You are on page 1of 27

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Desember 2017


UNIVERSITAS HASANUDDIN

HELMINTHIASIS USUS

Oleh :
Ika Fitri

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
1
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Ika Fitri C11113061


Judul refarat : Helminthiasis Usus

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraanklinik pada bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas KedokteranUniversitas Hasanuddin.

Makassar, Desember 2017

Pembimbing supervisior

2
DAFTAR ISI

HALAMANPENGESAHAN………………………………...……………………….…........2

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….….3

BAB 1 ……………………..…………………………………………………………....….…4

1. PENDAHULUAN………………,,…..………………………………….…………………4

2. EPIDEMIOLOGI………………..……..………………………………...………………...5

BAB 2……………………………………………………………………………….………...6

1. KLASIFIKASI HELMINTH …………......................……………..………………...........6

A. SOIL TRANSMITTED HELMINT………………….……………………………............6

3. NON SOIL TRANSMITTED HELMINT ……………..………………….....…………..18

BAB 3..............………………………….…………………………………………………..24

1.KESIMPULAN……………………………………………………………….............…..24

3
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................25

BAB 1

I. PENDAHULUAN
Cacingan merupakan infeksi parasit berupa masuknya cacing ke dalam tubuh manusia
sehingga menimbulkan berbagai kelainan fungsi dan anatomis tubuh manusia. Dari sekian
banyak jenis cacingyang dapat menginfeksi manusia, yang paling sering adalah jenis Soil-
Transmitted Helminths atau cacing yang memerlukan tanah sebagai media berkembang
menjadi bentuk infektif.Dalam hal ini berarti bahwa proses pematangan parasit dari bentuk
non infektif menjadi bentuk yang infektif terjadi di tanah. Menurut Faust ,Soil-Transmitted
helminth adalah nematoda usus yang perkembangan embrionya pada tanah. Cacing yang
tergolong dalam Soil-Transmitted Helminth adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris
trichiura,Strongyloides stercoralis serta cacingtambang yaitu Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale. 1

Lebih dari 1,5 miliar manusia atau 24% populasi di dunia pernah terinfeksi cacing,
terutama pada daerah tropis dan subtropis termasuk di Indonesia. Sekitar 270 juta anak
belum sekolah dan 600 juta anak yang sudah bersekolah tinggal di daerah endemik cacing,
sehingga memerlukan perawatan dan pencegahan dari infeksi cacing. WHO memperkirakan
800 juta – 1 milyar penduduk terinfeksi Ascaris, 700-900 juta terinfeksi cacing tambang,
500 juta terinfeksi trichuris. Di Indonesia penyakit cacing merupakan masalah
kesehatanmasyarakat terbanyak setelah malnutrisi. Prevalensi dan intensitas
tertinggididapatkan dikalangan anak usia sekolah dasar. Anak yang terinfeksi cacing,selain
mengalami hambatan nutrisional, juga rentan mengalami hambatan dalampertumbuhan fisik
dan mental sehingga memerlukan perhatian lebih. InfeksiSoil-Transmitted Helminthterjadi
pada daerah dengan sanitasi buruk sehingga menjadi mediapertumbuhan cacing yang sangat
baik, hal ini terjadi bersamaan dengan tingkathigiene yang rendah sehingga transmisi secara
fekal-oral juga meningkat. 2
4
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing ini tergolong penyakit yang kurang
mendapat perhatian, sebab masih sering dianggapsebagai penyakit yang tidak menimbulkan
wabah maupun kematian. Namun pada tahun 2001, WHO mulai melaksanakan strategi
pencegahan dengan memberikan obat anti cacing sekali setahun apabila prevalensi infeksi
cacing dalam suatu komunitas lebih dari 20% dan dua kali setahun apabila prevalensi lebih
dari 50% tanpa melihat diagnosa klinis.3

II. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi terbanyak infeksi cacing usus disebabkan oleh Ascaris lumbricoides, Trichuris
trichiura dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus). Masalah
penyakit kecacingan di Indonesia sangat erat kaitannya dengan iklim dan kebersihan diri
perorangan, rumah maupun lingkungan sekitarnya serta kepadatan penduduk yang tinggi.
Pada saat musim hujan, udara yang lembab, rumah yang berlantai tanah, pengetahuan sanitasi
kesehatan yang rendah merupakan faktor penyebab tingginya kejadian penyakit kecacingan.
Infeksi cacing usus dapat bersifat kronis pada penduduk yang tinggal di daerah endemis.
Infeksi primer biasanya terjadi pada masa anak – anak dan bisa menetap sampai dewasa
melalui paparan infeksi berulang terhadap lingkungan yang terkontaminasi tinja.

