.872 65.572 79.024
46.299 54.876 54.482 66.752 80.398 93.142

Kalau Indonesia mengimpor alat dan bahan untuk keperluan pembangunan industrinya adalah terutama
dari Amerika Serikat, Eropa (khususnya MEE), ASEAN dan Australia, demikian juga halnya dengan
ekspor nonmigas Indonesia ditujukan terutama ke negara tujuan itu juga. Hal ini disebabkan oleh karena
perdagangan luar negeri itu bersifat resiprokal (bolak-balik) yang kurang lebih imbang. Nilai ekspor
nonmigas Indonesia untuk tahun 2010-2015 ditunjukan pada tabel dibawah ini.

Nilai Ekspor NonMigas Menurut Negara, 2010-2015 ($juta)

Negara Tujuan 2010 2011 2012 2013 2014 2015


ASIA
ASEAN 33.347,5 42.098,9 41.829,1 40.630,0 39.668,1 33.577,0
AFRIKA 3.657,0 5.675,3 5.713,7 5.615,5 6.262,3 4.759,5
AUSTRALIA &
OCEANIA
Australia 4.244,4 5.582,5 4.905,4 4.370,5 4.948,4 3.702,3
Selandia Baru 396,2 371,7 441,0 469,5 481,4 436,2
Oceania Lainnya 249,8 348,9 336,4 367,5 308,6 295,0

AMERIKA/AMERICA
NAFTA 15.761,2 18.077,8 16.316,7 17.161,3 18.136,0 17.787,1
Amerika Serikat 14.266,6 16.459,1 14.874,4 15.691,7 16.530,1 16.240,8
Kanada 731,9 960,3 792,4 782,3 755,0 722,3
Meksiko 762,7 658,4 649,9 687,3 850,9 824,0
Amerika Lainnya 2.740,3 3.295,2 2.975,2 3.018,5 2.899,6 2.450,2

EROPA
Uni Eropa 17.127,4 20.508,9 18.027,3 16.763,7 16.918,9 14.842,5
Eropa Lainnya 1.450,7 1.789,7 1.696,9 1.858,7 1.752,7 2.546,0

Catatan:
r) Angka diperbaiki
1) Berdasarkan Keppres No.12/2014 tentang penggunaan kata Tiongkok untuk menggantikan kata Cina
Diolah dari dokumen kepabeanan Ditjen Bea dan Cukai (PEB dan PIB)
Dikutip dari Publikasi Statistik Indonesia

You might also like