You are on page 1of 18

UNIVERSITAS INDONESIA

MODUL
PRAKTIKUM PROSES OPERASI TEKNIK - II
“Water Weated Column”

DEPARTMENT OF CHEMICAL ENGINEERING


FACULTY OF ENGINEERING
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Percobaan


 Menentukan besarnya koefisien perpindahan massa rata-rata dari lapisan tipis air
ke dalam aliran udara, serta mengamati karakteristik perpindahan massa air-udara
pada suatu dinding kolom yang terbasahi.
 Mengamati dan memahami hubungan antara kelembaban udara relative (HR) dan
absolute (H) terhadap laju alir fluida di kolom dinding terbasahi (Wetted Wall
Column).
 Mengamati dan memahami laju alir fluida terhadap koefisien perpindahan massa
(kG) dari lapisan tipis air ke dalam aliran udara.
 Memahami hubungan antara bilangan Sherwood terhadap koefisien perpindahan
massa (kG) air ke udara dalam wetted wall column.

1.2. Teori Dasar


Difusi merupakan peristiwa mengalirnya/berpindahnya suatu zat dalam pelarut dari
bagian berkonsentrasi tinggi ke bagian yang berkonsentrasi rendah secara konstan. Perbedaan
konsentrasi yang ada pada dua larutan disebut gradien konsentrasi. Difusi akan terus terjadi
hingga seluruh partikel tersebar luas secara merata atau mencapai keadaan kesetimbangan
dimana perpindahan molekul tetap terjadi walaupun tidak ada perbedaan konsentrasi. Difusi
yang paling sering terjadi adalah difusi molekuler. Difusi ini terjadi jika terbentuk
perpindahan dari sebuah lapisan (layer) molekul yang diam dari solid atau fluida. Sebagian
besar operasi perpindahan massa digunakan untuk memisahkan komponen-komponen di
dalam suatu larutan dengan jalan mengkontakkan larutan tersebut dengan suatu larutan lain
yang tak dapat larut. Kecepatan larutan masing-masing komponen dari suatu fasa ke fasa lain
bergantung pada apa yang disebut sebagai koefisien perpindahan massa serta gradient
konsentrasi kesetimbangannya.
Harga koefisien perpindahan massa bergantung kepada komponen fasa yang ditinjau,
kecepatan aliran kedua fasa, waktu kontak antar kedua fasa, serta keadaan system itu sendiri.
Koefisien perpindahan massa adalah besaran empiris yang diciptakan untuk memudahkan
persoalan-persoalan perpindahan massa antar fase, yang akan dibahas disini adalah koefisien

2
perpindahan massa dari fase gas ke fase cair atau sebaliknya dari sifat¬-sifat zat untuk
menekan. Karakteristik perpindahan massa pada keadaan laminar akan berbeda dengan
perpindahan massa pada keadaan turbulen. Seperti kita ketahui, aliran pada fluida dapat
dikategorikan menjadi tiga, yakni:
1. Aliran Laminer
Aliran laminer merupakan aliran dengan fluida yang bergerak dalam lapisan –
lapisan, atau lamina – lamina dengan satu lapisan yan bergerak secara sejajar
dalam satu arah alir. Dalam aliran laminar ini viskositas berfungsi untuk meredam
kecendrungan terjadinya gerakan relatif antara lapisan. Sehingga aliran laminar
memenuhi hukum viskositas Newton yaitu:
𝑑𝑢
𝜏=𝜇 (1)
𝑑𝑦

2. Aliran transien
Aliran transisi merupakan aliran peralihan dari aliran laminar ke aliran turbulen.

3. Aliran turbulen
Aliran dimana pergerakan dari partikel – partikel fluida sangat tidak menentu
karena mengalami percampuran serta putaran partikel antar lapisan, yang
mengakibatkan saling tukar momentum dari satu bagian fluida kebagian fluida
yang lain dalam skala yang besar. Dalam keadaan aliran turbulen maka turbulensi
yang terjadi membangkitkan tegangan geser yang merata diseluruh fluida
sehingga menghasilkan kerugian – kerugian aliran.

