You are on page 1of 32

Critical Book Review

Teori dan Permasalahan Belajar


Pendidikan Dasar

Skor Nilai :

Authentic Problem Solving And Learning on the 21st


Century
(Young Hoan Cho, Imelda S. Caleon Manu Kapur. 2015)

Nama : HAMDANI
NIM : 8176181007
Dosen Pengampu : Dr. Aman Simaremare, Ms.,S.Psi
Mata Kuliah : Teori dan Permasalahan Belajar Pendidikan Dasar

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN DASAR
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2017/2018

i
EXCECUTIVE SUMMARY

Didalam buku yang saya analisis berjudul Authentic Problem Solving And Learning on the 21st
Century oleh Young Hoan Cho, Imelda S. Caleon Manu Kapur selalu memberikan kesan yang
menarik. Topik ini memberikan daya tarik yang kuat pada setiap orang, literatur-literatur tentang
Teori Pembelajaran senantiasa memberikan penjelasan bagaimana Teori Belajar dijelaskan dan
dengan penguatan para ahli dan contohnya, sikap dan gaya belajar yang sesuai dengan situasi abad
ke 21 dan langkah-langkah pembelajaran yang baik. Buku ini juga bertujuan untuk memberikan
uraian mengenai hal-hal yang baik tentang teori-teori belajar abad ke 21.

Suatu sekolah akan berhasil atau bahkan gagal sebagian besar ditentukan oleh seorang gurunya.
Ada yang mengungkapkan bahwa gurulah yang bertanggung jawab atas kegagalan pelaksanaan
suatu pembelajaran, merupakan ungkapan uang mendudukkan posisi guru dalam suatu kesatuan
pendidikan pada posisi yang terpenting.

Guru digambarkan sebagai pengayom dan setiap pendidiknya akan ditanyakan tentang perilaku
pendidikannya. Ungkapan ini membuktikan bahwa seorang guru apapun wujudnya , dimana pun
letaknya akan selalu mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan tentang profesinya. Guru
kadangkala diartikan sebagai pelaksanaan otoritas dan pembuat keputusan. Ada juga yang
mengartikan sebagai suatu inisiatif untuk bertindak menghasilkan suatu pola yang konsisten dalam
rangka mencari jalan keluar dari suatu permasalahan pembelajaran.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang MahaEsa yang telah senantiasa memberkati dalam
menyelesaikan Critical Book Report (CBR), adapun tugas ini dikerjakan untuk memenuhi mata
kuliah Authentic Problem Solving And Learning on the 21st Century. Saya telah menyusun CBR
ini dengan sebaik-baiknya tetapi mungkin masih ada kekurangan-kekurangan untuk mencapai
kesempurnaan. Saya selaku penulis menerima berbagai kritik yang sifatnya membangun agar CBR
ini menjadi lebih baik lagi.
Selanjutnya, saya berharap semoga CBR ini bisa memberikan manfaat serta menambah
wawasan bagi para pembaca. Semoga CBR ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kata-kata yang kurang berkenan.

Medan, 26 Februari 2018

HAMDANI

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN
EXCECUTIVE SUMMARY ......................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Tujuan Penulisan CBR ........................................................... 2
C. Manfaat CBR.......................................................................... 2
D. Identitas Buku yang direview ............................................... 2
BAB II RINGKASAN ISI BUKU ............................................................ 4
BAB III Model Desain untuk Pembelajaran Berbasis Masalah .... 4
Mengapa PBL? ....................................................................... 4
Masalah PBL .......................................................................... 6
Karakteristik Masalah............................................................. 10
Merumuskan Masalah PBL .................................................... 13
Mempelajari Kebutuhan Belajar ..................................... 14
Menentukan Konten ........................................................ 15
Memilih Konteks ............................................................. 15
Masalah Sintesis .............................................................. 17
Mengevaluasi Masalah ........................................................... 18
BAB III PEMBAHASAN/ANALISI ......................................................... 19
A. Pembahasan Isi Buku ............................................................. 19
B. Kelebihan dan Kekurangan Buku .......................................... 20
BAB IV PENUTUP .................................................................................... 22
A. Kesimpulan............................................................................. 22
B. Rekomendasi .......................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 24
Lampiran ....................................................................................................... 25

iv
BAB I
PENAHULUAN
A. Latar Belakang

Ilmu merupakan kumpulan berbagai pengetahuan yang disusun secara sistematis,


universal yang diperoleh melalui kegiatan ilmiah. Kegiatan ilmiah adalah salah satu cara
pengembangan ilmu pengetahuan. Buku merupakan salah satu hasil petualangan atau hasil
pikir seorang ilmuan setelah melalui beberapa tahap, sebuah karya yang tercipta akan
dijadikan sumber belajar oleh orang-orang yang memposisikan dirinya sebagai penuntut
ilmu. Tidak sampai pada tahap ini, buku yang telah tercipta harus dikaji lagi melalui
kegiatan ilmiah lanjuan yang nantinya akan melahirkan teori dan ilmu baru tanpa
menghilangkan displin ilmu yang ada pada saat ini.

Untuk menjawab semua masalah masyarakat saat ini harus dikaji menurut teori dan
diselesaikan dengan ilmu pengetahuan. Sebagai masyarakat yang berkecimpung dalam
dunia pendidikan, sudah menjadi tugas dan tanggungjawab kita membantu khalayak umum
untuk menyelesaikan semua masalah yang ada dengan memanfaatkan sumber daya dan
ilmu yang berkembang pada saat ini.

Oleh karena itu kegiatan kritik buku ini diharapkan memberikan tambahan
pengetahuan atau wawasan kepada orang yang mengritik dan para penuntut ilmu lain.
Sehingga menambah motivasi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena sejatinya
ilmu pengetahuan akan mengalami perkembangan sepanjang masa. Bukan semata-mata
memberikan penilaian salah atau benar akan tetapi sebagai media untuk kita memahami
teori yang disampaikan dan mengembangkan teori yang ada.

1
B. Tujuan Penulisan CBR
Adapun tujuan dari Critical Book Report adalah :
1. Agar kita bisa belajar dan memahami serta menganalisis baik dan buruknya dari
isi buku tersebut. Menambah wawasan
2. Agar kita bisa belajar berfikir kritis untuk mengemukakan pendapat kita mengenai
isi buku tersebut.
3. Agar kita bisa memilih dan mengetahui mana buku yang menurut kita mudah
dimengerti gaya bahasanya, mudah dipahami, memilih topik atau pokok pembahsan
yang baik dan dan mudah dicerna.
4. Agar kita dapat megambil maanfaat yaitu sisi positif dari buku tersebut. Dan lain lain.

