You are on page 1of 7

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA


1. Sejarah Dialog Antar Umat Beragama di Indonesia
Dialog antar umat beragama di Indonesia mulai mendapat perhatian sejak tahun
1960-an, khususnya Orde Baru. Musyawarah kerukunan beragama yang diprakarsai oleh
depag telah berlangsung pada tahun 1967. Kemudian pertemuan di berbagai tingkat
permukaan agama berlangsung di banyak daerah, sekitar masalah kerukunan dan toleransi
beragama. Dialog yang diselenggarakan atas prakarsa tokoh atau lemabaga keagamaan
terjadi, antara lain di Jawa Barat, Khususnya di Sukabumi (misalnya tahun 1967, 1968,
1971) atas prakarsa panglima Divisi Siliwangi di Garut (1967) dll. Untuk mengembangkan
kerukunan, pemerintah pernah menyelenggarakan semacam proyek yang disebut “Proyek
Pelita Dialog Antar Umat Beragama” yang dipusatkan di Ibukota Propinsi (1972-1975).
Perhatian Gereja-gereja terhadap masalah hubungan antar umat beragama mulai di
dengar dalam Konferensi gereja dan Masyarakat di Salatiga (1967) yang mengatakan
“Agama dalam memenuhi tugasnya di tengah-tengah proses modrenisasi dengan
memperkembangkan pemikiran baru dengan bertolak dari iman masing-masing.
Selanjutnya perhatian terhadap hubungan antar umat beragama di kalangan gereja-
gereja semakin berkurang. Barulah pada tahun 1981 PGI (DGI) menyelenggarakan seminar
Agama-agama yang kemudian berlangsung setiap tahun dengan tema-tema yang disesuaikan
dengan perkembangan yang sedang terjadi. Dari tema-temanya jelas dialog dipusatkan pada
masalah yang dihadapi bersama sebagai bangsa dan masyarakat Indonesia.
Di Indonesia tampaknya agama-agama bergerak sendiri-sendiri menghadapi
tantangan perkembangan zaman. Padahal tantangan yang kita hadapi itu dihadapi oleh
semua umat. GBHN mengamanatkan harapan dari umat beragama akan bertanggung jawab
bersama dari semua golongan beragama dan kepercayaan TYME untuk secara terus menerus
dan bersama-sama meletakkan landasan spriritual, moral dan etika yang kokoh bagi
pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.
Selain ini umat beragama belum bergaul secara akrab yang ada hanya semacam ko-
eksistensi, enggan membicarakan masalah secara bersama-sama karena takut menimbulkan
“keresahan” atau takut ada yang tersinggung. Padahal justru karena ada perbedaanlah maka
pengenalan perlu dan karena perbedaan pula persatuan menjadi hidup.

2. Pengertian Dialog Antar Umat Beragama


Agama merupakan salah satu pembatas peradaban. Artinya, umat manusia terkelompok
dalam agama Islam, Kristen, Katolik, Kong Hucu dan sebagainya. Potensi konflik antar
mereka tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi pecahnya konflik antar
umat beragama perlu dikembangkan upaya-upaya dialog untuk mengeliminir perbedaan-
perbedaan pembatas di atas.
Dialog adalah upaya untuk menjembatani bagaimana benturan bisa dieliminir. Dialog
memang bukan tanpa persoalan, misalnya berkenaan dengan standar apa yang harus
digunakan untuk mencakup beragam peradaban yang ada di dunia. Dialog antar umat
beragama merupakan sarana yang efektif menghadapi konflik antar umat beragama.
Pentingnya dialog sebagai sarana untuk mencapai kerukunan, karena banyak konflik agama
yang anarkis atau melakukan kekerasan. Mereka melakukan pembakaran tempat-tampat
ibadah dan bertindak anarki, seperti penjarahan dan perusakkan tempat tinggal
Di dalam Negara Indonesia yang pluralitas agama, dialog menjadi pilihan alternatif yang
ideal dalam penyelesaian konflik antar umat beragama. fenomena konflik antar umat
beragama harus ditangai, karena berdampak sangat negatif. Untuk menghadapi fenomena
ini, para pemuka lintas agama tingkat pusat melakukan dialog antar umat beragama.