Pada dasarnya, proses difusi dapat terjadi melalui dua mekanisme, yakni mekanisme
Secara teoritis proses difusi molekular (molecular diffussion) dan Mekanisme perpindahan
massa konveksi (mass transfer convection). Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai
keduanya:
Mekanisme difusi molekular (molecular diffussion): Proses ini sering terjadi pada
fluida yang tidak mengalir. Banyak hal yang ada di sekitar kita melibatkan mekanisme difusi
jenis ini, diantaranya adalah gula pasir yang dimasukkan ke dalam air akan melarut dan
berdifusi ke dalam larutan air, begitu juga dengan kasus pakaian basah yang dijemur akan
menjadi kering secara perlahan akibat adanya difusi dari air ke udara.

3
Mekanisme perpindahan massa konveksi (mass transfer convection) adalah
mekanisme perpindahan yang melibatkan adanya konveksi paksaan untuk meningkatkan laju
perpindahan. Contoh: zat pewarna yang diteteskan ke dalam segelas air akan berdifusi secara
perlahan-lahan melalui mekanisme difusi molekular, apabila secara mekanik larutan tersebut
diaduk maka akan terjadi mekanisme perpindahan massa konveksi.
Dalam dinding kolom yang terbasahi (Wetted Wall Column), perpindahan massa
terjadi melalui pengontakkan air dan udara yang saling tidak larut. Dalam hal ini,
perpindahan massa berdasarkan sifat pengontakkan larutannya diklasifikasikan menjadi dua:
1. Operasi perpindahan massa dengan zat-zat pengontaknya secara langsung.
Operasi ini dilakukan jika ingin menghasilkan pemisahan dua fasa dan larutan
fasa tunggal dengan adanya penambahan atau perpindahan panas.
2. Operasi perpindahan massa dengan pengontakan zat-zatnya secara tidak langsung.
Operasi jenis ini memerlukan zat-zat lain yang harus ditambahkan sehingga
pemisahan zatnya dapat lebih sempurna dan dihasilkan produk hasil pemisahan
yang lebih murni.

Dalam dinding kolom yang terbasahi (Wetted Wall Column), prinsip yang digunakan
adalah bahwa pada kenyataannya pada sistem dua fasa beberapa komponen dalam
kesetimbangan memiliki komposisi fasa yang berbeda-beda, sehingga karena dalam fasa
kesetimbangan tidak akan ditemukan komponen murni akibatnya saat dua fasa dikontakkan,
mereka tidak akan mencapai komposisi kesetimbangan. Sistem akan berusaha mencapai
kesetimbangan dengan pergerakan difusif antara molekul yang berkontakkan dan tentunya
sesuai dengan hukum Fick tentang difusi.

1.2.1 Hukum Fick Pertama dan Kedua


Bila ditinjau komponen A bergerak di dalam suatu larutan, maka laju pindah massa A dalam
arah z per-satuan luas (flux A0) didefinisikan sebagai berikut:
𝜕𝐶𝐴 𝜕𝐶𝐴
𝐽𝐴 = −𝐷𝐴𝐵 = −𝐶𝐷𝐴𝐵 (2)
𝜕𝑧 𝜕𝑧

Persamaan diatas biasa disebut sebagai Hukum Fick pertama. Hukum Fick Pertama
didasarkan adanya pemahaman mengenai gradien konsentrasi antara dua titik akibat
terjadinya difusi molekular (molecular diffusion), yang dapat didefinisikan sebagai proses
perpindahan atau gerakan molekul-molekul secara individual yang terjadi secara acak.