C. Manfaat CBR

Manfaat yang dapat kita simpulkan pada hal diatas ialah:


a) Menambah wawasan pengetahuan tentang pengertian Teori Belajar dan permasalahan
belajar, ciri-ciri Teori Belajar, teori-teori Belajar dan lainnya.
b) Mempermudah pembaca mendapatkan inti dari sebuah buku yang telah di lengkapi dengan
ringkasan buku , pembahasan isi buku, serta kekurangan dan kelebihan buku tersebut.
c) Melatih siswa merumuskan serta mengambil kesimpulan-kesimpulan atas buku-buku yang
dianalisis tersebut

D. Identitas Buku yang direview

1. Buku Utama ( Buku Satu )

Judul Buku : Authentic Problem Solving


And Learning on the 21st
Century
Pengarang : Young Hoan Cho,
Imelda S. Caleon

2
Manu Kapur
Penerbit : Spinger Singapore Heidelberg
New York Dordrecht London
Tahun Terbit : 2015
ISSN : 2211-4874, 2211-4882
ISBN : 978-981-287-520-4
978-981-287-521-1 (eBook)
Tebal Buku : xi + 368

2. Buku Pembanding ( Buku Dua )

Judul Buku : Stategi Pembelajaran


Berorientasi Standar
Proses Pendidikan
Pengarang : Prof. Dr. H. Wina Sanjaya, M.Pd
Penerbit : Kencana Prenada Media
Tahun Terbit : 2011
ISBN : 979-3925-73-6
Tebal Buku : xvi + 294 halaman

3
BAB II
RINGKASAN BUKU

A. Pembahasan Isi Buku

BAB III
Model Desain untuk Pembelajaran Berbasis Masalah
Nachamma Sockalingam
Abstrak : Prinsip terdokumentasi dari pembelajaran berbasis masalah (PBL) adalah bahwa
memecahkan masalah yang tidak terstruktur, dunia nyata dan otentik memotivasi siswa untuk
terlibat dalam proses belajar, yang mengarah ke pembelajaran yang lebih dalam dan bermakna. .
Oleh karena itu, merancang masalah sangat penting untuk berhasil menerapkan PBL. Bab ini
memperkenalkan pembaca teori dan studi empiris untuk merancang masalah PBL dan memberikan
pendekatan praktis untuk merancang masalah dunia nyata. Pembaca juga bisa melihat bagaimana
mereka bisa mengevaluasi keefektifan masalah. Secara keseluruhan, bab ini akan membantu
pembaca merancang dan mengevaluasi masalah dunia nyata untuk PBL.

Mengapa PBL?

Pertumbuhan teknologi yang pesat, meningkatnya globalisasi dan dorongan terus menuju ekonomi
berbasis pengetahuan menuntut keterampilan baru dari para siswa saat ini (Griffin et al 2012).
Tidak lagi cukup bagi siswa untuk berprestasi hanya dalam pengetahuan dan keterampilan konten.
Menurut Kajian Pengkajian dan Pengajaran Kekaisaran Abad 21 (ATC2is), siswa perlu
mengembangkan keterampilan baru, yang dikenal dengan keahlian abad kedua puluh satu, untuk
berhasil dalam masyarakat global yang cepat berubah (Binkley et al., 2010). Keterampilan ini
mencakup: (1) cara berpikir (penasaran, kritis dan analitis), (2) cara bekerja (bekerja secara
independen dan kolaboratif), (3) cara menggunakan alat teknologi dan (4) keterampilan hidup
untuk hidup di dunia (Binkley dkk., 2010)

Sementara pengajaran tradisional memastikan cakupan kurikulum dan penguasaan konten, ia tidak
cukup mempersiapkan siswa untuk pendidikan tinggi dan angkatan kerja (Saavedra dan Opfer
2012). Beberapa temuan penelitian global mengungkapkan adanya kesenjangan antara apa yang

4
diajarkan di sekolah dan apa yang diharapkan sebagai keterampilan kerja, terutama teknis (aplikasi
kehidupan nyata) dan aspek nonkognitif (misal: kerja tim, komunikasi, pemecahan masalah dan
pemikiran kritis) (Jayaram 2012). Apa yang dibutuhkan siswa saat ini bukan sekadar perolehan
informasi tetapi kemampuan untuk mengakses dan menganalisis informasi agar dapat diterapkan
dalam konteks dunia nyata (Griffin et al 2012).

Untuk mempersiapkan siswa bagi dunia sekarang ini, kita tidak bisa terus melanjutkan metode
pengajaran yang telah berlalu; perlu ada pergeseran paradigma dalam berbagai aspek sistem
pendukung edukasi kita seperti (1) kurikulum dan pengajaran, (2) standar, (3) lingkungan belajar,
(4) penilaian dan (5) pengembangan profesional pendidikan ( Binkley dkk., 2010). Untuk tujuan
ini, institusi pendidikan sekarang merangkul lebih banyak metode pembelajaran instruksional dan
instruksional yang otentik, seperti pembelajaran problem-, project-and case-based (Weimer 2013).
Instruksi otentik mengacu pada pengajaran yang mendorong siswa untuk belajar melampaui buku
teks dan sekolah dan menjauh dari sekadar perolehan pengetahuan faktual terhadap penerapan
pengetahuan dalam konteks kehidupan nyata. Instruksi otentik menampilkan konteks kehidupan
nyata yang terstruktur untuk melibatkan siswa dalam proses penyelidikan, yang mengharuskan
mereka untuk memahami dan membangun pengetahuan baru yang dapat mereka terapkan dalam
teks konferensi semacam itu. Dengan demikian, siswa cenderung mengenali nilai mengapa mereka
mempelajari apa yang mereka pelajari (Lombardi 2007: Newmann et al 1996). Akibatnya, instruksi
otentik dianggap sebagai cara yang efektif untuk melibatkan siswa dalam pembelajaran aktif dan
dalam (Newmann et al 1996).

Salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam pengajaran otentik adalah pembelajaran
berbasis masalah (PBL). Saat ini, PBL digunakan di berbagai tingkat pendidikan, mulai dari
pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, dan di berbagai jenis sekolah. Hal ini juga diterapkan
di berbagai bidang konten seperti Bahasa, Sastra, Matematika, Geografi, Sejarah, Sains dan disiplin
profesional seperti Kedokteran, Teknik, Akuntansi dan Hukum (Boud dan Feletti 1991; Hung et al
2008, Kim et al 2006, Torp dan Sage 2002)

Penggunaan PBL yang meluas ini dapat dianggap sebagai dampak positifnya terhadap
pembelajaran siswa. Kenyataannya, banyak peneliti telah menetapkan bahwa PBL setara dengan

5
pengajaran tradisional dalam hal mempromosikan prestasi dalam penilaian konvensional (Colliver
2000; Newman 2003). Studi juga menunjukkan bahwa PBL lebih efektif daripada pengajaran
tradisional dalam memfasilitasi keterampilan memecahkan masalah dan pembelajaran mandiri
(Stroh and van Barneveld 2009; Walker and Leary 2009) Namun, Hung (2011) memperingatkan
bahwa adaptasi PBLdoes tidak secara otomatis meningkatkan keberhasilan belajar. PBL tergantung
pada implementasinya yang efektif. Dia dan rekan-rekannya mengemukakan bahwa "mungkin
pertanyaan penelitian yang paling penting (dalam PBL) adalah untuk mengatasi sifat masalah yang
dapat diterima PBL (Hung et al 2008).

Bab ini mencoba untuk mengatasi masalah ini dengan memberikan panduan praktis untuk
merancang dan mengevaluasi masalah PBL, dengan fokus khusus pada dukungan guru sekolah
menengah dan sekolah primer. Bagian pertama dari bab ini adalah pengantar dan menjelaskan
masalah apa dan mengapa hal itu penting. Bagian kedua memberikan gambaran umum tentang
literatur terkini mengenai karakteristik masalah dan mengusulkan kerangka tiga dimensi dari
karakterisasi masalah. Bagian terakhir menjelaskan pendekatan sistematis untuk merumuskan
masalah PBL berdasarkan tiga dimensi masalah. Secara keseluruhan, bab ini menyajikan
pendekatan yang relatif baru untuk merancang masalah dunia nyata.