5
BAB II

I. KLASIFIKASI

Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) adalah infeksi yang disebebkan oleh nematoda
usus yang dalam penularannya memerlukan media tanah.1 STH adalah jenis nematoda usus
yang dalam siklus hidupnya memerlukan tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi
perubahan dari bentuk non infektif menjadi bentuk infektif. Cacing yang tergolong STH
adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiuria, cacing tambang (Ancylostoma duodenale
dan Necator americanus), dan Strongyloides stercoralis.9

Nematoda usus lain atau disebut juga Non-Soiled Transmitted Helminths adalah jenis
nematoda usus yang dalam siklus hidupnya tidak membutuhkan tanah. Ada tiga jenis cacing
yang termasuk dalam kelompok ini yaitu Enterobius vermicularis (cacing kremi), Trichinella
Spiralis, dan Capillaria philipinensis.9

A. Soil Transmitted Helminths (STH)


1. ASCARIASIS

Askariasis adalah penyakit infeksi di usus halus yang disebabkan oleh infeksi cacing
Ascaris lumbricoides. Manusia merupakan host definitive dan tidak membutuhkan host
perantara.

a. Siklus hidup

Telur cacing yang telah dibuahi yang keluar bersama tinja penderita, di dalam tanah yang
lembap dan suhu yang optimal akan berkembang menjadi telur infektif yang mengandung
larva cacing. Infeksi terjadi dengan masuknya telur cacing yang infektif ke dalam mulut
melalui makanan atau minuman yang tercemar tanah yang mengandung tinja penderita
askariasis. Dalam usus halus bagian atas, dinding telur akan pecah sehingga larva dapat
keluar, untuk selanjutnya menembus dinding usus halus dan memasuki vena porta hati.
Bersama aliran darah vena, larva akan beredar menuju jantung, paru-paru, lalu menembus
dinding kapiler masuk ke dalam alveoli. Masa migrasi ini berlangsung sekitar 15 hari. Dari
alveoli larva cacing berpindah ke bronki, trakea dan laring, untuk selanjutnya masuk ke
faring, esofagus, turun ke lambung akhirnya sampai usus halus. Sesudah berganti kulit, larva

6
cacing akan tumbuh menjadi cacing dewasa. Sirkulasi dan migrasi larva cacing dalam darah
tersebut disebut lung migration. Dua bulan sejak infeksi (masuknya telur infektif per oral)
terjadi, seekor cacing betina mampu mulai bertelur, yang jumlah produksi telurnya dapat
mencapai 200.000 butir per hari.10

gambar 1. siklus hidup Ascaris lumbricoides14

Cacing dewasa hidup di dalam lumen usus halus.Cacing betina menghasilkan telur
sampai 200.000 butir per hari yang dikeluarkan bersama tinja.Telur yang tidak dibuahi
(unfertilized) bisa saja tertelan tetapi tidak menginfeksi. Telur yang dibuahi (fertilized) yang
mengandung embrio menjadi infektif setelah 18 hari sampai beberapa minggu hal ini
tergantung pada kondisi lingkungan (tempat yang lembap, hangat dan teduh). Setelah telur
yang berkembang menjadi infektif tertelan oleh hospes,larva akan menetas menginvasi
mukosa usus, selanjutnya terbawa aliran darah portal kemudian melalui aliran darah sistemik
ke paru-paru. Larva yang matang menuju ke paru-paru (10-14 hari), penetrasi pada dinding
alveoli, ke cabang bronchi, kerongkongan, dan selanjutnya tertelanSetelah mencapai usus,
berkembang menjadi cacing dewasa.14
b. Gejala klinis

Gejala klinik yang muncul tergantung pada beberapa hal antara lain beratnya infeksi,
keadaan umum penderita, daya tahan tubuh, dan kerentanan penderita terhadap infeksi
cacing. Pasien biasanya datang dengan keluhan Nafsu makan menurun, perut membuncit,
lemah, pucat, berat badan menurun, mual, muntah.10

7
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan migrasi
larva.Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat larva berada diparu.Pada orang yang
rentan, terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang
disertai dengan batuk, demam, dan eosinofilia.Pada foto thoraks tampak infiltrat yang
menghilang dalam waktu 3 minggu.Keadaan ini disebut sindroma Loeffler.10

Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan, dan sangat tergantung dari
banyaknya cacing yang menginfeksi di usus. Kadang-kadang penderita mengalami gejala
gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare, atau konstipasi.9 Pada
infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorpsi sehingga memperberat keadaan
malnutrisi.
Gejala klinis yang paling menonjol adalah rasa tidak enak di perut, kolik akut pada daerah
epigastrium, gangguan selera makan, mencret. Ini biasanya terjadi pada saat proses
peradangan pada dinding usus. Pada anak kejadian ini bisa diikuti demam.9
Pada keadaan infeksi yang berat, paling ditakuti bila terjadi muntah cacing, yang akan dapat
menimbulkan komplikasi penyumbatan saluran nafas oleh cacing dewasa. Pada keadaan lain
dapat terjadi ileus oleh karena sumbatan pada usus oleh massa cacing, ataupun apendisitis
sebagai akibat masuknya cacing ke dalam lumen apendiks. Bisa dijumpai penyumbatan
ampulla Vateri ataupun saluran empedu dan terkadang masuk ke jaringan hati.9
Gejala lain adalah sewaktu masa inkubasi dan pada saat cacing menjadi dewasa di dalam
usus halus, yang mana hasil metabolisme cacing dapat menimbulkan fenomena sensitisasi
seperti urtikaria, asma bronkhial, konjungtivitis akut, fotofobia dan terkadang hematuria.
Eosinofilia 10% atau lebih sering pada infeksi dengan Ascaris lumbricoides, tetapi hal ini
tidak menggambarkan beratnya penyakit, tetapi lebih banyak menggambarkan proses
sensitisasi dan eosinofilia ini tidak patognomonis untuk infeksi Ascaris lumbricoides.9

