Professional Documents
Culture Documents
Benzodiazepine adalah suatu jenis obat yang dalam tingkatan yang berbeda,
memiliki lima efek farmakologi yang penting, yaitu: anxiolitik, sedasi, anti-
konvulsan, relaksasi otot polos melalui perantaraan sumsum tulang, dan amnesia
anterograde (amnesia terhadap kemahiran yang dimilki, atau mengingat informasi
yang baru).(Ashton, 1994). Potensi amnestik dari benzodiazepine lebih besar dari
efek sedatifnya sehingga mengakibatkan durasi amnesia yang lebih lama
dibanding sedasinya. Informasi yang tersimpan (amnesia retrograde) tidak
berubah oleh karena Benzodiazepine (Ghoneim dan Mewaldt, 1990).
Benzodiazepine tidak menghasilkan relaksasi otot skeletal yang cukup untuk
prosedur bedah, juga tidak mempengaruhi dosis obat-obat yang memblok
neuromuskular. Kemanjuran Benzodiazepine yang dihubungkan dengan frekuensi
kecemasan dan insomnia pada praktek klinik membuat penggunaan obat ini
semakin meluas. Contohnya, diperkirakan bahwa 4% dari populasi sering
menggunakan “obat tidur” selama satu tahun tertentu, dan 0,4 % dari populasi
menggunakan obat-obat hipnosis lebih dari satu tahun. (Nowell,dkk, 1997).
Meskipun Benzodiazepine efektif untuk mengatasi insomnia akut, penggunaannya
untuk menangani insomnia kronik, menurun. Dibandingkan barbiturat,
benzodiazepine kurang memiliki kecenderungan untuk menyebabkan terjadinya
toleransi, kurang potensial untuk ketergantungan, memiliki ambang batas
keamanan yang lebih besar setelah terjadi overdosis, dan dapat menimbulkan
interaksi obat yang lebih sedikit dan kurang serius. Tidak seperti barbiturat,
benzodiazepine tidak merangsang pengeluaran enzim mikrosomal hepar. Secara
intrinsik, benzodiazepine memiliki sifat ketergantungan yang sangat kurang
dibandingkan opioid, cocain, amphetamine, atau barbiturat.
Benzodiazepine telah menggantikan barbiturat untuk medikasi perioperative dan
menyebabkan sedasi selama perawatan efek anestesi yang terkontrol. Dalam hal
ini midazolam telah menggantikan diazepam sebagai benzodiazepine yang paling
1
sering diberikan pada periode perioperatif untuk medikasi preoperatif dan sedasi
intravena (“sadar”). Lebih lanjut lagi, waktu paruh sensitivitas Diazepam dan
Lorazepam memanjang; oleh karena itu hanya midazolam yang lebih sering
digunakan untuk penggunaan yang jangka panjang ketika diinginkan pemulihan
yang segera. Bagaimanapun, waktu paruh sensitivitas lorazepam yang lebih
panjang membuat obat ini menjadi pilihan yang baik untuk membuat sedasi pada
pasien di ruang lingkup Critical Care (ICU). Tidak seperti obat-obat Intra Vena
(IV) lainnya yang dapat menciptakan efek Sistem Saraf Pusat (SSP),
Benzodiazepine, sebagai suatu kelompok obat-obatan, memiliki sifat yang unik
dalam kemampuannnya sebagai antagonis (flumazenil).
MEKANISME KERJA
Benzodiazepine dapat menghasilkan semua efek farmakologi dengan
memfasilitasi aksi dari Asam gamma amino butirat (GABA), sebuah
neurotransmitter penghambat yang utama dari SSP (Goodchild, 1993).
Benzodiazepine tidak mengaktifkan reseptor-reseptor GABA, tetapi memperbesar
afinitas beserta reseptor-reseptor untuk GABA. (gambar 5-2) (Mohler dan
Richard, 1988).
2
Gambar 5-2.
Model dari reseptor GABA
membentuk channel chloride.
Benzodiazepines (Benzo)
melengket secara selektif ke subunit
alpha sehingga dapat memfasilitasi
aksi dari penghambat
neurotransmitter GABA pada
subunit alpha.
Sebagai akibat dari sifat yang mendukung dari obat ini dalam menambah afinitas
reseptor GABA terhadap neurotransmitter penghambat, terdapat perbesaran pintu
masuk Chlorida yang menghasilkan penghantaran Chlorida meningkat,
menghasilkan hiperpolarisasi membran sel post sinaps, sehingga neuron post
sinaps menjadi lebih tahan terhadap eksitasi. Daya tahan terhadap eksitasi ini
dianggap sebagai mekanisme di mana Benzodiazepine menghasilkan anxiolitik,
sedasi, amnesia anterograde, potensial alkohol, dan anti konvulsan serta efek
relaksan otot skeletal.
Dapat dikatakan bahwa efek sedatif dari benzodiazepine mencerminkan aktivasi
dari subunit alpha-1 dari reseptor GABAA dan aktivitas anxiolitik terjadi akibat
adanya aktivitas subunit alpha-2 (Low dkk, 2000; McKernan dkk, 2000). Alpha-1
yang terkandung dalam reseptor GABAA adalah subtipe yang jumlahnya paling
banyak (korteks serebral, korteks serebellum, thalamus), yaitu sekitar 60% dari
reseptor GABAA di otak. Subunit alpha-2 jumlahnya jauh lebih kurang dan dapat
ditemukan khususnya pada hipokampus dan amygdala. Distribusi secara anatomi
pada reseptor-reseptor ini konsisten dengan efek minimal yang ditimbulkan oleh
obat-obat ini di luar SSP (efek sirkulasi minimal). Di masa depan, mungkin dapat
diciptakan Benzodiazepin yang dapat mengaktivasi secara selektif subunit alpha-2
sehingga dapat memproduksi anxiolitik tanpa sedasi. Tetapi cara kerja yang
signifikan dari substansi endogen yang dapat benar-benar bekerja pada reseptor
GABAA masih belum jelas.
3
Reseptor GABAA merupakan suatu makromolekul yang besar yang terdiri dari
tempat-tempat ikatan yang terpisah (khususnya sub unit alpha, beta, dan gamma)
tidak hanya untuk GABA dan Benzodiazepine saja, tetapi juga barbiturat,
etomidate, propofol, neurosteroid, dan alkohol. Oleh karena bekerja pada suatu
reseptor tunggal dengan mekanisme yang berbeda-beda, benzodiazepine,
barbiturat, dan alkohol, dapat menyebabkan terjadinya efek yang sinergis untuk
meningkatkan penghambatan pada SSP yang diperantarai oleh reseptor GABAA .
Hal ini menjelaskan adanya sinergi farmakologik pada berbagai substansi ini, dan
juga resiko terjadinya overdosis pada penggabungan ini, yaitu menyebabkan
penekanan SSP yang dapat mengancam jiwa. Adanya sinergi ini juga merupakan
dasar untuk terjadinya toleransi silang secara farmakologi antara kelompok-
kelompok obat-obat yang berbeda dan hal ini konsisten dengan penggunaan
Benzodiazepine secara klinik sebagai pilihan pengobatan yang utama sebagai
detoksifikasi dari alkohol. Sebaliknya, Benzodiazepine memiliki efek ”ceiling”
yang dapat mencegah Benzodiazepine dari kelebihan penghambatan GABA
secara fisiologik yang maksimal. Toksisitas yang minimal dari Benzodiazepine
dan keamanannya secara klinis disebabkan oleh adanya pembatasan pada efek
terhadap neurotransmisi GABAergik.
