You are on page 1of 37

Bagian Ilmu Anestesi, Perawatan Intensif,

Dan Managemen Nyeri Fakultas Kedokteran


Universitas Hasanuddin Refarat

EFEK POSISI ANESTESIA TERHADAP KARDIORESPIRASI


DAN MUSKULOSKELETAL

Oleh :
Fransiscus Jefri manibuy

Pembimbing :
dr. Muhammad Ramli Ahmad, Sp.An

DIBAWAKAN SEBAGAI TUGAS ILMIAH


PADA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
BIDANG STUDI ILMU ANESTESI, PERAWATAN INTENSIF
DAN MANAGEMEN NYERI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2008

0
POSISI ANESTESIA DAN PEMBEDAHAN

I. Pendahuluan1,2,3

Pemilihan posisi pasien selama anestesi dan pembedahan adalah bertujuan untuk
memberikan paparan anatomi yang optimal sehingga memudahkan ahli bedah dalam
bekerja dan harus mempertimbangkan dengan resiko yang ada. Adanya perubahan-
perubahan dalam medote anestesi dan dikembangkan beberapa posisi baru
memungkinkan tehnik pembedahan untuk daerah yang dulunya susah untuk dipaparkan
kini dapat dilakukan. Namun sayang sekali tidak ada satupun posisi yang ideal untuk
ahli bedah, pasien dan ahli anestesi.
Meninjau kembali fisiologi posisi tubuh mempunyai peranan yang penting untuk
mempertimbangkan berbagai posisi selama anestesi dan pembedahan. Semua posisi
pembedahan mempunyai tingkat resiko, dan resiko ini akan meningkat bila pasien
berada dalam anestesi; yang mana akan membuat klinisi tidak mengetahui posisi yang
membahayakan bagi pasien. Tujuan memberikan lapangan operasi yang terbaik selalu
harus diimbangi dengan usaha untuk meminimalisir resiko yang dapat terjadi pada
pasien.
Hilangnya nyeri setelah anestesia memungkinkan pasien dapat menerima posisi
yang mungkin tidak dapat ditoleransi pada saat masih sadar. Banyak posisi pembedahan
potensial menyebabkan gangguan kardiovaskular dan respirasi juga komplikasi lainnya
seperti nyeri punggung, alopesia atau cedera saraf perifer. Ahli anestesi dan ahli bedah
seharusnya bersama-sama dalam memposisikan pasien dengan meminimalkan gangguan
yang mungkin timbul sebelum pembedahan dilakukan. Dalam hal ini tuntutan
pembedahan harus diimbangi dengan langkah-langkah untuk meminimalkan gangguan
respirasi, meminimalkan gangguan sirkulasi, memberi lapisan yang adekuat pada daerah
yang bersentuhan untuk mencegah cedera saraf dan memberikan sanggahan yang baik
bagi pasien, serta memberikan kenyamanan bagi pasien yang menjalani anestesi
regional.
Memposisikan pasien dengan aman membutuhkan pengetahuan keuntungan dan
kerugian dari berbagai posisi pembedahan dan pemahaman konsekuensi fisiologis dari
masing-masing posisi. Masalah-masalah posisi seharusnya sudah mulai diantisipasi

1
selama kunjungan praanestesi, demikian juga pengukuran-pengukuran yang dilakukan
dikamar operasi harus dicatat dalam catatan medis pasien dengan baik. Seorang ahli
anestesi seharusnya mencatat dalam status anestesi semua posisi dan perubahan posisi
yang dilakukan. Simbol-simbol (gambar 1) akan sangat membantu untuk tujuan tersebut.
Sejumlah tenaga yang telah terlatih harus membantu dalam memposisikan pasien
untuk meminimalkan resiko bagi pasien dan petugas di kamar operasi. Akhirnya semua
peralatan yang diperlukan harus ada sebelum prosedur yang direncanakan dilakukan.

Gambar 1. Simbol-simbol untuk posisi operasi yang umumnya digunakan.(dikutip dari pustaka
no.1)
A. Supine-Reflex Abdominal I. Sitting
B. Supine-Lithotomy J. Prone
C. Supine- Advanced Lithotomy K. Prone-Hips Flexed Jack-Knife
D. Supine- Gall Bladder Rest L. Prone- Lift Under Pelvis
E. Supine- Head Down (Scultetus) M. Lateral- Straight Right (Kidney or Chest)
F. Supine- Trendelenberg N. Lateral- Sraight Left
G. Supine- Head Up (Fowler) O. Lateral- Flexed Right
H. Supine- Thyroid P. Lateral-Flaxed Left

2
II. Respon fisiologis perubahan posisi dari tegak ke posisi supine
Perubahan posisi pada seseorang dari posisi tegak ke posisi supine akan
menyebabkan perubahan fisiologis yang terjadi dalam hitungan menit, terutama pada
sistem kardiopulmonal. Perubahan yang terjadi dalam waktu yang lama akan
mempengaruhi sistem organ lainnya dalam tubuh. Berikut akan dibahas perubahan-
perubahan yang terjadi pada beberapa sistem organ.2,3

II.1 Sistem respirasi2,4


Selama ventilasi spontan, tulang rusuk dan diafragma membantu ekspansi toraks.
Abdomen juga mengalami ekspansi pada inspirasi dengan terdorongnya diafragma ke
bawah. Pada posisi supine, ekspansi abdomen selama inspirasi berkurang dan ekspansi
tulang rusuk lebih besar dibandingkan dengan posisi tegak. Pada posisi tegak, berat isi
abdomen membantu diafragma terdorong ke bawah sehingga membantu dalam
mempertahankan functional residual capacity (FRC). Pada posisi supine, isi abdomen
cenderung mendorong diafragma ke arah cephalad sehingga menyebabkan penurunan
FRC (sekitar 0,5 liter pada orang dewasa) dan total lung capacity (TLC) . Pada posisi
supine, regio dependen dari diafragma bergerak mengikuti nafas seperti ventilasi dari
regio dependen paru. Hal ini membantu kesesuaian ventilasi perfusi sebab porsi
dependen dari paru juga secara khusus mengalami perfusi. Dengan induksi anestesi,
FRC akan menurun sekitar 0,5 liter pada subjek dengan posisi supine. Teori klasik
mengatakan bahwa penurunan volume paru ini disebabkan oleh diafragma yang
terdorong ke cephalad. Namun studi memperlihatkan bahwa pada akhir ekspirasi, posisi
diafragma tidak terdorong secara signifikan selama anestesia dan paralisis, walaupun
sudutnya berubah. Pergerakan masuk ke dalam dari tulang rusuk dan pada beberapa
kondisi peningkatan volume darah intratorasik menyebabkan sebagian besar penurunan
FRC yang berhubungan dengan anestesia. Perubahan yang serupa mungkin terjadi pada
posisi supine/recumbent yang lain. Perubahan pada ekspansi toraks mempunyai
hubungan dengan atelektasis pada area dependen paru dengan kegagalan pertukaran gas
yang signifikan.

3
II.2 Sistem kardiovaskular1,2,3,4
Salah satu yang menakjubkan dalam evolusi dan regulasi fisiologik pada
dinosaurus, jerapah, dan manusia adalah kemampuan untuk menerima postur dengan
kepala lebih tinggi dari jantung dimana perfusi ke otak tetap dapat dipertahankan.
Mekanisme fisiologis pada sistem kardiovaskular untuk mempertahankan aliran darah
yang adekuat ke sistem saraf pusat jika terjadi perubahan posisi adalah dengan
perubahan pada resistensi vaskular dan cardiac output. Sebuah sistem yang kompleks
dari mekanisme lokal (autoregulasi) dan refleks-refleks pada sistem vena dan arteri
mempertahankan tekanan darah dan aliran darah selama perubahan posisi. Walaupun
mekanisme lokal dan refleks-refleks bekerja secara bersamaan, namun anestesia dapat
menumpulkan respon dari tiap elemen, sehingga akan merubah respon akhir tiap-tiap
sistem secara langsung. Refleks-refleks vena dan arteri dimediasi oleh saraf aferen
mekanosensitif yang merespon terhadap regangan dari vena-vena besar dan ruang
jantung. Saraf ini cenderung untuk menginhibisi aliran simpatis bila volume darah
sentral meningkat. Refleks baroreseptor arterial juga dimediasi oleh saraf aferen
mekanosensitif yang berlokasi di lengkung aorta dan arteri karotis. Keduanya
memberikan respon terhadap regangan dan cenderung untuk menghambat aliran
simpatis dan mengaktifkan sistem parasimpatis bila terjadi peningkatan tekanan arterial.
Sebaliknya, penurunan tekanan biasanya menimbulkan vasokonstriksi oleh simpatis dan
kembalinya fungsi vagal.
Pada posisi tegak, terjadi peningkatan yang sangat besar dari tekanan transmural
vaskular pada ekstremitas bawah yang disebabkan oleh efek hidrostatik pada kolom
pembuluh darah. Peningkatan tersebut dibatasi oleh peningkatan tekanan jaringan
disekitar pembuluh darah yang disebabkan oleh tegangan otot dan kontraksi otot yang
diperlukan untuk mempertahankan posisi tegak dan juga oleh katup vena. Walaupun
dengan kompensasi tersebut, sebanyak 0.5-1.0 liter darah dapat terkumpul pada
ekstremitas bawah, tekanan vena sentral dapat menurun kenilai yang sangat rendah dan
cardiac output menurun sebanyak 20% pada posisi tegak. Cardiac output cenderung
meningkat segera pada posisi supine. Darah vena yang berasal dari tubuh bagian bawah
kembali ke sirkulasi sentral dan stroke volume akan meningkat. Impuls aferen
baroreseptor dari vena-vena besar, jantung dan reseptor-reseptor aortik dihantarkan