4
DABdisebut sebagai difusifitas zat A melalui zat B. Jika komponen A dan komponen B
bergerak, maka perpindahan massa harus didefinisikan terhadap suatu posisi yang tertentu,
berkas aliran komponen A disebut NA dan berkas B berharga negatif dan disebut NB.
Sehingga berkas aliran total menjadi:
N = NA + NB (3)

Persamaan ini menunjukkan gerakan berkas molar komponen A yang merupakan jumlah
resultan berkas molar total (molar total flux) yang memiliki fraksi A sebesar xA = CA/C dan
pergerakan komponen A yang dihasilkan dari difusi JA. Persamaan 3 dapat ditulis ulang
sebagai berikut:
𝐶𝐴 𝑑𝑥𝐴
𝑁𝐴 = (𝑁𝐴 + 𝑁𝐵 ) − 𝑐𝐷𝐴𝐵 (4)
𝐶 𝑑𝑧

Persamaan diatas disebut sebagai Hukum Fick kedua. Pada persamaan Hukum Fick kedua
mekanisme perpindahan massa konveksi mulai diperhitungkan karena fluida mengalami
pergerakan sehingga mempengaruhi proses difusi. Untuk gas ideal berlaku:
𝑃 𝑐 𝑃
𝑐 = 𝑅𝑇 , 𝑃𝐴 = 𝑥𝐴 𝑃, 𝑑𝑎𝑛 ( 𝑐𝐴) = ( 𝑃𝐴) (5)

maka persamaan 4 dapat diturunkan sebagai berikut:


𝑃𝐴 𝐷𝐴𝐵 𝑑𝑃𝐴
𝑁𝐴 = (𝑁𝐴 + 𝑁𝐵 ) − (6)
𝑃 𝑅𝑇 𝑑𝑧

Pada suatu perpindahan massa WWC, laju perpindahan massa pada lokasi tertentu dapat
dihitung dengan mengintegrasikan persamaan di atas dengan menganggap NA=0 (tidak ada
perpindahan massa udara ke air).

1.2.2 Perpindahan Massa pada Dinding Kolom yang Terbasahi (Wetted Wall Column)
Proses difusi dalam percobaan ini berlangsung pada daerah antar muka (interface)
antara aliran udara dan aliran air. Aliran air yang menyusuri dinding kolom diusahakan
membentuk lapisan tipis atau film yang kemudian akan kontak dengan aliran udara yang
mengalir di tengah kolom.

5
Gambar 1.1 Diagram Perpindahan Massa WWC

Perpindahan massa sangat dipengaruhi dengan waktu kontak antara aliran air dan
udara, selain itu banyak dipengaruhi oleh faktor lain seperti keadaan aliran air yang laminer
atau turbulen. Pada percobaan ini divariasikan pula aliran udara dengan merubah laju alirnya
dan variasi laju air dari laminer, transisi, dan turbulen. Hasil perpindahan massa yang terjadi
diukur melalui humiditas (kelembaban) udara yang telah melakukan kontak dengan air.

1.2.3 Neraca Massa pada Dinding Kolom yang Terbasahi (Wetted Wall Column)
Laju perpindahan massa pada lokasi tertentu dapat dihitung dengan mengintegrasikan
dan mengatur ulang persamaan 6 dengan menganggap NA = 0 karena diasumsikan tidak ada
perpindahan massa dari udara ke air.
−𝐷𝐴𝐵 𝑃𝑇
𝑁𝐴 = (𝑃𝐴𝑖 − 𝑃𝐴1 ) (7)
𝑅𝑇 𝑧𝑃𝐵𝑀
𝑧 𝐷𝐴𝐵 𝑃 𝑑𝑃𝐴
𝑁𝐴 ∫𝑧 2 𝑑𝑧 = − ∫𝑃 𝐴𝑖 𝑃 (8)
1 𝑅𝑇 𝐴1 (1− 𝐴 )
𝑃

𝐷 𝑃
𝑁𝐴 = 𝑅𝑇(𝑧𝐴𝐵−𝑧 ) (𝑃𝐴𝑖 − 𝑃𝐴1 ) = 𝑘𝐺 (𝑃𝐴𝑖 − 𝑃𝐴1 ) (9)
1 𝑖

𝑃𝐵𝑖 −𝑃𝐵𝐿 𝑃𝐴𝐿 −𝑃𝐴𝑖


dengan 𝑃𝐵𝑀 = 𝑃 = 𝑃−𝑃𝐴𝐿
𝑙𝑛( 𝐵𝐿 ) 𝑙𝑛( )
𝑃𝐵𝑖 𝑃−𝑃𝐴𝑖

(10)

Persamaan 7 dapat ditulis ulang dengan berdasarkan satuan konstanta perpindahan massa,
seperti NA = ky(yAi–yA1) = kG(PAi–PA1) = kc(cAi – cA1). Dengan ky, kG, kc adalah koefisien
perpindahan massa lokal dengan satuan yang sesuai.