Masalah PBL
"Masalah" adalah bahan ajar mendasar yang memulai dan mengarahkan proses belajar siswa di
PBL Menurut Hmelo-Silver (2004), masalah PBL cenderung menjadi masalah kompleks yang
dapat ditangani dengan berbagai cara. Untuk mengatasi masalah seperti itu, siswa bekerja dalam
kelompok kolaboratif kecil, dipandu oleh tutor Siswa biasanya mengikuti serangkaian langkah,
seperti yang ditentukan dalam model tujuh langkah Maastricht dari proses PBL (Schmidt 1983), di
mana mereka (1 ) menjelaskan konsep, (2) mendefinisikan masalah, (3) menganalisis masalah, (4)
mengemukakan hipotesis, (5) mengidentifikasi tujuan pembelajaran, (6) menemukan informasi dan
(7) melaporkan dan menguji informasi yang baru ditemukan. Peran tutor adalah untuk
memfasilitasi proses belajar siswa dengan berbagai cara seperti merangsang diskusi antar anggota
tim, mengangkat pertanyaan yang merangsang pemikiran, mendorong kerja kolaboratif dan
memberikan umpan balik pada kasus yang sesuai kepada siswa (Das et al 2002: Maudsley 1999 ).
Hal ini berbeda dengan pengajaran tradisional dimana guru mengirimkan materi konten secara

6
langsung kepada siswa mereka. Perubahan peran tutor semacam itu mengharuskan siswa PBL
untuk secara aktif mencari informasi dan mensintesis pemahaman mereka sendiri, yang diarahkan
oleh masalah yang diberikan. Belajar di PBL dengan demikian memberi penekanan lebih besar
pada bahan ajar (masalah) daripada pengajaran tradisional.

Secara keseluruhan, tujuan dari sebuah masalah adalah melibatkan siswa dalam pemecahan
masalah, mengobarkan kembali pengetahuan sebelumnya, diskusi percikan, mendorong kerja
kolaboratif, mempromosikan keterampilan belajar mandiri dan menghasilkan perolehan
pengetahuan konten yang relevan (Hmelo Silver 2004). Saat masalah memulai proses
pembelajaran di PBL, mereka kadang-kadang dikenal sebagai "pemicu". Mereka juga dikenal
sebagai "kasus" atau "skenario" dalam literatur PBL (Hmelo-Silver 2004). Seringkali, masalah
disusun dan dipresentasikan kepada siswa dalam format tekstual. Dalam beberapa kasus, masalah
menggunakan alat bantu visual atau multimedia seperti video atau simulasi komputer. Kotak 3.1
menunjukkan contoh masalah dari Republic Polytechnic, Singapura. Masalah ini diambil dari
modul inti Proses Kognitif dan Problem Solving Skills. Dilema umum untuk guru adalah
membedakan masalah PBL dari pertanyaan langsung. Misalnya, masalah PBL di Kotak 3.1 dapat
dianggap sama dengan pertanyaan langsung ini: "Apa artinya menerima pendidikan, dan apa yang
membuat seseorang dididik?" Perbedaan yang jelas adalah bahwa yang pertama menyajikan
konteks yang otentik, sementara yang terakhir tidak. Dalam masalah yang diberikan, contoh teori
pengkondisian klasik dipaparkan terlebih dahulu. Hal ini kemudian dibandingkan dengan pincang
yang merupakan respons terhadap cedera, dan sebuah titik muncul mengenai mengapa hal ini
mungkin tidak dianggap sebagai pembelajaran. Akhirnya, konsep pembelajaran digunakan untuk
menarik perhatian siswa terhadap konsep pendidikan dan "dididik", dan siswa ditugaskan untuk
menjelaskan kurangnya konteks otentik dalam pertanyaan langsung yang berarti bahwa siswa
mungkin tidak benar-benar memahami relevansi dan signifikansi dari apa yang mereka pelajari.

Siswa juga cenderung menjawab pertanyaan langsung dengan cara yang lebih faktual yang
berfokus pada jawaban atas pertanyaan, proses kerja yang menghadap tanggapan dan dengan
demikian menghilangkan kemungkinan pembelajaran tambahan. Dengan demikian,
ketidakpercayaan secara langsung dengan pertanyaan langsung adalah bahwa hal itu mungkin tidak
membantu siswa untuk menyadari tujuan belajar yang terkait dengan pertanyaan tersebut.

7
Kotak 3.1: Contoh Masalah PBL dari Proses Kognitif dan Pemecahan Masalah Modul.
Pendidikan, Apa Artinya?
Ivan Pavlov adalah seorang ahli biologi Rusia yang menerima Hadiah Nobel pada tahun
1904 untuk Kedokteran. Dia menemukan selama sebuah penelitian bahwa setiap kali bel
berbunyi saat seekor anjing diberi makanan, anjing tersebut akan mengeluarkan air liur.
Akhirnya, anjing itu akan mengeluarkan air liur bahkan saat bel berbunyi tanpa makanan.
Psikolog yang telah mendefinisikan pembelajaran sebagai penyebab "perubahan perilaku"
menyimpulkan bahwa anjing telah mempelajari sesuatu yang tidak dapat dilakukan
sebelumnya. Kejadian "belajar" pada anjing ini telah menjadi contoh terkenal
"pengkondisian klasik" dalam teori belajar yang disebut.
Skeptis mengkritik bahwa jika kita menghubungkan pembelajaran dengan perubahan
perilaku dan kemudian jika seseorang menderita cedera kaki dan mulai lemas, akan dapat
diterima untuk mengatakan bahwa orang yang terluka telah belajar untuk lemas.
Cukup jelas, ada banyak kebingungan tentang belajar. Namun, pertanyaan yang lebih
penting bagi individu, masyarakat dan pembayar pajak adalah tentang pendidikan daripada
belajar. Beberapa orang percaya bahwa belajar adalah sama dalam menerima pendidikan,
namun banyak yang tidak mau mempertimbangkan bahwa anjing Pavlov terdidik untuk
mengeluarkan air liur atau seseorang terdidik untuk pingsan mengikuti sebuah luka.
Apa yang bisa diartikan dengan ungkapan "menerima pendidikan"? Apa yang membuat
seseorang "terdidik"?

Tujuan dari masalah PBL adalah lebih dari sekedar membuat siswa memberikan jawaban faktual
atas pertanyaan. Ini membimbing siswa dalam pencarian informasi atau perumusan jawabannya
dengan memberikan kata kunci seperti "teori pembelajaran" dan petunjuk seperti pembelajaran
kontras dengan pendidikan dalam contoh yang diberikan. Hal ini dirancang untuk menarik minat
siswa dengan menyoroti kontradiksi mengenai apa yang dianggap sebagai pembelajaran. "Hal ini
kemungkinan akan melibatkan siswa dalam diskusi, juga membantu siswa menilai penerapan
kontekstual dari apa yang sedang dipelajari. Masalah mungkin lebih efektif daripada pertanyaan
langsung dalam mendorong sludents untuk terlibat dalam pembelajaran mandiri, kolaboratif dan
rellective. Memecahkan masalah otentik yang diharapkan dapat mempersiapkan siswa lebih baik
untuk dunia nyata, mendorong pembelajaran yang lebih dalam, berkontribusi pada perolehan

8
pengetahuan dan memberi kesempatan untuk belajar memecahkan masalah serta "belajar belajar"
keterampilan (Errington 2011). Selanjutnya, memungkinkan pembelajaran kontekstual (Schmidt
1983), yang menghasilkan pembelajaran yang berarti (Brown et al 1989).