c. Diagnosa
Selama fase pulmonal akan ditemukan eosinofilia. Diagnosis ditegakkan dengan
menemukan telur cacing pada tinja atau karena cacing dewasa keluar tubuh dan
ditemukannya dalam tinja pada pemeriksaan laboratorium.1
d. Tatalaksana
Cacing ini seringkali berada dalam usus manusia bersama-sama dengan cacing tambang.
Cacing ini sebaiknya dibasmi lebih dahulu baru kemudian cacing tambang.1 Obat-obatan
yang digunakan adalah :
 Piperazin.
8
Merupakan obat pilihan utama, diberikan dengan dosis sebagai berikut:
- Berat badan 0-15 kg : 1 g sekali sehari selama 2 hari berturut-turut.
- Berat badan 15-25 kg : 2 g sekali sehari selama 2 hari berturut-turut.
- Berat badan 25-50 kg : 3 g sekali sehari selama 2 hari berturut-turut.
- Berat badan lebih dari 50 kg : 3 ½ g sekali sehari selama 2 hari berturut-turut.
Satu tablet obat ini mengandung 250 dan 500 mg piperazin. Efek samping
penggunaan obat ini adalah pusing, rasa melayang dan gangguan penglihatan.1
 Heksilresorsinol.
Obat ini baik untuk infestasi Ascaris lumbricoides dalam usus. Obat ini diberikan setelah
pasien dipuaskan terlebih dahulu, baru kemudian diberikan 1 g heksiresorsinol sekaligus
disusul dengan pemberian laksans sebanyak 30 g MgSO4, yang diulangi lagi 3 jam kemudian
untuk tujuan mengeluarkan cacing. Bila diperlukan pengobatan ini dapat diulang 3 hari
kemudian.1
 Pirantel pamoat.
Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis 10 mg/KgBB, maksimum 1 g. Efek
samping obat ini adalah rasa mual, mencret, pusing, ruam kulit dan demam.1
 Levamisol.
Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis tunggal 150 mg.1
 Albendazole.
Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis tunggal 400 mg.1
 Mebendazole.
Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari.1

e. Komplikasi
Selama larva sedang bermigrasi dapat menyebabkan terjadinya reaksi alergik yang berat
dan penumonitis dan bahkan menyebabkan timbulnya pneumonia.1

2. TRICHURIASIS

Infeksi pada usus yang disebabkan oleh Trichuris trichiura atau whip worm. Trichuris
trichiura ini adalah cacing nonpatogen dan komensal, dimana hidup di dalam usus besar
terutama caecum, dan dapat juga ditemukan di kolon ascendens dan appendix manusia
merupakan host definitive dan tidak membutuhkan host perantara.10

9
a. Siklus hidup

gambar 2. siklus hidup Trichuris trichiura14

Telur yang dikeluarkan melalui tinja berkembang menjadi infektif di dalam tanah
dalam waktu 1-2 minggu. Infeksi terjadi karena pasien menelan telur yang infektif dan
larvanya melekat pada usus halus, kemudian setelah menjadi dewasa akan menetap di
caecum dan kolon bagian proksimal.11 Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama
tinja, telur menjadi matang dalam waktu 3–6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh.
Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.
Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes),
kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah
menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum.
Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur
sekitar 30-90 hari.14

b. Gejala klinik
Bila cacing berada dalam jumlah yang besar dan daya tahan pasien kurang baik, maka
cacing ini menimbulkan gejala klinis. Bagian posterior cacing melekat pada mukosa usus
menyebabkan perdarahan kronik dan kerusakan pada mukosa usus.11