Perpindahan massa terjadi sepanjang kolom seperti terlihat pada gambar 3 dibawah,
maka berkas molar NA dapat dituliskan sebagai berikut:

6
𝑁𝐴 = 𝑘𝑦,𝑎𝑣 (𝑦𝐴𝑖 − 𝑦𝐴1 )𝑀 = 𝑘𝐺,𝑎𝑣 (𝑃𝐴𝑖 − 𝑃𝐴1 )𝑀
(11)
ky,av dan kG,av adalah koefisien perpindahan massa rata-rata.

Dan dengan:
(𝑦𝐴𝐼 −𝑦𝐴𝑂 )−(𝑦𝐴𝐼 −𝑦𝐴𝐿 )
(𝑦𝐴𝑖 − 𝑦𝐴1 )𝑀 = = beda konsentrasi logaritmik
(𝑦𝐴𝐼 −𝑦𝐴𝑂 )
𝑙𝑛 ⁄(𝑦
𝐴𝐼 −𝑦𝐴𝐿 )
[ ]

(12)

Gambar 1.2 Perpindahan Massa pada WWC

Neraca massa berdasarkan Gambar 2 diatas adalah:


d (Lx) = d(Gy)
d L = G dy + y dG
dL – y dG = G dy

apabila kondisi tunak maka dL= dG, sehingga


dL (1-y) = G dy
dL = G dy

7
𝐺𝑑𝑦
𝑑𝐿 = = 𝑁𝐴 𝑑𝐴 = 𝑘𝐺 𝑑𝐴 (𝑃𝐴𝑖 − 𝑃𝐴𝐺 ) = 𝑘𝐺 𝑃(𝑦𝐴𝑖 − 𝑦)𝑑𝐴
1−𝑦
𝐺𝑑𝑦
∫ = ∫ 𝑑𝐴
𝑘𝐺 𝑃(1 − 𝑦)(𝑦𝑖 − 𝑦)
𝐺
diasumsikan 𝑘 dan yi konstan, maka:
𝐺𝑃

𝑘𝐺 𝑃 1 𝑑𝑦 1 𝑦 −𝑦 1−𝑦
= (1−𝑦 ) ∫ (1−𝑦)(𝑦 −𝑦) = (1−𝑦 ) 𝑙𝑛 [(𝑦𝑖 −𝑦𝐴0 ) (1−𝑦𝐴𝐿)]
𝐺 𝑖 𝑖 𝑖 𝑖 𝐴𝐿 𝐴0

(13)

1.2.4 Bilangan Sherwood, Reynold, dan Schmidt


Konstanta perpindahan massa dipengaruhi oleh banyak factor, seperti: jenis fluida,
kecepatan fluida, dan geometri. Untuk itu seringkali dalam percobaan factor-factor ini
dihubungkan dengan menggunakan bilangan tidak berdimensi (dimensionless number)
sebagai berikut:
𝑆ℎ = 𝑘𝑅𝑒 𝑎 𝑆𝑐 𝑏
(14)
dengan,
𝑘𝐺 𝑃𝐵𝑀 𝑅𝑇𝑑
𝑆ℎ = 𝑃𝐷𝐴𝐵

(15)
𝜌𝑣𝑑
𝑅𝑒 = 𝜇

(16)
𝜇
𝑆𝑐 = 𝜌𝐷
𝐴𝐵

(17)