Perbedaan pada permulaan dan waktu kerja yang ditimbulkan oleh
Benzodiazepine mencerminkan adanya perbedaan pada potensi (afinitas ikatan
reseptor), solubilitas lemak (kemampuannya menembus sawar darah otak dan
distribusi ulang ke jaringan perifer) dan farmakokinetik (asupan, distribusi,
metabolisme, dan eliminasi). Seluruh Benzodiazepine memiliki kelarutan dalam
lemak yang tinggi dan memiliki ikatan yang kuat terhadap protein plasma,
khususnya albumin. Hipoalbuminemia yang berhubungan dengan sirosis hepatik
atau gagal ginjal kronik dapat melonggarkan ikatan benzodiazepines, sehingga
menyebabkan terjadinya peningkatan efek klinis yang diciptakan oleh obat-obat
ini. Setelah mengkonsumsi secara oral, obat ini akan diserap di jalur
Gastrointestinal dan setelah penggunaannya secara injeksi IV, maka obat ini akan
segera menembus SSP dan organ-organ yang memiliki perfusi yang tinggi
lainnya.
4
SISTEM TRANSPORTER NUKLEOSIDA
Benzodiazepine menurunkan degradasi adenosin dengan cara menghambat
transporter nukleosida, di mana mekanisme utama dari efek yang ditimbulkan
adenosin terhambat sepanjang pengambilan kembali ke sel-sel (Seubert dkk,
2000). Adenosin merupakan regulator yang penting pada fungsi jantung
(menurunkan kebutuhan oksigen ke jantung dengan cara menurunkan denyut
jantung dan meningkatkan penghantaran oksigen dengan cara melebarkan
pembuluh darah koroner) dan efek fisiologis yang ditimbulkannya yaitu
melindungi jantung selama terjadinya iskemik miokard.
ELEKTROENSEFALOGRAM
Efek Benzodiazepine yang muncul pada tampilan Elektroensefalogram (EEG)
menyerupai kerja barbiturat di mana aktivitas alpha menurun dan beta voltase
rendah yang sifatnya cepat, aktivitasnya meningkat. Perubahan aktivitas dari alpha
ke beta lebih sering terjadi di daerah frontal dan area rolandik dengan
Benzodiazepine, di mana tidak seperti barbiturat, tidak menyebabkan sebaran
posterior (posterior spread). Seperti halnya dengan barbiturat, tolerasi terhadap
efek dari benzodiazepine tidak tampak pada gambaran EEG. Midazolam,
kebalikan dari barbiturat dan propofol, tidak dapat menyebabkan isoelektrik pada
gambaran EEG.
EFEK SAMPING
Rasa lelah dan mengantuk adalah efek samping yang paling sering terjadi pada
pasien yang diterapi lama dengan benzodiazepine. Sedasi yang dapat menurunkan
keadaan umum biasanya berkurang dalam 2 minggu. Pasien sebaiknya
diinstruksikan untuk mengkonsumsi benzodiazepine sebelum makan dan tidak
boleh mengkonsumsi antasida karena makanan dan antasida dapat menurunkan
penyerapan dari jalur gastrointestinal. Penggunaan benzodiazepine dalam waktu
lama tidak secara langsung menimbulkan efek pada tekanan darah sistemik,
denyut jantung, dan ritme jantung. Meskipun efek pada ventilasi sering kali tidak
terlihat, tetap saja harus berhati-hati untuk tidak memberikan obat-obat ini pada
5
pasien dengan penyakit paru kronis yang digambarkan dengan adanya
hipoventilasi dan /atau penurunan oksigenasi arterial. Penurunan koordinasi
motorik dan penurunan fungsi kognitif dapat terjadi, khususnya ketika
benzodiazepine dikombinasikan dengan obat-obatan anti depresan lainnya.
Penggunaan benzodiazepine secara akut dapat menyebabkan terjadinya amnesia
anterograde sementara, khususnya jika dikonsumsi bersamaan dengan alkohol.
Sebagai contoh, telah dilaporkan adanya amnesia yang dalam (profunda) pada
turis yang mengkonsumsi triazolam yang dikombinasikan dengan alkohol agar
dapat tertidur dalam penerbangan beberapa zona waktu (Morris dan Estes, 1987).
INTERAKSI OBAT
Benzodiazepine menyebabkan efek sedatif sinergis dengan obat-obat
antidepresant SSP, termasuk alkohol, obat-obatan anestetik inhalasi ataupun
intravena, opioid dan agonis alpha-2. Kadar anestesi pada obat-obat anestesi
inhalasi maupun intravena berkurang oleh karena benzodiazepine. Meskipun
benzodiazepine, khususnya Midazolam, mempengaruhi kerja opioid terutama
efeknya terhadap penekanan ventilasi, tetapi aksi analgetik yang ditimbulkan oleh
opioid dikurangi oleh benzodiazepine (Gear dkk, 1997; Gross dkk, 1996). Efek
antagonis yang ditimbulkan oleh benzodiazepine dengan flumazenil menghasilkan
peningkatan efek analgetik dari opioid.
6
KETERGANTUNGAN
Meskipun benzodiazepine diberikan dengan dosis terapeutik, tetapi tetap dapat
menyebabkan terjadinya ketergantungan, yang dapat terlihat dari gejala fisik
maupun psikologik setelah dosisnya dikurangi atau obat dihentikan. Gejala
ketergantungan dapat terjadi setelah lebih dari 6 bulan penggunaan
Benzodiazepine dengan dosis rendah. Ketergantungan ini disalah-artikan sebagai
bukti adanya prilaku adiktif terhadap kebutuhan akan obat-obat yang tidak
semestinya. Gejala withdrawal (iritabilitas, insomnia, tremor) memiliki waktu
permulaan yang mencerminkan waktu paruh eliminasi obat yang sudah tidak
dilanjutkan lagi. Biasanya, gejala withdrawal muncul dalam waktu 1 hingga 2 hari
untuk benzodiazepine dengan masa kerja pendek, dan sekitar 2 hingga 5 hari
untuk benzodiazepine dengan masa kerja panjang.
7
dibandingkan pengguna benzodiazepine jangka pendek atau orang-orang yang
tidak mengkonsumsi benzodiazepine (Kudo dkk, 2004).
AGGREGASI TROMBOSIT
Benzodiazepine dapat menghambat faktor-faktor yang diaktivasi oleh trombosit
untuk menginduksi terjadinya agregasi sehingga menyebabkan penghambatan
agregasi trombosit akibat penggunaan obat tersebut. Penghambatan agregasi
trombosit yang dipicu oleh midazolam dapat mencerminkan adanya perubahan
konformasi membran trombosit (Sheu dkk, 2002).
MIDAZOLAM
Midazolam adalah jenis benzodiazepine yang dapat larut dalam air yang memiliki
sebuah cincin midazole pada strukturnya yang stabil dalam bentuk larutan cair
(aquous) dan metabolisme yang cepat (Reves dkk, 1980). Benzodiazepine jenis ini
telah menggantikan diazepam dalam penggunaannya saat operasi dan sedasi yang
sadar. Jika dibandingkan dengan diazepam, midazolam 2 hingga 3 kali lebih kuat.
Midazolam juga memiliki afinitas terhadap reseptor benzodiazepine 2 kali lebih
tinggi dibandingkan diazepam dan jenis benzodiazepine lainnya. Efek amnestik
midazolam jauh lebih kuat dibandingkan efek sedatif yang ditimbulkannya. Jadi,
pasien dapat tetap sadar selama penggunaan midazolam dan tetap mengalami
amnesia untuk kejadian dan percakapan (instruksi post operatif) selama beberapa
jam.