4
sepanjang saraf vagus dan dari sinus karotis melewati saraf glossopharyngeal ke medula.
Peningkatan eferent parasimpatis dan penurunan aktifitas eferent simpatis mengubah
keseimbangan parasimpatis-simpatis, penurunan laju jantung, stroke volume,
kontraktilitas dan penurunan aktifitas vasokonstriktor simpatis. Sebagai hasil tekanan
darah relatif tetap konstan.
Keseluruhan efek dari kombinasi mekanisme refleks vena dan arterial telah
dipelajari oleh Ward dan kawan-kawan (1966) dan Korner (1971). Pada perubahan
posisi dari posisi tegak ke posisi supine, tekanan darah arterial rata-rata, laju jantung,
dan resistensi pembuluh darah perifer menurun, sementara cardiac output dan stroke
volume meningkat (Tabel 1). Tekanan darah sistolik tidak berubah, tetapi tekanan darah
diastolik menurun, terutama tekanan nadi yang besar dan tekanan arteri rata-rata yang
rendah. Akhirnya terjadi penurunan laju jantung, yang berubah oleh tekanan vagal, dan
bila tekanan tersebut sangat besar, diasumsikan bahwa pada posisi supine dapat
menyebabkan peningkatan P-Q interval pada elektrokardiagram sehingga dapat
diklasifikasikan sebagai blok jantung derajat satu.

Tabel 1. Efek Perubahan Postur Terhadap Sirkulasi Pada Subjek Sadar*

Persentase Perubahan
Cardiac output (L/min) Supine
7.07 Berdiri
-27.4 Duduk
-9.8
Stroke Volume (ml) 99.6 -45.3 -21.4
Mean arterial pressure (mm.Hg) 90.2 +18.6 -2.5
Cardiac rate (per minute) 71.6 +35.7 +18.6
Total peripheral resistence (dyne/cm2/sec.) 1101.0 +65.3 +9.6
*
(Dikutip dari kepustakaan no 1)

III. Posisi Supine atau Dorsal Recumbent1,2,3,4


Posisi supine merupakan posisi yang pada umumnya digunakan untuk prosedur
pembedahan. Karena posisi ini juga mungkin merupakan posisi yang paling umum

5
digunakan untuk tidur yang alami, sehingga posisi ini diperkirakan tidak mempunyai
resiko. Namun data yang diperlihatkan oleh ASA Closed Claim Databese, neuropati
ulnar merupakan sebagian besar cedera saraf perioperatif dan sebagian besar
berhubungan dengan prosedur pembedahan pada posisi supine.
Pada posisi supine, pasien dibaringkan terlentang dengan kedua lengan lurus
disamping tubuh. Sebuah lembar penyangga dibawah dada pasien melindungi lengan
bila dilipat dan kemudian dilipat dibawah matras (kasur). Pengikat kaki dapat
ditempatkan diatas lutut. Bantalan seharusnya terdiri dari tiga buah (gambar 2) : (1)
sebuah bantal kecil (tebal 1-2 inchi) seharusnya ditempatkan di bawah kepala sehingga
kepala berada dalam sniffing position dan otot-otot daerah leher akan menjadi lebih
relaks.(2) Sebuah bantal kecil atau selimut yang datar seharusnya ditempatkan di bawah
punggung daerah lumbal. Bantalan ini akan menyangga punggung dan membantu
mencegah terjadinya nyeri punggung.(3) Sebuah bantal kecil atau selimut yang telah
digulung seharusnya ditempatkan di bawah lutut untuk membantu memfleksikan lutut.
Selain hal tersebut, meja seharusnya sedikit difleksikan didaerah pinggul. Kombinasi ini
akan menghilangkan ketegangan pada otot rektus abdominis dan membantu relaksasi
dinding abdomen. Langkah-langkah diatas dilakukan untuk mencapai apa yang disebut
sebagai “Reflex abdominal posture” yang pertama kali diperkenalkan oleh A.Miller.
Kaki seharusnya relatif bebas dan tidak ditutupi dengan kain yang berat. Harus
diperhatikan penempatan baki instrument pada daerah kaki agar berada pada ujung jari
kaki (gambar 2).

6
Gambar 2. Posisi supine atau dorsal recumbent (dikutip dari kepustakaan no.1)

III.1 Efek posisi supine terhadap respirasi2,4


Pada posisi supine, isi abdomen membatasi pergerakan diafragma dan
mendorongnya ke arah cephalad, menyebabkan penurunan functional residual capacity
(FRC) sebanyak 20 persen dan total lung capacity (TLC). Tambahan kehilangan 20
persen FRC terjadi setelah induksi anestesi. Penurunan volume paru ini menyebabkan
penutupan jalan napas kecil (closing volume). Pada pasien yang teranestesi pada posisi
supine, FRC secara nyata berkurang dibanding pada posisi duduk, sedangkan closing
volume tetap sama. Oleh karena itu, closing volume dapat melebihi FRC pada posisi
supine, yang menyebabkan penutupan jalan napas kecil selama bernapas dengan volume
tidal (gambar 3). Penutupan jalan napas kecil ini akan menyebabkan hipoksemia dan
terutama terjadi pada pasien-pasien tua sebab closing volume bertambah dengan
bertambahnya umur. Efek-efek yang merugikan pada volume paru ini sebagian dapat
diimbangi dengan memberikan ventilasi tekanan positif.
Efek gravitasi terhadap tekanan arterial paru tidak besar sehingga aliran darah
paru lebih homogen dibanding pasien pada posisi tegak. Tekanan pleural juga lebih
homogen, sehingga rasio variasi ventilasi perfusi lebih rendah bila dibandingkan pada
posisi tegak. Pada posisi tegak, rasio dari dasar ke apex adalah 1,5 : 1 untuk ventilasi dan
3 : 1 untuk perfusi. Pada posisi supine rasio dari dasar ke apex adalah 0,9 : 1 untuk
ventilasi dan 1,3 : 1 untuk perfusi.
Studi yang dilakukan oleh Froese dan Bryan (1974) terhadap pergerakan
diafragma pada subjek dalam posisi supine pada saat spontan sadar dan teranestesi,
kemudian dengan ventilasi mekanik baik saat sadar dengan paralisis dan teranestesia
dengan paralisis. Selama ventilasi spontan, dalam keadaan sadar atau teranestesi, bagian
dependen diafragma dapat bergerak luas, walaupun pada keadaan teranestesi diafragma
akan terdorong ke arah cephalad (gambar 4). Pada keadaan paralisis baik sadar maupun
teranestesi, diafragma akan bergerak lebih cephalad pada akhir ekspirasi dan pergerakan
tersebut besarnya tidak proporsional dengan daerah dependen. Selama ventilasi tekanan
positif, diafragma yang pasif akan digantikan sebagian besar oleh daerah nondependen
dimana tekanan abdominal sudah rendah.