10
Sesuai dengan predileksinya, cacing T.trichiura pada manusia berada di dalam caecum,
namun dapat juga ditemukan di kolon asenden.18 Pada infeksi berat, terutama pada anak,
cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum
yang mengalami prolapsus akibat mengejan saat defekasi. Ketika cacing mulai masuk ke
dalam mukosa usus, maka akan terjadi iritasi pada mukosa usus dan menimbulkan reaksi
radang seperti rasa tidak nyaman dan perih. Selain itu, pada infeksi kronis cacing ini juga
menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia berat, Hb rendah sekali
dapat mencapai 3gr %, karena setiap harinya seekor cacing dapat menghisap 0,005 cc.9

c. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan apabila menemukan telur ataupun cacing dewasa didalam tinja.1

d. Tatalaksana
Perawatan Umum :
Higiene pasien diperbaiki dan diberikan diet tinggi kalori, sedangkan anemia dapat
diatasi dengan pemberian preparat besi.1
Pengobatan Spesifik :
Bila keadaan ringan dan tidak menimbulkan gejala, penyakit ini tidak diobati.1 Tetapi
bila menimbulkan gejala, dapat diberikan obat-obat :
 Diltiasiamin jodida.
Diberikan dengan dosis 10-15mg/KgBB/hari, selama 3-5 hari.1
 Stilbazium Yodida.
Diberikan dengan dosis 10mg/KgBB/hari, 2 kali sehari selama 3 hari dan bila diperlukan
dapat diberikan dalam waktu yang lebih lama. Efek samping obat ini adalah rasa mual, nyeri
pada perut dan warna tinja menjadi merah.1
 Heksiresorsinol 0,2%.
Dapat diberikan 500 ml dalam bentuk enema, dalam waktu 1 jam.1
 Mebendazole.
Diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari dalam 3 hari, atau dosis tunggal 600 mg.1

e. Komplikasi
Bila infeksi berat dapat terjadi perforasi usus atau prolapsus rekti.1

3. Cacing tambang (Ankylostoma duodenale dan Necator americanus)

11
Infeksi pada usus yang lainnya disebabkan oleh infeksi cacing tambang. Ada dua
spesies penyebab yaitu: Necator americanus dan Ancylostoma duodenale.

a. Siklus hidup

gambar 3. siklus hidup cacing tambang14

telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut
menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh
menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di
tanah.
Telur cacing tambang yang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan
mempunyai dinding tipis.Di dalamnya terdapat beberapa sel, larva rabditiform panjangnya
kurang lebih 250 mikron, sedangkan larva filriform panjangnya kurang lebih 600
mikron.Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru.
Di paru larvanya menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan
laring.Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing
dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama
makanan.14

b. Gejala klinis

Penyakit cacing tambang adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infestasi parasit
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale.Di Indonesia infeksi oleh N. americanus
lebih sering dijumpai dibandingkan infeksi oleh A.duodenale.10

12
Migrasi larva

- Sewaktu menembus kulit, bakteri piogenik dapat terikut masuk pada saat larva
menembus kulit, menimbulkan rasa gatal pada kulit (ground itch). Creeping eruption
(cutaneous larva migrans), umumnya disebabkan larva cacing tambang yang berasal dari
hewan seperti kucing ataupun anjing, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan oleh larva
Necator americanus ataupun Ancylostoma duodenale.10
- Sewaktu larva melewati paru, pada orang yang sensitive dapat terjadi bronchitis dan
pneumonitis,
Gejala klinis yang sering terjadi tergantung pada berat ringannya infeksi; makin berat
infeksi manifestasi klinis yang terjadi semakin mencolok seperti :
- Gangguan gastro-intestinal yaitu anoreksia, mual, muntah, diare, penurunan berat badan,
nyeri pada daerah sekitar duodenum, jejunum dan ileum.
-
Seekor cacing dewasa mengisap darah 0.2- 0,3 ml sehari sehingga pada pasien bias
didaptkan gejala anemia yang progresif.Pada pemeriksaan laboratorium, umumnya
dijumpai anemia hipokromik mikrositik.9,10

c. Diagnosis
Diagnosis pasti penyakit ini adalah dengan ditemukannya telur cacing tambang didalam
tinja pasien pada pemeriksaan laboratorium. Selain dalam tinja, larva dapat juga ditemukan
dalam sputum. Kadang-kadang terdapat sedikit darah dalam tinja.1

d. Tatalaksana
Pengobatan Umum
Perawatan umum dilakukan dengan memperbaiki nutrisi yang baik; suplemen preparat
besi diperlukan oleh pasien dengan gejala klinis yang berat, terutama bila ditemukan
bersama-sama dengan anemia.1
Pengobatan Spesifik
 Albendazole.
Diberikan dengan dosis tunggal 400 mg.1
 Mebendazole.
Diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari.1