3. Tujuan Dialog antar agama


Dialog antar umat beragama, bertujuan bukan untuk peleburan agama menjadi satu,
sinkretisme (menciptakan ajaran agama baru yang tergabung dari unsur-unsur agama yang
ada), supremasi agama satu ke agama yang lain bahwa dirinya benar, dan meniadakan
perbedaan agama. Akan tetapi tujuan dialog antar umat beragama adalah positif, yakni:
a. Tumbuhnya saling pengertian yang objektif dan kritis;
b. Menumbuhkan kembali alam kejiwaan yang tertutup oleh tirai pemisah karena
tiadanya saling pengertian kepada alam dan bentuk kejiwaan yang otentik dan
segar, yang memungkinkan dua belah pihak mengembangkan diri sendiri sebagai
pribadi yang sejati, (sehingga) Dialog yang baik akan mengarah kepada
terciptanya pertemuan pribadi-pribadi yang bentuk konkretnya berupa kerja sama
demi kepentingan bersama.”
c. Untuk menumbuhkan pengenalan yang lebih mendalam kepada orang lain dan
kemudian melahirkan keperdulian kepada sesame manusia.
d. Untuk menciptakan ketentraman didalam masyarakat.
e. Menjamin terbinanya kerukunan dan kedamaian yang terarah kepada suatu
bentuk kongkret.
f. Untuk menanggapi penderitaan yang terus bertambah dan menakutkan serta
menyakitkan.
g. Untuk menolong dan melayani orang lain menghadapi krisis kemanusiaan.
Tujuan dialog begitu ideal, agar apa yang diharapakan benar-benar nyata. Dalam dialog
antar agama diciptakan pedoman-pedoman dalam berdialog. Mengingat, anggota berasal dari
berbagai macam agama, maka perlu adanya pedoman untuk menjaga kelangsungan dialog
itu sendiri.
Pedoman khusus dialog antar umat beragama, yakni:
a. Dasar pijakan yang sama, semua pemeluk agama memiliki kepercayaan yang
sama akan satu Tuhan. Adanya agama yang berbeda-beda merupakan bagian-
bagian satu keluarga umat manusia. Mereka tinggal dalam tempat yang sama baik
daerah dan Negara, sehingga perlu dibuatlah landasan hidup bersama untuk
tebinanya kerukunan dan kerja sama dalam hidup bersama.
b. Tujuan dialog adanya saling pengertian dan penghargaan yang lebih baik antar
pemeluk agama. Adanya perbedaan bukan direltiviskan kebenarannya, melainkan
untuk toleransi antar umat beragama.
c. Materi dialog merupakan tema-tema menarik untuk kepentingan nasional bangsa
Indonesia.
d. Kode etik dialog antar umat beragama.
 Kesaksian yang jujur dan saling menghormati. Dalam dialog masing-
masing umat beragama memberikan kesaksiannya tentang agamanya scar
jujur. Juga tidak ada unsur saling menjatuhkan antar umat beragama
yakni, simpati akan kesukaran, kemajuan agama lain.
 Prinsip Kebebasan Bersama. Prinsip kebebasan bersama meliputi
kebebasan perorangan dan social. Setiap orang bebas memilih agama,
tanpa ditekan oleh sistem social masyarakat berkembang, yang
didominasi oleh agama tertentu.
 Prinsip penerimaan (acceptance). Prinsip ini bertujuan untuk menerima
umat beragama lain apa adanya. Kita tidak memproyeksikan agama lain
menurut agama kita dan pikiran kita.
 Berpikir positif dan percaya. Berpikir positif adalah melihat nilai-nilai
positif dari agama lain. Percaya adalah sikap yang tidak menaruh
prasangka-prasangka (prejudices). Perlu dikembangkan sikap saling
percaya untuk mengawali dialog.
Dengan bantuan pedoman-pedoman dalam dialog antara umat beragama, akan
terciptalah kerukunan umat beragama. Kerukuan ini dipelihara bersama oleh umat
beragamang jawab secara global. Diaolog antar agama yang bertanggung jawab secara
global berusaha menggambarkan kesempatan yang melekat dalam kebutuhan dari suatu
pengalaman. Kebutuhan yang dimaksud berakar dalam apa yang dikatakan tentang
kewajiban yang dirasakan banyak umat Kristen sekarang.