Sherwood number merupakan bilangan tak berdimensi yang menyatakan gradient


konsentrasi pada permukaan yang dapat digunakan untuk menghitung konveksi perpindahan
massa. Sherwood number menggambarkan besarnya kemampuan untuk terjadinya
perpindahan massa melalui mekanisme difusi. Besar kecilnya bilangan Sherwood
menunjukkan fenomena perpindahan massa yang terjadi. Bilangan Sherwood merupakan
bilangan yang paling berperan dalam penentuan karakteristik fluida yang diteliti.
Schmidt Number adalah bilangan tak berdimensi yang merupakan perbandingan
antara viskositas kinematik dengan difusivitas massa. Schmidt Number biasanya digunakan

8
untuk menentukan karakter aliran fluida jika ada momentum secara simultan dan difusi massa
selama proses konveksi.
Reynold Number adalah bilangan tak berdimensi yang paling sering dijumpai untuk
menjelaskan kasus mikrofluida. Meskipun demikian, bilangan Reynolds merupakan bilangan
yang paling tidak menarik, karena hampir di setiap kasus mikrofluida nilainya sangat kecil-
yang berarti bahwa gaya inersia tidak berpengaruh pada perilaku sistem, yang dominan
adalah gaya viskosnya. Jika nilai bilangan Reynolds rendah, maka aliran yang terjadi bersifat
linear dan dapat dengan mudah diprediksi. Jika nilai bilangan Reynolds bertambah, maka
akan mulai muncul pengaruh gaya inersia pada aliran tersebut. Fenomena aliran laminar
ditandai dengan nilai Re lebih kecil dari 2100. Untuk nilai Re diatas 10.000 termasuk ke
dalam aliran turbulen. Aliran turbulen terlihat memiliki aliran yang bergejolak. Sedangkan
nilai Re antara rentang 2100-10.000 termasuk kedalam aliran transisi. Dalam percobaan ini,
akan diatur alirannya agar menghasilkan aliran laminar, transisi, dan turbulen.

1.2.5 Kelembaban Udara


Pada dasarnya, kelembaban merupakan suatu istilah yang digunakan untuk
menggambarkan jumlah kandungan air dalam udara atau bisa disebut juga dengan persentasi
jumlah air dalam udara. Kelembaban berhubungan dengan suhu. Semakin rendah suhu,
umumnya akan meningkatkan nilai kelembaban. Angka konsentasi ini dapat diekspresikan
dalam kelembaban absolut, kelembaban spesifik atau kelembaban relatif.
1. Kelembaban Absolut (Absolute Humidity)
Kelembaban absolute didefinisikan sebagai jumlah kandungan uap air didalam
udara dibanding dengan udara kering. Kelembaban absolute bergantung volume
udara. Meskipun kandungan air sama, kelembaban absolute bisa berbeda.
2. Kelembaban Spesifik
Kelembaban Spesifik merupakan masa uap air atau massa total paket udara.
Kelembaban spesifik adalah pengukuran kelembaban yang banyak digunakan
dalam klimatologi.
3. Kelembaban Relatif (Relative Humidity)
Pada dasarnya, kelembaban relatif merupakan perbandingan kandungan uap air
aktual dengan keadaan jenuhnya. Kelembaban ini tidak menunjukkan jumlah uap
air yang sebenarnya di udara. Kelembaban relative tergantung pada suhu udara.

9
1.2.6 Pshycrometric Chart
Hubungan antara kelembaban, suhu termometer basah, suhu termometer kering, dan
tekanan biasanya dinyatakan dalam suatu chart yang dikenal sebagai psikrometri chart seperti
yang digambarkan pacta gambar 1.3. Pada gambar 1.3 kadar kelembaban udara diberikan oleh
sumbu-y disebelah kanan, clan suhu termometer kering diberikan oleh sumbu-x. Kurva paling
atas menyatakan suhu termometer basah yang merupakan suhu uap air jenuh atau suhu titik
embun (perkataan titik embun berasal dari penelitian yang dilakukan terhadap rumput pada pagi
hari dengan embun yang terbentuk di atasnya, pada saat itu suhunya hampir sama dengan bola
termometer basah). Kurvakurva lainnya yang terletak di antara sumbu suhu termometer kering
dengan kurva. Termometer basah merupakan kurva kelembaban relatif