PERSIAPAN KOMERSIAL
Midazolam memiliki pK sebesar 6.15, sehingga dapat dilewati oleh garam yang
dapat larut dalam air. Larutan parenteral dari midazolam yang digunakan secara
klinik menggunakan buffer dengan keasaman pH 3,5. Hal ini penting oleh karena
midazolam ditandai dengan adanya sebuah fenomena pembuka cincin yang
tergantung pada pH, dimana cincin akan tetap terbuka pada pH kurang dari 4,
sehingga dapat memepertahankan kelarutan obat tersebut dalam air (gambar 5-3).
8
Cincin tertutup pada pH lebih dari 4, seperti ketika obat tersebut terpapar terhadap
pH fisiologik, jadi dapat mengubah midazolam menjadi obat yang memiliki
kelarutan terhadap lemak yang tinggi (gambar 5-3).
Gambar 5-3
FARMAKOKINETIK
Midazolam mengalami penyerapan yang cepat di sepanjang traktus
Gastrointestinal dan dapat melintas dengan cepat menembus sawar darah otak.
Sehubungan dengan kemampuannya menembus sawar darah otak dengan cepat,
maka Midazolam diperkirakan memiliki waktu keseimbangan yang berefek
lambat (0,9 hingga 5,6 menit) jika dibandingkan dengan obat-obat lainnya, seperti
propofol dan thiopental. Sehubungan dengan hal ini, dosis midazolam harus
sesuai untuk memudahkan terjadinya efek klinis yang diinginkan sebelum dosis
tersebut diulang kembali. Hanya sekitar 50% dari dosis Midazolam yang
diberikan secara oral dapat mencapai sirkulasi sistemik, mencerminkan suatu efek
hepatik utama yang substansial. Seperti jenis Benzodiazepines kebanyakan,
Midazolam secara luas terikat ke protein plasma; ikatan ini tidak tergantung
9
dengan konsentrasi plasma pada midazolam (tabel 5-1) (Greenblatt dkk, 1984;
Reves dkk, 1985).
Durasi yang pendek dari aksi midazolam dosis tunggal disebabkan oleh
kelarutannya dengan lemak, menyebabkan terjadinya redistribusi yang cepat dari
otak ke tempat jaringan yang tidak aktif maupun hepatik klirens yang cepat.
Waktu paruh Diazepam dan Lorazepam lebih panjang jika dibandingkan dengan
midazolam, hal ini dapat menegaskan bahwa midazolam yang dipilih ketika infus
benzodiazepine ingin digunakan secara kontinyu.
Eliminasi waktu paruh Midazolam berkisar antara 1 hingga 4 jam, dimana lebih
singkat dibandingkan diazepam (tabel 5-1) (Revers dkk, 1985). Eliminasi waktu
paruh tersebut dapat 2 kali lebih lama pada pasien manula, hal ini disebabkan
karena adanya penurunan yang terkait usia tua pada alirah darah hepatik dan
aktivitas enzim. Volume distribusi (Vd) Midazolam dan diazepam mirip, hal ini
mungkin disebabkan karena sifat kelarutan dalam lemak pada kedua obat ini yang
mirip dan ikatan protein tingkat tinggi. Pasien-pasien manula dan obesitas
memiliki Vd Midazolam yang meningkat yang disebabkan oleh adanya
peningkatan distribusi obat ke jaringan lemak perifer. Klirens Midazolam lebih
cepat dibandingkan dengan Diazepam, sebagai cerminan dari waktu paruhnya.
Akibat dari perbedaan ini, efek SSP yang ditimbulkan oleh Midazolam akan
menjadi lebih pendek dibandingkan oleh Diazepam. Hal ini menyebabkan tes-tes
fungsi mental akan kembali normal dalam waktu 4 jam setelah pemakaian
Midazolam.
Suatu institusi bypass kardiopulmoner memiliki hubungan dengan penurunan
konsentrasi plasma dari Midazolam dan peningkatan dari terminasi bypass
kardiopulmoner (Gedney dan Ghost, 1995). Perubahan-perubahan ini
10
berhubungan dengan redistribusi cairan utama ke jaringan tubuh. Sebagai
tambahan, benzodiazepine secara luas berikatan dengan protein dan perubahan
pada konsentrasi dan pH protein ditambah dengan terminasi bypass
kardiopulmoner dapat memiliki efek yang signifikan terhadap fraksi aktif secara
farmakologi dan tidak terikat pada obat-obat ini. Eliminasi waktu paruh
Midazolam menjadi memanjang setelah dilakukannya bypass kardiopulmoner jika
dibandingkan dengan nilai yang diperoleh dari pasien-pasien yang tidak
melakukan prosedur ini.
METABOLISME
Midazolam secara cepat dimetabolisme di hepar dan enzim sitokrom P-450
(CYP3A4) pada usus kecil untuk mengaktifkan maupun menginaktifkan metabolit
(gambar 5-4) (Reves dkk, 1985).
Prinsip metabolit Midazolam, 1-
hidroxymidazolam,memiliki
setidaknya setengah dari aktivitas
senyawa induk (Johnson dkk,
2002). Metabolit aktif ini secara
cepat berkonjugasi dengan 1-
hidroksi midazolam glukuronide
dan secara bertahap dieliminasi
oleh ginjal. Metabolit glukuronide
memiliki aktivitas farmakologi
Gambar 5-4 yang kuat ketika muncul dalam
Prinsip metabolit Midazolam adalah 1-
hidroximidazolam. Sejumlah kecil midazolam konsentrasi yang tinggi,
dimetabolisme menjadi 4-hidroximdazolam.
yang juga dapat terjadi pada pasien kritis dengan insuffisiensi ginjal yang
menerima infus IV midazolam secara terus menerus selama periode waktu yang
lama. Pada pasien-pasien ini, metabolit glukuronide bisa memiliki efek sedatif
yang sinergis dengan senyawa induk (Bauer dkk, 1995). Metabolit aktif secara
11
farmakologi lainnya dari midazolam, yaitu 4-hidroksimidazolam, tidak ditemukan
pada konsentrasi yang terdeteksi di dalam plasma setelah pemberian Midazolam
Intravena.
Metabolisme midazolam menjadi lebih lambat jika dikonsumsi bersama-sama
dengan cimetidine, eritromisin, Ca Channel Bloker dan anti jamur, karena dapat
menghambat enzim sitokrom P-450, sehingga dapat menyebabkan terjadinya
penekanan SSP yang tidak diharapkan (Hiller dkk, 1990). Enzim sitokrom P-450
3A juga mempengaruhi metabolisme fentanyl. Sehubungan dengan hal ini, klirens
hepatik midazolam dihambat oleh fentanyl yang diberikan selama anestesi umum
(Hase dkk, 1997).
Secara keseluruhan, laju klirens hepatik pada midazolam 5 kali lebih cepat
daripada Lorazepam dan 10 kali lebih cepat pada Diazepam.
KLIRENS GINJAL
Eliminasi waktu paruh, Vd, dan klirens pada Midazolam tidak berubah oleh
adanya gagal ginjal (Vinik dkk, 1983). Hal ini sesuai dengan metabolisme hepatik
yang luas pada Midazolam.
12
Pasien dengan penurunan pemenuhan intrakranial (intracranial compliance)
menunjukkan sedikit ataupun tidak adanya perubahan pada tekanan intrakranial
ketika diberikan midazolam dengan dosis antara 0,15 hingga 0,27 mg/kg IV. Jadi,
midazolam merupakan alternatif dari barbiturat yang bisa diterima untuk induksi
anestesi pada pasien dengan kelainan intrakranial. Namun, terdapat beberapa bukti
bahwa pasien dengan trauma kepala yang parah tetapi memiliki TIK < 18 mmHg,
dapat menunjukkan adanya peningkatan pada TIK ketika midazolam (0,15 mg/kg
IV) diberikan secara cepat (gambar 5-5) (Papazian dkk, 1993).