Sejumlah besar bukti mendukung anggapan bahwa masalah otentik memainkan peran penting
dalam PBL. Schmidt dan Gijselaers (1990) dan Van Berkel dan Schmidt (2000) melaporkan bahwa
kualitas masalah memainkan peran penting dalam memberikan kontribusi pada proses
pembelajaran dan hasil daripada pengetahuan terdahulu dan peran tutor siswa. Rotgans dan
Schmidt (2011) menemukan bahwa minat situasional siswa meningkat secara signifikan pada awal
penyajian suatu masalah. Menurut Soppe, Schmidt dan Bruysten (2005) dan Sockalingam dan
Schmidt (2013), minat ini berkelanjutan selama proses pembelajaran dengan penggunaan masalah
yang sesuai. Misalnya, mereka menemukan bahwa masalah yang familiar menarik minat siswa dan
berkontribusi pada peningkatan pembelajaran daripada masalah yang tidak biasa. Sim et
melaporkan bahwa masalah bebas tujuan mendorong siswa untuk menghabiskan lebih banyak
waktu dalam belajar daripada masalah yang ditentukan oleh tujuan.

Pada saat yang sama, penelitian lain mengungkapkan bahwa masalah samar yang terlalu umum
dapat menyebabkan siswa keluar jalur dan menghabiskan banyak waktu untuk meneliti konten
yang tidak bermakna (Dolmans et al 1994: Hung et al., 2008: van den Hurk dkk 1999). Meskipun
diinginkan agar siswa lebih mandiri dan menghabiskan banyak waktu dan usaha untuk menjelaskan
berbagai informasi, penting bagi mereka untuk melakukan tindakan yang disengaja. Laporan di
atas memberikan bukti kuat bahwa kualitas masalah memang penting dalam PBL. Mereka
menyarankan bahwa (1) masalah yang dirancang dengan baik dapat melibatkan dan menghasilkan
pembelajaran yang lebih baik, 2) Masalah yang tidak begitu dirancang dengan baik dapat
merugikan pembelajaran siswa dan (3) adalah mungkin untuk merancang masalah yang dirancang
dengan baik. Dengan adanya premis ini, dapat disimpulkan bahwa mengidentifikasi karakteristik
masalah dapat membantu dalam merancang masalah. Dengan demikian, upaya awal dalam
memberikan panduan untuk merancang masalah berfokus pada identifikasi karakteristik masalah
yang dirancang dengan baik (Des Marchais 1999. Dolmans et al, 1997).

9
Karakteristik Masalah
Guru yang diperkenalkan dengan PBL diharapkan dapat merancang masalah secara intuitif.
Mereka biasanya melakukannya sendiri dengan bantuan panduan yang mencakup prinsip atau
karakteristik yang terkait dengan desain masalah, bersama dengan kompilasi contoh. Des Marchais
(1999) mengembangkan satu panduan yang umum digunakan. Dia mengusulkan agar masalah
yang digunakan dalam disiplin medis harus merangsang pemikiran, analisis dan penalaran,
memulai pembelajaran mandiri, berhubungan dengan pengetahuan dasar, diatur dalam konteks
yang realistis, mengarah pada penemuan tujuan pembelajaran, membangkitkan keingintahuan dan
minat, berada pada topik yang terkait. untuk kesehatan masyarakat, termasuk perspektif global dan
berisi kosakata analitis medis yang tepat. Tujuh prinsip yang disarankan oleh Dolmans dan rekan
(1997) menyatakan bahwa masalah harus mensimulasikan kehidupan nyata, sehingga
menghasilkan elaborasi mendorong integrasi pengetahuan, mendorong pembelajaran mandiri,
sesuai dengan pengetahuan awal siswa, minat siswa, mencapai tingkat yang memadai. dalam hal
kompleksitas dan terstruktur dan mencerminkan tujuan fakultas.

Meskipun pedoman ini relevan, mungkin sulit untuk menerapkannya dalam proses perumusan
masalah yang sebenarnya. Menyediakan daftar karakteristik masalah dan meminta untuk menunda
masalah sebanding dengan memberikan daftar kualitas kue yang diharapkan. (seperti kue harus
lembut, berwarna coklat, enak) dan meminta seseorang untuk membuat kue seperti itu. Demikian
pula, sulit bagi guru untuk mengkonseptualisasikan bagaimana merancang masalah hanya dengan
daftar karakteristik. Yang sepertinya hilang adalah elemen kunci dan prosedur bagaimana
merancang sebuah masalah.

Untuk membantu guru dalam mengkonseptualisasikan masalah, Hung (2006) mengajukan


kerangka konseptual yang disebut model "3C3R". Dalam model ini, "C" mengacu pada tiga
komponen inti, dan " R "mengacu pada tiga komponen proses dari suatu masalah. Komponen inti"
isi "," konteks "dan" koneksi "mencerminkan konten siswa dan pembelajaran konseptual. Di sisi
lain, komponen proses -" meneliti "," penalaran " dan "mencerminkan" - mewakili proses kognitif
dan keterampilan pemecahan masalah siswa.

10
Sockalingam dan Schmidt (2011) juga mengusulkan model serupa di mana mereka
mengkategorikan sebelas karakteristik masalah sebagai karakteristik "fitur" atau "fungsi". Seperti
kerangka konseptual Hung, iniModel berasal dari data empiris yang diambil dari pandangan siswa
mengenai atribut dari suatu probem yang baik. Karakteristik fitur yang sesuai dengan elemen
desain suatu masalah meliputi (1) format masalah. (2) kejelasan, (3) keakraban, ( 4) kesulitan dan
(5) relevansi (penerapan dan penggunaan) .Di sisi lain, karakteristik fungsi mengacu pada hasil
potensial untuk terlibat atau bekerja dalam suatu masalah. Enam karakteristik fungsional mengacu
pada sejauh mana masalah (1) Menstimulasi penalaran kritis (2) mempromosikan pembelajaran
mandiri (3) merangsang elaborasi, (4) mempromosikan kerja sama tim (5) memicu minat dan (6)
mengarah pada masalah pembelajaran yang dimaksud. Di satu sisi, karakteristik fungsi ini
mencerminkan lima prinsip pembelajaran konstruktivis dan tujuan PBL (Savery and Duffy 1995).
Gambar 3.1 menunjukkan klasifikasi fitur dan karakteristik fungsi yang diusulkan.