13
 Tetrakloretilen.
Merupakan obat pilihan utama (drug of choice) terutama untuk pasien ansilostomiasis.
Dosis yang diberikan 0,12 ml/kgBB, dosis tunggal tidak boleh lebih dari 5 ml. Pengobatan
dapat diulang 2 minggu kemudian bila pemeriksaan telur dalam tinja tetap posiif. Pemberian
obat ini sebaiknya dalam keadaan perut kososng disertai pemberian 30 g MgSO4.
Kontraindikasi pemberian obat ini pada pasien alkoholisme, kelainan pencernaan, konstipasi
dan penyakit lain.1
 Befanium hidroksinaffat.
Obat pilihan utama untuk ankilostomiasis dan baik untuk pengobatan massal pada anak.
Obat ini relatif tidak toksik. Dosis yang diberikan 5 g 2 kali sehari. Dan dapat diulang
bilamana diperlukan. Untuk pengobatan Necator americans, dosis diberikan untuk 3 hari.1
 Pirantel pamoat.
Obat ini cukup efektif dengan toksisitas yang rendah dan dosis yang diberikan 10
mg/KgBB/hari sebagai dosis tunggal.1
 Heksilresorsinol.
Diberikan sebagai obat alternatif yang cukup efektif dan dosis pemberian obat ini sama
seperti pada pengobatan askariasis.1

e. Komplikasi
Kerusakan pada kulit akan menyebabkan dermatitis yang berat terlebih bila pasien
sensitif. Anemia berat yang terjadi sering menyebabkan gangguan pertumbuhan,
perkembangan mental dan payah jantung.1

4. STRONGYLOIDOSIS

Strongiloidiasis adalah penyakit kecacingan yang disebabkan oleh spesies nematoda


parasit Strongyloides terutamanya Strongyloides stercoralis

a. siklus hidup

Cacing betina dewasa parasiter menembus mukosa vili intestinal dan membuat saluran-
saluran didalam mukosa terutama didaerah duodenum dan jejunum bagian atas untuk
meletakkan telur-telurnya. Telur akan menetas menjadi larva rhaditiform yang keluar dari
mukosa dan masuk ke lumen usus. Kemudian dari sini ada beberapa jalan bagi larva
rhabditiform : Larva rhabditiform keluar bersama tinja, setelah 12 – 24 jam menjadi larva

14
filariform yang bertahan berminggu-minggu ditanah. Jika menemukan hospes maka akan
menembus kulit → ikut aliran darah ke jantung → paru-paru → bronkus → melalui tractus
ke atas sampai epiglotis → turun ke bawah melalui esophagus → ke intestinum tenue dan
tumbuh sampai dewasa. Jika tidak menemukan hospes maka larva filariform akan
berkembang ditanah menjadi cacing dewasa yang hidup bebas → cacing betina bertelur →
menetas menjadi larva rhabditiform → larva filariform → menjadi infeksius atau hidup bebas
lagi.7

Gambar siklus hidup Strongyloides stercoralis7

Gambar cacing Strongyloides stercoralis7

b. gejala klinik
Ada juga jenis cacing yang dikenal dengan sebutan cacing benang, yaitu Strongyloides
stercoralis.Jenis cacing ini menyebabkan infeksi yang disebut strongyloidosis.Predileksi cacing
dewasanya dapat ditemukan pada mukosa usushalus terutama duodenum dan jejenum
4
manusia. Infeksistrongyloidiasis memang jarang ditemui di Indonesia.Manifestasi yang ditimbulkan

15
biasanya lebih ringan, bahkan tidak menimbulkan gejala.Pada infeksi ringan, cacing dewasa betina
menetap di dalam mukosa duodenum, hal ini menyebabkan perasaan terbakar, tertususuk-tusuk di
daerah epigastrium.Selain itu, ditemukan juga gejala seperti mual, muntah, diare dan konstipasi.Pada
infeksi yang berat dan kronis, manifestasi yang ditimbulkan hampir sama dengan jenis cacing lainnya
yaitu anemia. Namun selain anemia dapat juga terjadi gejala demam ringan, disentri menahun hingga
kematian yang disebabkan oleh infeksi sekunder pada lesi usus.7
c. Tatalaksana

Pengobatan umum:

 Pengobatan sebaiknya dilakukan juga terhadap keluarga serumah atau yang sering
berhubungan dengan pasien.
 Kesehatan pribadi perlu diperhatikan terutama kuku jari-jari dan kebersihan tangan,
kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir
 Toilet sebaiknya dibersihkan dan disiram dengan desinfektan, bila memungkinkan
setiap pagi.
 Menggunakan alas kaki ketikaberjalan di luarrumah, terutama jikakontak dengan
tanah.1

Pengobatan spesifik :

 Thiabendazole.

Diberikan dosis 25 mg/ kg berat badan 2x1 selama 3 hari berturut-turut.1

 Mebendazole.

Diberikan dosis 100 mg 2x1 selama 3 hari berturut-turut.1

 Albendazole.

Diberikan dosis 400 mg, 2x1 selama 7 hari.1

 Pyrvinium pamote.

Diberikan dosis 3x50 mg/kg berat badan perhari selama 7 hari berturut-turut.1

 Ivermectin.