Gambar 5-5
Pemberian midazolam, 0,15 mg/kg IV pada pasien dengan trauma kapitis berat
(GCS<6) yang berhubungan dengan peningkatan TIK ketika kontrol TIK < 18mmHg
(sirkulasi terbuka).
13
ensefalopati akibat withdrawal dari benzodiazepine (Bergman dkk, 1991).
Kegembiraan yang paradoks (berlawanan dengan yang semestinya) terjadi pada
sekitar 60% pasien yang menggunakan midazolam, tetapi hal ini dapat diatasi
secara efektif dengan antagonisnya, yaitu flumazenil (Thurston dkk, 1996).
VENTILASI
Sesuai dengan dosis yang diberikan, midazolam menyebabkan penurunan pada
ventilasi dengan dosis 0,15 mg/kg IV, hal ini memiliki efek yang mirip dengan
diazepam dengan dosis 0,3 mg/kg IV (Forster dkk, 1980). Pasien dengan penyakit
paru obstruktif yang kronik juga mengalami depresi ventilasi setelah pemberian
midazolam (Gross dkk, 1983). Apnea yang sifatnya sementara, dapat terjadi
setelah pemberian midazolam dalam dosis yang besar dengan cepat (>0,15 mg/kg
IV), khususnya pada keadaan perioperatif yang menggunakan opioid (Kanto dkk,
1982). Pada percobaan yang dilakukan terhadap relawan yang sehat, midazolam
tidak menyebabkan terjadinya efek depresi ventilasi, tetapi jika midazolam 0,05
mg/kg IV digabung dengan fentanyl 2 ug/kg IV, dapat menyebabkan terjadinya
hipoksemia arterial dan/atau hipoventilasi (Bailey dkk, 1990). Midazolam 0,05
hingga 0,075 mg/kg IV, dapat menekan ventilasi pada relawan yang sehat,
sedangkan anestesi spinal (mean sensory level T6) merangsang ventilasi untuk
beristirahat (resting ventilation), dan kombinasi keduanya menyebabkan
terbentuknya efek sinergetik untuk menekan resting ventilation (Gauthier dkk,
1992). Benzodiazepine juga menekan refleks menelan dan menurunkan aktivitas
saluran pernapasan bagian atas.
SISTEM KARDIOVASKULAR
Midazolam 0,2 mg/kg IV, untuk induksi anestesia menyebabkan penurunan yang
lebih besar pada tekanan darah sistemik dan peningkatan denyut jantung
dibandingkan dengan diazepam 0,5 mg/kg IV (Samuelson dkk, 1981). Sebaliknya,
perubahan hemodinamik yang dipicu oleh midazolam mirip dengan perubahan
yang disebabkan oleh thiopental, pada dosis 3 hingga 4 mg/kg IV (Lebowitz dkk,
1982).
14
Cardiac Output tidak diubah oleh Midazolam, hal ini mungkin disebabkan karena
perubahan tekanan darah berhubungan dengan penurunan tahanan vaskular
sistemik. Sehubungan dengan hal ini, benzodiazepine mungkin berguna dalam
meningkatkan cardiac output pada kasus penyakit jantung kongestif. Pada
kejadian hipovolemik, pemberian midazolam menyebabkan terjadinya
peningkatan penurunan tekanan darah yang mirip dengan yang disebabkan oleh
obat-obat induksi IV lainnya (Adams dkk, 1985). Midazolam tidak dapat
mencegah terjadinya respon tekanan darah dan denyut jantung yang disebabkan
oleh intubasi trakea. Kenyataannya, rangsangan mekanik ini dapat mengimbangi
efek penurunan tekanan darah pada pemberian midazolam IV dosis rendah. Efek
midazolam pada tekanan darah sistemik secara langsung berhubungan dengan
konsentrasi plasma pada benzodiazepine. Tetapi, lonjakan konsentrasi plasma
terlihat nyata di atas (efek ceiling) dimana perubahan yang kecil saja dapat
mengubah tekanan darah sistemik.
PENGGUNAAN KLINIS
Midazolam adalah jenis benzodiazepine yang paling sering dipakai untuk
pengobatan perioperatif pada pasien pediatrik, sedasi IV (”sadar”), dan saat
induksi anestesi. Dengan mengkombinasikannya dengan obat-obat lainnya,
midazolam dapat digunakan untuk mempertahankan anestesi. Seperti halnya
diazepam, midazolam merupakan antikonvulsan yang kuat untuk menangani
kejang grand mal, di mana dapat terjadi dengan toksisitas sistemik yang
diproduksi oleh anestetik lokal.
PENGOBATAN PERIOPERATIF
Midazolam merupakan pengobatan oral yang paling sering digunakan sebagai
pengobtan perioperatif untuk anak-anak. Sirup midazolam oral (2 mg/ml) efektif
untuk menyebabkan terjadinya sedasi dan anxiolisis pada dosis 0,25 mg/kg
dengan efek minimal pada ventilasi dan saturasi oksigen bahkan ketika diberikan
pada dosis sebesar 1 mg/kg (maksimum 20 mg) (Cote dkk, 2002). Midazolam 0,5
mg/kg diberikan secara oral 30 menit sebelum induksi anestesi, akan memberikan
15
sedasi yang cukup dan anxiolisis pada anak-anak tanpa mengalami kesulitan
dalam menyadarkan mereka (gambar 5-6) (McMillan dkk, 1992).
Gambar 5-6
Peningkatan dosis premedikasi midazolam oral yang diberikan 30 menit
sebelum induksi anestesi tidak menyebabkan efek yang berbeda dalam
bentuk interval dari akhir operasi hingga dipindahkan Recovery Room
hingga mata terbuka spontan (batang abu-abu yang lebih terang), dan waktu
di Recovery Room (batang abu-abu gelap).
SEDASI INTRAVENA
Midazolam 1,0 hingga 2,5 mg IV (waktu awal 30 hingga 60 detik, waktu puncak
yang berefek 3 hingga 5 menit, durasi sedasi 15 hingga 80 menit) efektif untuk
sedasi selama anestesi regional sama baiknya dengan prosedur terapeutik yang
singkat. Dibanding diazepam, midazolam memiliki onset yang lebih cepat, dengan
efek anestesi yang lebih besar dengan sedasi post operatif yang ringan, tetapi
waktu yang dibutuhkan untuk kembali pulih membutuhkan waktu yang tidak
pendek (McClure dkk, 1983). Waktu keseimbangan yang berefek pada midazolam
16
harus diperhitungkan untuk mengetahui waktu efektivitas dan kebutuhan akan
dosis tambahan pada midazolam. Nyeri saat injeksi dan trombosis vena post
injeksi lebih jarang terjadi pada midazolam dibandingkan diazepam.
Efek samping yang paling signifikan dari pemberian Midazolam untuk
memberikan efek sedasi adalah depresi ventilasi yang disebabkan karena terjadi
hipoksia. Efek depresi ventilasi pada midazolam lebih besar dibanding diazepam
dan lorazepam. Depresi ventilasi yang dipicu oleh midazolam menjadi lebih besar
(efek sinergis) jika digabungkan dengan opioid dan obat-obat depresant SSP
lainnya (Gross dkk, 1996). Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik dapat
juga memberikan manifestasi depresi ventilasi yang berlebihan setelah pemberian
benzodiazepine untuk memberikan efek sedasi. Hal yang penting diperhatikan
adalah dengan adanya peningkatan umur, maka akan meningkatkan sensitivitas
farmakodinamik terhadap efek hipnosis dari Midazolam (Jacobs dkk, 1995).