Model "Fitur dan Fungsi" Hung's "3C3R" (2006) dan Sockalingam and Schmidt (2011) dapat
diharapkan memberikan kejelasan tambahan daripada daftar yang diberikan oleh Des Marchais
(1999) dan kelompok Dolman (1997) Sejak kelompok terdahulu memilih klasifikasi orde kedua
Namun, informasi anekdot dari guru merancang masalah menunjukkan beberapa tingkat kesulitan
dalam menggunakan model ini. Ini mungkin karena komponen (inti dan proses) dan karakteristik
(feature and function) bukanlah aspek yang jelas dari suatu masalah yang bisa dimanipulasi.
Dengan demikian, pendekatan yang berbeda dalam merancang masalah dipertimbangkan. Alih-
alih memulai dengan pertanyaan tentang apa yang membuat masalah dan karakteristik masalah
yang baik, pendekatan baru merenungkan bagaimana siswa menggunakan masalah. Dari
pengamatan Pelajaran PBL penulis, menjadi jelas bahwa "antarmuka pengguna", yaitu struktur
masalah adalah kunci bagaimana siswa mendekatinya. Siswa cenderung menganalisis setiap aspek
masalah seperti judul, kata kunci dan petunjuk untuk mengidentifikasi masalah pembelajaran
sebelum mereka merencanakan bagaimana mereka akan mengatasi masalah tersebut. Gagasan
tentang pentingnya antarmuka pengguna masalah ini juga didukung oleh model proses PBL
Maastricht tujuh langkah (Schmidt 1983), terutama dalam tiga langkah pertama dalam
mengklarifikasi konsep, menentukan masalah dan menganalisis masalahnya.

11
Unsur struktural suatu masalah dapat diklasifikasikan sebagai (1) isi, (2) konteks, (3) tugas dan (4)
presentasi. Isi dari topik mengacu pada fokus masalah itu, dan ini mencerminkan tujuan
pembelajaran yang dimaksudkan oleh guru. Hal ini disajikan sedemikian rupa sehingga
menghasilkan lebih banyak pertanyaan mengemudi untuk membimbing siswa dalam pembelajaran
mereka. konteks masalah mengacu pada latar belakang atau skenario di mana masalah tertanam.
Seringkali kompleks, terstruktur dengan buruk dan mewujudkan aplikasi kehidupan nyata dari apa
yang siswa pelajari. Tugas mengacu pada output yang diharapkan dari masalah. Tugas sering
bersifat autentik dan bisa dalam bentuk (namun tidak terbatas pada) laporan, proposal dan
presentasi PowerPoint. Aspek keempat, presentasi, mengacu pada plot, karakterisasi dan format
masalahnya, begitulah yang tertulis dan disampaikan kepada siswa.

Dari keempat elemen ini, presentasi hanya diwakili secara langsung dalam karakteristik fitur
Sockalingam dan Schmidt (2011) sebagai format. Jika elemen struktural dari suatu masalah
disamakan dengan "bahan" kue, semua karakteristik fitur yang dijelaskan oleh Sockalingam dan
Schmidt (2011) kecuali format dapat dianggap sebagai "sifat dari bahan ini". Hasil perakitan
berbagai bahan ini bersamaan dengan karakteristik fungsional yang disarankan oleh Sockalingam

12
dan Schmidt (2011). Oleh karena itu, yang terbaik adalah mengklasifikasi ulang karakteristik
Sockalingam dan Schmidt dalam tiga dimensi, bukan dua (lihat Tabel 3.1).

Secara umum, efektivitas suatu masalah dapat dipertimbangkan untuk ditentukan apakah hasil
pembelajaran atau karakteristik fungsional dapat dicapai oleh siswa (Dolmans et al 1994). Untuk
menggambarkan bagaimana masalah PBL dapat dirancang secara efektif, masalah di Kotak 3.1
adalah titik awal yang baik. Sementara masalah ini cenderung mendorong siswa untuk memikirkan
apa artinya "belajar", "menerima pendidikan" dan "dididik", mungkin tidak perlu membuat siswa
mempertimbangkan konsep "dididik" di berbagai budaya. Untuk mempromosikan pemikiran kritis
semacam itu, satu saran bisa dimodifikasi dengan mudah dan meminta siswa menjelaskan
pemahaman mereka tentang "dididik" di berbagai konteks budaya.

Untuk mencapai efek yang sama, pendekatan lain bisa mengubah konteks dan memasukkan
kutipan yang kontras dari budaya yang berbeda mengenai apa artinya dididik. Jelas, ada lebih dari
satu cara yang tepat untuk merancang sebuah masalah, dan adalah mungkin untuk mencapai efek
serupa melalui beberapa rute. Perubahan yang diinginkan pada karakteristik fungsional suatu
masalah dapat dicapai dengan memanipulasi elemen struktural dan / atau fitur karakteristik suatu
masalah. Kuncinya adalah memastikan bahwa masalahnya dapat berjalan menuju karakteristik
fungsional atau hasil yang diinginkan Bagian selanjutnya menyajikan langkah-langkah dalam
merumuskan masalah PBL.

Merumuskan Masalah PBL


Merumuskan masalah melibatkan lima langkah dasar. Perlu dicatat bahwa langkah-langkah ini
tidak selalu linier dan cenderung simultan dan seringkali berulang-ulang. Mereka adalah:
1. Mempelajari kebutuhan belajar
2. Menentukan konten
3. Memilih konteks
4. Menetapkan harapan
5. Menyfungsikan masalah

13
Tabel 3.1 Tiga dimensi masalah PBL
Unsur-unsur Karakteristik karakteristik struktural Karakteristik fungsi
Isi Relevansi Mempromosikan
pembelajaran mandiri
Konteks Keakraban Mendorong kerja sama tim
Tugas Kesulitan Mendorong elaborasi
Presentasi/format Kejelasan Merangsang minat
Merangsang penalaran kritis
Memimpin masalah belajar

Langkah-langkah ini konsisten dengan "Desain Mundur" yang dijelaskan oleh pendekatan Wiggins
dan McTighe (2005). Dalam pendekatan ini, tujuan pembelajaran memandu definisi dan derivasi
suatu masalah. Pendekatan alternatif, yang dapat disebut sebagai pendekatan "Desain Teruskan" ,
adalah satu di mana konteks dipilih terlebih dahulu dan kemudian dipetakan ke tujuan
pembelajaran yang relevan dengan sistem pendidikan.

Meskipun pendekatan Forward Design mungkin lebih mudah, pertama, umpan balik utamanya
adalah tidak semua tujuan pembelajaran yang dimaksudkan dapat ditangkap oleh konteks yang
dipilih. Konteks konteks kehidupan nyata sering kali terlalu rumit dan tidak terstruktur, dan kecuali
konteksnya dimodifikasi, mungkin sangat banyak bagi siswa. Kemudian, tujuan dan penilaian
pembelajaran dapat diputus karena tujuannya cenderung dirumuskan "secara kebetulan". Namun,
dalam pendekatan Backward Design, adalah mungkin untuk memetakan tujuan pembelajaran
untuk penilaian karena guru memiliki gagasan yang jelas mengenai tujuan yang mereka inginkan.
o fokus pada mereka. Mereka dapat memilih isu-isu kunci pembelajaran dan merancang penilaian
otentik. Oleh karena itu, disarankan untuk memulai dengan pendekatan Backward Design dalam
merancang masalah PBL.

Mempelajari Kebutuhan Belajar.