Gambar 1.3 Chart Psikometrik

Berikut ini dijelaskan tujuh parameter udara terpenting yang digunakan untuk
keperluan perancangan air conditioning. Chart yang digunakan sebagai acuan adalah chart
psikrometirk yang disusun oleh Carrier dengan mengacu pada kondisi atmosfir normal.
a. Dry-bulb Temperature (DB). DB adalah suhu udara ruang yang diperoleh melalui
pengukuran dengan Slink Psikrometer pada theremometer dengan bulb kering. Suhu
DB diplotkan sebagai garis vertikal yang berawal dari garis sumbu mendatar yang
terletak di bagian bawah chart. Suhu DB ini merupakan ukuran panas sensibel.
Perubahan suhu DB menunjukkan adanya perubahan panas sensibel.

10
b. Wet-bulb Temperature (WB). WB adalah suhu udara ruang yang diperoleh melalui
pengukuran dengan Slink Psikrometer pada theremometer dengan bulb basah. Suhu
WB diplotkan sebagai garis miring ke bawah yang berawal dari garis saturasi yang
terletak di bagian samping kanan chart. Suhu WB ini merupakan ukuran panas total
(enthalpi). Perubahan suhu WB menunjukkan adanya perubahan panas total.
c. Dew-point temperature (DP). Suhu DP adalah suhu di mana udara mulai
menunjukkan aksi pengembunan ketika didinginkan. Suhu DP ditandai sebagai titik
sepanjang garis saturasi. Pada saat udara ruang mengalami saturasi (jenuh) maka
besarnya suhu DB sama dengan suhu WB demikian pula suhu DP. Suhu DP
merupakan ukuran dari panas laten yang diberikan oleh sistem. Adanya perubahan
suhu DP menunjukkan adanya perubahan panas laten atau adanya perubahan
kandungan uap air di udara.
d. Specific Humidity (W). Specific humidity adalah jumlah kandungan uap air di udara
yang diukur dalam satuan grains per pound udara. ( 7000 grains = 1 pound) dan
diplotkan pada garis sumbu vertikal yang ada di bagian samping kanan chart.
e. Relative Humidity (% RH). % RH merupakan perbandingan jumlah actual dan
jumlah maksimal (saturasi) dari uap air yang ada pada suatu ruang atau lokasi
tertentu. 100% RH berarti saturasi dan diplortkan menurut garis saturasi. Untuk
ukuran yang lebih kecil diplotkan sesuai arah garis saturasi.
f. Enthalpi (H) . Enthalpi adalah jumlah panas total dari campuran udara dan uap aire
di atas titik nol. Dinyatakan dalam satuan Btu/lb udara. Harga enthapi dapat diperoleh
sepanjang skala di atas garis saturasi
g. Specific volume (SpV). Specific volume atau volume spesifik adalah kebalikan dari
berat jenis, dinyatakan dalam ft3/lb. Garis skalanya sama dengan garis skala bola
basah (wet bulb)

11
BAB II
PROSEDUR PERCOBAAN

2.1 Skema Alat


Berikut merupakan alat dan bahan yang digunakan dalam percobaan ini,antara lain:
 Kompresor yang digunakan untuk mengalirkan udara masuk ke dalam sistem, yaitu
menuju ke arah atas melalui sepanjang kolom yang terbasahi.
 Termometer yang digunakan untuk mengukur suhu udara masuk dan keluar kolom,
suhu yang digunakan adalah temperatur kering dan basah. Temperatur basah
didapatkan dengan melapisi pangkal termometer dengan kapas yang dibasahi air.
 Relative humidity displaymerupakan alat digital higrometer yang digunakan untuk
mengukur dan menampilkan hasil pengukuran suhu dan kelembaban udara.
 Kolom panjang, merupakan sarana percobaan berupa dinding bagian dalam kolom
akan dialiri air yang dialirkan melalui selang kecil, kemudian dari bawah akan
dialirkan udara ke atas dengan kompresor.