7
Gambar 3. Perbedaan volume paru antara posisi tegak dan supine. Garis ordinat menggambarkan
volume paru dan aksis menggambarkan waktu. (TLC = total lung capacity, CV = vital capacity,
VT = tidal volume, ERC = Expiratory reserve volume, RV = residual volume, FRC = functional
residual capacity, CV = closing volume). Pada posisi supine, “closing volume” lebih besar dari
functional residual capacity, oleh karena itu tidal volume dan closing volume saling tumpang
tindih (area yang diarsir)

Gambar 4. Diagram posisi dan perubahannya selama pernapasan dengan volume tidal. Garis
putus-putus = posisi diafragma dalam mengatur functional residual capacity. Daerah yang

8
diarsir menggambarkan perubahan diafragma selama pernapasan dengan volume tidal. ( dikutip
dari kepustakaan no. 3)

III.2 Efek posisi supine terhadap kardiovaskular2,4


Efek sirkulasi pada posisi supine tidak memberikan perubahan yang bermakna
kecuali pada subjek yang obese, massa pada abdomen, asites, atau penekanan oleh
uterus gravid terhadap vena kava inferior, akan menghalangi aliran balik vena, dan akan
menurunkan cardiac output. Memiringkan pasien dengan massa abdominal sebanyak 10
derajat ke posisi lateral kiri dengan mengatur meja operasi atau dengan menggunakan
peyangga pelvis akan menghilangkan penekanan pada vena kava inferior.

III.3 Efek posisi supine terhadap muskuloskeletal2,4,5,6


Pada posisi supine, bila kepala tidak dialas dengan baik atau adanya hipotensi,
tekanan pada kulit kepala daerah occipital dapat menyebabkan nyeri, pembengkakan dan
alopesia, yang dapat berlangsung selama beberapa bulan atau menjadi permanen.
Memberikan alas yang sesuai pada daearah kepala dan secara rutin membalikkan kepala
setiap 30 menit dapat mencegah komplikasi ini.
Posisi dari ekstremitas atas pada posisi supine harus diperhatikan. Tekanan pada
lekukan ulnar dan lekukan spiral dari humerus dimana nervus radialis dan ulnaris
melewatinya harus dihindari (gambar 5). ASA pratice Advisory menganjurkan bahwa
abduksi lengan seharusnya tidak melebihi 90 derajat dan lengan bawah dan tangan pada
posisi supinasi atau dijaga pada posisi netral (bukan pronasi) untuk menghindari
terjadinya cedera pada plexus brachialis. Walaupun konsensus ASA pratice advisory
menganjurkan melapisi daerah siku dapat menurunkan resiko neuropati pada
ekstremitas atas, namun belum ada data yang dapat mendukungnya.

9
Gambar 5. Nervus ulnaris dan arteri ulnaris recurrent posterior yang mensuplai lengan bagian
atas berjalan superfisial melewati posteromedial dari tuberkel prosesus coracoid (dikutip dari
kepustakaan no.4)

IV. Posisi Head Down (Trendelenburg)1,2,3


Adalah tidak benar bila menggunakan istilah posisi Trendelenburg untuk semua
posisi head down. Seorang ahli bedah Jerman yang sangat terkenal pertama kali
memperkenalkan posisi ini pada tahun 1890 yang digunakannya untuk memperbaiki
fistula vesikovaginal. Memiringkan pasien pada posisi supine dengan kepala lebih
rendah menyebabkan pergerakan ke arah cephalad dari usus besar dan usus halus akan
memperbaiki paparan organ-organ dalam rongga pelvis. Posisi Trendelenburg klasik
dengan derajat kemiringan 30-40 derajat memerlukan beberapa usaha untuk mencegah
pasien meluncur ke bawah. Pada masa yang lalu, pengikat wrist dan penyangga bahu
digunakan namun keduanya dapat menyebabkan tarikan atau penekanan pada plexus
brachialis. Saat ini kemiringan pada umumnya dibatasi antara 10-15 derajat.
Memposisikan pasien pada posisi Trendelenburg dilakukan dengan cara, pasien
dibaringkan diatas meja operasi dengan posisi supine dengan lutut didaerah patahan
meja, melapisi dengan baik penyangga bahu yang akan dieratkan pada meja operasi.
Penyangga ini bukan diletakkan dibawah leher tetapi berlawanan dengan akromion dan
prosesus spinosus skapula pada kedua sisi. Kedua lengan difiksir disamping tubuh
dengan lembar penyangga. Meja operasi kemudian kepala direndahkan 15 derajat,
patahan meja daerah kaki di rendahkan sekitar 30 derajat terhadap sumbu horizontal.
(gambar 6).

10
Gambar 6. Posisi Trendelenburg (dikutip dari kepustakaan no. 1)

IV.1 Efek posisi Trendelenburg terhadap respirasi2,3,4


Pada posisi head-down, isi abdomen menekan basal paru sehingga bila
dibandingkan dengan posisi supine, FRC dan komplains paru menurun dan terjadi
peningkatan kerja pernapasan. Pada saat terjadi peningkatan tekanan pada atrium kiri
yang berhubungan dengan tekanan alveolar; edema pulmonum, kongesti dan atelektasis
lebih sering terjadi pada posisi ini. Kecenderungan terjadinya atelektasis dan hipoksemia
sangat besar pada pasien obese atau pasien tua atau bila retraktor ditempatkan pada
abdomen bagian atas.
Posisi tube endotrakeal harus diperiksa ulang setiap perubahan posisi pasien, tapi
terutama setelah pasien diposisikan head-down. Gravitasi menyebabkan paru-paru dan
carina berada lebih cephalad, sehingga menyebabkan ujung dari tube endotrakeal
terdorong lebih distal dalam trakea. Meskipun tube pada mulut tidak berubah, namun
tube dapat masuk ke cabang utama bronkus kanan. Oleh karena itu memastikan tube
pada posisi yang benar sangat penting setelah perubahan posisi dilakukan.

IV.2 Efek posisi Trendelenburg terhadap kardiovaskular2,3

11
Posisi head-down menyebabkan penurunan tekanan arterial pada kaki dan relatif
terjadi distensi pada pembuluh darah mediastinum. Pada pasien yang sehat, refleks
baroreseptor menjaga peningkatan yang terjadi tidak besar; dimana pada seorang
relawan yang diposisikan head-down 15 derajat hanya memperlihatkan peningkatan 2
persen volume darah sentral dan tidak terjadi perubahan yang bermakna. Namun cardiac
output dan tekanan vena sentral meningkat untuk sementara waktu, yang kemudian
diikuti oleh vasodilatasi dan penurunan laju jantung.
Walaupun posisi head-down digunakan secara luas untuk penanganan hipotensi
dan shock, studi pada pasien dengan penyakit jantung akut, hipotensi, sepsis atau shock
tidak memperlihatkan efek menguntung pada semua kasus. Pada pasien shock dengan
hipotensi yang diposisikan head-down, tidak ada atau justru terjadi penurunan tekanan
arteri rata-rata; tekanan pengisian jantung kanan (PCWP) dan cardiac output tidak
berubah. Pada keadaan hipovolemia, posisi Trendelenburg tidak memperbaiki tekanan
darah tapi mungkin sedikit memperbaiki cardiac output. Banyak klinisi melakukan
elevasi kaki dengan mempertahankan posisi tubuh pada bidang datar untuk
meningkatkan aliran balik vena tanpa mengundang bahaya dari perubahan baroreseptor
atau resiko kongesti vena cerebral.
Pasien-pasien dengan penyakit arteri koroner yang diposisikan head-down pada
saat pemasangan kanula vena subclavia dan vena jugular interna akan mengalami
peningkatan yang signifikan dari tekanan arteri rata-rata dan tekanan baji kapiler paru
(PCWP), dengan akibat akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardial. Pada pasien
dengan penurunan yang signifikan cadangan jantung, peningkatan PCWP yang
disebabkan posisi head down dapat menyebabkan kongesti jantung akut atau iskemia
miokardial.

IV.3 Sistem saraf pusat2


Posisi head-down berbahaya bila komplains intrakranial menurun yang pada
peningkatan tekanan vena jugular karena manuver posisi ini akan menyebabkan
peningkatkan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh aliran balik vena dari cerebral

12
mengalami hambatan . Peningkatan tekanan vena cerebral juga dapat menurunkan
tekanan perfusi cerebral.