4. Dampak dari Pelaksanaan Dialog Antar Umat Beragama


Secara umum dialog antar umat beragama memiliki dampak positif bagi keragaman
agama. Dilihat dari dua sisi, secara Intern umat beragama dapat lebih menguatkan
kemampuan menghayati dan mendalami dan melaksanakan ajaran agama yang diyakininya
dalam kehidupan sehari-hari. Dari segi ekstren, umat dapat lebih memahami keberadaaan
agama lain. Mengingat kekerasan atas nama agama menjadi permasalahan yang begitu pelik
di Indonesia, kerukunan antar umat beragama di Negeri ini akan bisa terlaksana dengan baik,
bila semua pimpinan agama dan umatnya masing-masing mau Manahan diri. Tidak merasa
lebih hebat dari umat lainnya. Namun apabila pemaksaan kehendak dan merasa superior,
maka hal itulah yang membuat tidak rukunnya antar umat beragama.

5. Pandangan Etika Kristen Terhadap Pelaksanaan Dialog Antar Umat Beragama


Dialog antar Umat Beragama adalah salah satu cara untuk mencapai kerukunan
ditengah-tengah kepelbagaian agama. Pihak Kristen protestan berupaya memahami hakikat
kerukunan dengan pertama-tama meninjaunya dari perspektif kemasyarakatan dalam sejarah
Indonesia. Kerukunan bukan lagi hal yang baru. Di Negara Indonesia yang merdeka, dimana
Pancasila menjadi landasan ideal dan UUD 1945 menjadi landasan structural, kerukunan
umat beragama mendapat tempat penting. Dengan Pancasila sebagai dasar Negara secara
positif dapat dirumuskan bahwa Negara pancasila melindungi dan mengayomi semua agama,
sekaligus memberi tempat pada kebebasan beragama.
Ditinjau dari perspektif teologi, pertama-tama dikemukakan bahwa umat manusia
adalah keluarga besar Allah. Umat yang pada mulanya adalah kesatuan Iman dan religius
yang bermaksud memelihara serta menumbuhkemabangkan hidup keagamaan orang-orang
percaya dari segala bangsa dan bahasa, merupakan cermin seluruh umat manusia sebagai
keluarga besar Allah (Famili Dei). Atas dasar itu maka hubungan kasih sebagai keluarga
Allah dan manusia merupakan hal yang sangat sentral dan hakiki. Kerukunan umat beragama
lewat dialog antar Umat Beragama dipahami pula sebagai pencerminan dan perwujutan
kasih setia Allah dalam Yesus Kristus dalam persekutuan dengan RohNya yang kudus.
Persekutuan itu terungkap lewat gereja atau disebut juga Esclesia (Kis 1:8).
Hubungan dialog merupakan jalan terbaik untuk melaksanakan kesaksian. Dialog
berarti percakapan diantara orang yang berkeluarga. Disini identitas kekristenan tidak boleh
dikaburkan, karena justru dengan kesadaran diri bahwa seorang Kristen itu, terdapat
kemampuan untuk mengasihi Allah dan sesame atau tetangga (Mat 22:37-40).
Dalam masyarakat pluralisme yang cukup tinggi diperlukan pelaksanaan dakwah
atau misi tanpa mengganggu kerukunan. Cara pelaksanaan berupa dialog. Dialog merupakan
cara terbaik dalam pelaksanaan misi, karena sesungguhnya misi yang benar adalah Dialog