Diberikan dosis 0,2 mg/ kb berat badan per hari selama 1-2 hari..7

16
5. TRYCHOSTRONGYLOSIS
Trychostrongylosis adalah penyakit infeksi yang disebakan oleh cacing
Trichostrongylus spp
a. Siklus hidup
telur yang keluar bersama tinja, setelah satu hingga dua hari berada ditanah, telur
menetas dan berkembang menjadi larva infektif. Stadium telur infektif hidup bebas di
rumput, larva membentuk kristal dan tahan terhadap kekeringan. Setelah itu larva tertelan
saat sapi memakan rumput dan berkembang menjadi dewasa.8

Gambarsiklus hidup Trychostrongilus7

Gambar telur Trychostrongilus7

b. Gejala klinik
Pasien yang terinfeksi oleh cacing Trichostrongylusdapat muncul gejala
gastrointestinalseperti nyeri perut, flatulen, perut kembung, mual, muntah, anoreksia, diare
dan konstipasi.Pada pasien trichostrongyliasis yang tidak memiliki penyakit mendasar yang
berhubungan saluran gastrointestinal (GI) biasanya akanmemiliki kebiasaan buang air besar
yang normal dan kotoran yang tampak normal. 8
c. Tatalaksana

17
Pengobatan umum:

 Pengobatan sebaiknya dilakukan juga terhadap keluarga serumah atau yang sering
berhubungan dengan pasien.
 Kesehatan pribadi perlu diperhatikan terutama kuku jari-jari dan kebersihan tangan,
kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir.
 Toilet sebaiknya dibersihkan dan disiram dengan desinfektan, bila memungkinkan
setiap pagi.
 Menggunakan alas kaki ketikaberjalan di luarrumah, terutamajikakontakdengantanah.

Pengobatan spesifik :

 Levamisol.

Diberikan 400 mg dosis tunggal. 8

B. Non-Soiled Transmitted Helminths


1. Enterobiasis / Oxyuris vermicularis

Penyakit cacing kremi disebut juga Oxyuris vermicularisatau Enterobiasis atau pinworm. Di
Indonesia mempunyai frekuensi tinggi terutama pada anak-anak umur 5-14 tahun.

a. Siklus hidup

Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm dengan ekor yang runcing. Cacing jantan
berukuran 2-5 mm. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga caecum, usus besar dan di usus
halus yang berdekatan dengan rongga caecum.Makanannya adalah isi dari usus. Cacing
betina yang gravid mengandung 11.000 – 15.000 butir telur, bermigrasi ke daerah perianal
untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus dan vaginanya.4 Telur berbentuk ovoid dan pada
salah satu sisinya datarsehingga berbentuk seperti sampan. Telur-telur jarang dikeluarkandi
usus sehingga jarang ditemukan di dalam tinja. Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira
6jam setelah dikeluarkan, pada suhu badan. Telur resistenterhadap desifektan dan udara
dingin, dalam keadaan lembab telur dapat hidupsampai 13 hari.5

18
Gambar.Cacing dewasaOxyuris vermicularis

Gambar.siklus hidup xyuris vermicularis

Setelah telur infektif tertelan atau terlur yang telah dibuahi melalui makanan yang
terkontaminasi, jari yang kotor, atau inhalasi udara yang mengandung telur.Telur menetas di
duodenum dan kemudian menjadi cacing dewasa di jejenum dan ileum atas. Secara umum,
terdapat beberapa cara terjadinya infeksi cacing ini, pertama melalui autoinokulasi dan dapat
terjadi retroinfeksi yaitu ketika telur pecah menjadi larva di daerah perianal lalu kembali ke
rektum. Waktu yang diperlukan dari telur matang tertelan hingga menjadi cacing dewasa
yang bermigrasi ke daerah perianal adalah 2 minggu – 2 bulan. Saat malam hari, cacing
dewasa betina akan bergerak kearah anus dan meletakkan telur dalam lipatan kulit anus yang
menyebabkan pruritus ani.1,7.

b. Gejala klinis

19
Enterobiasis relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang berarti. Gejala klinis
yang menonjol disebabkan oleh stimulasi mekanik dan iritasi disekitar anus, perineum dan
vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi kedaerah tersebut lalu menyebabkan
pruritus lokal pada malam hari sehingga menyebabkan gangguan tidur.

Anoreksia, penurunan nafsu makan sehingga badan menjadi kurus, sukar tidur dan pasien
menjadi iritable, seringkali terjadi terutama pada anak. Pada wanita dapat menyebabkan
vaginistis. Cacing dewasa pada usus dapat menyebabkan gejala nyeri perut , rasa mual,
hingga muntah dan diare.1

c. Diagnosis

Pemeriksaan darah tepi umumnya normal, hanya ditemukan sedikit eosinofilia. Diagnosis
ditegakkan dengan cara menemukan telur atau cacing dewasa di daerah perianal dengan swab
atau didalam tinja. Anal swab ditempelkan di sekitar anus pada waktu pagi hari sebelum anak
buang air besar dan mencuci pantat (cebok)

d. Tatalaksana
Pengobatan umum:
 Pengobatan sebaiknya dilakukan juga terhadap keluarga serumah atau yang sering
berhubungan dengan pasien.
 Kesehatan pribadi perlu diperhatikan terutama kuku jari-jari dan pakaian tidur.
 Toilet sebaiknya dibersihkan dan disiram dengan desinfektan, bila memungkinkan
setiap pagi

Pengobatan spesifik :

 Mebendazole.