V. Posisi Lithotomy1,2,3,4
Posisi lithotomy adalah posisi dimana pasien berbaring dengan punggung
dibawah dengan kaki dan lutut difleksikan dengan sudut yang tepat sehingga ahli bedah
dapat mengakses daerah perineum dan rektum. Posisi ini dipertahankan dengan
menempatkan kaki secara berhati-hati pada pijakkan kaki. Sebagain besar operasi
perineal, rektal, dan vagina dilakukan dengan posisi ini. Sebuah bantal yang kecil dari
karet busa dibutuhkan untuk menopang kepala (gambar 7).
Posisi lithotomy, posisi lithotomy plus Trendelenburg, dan posisi kidney memang
penting untuk memberikan lapangan yang ideal untuk pembedahan urologi dan
ginekologi. Namun, posisi ini berhubungan dengan sejumlah bahaya yang mesti
dikenali. Bahaya-bahaya tersebut dan efek lain dari posisi lithotomy dan lithotomy plus
Trendelenburg akan lebih baik bila dikelompokkan ke dalam sistem yang
dipengaruhinya

V.1 Efek posisi lithotomy terhadap respirasi2,3


Pengukuran vital capacity yang normal pada seorang yang sadar dalam berbagai
posisi pembedahan memperlihankan bahwa posisi lithotomy menurunkan vital capacity
sebanyak 18 persen (Case & Stiles,1946). Hal ini sebagai hasil retriksi dari pergerakan
diafragma dan juga retriksi dari ekspansi volumetrik dari paru-paru oleh peningkatan
volume darah paru.
Posisi Trendelenburg sebanyak 20 derajat menyebabkan penurunan vital capacity
(VC) sebanyak 14,5 persen, jadi dapat diperkirakan bahwa posisi lithotomy disertai
Trendelenburg akan menyebabkan penurunan VC yang lebih besar dari 18 persen, yang
juga disebabkan oleh retriksi pergerakan diafragma dan kegagalan ekspansi volumetrik
dari paru-paru ( Case & Stiles, 1946 ). Perubahan posisi yang menyebabkan perubahan
vital capacity ini diperbesar bila pasien berada dalam anestesi spinal atau epidural yang
mana penurunan vital capacity selanjutnya terjadi berhubungan dengan luasnya otot
intercostal yang paralisis oleh anestesi regional. Juga paralisis otot-otot dinding perut

13
menambah ketidakmampuan untuk batuk secara kuat selama anestesi spinal atau
epidural dimana hal ini sebagai faktor penyebab terbesar yang menyebabkan komplikasi
respirasi pascabedah (Egbert et al., 1961).
Posisi lithotomy menyebabkan penurunan sebanyak 3 persen volume tidal, posisi
lithotomy disertai Trendelenburg 10 derajat menyebabkan penurunan sebanyak 14
persen volume tidal; dan posisi lithotomy disertai Trendelenburg 20 derajat menurunkan
volume tidal sebanyak 15 persen pada seseorang yang berada dalam anestesi umum.
Perubahan kamplain paru (Sharp, 1959), distribusi udara inspirasi di dalam
paru(Attinger et al., 1956) dan perubahan volume darah paru (Lewis et al., 1958) tidak
terlalu mempengaruhi fungsi respirasi pada perubahan posisi ini. Perbaikan ini terjadi
karena berat isi abdomen dan fleksi dari paha diatas abdomen menjadi seperti ikat
pinggang yang memperbaiki diafragma pada posisi isterahat dengan peningkatan
inspiratory reserve volume dan juga kekuatan usaha ekspirasi maksimum. Pemilihan
anestesi spinal seharusnya diingat untuk radical perineal prostatectomy pada pasien tua
yang emfisematous yang mana akan di posisikan dengan posisi lithotomy yang ekstrim.
Besarnya efek gangguan pada gerakan respirasi dan ventilasi adalah berdasarkan
waktu (lamanya). Biasanya tidak segera kelihatan namun terjadi secara perlahan selama
berjalannya operasi. Komplikasi paru tetap menjadi faktor terbesar morbiditas dan
mortalitas pascabedah. Beberapa posisi pembedahan mengganggu gerakan pernapasan
atau lebih spesifik rendahnya FRC menyebabkan terjadinya atelektasis yang dapat
berlanjut menjadi pneumonia pascabedah. Depresi respirasi yang disebabkan oleh posisi
lithotomy dan posisi lithotomy disertai Trendelenburg dimana pasien berada dibawah
anestesi umum pada sebagian besar kasus dapat dikoreksi dengan menggunakan
endotrakeal tube dan kontrol atau assisted respirasi. Intubasi endotrakeal dengan
menggunakan tube bercuff tidak hanya meminimalkan inflasi gas anestesi ke dalam
lambung tapi juga mencegah aspirasi isi lambung dan menurunkan ruang rugi baik
anatomik maupun mekanik. Dengan mengembalikan volume respirasi yang terdepresi
ke normal dengan kontrol respirasi atau assisted pada sebagian besar kasus dapat
menetralkan efek-efek yang mengganggu dari posisi pembedahan terhadap sistem
respirasi.

14
Jika salah satu pilihan untuk menggunakan anestesi spinal untuk prosedur yang
memerlukan posisi lithotomy atau posisi lithotomy disertai Trendelenburg, level anestesi
yang rendah harus sesuai dengan kebutuhan pembedahan dan secara dini dan agresif
harus dilakukan terapi respirasi untuk menguragi insiden komplikasi respirasi
poscabedah. Sekarang dengan bantuan gas darah arteri yang dapat diperiksa setiap jam
dan hampir di miliki sebagian besar rumah sakit, monitoring ventilasi dan oksigenasi
yang adekuat seharusnya dilakukan baik selama pembedahan maupun periode
pascabedah pada pasien-pasien yang dicurigai berada pada posisi ini dalam waktu yang
lama.

V.2 Efek posisi lithotomy terhadap kardiovaskular2,3,4


Terdapat perbedaan respon terhadap berbagai posisi pembedahan dimana pada
sistem respirasi efek yang timbul lebih lambat dibanding sistem sirkulasi yang biasanya
terjadi cepat dan mengkawatirkan dan dapat berlanjut membahayakan walaupun pada
orang yang sehat.
Pada individu yang sehat, normovolemi, kegagalan sirkulasi sering berasal dari
stasis vena dan kapiler pada ekstremitas atau yang berasal dari pengumpulan darah pada
saluran cerna baik oleh akibat anestesi spinal ataupun anestesi umum. Empat faktor yang
normalnya membantu aliran balik darah vena melawan gravitasi adalah kontraktilitas
miokard , kontraksi yang intermiten dari serat-serat otot skelet sepanjang katup vena,
perubahan tingkat subatmosferik tekanan intratorasik selama pernapasan spontan, dan
mekanisme yang mengontrol kapasitas vaskuler saluran cerna. Semua faktor-faktor ini
mungkin tertekan oleh anestesi spinal atau anestesi umum dengan hasil hipotensi yang
terjadi dengan cepat, terutama sekali pada pasien dengan resiko jelek.
Ekstremitas bawah normalnya sebagai reservoir darah dan cairan interstisial.
Menurunkan kaki secara tiba-tiba pada pasien yang berada dibawah anestesi pada posisi
lithothomi seharusnya dihindarkan karena mekanisme vasoregulasi pada ekstremitas
tertekan dan gerakan ini mungkin diikuti oleh penurunan tekanan darah yang drastis.
Kolaps sirkulasi ini akan menjadi lebih dramatis pada pasien yang teranestesi dengan
hipovolemia atau penyakit jantung, atau berada dibawah anestesi yang dalam.
Kegagalan sirkulasi ini biasanya dapat dicegah dengan secara perlahan dan berhati-hati

15
menurunkan kaki pasien yang mana volume sirkulasi darah telah kembali normal dan
berada dalam stadium anestesi yang dangkal. Perhatian harus diberikan agar jangan
terjadi penekanan yang tidak semestinya pada arteri dan vena perifer, atau karena elevasi
yang terlalu lama, yang dapat menyebabkan oklusi atau trombosis arteri maupun
trombosis vena.

Gambar 7. Posisi lithotomy dasar. Paha difeksikan, abduksi, dan rotasi eksternal untuk
meminimalkan tekanan pada persendian dan untuk menghindari penekanan pada abdomen
yang obese.

V.3 Efek posisi lithotomy terhadap muskuloskeletal2,4,5,7


Resiko yang sangat penting diperhatikan dari posisi lithotomy adalah cedera
saraf perifer. Cedera saraf yang umumnya terjadi pada posisi ini adalah nervus peroneal,
nernus obturator, nervus Saphelus dan nervus femoralis. Adapun hal-hal yang harus
diperhatikan untuk mencegah terjadinya cedera adalah dengan membatasi derajat fleksi
dan abduksi, memberikan atas dibawah betis dan diatas leher fibula. Dengan demikian
diharapkan cedera saraf pada posisi ini dapat dihindari.