Pemberian midazolam yang terkontrol pada pasien selama prosedur pemberian
anestesi lokal merupakan suatu alternatif untuk melanjutkannya dengan teknik
infus IV (sekitar 4 ug/kg/menit IV) ( Ghouri dkk, 1992).
INDUKSI ANESTESIA
Anestesi dapat diinduksi dengan pemberian midazolam sebesar 0,1 hingga 0,2
mg/kg IV selama 30 hinnga 60 detik. Meskipun demikian, thiopental biasanya
memberikan induksi anestesi 50% hingga 100 % lebih cepat dibanding midazolam
(gambar 5-7) (Sarnquist dkk, 1980).
Onset ketidaksadaran (interaksi sinergis) tercipta ketika opioid dosis kecil
(fentanyl 50 hingga 100 ug IV atau yang sama dengan itu), diberikan 1 hingga 3
menit sebelum memberikan midazolam. Dosis midazolam yang dibutuhkan untuk
induksi anestesi IV juga kurang jumlahnya jika medikasi preoperatif juga
menggunakan obat penekan SSP. Pasien dewasa membutuhkan midazolam yang
lebih sedikit untuk anestesi IV dibandingkan anak muda (Gamble dkk, 1981).
17
Gambar 5-7
Induksi anastesi
menggambarkan waktu dimana
hitungannya terjadi sekitar 110
detik setelah pemberian
midazolam IV dibandingkan
dengan 50 detik setelah injeksi
Thiopental.
Penjelasan untuk hal ini masih belum jelas, karena waktu paruh seharusnya tidak
mengubah efek hipnotik akut pada pemberian Midazolam dosis tunggal IV.
Penjelasan yang mungkin dalam hal ini adalah terjadi peningkatan sensitivitas
SSP terhadap efek midazolam seiring dengan peningkatan usia (Greenblatt dkk,
1982).
Pada pasien sehat yang menerima benzodiazepine dosis kecil, akan ditemukan
adanya depresi kardiovaskular yang minimal yang berhubungan dengan obat-obat
ini. Ketika respon kardiovaskular yang signifikan terjadi, hal ini lebih mungkin
disebabkan karena benzodiazepine yang memicu terjadinya vasodilatasi perifer.
Sehubungan dengan depresi ventilasi, perubahan kardiovaskular yang disebabkan
oleh benzodiazepine dapat terjadi secara berlebihan jika digabung dengan obat-
obat depresan lainnya, seperti propofol dan thiopental.
18
Kebutuhan anestesi yang mudah menguap yang bergantung pada dosis akan
berkurang jumlahnya jika diberikan midazolam. Waktu pemulihan pada anastesi
umum yang termasuk induksi dengan anestesi dengan midazolam menjadi 1
hingga 2,5 kali lebih lama dibandingkan penggunaan thiopental pada induksi
anestesi IV (Jensen kk, 1982). Pemulihan yang bertahap pada pasien yang
diberikan midazolam jarang menimbulkan efek mual, muntah, atau luapan
kegembiraan yang berlebihan. Sesaat setelah operasi selesai, pasien akan sadar
secara keseluruhan baik dengan midazolam ataupun thiopental, dan waktu
pemulihan di Recovery Room mirip pada kedua jenis obat ini (Crawford dkk,
1984).
19
GERAKAN PITA SUARA YANG PARADOKSAL
Gerakan pita suara yang paradoksal merupakan akibat dari obstruksi saluran napas
bagian atas dan stridor yang dapat berlanjut setelah operasi. Midazolam 0,5
hingga 1 mg IV dapat menangani gangguan tersebut (Robernts dkk, 1998)
DIAZEPAM
Diazepam adalah jenis benzodiazepine yang sangat larut dalam lemak dengan
suatu durasi aksi yang lebih lama dibanding midazolam.
PREPARASI KOMERSIAL
Diazepam dapat larut dalam pelarut organik (propylene glycol soium benzoate)
karena diazepam tidak larut dalam air. Larutannya kental dengan pH 6,6 – 6,9.
Pelarutan dengan menggunakan air atau salin menyebabkan pengkabutan, tetapi
tidak merubah potensi obat. Injeksi secara IM ataupun IV dapat menimbulkan rasa
sakit. Diazepam juga tersedia dalam suatu formulasi yang unik untuk injeksi IV.
Formulasi ini dihubungkan dengan suatu insidensi nyeri yang lebih rendah pada
injeksi dan tromboflebitis.
FARMAKOKINETIKA
Diazepam cepat diabsorbsi dari traktus gastrointestinalis setelah pemberian oral,
mencapai konsentrasi puncak dalam waktu sekitar 1 jam pada dewasa tetapi pada
anak-anak mencapai 25-30 menit. Dengan cepat akan mencapai otak, kemudian
diikuti redistribusi ke dalam jaringan-jaringan yang tidak aktif. Terutama lemak,
karena benzodiazepine sangat larut dalam lemak. Vd diazepam besar ukurannya,
mencerminkan pengambilan yang luas oleh jaringan terhadap obet yang larut
dalam lemak ini (tabel 5-1). Wanita, dengan kandungan lemak yang lebih besar,
mempunyai Vd yang lebih besar untuk diazepam dibanding laki-laki. Diazepam
dengan cepat menembus plasenta, menyebabkan konsentrasinya pada fetus sama
atau kadang-kadang lebih tinggi dibanding sirkulasi ibunya (Dawes dkk, 1973).
Durasi aksi dari benzodiazepine tidak berikatan dengan reseptor tetapi lebih
ditentukan oleh kecepatan metabolisme dan eliminasi.
20
IKATAN PROTEIN
Ikatan protein dari benzodiazepine sejalan dengan kelarutannya dalam lemak.
Dengan demikian, kelarutan yang tinggi dalam lemak menyebabkan diazepam
terikat dengan protein secara meluas, yang mungkin dengan albumin. (tabel 5-1).
Sirosis hati atau gangguan ginjal dihubungkan dengan penurunan konsentrasi
albumin dalam plasma, bisa menyebabkan ikatan diazepam dan protein menurun
dan menyebabkan peningkatan efek samping yang dikaitkan dengan obat tersebut
(Greenblatt dan Koch-Weser, 1974). Ikatannya yang tinggi dengan protein
membatasi khasiat hemodialisis di dalam perawatan kelebihan dosis diazepam.
METABOLISME
Diazepam terutama dimetabolisir oleh enzim mikrosomal hepar dengan
menggunakan jalur oksidatif dari N-demetilasi. Dua metabolit utama dari
diazepam adalah desmetildiazepam dan oxazepam, dengan sedikit yang dapat
dimetabolisir menjadi termazepam (gambar 5-8).
Gambar 5-8
Metabolit utama pada
diazepam adalah
desmethyldiazepam dan
oxazepam.
21
ini secara klinis tidak bermakna dan kemungkinan mencerminkan penghilangan
yang cepat sebagai suatu konjugat asam glukuronat. Pada akhirnya,
desmetildiazepam diekskresi dalam urin sebagai metabolit yang berkonjugasi
dengan glukuronida. Diazepam secara tetap tidak diekskresi dalam urin.
Benzodiazepine tidak memproduksi induksi enzim.
CIMETIDIN
Cimetidin menghambat enzim mikrosomal hepar P-450 dan memperpanjang
eliminasi waktu paruh dari diazepam dan desmetildiazepam (Gambar 5-9).