Dalam merancang masalah, penting agar kebutuhan belajar siswa dipertimbangkan karena siswa
biasanya heterogen dan mungkin memiliki pengetahuan sebelumnya yang berbeda. Salah satu cara
untuk memperkirakan kebutuhan belajar siswa adalah mengacu pada kurikulum dan prestasi siswa

14
tahun lalu. Memahami di mana siswa berada pada titik awal akan membantu untuk memperkirakan
seberapa jauh siswa dapat mencapai dalam hal pembelajaran. Jika diperlukan, siswa perlu didukung
dengan perancah tambahan atau sumber daya. Penjelasan yang lebih komprehensif tentang
mendukung siswa dengan perancah tambahan dapat ditemukan dalam karya Vygotsky di Zona
Pengembangan Proksimal (ZPD) (Vygotsky 1978).

Menentukan Konten
Dalam menentukan isi, tujuan pembelajaran harus Spesifik, Dapat diukur, Relevan dan Tergantung
Waktu (SMART). Tujuan pembelajaran spesifik adalah tujuan yang jelas dalam hal apa yang
diharapkan atau dicapai oleh siswa. Untuk menunjukkan tujuan pembelajaran yang spesifik, guru
dapat menggunakan kategorisasi pembelajaran Bloom dan tujuannya sebagai (1) kognitif, (2)
perilaku dan (3) afektif (Airasian et al, 2001). Tujuan seperti itu juga harus mencakup keterampilan
abad kedua puluh abad yang terbengkalai. Terukur berarti bahwa beberapa dari penilaian dapat
digunakan untuk mengevaluasi apakah dan sejauh mana tujuan pembelajaran telah terpenuhi.
Achievability mengacu pada apakah tujuan dapat dicapai oleh Siswa, dan ini tergantung pada
apakah siswa memiliki pengetahuan awal yang memadai Relevansi mengacu pada seberapa sesuai
tujuannya terhadap mata pelajaran / subjek / disiplin yang dipilih. Ketergantungan waktu mengacu
pada pertimbangan waktu yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan pembelajaran.

Memilih Konteks
Begitu tujuan pembelajaran ditentukan, langkah selanjutnya adalah mengeksplorasi berbagai
konteks kehidupan nyata yang sesuai dengan tujuan ini. Sumber konteks dunia nyata bisa berupa
surat kabar, artikel jurnal, temuan penelitian dan wawancara, yang menggambarkan aplikasi dunia
nyata dari apa yang sedang dibahas.

Jika konteks kehidupan nyata terlalu rumit, bisa jadi lebih sederhana untuk membantu siswa
berfokus pada isu-isu kunci. Misalnya, anggaplah bahwa masalah bermaksud untuk mengajarkan
siswa tentang bakteri tertentu (sebagai agen penyebab penyakit yang berhubungan dengan air).
Guru merancang masalah mungkin ingin menggunakan konteks kehidupan nyata seperti laporan
berita untuk menggambarkan situasi semacam itu. Dalam kehidupan nyata, penyakit terkait air
mungkin disebabkan oleh beberapa faktor seperti bakteri, parasit, ganggang, virus atau bahkan

15
bahan kimia Bakteri tidak perlu menjadi agen tunggal. Oleh karena itu, jika guru menggambarkan
gejala umum penyakit terkait air, siswa dapat menghasilkan masalah belajar yang luas dan bahkan
dapat mengabaikan bakteri. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah dengan mengisyaratkan
masalah bahwa gejalanya mungkin disebabkan oleh mikroorganisme atau bahkan mengindikasikan
bahwa infeksi bakteri dicurigai. Dengan cara ini, masalahnya bisa dibuat lebih spesifik sekaligus
tetap otentik.

Bergantung pada bagaimana masalah dikontekstualisasikan dan dipresentasikan, seseorang juga


dapat menentukan masalahnya, terstruktur atau terstruktur dengan baik (Jonasses 1997). Masalah
terstruktur dengan baik memerlukan pendekatan spesifik, diresepkan atau dapat diprediksi untuk
memecahkan masalah dan telah menentukan secara jelas atau terbatas jumlah hasil spesifik.
Sebaliknya, masalah yang tidak terstruktur tidak menyajikan semua informasi dan mendorong
siswa untuk mencari sumber daya tambahan untuk memecahkan masalah dengan berbagai cara
(Jonassen, 1987)

Pedoman umum dalam merancang masalah adalah bahwa kompleksitas dan terstrukturnya masalah
harus dikurangi saat siswa baru mengenal PBL. Selain itu, siswa harus dipandu atau dilengkapi
perancah untuk membantu mereka mempelajari bagaimana menangani kompleksitas dan
terstruktur dari masalah yang diberikan. . Jika masalahnya jauh melampaui kemampuan siswa
sehingga mereka tidak dapat menanganinya bahkan dengan dukungan, mereka akan merasa
terbebani dan terlepas. Tingkat keaslian masalah tergantung pada sejumlah faktor, seperti (1)
pengalaman siswa dengan PBL, (2) pengetahuan tentang isi dan konteks siswa sebelumnya dan (3)
waktu yang tersedia untuk masalah tersebut, untuk beberapa nama (Mauffette et al., 2004).
Menetapkan Harapan.

Langkah selanjutnya dalam merumuskan masalah PBL adalah memutuskan tugas, yaitu, apa yang
harus dilakukan siswa. Tugas harus menyediakan jalan untuk lebih dari satu jawaban yang benar,
pertimbangan berbagai perspektif, beberapa pendekatan untuk memecahkan masalah dan diskusi.
Tugas seperti itu ditemukan untuk melibatkan siswa dan menghasilkan pembelajaran yang lebih
baik (Errington 2011). Karena tugas tersebut memberikan tujuan spesifik, kemungkinan besar akan
membantu siswa dalam mengidentifikasi tujuan pembelajaran yang diinginkan dengan mudah.

16
Sementara masalah tugas atau masalah bebas hambatan mungkin dianjurkan untuk mendorong
kerja mandiri oleh siswa (Verkoeijen et al 2006), guru mungkin merasa sulit untuk mengelola
beragam tanggapan. (Hung 2011). Keuntungan lain dengan spesifikasi tugas adalah siswa menjadi
aktif bertunangan. Hal ini karena tugas sering mengharuskan siswa untuk memvisualisasikannya
sebagai bagian dari konteks masalah. Oleh karena itu, siswa cenderung lebih terlibat dalam
memecahkan masalah. Disarankan juga agar tugas yang diberikan kepada siswa bersifat otentik
seperti yang diharapkan di dunia nyata. Contoh tugas otentik adalah menulis proposal atau
melakukan presentasi. Tugas otentik memberikan jalan untuk penilaian otentik. Secara
keseluruhan, konteks, tugas dan penilaian yang otentik membantu siswa untuk menghargai nilai
pembelajaran mereka (Brown et al I989).

Masalah Sintesis.
Akhirnya, elemen struktural dari masalah perlu disintesis. Proses penulisan masalah bisa
disamakan dengan menulis sebuah cerita. Keempat aspek yang perlu diperhatikan dalam penulisan
masalahnya adalah (1) plot, pengaturan dan karakter kontekstual, (2) kejelasan gagasan dan bahasa
(3) format presentasi dan (4) judul yang menarik perhatian.