Gambar 2.1Skema Peralatan Unit WWC

12
Air masuk Air masuk

Udara masuk

Gambar 2.2 Skema Sederhana WWC

2.2 Prosedur Percobaan


1. Menghidupkan kompresor untuk mengisi persediaan udara pasokan.
2. Mengalirkan udara ke dalam kolom lalu mengatur kecepatan aliran yang sesuai
dengan menggunakan katup jarum. Mencatat temperatur, tekanan udara dalam
kolom.
3. Mengalirkan air ke dalam kolom sesuai dengan kecepatan yang diinginkan
(laminer, transisi, atau turbulen) dan menjaga seluruh kolom dapat terbasahi
secara merata.
4. Membiarkan keadaan ini berlangsung sampai keadaan steady tercapai. Kemudian
mencatat temperatur udara masuk, temperatur udara keluar basah dan kering,
tekanan operasi dan kelembaban relatif udara keluar.
5. Mengulangi percobaan dengan mengubah laju alir sebanyak dua kali yaitu untuk
aliran transisi dan turbulen, masing-masing dengan perubahan laju alir udara
sebanyak empat kali. Lalu mencatat senua data yang diperlukan seperti pada poin
empat.

13
BAB III
DATA PERCOBAAN DAN PENGOLAHAN DATA

3.1 Data Pengamatan


Data yang diambil pada pengamatan :
 Kolom: diameter dan panjang
Panjang
 Diameter selang
 Volume air tiap jenis aliran air (laminar, transien, turbulen) selama 10 s
 Massa jenis air
 Viskositas air
Setelah itu, dapat dihitung
 Debit air
 Laju alir air
 Re number
Contoh :
o
Jenis DeltaH Tin - Dry Tout ( C) Q (L/s) Humidity (%)
o
Aliran (mm) ( C)
Dry Wet
Turbulen 5
10
15
20
Laminar 5
10
15
20
Transien 5
10
15
20

14
Perhitungan Tambahan
Volume Air (ml) Perhitungan Turbulen

Debit Air (Dalam 10s)

Laju alir air

Reynold

Volume Air (ml) Perhitungan Laminar

Debit Air (Dalam 10 s)


Laju alir air

Reynold

Volume Air (ml) Perhitungan Transien

Debit Air (Dalam 10 s)

Laju alir air

Reynold

1.2 Pengolahan Data


Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan Microsoft Excel sehingga
mendapatkan hasil yang ingin dicari. Parameter yang ingin dicari nilainya adalah sebagai
berikut.
1. Mencari Tbulkdan Tint
𝑇𝑖𝑛 + 𝑇𝑜𝑢𝑡
𝑇𝑏𝑢𝑙𝑘 =
2
𝑇𝑏𝑢𝑙𝑘 − 𝑇𝑤𝑒𝑡
𝑇𝑖𝑛𝑡 = 𝑇
ln ( 𝑇𝑏𝑢𝑙𝑘 )
𝑤𝑒𝑡

2. Menghitung kelembaban absolut aliran udara masuk (HA0), kelembaban absolut aliran
udara keluar (HAL) dan kelembaban absolut aliran udara pada suhu interface (Hint).
Langkah-langkah:
a. Pada psychometric chart, Twet dtarik vertikal ke atas sampai bertemu garis
kelembaban 100%. Dari titik temu ini, kemudian dibuat garis yang sejajar
dengan garis adiabatic saturation curve.

15
b. Mencari titik potong dengan menarik Tin dry secara vertikal ke atas sampai
berpotongan dengan garis sejajar yang telah dibuat di atas. Kemudian tarik
garis horizontal ke kanan untuk melihat kelembaban absolut HA0.
c. Hal yang sama berlaku untuk HAL dan Hint dimana masing-masing digunakan
Tout dry dan Tint.
3. Menghitung fraksi mol uap air (YA0, YAL, YAi)
𝐻
𝑀𝐴
𝑦= 𝐻 1
+𝑀
𝑀𝐴 𝐵