Diberikan dosis tunggal 500 mg, diulang setelah 2 minggu.

 Albendazole.

Diberikan dosis tunggal 400 mg, diulang setelah 2 minggu.

 Piperazin sitrat.

Diberikan dengan dosis 2 x 1 g per hari, selama 7 hari berturut-turut, dapat diulang
dengan interval 7 hari.

 Pirvium pamoat.

20
Diberikan dengan dosis 5 mg per kg berat badan (maksimal 0,25 g) dan diulang 2 minggu
kemudian. Obat ini dapat menyebabkan rasa mual, muntah dan warna tinja menjadi merah.

 Pirantel pamoat.

Diberikan dengan dosis 10 mg per kg berat badan sebagai dosis tunggal dan kemudian
maksimum 1 g.1

e. Komplikasi

Bila jumlah cacing dewasa cukup banyak akan dapat menyebabkan apendisitis. Cacing
dewasa pada wanita dapat bermigrasi ke dalam vagina, uterus dan tuba falopii, dan dapat
menyebabkan peradangan di daerah tersebut.

f. Prognosis

Infeksi cacing tidak terlalu berat dan dengan pemberian obat-obat yang efektif maka
komplikasi dapat dihindari. Yang sering menjadi masalah adalah infeksi intrafamiliar, apalagi
dengan keadaan higienik yang buruk. Dengan pengobatan yang adekuat, prognosis baik. 1

2. Trichinosis
Trichinosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh cacing Trichinella spiralis.
a. Siklus hidup

Gambar 7. Siklus hidup Trichinella spiralis14

21
b. Gejala klinik
Trichinella spp salah satu jenis nematode lain yang dapat menimbulkan kelainan
dalam usus halus, yang terdapat di semua daerah tropis. Fase intestinal penyakit trichinosis
terjadi pada minggu pertama setelah subjek memakan daging yang terinfeksi oleh kista
trichinella spp ketika larva menembus lapisan epitelium usus halus dan berkembang menjadi
bentuk dewasa. Fase ini mungkin berhubungan dengan mual, nyeri abdomen, serta diare yang
segera diikuti oleh edema preorbital dan nyeri otot ketika larva yang baru terbentuk
menembus otot.12

3. Capillariasis
Capillariasis merupakan infeksi yang disebabkan oleh cacing Capillaria philipinensis.
a. Siklus hidup

Gambar 8. Siklus hidup Capillaria philipinensis14

Biasanya, telur yang tidak dibuahi dilewatkan ke dalam tinja manusia Nomor 1 dan
menjadi embrio di lingkungan luar. Nomor 2; Setelah tertelan oleh ikan air tawar, larva
menetas, menembus usus, dan bermigrasi ke jaringan Jumlah 3. Penelanan hasil ikan mentah
atau kurang matang mengakibatkan infeksi host manusia Angka 4. Orang dewasa Capillaria
philippinensis (laki-laki: 2,3 sampai 3,2 Mm; betina: 2,5 sampai 4,3 mm) berada di usus kecil
manusia, di mana mereka bersembunyi di mukosa Angka 5. Betina menyimpan telur yang
tidak berembun. Beberapa di antaranya menjadi embrio di usus, dan melepaskan larva yang
bisa menyebabkan autoinfeksi. Hal ini menyebabkan hiperinfeksi (sejumlah besar cacing

22
dewasa) Jumlah 6. Capillaria philippinesis saat ini dianggap sebagai parasit dari ikan yang
mengonsumsi burung, yang tampaknya merupakan host definitif alami Nomor 7
b. Gejala klinik
Gejala stadium permulaan yang dapat ditemukan berupamual, muntah, anoreksia, dan
diare berulang menyebabkan terjadinya penurunan berat badan. Pada stadium kronis pasien
akan menjadi sangat lemah, kelemahan pada seluruh otot. Pada tinja ditemukan kalium dan
lemak yang tinggi yang disebabkan karena terjadi gangguan penyerapan akibat peradangan
dan iritasi yang mungkin disebabkan oleh toksin dari cacing ini.10
c. Penatalaksanaan
a. Trichinosis
Bisa diberi obat anti helmintik
Thiabendazole dosis 25 mg/kg berat badan 2x1 selama 3 hari berturut-turut
Mebendazole dosis 100 mg 2x1 selama 3 hari berturut-turut

b. Capilariassis
Mebendazole (200 mg 2x1 selama 20 hari)
Albendazole 200 mg/hari selama 10 hari
Fluid and electrolyte replacment and a high protein diet are recommended for
chronic infections