Gambar 5-9
Konsentrasi plasma pada
diazepam dan metabolit
aktifnya, yaitu
desmethyldiazepam, akan
meningkat ketika parent drug
diberikan selama terapi
cimetidine.
22
bertambahnya umur, yang konsisten dengan peningkatan sensitivitas pada pasien-
pasien ini terhadap efek sedatif obat-obat tersebut (gambar 5-10).
Gambar 5-10
Eliminasi waktu paruh
diazepam meningkat
secara progresif den
meningkatnya umur.
Bertambah panjangnya waktu paruh eliminasi dari diazepam pada sirosis hati
disebabkan karena penurunan ikatan obat itu dengan protein, sehingga Vd
meningkat. Kemudian, pembersihan dalam hepar dari diazepam nampaknya
menurun, hal ini mencerminkan adanya penurunan aliran darah hepar yang khas
pada sirosis hati. Penjelasan untuk bertambah lamanya waktu paruh eliminasi dari
diazepam pada orang tua juga disertai peningkatan Vd. Kemungkinannya adalah
lemak tubuh total pada pertambahan usia menyebabkan peningkatan Vd, hal ini
disebabkan karena obat seperti diazepam kelarutannya tinggi pada lemak.
Pembersihan diazepam pada hepar tidak berubah oleh usia. Dibanding dengan
lorazepam, diazepam mempunyai waktu paruh eliminasi yang lebih lama dengan
durasi aksi yang lebih pendek karena disosiasinya lebih cepat dibanding dengan
lorazepam dari reseptor GABA, memudahkan re-dsitribusi yang lebih cepat pada
jaringan-jaringan yang tidak aktif.
Desmetildiazepam, metabolit utama dari diazepam, mempunyai waktu paruh
eliminasi 48-96 jam, sehingga melebihi ”parent-drug” nya. Sesungguhnya,
konsentrasi diazepam dalam plasma sering menurun dengan cepat dibanding
konsentrasi desmetildiazepam dalam plasma. Secara farmakologis, metabolit aktif
ini terkumpul dalam plasma dan jaringan selama penggunaaan diazepam yang
23
lama. Somnolent dikombinasi dengan dosis diazepam yang tinggi nampaknya
disebabkan oleh sekustrasi dari ”parent-drug” dan metabolitnya yang aktif dari
demetildiazepam pada jaringan, kemungkinan lemak, untuk kembali ke dalam
sirkulasi. Seminggu atau lebih diperlukan untuk eliminasi dari gabungan
(compound) dalam plasma setelah terapi kronis dengan diazepam.
VENTILASI
Diazepam menyebabkan efek depresan minimal pada ventilasi dengan
meningkatnya PaCO2 yang dapat dideteksi, yang tidak terjadi hingga pemberian 2
mg/kg IV. Peningkatan sedikit PaCO2 terutama menyebabkan terjadinya
penurunan volume tidal. Meskipun demikian, dosis kecil dari diazepam (kurang
dari 10 mg IV) , dapat menyebabkan apnea, walaupun hal ini jarang terjadi
(Braunstein, 1979). Kombinasi dari diazepam dengan depresan SSP lainnya
(opioid, alkohol) yang diberikan pada pasien dengan penyakit sumbatan jalan
nafas bisa menyebabkan bertambah beratnya atau lamanya depresi ventilasi.
Lereng garis yang menggambarkan respons ventilasi dari karbon dioksida
menurun hampir 50% dalam waktu 3 menit setelah pemberian diazepam, 0,4
mg/kg IV (gambar 5-11). Penekanan dari lereng tetap ada sekitar 25 menit dan
sejajar dengan garis kesadaran. Meskipun ada penurunan lereng, kurva karbon
dioksida tidak bergeser ke kanan seperti halnya yang diobservasi adanya depresi
ventilasi yang disebabkan oleh opioid.
24
Gambar 5-11
Lereng (lengkungan) garis
menunjukkan adanya
respon ventilasi terhadap
karbon dioksida yang
menurun (T = menit)
mengikuti pemberian
diazepam 0,4 mg/kg IV.
Efek depresif pada ventilasi nampaknya merupakan suatu efek SSP karena
mekanisasi dari pernafasan berubah. Efek depresan ventilator dari benzodiazepine
dibalik oleh stimulasi surgikal, tetapi bukan oleh naloxone.
SISTEM KARDIOVASKULAR
Diazepam yang diberikan pada dosis 0,5 hingga 1 mg/kg IV untuk induksi
anestesi secara tipikal menyebabkan sedikit penurunan tekanan darah sistemik,
output jantung, dan resistensi vaskuler sistemik yang besarnya sama dengan yang
terlihat selama tidur alami (menurun 10 hingga 20 %) (Tabel 5). Terdapat suatu
depresi ringan dari respon kecepatan jantung yang dimediasi oleh baroreseptor
yang lebih kecil dibanding dengan yang ditimbulkan oleh anestetik gas , tetapi
pada pasien hipovolemik bisa menyebabkan perubahan kompensasi yang optimal
(Marty dkk, 1986 ). Pada pasien dengan tekanan diastolik ventrikel kiri yang
tinggi, sedikit dosis diazepam bisa meningkatkan tekanan ini secara bermakna.
Nampaknya diazepam tidak mempunyai efek langsung pada sistem syaraf
simpatik dan tidak menyebabkan hipotensi orthostatik.
Insidensi dan besarnya tekanan darah sistemik yang menurun akibat diazepam
nampaknya kurang dibanding dengan berbiturat yang diberikan IV untuk induksi
anestesi. (Knapp dan Dubow, 1970). Meskipun demikian, kadang-kadang seorang
25
pasien bisa mengalami hipotensi tanpa bisa diprediksi dengan hanya sedikit dosis
diazepam (Falk dkk, 1978). Penambahan Nitrous oksida setelah induksi anestesi
dengan diazepam tidak dihubungkan dengan efek merugikan dari perubahan-
perubahan jantung (Tabel 5-2).
Oleh karena itu nitrous oksida dapat diberikan bersama dengan diazepam untuk
meyakinkan hilangnya kesadaran selama pembedahan. Ini berlawanan dengan
depresi otot jantung secara langsung dan menurunnya tekanan darah sistemik
yang terjadi bila nitrous oksida diberikan bersama dengan opioid. Pemberian
diazepam 0,125 – 0,5 mg/kg yang diikuti oleh injeksi fentanyl, 50 ug/kg IV,
dihubungkan dengan penurunan tahanan pembuluh darah sistemik dan tekanan
darah sistemik, yang tidak terjadi apabila diberi opioid saja (gambar 5-12).
26
Gambar 5-12
Pemberian awal diazepam,
0,25 mg/kg IV meningkatkan
dosis IV dari lidocaine yang
dapat menyebabkan
terjadinya kejang jika
dibandingkan dengan hewan
yang tidak diberikan obat
tersebut.
OTOT SKELETAL
Efek-efek relaksasi otot skeletal menggambarkan aksi dari diazepam pada neuron
intermuncial spinal pada neuromuscular junction. Kemungkinan diazepam
mengurangi pengaruh tegangan pada neuron gamma pada spinal, sehingga dengan
demikian tegangan otot menurun. Toleransi terjadi pada efek relaksasi otot
skeletal dari benzodiazepine.
OVERDOSIS
Intoksikasi SSP dapat terjadi pada konsentrasi diazepam plasma lebih besar dari
1,000 ng/ml. Meskipun terjadi overdosis yang massif dari diazepam, koma yang
serius nampaknya tidak terjadi apabila fungsi pulmoner mendukung dan tidak
terdapatnya obat-obatan yang lain seperti alkohol.