(Yoh 3:4). Misi tidak boleh sedikitpun mengancam kerukunan yang dinamis dan kebebasan
yang bertanggung jawab.
Untuk memperkaya pemahaman kita mengenai dialog, kita perlu meninjau beberapa
perspektif Alkitabiah.
a. Perspektif Penciptaan
Lembaga-lembaga pertama Alkitab Kejadian 1-11, memaparkan keyakinan
iman bahwa seluruh dunia dan umat manusia adalah ciptaan Allah. Dari penelitian
diketahui bahwa banyak nasihat kehidupan di dalam Alkitab diambil dari bangsa-
bangsa lain (yang tidak seiman), seperti yang dibaca dalam Amsal dan Pengkhotbah.
Ini menunjukkan bahwa pergaulan antar umat pernah berlangsung intensif.
b. Perspektif cerita Bapa Leluhur
Dari cerita para leluhur (Kejadian 12-50), tindakan Allah mulai menjurus
pada hubungan khusus. Tetapi hubungan dengan orang lain berdasarkan kesadaran
Religius yang sama. Kemudian Tuhan menghukum firaun dengan berbagai peristiwa
bukan karena perbedaan agama, tetapi karena penindasan terhadap orang Israel.
Ketika Amos mengumumkan hukuman Tuhan terhadap bangsa-bangsa, maka ukuran
yang dipakai adalah perilaku mereka yang dinilai lazim membinasakan bangsa lain
yang berarti “tidak mengingat perjanjian persaudaraan (1:9). Orang Israel dihukum
karena mereka menolak hukuman Tuhan dan menindas orang-orang miskin (2:4-16)
c. Perspektif Keluaran (exodus)
Ada 2 alasan mengapa perlu pembebasan. Alasan pertama ada penindasan
yang bersamaan dengan program pembangunan yang dilancarkan penguasa Mesir
(Kel 1:11). Alasan kedua ialah agar orang Israel dapat bebas beribadah karena tidak
ada jaminan kebebasan beribadah lagi di Mesir (Kel 8:26). Pemberian Hukum Taurat
harus dilihat sebagai usaha membina kehidupan yang sejahtera, bukan dasar
eksklusif.
d. Perspektif di Negeri Kanaan (Allah Kontra Baal)
Sikap terhadap penyembahan Baal sangat keras. Tetapi harus diingat itu
bukan pada ibadah (Penganut Baal) ansich; yang menjadi keprihatianan adalah
implikasi sosial dari penyimpangan orang Israel (pengaruh Baalisme) seperti pada
kasus perampasan ladang Nabot (2Raja-raja 21).
e. Keselamatan didalam Kristus.
Keselamatan hanya di dalam (melalui) Kristus sering membuat kita
meremehkan penganut lain yang tidak berjalan melalui Kristus. Injil ingin
menegaskan bahwa misi Yesus ialah mengarahkan manusia kepada hidup yang
berpusat pada Allah. Pertemuan umat beragama bukanlah pertemuan kebenaran,
tetapi pertemuan penghayatan akan kebenaran. Orang Kristen terpanggil bukan untuk
membuat klaim, melainkan suatu komitmen terhadap Yesus dengan sikap terhadap
umat beragama lain.

Berdasarkan uraian tentang prespektif Alkitabiah diatas, kita dapat mengatakan


bahwa Alkitab kita tidak mendorong umat Kristen kearah sikap eksklusif. Bahkan dalam
beberapa hal, Alkitab menganjurkan sikap yang terbuka dan toleran.