16
Gambar 8. Posisi lithotomi dengan fleksi panggul yang minimal untuk procedure endoskopi
seperti transuretral resection of the prostate. (Dikutip dari kepustakaan no 4).

Gambar 9A.

Gambar 9B.
Gambar 9A dan B, Memperlihatkan posisi lithotomy tanpa memberikan sanggahan yang dapat
menyebabkan penekanan pada nervus peroneus di bagian lateral dan nervus saphenus di bagian
lateral. (dikutip dari kepustakaan no 4).

17
VI. Posisi Lateral Dekubitus2,3
Istilah Lateral dekubitus berasal dari bahasa Latin yang berarti berbaring pada
satu sisi. Posisi lateral digunakan untuk pembedahan torakotomi, renal dan orthopedi.
Posisi ini dapat diatur untuk lateral kiri atau lateral kanan tergantung lapangan operasi
yang diinginkan. Sebagai contoh untuk memaparkan bagian kanan tubuh maka pasien
diposisikan ke lateral kiri.

VI.1 Efek posisi lateral dekubitus terhadap respirasi2,3


Posisi ini mempunyai efek yang signifikan terhadap respirasi. Berat dada dan
berkurangnya pergerakan bagian dependen rusuk, disertai dengan tekanan pada organ
visera, menyebabkan penurunan vital capacity dan FRC oleh dependen paru. Namun,
pada pasien sadar yang bernapasan spontan pada posisi ini,posisi cephalad dari lengkung
dependen diafragma akan meningkatkan kontraksinya, dan meningkatkan ventilasi pada
bagian dependen paru. Karena bagian dependen paru juga menerima ebagian besar
aliran darah paru, hubungan ventilasi-perfusi tetap normal pada pasien sadar pada posisi
lateral.
Berbeda dengan ventilasi terkontrol pada pasien dibawah anestesi, sebagian
besar volume tidal didistribusikan ke bagian nondependen paru, sebab penurunan FRC
pada paru yang dependen menyebabkan komplainnya berkurang dan ventilasi tekanan
positif menghilangkan berbagai keuntungan mekanik dependen diafragma yang
didapatkan pada pernapasan spontan. Setelah pleura dan dinding dada dibuka, bagian
atas paru menjadi lebih komplain dan menerima lebih besar volume tidal. Gradien
gravitasi pada tekanan arteri pulmonal mendorong darah ke daerah dependen paru, yang
menerima aliran darah paru dalam jumlah besar. Penurunan cardiac output dan hypoxic
pulmonary vasoconstriction yang membahayakan dibawah anestesi selanjutnya
menyebabkan penurunan aliran darah ke bagian atas paru. Sehingga pasien yang
menerima kontrol ventilasi dibawah anestesi sebagian besar aliran darah akan bergerak
ke bagian dependen paru, dan sebagian besar ventilasi bergerak ke bagian nondependen
paru. Ketidak sesuaian ini dapat menyebabkan hipoksemia arterial yang berat.

18
VI.2 Efek posisi lateral dekubitus terhadap kardiovaskular2,3
Tekanan darah pada posisi ini tergantung pada posisi dari cuff tekanan darah atau
transduser tekanan arteri terhadap jantung. Karena jarak antara lengan pasien dewasa
mungkin sebesar 40 cm, tekanan darah yang diukur pada dua lengan mungkin berbeda
sebesar 32 mm.Hg. Bila mengukur tekanan arteri secara langsung, efek ini dapat
dihilangkan dengan membuka sistem transduser ke udara pada level jantung bila di
nolkan pada amplifier.
Pada posisi lateral, lengan bagian atas diposisikan pada peyangga tangan yang
telah dilapisi dari bingkai metal atau ditopang dengan bantal. Penyangga yang kecil
(axillary roll) ditempatkan dibawah dada sedikit dibawah axilla untuk menopang bagian
atas dari rusuk, untuk menghilangkan tekanan pada bundel neurovaskular axilla, dan
menghilangkan tekanan pada otot deltoid dan caput humerus. Penempatan axillary rool
harus sebagaimana mestinya karena axillary roll sendiri dapat menyebabkan penekanan
dari axilla jika ditempatkan terlalu cephalad.2

Gambar 10. Posisi lateral dekubitus untuk pembedahan torakotomi dengan posisi tangan di atas
kepala untuk memfasilitasi lapangan operasi. (dikutip dari kepustakaan no 4.)

Gambar 11. Posisi lateral dengan lengan pada posisi istirahat; axilary roll untuk menopang dada
dan membebaskan axilla. (dikutip dari kepustakaan no 4).

19
VII. Posisi Kidney1,2
Posisi kidney merupakan modifikasi dari posisi lateral yang digunakan untuk
operasi ginjal (gambar.12) Setelah dianestesia dan stabil, pasien dimiringkan ke salah
satu sisi dengan lapangan operasi berada diatas. Tekukkan meja untuk daerah ginjal
sebaiknya berada antara costa XII dan SIAS yang disebut sebagai kidney rest. Dengan
fleksi meja dan kidney rest terangkat, pinggir kosta terpisah dari krista iliaca, sehingga
memperbaiki paparan pembedahan pada ginjal.
Sebuah alas yang dilapisi kain atau sebuah bantal kecil ditempatkan diantara
kedua lutut, tungkai bawah di fleksikan hingga membentuk sudut 90º dan tungkai atas
dipertahankan tetap lurus. Kemudian ikat pemegang ditempatkan diatas tungkai. Kedua
lengan di tempatkan dekat wajah pasien, dan mungkin lebih aman bila berada pada
penyangga lengan atau di fiksasi pada tiang penghalang ( Bug). Dua plester dengan
lebar 2 inchi, membantu mempertahankan agar pasien tetap stabil pada posisi yang
sudah diatur ; satu ditempatkan pada trochanter mayor femur dan yang lain pada spina
scapula. (gambar 12)

Gambar 12. Posisi kidney (Dikutip dari kepustakaan no 1).

20
VIII. Posisi duduk (sitting position)2
Posisi duduk (gambar 13) biasanya digunakan untuk operasi kraniotomi fossa
posterior atau operasi tulang servikal, wajah, leher dan bahu untuk memberikan paparan
yang baik dan drainase vena yang lebih baik. Posisi duduk yang penuh jarang
digunakan, pasien biasanya diposisikan setengah duduk dengan kepala difleksikan dan
kaki dielevasikan.

Gambar 13. Posisi duduk (sitting position) dengan skull pin holder yang di klap pada frame U.

VIII.1 Efek posisi duduk terhadap respirasi


Pengaruh respirasi oleh posisi duduk sering menguntungkan. Bila dibandingkan
dengan posisi supine, pergerakan diafragma hanya mengalami hambatan yang kecil pada
saat inspirasi. Kerja napas menurun untuk pernapasan spontan, dan tekanan inflasi
menurun selama ventilasi tekanan positif. FRC meningkat dan closing capacity yang
berhubungan dengan umur menjadi minimal.

VIII.2 Efek posisi duduk terhadap kardiovaskular


Pada pasien yang teranestesi, perubahan hemodinamik dapat menjadi signifikan
meskipun sudut head-up kurang dari 60 derajat. Gravitasi menghambat drainase vena
kaki, menyebabkan perpindahan darah dari tubuh bagian atas ke ekstremitas bawah,
pengisian atrium berkurang; yang akhirnya akan menurunkan cardiac output sebesar
20-40 persen. Pada subjek sehat yang teranestesi perubahan ini diimbangi oleh
peningkatan aftifitas simpatis dengan takikardia dan peningkatan resistensi vaskular

21
sistemik. Namun refleks protektif tersebut dapat menjadi tumpul oleh anestesia,
hipotensi postural yang terjadi tiba-tiba dan berat, terutama pada orang tua, pasien
hipertensi, dalam keadaan dehidrasi atau adanya penyakit jantung.