PENGGUNAAN KLINIS
Diazepam tetap menjadi obat oral yang popular untuk medikasi preoperatif pada
orang dewasa dan diazepam nampaknya dipilih untuk menangani delirirum dan
kejang yang ditimbulkan oleh anestesi lokal. Produksi perelaksasi otot dari
diazepam seringkali digunakan untuk penyakit diskus lumbaris dan bagi pasien
jarang bisa berkembang menjadi tetanus. Midazolam secara meluas telah
27
menggantikan diazepam untuk sedasi IV dan medikasi preoperative pada anak-
anak.
AKTIVITAS ANTIKONVULSAN
Pemberian awal dari diazepam sebesar 0,25 mg/kg pada binatang menghindari
terjadinya kejang akibat keracunan anestesi lokal. Bukti perlindungan ini adalah
dosis konvulsan yang bertambah dari lidokain pada binatang-binatang yang diberi
benzodiazepine sebelumnya (gambar 5-12). Diazepam 0,1 mg/kg IV efektif untuk
menghilangkan kejang oleh lidokain, delirium tremens dan status epileptikus.
Kemanjuran diazepam sebagai antikonvulsan mungkin mencerminkan
kemampuannya memfasilitasi neurotransmitter penghambat GABA. Kebalikan
dari barbiturat yang menghambat timbulnya kejang dari depresi nonselektifi SSP,
sifat selektif dari diazepam menghambat aktivitas dalam sistem limbik, terutama
hipokampus. Jika diazepam diberikan untuk menghentikan kejang, obat
antiepileptic yang aksinya lebih lama seperti fosphenytoin juga diberikan.
LORAZEPAM
Lorazepam mirip oxazepam, bedanya hanya pada adanya kelebihan atom khlorida
pada posisi ortho dari 5-phenyl (gambar 5-11). Lorazepam lebih sedatif dan
amnestik dibanding midazolam dan diazepam di mana efek pada ventilasi,
sistem kardiovaskular dan otot skeletal mirip dengan benzodiazepine yang lain.
FARMAKOKINETIKA
Lorazepam dikonjugasi dengan asam glukuronik untuk membentuk metabolit
yang tidak aktif secara farmakologis sebagaimana yang diekskresi oleh ginjal. Ini
berbeda dengan pembentukan metabolit yang aktif secara farmakologis dari
pemberian midazolam dan diazepam. Waktu paruh eliminasi adalah sampai 20
jam dengan ekskresi dalam urin dari lorazepam sampai >80% dari dosis injeksi
(tabel 5-1). Dibanding dengan midazolam, lorazepam mempunyai metabolik
klirens yang jauh lebih lambat. Ini bisa dijelaskan oleh glukoronidasi lorazepam
pada hepar yang lebih lambat dibanding dengan hidroksilasi oksidatif yang lebih
28
cepat dari midazolam. Karena pembentukan metabolit glukoronida dari
lorazepam tidak sepenuhnya tergantung dari enzim mikrosomal hepar,
metabolisme lorazepam terjadi kurang lancar dibanding dengan diazepam yang
dipengaruhi oleh perubahan fungsi hepar, pertambahan usia , dan obat-obatan
yang menghambat 450 enzim seperti cimetidin. Sesungguhnya, waktu paruh
eliminasi dari lorazepam tidak menjadi lama pada paien-pasien tua atau pada
pasien yang dirawat dengan cimetidin. Lorazepam mempunyai onset kerja yang
lebih lambat dibanding midazolam dan diazepam karena kelarutannya dalam
lemak yang lebih rendah dan proses masuknya ke dalam SSP yang lebih lambat.
Lorazepam mengalami absorbsi setelah pemberian oral dan injeksi IM, yang
berlawanan dengan diazepam. Setelah pemberian oral, konsentrasi maksimal
dalam plasma dari lorazepam terjadi dalam waktu 2-4 jam dan tetap berada pada
efek terapeutik sampai dengan 24 hingga 48 jam. Dosis yang direkomendasikan
untuk pemberian oral lorazepam untuk medikasi preoperatif adalah 50 ug/kg,
tidak melebihi 4 mg. dengan dosis ini amnesia anterograde maksimal berlangsung
sampai 6 jam, dan sedasi tidak berlebihan. Dosis oral yang lebih besar
menyebabkan sedasi tambahan tanpa menambah amnesia. Durasi yang diperlama
dari aksi lorazepam membatasi kegunaannya untuk medikasi preoperatif apabila
pemulihan yang cepat diinginkan pada akhir pembedahan.
Setelah dosis tunggal IV (1 hingga 4 mg) efek awalnya terjadi dalam waktu 1-2
menit dengan suatu efek puncak pada 20-30 menit, dan efek sedasi berkisar
antara 6 – 10 jam (Greenblau dkk, 1989). Infus dari lorazepam menghasilkan
bangun dari sedasi segera pada pasca-operasi menjadi terhambat secara signifikan
dibanding dengan midazolam. Obesitas memperlama efek sedasi dari lorazepam
yang menggambarkan volume distribusi yang lebih besar dan waktu paruh yang
lebih lama.
Onset yang lambat membatasi kegunaan dari lorazepam untuk (a) induksi anestesi
(b) sedasi IV selama anestesi regional (c) penggunaannya sebagai antikonvulsan.
Seperti diazepam, lorazepam efektif dalam membatasi terjadinya reaksi segera
setelah pemberian ketamin. Meskipun ini tidak larut dalam air sehingga
memerlukan penggunaan pelarut seperti polythelene glycol atau propylene glycol,
29
lorazepam tidak memberikan rasa sakit waktu injeksi dan menghasilkan
thrombosis intravenous dibandingkan diazepam.
Lorazepam bisa digunakan sebagai alternatif yang ekonomis dibanding dengan
midazolam untuk sedasi pasca operasi pada pasien yang diintubasi. Resiko dari
bangun lambat dari sedasi bertambah bila lorazepam digunakan untuk sedasi
pasca operasi dan efek amnestinya bisa berlangsung beberapa hari. Bangun
lambat dari sedasi bisa menghambat penyapihan dari ventilasi mekanik.
OXAZEPAM
Oxazepam, metabolit yang aktif secara farmakologis dari diazepam, bisa
diperoleh secara komersial ( gambar 5-9). Durasi kerjanya sedikit lebih pendek
dibanding diazepam karena oxazepam diubah menjadi metabolit yang tidak aktif
dengan cara konjugasi dengan asam glukuronat. Waktu paruh eliminasi adalah 5-
15 jam. Seperti diazepam, durasi aksi dari oxazepam nampaknya tidak
dipengaruhi oleh disfungsi hepar atau pemberian cimetidin.
Absorbsi oral dari oxazepam relatif lambat. Sebagai akibatnya, obat ini tidak
berguna dalam perawatan insomnia yang ditandai dengan kesulitan tidur.
Sebaliknya, oxazepam bisa digunakan untuk perawatan insomnia yang ditandai
oleh bangun di malam hari atau tidur total yang pendek.
ALPRAZOLAM
Alprazolam mempunyai efek mengurangi kecemasan secara signifikan pada
pasien dengan serangan kecemasan primer dan panik. Berdasar pada efek ini,
alprazolam bisa digunakan sebagai pengganti midazolam untuk medikasi
preoperatif. (Witte dkk, 2002). Penghambatan hormon adrenokortikotropik dan
sekresi kortisol lebih menonjol dengan aprazolam dibanding dengan
benzodiazepine.