6. Kajian terhadap Dialog Antar Umat Bragama


Dialog perlu terus diupayakan, bukan saja karena perkembangan internasional dan
nasional melainkan juga karena komitmen sebagai umat beragama (Kristen) mendorong kita
melakukannya. Pertama, upaya membangun kesejahteraan tidak dapat terlaksana dengan
mengabaikan eksistensi orang lain. Masalah-masalah kehidupan di sekitar kita yang semakin
kompleks adalah masalah bersama kepercayaan kita kepada Allah, pertama-tama harus
membuat kita mengetahui dengan rendah hati bahwa pluralitas masyarakat adalah karunia
Tuhan untuk dikembangkan dengan maksimal melalui dialog. Dialog akan membuat
perspektif baru dalam menjalankan komitmen keagamaan.
Kedua, adalah tempat untuk mengupayakannya di kalangan pemuda, sebab pemuda
yang relative lebih sedikit menyimpan beban sejarah adalah potensi besar untuk membangun
masa depan bersama yang lebih dinamis, terbuka dan penuh kemungkinan. Kami rasa agama-
agama tetap memegang peranan penting di dalam era globalisasi kalau hal itu tidak dipenuhi
akan menjurus kepada fundamentalisme dan liberalism keagamaan. Keduanya sama-sama
tidak memperdulikan eksistensi orang lain.
Ketiga, kalau agama-agama ingin tetap berperan di dalam memberi arah terhadap
pembangunan bangsa, maka dialog adalah cara yang tepat untuk menggalang potensi, jika
tidak ada dialog maka kehidupan semakin terpragmentasi dan pola gilirannya akan diabaikan
oleh masyarakat. Keempat, dialog bukan saja sarana untuk makin saling mengenal,
melainkan membuat kita makin mengenal jati diri kita sendiri.
BAB II
KESIMPULAN
Dialog antar umat beragama telah mereduksi nilai dan informasi tentang keagamaan
dalam berdialog antar umat beragama. Dialog yang bertujuan untuk menciptakan saling
mengerti dan menghargai akan sia-sia, karena dalam dialog kita tidak mendapatkan
pengetahuan dan pengalaman umat beragama yang berbeda dengan kita sebagaimana
adanya. Apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dialami oleh agama lain. Dari sini otomatis,
pengertian yang didapatkan sangat terbatas menjadikan umat beragama lain memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang dialami oleh agama lain sangat sedikit. Keterbatasan ini
akan mudah menimbulkan kesalahpahaman di antara pemeluk agama yang lain.
Kesalahpahaman ini akan berujung pada konflik. Maka dalam dialog antar agama secara
fenomenologi mengajak kita untuk memahami agama lain yang berbeda dan yang dipeluk
oleh orang lain sebagaimana apa adanya yang dirasakan, dipikirkan dan dialami. Apa
adanya ini dibiarkan begitu saja, tanpa sedikitpun kita mereduksi. Hingga akhirnya kita
mengetahui hakikat (eidos) dari agama orang lain yang berbeda dengan kita, yakni kita
mampu menjelaskan agama apa yang ada di dalamnya dari sudut pandangnya. Dengan
demikian, saling pengertian dan menghormati akan terwujud dengan sendirinya, ketika kita
mengerti dan memahami agama yang berbeda, secara langsung dan utuh. kita akan
mengetahui nilai-nilai baik dan informasi yang utuh akan agama mereka. Dengan demikian
kerukunan akan tercipta, karena masing-masing dari agama sudah saling mengerti dan
menghargai melalui dialog antar umat beragama dalam fenomenologis.
DAFTAR PUSTAKA

Einar M. Sitompul, Gereja Menyikapi Perubahan, Hal.8-10

http://ty-toyo.blogspot.com/2009/12/fenomenologi-edmund-hussrl_18.html, 2011/05/30

ibid

Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, Hal. 51

Marsagi.wordpress.com/2011/05/03

Prof.Dr. Olaf Herbert Schumann, Agama dalam Dialog, hal.63-67

Einar M. Sitompul, Gereja Menyikapi perubahan, hal.10-11

You might also like