Dalam merumuskan suatu masalah, guru bisa memulai dengan setting kontekstual dan
mengenalkan karakter untuk menceritakan latar belakang setting. Untuk memastikan bahwa siswa
dapat berhubungan dengan konteks yang dipilih, perhatian harus diperhatikan agar setting, waktu,
plot dan karakter relevan dan familiar bagi siswa. Meskipun penting bahwa konteksnya perlu
menarik, bukan berarti siswa mencari hiburan (Mauffette et al., 2004). Format tertulis sangat
populer karena memberi siswa titik awal yang konkret, walaupun ditemukan bahwa siswa tidak
suka membaca bagian panjang (Sockalingam dan Schmidt 2011). Juga, Mauflette dan rekan (2004)
mengemukakan bahwa penggunaan kalimat sederhana sederhana membuatnya lebih mudah
dibaca. Sockalingam dan Schmidt (2011) merekomendasikan penggunaan kata kunci pilihan dan
petunjuk tersemat yang disengaja untuk mengarahkan pembelajaran siswa.
Dimasukkannya berbagai format seperti teks, video dan multimedia juga disarankan untuk
memenuhi beberapa gaya belajar siswa dan menambah variasi. Hoffmann dan Ritchie (1997)
merekomendasikan penggunaan multimedia dalam masalah PBL untuk memberikan konteks
interaktif yang lebih kaya. De Leng dkk. (2007) menemukan penggunaan video sebagai masalah

17
PBL yang akan bermanfaat, terutama dalam mempromosikan kerja kelompok dan melibatkan
siswa. Penggunaan multimedia juga dapat berkontribusi terhadap elastisitas permasalahan.
Akhirnya, selalu bagus untuk menyertakan judul yang menarik perhatian yang relevan dengan
masalah sehingga menarik minat siswa saat mereka memulai (Sockalingam dan Schmidt 2011). Ini
melayani tujuan yang sama dengan judul film. Ini memberikan beberapa informasi tentang masalah
dan membangun antisipasi.

Mengevaluasi Masalah.
Setelah masalah selesai atau en saat menulis masalah. Guru dapat mencoba untuk mengevaluasi
masalahnya. Untuk melakukannya guru dapat menggunakan daftar periksa di Kotak 3.2 atau alat
evaluasi serupa (Sockalingam et al 2012) untuk menilai kualitas masalah.

Kriteria mendasar dalam mengevaluasi keefektifan suatu masalah adalah untuk memverifikasi tiga
dimensi masalah PBL (elemen struktural, fitur dan karakteristik fungsi). Mendapatkan masalah
yang ditinjau rekan kerja yang berpengalaman juga merupakan latihan yang berguna. Mendapatkan
umpan balik dari siswa di akhir pengalaman mereka dalam menyelesaikan masalah juga
dianjurkan. Hal ini memungkinkan guru memahami bagaimana merancang masalah yang lebih
baik dan meninjau kembali masalah untuk penggunaan selanjutnya. Perumusan masalah seringkali
merupakan proses yang berulang dan melibatkan beberapa putaran evaluasi dan kajian terhadap
masalah.

Kotak 3.2: Daftar Periksa untuk Mengevaluasi Masalah PBL.


Mevaluasi Masalah PBL.
Saya jelas tentang kesulitan siswa, kebutuhan seperti gaya belajar dan kebutuhan pemangku
kepentingan lainnya.
 Saya telah menentukan tujuan atau masalah pembelajaran yang jelas.
 Saya telah mempertimbangkan berbagai konteks dan memilih konteks yang sesuai.
 Saya telah membuat ekspektasi jelas.
 Saya telah mempresentasikan masalah ini dalam format yang sesuai seperti cukup jelas.
Masalahnya cukup menarik bagi siswa.
 Masalahnya memungkinkan siswa untuk melanjutkan di beberapa jalur.
 Masalahnya memungkinkan kerja kolaboratif.
 Masalahnya mempromosikan penalaran kritis.
 Masalahnya mendorong pembelajaran mandiri

18
BAB III
PEMBAHASAN / ANALISIS

A. Pembahasan Isi Buku


Perbandingan antara buku I dan buku II adalah
1. untuk kalangan mahasiswa dari segi harga buku I lebih mahal dibandingkan buku II
2. Bahasa pada buku I adalah Bahasa Inggris, bahasa yang digunakan lebih sulit di pahami
apalagi masih menguasai bahasa Inggris dasar dari pada Buku II yang menggunakan bahasa
Indonesia walaupun masih ada bahasa baku yang kurang dipahami
3. Buku I lebih menarik untuk dibaca dikarenakan penulis menjelaskan secara rinci dan
memberikan contoh-contoh kegunaan dan untuk apa pengguanan model Problem basic
Learning sehingga pembaca cepat memahami maksud dari penulis.
4. Dalam buku I terdapat beberapa materi yang tidak tertera pada buku seperti :
• Why PBL (Kenapa menggunakan Problem Based Learning)
• PBL Problem (Permasalahan PBL)
• Problem Characteristics (Karakteristik Masalah)
• Formulating a PBL Problem (Merumuskan Masalah PBL)
 Studying Learning Needs (Mempelajari Kebutuhan Belajar)
 Specifying Content (Menentukan Konten)
 Selecting Context (Memilih Konteks)
 Setting Expectations (Menetapkan Harapan)
 Synthesizing Problem (Masalah Sintesis)
• Evaluating the Problem (Mengevaluasi Masalah)
5. Dalam buku II terdapat beberapa materi yang tidak tertera pada buku seperti :
• Konsep dasar dan Karakteristik SPBM
• Hakikat Masalah dalam SPBM
• Tahap-tahapan SPBM
 Menyadari Masalah
 Merumuskan masalah
 Merumuskan Hipotesis

19
 Mengumpulkan Data
 Menguji Hipotesis
 Menentukan Pilihan Penyelesaian
• Keunggulan dan Kelemahan SPBM

Bahwa pada buku I terdapat penggunaan dan kenapa guru menggunakan Model Problem Based
Learning, pada Buku II terdapat pada pendahuluan yang penjelasannya secara umum..
Pada Buku I terdapat dijelaskan secara jelas menurut para ahli masalah PBL sehingga mudah di
pahami pembaca sementara di buku II pada Hakikat Masalah PBL (SPBM) tidak dijelaskan secara
rinci poermasalana dari pembelajaran yang hanya dibahas Kriteria pemilihan bahan dalam
pembelajaran

Pada Buku I terdapat Formulation atau rumusan sedangkan pada Buku II terdapat tahap-tahapan
PBL yang sama membahas keunggulan masing –masing. Tetapi pada Buku I terdapat pendapat-
pendapat ahli dalam pelaksanaan tehapan PBl tersebut. Di buku II Evaluasi terdapat pada tahapan-
tahapan Pembelajaran sementara evaluasi pada Buku I adalah pembahasan SubJudul

Pada Buku II terdapat keungulan dan kelemahan SPBL sehingga tenaga pengajar mengetahui apa
saja keunggulan metode tersebut serta kelemahannya sehingga mudah di pahami oleh tenaga
pengajar dalam penerapan pembelajaran. Pada Buku II tidak terdapat keunggulan dan kelemahan
metode PBL tesreburut sehingga guru kurang memahami langkah dan efek samping dalam
penerapan metode tersebut.

B. Kelebihan dan Kekurangan Buku


1. Kelebihan Buku

Kelebihan pada buku Springer yang berjudul Authentic Problem Solving and Learning in the
21st Century tampilan depannya (cover) sangat menarik dari segi warna sehigga membuat minat
pembaca karena pada cover tersebut diberi gambar Warna yang mencolok merah pada covernya
terang menambah minat seseorang untuk membacanya.