CLONAZEPAM
Clonazepam adalah benzodiazepine yang sangat larut dalam lemak yang
diabsorbsi dengan baik setelah pemberian oral. Clonazepam dimetabolisir
30
menjadi konjugat yang tidak aktif dan metabolit yang tidak dikonjugasi yang
muncil dalam urin. Waktu paruh eliminasi adalah 24 -48 jam. Clonazepam
terutama efektif dalam mengontrol dan mencegah kejang, terutama spasme otot
pada anak-anak.
FLURAZEPAM
Flurazepam secara kimiawi dan farmakologis mirip dengan benzodiazepine
lainnya tetapi secara khusus untuk merawat insomnia (gambar 5-1). Setelah
pemberian 15-30 mg, efek hipnotik terjadi dalam waktu 15 - 25 menit dan
berlangsung selama 7 hingga 8 jam. Periode pergerakan mata cepat waktu tidur
menurun akibat obat ini. Metabolit utama dari flurazepam adalah
desalkylflurazepam. Metabolit ini secara farmakologis aktif dan mempunyai
waktu paruh eliminasi yang lama yang terjadi pada sedasi siang hari
(ketergantungan). Selanjutnya, dosis berulang dari flurazepam bisa menyebabkan
akumulasi dari metabolit ini sehingga menyebabkan sedasi kumulatif. Pasien-
pasien manula mudah terkena efek merugikan dari flurazepam dan
benzodiazepine lainnya dengan waktu paruh eliminasi yang panjang.
TEMAZEPAM
Temazepam adalah benzodiazepine aktif yang diberikan secara oral (gambar 5-1
dan 5-3). Absorbsi oralnya lengkap, tetapi konsentrasi puncak dalam plasma tidak
dapat dipercaya terjadi sekitar 2,5 jam setelah pemberiannya. Metabolisme
dalam hati menyebabkan metabolit yang kurang aktif menjadi tidak aktif akibat
konjugasi dengan asam glukuronat. Paruh waktu eliminasi glukuronat sekitar 15
jam. Temazepam secara oral 15 – 30 mg tidak merubah proporsi gerakan mata
cepat waktu tidur menjadi tidur total pada dewasa. Meskipun waktu paruh
eliminasi yang relatif lama dari temazepam sehingga dipakai untuk merawat
insomnia, tetapi tidak diikuti oleh rasa kantuk pada waktu pagi berikutnya..
Tolerasi tanda-tanda withdrawal (kemunduran ) tidak terjadi, bahkan setelah
pemberian malam hari selama 30 hari berturut-turut.
31
TRIAZOLAM
Triazolam merupakan jenis dari benzodiazepine yang diserap secara oral yang
efektif menangani insomnia (gambar 5-1). Puncak konsentrasi plasma setelah
pemberian oral 0,25 hingga 0,50 mg pada orang dewasa terjadi sekitar 1 jam.
Eliminasi waktu paruh adalah sekitar 1,7 jam, sehingga traizolam disebut salah
satu jenis benzodiazepine yang berjangka waktu pendek. Dua metabolit utama
dari triazolam memiliki sedikit jika ada, aktivitas hipnotik; dan waktu paruhnya
kurang dari 4 jam. Untuk alasan inilah, efek residual atau efek sedasi dengan dosis
yang berulang dari Triazolam tampaknya kurang jika dibandingkan dengan jenis
benzodiazepine lainnya.
Triazolam tidak dapat merubah proporsi dari gerakan cepat pada mata menjadi
tidur total. Insomnia yang berulang, bagaimanapun juga dapat terjadi ketika obat
ini dihentikan. Amnesia anterograde terjadi ketika obat ini dikonsumsi secara
bebas dengan alasan agar dapat tidur dalam perjalanan pesawat ke berbagai zona
waktu. (Morris dan Estes, 1987). Pada pasien yang sehat, triazolam menyebabkan
sedasi yang lebih hebat atau penurunan psikomotorik dibandingkan pasien yang
muda (Greenblatt dkk, 1991). Efek ini terjadi akibat terjadinya penurunan klirens
dan konsentrasi plasma yang lebih tinggi dibandingkan dari peningkatan
sensitivitas terhadap obat. Untuk alasan inilah, direkomendasikan bahwa dosis
triazolam dikurangi 50% pada pasien manula.
FLUMAZENIL
Flumazenil, sebuah derivat 1,4-
imidazobenzodiazepine,merupakan antagonis
benzodiazepine yang spesifik dan eksklusif dengan
afinitas yang tinggi terhadap reseptor benzodiazepine,
dimana dapat menyebabkan aktivitas agonist yang
minimal (gambar 5-13) (Brogden dan Goa, 1991;
Ghoneim dkk, 1993).
32
juga merupakan antagonis secara efektif komponen Benzodiazepine yang
menyebabkan terjadinya depresi napas yang muncul selama pemberian kombinasi
benzodiazepine dengan opioid (Gross dkk, 1996). Flumazenil dimetabolisme oleh
enzim mikrosomal hepatik untuk menginaktifkan metabolit.
EFEK SAMPING
Antagonis terhadap benzodizepine yang berlebihan yang diinduksi oleh
flumazenil tidak diikuti oleh anxietas akut, hipertensi, takikardi, atau bukti
33
neuroendokrin lainnya pada studi terhadap respon pasien-pasien perioperatif
(White dkk, 1990; Kaukinen dkk, 1990). Efek agonis Benzodiazepine yang
reversal dengan flumaazenil tidak berhubungan dengan perubahan fungsi sistolik
ventrikular kiri atau hemodinamik koroner pada pasien dengan penyakit arteri
koroner (Marty dkk, 1990). Aktivitas agonis intrinsik flumazenil yang lemah
sering menyebabkan terjadinya efek agonis reversal yang tiba-tiba. Flumazenil
tidak merubah dosis anestesi pada anestetik hirup, mengindikasikan bahwa obat-
obat ini tidak menggunakan efek depresan pada SSP yang ditimbulkan oleh
reseptor benzodiazepine (Schwieger dkk, 1989). Flumazenil dapat diberikan
sekitar 10 kali lebih besar dibandingkan dosis yang direkomendasikan, tidak
memberikan efek agonis pada ventilasi resting atau performa psikomotorik pada
manusia normal (Foster dkk, 1993).
HIPNOSEDATIF SHORT-ACTING
Zaleplon, zolpidem, dan zopiclone mirip dengan benzodiazepine dalam hal
aktivitasnya terhadap reseptor GABA (gambar 5-14) (Drover, 2004).
Obat-obatan ini sepertinya memiliki lebih banyak isoelektif untuk berbagai
subunit reseptor GABA, sehingga menghasilkan profil klinis dalam hal
penanganan terhadap gangguan tidur yang lebih manjur dengan efek samping
yang lebih sedikit dibandingkan Benzodiazepines. Sehubungan dengan variasi
dalam hal ikatan terhadap subunit reseptor GABA, ketiga obat ini menunjukkan
efek yang berbeda-beda dalam tingkatan tidur. Zaleplon (10 mg oral) memiliki
efek eliminasi yang cepat sehingga terdapat beberapa efek samping residual
setelah mengkonsumsi dosis tunggal pada waktu tidur. Sebagai perbandingannya,
zolpidem (10 mg oral) dan zopiclone (7,5 mg oral) memiliki waktu eliminasi yang
lebih lama , sehingga terdapat efek obat yang lebih lama.
34
Hal ini dapat menghasilkan sedasi
residual dan efek samping, tetapi
dapat digunakan untuk mendukung
penanganan insomnia dengan
kurangnya saat terbangun pada
malam hari. Sebaliknya, zaleplon
lebih baik digunakan pada pasien-
pasien yang mengalami waktu
awal tidur yang terlambat (susah
tidur).
35