VIII. 3 Resiko posisi duduk terhadap emboli udara


Resiko emboli udara melalui vena-vena yang terbuka diatas level jantung
meningkat dengan tingginya lapangan operasi diatas jantung. Emboli udara yang tidak di
perhitungkan (”silent”) sering terjadi pada posisi ini. Biasanya dengan volume udara
yang kecil dan hanya terdeteksi dengan alat bantu. Emboli udara dalam jumlah yang
besar berpotensial mematikan karena dapat menyebabkan busa yang menekan pada
bagian kanan jantung, menyebabkan kontraksi ventrikel menjadi tidak efisien.
Gelembung yang kecil juga dapat menyebabkan obstruksi pada vaskular paru perifer.
Emboli udara dapat dikenali oleh perubahan bunyi yang dihasilkan probe Doppler
langsung pada jantung dengan menempatkan probe pada intercostal dua kanan,
penurunan ekspirasi karbondioksida, peningkatan ekspirasi nitrogen, aritmia, hipotensi
atau bising ”mill-wheel” yang karakteristik.
Emboli udara berbahaya khususnya pada 20-35 persen populasi yang memiliki
foramen ovale. Pada pasien-pasien ini, foramen ovale tertutup bila tekanan pada atrium
kiri lebih besar dari bagian kanan. Kasus ini merupakan kasus biasa, namun gradien
tekanan ini dapat sebaliknya pada posisi duduk. Udara pada bagian kanan jantung dapat
melewati foramen ovale dan masuk ke jantung kiri yang selanjutnya akan masuk ke
sirkulasi koroner atau sirkulasi serebral dan menyebabkan cedera yang permanen.

IX. Posisi Prone1,2,3,4


Sebagian besar orang tidur dengan posisi ini dan memberikan tidur yang nyaman
untuk waktu yang lama. Namun terdapat sejumlah masalah bila berada dalam anestesia.
Posisi prone merupakan posisi yang digunakan untuk memaparkan bagian
dorsal/belakang tubuh. Kamus kedokteran memberikan definisi posisi prone sebagai
‘face down’.

Adapun indikasi pembedahan yang dilakukan pada posisi ini antara lain :

22
1. Lumbar laminectomy dan Lumbar spinal Fusion
2. Posterior cervical dan pembedahan Occipital (fossa posterior)
3. Pembedahan rektal, perineal dan Sigmoidoskopi
4. Pendekatan posterior untuk eksplorasi adrenal dan biopsi renal
5. Torakotomi dengan pendekatan posterior
Posisi prone atau modifikasinya juga telah digunakan untuk tripping varises vena pada
daerah belakang kaki, untuk koreksi kerja tendon pada daerah lutut, untuk koreksi
berbagai kelainan pada tulang belakang, untuk skin graft, dan untuk menajemen
pembedahan pada dekubitus.

Gambar 13. (A) Posisi prone klasik dengan lengan ekstensi disamping kepala. atau disamping
sepanjang tubuh (B). Chest roll ditempatkan di bawah clavicula dan bantal bantalan dibawah
krista iliaka agar abdomen bebas. (dikutip dari kepustakaan no 2)

IX.1 Membalik pasien yang telah teranestesi2,3

23
Membalikkan pasien yang telah teranestesi dan paralisis ke posisi prone
merupakan prosedur yang potensial berbahaya sebab (1) mekanisme kompensasi
autonomik lumpuh oleh zat anestetik dan (2) pasien yang paralisis kehilangan kekuatan
otot yang biasanya melindungi persendian. Berikut ini merupakan langkah-langkah yang
memberikan keamanan saat membalikkan pasien yang teranestesi.
1. Pasien sebaiknya dianestesi diatas meja operasi.
2. Pasien akan lebih aman dibalik jika berada dalam anestesi yang sangat dangkal dan
paralisis. Diharapkan dengan anestesi yang dangkal, respon kardiovaskular tidak
menjadi tumpul dan mekanisme fungsi kontrol vaskular untuk melawan gravitasi
tetap ada.
3. Sebelum membalikkan pasien :
a. Bagian kepala meja direndahkan 5 sampai 10 derajat. Pada posisi head-down, aliran
balik vena dari bawah duapertiga tubuh dipertahankan meskipun bila sepertiga bagian
atas tubuh ditinggikan saat membalikkan pasien.
b. Ahli anestesi harus siap untuk mengatur kepala kecuali dipertimbangkan adanya
fraktur servikal. Jika leher tidak stabil, ahli bedah saraf harus mengatur posisi kepala,
ia satu-satunya orang yang ada yang mengetahui dengan baik lokasi dan luas cedera
pasien dan juga mempunyai kualifikasi yang terbaik untuk menjaga pada perubahan
posisi yang dapat menyebabkan cedera pasien yang tidak dapat diperbaikki.
c. Ahli anestesi harus memastikan mata pasien tidak akan cedera saat membalikkan
pasien.
d. Ahli anestesi harus merencanakan dalam membalik pasien untuk menghindari
kerusakan sistem infus intravena. Lokasi dan fiksasi dari infus harus dipertimbangkan
dalam perencanaan membalikkan pasien. Sebagian besar ahli anestesi menggunakan
tangan yang akan berada dibagian atas tubuh saat membalikkan pasien sebagai tempat
pemasangan infus. Jarum atau kateter seharusnya diposisikan sehingga bebas dari
fleksi pada siku atau pergelangan tangan.
e. Alat pengukur tekanan darah harus mudah di capai agar tekanan darah dapat segera
diukur segera setelah pasien dibalikkan.

f. Ahli anestesi harus secara langsung membantu membalikkan pasien dan dapat

24
memperkirakan waktu yang tepat untuk melepaskan pasien dari sirkuit anestesi untuk
waktu yang sependek mungkin.
4. Orang yang ditugaskan untuk mengatur bagian tubuh harus tahu apa yang mereka
harus lakukan dan mereka harus dapat melakukannya. Keterampilan lebih dibutuhkan
dibanding kekuatan.
5. Langkah-langkah dari posisi supine (gambar 14-1) :
a. Pindahkan pasien dalam posisi supine ke satu sisi meja(gambar 14-2) dan gulingkan
ke satu sisi (gambar 14-3)
Dua orang harus membantu menggulingkan pasien ke satu sisi, seorang berada di
bahu dan seorang yang lain pada panggul, dan mereka harus bergerak dengan
kecepatan yang sama. Ahli anestesi menjaga kepala pada posisi yang semestinya.
Sekarang pasien berada pada posisi lateral dekubitus dengan satu tangan berada
dibawah tubuh dan yang lain berada pada sisi atas. Paling kurang satu orang
menerima tubuh pasien dari sisi yang berlawanan.
b. Pasien digulingkan tigaperempat dari posisi yang akan dibalik; tangan bagian bawah
dibebaskan dari tekanan berat badan, tarik kebagian belakang pasien dan rendahkan
ke sisi meja bila memungkinkan untuk dilakukan tanpa tekanan pada bahu
(gambar 14-4). Lengan bagian atas selanjutnya diayunkan kedepan untuk
menggantung disisi lain meja.
c. Selanjutnya panggul dan bahu pasien diangkat kembali ke posisi semula ditengah
meja (gambar 14-5)
d. Setelah selesai membalikkan, orang yang mengatur bahu menyangga dada dengan
tangannya, mendorong pasien ke tengah meja. Tangan orang tersebut harus
memegang bagian atas tubuh pasien sementara ahli anestesi menempatkan kepala
pada posisi yang aman, menghubungkan kembali ke sirkuit anestesi, melakukan
hiperventilasi untuk beberapa saat, dan tekanan darah diukur. Setelah itu tangan yang
menyangga dapat di tarik dari bawah dada pasien.
e. Pada saat pasien telah dibalikan prone, dengan kepala dibalikkan ke satu sisi dan
kedua lengan tenggantung di samping meja operasi, dengan kepala 5 – 10 derajat
head-down. Sekarang alat penopang untuk pelvis dan dada dapat di pasang. Kain yang
telah digulung ditempatkan dibawah kedua bahu sehingga membentuk palung dan

25
melindungi dengan menghilangkan tekanan pada dada dengan cara demikian
memudahkan ekspansi dinding dada. Kain lain yang digulung ditempatkan pada
punggung kaki untuk menghilangkan tekanan pada kaki.
f. Setelah semua pergerakan selesai meja operasi dapat dikembalikan ke posisi
horisontal.

Gambar 14-1 Gambar 14-2

Gambar 14-3 Gambar 14-4 Gambar 14-5

Gambar 14. Gambar langkah-langkah dalam memposisikan pasien dari supine ke posisi prone
(dikutip dari kepustakaan no .3)

26
Stadium anestesi yang dangkal dan memposisikan pasien head-down akan
meminimalkan tendensi terjadinya hipotensi pada sebagian besar pasien. Pasien dengan
paraplegia dan quadriplegia mungkin membutuhkan obat vasopressor intravena sebelum
dibalikkan untuk mencegah bahaya hipotensi. Membalikan pasien pada posisi ini paling
kurang dibutuhkan tiga orang yang berpengalaman ditambah seorang ahli anestesi. Bila
pasien sangat berat, maka dibutuhkan tenaga tambahan untuk melakukannya.