23
BAB III

1. KESIMPULAN
Infeksi cacing merupakan salah satu penyebab penyakit kronis pada anak tersering di
indonesia. Hal ini disebabkan indonesia merupakan salah satu negara tropis sehingga dengan
cuaca dan kelembapan yang tepat membantu perkembangan cacing sehingga berkembang
menjadi daerah yang endemis. Penyakit ini termasuk dalam Neglected Tropical Diseases
dimana tingkat sosioekonomi juga mempengaruhi perkembangan penyakit ini, termasuk
Indonesia yang masih termasuk dalam negara berkembang. Dari beberapa jenis cacing
yang ada, Soil-transmitted helminths (STHs) merupakan jenis tersering yang menyebabkan
infeksi cacing di Indonesia.

Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) adalah infeksi yang disebebkan oleh nematoda
usus yang dalam penularannya memerlukan media tanah.1 STH adalah jenis nematoda usus
yang dalam siklus hidupnya memerlukan tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi
perubahan dari bentuk non infektif menjadi bentuk infektif. Cacing yang tergolong STH
adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiuria, cacing tambang (Ancylostoma duodenale
dan Necator americanus), dan Strongyloides stercoralis.

Nematoda usus lain atau disebut juga Non-Soiled Transmitted Helminths adalah jenis
nematoda usus yang dalam siklus hidupnya tidak membutuhkan tanah. Ada tiga jenis cacing
yang termasuk dalam kelompok ini yaitu Enterobius vermicularis (cacing kremi), Trichinella
Spiralis, dan Capillaria philipinensis.

Gejala infeksi cacing tersering terdapat pada saluran cerna meskipun beberapa jenis
cacing cenderung menginfeksi organ yang lain. Selain itu, dalam setiap stadium
perkembangan cacing baik telur, larva maupun cacing dewasa dapat menimbulkan
manifestasi klinis yang khas sesuai spesiesnya. Dalam menetapkan diagnosa, diperlukan
pemeriksaan penunjang yang sesuai karena itu perlu dipahami lebih dalam tentang daur hidup
masing-masing cacing sehingga dapat menetapkan pemeriksaan penunjang yang tepat.

Pengobatan dengan antiparasit di Indonesia telah berkembang dengan cukup baik


sehingga prognosis infeksi cacing adalah bonam. Namun, karena faktor predisposisi yang
tinggi di Indonesia seperti lingkungan, cuaca dan tingkat sosioekonomi maka pencegahan
terhadap penyakit cacing yang perlu ditingkatkan terutama yaitu menjaga sanitasi diri sendiri
dan lingkungan, mencuci dan memasak bahan makanan dengan baik dan pencegahan dengan
antiparasit untuk daerah yang endemis.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Pohan, HT. 2015. Penyakit Cacing yang Ditularkan melalui Tanah. In: Seti S, et al
eds. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing.

25
2. Dunn J.C, Turner H.C, Tun Aung. BioMed Central : Epidemiologicalsurveys of and
research on, soil transmitted helminths in Southeast Asia, asystematic review. 2016,
January 27.Available from :
https://parasitesandvectors.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13071-016-1370-2.

3. World Health Organization. Media center: Soil-transmitted Helminths infection.


Januari 2017. Avaible from: https://www who. Int/mediacentre/factsheet/fs366/en/.

4. Soedarmo SP, Garna H, Irawan H. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Ikatan
Dokter Anak Indonesia 2nd edition. Jakarta ; Badan Penerbit IDAI; 2008.

5. Anonim. Laboratory identification of parasites of public health concern. 2011.


Parasite image library.

6. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipa EA. Kapita Selekta Kedokteran Essentials of


Medicine Edisi IV. 2014. Jakarta : Media Aesculapius.

7. Rechman HU, Kamrul R. Strongyloides Stercoralis: A Parasitic Infection That Can


Persist Decades after Original Exposure. 2014. International Jounal of clinical
therapeutichs and Diagnosis ISSN 2332-2926.

8. Phosuk I,et al. 2015. Human Trichostrongyliasis: A Hospital Case Series. Southeast
Asian J Trop Med Public Health Vol.46 nomor 2

9. Natadisasta D, 2005. Parasitologi Kedokteran Ditinjau Dari Organ Yang Diserang.


Jakarta.EGC

10. Depkes RI. (2014). Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer.
11. Noviastuti A. 2015. Infeksi Soil Transmitted Helminth. Lampung.Majority | Volume
4 Nomor 8

26
12. Phosuk I,et al. 2015. Human Trichostrongyliasis: A Hospital Case Series. Southeast
Asian J Trop Med Public Health Vol.46 nomor 2

13. Cook CG. 2003. Problem Gastroenterologi Daerah Tropis. Jakarta. EGC

14. https://www.cdc.gov/parasites/angiostrongylus/biology.html

27

You might also like