Dengan MA = 18 gr/mol dan MB = 29 gr/mol


4. Menghitung tekanan parsial (PA0, PAL, PAi)
𝐻𝑀𝐵 𝑃𝑡
𝑃=
𝑀𝐴 + 𝐻𝑀𝐵
Dengan Pt = tekanan total
5. Menghitung densitas udara, udara
𝑃𝑀𝐵
𝜌=
𝑅𝑇
Keterangan:
 Suhu yang digunakan pada perhitungan densitas adalah Tin dry.
 Tekanan yang digunakan pada perhitungan densitas adalah tekanan total, Pt. Di
sini diasumsikan Pt dapat digunakan karena perubahan tekanan yang terjadi
adalah kecil.
6. Menghitung laju alir volume udara (Q) dalam mL/detik.
 Laju alir udara ditentukan dari grafik kurva kalibrasi orifice meter
 Disini diasumsikan bahwa grafik tersebut merupakan hasil kalibrasi dari zat A dan
sudah merupakan laju alir udara ketika melalui kolom, bukan laju alir udara ketika
melewati manometer.
7. Menghitung laju udara, v
𝑄
𝑣=
𝐴
8. Menghitung laju alir massa udara (G) dalam satuan gmol/detik
𝜌𝑄
𝐺=
𝑀𝐵
9. Menghitung koefisien perpindahan massa (kG)

16
𝐺 𝑦𝐴𝑖 − 𝑦𝐴0 1 − 𝑦𝐴𝐿
𝑘𝐺 = ln ( )( )
(1 − 𝑦𝐴𝑖 )𝑃𝑡 𝐴𝑠 𝑦𝐴𝑖 − 𝑦𝐴𝐿 1 − 𝑦𝐴0
10. Menghitung Difusivitas air di udara, DAB

PCA .PCB 0.5


2.334
 Tint   1 1 
0.5
4
 3.64 x10   .TCA .TCB  
2.5
D AB . 
 TCA.TCB  Pt M A M B 
Dengan:
TCA = temperatur kritis air = 647.35 K
TCB = temperatur kritis udara = 132.45 K
PCA = tekanan kritis air = 218.29 atm
PCB = tekanan kritis udara = 37.2465 atm
Pt = tekanan total (atm)
11. Menghitung PBM
PBL  PBi
PBM 
P 
ln  BL 
 PBi 
Dimana: PBL = (Pt – PAL) dan PBi = (Pt - PAi)

12. Menghitung bilangan Sherwood (Sh)


k G .PBM .R.Tint .d
Sh 
Pt .D AB
13. Menghitung bilangan Reynold (Re)
𝜌𝑣𝑑
𝑅𝑒 =
𝜇
14. Menghitung bilangan Schmidt (Sc)
𝜇
𝑆𝑐 =
𝜌𝐷𝐴𝐵

Dengan persamaan-persamaan di atas, maka perhitungan yang harus dilakukan adalah

1) Kalibrasi laju alir udara menggunakan kurva kalibrasi orifice meter

17
2) Grafik Hubungan Suhu dengan Laju Alir Udara
3) Grafik Hubungan Laju Alir Udara dengan Kelembaban Absolut
4) Grafik Hubungan Laju Alir Udara dengan Difusivitas
5) Grafik Hubungan Laju Alir Udara dengan Koefisien Perpindahan Massa
6) Grafik Hubungan Bilangan Reynolds dengan Bilangan Schmidt

DAFTAR PUSTAKA
Perry, Robert H. dan Don W. Green. 1999. Perry’s Chemical Engineers’ Handbook 7th ed.
New York: McGraw-Hill.
Psychrometric Charts. 2014. Psychrometric Charts | Sustainability Workshop. [ONLINE]
Tersedia
pada: https://sustainabilityworkshop.autodesk.com/buildings/psychrometric-charts. [Diakses
pada 27 Maret 2017]
R.B. Bird, W.E. Stewart, and E.N. Lightfoot, Transport Phenomena, Second Edition, Wiley,
New York, 2007
T. H. Chilton and A.P. Colburn, Ind. Eng. Chem. 26, 1183-1187 (1934)
T.K. Sherwood, R.L. Pigford, and C.R. Wilke, Mass Transfer, McGraw-Hill, New York
(1975)
Treybal, Robert E. 1981. Mass Transfer Operation 3rd ed. Tokyo: McGraw-Hill.

18

You might also like