IX.3 Efek posisi prone terhadap respirasi2,3,8,9,


Jika pasien diposisikan dengan pantas sehingga dinding abdomen seluruhnya
bebas untuk bergerak, maka tidak ada lagi tahanan untuk pergerakan udara dibandingkan
pada posisi supine. Pada posisi prone, FRC lebih besar dibanding posisi supine dan
lateral. Aliran darah paru homogen seperti pada posisi supine. Studi tentang shunting
pulmonal memperlihatkan tidak ada perubahan bila pasien teranestesi dibalikkan dari
posisi supine ke posisi prone. Bila dinding abdomen tidak bebas maka akan terjadi
hipoventilasi. Peningkatan tekanan jalan napas memerlukan tekanan ventilasi positif
untuk mengatasinya. Atelektasi juga dapat terjadi oleh pergerakan berlebih dari belakang
pasien pada lapangan operasi.

IX. 2 Efek posisi prone terhadap kardiovaskular2,3,10,11


Hanya terdapat sedikit masalah kardiovaskular pada posisi prone bila pasien
diposisikan sehingga tidak ada tekanan terhadap vena kava inferior dan vena femoral.
Masalah serius terbesar pada posisi prone terhadap sistem kardiovaskular adalah pada
saat memposisikan pasien dari posisi supine ke posisi prone. Pasien-pasien dengan
paraplegia dan quadriplegia dapat mentoleransi posisi prone dengan baik, namun
membalikkan mereka ke posisi prone dibawah anestesi akan menigkatkan resiko yang
dapat terjadi. Hipotensi berat dapat dengan cepat terjadi pada pasien ini walaupun
mereka dibalik dengan semestinya. Hasil terbaik dalam pengelolaannya adalah dengan
memberikan vasopresor sebelum pasien dibalikkan dan dengan anestesi dangkal yang
memungkinkan.

27
Tekanan pada sinus karotis harus dihindari bila kepala dibalikkan pada satu sisi.
Tekanan pada sinus karotis dapat menyebabkan hipotensi yang berat dan aritmia. Aliran
balik vena dari kepala seharusnya tidak tersumbat. Distensi pembuluh darah mata,
edema kelopak mata, nyeri kepala pascabedah dan kejadian edema subglotik dapat
terjadi. Suplai darah ke otak harus dijaga dimana pada banyak orang tua terjadi
pengurangan aliran darah ke otak pada berbagai posisi. Leher yang sangat tertekuk ke
lateral atau sangat ekstensi dapat mengganggu aliran arteri vertebralis.
Posisi prone yang tidak benar dapat menyebabkan peningkatan kehilangan darah
intraoperatif. Kehilangan tersebut pada umumnya disebabkan oleh obstruksi aliran vena
dan distensi jalur kolateral yang berada pada lapangan operasi. Pleksus vena perineal
dan pleksus vena pada kolum vertebralis (Batson’s plexus) merupakan salah satu vena
yang mengalami distensi bila vena femoralis dan vena cava inferior mengalami
obstruksi.

IX.3 Efek posisi prone terhadap sistem saraf pusat dan mata.2,3,11,12
Memposisikan kepala pasien merupakan tantangan pada posisi prone. Rotasi
pada kepala dan leher mungkin menyebabkan iskemia serebral yang disebabkan oleh
oklusi arteri karotis dan arteri vertebralis dimana pada rotasi sebesar 80 derajat dapat
menyebakan obstruksi total arteri vertebralis kontralateral. Pasien-pasien dengan
anatomi vaskular yang masih baik dapat mengkompensasi dengan meningkatkan aliran
melalui arteri vertebralis yang yang berlawanan atau melalui sirkulus willis, namun pada
mereka dengan obstruksi parsial oleh arterioskerosis dapat mengalami iskemia,
trombosis, atau stroke emboli. Pada sebagian besar kasus, kepala pasien tidak harus
dibalik dari posisi sagital. Hal ini biasanya diatasi dengan menggunakan penyangga busa
atau horseshoe-shaped pad yang dapat menopang bagian tepi wajah tanpa menekan
mata.

28
X. Cedera nonneural yang disebabkan oleh posisi pembedahan2,5,6,7
X.1 Nyeri punggung
Nyeri punggung sering terjadi baik setelah anestesi regional (spinal, epidural)
atau general, yang terjadi kurang lebih pada 37 persen pasien. Hal ini tidak berhubungan
dengan tehnik anestesi tetapi berhubungan dengan durasi operasi dan posisi yang
digunakan. Posisi lithotomy, supine, dan posisi prone lebih sering menyebabkan nyeri
punggung. Anestesia dan pelumpuh otot menyebabkan relaksasi otot paraspinal sehingga
bagian lordosis dari tulang vertebra menjadi rata dan menyebankan tegangan pada otot
dan ligamen bagian posterior. Pasien yang mengeluh nyeri punggung pascabedah,
kadang kala disertai dengan penjalaran ke distribusi persarapan nervus sciatik, yang
dapat berakhir pada beberapa hari hingga beberapa bulan. Untuk mencegah cedera ini,
panggul dan lutut sedikit difleksikan pada posisi supine dan memberikan sanggahan
untuk mempertahankan bagian lordosis lumbal. Hal ini akan meningkatkan aliran balik
vena dari ekstremitas dan menurunkan tekanan dinding anterior abdomen. Pada saat
pasien pada posisi lithotomy, kaki dinaikkan dan diturunkan secara simultan untuk
menghindari torsi lumbal

X.2. Nekrosis kulit


Penekanan yang lama pada kulit menyebabkan iskemia dan dapat terjadi ulserasi.
Bila tekanan yang mendesak kulit pada prominan tulang ( tumit, maleolus, sakrum, tepi
atas orbita), akibatnya mudah terjadi iskemia yang merusak dan seharusnya secara hati-
hati lapisan atau memindahkannya dari waktu ke waktu untuk mengurangi tekanan.
Plester yang ditempatkan sangat erat pada kulit, telinga atau hidung juga dapat
menyebabkan nekrosis pada kulit dan tulang rawan.

X.3 Cedera pada mata


Cedera mata pada pasien yang teranestesi biasanya terdiri dari dua tipe. Tekanan
pada bola mata pada pasien dalam posisi prone dan posisi lateral dapat menyebabkan
trombosis arteri retina atau iskemia retina bila tekanan diteruskan melalui mata cukup
menyebabkan oklusi arteri retina. Hipertensi intraoperatif atau ada riwayat glaucoma
membuat komplikasi ini lebih sering terjadi kebutaan yang irreversibel namun

29
komplikasi ini dapat dihindari:ahli anastesi harus memastikan maka pasien bebas dari
tekanan. Abrasi kornea merupakan cedera okular intraoperatif yang pada umumya
terjadi etiooginya belum sepenuhnya dipahai namun mungkin berhubungan dengan
kekeringan pada kornea yang terpapar eksaserbasi oleh penurunan lakrimasi selama
anastesi umum atau trauma langsung dari masker anastesia atau peralatan lainnya.
Gejalanya meliputi sensasi adanya benda asing, lakrimasi dan nyeri yang memberat pada
saat pergerakan bola mata. Menutup kelopak mata untuk mencegah terpaparnya kornea,
menggunakan pelindung mata, dan penggunaan lubrikan oftalmik pada saccus
konjungtiva membantu mencegah cedera pada mata.

X.4. Crush Injury


Bilamana bagian dari meja operasi digerakkan, dapat menyebabkan cedera pada
pasien. Bila kaki meja operasi dikembalikan ke posisi horisontal setelah prosedur pada
posisi lithotomy, jari-jari pasien mungkin terjepit di antara dua bagian yang di operasi.
Bila meja operasi ditinggikan peralatan yang digantung seperti tempat instrumen
mungkin dapat membahayakan pasien.