20
Dari tata bahasa, bahasa yang digunakan dalam buku ini menggunakan bahasa Inggris,
menggunakan layout yang baik letak tulisannya , menggunakan Jenis Tulisan Times New Roman.
penyampaian-penyampaian materinya, ukuran tulisan yang digunakan sudah tepat dan bisa dibaca
jelas oleh pembacanya. Tanda-tanda bacanya sudah dibubuhkan sesuai dengan yang diharapkan.
Dari aspek isi buku, buku ini sudah dilengkapi dengan identitas-identitasnya sehingga tidak
menyulitkan pembaca jika hendak meresensi buku ini, isi dan penyampaian pada materi ini
disampaikan dengan jelas dan rinci . isi dari buku ini banyak memaparkan suatu definisi-definisi
para ahli sehingga menambah pengetahuan kita berdasarkan definisi tersebut, penulis juga
memaparkan beberapa contoh yang konkret dan seakan-akan mengajak pembaca untuk ikut dalam
keadaan yang sebenarnya. Dari aspek isi buku terdapat kesimpulan dipaparkan pada setiap bab dan
referensi dipaparkan setiap bab.

2. Kekurangan Buku

kekurangan pada buku Springer yang berjudul Authentic Problem Solving and Learning in
the 21st Century tampilan depannya (cover) memiliki kekurangan bahwa tampilan lebih mencolok
tidak adanya gambar hanya berupa tulisan besar beserta nama pengarangnya sehingga para
pembaca kurang tertarik melihat dan untuk di baca.
Dari tata bahasa, bahwa buku ini menggunakan Bahasa Inggris sehingga banyak bahasa
apabila di terjemahkan bagi yang mempunyai bahasa inggris dasar, penggabungan dari satu kata-
ke kata berikutnya menjadi lari pemahamannya karena menggunakan kata bahasa menngunakan
penghubung sepereti edu lalu menggunakan penghubung cation, seharusnya langsung education
tidak bisa di pisahkan karena akan berubah makna jikalau diartikan satu-satu, seperti con- texts,
authen-tic, pri-mary, sec-tion, stu-dent, formu-lated, follow-ing, disadvan-tage, dan lain-lain.
dan pengulangan pembahasan sering kali terjadi pada bab-bab berikutnya.Kesimpulan dari
keseluruhan disampaikan pada Bab III

21
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Masalah memainkan peran penting dalam PBL, dan masalah yang dirancang dengan baik adalah
suatu keharusan agar PBL efektif. Namun, merancang masalah PBL tidaklah intuitif. Meskipun
ada pedoman dan prinsip berdasarkan karakteristik masalah, ini mungkin tidak membantu dalam
membimbing guru. Bab ini menyajikan pendekatan alternatif, pendekatan Backward Design yang
berpotensi berguna dalam merancang suatu masalah secara sistematis.
Menulis masalah PBL membutuhkan pemahaman yang baik tentang tujuan dan karakteristik
terumbu dari masalah. Untuk tujuan ini, dimensi ketiga ditambahkan ke model desain yang ada
yang melibatkan karakteristik fitur dan fungsi dari masalah (Sockalingam dan Schmidt 2011). Bab
ini juga menggambarkan bagaimana memanipulasi karakteristik fitur dan elemen struktural dari
suatu masalah yang berdampak pada karakteristik fungsi. Untuk menerapkannya, pendekatan lima
langkah untuk merancang masalah, dengan pertimbangan tiga dimensi karakteristik masalah,
dibahas. Untuk lebih mendukung guru dalam merancang masalah, daftar periksa untuk
mengevaluasi masalah makan juga disediakan.
Dalam merancang masalah, guru juga harus memperhatikan materi yang harus mereka siapkan. Ini
termasuk (1) sumber belajar, seperti daftar atau situs web atau referensi; (2) perancah, seperti
lembar kerja untuk membantu siswa menganalisis dan mendekati masalah; (3) catatan untuk
instruktur yang mencantumkan tujuan masalah dan kemungkinan pertanyaan panduan untuk
meminta siswa tetap; dan (4) pertanyaan penilaian untuk menguji pemahaman dan rubrik untuk
mengukur pembelajaran mandiri dan pembelajaran kolaboratif dan pemikiran kritis. Faktor lain
seperti lingkungan belajar, peran instruktur dan kesiapan siswa jangan sampai terbengkalai. Seperti
biasa bagi para guru untuk menggunakan seperangkat masalah dan bukan masalah tunggal, mereka
harus mempertimbangkan masalah masalah sekuensing. Praktik yang biasa dilakukan adalah
memulai dengan masalah yang kurang terstruktur dan beralih ke masalah yang lebih tidak
terstruktur.
Secara keseluruhan, model desain untuk pembuatan masalah (dan penerapan PBL) harus dihasilkan
dari pemahaman kita tentang bagaimana siswa belajar daripada berfokus pada bagaimana
menyampaikan konten. Dengan merancang masalah dunia nyata dengan menggunakan pendekatan

22
pembelajar yang dijelaskan dalam bab ini, para guru cenderung melibatkan siswa, mendorong
pembelajaran yang lebih dalam dan, pada saat bersamaan, mempersiapkan siswa untuk dunia yang
sedang berubah.

B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil kesimpulan diatas diharapkan mahasiswa bisa menerapkan model


pembelajaran Teori Broblem Based Learning (PBL) yang baik. Menerapkan beberapa gaya
pembaelajaran. Gaya pembelajaran seseorang sangat mempengaruhi keberhasilan proses maupun
kinerja seorang individu guru atau kelompok siswa. Guru kini sangat penting bagi peserta didik
untuk memberikan atau mentransfer ilmu dengan menggunakan toeri pembelajaran. dengan
mempelajari teori Problem Based Learning Guru mampu menargetkan sebuah target pencapaian
yang sudah dia rencana kan sebelumnya ingin menjadi seorang guru yang profesiona, jadi jika
sudah mempelajari ilmu teori pembelajaran dari awal maka dia akan mengerti seperti apakah Guru
yang ideal itu.

23
DAFTAR PUSTAKA

Young Hoan Cho, Imelda S. Caleon Manu Kapur. 2015. Authentic Problem Solving And
Learning on the 21st Century. Spinger Singapore Heidelberg New York Dordrecht
London

Hung, W. (2006). The 3C3R model: A conceptual framework for designing problems in PBL.
Interdisciplinary Journal of Problem-Based Learning, 1 (1), 55–77.

Hung, W. (2011). Theory to reality: A few issues in implementing problem-based learning.


Educational Technology Research and Development, 59 (4), 529–552.

Hung, W., Jonassen, D. H., & Liu, R. (2008). Problem-based learning. Handbook of Research
on Educational Communications and Technology, 3 , 485–506.

Jayaram, S. (2012). Training models for employment in the digital economy . Washington,
DC: Results for Development Institute. Retrieved from
http://r4d.org/sites/resultsfordevelopment.
org/files/resources/R4D%20ICT%20Models%20Report_0.pdf

Prof. Dr. H. Wina Sanjaya, M.Pd. 2011. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
pendidikan. Kencana Prenada Media Group

24
Lampiran

1. Halama Editor dan Tahun Penerbit

25
2. Content (Daftar Isi Buku)

26
27
28

You might also like