X.5. Sindrom Kompartemen


Penekanan yang lama pada bagia tubuh dapat menyebabkan sindrom
kompartemen. Etiologi dari sindrom ini adalah iskemia yang menyebabkan hilangnya
integritas kapiler dan udem yang massif diantara kompartemen fascia yang tertutup,
yang menyebabkan peningkatan tekanan dan nekrosis jaringan. Pada masa perioperatif
sindrom kompartemen kebanyakan merupakan akibat dari posisi lithotomy yang lama
dan melibatkan ekstremitas bawah. Fleksi paha tidak hanya menekan vena femoralis
tetapi penempatan tungkai di atas jantung, mengurangi tekanan perfusi. Pada sebagian
besar kasus terjadi jika kaki ditopang lebih dari 4 jam oleh peralatan yang menekan
fossa poplitea dan betis posterior. Pasien yang akan menjalani perineal prostetektomi
pada posisi lithotomy yang ekstrim juga meningkatkan risiko terjadinya komplikasi ini.
Sindrom kompartemen biasanya bermanifestasi setelah beberapa jam
postoperatif. Pada ruang pemulihan pemeriksaan pada ekstremitas bawah untuk nyeri
otot, regangan, udem, dan perubahan warna penting diperhatikan. Pulsasi daerah distal

30
dan pengisian kapiler (capillary refill) mungkin masih baik pada awalnya. Sindrom
kompartemen dapat dicegah dengan baik dengan membatasi waktu pasien pada posisi
lithotomy kurang dari 4 jam.

XI. Cedera Saraf Perifer


Cedera pleksus brakhialis dan nervus ulnaris biasanya terjadi selama anastesi
umum, tetapi neuropati lumbosakral biasanya menyertai anastesi regional. Cedera saraf
perifer dianggap terjadi selama anestesia sebab pasien diposisikan pada posisi yang tidak
sesuai dan pasien tidak dapat merasa ketidaknyamanan atau usaha untuk membebaskan
tekanan atau regangan. Pasien-pasien kurus dan mereka yang merokok mempunyai
risiko yang besar untuk terjadinya neuropati pada extremitas bawah setelah posisi
lithotomy.
Diferensial diagnosis dari kerusakan saraf pascabedah meliputi neuropati yang
ada sebelumnya, kerusakan sistem saraf pusat seperti strok, penempatan jarum yang
salah, atau manipulasi pembedahan. Ketika pasien mengalami kelumpuhan setelah
operasi, pemeriksaan neurologik dibutuhkan dan didokumentasikan, dan dikonsulkan
kepada neurologist sehingga konduksi saraf dapat dipelajari dan pasien mendapatkan
perawatan lanjut. Pencatatan akurat dari berbagai kelainan neurologik yang masih ada
sangat penting untuk diagnosis yang sesuai dan management pascabedah.
Nervus ulnaris merupakan saraf perifer yang pada umumnya mengalami cedera
pada pasien yang menjalani anastesi dan pembedahan. Kerusakan terjadi bila saraf
tertekan pada situ dan bagian posterior dari epikondilus media humerus. Ini dapat terjadi
bila siku pasien tergeser dari pengalas meja operasi dan terbentur dengan ujung meja
operasi. Setelah nervus ulnaris, cedera neurologik kedua terbanyak adalah cedera pada
pleksus brachialis. Pasien dengan cedera akibat regangan pada pleksus brachialis dapat
mengeluh nyeri ringan pada bahu di daerah supraklavikularis namun biasanya hanya
nyeri yang ringan pada défisit neurologik.
Cedera pada nervus radialis dapat terjadi oleh penekanan pada meja operasi yang
terlalu keras karena nervus ini berjalan melewati humerus pada bagian lateral. Cedera
pada nervus medianus, dapat terjadi akibat katéter intravena atau ekstravasasi obat
seperti thiopental.

31
Cedera nervus peroneal utama merupakan cedera saraf yang sebagian besar
terjadi pada extremitas bawah. Memberi alas yang semestinya pada bagian caput fibula
dapat menghindari komplikasi ini. Cedera nervus femoral terjadi oleh sudut yang
berlebihan dari paha pada abdomen pada posisi lithotomy atau oleh bila retractor selama
laparatomi. Nervus sciatic juga dapat mengalami cedera pada posisi lithotomy jika paha
dan kaki dengan rotasi eksternal jika lutut tetap ekstensi.
Peralatan untuk airway dan tangan seorang ahli anastesi juga dapat menyebabkan
cedera saraf pada wajah. Tekanan yang berlebihan dari tali pengikat masker
menyebabkan paralisis dari nervus fasialis cabang buccal menyebabkan hilangnya fungsi
dari otot orbikularis oculi.
Walaupun komplikasi dari posisi telah digambarkan sejak awal anastesi namun
komplikasi ini masih banyak terjadi. Banyak cedera akibat posisi dapat dicegah dengan
memberikan bantalan pada prominent tulang memindahkan pasien dengan perlahan dan
lembut, menghindari posisi yang menyebabkan tertariknya ligamen dan nervus dan
memberikan perhatian yang semestinya pada efek fisiologis dari posisi tubuh.

32
Daftar Pustaka

1. Collins VJ. Positioning of patients in Principles of Anesthesiology, 2nd edition,


Philadelphia Lea & Febiger, 1980.
2. Alexander CM, Positioning the surgical patient in Longnecker DE, Murphy FL (ed) :
Introduction to Anesthesia, 9th edition, Philadelphia, WB Saunders, 1997.
3. Martin JT, Positioning in Anesthesia and Surgery, Philadelphia, WB Saunders, 1978.
4. Faust RJ, Cucchiara RF, Bechtle PS. Patient positioning in Miller RD (ed) : Miller’s
Anesthesia, 6th edition, Philadelphia, Elsevier, 2005.
5. Nitti JT, Nitti GJ. Anesthetic Complication in Morgan GE (ed) : Clinical
Anesthesiology, 3rd edition, New York, McGraw-Hill, 2002.
6. American Society of Anesthesiologists Task Force on Prevention of Perioperative
Peripheral Neuropathies : Practice Advisory for the Prevention of Perioperative
Peripheral Neuropathies, Anesthesiology, V 92, No 4, 2000.
7. Coppieters MW, et al. Positioning in Anesthesiology :Toward a Better Understanding
of Stretch-induced Perioperative Neuropathies, Anesthesiology, V 97, No 1, 2002.
8. Pelosi P, et al. The Prone Positioning During General Anesthesia Minimally Affects
Respiratory Mechanics While Improving Functional Residual Capacity and
Increasing Oxygen Tension, Anesth Analg, 1995; 80:955-60.
9. Fridrich P, et al. The Effects of Long-Term Prone Positioning in Patients with
Trauma-Induced Adult Respiratory Distress Syndrome,AnesthAnalg,1996;83:1206-
11.
10. Olypio MA, et al. Emergence from Anesthesia in the Prone versus Supine Position in
Patients Undergoing Lumbar Surgery, Anesthesiology 2000;93:959-63.
12. Rohdin M, et al. Effect of Gravity on Lung Diffusing Capacity and Cardiac Output
in Prone and Supine Humans, J Appl Physiol 2003;95: 3-10.
13. Cheng MA, et al. The Effect of Prone Positioning on Intraocular Pressure in
Anesthetized Patients, Anesthesiology 2001;95:1351-5.

33
34
Pertimbangan Neurologik
Secara anatomi, banyak dari otot tubuh menggunakan kekuatan mereka pada
tendon yang melingkari tuberkel tulang atau sepanjang retinakula tendoneous. Ini
memungkinkan otot-otot untuk bergerak melingkari persendian bila persendian
mengalami ekstensi atau fleksi. Beberapa saraf berjalan mengikuti jalan yang sama
secara anatomi. Walaupun fleksi atau ekstensi yang berlebih dapat menyebabkan
masalah-masalah yang tidak diperkirakan pada pasien, saraf dan otot mengalami tekanan
dan regangan yang berlebih atau dengan mekanisme yang lain juga dapat menyebabkan
cedera yang disebabkan oleh posisi.
Dylewsky dan McAlpine menggambarkan 4 reaksi axonal terhadap cedera.
Transient ischemic nerve block terjadi tanpa ada kerusakan struktur saraf dan hanya
berlangsung beberapa menit. Neurapraxia membutuhkan waktu pulih 4-6 minggu dan
hasilnya dari demyelisasi serabut saraf perifer dari cabang saraf. Axnotmesis
menggambarkan gangguan menyeluruh dari axons dengan pembungkus saraf yang
masih utuh; pemulihan tergantung pada regenerasi dari ujung saraf dengan 1mm/hari
namun pemulihan yang menyeluruh tidak sempurna. Neurotmesis meliputi kerusakan
saraf yang lengkap; memperbaiki dengan pembedahan hanya dapat memperbaiki secara
parsial adalah yang terbaik.

35
36

You might also like